22
Jadi, jika di media massa disebutkan istilah demontrasi anarkis, ini bermakna sebuah demontrasi yang dilakukan para anarkis atau para penganut
paham anarkisme sekali lagi, kata anarkis bukan kata sifat, tetapi kata benda. Jika yang dimaksudkan oleh beberapa media massa adalah demontrasi yang
bersifat anarki, maka seharusnya kata yang digunakan adalah anarkistik kata sifat.
4. Tinjuan Penyertaan Deelneming
a. Pengertian Penyertaan Deelneming
Penyertaan Deelneming diatur dalam buku kesatuan tentang aturan umum, Bab V Pasal 55-62 KUHP. Makna dari istilah ini adalah bahwa ada dua
orang atau lebih yang melakukan suatu tindak pidana atau dengan kata lain adalah bahwa ada dua orang atau lebih yang mengambil bahagian untuk mewujudkan
tindak pidana.
12
Menurut Van Hamel dalam Moch. Anwar, penyertaan adalah ajaran pertanggungjawaban atau pembagian pertanggungjawaban dalam hal suatu
tindak pidana yang menurut pengertian perundang-undangan, dapat dilaksanakan oleh seorang pelaku dengan tindakan secara sendiri.
13
Pokok persoalan pada penyertaan adalah bagaimana hubungan antara peserta-peserta itu. Dalam hal ini harus dibedakan hubungan antara seseorang
12
E Y Kanter, S R Sianturi SH, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerapan, Storya Grafika, Jakarta, 2002, hal. 336.
13
Moch. Anwar, Beberapa Ketentuan Umum Dalam Buku Pertama KUHP, Alumni, Bandung, 1982, hal. 3.
Universitas Sumatera Utara
23
menyuruh terhadap yang disuruh, dengan hubungan yang menggerakan terhadap yang digerakkan, hubungan antara seseorang dengan orang lain yang melakukan
suatu tindak pidana. Pengertian turut serta dalam melakukan peristiwa pidana delik, seiring
pembuat pleger dibantu oleh seorang lain dan justru karena turut sertanya orang lain ini, yang menurut kata POMPE
14
“bijdragebaan het sraftbare feit, voorzover zij niet bestaan in het plegen”. Memberi bantuan tetapi tidak membuat, maka
peristiwa pidana itu mungkin dilakukan. Sehubungan dengan ini, UTRECHT
15
mengatakan bahwa “Pelajaran umum turut serta ini dibuat untuk menghukum mereka yang bukan melakukan
atau bukan pembuat. Pelajaran umum turut serta ini justru tidak dibuat untuk menghukum orang-orang yang perbuatannya memuat semua anasir-anasir
peristiwa pidana yang bersangkutan. Pelajaran ini justru dibuat untuk menuntut pertanggungjawaban mereka yamg memungkinkan Pembuat melakukan peristiwa
pidana, biarpun pembuat mereka itu sendiri tidak memuat semua anasir-anasir peristiwa pidana tersebut. Sekalipun mereka bukan Pembuat yaitu perbuatan
mereka tidak memuat semua anasir-anasir peristiwa pidana, mereka masih juga dapat dituntut pertanggungjawaban atas dilakukannya peristiwa pidana itu.
Karena tanpa turut sertanya mereka sudah tentu peristiwa pidana itu tidak pernah terjadi. Inilah rasio Pasal 55 KUHPidana.
14
Ibid.
15
Utrecht. E, Hukum Pidana I, Universitas Bandung, 1968, hal. 5.
Universitas Sumatera Utara
24
b. Bentuk-bentuk Penyertaan Deelneming
1 Mereka Yang Melakukan Tindak Pidana Plegen
Siapakah yang dimaksud dengan mereka yang melakukan atau dengan syarat-syarat apa seseorang yang terlibat dalam tindak pidana
disebut dengan orang yang melakukan atau pembuat pelaksana pleger. Dalam tindak pidana formil, pembuat pelaksanaannya pleger
adalah orang yang melakukan dan menyelesaikan perbuatan terlarang yang sesuai dengan rumusan delik, sedangkan pada tindak pidana materiil,
pleger adalah orang yang dengan perbuatannya tersebut telah menimbulkan akibat yang dilarang oleh Undang-undang.
