1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latarbelakang
Kekerasan terhadap anak merupakan salah satu bentuk kasus pelanggaran hak azasi manusia. Kejadian kekerasan semakin marak, khususnya kekerasan seksual
terhadap anak. Berdasarkan data Komisi Nasional PerlindunganAnak Indonesia KPAI Pada 2010, terdapat 2.046 kasus kekerasan yang diantaranya 42 berupa
kejahatan seksual.Pada 2011 terjadi 2.426 kasus 58 kejahatan seksual, dan 2012 terdapat 2.637 kasus 62 kejahatan seksual.Pada 2013, terjadi peningkatan yang
cukup besar yaitu 3.339 kasus diantaranya sebesar 62 merupakan kejahatan seksual. Berdasarkan hal tersebut, pada tahun 2013 Komisi Nasional anak
menetapkan Indonesia memasuki Kondisi Darurat Nasional Kejahatan Seksual terhadap anak. Hal ini berdasarkan hasil data kasus yang dicatat oleh Pusat Data dan
Informasi Komisi Nasional Anak yang menyatakan bahwa sepanjang tahun 2013 sudah terdapat 1.620 kasus kekerasan anak dengan rincian, yaitu kasus kekerasan
fisik sebanyak 490 kasus 30, kekerasan psikis sebanyak 313 kasus 19 dan paling banyak yaitu kasus kekerasan seksual sebanyak 817 51 KPAI, 2014.
Menurut KPAI 2015, Bali masuk peringkat 10 besar di Indonesia mengenai kekerasan anak dimana kekerasan seksual termasuk di dalamnya. Berdasarkan
laporan Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak BP3A Provinsi Bali, pada laporan semester pertama tahun 2014 menunjukkan bahwa kejadian
kekerasan seksual sebanyak dua puluh lima kasus tersebar di 4 kabupaten kota di Bali. Sedangkan pada laporan semester kedua tahun 2014 menunjukkan terdapat
peningkatan jumlah kasus dan tempat kejadian kekerasan seksual anak. Berdasarkan
laporan didapatkan sebanyak lima puluh dua kasus telah tersebar di 8 kabupatenkota di Bali. Laporan BP3A tersebut merupakan fenomena gunung es dimana kejadian
yang dilaporkan lebih kecil dari keadaan sesungguhnya. Pelaku kekerasan seksual anak tidak dapat diperkirakan. Berdasarkan
penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Anwar 2011. Setiap orang dapat menjadi pelaku perkosaan tanpa mengenal usia, status, pangkat, pendidikan, dan
jabatan. Selain itu, berdasarkan data usia pelaku perkosaan, dapat dikatakan bahwa pelaku perkosaan tidak mengenal usia. Laporan Komisi Nasional Perlindungan Anak
Komnas PA dalam Paramastri 2010 menyatakan 80 anak yang mengalami tindak kekerasan berusia di bawah 15tahun. Bentuk perlakuan salah terhadap anak
‐ anak Indonesia meliputi fisik, emosional, sosial dan seksual. Pelaku kekerasan
seksual pada anak ini umumnya adalah orang yang dikenal anak 66 termasuk orang tuanya sendiri 7,2. Penelitian tersebut juga menyimpulkan bahwa tindakan
kekerasan dilakukan dengan paksaan secara berulang di lokasi yang sudah biasa dikunjungi oleh korban. Oleh karena itu, anak- anak perlu diberikan informasi
mengenai pencegahan kekerasan seksual untuk meningkatkan mawas diri. Menurut Andika 2010, Upaya ini perlu diberikan kepada anak kelas 5 SD dengan kisaran
usia 10- 12 tahun dimana pada saat usia ini telah memiliki awal kematangan perkembangan dalam masa pubertas dan perkembangan kognitif untuk permasalahan
pencegahan kekerasan seksual. Dalam upaya promosi mengenai upaya cara pencegahan kekerasan seksual,
United Nations Children’s FundUNICEF Indonesia telah melakukan publikasi mengenai video GN- AKSA Gerakan Nasional Anti Kejahatan terhadap Anak
serta menerbitkan media lain berupa leaflet mengenai cara mencegah kekerasan seksual yang ditujukan kepada orang tua,anak dan pendidikguru. Pada video dan
leaflet tersebut menyampaikan informasi yang serupa, yaitu: 1 pengertian kekerasan seksual, 2 pelaku dan tanda- tanda orang yang diwaspadai sebagai pelaku kekerasan
seksual, 3 pihak yang dapat dimintai pertolongan, 4 tindakan yang harus dilakukan untuk mencegah kekerasan seksual, serta 5 tindakan yang harus dilakukan jika
mengalami kekerasaan seksual. Beberapa penelitian mengenai efektifitas leaflet dan video telah dilakukan.
Melina 2014 menyatakan bahwa media video lebih efektif dibandingkan penggunaan leaflet dalam mempromosikan gerakan Sadari. Penelitian yang
dilakukan Fanny 2014 didapatkan bahwa tidak ada perbedaan efektifitas antara penggunaan leaflet dan film dalam promosi kesehatan terhadap peningkatan
pengetahuan PHBS siswa SD. Sedangkan, Ambarwati 2014 menyatakan bahwa media leaflet lebih efektif digunakan sebagai media pendidikan kesehatan pada anak
SD dibandingkan media video. Terkait perbandingan efektifitas media tersebut, belum ada yang menunjukkan efektifitas penggunaan media leaflet dan video GN-
AKSA. Sehingga perlu dilakukan penelitian untuk dapat menentukan media paling efektif yang diberikan kepada anak- anak terkait upaya pencegahan kekerasan
seksual anak.
1.2 Rumusan Masalah