lingkungan diakibatkan pengoperasian bandar udara. Sedangkan pasal 242 menyebutkan ketentuan mengenai tanggung jawab atas kerugian seta tata cara
dan prosedur pengenaan sanksi administratif lebih lanjut akan diatur dengan peraturan mentri.
Dalam permasalahan tanggung jawab di dalam Undang-Undang No.1 tahun 2009 tenteng penerbangan ada juga unsur-unsur pidana yang dianut dalam
undang-undang tersebut seperti yang terkandung dalam pasal 411 yang dapat mengenakan sanksi atau denda pada perbuatan yang dapat mengancam
keselamatan penumpang dan barang milik orang lain. Ancaman Pidana di Undang-Undang No. 1 th 2009 dalam Pasal 411 yang baru
ini berbunyi demikian : “Setiap orang dengan sengaja menerbangkan atau mengoperasikan pesawat
udara yang membahayakan keselamatan pesawat udara, penumpang dan barang, danatau penduduk atau merugikan harta benda milik orang lain sebagaimana
dimaksud dalam pasal 53 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 Dua tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 Lima ratus juta rupiah.”
C. Kasus-Kasus Utama dalam Pengangkutan Orang dan Barang
Industri penerbangan tampaknya tidak pernah sepi dari berita kerusakan dan kecelakaan pesawat, yang tidak hanya menimbulkan korban jiwa dan luka-luka
tapi juga mengakibatkan kerugian besar bagi perusahaan penerbangan. Di dalam dunia penerbangan penyebab kecelakaan tidak pernah disebabkan
oleh faktor tunggal single factor yang berdiri sendiri. Suatu sebab yang berdiri sendiri tidak mempunyai arti apa-apa, tetapi apabila kombinasi suatu faktor dapat
menyebabkan kecelakaan pesawat terbang yang menyebabkan kematian orang. Berbagai faktor penyebab kecelakaan seperti faktor manusia human error,
pesawat terbang itu sendiri machine , lingkungan environment, penggunaan
pesawat udara mission dan pengelolaan management.
Adanya kecelakaan dan kerugian-kerugian yang ditimbulkan tersebut, maka harus ada pihak-pihak yang bertanggung jawab terhadap kejadian tersebut.
Tanggung jawab atas pemakai jasa angkutan udara didasarkan perjanjian antara pengangkut dengan penumpang, sehingga apabila terjadi suatu hal yang
menyebabkan kerugian bagi penumpang maka pihak pengangkut bisa dimintai pertanggungjawaban. Selama pengangkutan berlangsung, penguasaan pesawat
beserta isinya ada di tangan pengangkut. Oleh sebab itu, apabila dalam pengangkutan udara terjadi musibah atau kecelakaan, kerugian yang timbul dari
keadaan tersebut menjadi tanggung jawab pengangkut. Demikian pula dengan kerugian yang timbul karena kehilangan atau kerusakan barang atau bagasi dan
keterlambatan pesawat juga merupakan tanggung jawab pengangkut. Fenomena tersebut menarik dicermati karena, selain pesawat sangat berpotensi
mengalami kecelakaan, tiap kecelakaan penerbangan berdampak yuridis, khususnya tanggung jawab maskapai carrier terhadap penumpang dan pemilik
barang bagasi maupun kargo. Menjadi pertanyaan, dasar hukum apa saja yang dapat digunakan untuk menuntut perusahaan penerbangan serta sejauh mana
tanggung jawab maskapai dan asuransi penerbangan bila terjadi kecelakaan. Dalam merumuskan kebijakan pengelolaan sumber daya di ruang udara
nasional dan jasa transportasi, beberapa pokok permasalahan yang perlu mendapatkan perhatian, antara lain:
1. Bahwa ruang udara merupakan satu kesatuan dengan ruang antariksa yang
disebut dirgantara, namun batasan ruang udara dan ruang antariksa baik nasional maupun internasional belum ada kepastian hukum. Hal ini akan
menimbulkan masalah dalam pengawasan terutama dalam menetapan sanksi terhadap pelanggaran yang terjadi di ruang udara nasional. Di samping itu,
belum adanya kesepakatan bersama terhadap batas ruang udara nasional Indonesia dengan negara-negara tetangga. Pengelolaan ruang udara
menjadikan dinamika masalah dari waktu ke waktu semakin menuntut perhatian pemecahannya.
