Analisis Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Penanaman Modal Asing Di Jawa Timu

(1)

1.1. Latar Belakang

Penanaman modal atau investasi merupakan langkah awal kegiatan produksi. Pada posisi semacam ini investasi pada hakekatnya juga merupakan langkah awal kegiatan pembangunan ekonomi. Dinamika penanaman modal mempengaruhi tinggi rendahnya. pertumbuhan ekonomi dan mencerminkan marak atau lesunya perekonomian. Dalam upaya menumbuhkan perekonomian setiap negara senantiasa menciptakan iklim yang dapat menggairahkan investasi. Sasaran yang dituju bukan hanya masyarakat atau kalangan swasta dalam negeri, tetapi juga investor asing (Dumairy, 1997).

Untuk mempercepat pembangunan ekonomi daerah dan mewujudkan kedaulatan politik dan ekonomi diperlukan peningkatan penanaman modal untuk mengolah potensi ekonomi menjadi kekuatan ekonomi riil dengan menggunakan modal yang berasal, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Disamping menggali sumber pembiayaan asli daerah, pemerintah daerah juga mengundang sumber pembiayaan luar negeri salah satunya adalah Penanaman Modal Asing Langsung (Foreign Direct Investment) (Sarwedi 2002).

Penanaman modal asing (PMA) sebagai salah satu komponen aliran modal yang masuk ke suatu daerah dianggap sebagai aliran modal yang relatif stabil dan mempunyai resiko yang kecil dibandingkan dengan aliran modal lainnya, misalnya investasi portofolio maupun utang luar negeri. Penanaman modal asing


(2)

2

lebih banyak mempunyai kelebihan diantaranya sifatnya permanen (jangka panjang), banyak memberikan andil dalam alih teknologi, alih ketrampilan manajemen dan membuka lapangan kerja baru.

Kesempatan untuk berinvestasi di Provinsi Jawa Timur semakin terbuka dengan adanya kebijakan deregulasi baik di sektor riil maupun di sektor moneter. Disamping dalam rangka untuk menarik investasi langsung, keterbukaan ini sejalan dengan era globalisasi dan perdagangan bebas.

Peluang dan jaminan kepastian hukum diberikan oleh pemerintah Indonesia kepada investor terutama investor asing dengan menerbitkan Undang-Undang pada tahun 1967, yaitu Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing yang ditujukan untuk mempercepat pembangunan ekonomi Indonesia serta digunakan dalam bidang-bidang dan sektor-sektor yang dalam waktu dekat belum dan atau tidak dapat dilaksanakan oleh modal Indonesia sendiri yang disebabkan oleh ketiadaan modal, pengalaman dan teknologi. Undang-undang ini kemudian disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970 tentang penanaman modal asing yaitu dengan memberikan kelonggaran-kelonggaran perpajakan kepada investor asing, antara lain kelonggaran dalam bea materai modal, bea masuk dan pajak penjualan, bea balik nama, pajak perseroan dan pajak deviden.

Dalam perkembangannya pemerintah Indonesia terus memperbaharui berbagai peraturan untuk lebih mendorong terciptanya iklim usaha yang kondusif dan untuk penguatan daya saing perekonomian nasional dan daerah serta mempercepat peningkatan penanaman modal yang dituangkan dalam


(3)

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Penetapan undang-undang tersebut juga ditujukan untuk menciptakan iklim penanaman modal yang kondusif, promotif, memberikan kepastian hukum, keadilan dan efisien dengan tetap memperhatikan kepentingan ekonomi nasional. Sebelumya, melalui kebijakan paket 23 Oktober 1993, berbagai wewenang pengambilan keputusan yang berkaitan dengan investasi telah dilimpahkan kepada daerah dan tidak lagi harus diputuskan oleh pemerintah pusat.

Dalam kurun waktu tahun 1996 sampai dengan 2010 penanaman modal asing di Provinsi Jawa Timur mengalami pasang surut dikarenakan berbagai kondisi perekonomian antara lain krisis ekonomi pada tahun 1998 yang dampaknya tidak hanya dirasakan oleh Provinsi Jawa Timur saja tetapi juga dirasakan oleh daerah-daerah lain di Indonesia. Suruji et.al. (1998) dalam Sutarsono (2010) menyatakan bahwa tahun 1998 menjadi titik terendah tingkat investasi Indonesia. Ketidakstabilan ekonomi yaitu inflasi dan tingkat pengangguran yang tinggi serta ketidakstabilan politik telah memicu pelarian modal (capital outflow) dalam skala yang cukup tinggi hingga mencapai US$ 20 milyar. Ketidakstabilan tersebut juga mengakibatkan banyak pengusaha meninggalkan Indonesia, terhambatnya jaringan distribusi nasional, terputusnya pembiayaan luar negeri, dan ditangguhkannya banyak rencana investasi asing di Indonesia.

Iklim investasi dapat didefinisikan sebagai semua kebijakan, kelembagaan dan lingkungan, baik yang sedang berlangsung maupun yang diharapkan terjadi di masa yang akan datang yang bisa mempengaruhi tingkat pengembalian dan resiko


(4)

4

suatu investasi. Perbaikan iklim penanaman modal tak henti-hentinya dilakukan pemerintah dengan tujuan untuk meningkatkan cadangan devisa guna mendorong perekonomian karena posisi iklim investasi menjadi salah satu alasan utama investor untuk menanamkan modalnya. Masih rendahnya pelayanan publik, kurangnya kepastian hukum, dan berbagai Peraturan Daerah yang tidak “pro

-bisnis” diidentifikasi sebagai bukti iklim bisnis yang tidak kondusif. Pelayanan

publik yang dikeluhkan terutama terkait dengan ketidakpastian biaya dan lamanya waktu berurusan dengan perijinan dan birokrasi. Ini diperparah dengan masih berlanjutnya berbagai pungutan, baik resmi maupun tidak resmi. Alasan utama mengapa investor masih khawatir untuk melakukan bisnis di Indonesia adalah ketidakstabilan ekonomi makro antara lain tingkat inflasi yang tinggi, rendahnya Produk Domestik Regional Bruto, fasilitas infrastruktur yang kurang memadai, ketidakpastian kebijakan, korupsi multilevel dari pusat hingga daerah, perijinan usaha, dan regulasi pasar tenaga kerja (Kuncoro, 2000).

Oleh karena itu pemerintah Provinsi Jawa Timur berusaha terus melakukan peningkatan pengembangan tata kelola pemerintahan yang baik dan peningkatan kestabilan keamanan dan ketertiban daerah melalui Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Provinsi Jawa Timur Tahun 2005-2025.

1.2. Perumusan Masalah

Perkembangan penanaman modal asing yang masuk ke Indonesia dari tahun 1990-2010 menunjukkan bahwa invetasi asing yang masuk ke Provinsi


(5)

Jawa Timur relatif kecil jika dibandingkan dengan besarnya nilai investasi asing yang masuk ke Indonesia (Gambar 1.1). Investasi tertinggi dicapai pada tahun 1993 sebesar 33,13 persen dari total investasi asing nasional. Peningkatan investasi ini sejalan dengan perubahan struktur ekonomi di Jawa Timur yang semula pada periode 1990-1992 kontribusi sektor pertanian merupakan penyumbang terbesar Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), kemudian bergeser ke sektor industri pengolahan. Hal ini juga berdampak pada laju pertumbuhan ekonomi pada tahun 1994 yang meningkat sebesar 13,76 persen, dimana merupakan laju pertumbuhan tertinggi dalam periode 1990-2010.

Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal Asing Provinsi Jawa Timur Gambar 1.1. Perkembangan nilai PMA Nasional dan Provinsi Jawa Timur

Tahun 1990-2010

Sedangkan pada tahun 2009-2010 investasi asing yang masuk ke Provinsi Jawa Timur masing-masing sebesar 14,44 persen dan 12,67 persen dari total

0 5,000,000 10,000,000 15,000,000 20,000,000 25,000,000 30,000,000 35,000,000 40,000,000 45,000,000 n il ai P M A (0 0 0 USD) Tahun


(6)

6

investasi asing nasional. Meskipun persentase terhadap total investasi nasional menurun tetapi nilai investasi asing yang masuk ke Provinsi Jawa Timur pada tahun 2010 mengalami peningkatan yaitu dari 1.561,79 juta USD menjadi 2.053,72 juta USD. Adapun perkembangan penanaman modal asing di Pulau Jawa pada tahun 2000-2010 menunjukkan bahwa rata-rata investasi asing yang masuk sebesar 80,50 persen dari total investasi nasional, dimana rata-rata investasi asing terbesar yaitu Provinsi DKI Jakarta sebesar 37,97 persen dan Provinsi Jawa Barat sebesar 21,71 persen. Sedangkan Provinsi Jawa Timur pada periode tersebut rata-rata investasi asing yang masuk sebesar 9,31 persen.

Eiotman dalam Sodik dan Nuryadin (2008) menyatakan bahwa motif yang mendasari kegiatan penanaman modal asing adalah motif strategis, motif perilaku dan motif ekonomi. Beberapa hal yang termasuk dalam motif strategis adalah usaha mencari pasar, mencari bahan baku dan mencari efisiensi produksi.

Dalam usaha mencari pasar, potential market adalah motivasi paling utama dibelakang keputusan investasi untuk memilih suatu lokasi, semakin besar potential market suatu daerah/provinsi memberikan harapan kepada investor atas besarnya permintaan barang atau jasa yang dihasilkan. Market size ditunjukkan oleh tingkat pendapatan domestik regional bruto, semakin tinggi nilai pendapatan domestik suatu daerah berarti tingkat pendapatan masyarakat juga tinggi, daya beli masyarakat yang tinggi berarti permintaan barang dan jasa yang dihasilkan akan tinggi pula.

Gambar 1.2. PDRB Provinsi Jawa Timur memiliki pendapatan domestik terbesar kedua setelah Provinsi DKI Jakarta, hal ini merupakan modal awal untuk


(7)

menarik investor. Potensi pasar (Potential market) yang besar sebenarnya merupakan modal awal untuk bisa menarik investor asing.

Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS)

Gambar 1.2. Distribusi persentase PDRB menurut Provinsi Tahun 2010 (persen)

Berdasarkan klasifikasi United Nation Conference on Trade and Development (UNCTAD) determinan penanaman modal asing (Foreign Direct Investmen) yaitu pengaruh ekonomi dan non ekonomi. Pengaruh ekonomi yang menentukan arus masuknya penanaman modal asing antara lain yang pertama yaitu faktor yang berhubungan dengan pasar (besar kecilnya pangsa pasar dan struktur pasar), kedua, faktor yang berhubungan dengan sumberdaya ekonomi yaitu sumberdaya alam dan biaya tenaga kerja ketiga faktor yang berhubungan dengan efisiensi yaitu biaya transportasi, komunikasi dan produktifitas tenaga kerja di negara tujuan.

16.31%

14.58% 14.73%

Aceh Sumut

Sumbar Riau

Jambi Sumsel

Bengkulu Lampung

Kep. Babel Kep. Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI. Yogyakarta

Jawa Timur Banten

Bali Kalbar

Kalteng Kalsel

Kaltim Sulut

Sulteng Sulsel

Sultra Gorontalo

Sulbar NTB

NTT Maluku

Malut Papua Barat


(8)

8

Sedangkan pengaruh nonekonomi antara lain variabel kebijakan yaitu kebijakan pajak, kebijakan perdagangan, privatisasi dan stabilitas politik. Selain itu insentif untuk investasi juga mempengaruhi keputusan investor untuk melakukan penanaman modal di suatu daerah. Jadi apabila suatu daerah mempunyai iklim yang kondusif, berarti faktor-faktor yang mempengaruhi nilai investasi, seperti pangsa pasar yang besar, nilai tukar rupiah, tersedianya fasilitas infrastruktur jalan, pelabuhan dan alat transportasi lainnya yang memadai serta aliran listrik yang mencukupi untuk proses produksi, angkatan kerja dan keterbukaan ekonomi berada pada kondisi yang memungkinkan untuk investasi yang menghasilkan keuntungan maka hal tersebut akan menarik investor menanamkan modalnya dan pada akhirnya diharapkan akan mendorong pertumbuhan dan pembangunan ekonomi jangka panjang di daerah tersebut.

Dengan uraian diatas maka dalam penelitian ini dapat dirumuskan beberapa permasalahan yaitu sebagai berikut :

1. Bagaimanakah perkembangan Penanaman Modal Asing di Provinsi Jawa Timur?

2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi nilai investasi asing di Provinsi Jawa Timur?

1.3. Tujuan Penelitian

Dari rumusan masalah diatas maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :


(9)

1. Menggambarkan perkembangan penanaman modal asing di Provinsi Jawa Timur .

2. Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi penanaman modal asing di Provinsi Jawa Timur.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai perkembangan penanaman modal asing di Provinsi Jawa Timur periode 1996-2010 dan faktor-faktor yang memengaruhinya. Selanjutnya bagi pembaca diharapkan dapat digunakan untuk menambah wawasan dan sebagai salah satu bahan acuan untuk melakukan penelitian lebih lanjut. Bagi penulis, penelitian ini merupakan sarana untuk menambah wawasan dan ilmu di bidang ekonomi serta sebagai sarana pembelajaran dalam penulisan karya ilmiah.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah nilai Penanaman Modal Asing di Provinsi Jawa Timur, PDRB Provinsi Jawa Timur atas dasar harga berlaku, keterbukaan ekonomi yang diproxi dengan jumlah ekspor dan impor dibagi dengan PDRB, inflasi dan upah minimum provinsi. Seluruh variabel yang digunakan series dari tahun 1996 sampai dengan 2010. Pemilihan variabel ini mengacu pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Tsen (2002).


(10)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1. Pengertian Penanaman Modal Asing Langsung (Foreign Direct Investment).

Krugman dalam Sondakh (2009), menjelaskan bahwa yang dimaksud FDI adalah arus modal internasional dimana perusahaan dari suatu negara mendirikan atau memperluas perusahaannya ke negara lain. Oleh karena itu tidak hanya terjadi pemindahan sumberdaya, tetapi juga pemberlakuan kontrol terhadap perusahaan di luar negeri.

