terkait. Peranan utama dari pengangkutan udara adalah melayani kebutuhan perhubungan nasional dan internasional dan menyediakan fasilitas transit
penumpang untuk tempat tujuan tertentu. Sedangkan sifat dari pengangkutan itu ada tiga yaitu perjanjian pengangkutan
bersifat pelayanan berkala, perjanjian pengangkutan itu bersifat pemborongan 1608 BW sifat hukum perjanjian pengangkutan adalah merupakan perjanjian
pencampuran dari pihak satu dan dua 648 KUHD.
B. Regulasi pengangkutan orang dan barang sebelum reformasi
Regulasi pengangkutan udara sebelum reformasi lebih banyak diatur dalam ordonansi pengangkutan udara baik dari segi tanggung jawab pengankutan udara
dan pengaturan-pengaturan lainnya. Pengaturan mengenai penerbangan sebelum reformasi masih ada sejumlah
masalah yang terjadi seperti mengenai tanggung jawab misalnya yang masih diatur dalam ordonansi yang dibuat dalam tahun 1939 yaitu ordonansi
pengangkutan udara Stb. 1939 No.100 yang didalamnya bukanlah materi angkutan udara secara keseluruhan. Hal ini dapat dimengerti kalau kita lihat
bahwa ordonansi tersebut merupakan suatu terjemahan dari konvensi warsawa tahun 1929, yang berjudul “ konvensi untuk menyeragamkan beberapa ketentuan
pada angkutan udara nasional”. Jelaslah yang diatur dalam konvensi warsawa hanya beberapa ketentuan
khususnya saja mengenai tanggung jawab pengangkut udara dan dokumen angkutan udara. Sehingga mungkin akan lebih tepat apabila konvensi tersebut
dinamai “tanggung jawab pengangkutan udara internasional”. Meskipun dalam ordonansi pengangkutan udara telah ditambahkan bebrapa ketentuan khusus
Universitas Sumatera Utara
mengenai angkutan barang, dilihat dari segi sistematiknya pencangkokan ini kelihatan janggal.
11
a. Adanya kecelakaan yang terjadi,
Pasal pokok dari Ordonansi Pengangkutan Udara mengenai tanggung jawab pengangkutan udara dalarn hal pengangkutan penumpang adalah pasal 24 ayat 1
yang berbunyi : “Pengangkut bertanggung jawab untuk kerugian sebagai akibat dari luka-luka
atau jelas-jelas lain pada tubuh yang diderita oleh penumpang, bila kecelakaan yang menimbulkan kerugian itu ada hubungannya, dengan pengangkutan udara
dan terjadi di atas pesawat terbang atau selama melakukan suatu tindakan dalam hubungan dengan naik ke atau turun dari pesawat terbang”.
Dan pasal tersebut ternyata bahwa pengangkut udara dianggap selalu bertanggung jawab, asal dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam pasal itu,
syarat-syarat itu adalah sebagai berikut :
b. Kecelakaan ini harus ada hubungannya dengan pengangkutan udara,
c. Kecelakaan ini harus terjadi di atas pesawat terbang atau selama melakukan
suatu tindakan yang berhubungan dengan naik ke atau turun dari pesawat terbang.
Sedangkan prinsip-prinsip tanggung jawab khususnya untuk penumpang yang dapat disimpulkan dari ketentuan-ketentuan dalam Konvensi Warsawa dan dalam
Ordonansi Pengangkutan Udara adalah : a.
Prinsip Presumption of Liability Bahwa seseorang pengangkut dianggap perlu bertanggung jawab untuk
kerugian yang ditimbulkan pada penumpang, barang atau bagasi dan pengangkut
11
Prof.E.Suherman,SH.2000, Aneka Masakah Hukum Kedirgantaraanhimpinan makalah 1961- 1995,jakarta,mandar maju, hal:155
Universitas Sumatera Utara
udara tidak bertanggung jawab hanya bila ia dapat membuktikan bahwa ia tidak mungkin dapat menghindarkan kerugian itu.
