deregulasi yang memudahkan pemain baru masuk dalam industri hanya dengan dua pesawat saja.
Pada tahun 2014 diharapkan Garuda Indonesia sudah dapat mencapai semua sasaran strategisnya sebagaimana tertuang dalam ‘Garuda Indonesia
Quantum Leap 2014’. Setelah itu industri penerbangan komersial diharapkan sudah memasuki masa transisi untuk memasuki era ke-empat. Era yang lebih
kompetitif ini dapat disebut sebagai Hyper-Competition Era yang ditandai dengan efektifnya Open Sky Policy di wilayah ASEAN yang rencananya diberlakukan
pada tahun 2015 dan akan menjadi kawasan ASEAN sebagai single market yang sebenarnya bagi industri penerbangan komersial.
B. Faktor-faktor Penghambat realisasi tanggung jawab PT.Garuda
Indonesia terhadap penumpang dan barang dalam penerbangan domestik
Dalam merealisasikan tanggung jawabnya, PT. Garuda Indonesia tidak selalu
berjalan lancar. Ada beberapa faktor-faktor yang menjadi penghambat dalam merealisasikan pertanggung jawaban yaitu prosedur yang tidak dimengerti oleh
penumpang, Warga Negara Asing yang melakukuan perjalanan domestik, penumpang yang menggunakan tiket atas nama atau milik orang lain, serta ahli
waris dari korban meninggal.
30
1. Prosedur yang tidak dimengerti oleh penumpang
Faktor-faktor tersebut antara lain akan dijelaskan dari data yang penulis dapatkan dari PT. Garuda Indonesia, faktor penghambat
dalam realisasi pertanggung jawaban terhadap penumpang dan barang yaitu antara lain :
PT. Garuda Indonesia sebelum melakukan pertanggung jawaban kepada penumpang akibat kecelakaan ataupun kehilangan barang bawaan atau barang
30
Wawancara dengan bapak Fritz Partogi P.Hutapea, cargo sales supervisor,
tanggal 9 juni 2010.
bagasi penumpang akibat kelalaian dari pihak maskapai penerbangan biasanya maskapai penerbangan selalu menerapkan beberapa prosedur yang harus
dilengkapi oleh pihak penumpang seperti mengisi formulir pernyataan kehilangan barang serta menyertakan karcis bagasi penumpang.
Bagi beberapa penumpang hal seperti ini dirasakan sebagai alat untuk mempersulit penumpang pesawat udara, karena mereka menganggap prosedur-
prosedur dari PT. Garuda indonesia yang harus dilengkapi ini sebagai alat penghalang untuk mendapatkan ganti rugi atas klaim yang mereka ajukan kepada
maskapai penerbangan dan juga dirasakan oleh penumpang untuk mengulur waktu pertanggung jawaban kepada penumpang pesawat udara.
2.
Ahli waris dari penumpang yang meninggal akibat kecelakaan Hambatan yang kadang terjadi dalam perwujudan realisasi tanggung jawab
PT. Garuda Indonesia terhadap penumpang yaitu dari segi ahli waris. Ahli waris dalam hal ini adalah ahli waris dari penumpang yang meninggal akibat kecelakaan
penerbangan. Beberapa ahli waris dari keluarga penumpang yang meninggal berselisih menginginkan dan merasa berhak atas ganti kerugian yang diberikan
PT. Garuda Indonesia. Adanya hal tersebut maka akan menghambat dalam pemberian uang ganti rugi atas penumpang yang meninggal, karena belum adanya
kepastian kepada ahli waris yang mana ganti rugi tersebut akan diberikan. Dalam masalah ahli waris dari penumpang yang meninggal ini, maka solusi
yang diambil oleh PT. Garuda Indonesia adalah akan diusahakan perdamaian antara ahli waris, apabila perdamaian tidak tercapai maka pihak PT. Garuda
Indonesia akan memintakan fatwa waris dari pengadilan, yaitu yang berisi tentang siapa ahli waris yang berhak menerima ganti kerugian. Surat tersebut harus
ditandatangani dan disetujui oleh pihak keluarga. Untuk yang beragama Islam dimintakan ke Pengadilan Agama, sedangkan untuk yang beragama lain
dimintakan ke Pengadilan Negeri setempat. Setelah dikeluarkannya fatwa waris dari pengadilan yang terkait, maka pemberian ganti rugi baru akan dilakukan.
3. Warga negara asing yang melakukan penerbangan domestik
Warga negara asing yang melakukan penerbangan domestik juga sering
menjadi hambatan dalam realisasi tanggung jawab PT. Garuda Indonesia. Hal ini disebabkan karena apabila terjadi kecelakaan atau kerugian yang disebabkan
karena kesalahan pengangkut, ganti rugi yang diberikan jumlahnya kecil atau tidak sebesar ketentuan ganti kerugian yang diterapkan di negaranya.
