Tujuan dan Mamfaat Penulisan Metode Penelitian

15 1. Bagaimanakah Perkembangan Demokrasi Sebelum dan Sesudah Era Reformasi? 2. Bagaimanakah Tinjauan Demonstrasi yang Bersifat Anarki Dalam Hukum Positif Indonesia? 3. Bagaimana Pertanggungjawaban Peserta Deelneming Dalam Demonstrasi yang Bersifat Anarki?

C. Tujuan dan Mamfaat Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui : 1. Untuk mengetahui perkembangan demokrasi di Indonesia. 2. Untuk mengetahui pengaturan demonstrasi yang bersifat anarki di dalam hukum positif Indonesia. 3. Untuk mengetahui pertanggungjawaban peserta Deelneming dalam demonstrasi yang bersifat anarki. Selain tujuan-tujuan tersebut di atas, penulisan skripsi ini diharapkan bermanfaat untuk berbagai hal diantaranya : 1. Secara Teoritis Hasil Pembahasan ini diharapkan dapat menambah khazanah ilmu hukum, khususnya hukum pidana yang terkait dengan perbuat anarki di dalam demonstrasi. 2. Secara Praktis Pembahasan ini diharapkan bermanfaat untuk : a. Bagi Masyarakat Indonesia untuk memberi masukan dalam menyampaikan pendapat tanpa perbuatan yang anarki. Universitas Sumatera Utara 16 b. Aparat hukum, sebagai sumbangan pemikiran untuk penanganan masyarakat yang melakukan demonstrasi di Kota Medan. D. Keaslian Penulisan Sepanjang pengetahuan penulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara belum ada yang mengangkat Skripsi dengan judul “Pertanggungjawaban Pidana Peserta Deelneming Dalam Demonstrasi Yang Bersifat Anarki Studi Putusan No. 1.778Pid.B2009PN.MDN”. Permasalahan maupun penyajiannya merupakan hasil dari pemikiran dan ide penulis sendiri. Skripsi ini didasarkan pada refrensi buku-buku, informasi dari media cetak dan elektronik serta fakta yang diperoleh dari data berdasarkan hasil pencarian yang dilakukan penulis. Berdasarkan alasan tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa skripsi yang penulis kerjakan ini adalah asli.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban Pidana dalam hukum pidana Indonesia adalah pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan, asas dalam pertanggungjawaban dalam hukum pidana adalah tidak dipidana jika tidak melakukan kesalahan geen starf zonder schuld; Actus non facit reum mens sit rea dan di dalam KUHP kesalahan dapat kita lihat pada setiap pasal. Pertanggungjawaban dalam hukum pidana bukan hanya berarti sah menjatuhkan pidana terhadap orang tersebut, tapi juga sepenuhnya dapat diyakini bahwa memang pada tempatnya meminta Universitas Sumatera Utara 17 pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukannya 4 . Pertanggungjawaban pidana pertama-tama merupakan keadaan yang terdapat pada diri pembuat ketika melakukan tindak pidana, kemudian pertanggungjawaban pidana juga berarti menghubungkan antara pembuat dengan perbuatan dan sanksi yang sepatutnya dijatuhkan. Seseorang dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pidana hanya jika terdapat kesalahan pada dirinya. Sebab azas dalam pertanggungjawaban dalam hukum pidana adalah : ”Tidak dipidananya jika tidak ada kesalahan”. Menurut Utrecht bahwa pertanggungjawaban pidana atau kesalahan menurut hukum pidana itu terdiri atas tiga anasir : 5 a. Kemampuan bertanggungjawab toerekeningsvatbaarheid dari si pembuat; b. Suatu sikap psychis pembuat berhubung dengan kelakuannya yakni : 1 Kelakuan disengaja- anasir sengaja atau 2 Kelakuan adalah suatu sikap kurang berhati-hati atau kealpaan c. Tidak ada alasan-alasan yang menghapuskan pertanggungjawaban pidana pembuat anasir toerekenbaarheid Pendapat Utrecht tersebut sesuai dengan pendapat Roeslan Saleh yang mengikuti pendapat Moelijatno bahwa pertanggungjawaban pidana adalah kesalahan, sedangkan unsur-unsur kesalahan adalah : 4 Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Kencana Prenada Media, 2006, hal, 63. 5 Sofyan Sastrawidjadja, Hukum Pidana Asas Hukum Pidana Sampai dengan Alasan Peniadaan Pidana, Armico, Bandung, 1995, hal. 89. Universitas Sumatera Utara 18 a. Mampu bertanggungjawab; b. Mempunyai kesengajaan atau kealpaan; c. Tidak adanya alasan pemaaf 6