16
Menurut Simons
17
dalam buku Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia bahwa maksud kalimat mereka yang melakukan suatu tindakan
adalah petindak tunggal. Penggunaan kata jamak oleh para penganut ajaran yang menafsirkan sebagai petindak tunggal, adalah mengatakan
sesuai dengan bahasa sehari-hari dimana sering dikatakan petindak- petindak.
Pada kenyataannya untuk menentukan orang pembuat tunggal, tidaklah terlalu sulit. Kriterianya cukup jelas, yaiutu secara umum ialah
perbuatannya telah memenuhi semua unsur tindak pidana. Bagi tindak pidana formil, wujud perbuatannya adalah sama dengan perbuatan apa
16
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 3 Percobaan dan Penyertaan, Raja Grafindo, Jakarta, 2002, hal 63.
17
P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1984, hal 583.
Universitas Sumatera Utara
25
yang dicantumkan dalam rumusan tindak pidana. Sedangkan dalam tindak pidana materil perbuatan apa yang dilakukannya telah menimbulkan akibat
yang dilarang oleh Undang-undang. Tetapi apabila ada orang lain yang ikut terlibat serta ke dalam
tindak pidana, baik secara fisik maupun psikis, apakah syarat dari seorang dader harus juga menjadi syarat seorang pleger. Oleh karena seorang
pleger itu adalah orang yang karena perbuatannyalah yang melahirkan tindak pidana itu, tanpa ada perbuatan pembuat pelaksanaan ini tindak
pidana itu tidak akan terwujud, maka dari sudut ini syarat seorang pleger harus sama dengan syarat seorang dader .
Perbedaan pleger dengan dader adalah, bagi seorang pleger masih diperlukan keterlibatan minimal seorang lainnya, baik secara psikis,
misalnya terlibat dengan seorang pembuat penganjur misalnya dengan pembuat peserta atau pembuat pembantu. Jadi, seorang pleger diperlukan
keterlibatan peserta lain dalam mewujudkan tindak pidana. Tetapi keterlibatan peserta lain ini, haruslah sedemikian rupa sehingga
keterlibatan itu tidak semata-mata menentukan untuk terwujudnya tindak pidana yang dituju.
2 Mereka Yang Menyuruh Melakukan Orang Lain Untuk Melakukan
Tindak Pidana Doen Plegen Undang-undang tidak menerangkan tentang siapa yang dimaksud
yang menyuruh melakukan itu. Dalam mencari pengertian dan syarat dari
Universitas Sumatera Utara
26
orang yang menyuruh melakukan doen plegen, banyak ahli hukum merujuk pada keterangan yang ada di dalam MvT WvS Belanda, yang
menyatakan bahwa “Yang menyuruh melakukan adalah juga dia yang melakukan tindak pidana akan tetapi tidak secara pribadi, melainkan
dengan perantara orang lain sebagai alat dalam tangannya, apabila orang lain itu berbuat tanpa kesengajaan, kealpaan atau tanpa tanggung jawab
karena keadaan yang tidak diketahui, disesatkan atau tinjuk pada kekerasan.
18
Dari keterangan MvT itu dapat ditarik unsur-unsur dari bentuk pembuat penyuruh, yaitu :
a Melakukan tindak pidana denga perantara orang lain sebagai
alat di dalam tangannya. b
Orang lain itu berbuat tanpa kesengajaan, tanpa kealpaan, tanpa tanggungjawab, oleh sebab keadaan :
1 Yang tidak diketahuinya
2 Karena disesatkan ; dan
3 Karena tunduk pada kekerasan.
Berdasarkan MvT tersebut, maka dapatlah disimpulkan bahwa penentuan bentuk pembuat penyuruh lebih di tekankan pada ukuran
objektif, ialah kenyataan tindak pidana itu dilakukan oleh orang lain yang ada dalam kekuasaannya sebagai alat, yang di buat tanpa kesalahan dan
18
Hanindyopoetra dan Naryono Artodibyo Hukum Pidana II Penyertaan, FHPM Universitas Brawijaya, Malang, 1975, hal. 33.