Investasi asing merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan jumlah modal untuk pembangunan ekonomi yang bersumber dari luar negeri. Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang penanaman modal, penanaman modal asing didefinisikan sebagai kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri dengan tujuan antara lain untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan, meningkatkan kemampuan daya saing dunia usaha dalam negeri, meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi nasional, mendorong pengembangan ekonomi kerakyatan, mengolah ekonomi potensial menjadi kekuatan ekonomi riil dengan menggunakan dana yang berasal, baik dari dalam negeri maupun luar negeri dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.


(11)

Investasi dibedakan atas investasi asing langsung (foreign direct investment) dan investasi portofolio (portofolio investment). Investasi asing langsung meliputi investasi ke dalam aset-aset secara nyata yaitu berupa pembangunan pabrik-pabrik, pengadaan berbagai macam barang modal, pembelian tanah untuk keperluan produksi, pembelanjaan berbagai peralatan inventaris dan sebagainya, dan biasanya dibarengi dengan penyelenggaraan fungsi-fungsi manajemen, dan pihak investor sendiri tetap mempertahankan kontrol terhadap dana-dana yang telah ditanamkannya. Sedangkan investasi portofolio adalah investasi yang melibatkan hanya aset-aset finansial saja, seperti obligasi dan saham, yang didenominasikan atau ternilai dalam mata uang nasional. Kegiatan-kegiatan investasi portofolio atau finansial ini biasanya berlangsung melalui lembaga-lembaga keuangan seperti bank, perusahaan dana investasi, yayasan pensiun dan sebagainya (Salvatore,1997).

Dibandingkan dengan investasi portofolio, penanaman modal asing lebih banyak mempunyai kelebihan diantaranya sifatnya jangka panjang, banyak memberikan andil dalam alih teknologi, alih ketrampilan manajemen, membuka lapangan kerja baru. Lapangan kerja ini sangat penting bagi negara sedang berkembang seperti Indonesia, mengingat terbatasnya kemampuan pemerintah untuk menyediakan lapangan pekerjaan.

2.2. Landasan Teori Investasi

Dalam analisis teori neoklasik tradisional dan teori pertumbuhan endogen, penanaman modal asing (PMA) mempunyai peranan yang positif bagi negara


(12)

12

berkembang. Dengan adanya investasi asing, maka diharapkan dapat mengisi kesenjangan antara persediaan tabungan, cadangan devisa, penerimaan pemerintah dan keahlian manajerial yang terdapat di negara penerimanya dengan tingkat persediaan yang dibutuhkan untuk mencapai target-target pertumbuhan dan pembangunan.

Model pertumbuhan Harrod-Domar mengungkapkan adanya suatu bentuk hubungan langsung antara tingkat tabungan neto suatu negara (s) dengan tingkat pertumbuhan outputnya (g) dengan persamaan g = s/k dimana k adalah rasio modal-output. Jika pertumbuhan output nasional (g) ditargetkan sebesar 7 persen per tahun dan rasio modal-output sama dengan 3, maka tingkat tabungan yang dibutuhkan negara tersebut adalah sebesar 21 persen yang diperoleh dari persamaan s=gk. Tetapi jika jumlah tabungan domestik yang dapat dimobilisasi hanya 16 persen dari GDP, maka terdapat kesenjangan tabungan (saving gap) sebesar 5 persen. Negara tersebut dapat mengisi kesenjangan tabungan dengan sumber-sumber finansial dari luar negeri agar dapat mencapai sasaran pertumbuhannya (Todaro dan Smith, 2006)

Pos pendapatan nasional membagi Produk Domestik Bruto (Gross Domestik Product) menjadi empat kelompok pengeluaran dan investasi merupakan salah satu komponennya. Produk Domestik Bruto merupakan penjumlahan dari keempat komponen yang dituliskan dengan persamaan :

Y = C + I + G + NX Dimana :


(13)

C = Konsumsi I = Investasi

G = Belanja pemerintah NX = Ekspor netto

Persamaan ini disebut persamaan pos pendapatan nasional (national income accounts identity).

Gambar 2.1. menunjukkan hubungan antara tingkat bunga dan investasi yang dapat dituliskan dalam fungsi investasi dengan persamaan sebagai berikut :

I = I(r)

Y=E

E1=C+I+G+NX

E2=C+I+G+NX

Y2

Y1 Output, Y

Pengeluaran, E

Sumber : Mankiw, 2006

Gambar 2.1. Hubungan investasi dan pertumbuhan ekonomi IS

Output, Y Suku bunga,

r

Y1 Y2

I(r)

Output, Y Suku bunga,

r

I1 I2

r1

r2

r1

r2

(b) Kurva Investasi

(a) Keynessian Cross


(14)

14

Tingkat bunga merupakan biaya dari investasi, maka penurunan suku bunga dari r1 ke r2 akan meningkatkan jumlah investasi, dengan demikian slope fungsi investasi negatif yang ditunjukkan oleh grafik panel a. Pada Keynessian cross peningkatan investasi yang terjadi menggeser fungsi pengeluaran yang direncanakan (E1) keatas dari E1 ke E2. Pergeseran fungsi pengeluaran akan meningkatkan pendapatan (output) dari Y1 ke Y2.Penurunan tingkat bunga akan menaikkan investasi yang kemudian berdampak pada kenaikan output (pendapatan).

Kurva IS menghubungkan tingkat bunga dengan pendapatan yang berasal dari fungsi investasi dan Keynessian cross. Semakin rendah tingkat bunga akan mendorong peningkatan investasi, selanjutnya akan menyebabkan meningkatnya pendapatan yang juga berarti terjadi peningkatan pertumbuhan ekonomi. Jadi adanya peningkatan investasi di suatu negara akan mengakibatkan peningkatan pertumbuhan ekonomi di negara tersebut.

Pengeluaran untuk konsumsi barang bertujuan untuk menyediakan kebutuhan rumah tangga pada saat sekarang, sedangkan pengeluaran untuk barang investasi bertujuan untuk meningkatkan standar hidup di tahun-tahun yang akan datang. Tetapi belanja investasi ini mempunyai peran yang penting tidak hanya pada jangka panjang saja, namun juga pada siklus bisnis jangka pendek karena investasi merupakan unsur dari GDP yang paling sering berubah.

Ada tiga jenis pengeluaran investasi yaitu investasi tetap bisnis (business fixed investment) mencakup peralatan dan struktur yang dibeli perusahaan untuk proses produksi. Investasi residensial (residential investment) mencakup rumah


(15)

baru yang dibeli orang untuk tempat tinggal dan yang dibeli tuan tanah untuk disewakan. Investasi persediaan (inventory investment) mencakup barang–barang yang disimpan perusahaan digudang termasuk bahan-bahan dan persediaan, barang dalam proses dan barang setengah jadi (Mankiw, 2006).

2.3. Faktor-faktor yang Memengaruhi Penanaman Modal Asing

Pilihan investor asing untuk menanamkan investasinya dalam bentuk penanaman modal asing langsung dibanding modal lainnya di suatu Negara dipengaruhi oleh kondisi dari negara penerima penanaman modal asing (pull factor) yang dapat terdiri dari kondisi pasar, sumber daya, daya saing, kebijakan yang terkait dengan perdagangan dan industri serta kebijakan penanaman modal asing itu sendiri. Selain itu juga kondisi dan strategi dari penanam modal asing (push factor) dari investor.