2. Pengertian Demonstrasi

Di dalam Undang–undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kebebasan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, tepatnya pada Pasal 1 ayat 3 dikatakan bahwa, “ Unjuk rasa atau Demonstrasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh seorang atau lebih untuk mengeluarkan pikiran”. 7 Dari pengertian demonstrasi menurut Undang-undang tersebut, demonstrasi juga berarti unjuk rasa. Demonstrasi adalah sebuah gerakan yang dilakukan sekumpulan orang dihadapan umum. Unjuk rasa biasanya dilakukan untuk menyatakan pendapat kelompok tersebut atau menentang kebijakan yang dilaksanakan suatu pihak. Unjuk rasa umumnya dilakukan oleh kelompok masyarakat yang menentang kebijakan Pemerintah. Namun unjuk rasa juga dilakukan oleh kelompok- kelompok lainnya dengan tujuan lainnya. Unjuk rasa kadang dapat menyebabkan pengrusakan terhadap benda-benda. Hal ini dapat terjadi akibat keinginan menunjukkan pendapat para pengunjuk rasa yang berlebihan. Sesuai dengan pengertian dari demonstrasi seperti terdapat dalam Pasal 1 ayat 3 Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum, bahwa demonstrasi juga merupakan unjuk rasa. Demonstrasi merupakan bentuk ekspresi berpendapat. Unjuk rasa 6 Ibid, hal. 180. 7 Pasal 1 ayat 3 UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Universitas Sumatera Utara 19 melalui demonstrasi adalah hak warga negara. Tetapi, inilah hak yang bisa mengerikan, karena umumnya demonstrasi yang melibatkan ribuan orang yang berlangsung dengan tanpa arah yang dapat berujung anarki sehingga menimbulkan tindak pidana. Demonstrasi adalah hak demokrasi yang dapat dilaksanakan dengan tertib, damai, dan intelek. Sebuah contoh yang sangat bagus, yang mestinya juga ditiru oleh mereka yang gemar unjuk rasa, yang senang turun ke jalan. Demonstrasi merupakan sebuah media dan sarana penyampaian gagasan atau ide-ide yang dianggap benar dan berupaya mempublikasikannya dalam bentuk pengerahan masa. Demonstrasi juga merupakan sebuah sarana atau alat sangat terkait dengan tujuan digunakannya sarana atau alat tersebut dengan cara penggunaannya. Sebagaimana misalnya internet, dapat digunakan sebagai alat komunikasi tetapi dapat juga digunakan untuk mencuri biar cepat kaya. Demonstrasi bisa bernilai positif, dapat juga bernilai negatif. Ini artinya bahwa ketika demonstrasi itu menjunjung tinggi demokrasi, maka dipandang sebagai hal positif dan mempunyai nilai dimata masyarakat. Namun ketika demonstrasi mengabaikan demokrasi maka dipandang masyarakat sebagai hal yang tercela atau negatif. Demonstrasi adalah salah satu sarana demokrasi. Artinya, demonstrasi harus berhenti ketika pendapat mereka harus sudah disampaikan. Demonstrasi adalah salah satu diantara sekian banyak cara menyampaikan pikiran atau pendapat. Sebagai cara, kegiatan itu perlu selalu dijaga dan dipelihara Universitas Sumatera Utara 20 agar hal ini tidak berubah menjadi tujuan. Menjadi tugas dan kewajiban kita untuk mengingatkan bahwa demonstrasi akan diakhiri ketika pandangan dan pendapat itu disampaikan. Walau kadangkala terasa tipis batasnya, tetapi patut dipahami, demonstrasi yang disertai unsur kekerasan dan pemaksaan, akan mudah tergelincir dalam domain politik praktis yang kurang baik. 8