2. Bahwa kurangnya koordinasi dan lemahnya kemitraan dalam pengelolaan
ruang udara nasional, sehingga terjadi benturan kepentingan dan tumpang tindihnya kebijakan dan hal ini menuntut adanya kejelasan baik kewenangan
maupun peran dan fungsi masing-masing lembaga baik pusat maupun daerah dalam pemanfaatan sumber daya di ruang udara nasional secara utuh dan
terpadu, namun tetap dalam koridor keutuhan dan kedaulatan NKRI. Koodinasi yang terjalin dengan baik dan kondusif dimaksud sebagai upaya
sinkronisasi dan keterpaduan kebijakan perencanaan, pengurusan, pembinaan dan pengawasan terhadap kegiatan danatau usaha yang dilakukan pemerintah
pusat dan daerah dan dunia usaha maupun masyarakat. 3.
Bahwa masih rendahnya peran serta masyarakat baik dalam pemanfaatan maupun pengawasan sumber daya di ruang udara nasional dan jasa
transportasi. Mengingat pengelolaan ruang udara nasional bukan semata-mata menjadi tanggung jawab pemerintah saja, peran serta masyarakat menjadi
penting dan strategis dalam pelaksanaan kebijakan terutama globalisasi mendatang.
4. Bahwa masih lemahnya penaatan dan penegakan hukum atau aturan dalam
pengelolaan sumber daya di ruang udara nasional dan jasa transporasi. Dalam rangka keselamatan dan keamanan nasional, diperlukan penaatan dan
penegakkan hukum. 5.
Bahwa kualitas dan kuantitas sumber daya manusia dalam pengelolaan ruang udara nasional dan jasa transportasi dalam beberapa aspek masih rendah,
sehingga pemanfaatan potensi sumber daya di ruang udara nasional belum dioptimal. Mengingat potensi sumber daya di ruang udara nasional dan jasa
transportasi yang strategis bagi pembangunan nasional, maka diperlukan sumber daya manusia yang memiliki kompetensi baik dari pengetahuan
knowledge, keterampilan skills maupun sikap professional attitude. 6.
Bahwa masih terbatasnya kapasitas kelembagaan dalam pemanfaatan sumber daya di ruang udara nasional.
7. Bahwa terjadinya perang tarif “yang menggila” mengakibatkan maskapai
penerbangan baru tidak mampu untuk bersaing dengan maskapai penerbangan lama.
8. Bahwa masih banyaknya Dalam kaitan dengan berbagai permasalahan yang
timbul dengan kualitas dan intentitas pemanfaatan sumber daya di ruang udara nasional dan jasa transportasi yang semakin meningkat, yang juga diwarnai
perubahan dinamis serta tantangan yang terjadi saat ini dan ke depan, maka dalam perumusan kebijakan pengelolaan ruang udara nasional dan jasa
transportasi harus melibatkan berbagai pihak, sehingga kebijakan tersebut dapat dilaksanakan secara efektif, efisien, dan berkelanjutan dalam rangka
keselamatan dan keamanan nasional.