Dengan adanya perubahan global pendekatan penanaman modal asing yang dilakukan oleh negara industri maju berbeda dengan pendekatan yang dilakukan oleh negara berkembang yang besar. Negara industri maju lebih mempertimbangkan kebijakan pemerintah yang transparan serta dukungan infrastruktur. Sementara itu, aliran penanaman modal asing langsung dari negara berkembang yang besar masih tergantung pada determinan tradisional seperti market size, tingkat pendapatan, ketrampilan tenaga kerja (labour skill), infrastruktur dan sumber-sumber lainnya yang dapat memfasilitasi spesialisasi produksi yang efisien, serta stabilitas politik dan ekonomi yang terjaga. Disamping itu insentif untuk investasi dalam bentuk kebijakan selektif pemerintah


(16)

16

(misalnya keringanan pajak dan penghapusan hambatan untuk masuk) diperkirakan dapat memengaruhi aliran penanaman modal asing baik secara langsung maupun tidak langsung (Kurniati, 2007) Adapun faktor-faktor ekonomi yang memengaruhi aliran masuk penanaman modal asing adalah :

a. Produk Domestik Regional Bruto

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu wilayah tertentu, atau merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi (BPS, 2008). Menurut Dumairy (1996), penghitungan PDRB dapat dihitung atau diukur dengan tiga macam pendekatan yaitu :

1. Pendekatan Produksi.

Menurut pendekatan produksi PDRB merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi di wilayah suatu negara dalam jangka waktu setahun. Unit-unit produksi dimaksud secara garis besar dipilah-pilah menjadi sembilan sektor atau lapangan usaha yaitu (1) pertanian, (2) pertambangan dan penggalian, (3) industri pengolahan, (4) listrik, gas dan air minum, (5) bangunan, (6) perdagangan, (7) pengangkutan dan komunikasi, (8) keuangan, persewaa dan jasa perusahaan, dan lainnya, dan (9) jasa-jasa.

2. Pendekatan Pendapatan.

PDRB adalah jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor produksiyang turut serta dalam produksi di wilayah suatu Negara dalam


(17)

jangka waktu setahun. Balas jasa produksi dimaksud meliputi upah dan gaji, sewa tanah, bunga modal dan keuntungan. Semuanya dihitung sebelum dipotong pajak penghasilan dan pajak langsung lainnya.

Dalam definisi ini PDRB juga mencakup penyusutan dan pajak-pajak tak langsung neto. Jumlah semua komponen pendapatan ini per sektor disebut nilai tambah bruto sektoral. Oleh sebab itu PDRB menurut pendekatan pendapatan merupakan penjumlahan dari nilai tambah bruto seluruh sektor atau lapangan usaha.

3. Pendekatan pengeluaran.

PDRB adalah jumlah seluruh komponen permintaan akhir, meliputi (1) pengeluaran konsumsi rumah tangga dan lembaga swasta yang tidak mencari keuntungan, (2) pembentukan modal tetap domestik bruto dan perubahan stok, (3) pengeluaran konsumsi pemerintah dan (4) ekspor neto, dalam jangka waktu setahun.

Salah satu faktor yang mendorong investor melakukan investasi di suatu daerah adalah karena faktor ekonomi di daerah tujuan, seperti potensi pasar, sumber daya alam dan daya saing. Potensi pasar digambarkan dengan besarnya pendapatan daerah tersebut yang dicerminkan oleh nilai Produk Domestik Bruto (PDRB).

Peranan pendapatan daerah (PDRB) terhadap investasi sangat penting, karena pendapatan yang tinggi akan memperbesar pendapatan masyarakat dan selanjutnya pendapatan masyarakat yang tinggi akan memperbesar permintaan terhadap barang dan jasa. Tingginya permintaan juga akam meningkatkan


(18)

18

keuntungan perusahaan dan mendorong dilakukannya lebih banyak investasi. Dengan kata lain, apabila PDRB meningkat maka investasi akan bertambah tinggi juga. Dengan demikian investasi mendapat pengaruh dari pendapatan daerah (PDRB).

b. Inflasi

Inflasi adalah keadaan dimana terjadi peningkatan harga umum secara terus menerus. Sedangkan tingkat inflasi menggambarkan perubahan harga-harga dalam suatu tahun tertentu. Indikator yang digunakan untuk mengukur inflasi adalah indeks harga konsumen, dengan perhitungan sebagai berikut :

Dimana :

: Tingkat inflasi pada periode t

: Indeks Harga Konsumen pada periode t

: Indeks Harga Konsumen pada periode t-1

Inflasi secara tidak langsung mempengaruhi penanaman modal asing, inflasi yang tinggi membuat harga barang dan jasa menjadi mahal sehingga biaya input produksi menjadi meningkat. Kondisi ini menyebabkan pelaku usaha harus meningkatkan harga output sehingga daya saing menjadi rendah. Inflasi juga mengakibatkan daya beli masyarakat menjadi rendah, permintaan terhadap barang dan jasa menurun, akibatnya kegiatan perdagangan lesu dan investor sulit untuk mendapatkan return dan keuntungan.


(19)

c. Keterbukaan Ekonomi

Derajat keterbukaan yang merefleksikan kesediaan suatu Negara/daerah untuk menerima investasi asing merupakan faktor yang penting untuk menarik investasi. Globalisasi telah mendorong setiap Negara untuk melonggarkan aturan mengenai mobilitas barang dan jasa, tenaga kerja, teknologi dan modal. Sehingga negara menjadi lebih terbuka terhadap ekonomi luar, dimana penanaman modal asing dan perdagangan menjadi faktor pendorong yang tidak dapat dihindari (Moosa, 2002).

d. Upah Minimum Provinsi

Upah minimum provinsi adalah standar upah yang ditetapkan oleh pemerintah provinsi dalam rangka melindungi kepentingan kaum buruh dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Ketika terjadi kenaikan upah maka biaya faktor produksi perusahaan semakin meningkat, jika tidak diimbangi dengan kenaikan produktivitas pekerja maka keuntungan yang diperoleh investor berkurang dan investasi akan menurun.

2.4. Penelitian terdahulu

Asiedu (2002) yang melakukan penelitian tentang determinan FDI pada negara berkembang khususnya negara-negara di sub Sahara Afrika menghasilkan bahwa tingginya tingkat pengembalian investasi (return of investment) atau keuntungan dari investasi dan fasilitas infrastruktur yang baik mempunyai hubungan yang positif di negara-negara selain negara-negara sub Sahara Afrika


(20)

20

tetapi mempunyai pengaruh yang tidak signifikan di negara-negara sub Sahara Afrika. Kedua bahwa margin keuntungan (maginal benefit) dari peningkatan keterbukaan ekonomi lebih kecil untuk negara-negara di sub Sahara Afrika. Jadi dari penelitian ini bisa ditarik kesimpulan bahwa keberhasilan dari kebijakan-kebijakan untuk menarik FDI di negara-negara lain belum tentu juga berhasil bila diterapkan di Afrika.