3. Pengertian Anarki

Kata “anarki” berasal dari bahasa Yunani, awalan atau a, berarti “tidak”, “ingin akan”, “ketiadaan”, atau “kekurangan”, ditambah archos yang berarti “suatu peraturan”, “pemimpin”, “kepala”, “penguasa”, atau “kekuasaan”. Atau, seperti yang dikatakan Peter Kropotkin, anarki berasal dari kata Yunani yang berarti “melawan penguasa”. 9 Meski kata-kata Yunani anarchos dan anarchia seringkali diartikan “tidak memiliki pemerintah” atau “ada tanpa pemerintah”, seperti yang dapat dilihat, arti orisinil anarkisme yang tepat bukanlah sekedar “tidak ada pemerintah”. “Anarki” berarti “tanpa suatu peraturan” atau lebih umum lagi, “tanpa kekuasaan”, dan dalam pemahaman inilah kaum anarkis terus menggunakan kata ini. Di Indonesia, istilah anarki, anarkis atau anarkisme digunakan oleh media massa untuk menyatakan suatu tindakan perusakan, perkelahian atau kekerasan massal. Padahal menurut para pencetusnya, yaitu William Godwin, Pierre-Joseph Proudhon, dan Mikhail Bakunin, anarkisme adalah sebuah ideologi yang 8 http:www.niasisland.comhomediscuss_resp_inq.php?category_code_option=DCs_c ategory_code=DCs_code=000147code_option=000147menu_name_option=22Demonstras i20adalah22process=Addi=lastnorp=20, diakses tanggal 30 Agustus 2010. 9 http:oborbambunetzine.blogspot.compapa-itu-anarki.html, diakses pada tanggal 30 Agustus 2010 Universitas Sumatera Utara 21 menghendaki terbentuknya masyarakat tanpa negara, dengan asumsi bahwa negara adalah sebuah bentuk kediktatoran legal yang harus diakhiri 10 . Negara menetapkan pemberlakuan hukum dan peraturan yang sering kali bersifat pemaksaan, sehingga membatasi warga negara untuk memilih dan bertanggung jawab atas pilihannya sendiri. Kaum anarkis berkeyakinan bila dominasi negara atas rakyat terhapuskan, hak untuk memanfaatkan kekayaan alam dan sumber daya manusia akan berkembang dengan sendirinya. Rakyat mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri tanpa campur tangan negara. Sebagian besar media massa telah menggeserkan makna dalam penggunaan kata anarki dan anarkis. Anarki dari kata anarchy, artinya ialah suatu keadaan dimana tidak ada kontrol kekuasaan atau hukum atau ketiadaan pemerintahpenguasa. Sedangkan kata anarkis bermakna orang kata benda, bukan kata sifat sebagai terjemahan dari kata anarchist, yang artinya penganut paham anarkisme. Kemudian ada kata anarkik dari kata anarchic yang bermakna kurang lebih tindakan atau perilaku dari kaum anarkis 11 . Selanjutnya ada kata anarkisme dari anarchism yang bermakna paham atau ide atau ajaran tentang peniadaan atau pembatalan kontrol kekuasaan pada masyarakat atau negara, yang oleh kaum anarkis dicitakan untuk mengganti sistem ini dengan sustu sistem voluntir atau kesukarelaan, atau paham akan sistem masyarakat berbasis kooperasi. Sedangkan makna anarkistik, adalah kondisi atau situasi yang ingin diciptakan oleh paham anarkisme. 10 Ibid 11 Ibid Universitas Sumatera Utara 22 Jadi, jika di media massa disebutkan istilah demontrasi anarkis, ini bermakna sebuah demontrasi yang dilakukan para anarkis atau para penganut paham anarkisme sekali lagi, kata anarkis bukan kata sifat, tetapi kata benda. Jika yang dimaksudkan oleh beberapa media massa adalah demontrasi yang bersifat anarki, maka seharusnya kata yang digunakan adalah anarkistik kata sifat.