Dalam hal ini maka ganti rugi yang diberikan tetap berdasarkan hukum nasional yaitu Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1992, karena penerbangan
yang dilakukan oleh warga negara asing tersebut adalah penerbangan domestik. Dengan masalah ganti rugi tersebut kadang warga negara asing ada yang
mengajukan klaim di negaranya, yaitu mengajukan kasus tersebut ke pengadilan di negaranya. Apabila warga negara asing ada yang mengajukan klaim di
negaranya, maka kasus ini akan diselesaikan melalui pengadilan. 4.
Penumpang yang menggunakan tiket atas nama atau milik orang lain Pada saat tidak terjadi kecelakaan pada pesawat yang ditumpangi oleh
penumpang yang menggunakan tiket orang lain tidak akan menjadi permasalahan karena penumpang sampai ke tujuan dengan selamat akan tetapi apabila saat
terjadi kecelakaan pesawat apabila ditemukan penumpang yang menggunakan tiket atas nama atau milik orang lain, maka hal ini dapat menghambat dalam
realisasi tanggung jawab pengangkut udara apabila penumpang tersebut mengalami kerugian ysng diakibatkan oleh pihak maskapai penerbangan.
Dalam kejadian ini PT. Garuda Indonesia akan melakukan pengecekan identitas penumpang dengan tiket penerbangan yang digunakan, apabila terbukti
penumpang tersebut menggunakan tiket atas namamilik orang lain maka pihak asuransi tidak akan memberikan ganti rugi. Ganti rugi akan diberikan hanya untuk
penumpang yang identitasnya sama dengan yang tertera di dalam tiket. Pada prinsipnya, penumpang yang diasuransikan oleh PT. Garuda Indonesia adalah
yang namanya tercantum di tiket. Apabila tiket dipakai oleh orang lain, maka
perusahaan asuransi tidak akan memberikan ganti rugi. Hal itu merupakan resiko penumpang yang menggunakan tiket atas namamilik orang lain.
Berbagai macam persoalan maskapai yang selama ini terjadi akan diminimalisasi oleh pemerintah. Departemen Perhubungan sebagai regulator
penerbangan membuat aturan baru mengenai penyelenggaraan angkutan udara. Peraturan tersebut itu adalah Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM 25
Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Angkutan Udara. Aturan baru ini mengganti aturan lama, yaitu Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 81 Tahun 2004. Dari
peeraturan ini banyak maskapai yang menggunakan peraturan ini sebagai landasan hukum mereka dalam menerapkan pelayanan maskapai penerbangan.
Sebelum dikeluarkannya Peraturan Menteri Perhubungan KM nomor 25 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Angkutan Udara masalah mengenai
pertanggung jawaban mengenai keterlambatan pesawat kepada penumpang banyak mengalami hambatan sebab tidak adanya aturan yang mengatur mengenai
pertanggung jawaban maskapai kepada penumpang maskapai penerbangan apabila terjadi keterlambatan sehingga sulit bagi penumpang untuk meminta
pertanggung jawaban dari pihak maskapai karena maskapai tidak terikat dengan aturan yang mengatur mengenai biaya keterlambatan kepada penumpang.
Dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Perhubungan KM nomor 25 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Angkutan Udara maka maskapai penerbangan
akan lebih berhati-hati dalam mengatur jadwal penerbangan guna untuk meminimalisir keteerlambatan pesawat mereka serta mengurangi biaya anggaran
pertanggung jawaban mereka akibat keterlambatan pesawat. Untuk pertanggung jawaban keterlambatan menurut KM nomor 25 Tahun
2008 tentang Penyelenggaraan Angkutan Udara sudah mengatur dengan sangat jelas yaitu apabila terjadi keterlambatan 30 menit sampai dengan 90 menit,
maskapai wajib memberikan makanan dan minuman ringan. Untuk keterlambatan 90 menit hingga 180 menit, kompensasinya makan besar, kudapan, dan
memindahkan penumpang ke penerbangan berikutnya bila diminta.Sedangkan jika delay di atas 180 menit, maskapai wajib memberikan fasilitas akomodasi
hingga penumpang diangkut penerbangan pada hari berikutnya. Untuk pembatalan penerbangan karena kesalahan pihak maskapai, penumpang dimungkinkan
mengambil akomodasi hingga hari berikutnya atau meminta kembali biaya tiket secara penuh refund mengenai peraturan ini penyedia jasa angkutan udara tidak
mengalami masalah sedikitpun karena seduh diatur dengan jelas. Aturan itu sifatnya mengikat, meski tak disertai sanksi. Konsumen bisa
menjadikan aturan itu sebagai landasan hukum untuk meminta tanggung jawab maskapai atau melakukan gugatan kerugian. Namun kompensasi yang dimaksud
tidak bisa diajukan apabila delay pesawat akibat keadaan eksternal, seperti banjir atau ada masalah pada landasan pacu.
C. Realisasi pertanggung jawaban PT.Garauda Indonesia terhadap