Jadi para pihak yang dirugikan tidak usah membuktikan adanya kesalahan dan pihak pengangkut. Prinsip ini dapat disimpulkan dan pasal 29 ayat 1 Ordonansi
Pengangkutan Udara yang berbunyi : “Pengangkut tidak bertanggung jawab untuk kerugian bila ia membuktikan
bahwa ia dan semua orang yang dipekerjakan itu, telah mengambil semua tindakan yang diperlukan untuk menghindarkan kerugian atau bahwa tidak
mungkin bagi mereka untuk mengambil tindakan-tindakan itu” Prinsip ini oleh pihak pengangkut dirasakan terlalu berat, sebab pihak
pengangkut seolah-olah harus atau selalu bertanggung jawab apabila teradi kerugian pada penumpang.
b. Prinsip Limitation of Liability
Bahwa setiap pengangkut dianggap selalu bertanggung jawab, namun bertanggung jawab itu terbatas sampai jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan
yang telah Jiatur dalam Ordonansi Pengangkutan, Udara maupun Konvensi Warsawa. Pembatasan tanggung jawab pengangkut udara dalam ordonansi
dimaksudkan pembatasan dalam jumlah ganti rugi yang akan dibayarkan. Ordonansi Pengangkutan Udara, pasal yang mengatur pembatasan tanggung
jawab untuk penumpang adalah pusal 30 ayat 1, yaitu : “Pada pengangkutan penumpang, tanggung jawab pengangkut terhadap fiap–
tiap penumpang atau terhadap keluarganya yang, disebutkan dalam pasal 24 ayat 2 bersama-sama dibatasi sampai jumlah dua belas ribu lima ratus Rp. 12.500,-
. Jika ganti kerugian ditetapkan sebagai suatu bunga, maka jumlah uang pokok
,
yang dibungakan tidak boleh melebihi jumlah di alas”.
Universitas Sumatera Utara
Dari dua prinsip pokok tersebut di atas ada dua penyimpangan yaitu: Pengangkutan bertanggung jawab sampai jumlah yang dituntut tadi tidak terikat
pada batas maksimum yang ditentukan, apabila ada kesalahan berat dari pengangkut dan ada perubahan sengaja dari pengangkut untuk menimbulkan
kerugian. Pengangkutan bebas sama sekali dari tanggung jawabnya. apabila Pengangkut
telah mengambil semua tindakan yang diperlukan untuk menghindarkan kerugian yang timbul. Pengangkut tidak mungkin mengambil tindakan yang disebut diatas.
Kerugian timbul karena kesalahan pada pengemudian, handling pesawat atau navigasi dan semua tindakan yang perlu untuk mencegah timbulnya kerugian.
Selain itu dalam ordonansi juga mengatur mengenai pembatasan tanggung jawab pengangkut diatur dalam pasal 24 ayat 2, pasal 28, pasal 29 ayat 1 dan
pasal 33 Ordonansi Pengangkutan Udara. Pasal 30 merupakan pembatasan tanggung jawab yaitu banwa tanggung jawab pengangkut udara dibatasi sampai
jumlah Rp.12.500,- per penumpang. Pasal 24 merupakan pembatasan siapa-siapa saja yang berhak menerima ganti rugi, yang dalam hal ini adalah :
“Suamiistri dari penumpang yang tewas,Anak atau anak-anaknya dari si mati Orang tua dari si mati”.
Pasal 28 menentukan bahwa pengangkut udara tidak bertanggung jawab dalam hal kelambatan, pasal ini berbunyi :
“Jika tidak ada persetujuan ijin, maka pengangkut bertanggung jawab untuk kerugian yang timbul karena kelambatan dalam pengangkutan penumpang,
bagasi dan barang”. Satu pasal lain mengenai pembatasan tanggung jawab pihak pengangkut
adalah pasal 33, dimana pasal tersebut menentukan gugatan mengenai tanggung jawab atas dasar apapun juga hanya dapat diajukan dengan syarat-syarat dan
batas-batas seperti yang dimaksudkan dalam peraturan ini.