4. Tinjuan Penyertaan Deelneming

a. Pengertian Penyertaan Deelneming Penyertaan Deelneming diatur dalam buku kesatuan tentang aturan umum, Bab V Pasal 55-62 KUHP. Makna dari istilah ini adalah bahwa ada dua orang atau lebih yang melakukan suatu tindak pidana atau dengan kata lain adalah bahwa ada dua orang atau lebih yang mengambil bahagian untuk mewujudkan tindak pidana. 12 Menurut Van Hamel dalam Moch. Anwar, penyertaan adalah ajaran pertanggungjawaban atau pembagian pertanggungjawaban dalam hal suatu tindak pidana yang menurut pengertian perundang-undangan, dapat dilaksanakan oleh seorang pelaku dengan tindakan secara sendiri. 13 Pokok persoalan pada penyertaan adalah bagaimana hubungan antara peserta-peserta itu. Dalam hal ini harus dibedakan hubungan antara seseorang 12 E Y Kanter, S R Sianturi SH, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerapan, Storya Grafika, Jakarta, 2002, hal. 336. 13 Moch. Anwar, Beberapa Ketentuan Umum Dalam Buku Pertama KUHP, Alumni, Bandung, 1982, hal. 3. Universitas Sumatera Utara 23 menyuruh terhadap yang disuruh, dengan hubungan yang menggerakan terhadap yang digerakkan, hubungan antara seseorang dengan orang lain yang melakukan suatu tindak pidana. Pengertian turut serta dalam melakukan peristiwa pidana delik, seiring pembuat pleger dibantu oleh seorang lain dan justru karena turut sertanya orang lain ini, yang menurut kata POMPE 14 “bijdragebaan het sraftbare feit, voorzover zij niet bestaan in het plegen”. Memberi bantuan tetapi tidak membuat, maka peristiwa pidana itu mungkin dilakukan. Sehubungan dengan ini, UTRECHT 15 mengatakan bahwa “Pelajaran umum turut serta ini dibuat untuk menghukum mereka yang bukan melakukan atau bukan pembuat. Pelajaran umum turut serta ini justru tidak dibuat untuk menghukum orang-orang yang perbuatannya memuat semua anasir-anasir peristiwa pidana yang bersangkutan. Pelajaran ini justru dibuat untuk menuntut pertanggungjawaban mereka yamg memungkinkan Pembuat melakukan peristiwa pidana, biarpun pembuat mereka itu sendiri tidak memuat semua anasir-anasir peristiwa pidana tersebut. Sekalipun mereka bukan Pembuat yaitu perbuatan mereka tidak memuat semua anasir-anasir peristiwa pidana, mereka masih juga dapat dituntut pertanggungjawaban atas dilakukannya peristiwa pidana itu. Karena tanpa turut sertanya mereka sudah tentu peristiwa pidana itu tidak pernah terjadi. Inilah rasio Pasal 55 KUHPidana. 14 Ibid. 15 Utrecht. E, Hukum Pidana I, Universitas Bandung, 1968, hal. 5. Universitas Sumatera Utara 24 b. Bentuk-bentuk Penyertaan Deelneming 1 Mereka Yang Melakukan Tindak Pidana Plegen Siapakah yang dimaksud dengan mereka yang melakukan atau dengan syarat-syarat apa seseorang yang terlibat dalam tindak pidana disebut dengan orang yang melakukan atau pembuat pelaksana pleger. Dalam tindak pidana formil, pembuat pelaksanaannya pleger adalah orang yang melakukan dan menyelesaikan perbuatan terlarang yang sesuai dengan rumusan delik, sedangkan pada tindak pidana materiil, pleger adalah orang yang dengan perbuatannya tersebut telah menimbulkan akibat yang dilarang oleh Undang-undang. 