Universitas Sumatera Utara
27
tanpa tanggungjawab. Walaupun sesungguhnya juga tetap memperhatikan hal-hal yang ternyata subyektif, yakni dalam hal tidak
dipidananyapembuat materiilnya orang yang disuruh melakukan karena dia berbuat tanpa kesalahan, dan dalam hal tidak dipertanggungjawabkan
karena keadaan batin orang yang dipakai sebagai alat itu, yakni tidak tahu dan tersesatkan, sesuatu yang subyektif. Sedangkan alasan karena tunduk
pada kekerasan adalah bersifat objektif. Dalam penyertaan berbentuk menyuruh melakukan ini terdapat
seseorang yang ingin melakukan suatu tindak pidana, akan tetapi dia tidak melakukannya sendiri. Dia menyuruh orang lain untuk melaksanakannya.
Syarat yang terpenting dalam bentuk menyuruh melakukan adalah orang yang disuruh tersebut merupakan orang yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan. Jika diperinci syarat-syarat bentuk penyertaan menyuruh melakukan adalah sebagai berikut :
19
a Ada orang yang berkehendak melakukan tindak pidana;
b Orang tersebut tidak melakukannya sendiri;
c Menyuruh orang lain untuk melakukan;
d Orang yang disuruh adalah orang yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan. Menurut Loebby Loqman, siapa saja orang-orang yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan itu harus kembali kepada masalah hal-hal yang
19
Loebby Loqman, Percobaan,Penyertaan dan Gabungan Tindak Pidana, Universitas Tarumanegara,Jakarta, 1996 hal 60.
Universitas Sumatera Utara
28
meniadakan pidana seperti yang diatur di dalam KUHP, yaitu sebagai berikut :
20
a Mereka yang termasuk dalam kategori Pasal 44 KUHP,
yaitu mereka yang jiwanya tidak tumbuh dengan sempurna dan jiwanya dipengaruhi oleh penyakit.
b Demikian pula jika menyuruh seorang anak yang belum
mampu bertanggungjawab untuk melakukan tindak pidana. c
Orang yang disuruh melakukan plegen, melakukan perbuatan itu karena terpaksa oleh kekuasaan yang tidak dapat
dihindarkan overmacht seperti diatur dalam Pasal 48 KUHP. d
Menyuruh melakukan dengan penyesatan dalam kaitannya dengan Pasal 50 maupun KUHP, yaitu orang yang disuruh
melakukan suatu perbuatan telah melakukan perbuatan tersebut untuk melaksanakan pemukulan itu secara pisik.
e Orang yang disuruh melakukan suatu perbuatan telah
melakukan perbuatan tersebut karena adanya kesalahpahaman. Bentuk menyuruh melakukan dapat pula terjadi karena orang yang
disuruh itu tidak mempunyai kesengajaan. 3
Mereka Yang Ikut Serta Dalam Suatu Tindak Pidana Medeplegen Menurut MvT pelaku peserta medeplegen adalah orang yang
langsung mengambil bagian dalam pelaksanaan perbuatan yang oleh Undang-undang dilarang dan diancam dengan hukuman atau melakukan
20
Ibid, hal. 64-66.
Universitas Sumatera Utara
29
perbuatan-perbuatan atau salah satu perbuatan yang merupakan bagian dari sesuatu tindak pidana.
21
Berdasarkan kepada laporan tentang pembentukan Pasal 55 KUHP lebih tegas lagi dijelaskan, bahwa perbuatan ikut serta adalah penyertaan
pada perbuatan-perbuatan yang merupakan unsur-unsur konstitutif dari suatu kejahatan. Unsur-unsur konstitutif dari suatu kejahatan tidak selalu
hanya terdiri atas perbuatan, tetapi kadang-kadang juga atas suatu keadaan.
22
Syarat yang diperlakukan agar dapat dikatakan telah terjadi suatu medeplegen adalah :
a Harus ada kesadaran kerja sama dari setiap peserta, para
peserta menyadari akan dilakukannya suatu tindak pidana. Mereka sadar bahwa mereka bersama-sama akan melakukan
tindak pidana. Dalam membentuk kesadaran kerja sama itu tidak harus jauh sebelumnya dilakukannya tindak pidana, jadi
tidak perlu ada sebelumnya suatu perundingan untuk merencanakan tindak pidana. Kesadaran kerjasama itu dapat
terjadi pada saat terjadinya peristiwa. b
Kerja sama dalam tindak pidana harus secara fisik. Semua peserta dalam ikut serta harus bersama-sama secara fisik
melakukan tindak pidana itu. Namun tidak perlu semua peserta memenuhi secara persis seperti apa yang termuat sebagai unsur
21
Moch. Anwar, Op.Cit, hal. 18.