Azam dan Lukman dalam penelitiannya tentang determinan FDI di India, Pakistan dan Indonesia dengan pendekatan kuantitatif dan data periode tahun 1971 sampai tahun 2005 menggunakan model log regresi linier (log linier regression) menyimpulkan bahwa di Pakistan ukuran pasar, infrastuktur, keterbukaan ekonomi, ekspektasi investasi domestik mempunyai hubungan yang positif dan berpengaruh signifikan terhadap FDI pada tingkat 1 persen, sedangkan hubungan hutang luar negeri dan pajak langsung terhadap aliran FDI mempunyai hubungan yang negatif. Namun meskipun tingkat inflasi dan konsumsi pemerintah dalam penelitian ini tidak signifikan bukan berarti variabel tersebut tidak mempunyai pengaruh pada aliran FDI. Untuk kasus di India hutang luar negeri mempunyai pengaruh signifikan yang tinggi dan berhubungan negatif pada tingkat 5 persen, infrastruktur signifikan dan positif pada tingkat 1 persen, investasi domestik berpengaruh signifikan yang tinggi dan positif pada tingkat 5 persen. Sedangkan tingkat inflasi dan konsumsi pemerintah sama dengan kasus di Pakistan. Sedangkan hasil penelitian untuk Indonesia mempunyai hasil yang berbeda dengan studi empiris pada Pakistan dan India. Di Indonesia hampir semua hasil tidak signifkan secara statistik, hal ini dikarenakan tidak tersedianya data dan


(21)

data yang digunakan diambil dari indikator pembangunan internasional, sementara untuk Pakistan dan India data yang digunakan bersumber dari survei ekonomi yang dilakukan di negara masing-masing.

Jadi dari penelitian ini bisa disimpulkan bahwa hutang luar negeri mempunyai hubungan yang negatif dengan arus masuk FDI, fasilitas infrastruktur berpengaruh positif dan signifikan, pada kasus Pakistan efek dari pajak langsung berpengaruh negatif dan signifikan, sesuai dengan kenyataan bahwa perusahaan multinasional bertujuan untuk memperoleh keuntungan lebih, sehingga bisa diasumsikan bahwa perusahaan ini sensitif terhadap pajak dikarenakan pajak mempunyai dampak langsung terhadap keuntungannya. Investasi domestik memperlihatkan hubungan yang positif dan signifikan. Keterbukaan ekonomi berpengaruh secara signifikan dan ini menunjukkan liberalisasi yang mana kondusif dalam memengaruhi arus masuk FDI.

Untuk meningkatkan FDI di Pakistan, India dan Indonesia, otoritas manajemen pada negara masing-masing dibutuhkan untuk menjamin stabilitas ekonomi dan politik, perlengkapan fisik kualitas infrastruktur, menjaga tingkat inflasi, menarik investasi domestik, membatasi hutang luar negeri, insentif keuangan, mengurangi bea cukai, kedamaian dan keamanan, hukum dan kebijakan pemerintah yang konsisten merupakan faktor kunci yang potensial untuk investor dalam membuat keputusan investasi.

Kurniati, et.al (2007) dalam penelitiannya tentang faktor-faktor determinan masuknya aliran modal FDI di Asia dan Indonesia serta menguji dampak investasi yang masuk ke China terhadap FDI yang masuk ke Indonesia


(22)

22

menggunakan series data tahun 1992 sampai dengan 2006 menyimpulkan bahwa determinan emerging Asia, khususnya Indonesia memperkuat hasil survey yang telah dilakukan oleh lembaga-lembaga internasional seperti World Economic Forum, JICA dan lain-lain mengenai motif dari investor asing menanamkan modalnya di Asia dan Indonesia, dimana investor menaruh perhatian besar terhadap potensi pasar, masalah efisiensi terkait dengan tenaga kerja dan infrastruktur serta stabilitas finansial yang tercermin dari stabilitas nilai tukar serta adanya insentif investasi yang dapat tercermin dari terlibatnya home dan host country dalam perjanjian investasi bilateral ataupun regional.

Dalam penelitian tersebut untuk kasus Indonesia, kestabilan politik menjadi faktor yang sangat dipertimbangkan oleh investor disamping faktor-faktor yang telah disebutkan diatas. Oleh karena itu untuk dapat lebih meningkatkan daya tarik investor asing agar menanamkan modalnya di Indonesia, maka pemerintah Indonesia harus meningkatkan laju pertumbuhan ekonominya, menjaga stabilitas politik dan keuangan serta memacu penyediaan sarana infrastruktur (transportasi, listrik, komunikasi), sehingga peningkatan investasi asing yang masuk akan meningkatkan manfaat yang diperoleh Indonesia sebagai host country untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih sustainable. Demikian juga investor sebagai home country akan memperoleh manfaat ekonomi dari perluasan usaha dan profit usaha. Sedangkan upah buruh tidak signifikan pengaruhnya terhadap aliran modal FDI ke Indonesia. Diperkirakan bahwa investor sudah cenderung mempertimbangkan produktivitas tenaga kerja, dengan demikian penting bagi Indonesia untuk mendorong peningkatan ketrampilan dan


(23)

pendidikan agar dapat menyediakan tenaga kerja yang memiliki produktivitas yang tinggi.

Selanjutnya, model gravity yang digunakan dalam penelitian ini menunjukkan adanya pengaruh positif dari setiap peningkatan FDI ke China terhadap masuknya investasi ke Indonesia. Hasil ini menunjukkan kesesuaian dengan teori production networking, dimana tumbuhnya investasi di China menyebabkan peningkatan produksi dan negara-negara yang melakukan ekspor bahan baku ke China.

Sutarsono (2010), melakukan penelitian menggunakan data time series triwulanan dari tahun 1990-2010 tentang determinant foreign direct investment di Indonesia menyimpulkan bahwa dalam jangka pendek determinan domestik tidak signifikan terhadap aliran FDI, tetapi variabel lag, PDB, infrastruktur dan nilai tukar berkorelasi positif terhadap FDI sedangkan ekspor dan keterbukaan ekonomi berkorelasi negatif. Dalam jangka panjang aliran FDI secara positif dan signifikan dipengaruhi oleh PDB, infrastruktur, keterbukaan ekonomi dan nilai tukar, sedangkan ekspor dan krisis ekonomi berpengaruh negatif terhadap FDI.

Sodik dan Nuryadin (2008), yang melakukan penelitian dengan judul determinan investasi di daerah : studi kasus provinsi di Indonesia periode tahun 1993 sampai dengan 2003 dengan menggunakan metode panel dinamik. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa indikator market size yaitu laju PDRB berpengaruh terhadap pilihan lokasi berinvestasi di daerah tetapi dengan arah yang negatif. Hal ini berarti laju pertumbuhan PDRB yang tinggi belum tentu


(24)

24

menarik bagi investor. Indikator infrastruktur yaitu daya listrik terpasang tidak berpengaruh terhadap pilihan lokasi berinvestasi di daerah.

Indikator ketenagakerjaan yaitu angkatan kerja dan upah, hanya angkatan kerja saja yang berpengaruh terhadap pilihan lokasi berinvestasi meskipun dengan arah yang negatif. Untuk variabel upah tidak berpengaruh terhadap pilihan lokasi berinvestasi, ini dikarenakan investor sekarang ini sudah tidak lagi mempertimbangkan upah yang murah, tetapi lebih ke hal efisiensi biaya produksi dan optimalisasi produktivitas sumberdaya yang ada. Adapun indikator keterbukaan ekonomi (openness) yaitu ekspor berpengaruh positif dan signifikan terhadap pilihan lokasi berinvestasi di daerah.