16 Menurut Simons 17 dalam buku Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia bahwa maksud kalimat mereka yang melakukan suatu tindakan adalah petindak tunggal. Penggunaan kata jamak oleh para penganut ajaran yang menafsirkan sebagai petindak tunggal, adalah mengatakan sesuai dengan bahasa sehari-hari dimana sering dikatakan petindak- petindak. Pada kenyataannya untuk menentukan orang pembuat tunggal, tidaklah terlalu sulit. Kriterianya cukup jelas, yaiutu secara umum ialah perbuatannya telah memenuhi semua unsur tindak pidana. Bagi tindak pidana formil, wujud perbuatannya adalah sama dengan perbuatan apa 16 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 3 Percobaan dan Penyertaan, Raja Grafindo, Jakarta, 2002, hal 63. 17 P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1984, hal 583. Universitas Sumatera Utara 25 yang dicantumkan dalam rumusan tindak pidana. Sedangkan dalam tindak pidana materil perbuatan apa yang dilakukannya telah menimbulkan akibat yang dilarang oleh Undang-undang. Tetapi apabila ada orang lain yang ikut terlibat serta ke dalam tindak pidana, baik secara fisik maupun psikis, apakah syarat dari seorang dader harus juga menjadi syarat seorang pleger. Oleh karena seorang pleger itu adalah orang yang karena perbuatannyalah yang melahirkan tindak pidana itu, tanpa ada perbuatan pembuat pelaksanaan ini tindak pidana itu tidak akan terwujud, maka dari sudut ini syarat seorang pleger harus sama dengan syarat seorang dader . Perbedaan pleger dengan dader adalah, bagi seorang pleger masih diperlukan keterlibatan minimal seorang lainnya, baik secara psikis, misalnya terlibat dengan seorang pembuat penganjur misalnya dengan pembuat peserta atau pembuat pembantu. Jadi, seorang pleger diperlukan keterlibatan peserta lain dalam mewujudkan tindak pidana. Tetapi keterlibatan peserta lain ini, haruslah sedemikian rupa sehingga keterlibatan itu tidak semata-mata menentukan untuk terwujudnya tindak pidana yang dituju. 2 Mereka Yang Menyuruh Melakukan Orang Lain Untuk Melakukan Tindak Pidana Doen Plegen Undang-undang tidak menerangkan tentang siapa yang dimaksud yang menyuruh melakukan itu. Dalam mencari pengertian dan syarat dari Universitas Sumatera Utara 26 orang yang menyuruh melakukan doen plegen, banyak ahli hukum merujuk pada keterangan yang ada di dalam MvT WvS Belanda, yang menyatakan bahwa “Yang menyuruh melakukan adalah juga dia yang melakukan tindak pidana akan tetapi tidak secara pribadi, melainkan dengan perantara orang lain sebagai alat dalam tangannya, apabila orang lain itu berbuat tanpa kesengajaan, kealpaan atau tanpa tanggung jawab karena keadaan yang tidak diketahui, disesatkan atau tinjuk pada kekerasan. 18 Dari keterangan MvT itu dapat ditarik unsur-unsur dari bentuk pembuat penyuruh, yaitu : a Melakukan tindak pidana denga perantara orang lain sebagai alat di dalam tangannya. b Orang lain itu berbuat tanpa kesengajaan, tanpa kealpaan, tanpa tanggungjawab, oleh sebab keadaan : 1 Yang tidak diketahuinya 2 Karena disesatkan ; dan 3 Karena tunduk pada kekerasan. Berdasarkan MvT tersebut, maka dapatlah disimpulkan bahwa penentuan bentuk pembuat penyuruh lebih di tekankan pada ukuran objektif, ialah kenyataan tindak pidana itu dilakukan oleh orang lain yang ada dalam kekuasaannya sebagai alat, yang di buat tanpa kesalahan dan 18 Hanindyopoetra dan Naryono Artodibyo Hukum Pidana II Penyertaan, FHPM Universitas Brawijaya, Malang, 1975, hal. 33. Universitas Sumatera Utara 27 tanpa