Rentetan kejadian yang menimpa maskapai internasional maupun domestik, seperti Turkish di Bandara Schipol, Belanda; Lion Air di Bandara Hang Nadim,
Batam; dan Batavia Air yang sempat tersesat ke Bandara Rahadi Usman, Ketapang, ketika menuju Bandara Supadio di Pontianak; dan terakhir, lagi
pesawat Lion Air tergelincir di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang dan lain-lain. Dalam kasus insiden peristiwa tanggal 11 Februari 2006 pada Boeing 737-300
milik Adam Air. Dimana pesawat penumpang penerbangan DHI 782 rute Jakarta- Makasar mendarat darurat di Tambulako, karena telah kehilangan arah lost
orientation estela sekitar 20 menit setelah tinggal landas, pada tanggal 11 Februari 2006. Berdasarkan laopran sementara pesawat tersebut telah lost dengan
ATC Air Traffic Control sejak 20 menit setelah take-off dari Soekarno-Hatta dan diduga sistem navigasinya bermasalah. Menurut pihak Adam Air, setelah tim
teknis menyelidiki kondisi pesawat, ada dugaan sistem navigasi pesawat terganggu, tetapi saat keberangkatan dari Jakarta kondisinya baik. Namun, pihak
Adam Air menolak dugaan penyebab rusak pesawat karena sistem navigasi. Sumber lain menyebutkan bahwa pesawat tersebut dalam enam bulan terakhir
diduga mengalami persoalan apad APU Auxiliary Power Unit. APU adalah perangkat yang berfungsi memasok listrik atau tenaga ketika mesin belum hidup
untuk menghasilkan listrik dan sistem pendingin. Dengan kondisi tersebut, sebenarnya jarak pendek. Pada saat kejadian, cuaca cukup cerah. Pesawat tersebut
dilengkapi dengan dua sistem navigasi masing-masing sistem utama dan cadangan. Untuk memudahkan penyelidikan, selanjutnya pesawat Adam Air
tersebut diterbangkan ke Makasar. Namun kembali, hal ini bertentangan dengan prosedur keselamatan penerbangan. Seharusnya, pesawat diharuskan tetap di
tempat hingga tim dari Komite Nasional Keselamatan Transportasi selesai menyelidiki.
Bilamana tanggung jawab hukum dari Adam Air diawali dengan terjadinya perjanjian pengangkutan. Di pihak pengangkut, ia diwajibkan untuk yaitu,
pertama membawa penumpang dari tempat pemberangkatan sampai di tempat tujuan dengan selamat. Kedua, pengangkut di wajibkan untuk mengganti kerugian
yang disebabkan oleh suatu kejadian yang selayaknya tak dapat dicegah maupun dihindari, atau karena salahnya si penumpang sendiri. Ketiga, memenuhi
perjanjian sebagaimana ditentukan dalam klausula perjanjian yang tertera dalam ticket, misalnya ketepatan jadwal penerbangan, kesesuaian rute perjalanan, dan
sebagainya. Selain itu, pengangkut dibebankan kewajiban untuk mempersiapkan kelayakan terbang pesawat untuk tercapainya keamaanan dan keselamatan
penumpang. Di pihak penumpang diwajibkan untuk membayar harga ticket sesuai dengan perjanjian. Apabila salah satu pihak tidak melaksanakan prestasi
sebagaimana yang telah diperjanjikan, maka pihak tersebut dapat dikategorikan sebagai telah melakukan wanprestasi. Permasalahannya, apakah Adam Air telah
melakukan wanprestasi ataukah pada pihak Adam Air berada dalam keadaan overmacht. Apabila terjadi wanprestasi apakah bersumber dari kesengajaan
ataukah kelalaian.
Apabila kejadian dikaitkan dengan kerusakan navigasi, semestinya diselidiki apakah kesalahan navigasi tersebut terjadi sejak saat pemberangkatan. Apabila
demikian, maka penerbangan Adam Air menggunakan pesawat yang tidak layak terbang. Namun pabila kerusakan navigasi di tengah perjalanan, ada dua
kemungkinan, yaitu dapat dikategorrikan wanprestasi atau terjadi keadaan overmacht. Apabila memang keadaaan pesawat ada permasalahan pada APU
sejak enam bulan sebelumnya, maka dengan demikian keadaaan peristiwa tersebut sudah dapat diduga akan terjadi. Dengan demikian, pihak Adam Air melakukan
wanprestasi dengan kesengajaan. Akibat berupa keterlambatan sampai ke tempat tujuan membawa konsekuensi untuk dituntut ganti kerugian berdasrkan
wamprestasi. Bentuk wanprestasi yang dilakukan oleh pihak Adam Air adalah sebagai berikut: Pertama, debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak sebagaimana
mestinya. Kedua, debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat pada waktunya. Ketiga, debitur memenuhi prestasi, tetapi yang tidak diwajibkan dalam perjanjian.