Universitas Sumatera Utara
Dengan terbatasnya gugatan mengenai tanggung jawab dari pihak pengangkut, maka terbatas pula tanggung jawab pihak pengangkut. Pembebasan Tanggung
Jawab Pengangkut Dalam Ordonansi Pengangkutan Udara yang memuat ketentuan mengenai pembebasan adalah pasal 1 ayat 1, pasal 29 avat 1 dan
pasal 36. Pasal 36 menemukan bahwa pengangkut bebas dari tanggungjawabnya dalam hal setelah dua tahun penumpang yang menderita kerugian tidak
mengajukan tuntutannya. Pasal 36 berbunyi : “Gugatan mengenai tanggung jawab pengangkut harus diajukan dalam jangka
waktu dua tahun terakhir mulai saat tibanya di tempat tujuan, atau mulai dari pesawat Udara seharusnya tiba, atau mulai pengangkutan Udara diputuskan jika
tidak ada hak untuk menuntut dihapus”. Selain itu ada hal-hal yang membuat pengangkut tidak bertanggung jawab
apabila timbul suatu keadaan yang sama sekali tidak diduga sebelumnya, contohnya adalah sebagai berikut : bahaya perang, sabotase, kebakaran,
kerusuhan, kekacauan dalam negeri. Namun demikian masih banyak permasalahan dari undang-undang tersebut
yang apabila kita perhatikan Bab X tentang Angkutan Udara terdapat ketentuan- ketentuan yang mengatur secara rinci tentang hal-hal yang seharusnya diatur
dalam peraturan perundang-undangan tersendiri, sebagaimana diatur dalam Ordonansi Pengangkutan Udara No. 100 Tahun 1929, yang kemudian dicabut dan
diganti dengan Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1995 . Ketentuan-ketentuan tersebut berisi materi-materi yang bersifat khusus dan teknis dari masalah
pengangkutan udara yang bersifat hukum perdata, karena itu tidak seharusnya diatur dalam undang-undang tentang penerbangan yang bersifat umum dan lebih
bersifat hukum publik. Oleh karena itu, hal-hal demikian diatur tersendiri seperti dalam Ordonansi Pengangkutan Udara untuk lingkup nasional dan dalam
Konvensi Warsawa untuk lingkup internasional.
Universitas Sumatera Utara
Selain ordonansi dan konvensi-konvensi, regulasi sebelum roformasi juga ada undang-undang dalam negeri yang baru diterbitkan pada saat itu yaitu Undang-
Undang No.15 Tahun 1992 Tentang Penerbangan merupakan pengganti dari Undang-Undang No. 83 Tahun 1958 Tentang Penerbangan , yaitu undang-undang
yang mengatur berbagai hal yang berkaitan dengan dunia penerbangan secara umum dan bersifat hukum publik publiekrechtelijke. Undang-undang tersebut
menjadi payung unbrela provisionact bagi berbagai peraturan perundang- undangan organik yang mengatur secara rinci tentang hal-hal yang yang berkaitan
dengan penerbangan secara khusus. Dalam Pasal 74 butir a Undang-Undang Penerbangan ini disebutkan bahwa Ordonansi Pengangkutan Udara dinyatakan
tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang No. 15 Tahun 1992 ini atau belum diganti dengan Undang-Undang yang baru.
Sesuai dengan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang penerbangan bertujuan terselenggaranya penerbangan adalah untuk mewujudkan
penyelenggaraan penerbangan yang selamat, aman, cepat, lancar, tertib dan teratur, nyaman dan berdaya guna, dengan biaya yang terjangkau oleh daya beli
masyarakat dengan mengutamakan dan melindungi penerbangan nasional, menunjang pemerataan, pertumbuhan dan stabilitas, sebagai pendorong,
penggerak, dan penunjang pembangunan nasional serta mempererat hubungan antar bangsa.
Dalam undang-undang No.15 tahun 1995 tentang penerbangan Pasal 43 mengantur mengenai tanggung jawab sebagai penyedia jasa angkutan yang
berbunyi: 1 Perusahaan angkutan udara yang melakukan kegiatan angkutan udara niaga
bertanggung jawab atas; 1.
kematian atau lukanya penumpang yang diangkut; 2.
musnah, hilang atau rusaknya barang yang diangkut; 3.
keterlambatan angkutan penumpang danatau barang yang diangkut apabila terbukti hal tersebut merupakan kesalahan pengangkut.