tanggungjawab. Walaupun sesungguhnya juga tetap memperhatikan hal-hal yang ternyata subyektif, yakni dalam hal tidak dipidananyapembuat materiilnya orang yang disuruh melakukan karena dia berbuat tanpa kesalahan, dan dalam hal tidak dipertanggungjawabkan karena keadaan batin orang yang dipakai sebagai alat itu, yakni tidak tahu dan tersesatkan, sesuatu yang subyektif. Sedangkan alasan karena tunduk pada kekerasan adalah bersifat objektif. Dalam penyertaan berbentuk menyuruh melakukan ini terdapat seseorang yang ingin melakukan suatu tindak pidana, akan tetapi dia tidak melakukannya sendiri. Dia menyuruh orang lain untuk melaksanakannya. Syarat yang terpenting dalam bentuk menyuruh melakukan adalah orang yang disuruh tersebut merupakan orang yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Jika diperinci syarat-syarat bentuk penyertaan menyuruh melakukan adalah sebagai berikut : 19 a Ada orang yang berkehendak melakukan tindak pidana; b Orang tersebut tidak melakukannya sendiri; c Menyuruh orang lain untuk melakukan; d Orang yang disuruh adalah orang yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Menurut Loebby Loqman, siapa saja orang-orang yang tidak dapat dipertanggungjawabkan itu harus kembali kepada masalah hal-hal yang 19 Loebby Loqman, Percobaan,Penyertaan dan Gabungan Tindak Pidana, Universitas Tarumanegara,Jakarta, 1996 hal 60. Universitas Sumatera Utara 28 meniadakan pidana seperti yang diatur di dalam KUHP, yaitu sebagai berikut : 20 a Mereka yang termasuk dalam kategori Pasal 44 KUHP, yaitu mereka yang jiwanya tidak tumbuh dengan sempurna dan jiwanya dipengaruhi oleh penyakit. b Demikian pula jika menyuruh seorang anak yang belum mampu bertanggungjawab untuk melakukan tindak pidana. c Orang yang disuruh melakukan plegen, melakukan perbuatan itu karena terpaksa oleh kekuasaan yang tidak dapat dihindarkan overmacht seperti diatur dalam Pasal 48 KUHP. d Menyuruh melakukan dengan penyesatan dalam kaitannya dengan Pasal 50 maupun KUHP, yaitu orang yang disuruh melakukan suatu perbuatan telah melakukan perbuatan tersebut untuk melaksanakan pemukulan itu secara pisik. e Orang yang disuruh melakukan suatu perbuatan telah melakukan perbuatan tersebut karena adanya kesalahpahaman. Bentuk menyuruh melakukan dapat pula terjadi karena orang yang disuruh itu tidak mempunyai kesengajaan. 3 Mereka Yang Ikut Serta Dalam Suatu Tindak Pidana Medeplegen Menurut MvT pelaku peserta medeplegen adalah orang yang langsung mengambil bagian dalam pelaksanaan perbuatan yang oleh Undang-undang dilarang dan diancam dengan hukuman atau melakukan 20 Ibid, hal. 64-66. Universitas Sumatera Utara 29 perbuatan-perbuatan atau salah satu perbuatan yang merupakan bagian dari sesuatu tindak pidana. 21 Berdasarkan kepada laporan tentang pembentukan Pasal 55 KUHP lebih tegas lagi dijelaskan, bahwa perbuatan ikut serta adalah penyertaan pada perbuatan-perbuatan yang merupakan unsur-unsur konstitutif dari suatu kejahatan. Unsur-unsur konstitutif dari suatu kejahatan tidak selalu hanya terdiri atas perbuatan, tetapi kadang-kadang juga atas suatu keadaan. 