Sarwedi (2002), melakukan penelitian tentang investasi asing langsung di Indonesia dan faktor yang memengaruhinya, menggunakan perhitungan kuadrat terkecil sederhana Ordinary Least Square (OLS) dengan mengaplikasikan model koreksi kesalahan (error correction model) dan uji kausalitas Granger. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa variabel ekonomi (GDP, growth, wage dan ekspor) mempunyai hubungan positif dengan FDI, sedangkan variabel nonekonomi yaitu stabilitas ekonomi mempunyai hubungan negatif.

Phytaloka (2010), melakukan penelitian dengan judul analisis faktor-faktor yang memengaruhi penanaman modal asing dan peluang investasi : studi kasus Kota Cimahi, Jawa Barat. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan model analisis regresi linier berganda OLS dan analisis shift share. Hasil dari penelitian ini adalah variabel PDRB, tenaga kerja dan dummy peraturan berpengaruh signifikan, sedangkan jalan dan inflasi tidak berpengaruh pada taraf nyata.


(25)

2.5. Kerangka Pemikiran

Sebagaimana telah dijelaskan pada latar belakang bahwa penanaman modal asing (PMA) merupakan modal pembangunan dan salah satu sumber pembiayaan pembangunan yang cukup penting bagi Indonesia khususnya Provinsi Jawa Timur. Dalam perkembangannya aliran penanaman modal asing yang masuk dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti determinan domestik, krisis ekonomi dan regulasi. Dalam penelitian ini digunakan determinan domestik utama yang secara teoritis berkaitan erat dengan aliran penanaman modal asing yaitu Produk Domestik Bruto (PDRB), keterbukaa ekonomi, inflasi dan upah minimum provinsi.

Provinsi Jawa Timur dipilih karena nilai investasi masih terbilang rendah dibandingkan dengan investasi asing yang masuk di provinsi-provinsi lain di Pulau Jawa. Digunakan determinan domestik sebagai variabel karena secara teknis variabel tersebut dapat digunakan oleh pemerintah Provinsi Jawa Timur dalam pengambilan kebijakan untuk menarik investor asing.

Secara skematis kerangka pemikiran diatas dapat digambarkan dalam gambar 2.5.


(26)

26

Gambar 2.2. Kerangka Pemikiran

2.6. Hipotesis Penelitian

Dalam penelitian ini variabel penanaman modal asing di Provinsi Jawa Timur merupakan variabel dependen atau variabel yang dipengaruhi. Sedangkan PDRB, keterbukaan ekonomi, inflasi dan upah minimum provinsi merupakan variabel yang memengaruhi atau variabel independen. Berdasarkan teori dan penelitian terdahulu hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini adalah bahwa

Rendahnya

Penanaman Modal Asing di Provinsi Jawa Timur

Determinan Domestik

PDRB Inflasi

Gambaran Perkembangan PMA di Provinsi Jawa Timur Keterbukaan

ekonomi

Upah Minimum


(27)

PDRB dan keterbukaan ekonomi berpengaruh positif terhadap penanaman modal asing, sedangkan inflasi dan upah minimum provinsi mempunyai hubungan negatif terhadap penanaman modal asing.


(28)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder (time series) yang diperoleh dari beberapa lembaga dan instansi pemerintah, antara lain berasal dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Timur, Badan Koordinasi Penanaman Modal Provinsi Jawa Timur dan Bank Indonesia serta beberapa situs website yang mendukung dan berhubungan dengan penelitian ini. Data-data yang digunakan adalah data penanaman modal asing yang disetujui pemerintah Provinsi Jawa Timur, PDRB Provinsi Jawa Timur atas dasar harga berlaku, keterbukaan ekonomi, inflasi dan upah minimum provinsi.

Tabel 3.1. Variabel-Variabel yang Digunakan dalam Penelitian

Variabel Satuan Sumber Simbol

Penanaman Modal Asing yang disetujui

000 USD Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Provinsi Jawa Timur

PMA

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi Jawa Timur atas dasar harga berlaku

Juta Rp Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Timur

PDRB

Keterbukaan ekonomi dengan

proxy rasio jumlah ekspor dan impor terhadap PDRB

persen Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Timur

OPEN

Inflasi persen Badan Pusat Statistik

(BPS) Provinsi Jawa Timur

INF

Upah Minimum Provinsi Rupiah Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Timur


(29)

Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data tahunan periode 1996 sampai dengan periode 2010. Tabel 3.1 menjelaskan tentang variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini beserta satuan, sumber dan simbolnya.

3.2. Metode Analisis Data

Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi Penanaman Modal Asing (PMA) di Provinsi Jawa Timur. Memberikan gambaran tentang perkembangan penanaman modal asing periode 1996-2010 kepada Pemerintah Provinsi Jawa Timur sehingga dapat dijadikan sebagai acuan pengambilan kebijakan untuk mendorong peningkatan Penanaman Modal Asing (PMA) sebagai salah satu modal dalam melaksanakan pembangunan yang selanjutnya diharapkan dapat meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi. Analisis kuantitatif dilakukan dengan menggunakan regresi linier berganda. Metode analisis data yang digunakan adalah Ordinary Least Square (OLS). Untuk memudahkan dalam melakukan pengolahan data yang digunakan dalam penelitian ini, maka data tersebut dimasukkan ke dalam Microsoft Exel dan diolah dengan menggunakan Eviews 6.0.

3.2.1. Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif merupakan analisis penggambaran dari apa yang akan dibicarakan lebih jauh. Adapun penyajiannya digunakan uraian dan grafik.


(30)

30

Analisis ini digunakan untuk menggambarkan keberadaan penanaman modal asing di Provinsi Jawa Timur. Dalam penelitian ini, analisis deskriptif yang digunakan menekankan pada aspek perkembangan aliran penanaman modal asing serta aliran penanaman modal asing per sektor.

3.2.2. Metode Regresi Linier Berganda

Analisis regresi merupakan suatu alat analisis untuk mengetahui pengaruh variabel bebas terhadap variabel tak bebas yang dinyatakan dalam koefisien regresi. Variabel bebas adalah variabel yang nilainya dapat ditentukan dan bersifat menerangkan variabel tak bebas yang nilainya tergantung kepada variabel bebas. Dalam analisis regresi diketahui dua bentuk model yaitu model persamaan tunggal dan model persamaan simultan. Pada model persamaan tunggal ada satu variabel tak bebas Y yang diterangkan oleh satu atau beberapa variabel X. Sementara dalam persamaan simultan suatu variabel Y tidak hanya ditentukan oleh variabel X tetapi beberapa variabel X juga ditentukan oleh variabel Y atau ada dua variabel Y1 dan Y2 yang dipengaruhi secara bersama-sama oleh suatu variabel X. Adapun dalam penelitian ini menggunakan analisis regresi dengan model persamaan tunggal yaitu analisis regresi linier berganda.