Universitas Sumatera Utara
2 Batas jumlah ganti rugi terhadap tanggung jawab pengangkut sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Isi ketentuan Pasal 43 Undang-Undang 151992 di atas intinya sama dengan isi Pasal 24, 25, dan 28 Ordonansi Pengangkutan Udara 1939, yang juga sama
dengan isi Pasal 17, 18, dan 19 Konvensi Warsawa 1929 tentang pengangkutan udara internasional. Demikian juga isi Pasal-pasal 41, 45, dan 46 sama dengan apa
yang diatur dalam Ordonansi Pengangkutan Udara maupun Konvensi Warsawa. Hal ini menunjukkan kerancuan dari Undang-Undang 151992, apakah dia
merupakan undang-undang yang bersifat umum yang akan menjadi payung atau cantolan dari semua peraturan perundang-undangan organik di bidang
penerbangan yang bersifat lebih khusus ataukah merupakan undang-undang yang mengatur secara rinci semua hal yang berkaitan dengan penerbangan. Apabila
merupakan undang-undang yang mengatur secara rinci, itu pun tidak cukup karena ternyata tidak semua hal angkutan udara dan hal-hal lain yang berkaitan
dengan penerbangan diatur secara rinci dan lengkap. Masih sangat banyak hal yang berkenaan dengan angkutan udara tidak diatur, demikian juga di bidang-
bidang lainnya. Perlu pula dicatat tentang Ketentuan Peralihan Bab XIV, Pasal 74, yang
menyatakan bahwa dengan berlakunya Undang-undang ini maka Ordonansi Pengangkutan Udara 1939 tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan
Undang-undang ini. Artinya, apa yang telah diatur dalam Undang-undang 151992 berkenaan dengan angkutan udara, dinyatakan tidak berlaku lagi. Dengan
demikian jelas bahwa memang Undang-undang 151992 mengatur juga secara rinci sebagian tentang pengangkutan udara yang bersifat hukum keperdataan.
Antara pelaku usaha atau perusahaan jasa penerbangan dan konsumen atau penumpang memiliki hubungan hukum yang dituangkan ke dalam bentuk tiket
yang klausulnya sudah ditentukan oleh pelaku usaha dan pihak penumpang harus menyetujui terhadap isi perjanjian tersebut. Didalam tiket juga tercantum bahwa
penumpang dianggap telah mengerti, membaca dan menyetujui perjanjian yang
Universitas Sumatera Utara
tercantum dalam tiket. Klausul ini sangat membatasi tanggung jawab pelaku usaha jasa penerbangan dan dapat merugikan konsumen atau penumpang. Walaupun
secara normative telah terlindungi, tetapi pada kenyataannya masih banyak dijumpai keluhan dari penumpang . Permasalahan yang muncul adalah bahwa
klausul yang tercantum di dalam tiket ini sangat merugikan penumpang apabila terjadi bentuk kasus yang menyangkut kerugian penumpang. Salah satunya adalah
terjadinya bagasi penumpang tercatat yang terlambat yaitu tidak datang bersamaan dengan penumpang , barang yang hilang atau barang yang rusak. Penumpang
tidak pernah terpuaskan hak-haknya apabila terjadi kasus seperti hal - hal yang menjadi ketidakpuasan penumpang adalah penumpang diminta menunggu oleh
perusahaan jasa penerbangan untuk mencari barang sampai Batas waktu yang tidak ditentukan, nilai barang yang menjadi ganti rugi atau kompensasi pelaku
usaha tidak sesuai dengan nilai ganti rugi sesuai dengan ketentuan perundang - undangan yang berlaku. Kehilangan dan keterlambatan barang sudah diatur
pertanggungjawabannya sesuai dengan Undang - undang No. 15 Tahun 1992 tentang penerbangan dan Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1995 tentang
angukutan udara. Penumpang dalam posisi yang lemah karena terikat perjanjian baku seperti
tersebut dalam tiket dan terdapat klausul yang membatasi tanggung jawab pelaku usaha serta adanya beberapa pasal Undang - undang No. 15 Tahun 1992 dan
Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1995 yang tidak tercantum dalam tiket yang merugikan penumpang.
Di Indonesia pada masa orde lama yang cenderung sosialis semua tarif penumpang pesawat udara penerbangan sepenuhnya diatur oleh pemerintah. Tarif
penumpang pesawat udara Garuda Indonesian Airways GIA ditetapkan lebih tinggi dibandingkan dengan tarif penumpang perusahaan swasta penerbangan
lainnya, bahkan untuk tarif kelas utama pesawat udara Garuda Indonesian Airways yang menggunakan Airbus diperkenankan 15 lebih tinggi
dibandingkan dengan tarif biasa. Pada masa orde lama campur tangan pemerintah tidak terbatas pada tarif penumpang pesawat udara penerbangan dalam negeri
Universitas Sumatera Utara
maupun penerbangan internasional, tetapi juga terhadap tarif pelayanan jasa kebandarudaraan seperti pelayanan penumpang penerbangan internasional, tarif
penumpang penerbangan dalam negeri, bea pendaratan pesawat udara, bea penempatan pesawat udara dan penyimpanan pesawat udara, bahkan pada bea
pelayanan penerbangan BP2.
C. Regulasi pengangkutan orang dan barang setelah reformasi