22 Syarat yang diperlakukan agar dapat dikatakan telah terjadi suatu medeplegen adalah : a Harus ada kesadaran kerja sama dari setiap peserta, para peserta menyadari akan dilakukannya suatu tindak pidana. Mereka sadar bahwa mereka bersama-sama akan melakukan tindak pidana. Dalam membentuk kesadaran kerja sama itu tidak harus jauh sebelumnya dilakukannya tindak pidana, jadi tidak perlu ada sebelumnya suatu perundingan untuk merencanakan tindak pidana. Kesadaran kerjasama itu dapat terjadi pada saat terjadinya peristiwa. b Kerja sama dalam tindak pidana harus secara fisik. Semua peserta dalam ikut serta harus bersama-sama secara fisik melakukan tindak pidana itu. Namun tidak perlu semua peserta memenuhi secara persis seperti apa yang termuat sebagai unsur 21 Moch. Anwar, Op.Cit, hal. 18. 22 Ibid. Universitas Sumatera Utara 30 tindak pidana. Dalam kasus diatas, kedua terdakwa tidak memenuhi unsur dalam ikut serta dalam tindak pidana medeplegen karena secara fisik kedua terdakwa tidak melakukan unsur tindak pidana. Kedua terdakwa hanya sebagai penghubung dan tidak memenuhi unsur tindak pidana secara fisik ikut dalam tindak pidana, dengan demikian unsur ini tidak terpenuhi. 23 Sehubungan dengan 2 dua syarat yang diberikan tersebut, maka arah kesengajaan bagi pembuat peserta medeplegen ditunjukan kepada dua hal yang tidak dapat dipisahkan, yaitu : a Kesengajaan yang ditujukan dalam hal kerjasama untuk mewujudkan tindak pidana, ialah berupa keinsyafankesadaran seseorang peserta terhadap peserta lainnya mengenai apa yang diperbuat oleh masing-masing dalam rangka mewujudkan tindak pidana yang sama-sama dikehendaki; b Kesengajaan yang ditunjukkan dalam hal mewujudkan perbuatannya menuju penyelesaian tindak pidana. Disini kesengajaan pembuat peserta adalah sama dengan kesengajaan pembuat pelaksana, ialah sama-sama ditujukan pada penyelesaian tindak pidana. 4 Mereka Yang Menggerakan Orang Lain Untuk Melakukan Tindak Pidana uitloken 23 Adami Chazawi, Bagian 3, Op.Cit. hal. 69. Universitas Sumatera Utara 31 Prof. Van Hamel merumuskan uitloken itu sebagai bentuk penyertaan atau ikut serta yaitu : “Kesengajaan menggerakkan orang lain yang dapat dipertanggungjawabkan pada dirinya sendiri untuk melakukan suatu tindak pidana dengan menggunakan cara-cara yang telah ditentukan oleh undang-undang, karena telah bergerak, orang tersebut kemudian telah dengan sengaja melakukan tindak pidana yang bersangkutan”. 24 Dari rumusan itu dapat diketahui bahwa antara menyuruh melakukan dengan menggerakkan orang lain itu terdapat persamaan yaitu orang yang menyuruh dan orang yang menggerakkan itu sama-sama tidak melakukan sendiri tindak pidana yang ditujunya, melainkan dengan perantaraan orang lain. Adapun perbedaan antara doen plegen dengan uitloken itu antara lain : a Orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana di dalam doen plegen itu harus merupakan orang yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, sedangkan orang yang telah digerakkan untuk melakukan suatu tindak pidana itu haruslah merupakan orang yang sama keadaannya dengan orang yang telah menggerakkan yaitu dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya; b Cara-cara yang dapat dipergunakan oleh seseorang yang telah menyuruh melakukan suatu tindak pidana dalam doen plegen 24 P.A.F. Lamintang : Op. Cit, hal. 606. Universitas Sumatera Utara 32 itu tidak ditentukan dalam Undang-undang, sedangkan cara- cara yang harus dipergunakan oleh seseorang yang telah menggerakkan orang lain dalam uitloken itu telah ditentukan secara limitative oleh Undang-undang. 