Ordinary Least Square (OLS) merupakan salah satu metode yang sering digunakan karena kemudahannya dalam mengolah data. Gujarati (1993) menyatakan bahwa ada beberapa asumsi yang harus dipenuhi dalam model ini diantaranya adalah :


(31)

1. Semua penaksir tak bias linier atau penaksir OLS mempunyai varians minimum.

2. Varians tiap unsur disturbance ei tergantung (conditional) pada nilai yang dipilih dari variabel yang menjelaskan adalah suatu angka konstan yang sama dengan yang merupakan asumsi homoskedastisitas yaitu varians yang sama.

3. Tidak ada autokorelasi artinya tidak ada korelasi antara anggota serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu (seperti dalam data deret waktu) atau seperti dalam data cross sectional.

4. Variabel yang menjelaskan adalah non stokastik yaitu terdiri dari angka-angka yang tetap (fixed) dan ei didistribusikan secara normal.

5. Tidak ada multikolinearitas antara variabel yang menjelaskan X.

Jika asumsi ini terpenuhi maka penaksiran OLS koefisien regresi menjadi BLUE (Best Linier Unbiassed Estimator). Salah satu regresi dalam OLS adalah regresi berganda. Analisis regresi linier berganda menunjukkan hubungan sebab akibat antara variabel X (variable eksogen) yang merupakan penyebab dari variabel Y (variable endogen) yang merupakan akibat. Analisis regresi linier berganda digunakan untuk menguraikan pengaruh varibel-variabel yang menjelaskan (eksogen) yang mempengaruhi varibel bebasnya (endogen). Regresi linier berganda tidak hanya melihat keterkaitan antar variabel-variabel namun juga mengukur besarnya hubungan kausalitasnya.


(32)

32

3.2.3. Model Umum Analisis Regresi Linier Berganda

Gujarati (1993), model umum analisis regresi linier berganda dapat dituliskan sebagai berikut :

(3.1.)

Dimana :

Y : Variabel endogen atau variabel tak bebas i : Periode

: Intersep atau nilai Y saat X = 0

: Variabel eksogen atau variabel bebas

: Parameter dari

: Error term atau derajat kesalahan

3.2.4. Model Analisis Penelitian

Dalam penelitian ini variabel yang digunakan dalam menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi PMA di Provinsi Jawa Timur adalah PDRB dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika. PDRB digunakan karena PDRB menggambarkan besarnya pangsa pasar, nilai tukar menggambarkan kestabilan moneter suatu Negara/wilayah. Sehingga model analisis regresi linier berganda dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

(3.2)

Dimana :

PMA : Penanaman Modal Asing (000 USD)


(33)

OPEN : Keterbukaan ekonomi (persen) INF : Inflasi (persen)

UMP : Upah minimum provinsi (Rupiah) : Error term atau derajat kesalahan

3.3. Pengujian Kriteria Ekonomi dan Statistik

Pengujian dapat dilakukan dengan kriteria ekonomi dan statistik. Pengujian kriteria ekonomi dilakukan untuk melihat besaran dan tanda parameter yang akan diestimasi, apakah sesuai dengan teori atau tidak. Sedangkan pengujian statistik dimaksudkan untuk mengetahui apakah model yang digunakan merupakan model yang tepat untuk menggambarkan hubungan antar variabel. Selain itu untuk mengetahui apakah ada hubungan yang signifikan diantara variabel-variabel dependen dengan variabel independen.

3.3.1. Uji t

Uji t digunakan untuk melihat apakah masing-masing variabel bebas (variable eksogen) secara parsial berpengaruh pada variabel tak bebasnya (variable endogen). Selain itu juga untuk melihat keabsahan dari hipotesis dan membuktikan bahwa koefisien regresi dalam model secara statistik signifikan atau tidak.

Hipotesis : : = 0


(34)

34

Statistik uji yang dilakukan dalam uji t adalah sebagai berikut :

(3.4) Hasil t-hitung dibandingkan dengan t-tabel .

Dimana :

b : Koefisien regresi parsial sampel B : Koefisien regresi parsial populasi Sb : Simpangan baku koefisien dugaan

Kriteria uji yang digunakan dalam melakukan uji-t adalah sebagai berikut :

1. Apabila nilai t-hitung lebih besar dari nilai , maka tolak H0. Hal ini berarti bahwa variabel yang digunakan berpengaruh nyata terhadap variabel tak bebas (variable endogen).

2. Apabila nilai t-hitung lebih kecil dari nilai , maka terima H0. Hal ini berarti variabel yang digunakan tidak berpengaruh nyata terhadap variabel tak bebas (variabel eksogen).

3.3.2. Uji F

Uji F dilakukan untuk melihat apakah variabel-variabel bebas (variable eksogen) secara serempak berpengaruh nyata pada variabel terikatnya (variable endogen). Apabila uji F lebih kecil dari taraf nyata artinya H0 diterima, hal ini menandakan bahwa ada minimal satu variabel yang berpengaruh secara signifikan atau berpengaruh nyata pada keragaman variabel terikatnya.

Mekanisme untuk menguji hipotesis dari parameter dugaan secara serentak (uji F-statistik) adalah sebagai berikut :


(35)

Hipotesis : : : minimal ada satu Untuk i = 1, 2, 3, …, k

= dugaan parameter

Statistik uji yang dilakukan dalam uji-F adalah sebagai berikut :

(3.5) Keterangan :

Hasil dari F-hitung dibandingkan dengan F-tabel (F-tabel = , dimana : R2 = Koefisien determinasi

n = Banyaknya data

K = Jumlah koefisien regresi dugaan

Kriteria uji yang digunakan dalam pengujian model penduga adalah sebagai berikut :

1. Apabila nilai F-hitung lebih besar dari , maka tolak H0. Maksudnya adalah terdapat minimal parameter dugaan yang tidak nol dan berpengaruh nyata terhadap keragaman variabel tak bebas.

2. Apabila nilai F-hitung lebih kecil dari , maka terima H0. Hal ini berarti secara bersamaan variabel yang digunakan tidak bisa menjelaskan secara nyata keragamaan dari variabel tak bebas.

3.3.3. Uji Koefisien Determinasi (R2)

Uji koefisien determinasi R2 (R2 adjusted) digunakan untuk melihat sejauh mana variabel bebas mampu menerangkan keragaman variabel terikatnya. Nilai


(36)

36

R2 mengukur tingkat keberhasilan model regresi yang digunakan dalam memprediksi nilai variabel terikatnya. Menurut Gujarati (1993) terdapat dua sifat R2 yaitu :

1. Merupakan besaran non negatif.

2. Batasnya adalah antara 0 dan 1. Jika R2 bernilai 1 berarti suatu kecocokan sempurna, sedangkan jika R2 bernilai 0 berarti tidak ada hubungan antara variabel terikat dengan variabel bebasnya.

R2 =

= 1 -

= 1 – ∑

a

atau (3.6)

= 1 -

(3.7)

Dimana :

ESS = Jumlah kuadrat yang dijelaskan (explained sum square) TSS = Jumlah kuadrat total (total sum square)

= Varians residual = Varians sampel dari Y

Salah satu masalah jika menggunakan ukuran R-squared untuk menilai baik buruknya suatu model adalah mendapatkan nilai yang terus naik seiring dengan pertambahan variabel bebas ke dalam model sehingga adjusted R-squared secara umum memberikan penalty atau hukuman terhadap penambahan variabel bebas yang tidak mampu menambah daya prediksi suatu model. Nilai adjusted


(37)

R-squared tidak akan pernah melebihi nilai R-squared bahkan bisa turun jika ditambahkan variabel bebas yang tidak perlu. Bahkan model yang memiliki kecocokan rendah (goodness of fit), adjusted R-squared dapat memiliki nilai negative. Nilai Adjusted R-squared dapat dihitung sebagai berikut :

(3.8)

k adalah banyaknya parameter dalam model termasuk faktor intersep.