Dengan terjadinya kesalahan navigasi dan permasalahan APU, debitar memenuhi prestasi, tetapi tidak sebagaimana mestinya, yaitu pesawat mendarat darurat dan
jadwal penerbangan tidak tepat waktu sampai tujuan. Apakah keadaan wanprestasi Adam Air perlu dilakukan somasi. Jawabannya tidak, Sebab, apabila
dalam perjanjian telah ditentukan tenggang waktu suatu pelaksanaan pemenuhan prestasinya, maka menurut Pasal 1238 KUH Perdata, “Si berutang adalah lalai,
apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan,
bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan“, debitur dianggap telah lalai dengan lewatnya waktu yang telah
ditentukan tersebut. Dengan demikian, pada perjanjian demikian tidak diperlukan suatu somasi. Untuk membebaskan diri dari tanggung jawab untuk memberikan
ganti kerugian dari pihak penumpang, pihak Adam Air dapat membuktikan bahwa ia telah melakukan wanprestasi itu diluar kesalahannya atau karena keadaan
memaksa. Berdasarkan ketentuan Pasal 1267 KUH Perdata, “Pihak terhadap siapa
perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih apakah ia, jika hal itu masih dapat dilakukan, akan memaksa pihak yang lain untuk memenuhi perjanjian, ataukah ia
akan menuntut pembatalan perjanjian, disertai penggantian biaya kerugian dan bunga“, pihak Adam Air sebagai debitur yang melakukan wanprestasi dikenakan
tuntutan hak yang dapat dipilih oleh Pengguna Jasa berupa pemenuhan perjanjian
disertai ganti kerugian. Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1246 KUH Perdata, “Biaya, rugi dan bunga yang oleh si berpiutang boleh dituntut akan
penggantiannya, terdirilah pada umumnya atas rugi yang telah dideritanya dan untung yang sedianya harus dapat dinikmatinya, dengan tak mengurangi
pengecualian-pengecualian serta perubahan-perubahan yang akan disebut dibawah ini“, ganti kerugian terdiri atas 3 tiga unsur, yaitu, pertama, biaya,
yaitu segala pengeluaran atau ongkos-ongkos yang nyata-nyata telah dikeluarkan. Kedua, rugi. Ketiga, bunga, yaitu keuntungan yang seharusnya diperoleh atau
diharapkan oleh kreditur apabila debitur tidak lalai. Undang-undang menentukan bahwa kerugian yang harus dibayar oleh debitur kepada kreditur sebagai akibat
dari wanprestasi adalah kerugian yang dapat diduga ketika perjanjian dibuat. Menurut ketentuan Pasal 1248 KUH Perdata, “Bahkan, jika hal tidak dipenuhinya
perikatan ini disebabkan tipu-daya si berutang, penggantian biaya, rugi dan bunga sekadar mengenai kerugian yang dideritanya oleh si berpiutang dan
keuntungan yang terhilang baginya, aníllala terdiri atas apa yang merupakan akibat langsung dari tak dipenuhinya perikatan“, jika tidak dipenuhinya
perjanjian tersebut disebabkan oleh tipu daya debitur, pembayaran ganti kerugian sekadar mengenai kerugian yang diderita oleh kreditur dan keuntungan yang
hilang baginya, aníllala terdiri atas apa yang merupakan akibat langsung dari tidak dipenuhinya perjanjian.
Selanjutnya, jika dilihat tanggung jawab hukum Adam Air selain bersumber dari perjanjian dapat diterapkan pula berdasarkan perbuatan melawan hukum.