25 Menurut Moch. Anwar, yang dimaksud dengan pembujukkan uitloken adalah : 26 a Setiap perbuatan menggerakkan atau membujuk orang lain untuk melakukan sesuatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan hukuman; b Dalam membujuk itu harus dipergunakan cara-cara atau daya upaya bagaimana disebutkan dalam Pasal 55 ayat 1 ke-2 Menurut Loebby Loqman, syarat penyertaan dalam bentuk menggerakkan ini adalah sebagai berikut : a Ada orang yang berkehendak melakukan suatu tindak pidana; b Orang tersebut tidak melakukannya sendiri; c Dengan suatu daya upaya yang telah ditentukan secara limitative dalam Undang-undang; d Menggerakkan orang lain untuk melaksanakan tindak pidana yang dikehendaki; e Orang yang digerakkan dalam melakukan tindak pidana adalah orang yang dapat dipertanggungjawabkan. 27 25 Ibid, hal. 607-608 26 Moch. Anwar, Op.Cit, hal. 32. Universitas Sumatera Utara 33

F. Metode Penelitian

1. Spesifikasi Penelitian Penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, penelitian normatif yaitu penelitian yang dilakukan untuk mendapatkan data-data sekunder dan bahan-bahan yang berhubungan dengan penelitian yang diperoleh dari berbagai sumber dengan melakukan pengumpulan data-data tertulis 28 yang berhubungan dengan pertanggungjawaban pidana peserta demonstrasi yang bersifat anarki di Pengadilan Negeri Medan. 2. Sumber Data Sumber data dari bahan skripsi ini diambil dari data sekunder. Yang dimaksud dengan data sekunder adalah : a. Bahan Hukum Primer, yaitu ketentuan-ketentuan hukum dalam peraturan perundang-undangan yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Bahan-bahan hukum primer dalam tulisan ini diantaranya adalah Kitab Undang-undang Hukum Pidana KUHP. b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa dan memahami bahan hukum primer. Bahan hukum primer ini merupakan informasi-informasi yang didapat dari majalah, koran, karya tulis ilmiah dan beberapa sumber dari internet yang berkaitan dengan persoalan di atas. 27 Loebby. Loqman, Op.Cit, hal. 71-72. 28 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Pers, Jakarta, 2006, hal 21. Universitas Sumatera Utara 34 c. Bahan Hukum Tertier, yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan informasi dari penjelasan mengenai bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder seperti kamus dan lain sebagainya. Adapun ciri-ciri umum dari data sekunder adalah sebagai berikut: a. Pada umumnya data sekunder dalam keadaan siap terbuat dan dapat dipergunakan dengan segera b. Baik bentuk maupun isi data sekunder, telah dibentuk dan diisi oleh peneliti-peneliti terdahulu, sehingga peneliti kemudian, tidak mempunyai pengawasan terhadap pengumpulan, pengelolaan, analisa maupun kontruksi data c. Tidak terbatas oleh waktu maupun tempat 29 3. Metode Pengumpulan data Studi kepustakaan dengan mempelajari berbagai literature dan buku-buku serta data-data dari Pengadilan Negeri Medan tentang pertanggungjawaban pidana peserta demonstrasi yang bersifat anarki. 4. Analisis data Data yang diperoleh dari kepustakaan, yaitu pengolahan data yang menghasilkan data deskriptif dan yang dinyatakan baik secara tertulis maupun lisan dan dari keseluruhan data yang diperoleh.

G. Sistematika Penulisan