22
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
30
tindak pidana. Dalam kasus diatas, kedua terdakwa tidak memenuhi unsur dalam ikut serta dalam tindak pidana
medeplegen karena secara fisik kedua terdakwa tidak melakukan unsur tindak pidana. Kedua terdakwa hanya sebagai
penghubung dan tidak memenuhi unsur tindak pidana secara fisik ikut dalam tindak pidana, dengan demikian unsur ini
tidak terpenuhi.
23
Sehubungan dengan 2 dua syarat yang diberikan tersebut, maka arah kesengajaan bagi pembuat peserta medeplegen ditunjukan
kepada dua hal yang tidak dapat dipisahkan, yaitu : a
Kesengajaan yang ditujukan dalam hal kerjasama untuk mewujudkan tindak pidana, ialah berupa keinsyafankesadaran
seseorang peserta terhadap peserta lainnya mengenai apa yang diperbuat oleh masing-masing dalam rangka mewujudkan
tindak pidana yang sama-sama dikehendaki; b
Kesengajaan yang ditunjukkan dalam hal mewujudkan perbuatannya menuju penyelesaian tindak pidana. Disini
kesengajaan pembuat peserta adalah sama dengan kesengajaan pembuat pelaksana, ialah sama-sama ditujukan pada
penyelesaian tindak pidana. 4
Mereka Yang Menggerakan Orang Lain Untuk Melakukan Tindak Pidana uitloken
23
Adami Chazawi, Bagian 3, Op.Cit. hal. 69.
Universitas Sumatera Utara
31
Prof. Van Hamel merumuskan uitloken itu sebagai bentuk penyertaan atau ikut serta yaitu :
“Kesengajaan menggerakkan orang lain yang dapat dipertanggungjawabkan pada dirinya sendiri untuk melakukan
suatu tindak pidana dengan menggunakan cara-cara yang telah ditentukan oleh undang-undang, karena telah bergerak, orang
tersebut kemudian telah dengan sengaja melakukan tindak pidana yang bersangkutan”.
24
Dari rumusan itu dapat diketahui bahwa antara menyuruh melakukan dengan menggerakkan orang lain itu terdapat persamaan yaitu
orang yang menyuruh dan orang yang menggerakkan itu sama-sama tidak melakukan sendiri tindak pidana yang ditujunya, melainkan dengan
perantaraan orang lain. Adapun perbedaan antara doen plegen dengan uitloken itu antara lain :
a Orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana di dalam
doen plegen itu harus merupakan orang yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, sedangkan orang yang telah
digerakkan untuk melakukan suatu tindak pidana itu haruslah merupakan orang yang sama keadaannya dengan orang yang
telah menggerakkan yaitu dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya;
b Cara-cara yang dapat dipergunakan oleh seseorang yang telah
menyuruh melakukan suatu tindak pidana dalam doen plegen
24
P.A.F. Lamintang : Op. Cit, hal. 606.
Universitas Sumatera Utara
32
itu tidak ditentukan dalam Undang-undang, sedangkan cara- cara yang harus dipergunakan oleh seseorang yang telah
menggerakkan orang lain dalam uitloken itu telah ditentukan secara limitative oleh Undang-undang.
25
Menurut Moch. Anwar, yang dimaksud dengan pembujukkan uitloken adalah :
26
a Setiap perbuatan menggerakkan atau membujuk orang lain
untuk melakukan sesuatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan hukuman;
b Dalam membujuk itu harus dipergunakan cara-cara atau daya
upaya bagaimana disebutkan dalam Pasal 55 ayat 1 ke-2 Menurut Loebby Loqman, syarat penyertaan dalam bentuk
menggerakkan ini adalah sebagai berikut : a
Ada orang yang berkehendak melakukan suatu tindak pidana; b
Orang tersebut tidak melakukannya sendiri; c
Dengan suatu daya upaya yang telah ditentukan secara limitative dalam Undang-undang;
d Menggerakkan orang lain untuk melaksanakan tindak pidana
yang dikehendaki; e
Orang yang digerakkan dalam melakukan tindak pidana adalah orang yang dapat dipertanggungjawabkan.
27
25
Ibid, hal. 607-608
26
Moch. Anwar, Op.Cit, hal. 32.
Universitas Sumatera Utara
33
F. Metode Penelitian