Perbuatan ini pada dasarnya merupakan hakikat dari ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata. Selain itu, dinyatakan dalam ketentuan Pasal 1367 KUH Perdata. Dimana
perbuatan Adam Air dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum, sebab alasan tersebut, pertama, perbuatannya bertentangan dengan hukum.
Perbuatan Adam Air bertentangan dengan beberapa aspek hukum yang terkait dengan tanggung jawab meliputi aspek perdata pada umumnya, aspek hukum
pengangkutan udara, aspek hukum perlindungan konsumen, aspek hukum perusahaan, aspek hukum pidana, aspek administrasi, dan lain sebagainya. Kedua,
perbuatan Adam Air yang bertentangan dengan itikad baik. Ketiga, pelanggaran perdata. Dan perbuatan tersebut telah memenuhi unsur-unsur sebagaimana
ditentukan Pasal 1365 KUH Perdata, dari perbuatan melawan hukum baru dapat dituntut ganti kerugiannya, apabila telah memenuhi unsur-unsur sebagai berikut,
pertama, perbuatan Adam Air merupakan perbuatan melawan hukum. Kedua, bertentangan dengan hak pihak lain. Ketiga, kewajiban hukumnya sendiri.
Keempat, keharusan yang harus diindahkan sebagai perusahaan yang profesional.
Peristiwa mendarat darurat Adam Air apabila disebabkan oleh kesalahan navigasi dan kesalahan dalam sistem APU, maka dapat ditinjau pelanggarannya
berdasarkan berbagai aspek hukum, meliputi aspek perdata pada umumnya, aspek hukum pengangkutan udara, aspek hukum perlindungan konsumen, aspek hukum
perusahaan, aspek hukum pidana, aspek administrasi, dan lain sebagainya. Bertentangan dengan hak pesaing rival sesama perusahaan jasa penerbangan lain
dan hak pengguna jasa. Ketentuan yang dapat diterapkan didasarkan pada aspek hukum persaingan sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang No. 5 Tahun
1999, khusus persaingan usaha tidak sehat, dan menghalangi pengguna jasa penerbangan untuk memilih substitut jasa penerbangan lain dengan memberika
pengguna yang salah, sehingga konsumen pengguna jasa penerbangan terpedaya dalam memilih jasa penerbangan Adam Air.
Kewajiban hukum Adam Air sendiri terhadap kerusakan APU sudah terjadi enam bulan sebelum kejadian, dan hal pendaratan darurat Adam Air ini
merupakan kejadian yang kedua, sehingga terdapat kewajiban hukum yang tidak dilaksanakan yaitu penerbangan yang menjamin keselamatan dan keamanan
penumpang.
Kerugian yang diderita konsumen pengguna jasa penerbangan yang disebabkan oleh perbuatan melawan hukum Adam Air dapat berupa kerugian
material dapat dinilai dengan uang dan kerugian immaterial tidak dapat dinilai dengan uang. Dengan demikian, kerugian yang ditimbulkan karena perbuatan
melawan hukum tidak hanya terbatas pada kerugian yang ditujukan kepada harta benda, selain itu juga ditujukan terhadap kerugian yang ditujukan pada tubuh dan
jiwa, misalnya trauma penerbangan, keadaan psikis konsumen sehingga kondisinya tidak baik, keadaaan luka-luka, dan sebagainya.
Unsur pertama dari perbuatan melawan hukum adalah unsur kesalahan. Kesalahan Adam Air adalah kesengajaan dan kelalaian dengan menggunakan
APU yang bermasalah dengan sistem navigasi yang tidak layak. Kesengajaan dan kelalaian dengan menggunakan APU yang bermasalah dan sistem navigasi yang
tidak layak. Kesengajaan dapat dilihat dari perbuatan tersebut yang sudah dapat diketahui sebelumnya, yaitu terhadap kemungkinan terjadinya peristiwa
kehilangan arah loss orientatation, sehingga menimbulkan akibat pendaratan darurat dan keterlambatan penerbangan sampai di tempat tujuan. Kedua, kelalaian
yang dilakukan Adam Air adalah perbuatan yang seharusnya dilakukan, yaitu mereparasi APU yang memang sudah diketahui bermasalah. Adam Air menyadari
sepnuhnya akan adanya akibat dari perbuatan tersebut. Ketiga, kelalaian dalam kelayakan navigasi. Dengan bersikap demikian pada hakikatnya. Adam Air telah
melawan hukum, sebab semestinya ia harus berbuat dan melakukan suatu perbuatan, Keempat, dari perbuatan tersebut harus ada hubungan sebab akibat
causalitas. Unsur kesalahan dan kerugian merupakan hubungan sebab akibat. Kesalahan navigasi dan sistem APU menyebabkan pesawat tidak layak terbang,
dan melakukan pendaratan darurat. Tentu saja peristiwa tersebut menimbulkan kerugian bagi pengguna jasa baik kerugian material maupun immaterial.
Pihak Adam Air dapat membela diri dengan mengajukan beberapa macam alasan untuk membebaskan dirinya dari hukuman. Pembelaan hanya berupa
pembuktian bahwa pihak Adam Air dapat membuktikan adanya keadaan memaksa over macht. Overmacht yang dapat dikemukakan berupa overmacht
yang bersifat relatif, yaitu yang menyebabkan tidak dapat dipenuhinya suatu prestasi oleh debitur karena terjadi suatu peristiwa yang ukan karena
kesalahannya, tetapi tidak dapat diketahui atau tidak dapat diduga akan terjadi
pada waktu membuat perikatan. Beban pembuktian yang paling pokok adalah membantah adanya unsur “keadaan memaksa” dari Adam Air, sehingga ia tidak
dapat dipersalahkan dan tidak harus menanggung resiko, kemudian unsur bahwa “Adam Air tidak dapat menduga akan terjadi peristiwa kegagalan navigasi dan
kerusakan APU serta kehilangan arah loss orientation pada waktu perjanjian pemberangkatan. Keadaan tersebut terjadi sebelum debitur lalai untuk memenuhi
prestasinya pada saat timbulnya keadaan tersebut, sehingga Adam Air tidak dapat dipersalahkan atas tidak terlaksananya perjanjian tersebut. Keadaan tersebut
timbal di luar kemauan dan kemampuan atau dugaan dari Adam Air, sehingga Adam Air tidak dapat dikenakan sanksi untuk dimintakan ganti kerugian. Dasar
pembelaan didasarkan pada ketentuan Pasal 1244 “Jika ada alsan untuk itu, si berutang harus dihukum mengganti biaya, rugi dan bunga apabila ia tak dapat
membuktikan, bahwa hal itu tidak atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan suatu hal yang tak Verduga, pun tak
dapat dipertanggungjawabkan, kesemuanya itu pun jika itikad buruk tidaklah ada pada pihaknya” dan Pasal 1245 KUH Perdata “Tidaklah biaya rugi dan bunga,
harus digantinya, apabila lantara keadaan memaksa atau lantara suatu kejadian tak disengaja si berutang beralangan memberikan atau berbuat sesuatu yang
diwajibkan, atau lantaran hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang“. Apabila keadaan overmacht tersebut dapat dibuktikan, maka timbal
persoalan siapa yang menanggung resiko. Ketentuan Pasal 1460 KUH Perdata, “Jika kebendaan yang dijual itu berupa suatu barang yang sudah ditentukan,
maka barang ini Sejas saat pembelian hádala atas tanggungan si pembeli, meskipun penyerahan Belem dilakukan dan si penjual berhak menuntut
harganya“, dari resiko perjanjian jual beli dapat diterapkan dalam kasus ini. Dengan pertimbangan bahwa terjadi jual beli jasa pelayanan penerbangan.
Dari apa dikemukakan diatas, dengan kata lain maka tinjauan terhadap tanggung jawab hukum berdasarkan hukum perdata adalah salah satu aspek saja
yang dapat dikenakan terhadap Perusahaan Jasa Penerbangan yang melakukan penerbangan darurat karena kesalahan navigasi, sistem APU atau alat mekanis
lanilla, yang menunjang kelayakan terbang. Lihat Christopher Bruce, Applying Economic Analyisi of Tort Law, Summer 1998. Vol. 3. No. 2. … Jaksa Mc
Lachlan menyatakan bahwa fungsi kerugian dalam hukum perdata adalah untuk “melindungi dan mengembalikan korban atau penggugat kepada posisi sebelum
kasus itu terjadi”. Lebih jauh lagi ia menyatakan bahwa : “Hukum perdata adalah dimaksudkan untuk mengembalikan individu pada posisi yang dia miliki
sebelum kejadian kasus itu terjadi ketimbang untuk menghukum pelaku pelanggaran yang kesalahannya hanyalah mungkin pada saat lalai atau tidak
disengaja.”
Dari aspek hukum perlindungan konsumen, berdasarkan hubungan produsen - konsumen, tanggung jawab perusahaan lahir berdasarkan hak dan kewajiban yang
dibebankan oleh UUPK. Tanggung jawab perusahaan terhadap pengguna jasa penerbangan didasrkan pada contractual liability maupun profesional liability.
Dari aspek Hukum Perusahaan tanggung jawab berdasarkan doktrin corporate veil sanksi dapat pula dikenakan terhadap pengurus PT. Adam Air. Pengurus dapat
dimintakan pertanggungjawaban sampai kekayaan pribadi untuk emmenuhi tuntutan dari konsumen. Bahkan, dari aspek hukum pidana dimungjkinkan pula
pengurus dikenakan sanksi pidana.
Selanjutnya sepanjang kurun waktu April-Desember 2007, rutin terjadi masalah yang menimpa sejumlah perusahaan jasa transportasi darat, laut maupun
udara yang selalu bersumber karena dua hal yaitu usia armada yang dianggap sudah menua dan tidak layak pakai, serta lintasan atau jalur transportasi yang
dinggap tidak aman dan rentan bahaya bencana alam. Meskipun tidak sampai menimbulkan korban jiwa, upaya untuk mempertanyakan regulasi dan standar
keamanan transportasi terus menguat. Berbagai organisasi masyarakat sipil terus menyuarakan dilakukannya audit secara total sebagai upaya untuk memastikan
bahwa sarana angkutan yang masal yang saat ini digunakan oleh masyarakat luas memang benar-benar aman dan memiliki peluang kecil untuk timbul kecelakaan.
Untuk jasa transportasi udara, beberapa kejadian yang terjadi sepanjang tahun
2007 seperti: pertama, pesawat Aibus A-320 Mandala yang mengalami patah roda depan ketika mendarat di bandara Abdurahman Saleh Malang setelah menempuh
perjalanan rute Jakarta-Malang. Kedua, pesawat Merpati Nusantara yang mengalami retak kaca kokpit yang mengakibatkan pesawat harus kembali ke
bandara Eltari Kupang ketika hendak take off menuju Jakarta. Ketiga, lepasnya wing flaps--potongan sayap yang berfungsi mengurangi kecepatan saat mendarat--
pesawat Boeing 737-200 milik Batavia Air ketika hendak mengudara yang mengakibatkan pesawat mengalami ketidakseimbangan. Keempat, ketidakjujuran
salah satu maskapai penerbangan nasional ketika satu komponen pesawat terbang yang dimilikinya jatuh di wilayah pemukiman penduduk di wilayah Tangerang.
Belakangan Lion Air menyatakan bahwa komponen itu adalah milik salah satu pesawatnya. Kelima, kasus pelarangan penerbangan pesawat Indonesia ke wilayah
Uni Eropa, Arab Saudi dan Korea Selatan. Keenam, disegelnya enam unit pesawat Garuda Indonesia karena belum membayar pajak yang pada akhirnya berimplikasi
kepada keterlambatan beberapa jadual penerbangan.
28
28
http:www.csrindonesia.comdataarticles20080320230959-a.pdf
BAB IV PERTANGGUNG JAWABAN PENGANGKUT ORANG DAN BARANG