3.3.4. Uji Kriteria Ekonometrika 1. Uji Normalitas

Kenormalan sisaan diperlukan agar dihasilkan nilai estimasi parameter yang tidak bias, efisien dan konsisten. Selain itu, pengujian parameter dalam analisis regresi menggunakan nilai kritis distribusi t dan F yang keduanya berasal dari distribusi normal. Pemeriksaan kenormalan sisaan dapat dlakukan melalui Plot Persentil-Persentil (P-P Plot), jika nilai sisaan membentuk garis lurus maka sisaan berdistribusi normal.

Pengujian asumsi kenormalan secara formal dapat dilakukan dengan uji Kolmogorov-Smirnov yang merupakan suatu uji mengenai tingkat kesesuaian antara distribusi serangkaian nilai sisaan dengan distribusi normal. Hipotesis yang digunakan adalah :

H0 : distribusi sisaan mengikuti distribusi normal H1 : distribusi sisaan tidak mengikuti distribusi normal


(38)

38

Statistik uji :

D = maksimum F0(Xi) – Sn(Xi) dengan i = 1, 2, 3, …, n.

F0(X) merupakan distribusi frekuensi kumulatif teoritis mengikuti distribusi normal, sedangkan Sn(X) merupakan distribusi frekuensi kumulatif sisaan yang diamati sesuai jumlah sampel.

Pada pengujian dengan tingkat kepercayaan sebesar (1-α) persen dapat diambil keputusan menerima H0 jika D < Dtabel dan menolak H0 jika D ≥ Dtabel.

Dtabel merupakan nilai kritis dari tabel Kolmogorov-Smirnov. Selain itu

pengambilan keputusan dapat didasarkan pada nilai p-value yaitu jika p-value ≥ α maka H0 diterima, sedangkan jika p-value < α maka H0 ditolak.

2. Autokorelasi

Secara harfiah autokorelasi berarti adanya korelasi antara anggota observasi dengan observasi lain yang berlainan waktu atau disebut juga serial correlation. Menurut Gujarati (1993), dalam model regresi akan terjadi autokorelasi apabila terjadi bentuk fungsi yang tidak tepat, peubah penting dihilangkan dari model, terjadi interpolasi data. Untuk mendeteksi ada tidaknya autokorelasi first degree dapat digunakan nilai Durbin-Watson (DW) dari hasil regresi, namun untuk melihat autokorelasi pada tingkat yang lebih tinggi digunakan Uji Breuch Godfrey Serrial Corelation Lagrange LM Test.

Autokorelasi akan menyebabkan diantaranya sebagai berikut : a. Dugaan parameter tidak bias.


(39)

c. Ragam galat tidak jelas.

d. Terjadi pendugaan kurang tepat pada ragam galat (standar error underestimated), sehingga Sb underestimated. Oleh karena itu, t overestimate cenderung lebih besar dari yang sebenarnya.

H0 = β = 0 (tidak terdapat serial autokorelasi) H1 = β≠ 0 (terdapat serial autokorelasi)

Kriteria uji yang digunakan untuk melihat adanya autokorelasi adalah sebagai berikut :

1. Apabila nilai obs*R-squared lebih besar dari taraf nyata yang digunakan, maka model persamaan yang digunakan tidak mengalami masalah autokorelasi.

2. Apabila nilai obs*R-squared lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan, maka model persamaan yang digunakan mengalami masalah autokorelasi. Solusi dari masalah autokorelasi yaitu dengan menghilangkan variabel yang sebenarnya tidak berpengaruh terhadap variabel bebas. Jika terjadi kesalahan dalam spesifikasi model, hal ini dapat diatasi dengan mentransformasi model, misalnya dari model linier menjadi non linier atau sebaliknya.

3. Heterokedastisitas

Seringkali pada data yang dianalisis ditemukan masalah varians residual yang bervariasi (heterokedastisitas), sementara itu analisis regresi menghendaki asumsi bahwa residual memiliki varians konstan (homokedastisitas). Heterokedastisitas terjadi apabila ada pelanggaran pada asumsi regresi. Hal


(40)

40

tersebut ditandai dengan varians tidak tetap. Heterokedastisitas tidak merusak sifat ketidakstabilan dan konsistensi dari penaksir OLS, tetapi penaksir dihasilkan tidak lagi mempunyai varians minimum (efisien). Menurut Gujarati (1993), jika terjadi heterokedastisitas maka akan berakibat sebagai berikut :

1. Estimasi dengan menggunakan OLS tidak akan memiliki varians yang minimum atau estimator tidak efisien.

2. Prediksi (nilai Y untuk X tertentu) dengan estimator dari data yang sebenarnya akan mempunyai varians yang tinggi, sehingga prediksi tidak efisien.

3. Tidak akan ditetapkannya uji nyata koefisien atau selang kepercayaan dengan menggunakan formula yang berkaitan dengan varians.

Secara umum ada beberapa cara atau teknik yang dapat digunakan untuk mendeteksi adanya heterokedastisitas, yaitu :

1. Uji Park.

2. Uji Breusch Pagan Godfrey.

3. Uji White (White General Heterokedastisity Test).

Dalam penelitian ini untuk menguji ada tidaknya heterokedastisitas dengan menggunakan Breusch Pagan Godfrey dan White General Heteroskedastisity Test. Kriteria uji yang digunakan untuk melihat adanya heterokedastisitas adalah jika nilai probability obs*R-squared lebih besar dari taraf nyata yang digunakan, maka model persamaan yang digunakan tidak mengalami masalah heterokedastisitas. Sebaliknya jika nilai probability obs*R-squared lebih kecil dari


(41)

taraf nyata yang digunakan, maka persamaan tersebut mengalami masalah heterokedastisitas.

Untuk mengatasi masalah heterokedastisitas ada beberapa teknik, diantaranya :

a. Metode Generalized Least Square (GLS). b. Transformasi dengan logaritma.

4. Uji Multikolinearitas

Pada regresi linier berganda digunakan lebih dari satu variabel bebas untuk menjelaskan variabel tak bebas. Asumsi yang harus dipenuhi adalah bahwa antar variabel bebas ini tidak terdapat korelasi sehingga estimasi parameter koefisien regresi dari masing-masing variabel bebas benar-benar mencerminkan pengaruhnya terhadap variabel tak bebas. Multikolinearitas terjadi apabila pada regresi linier berganda terjadi hubungan antar variabel bebas atau terjadi karena adanya korelasi yang nyata antar peubah bebas. Pelanggaran asumsi ini akan menyebabkan kesulitan untuk menduga yang diinginkan.

Menurut Gujarati (1993), untuk mendeteksi ada tidaknya multikolinieritas adalah dengan memperlihatkan hasil probabilitas t-statistik hasil regresi. Jika banyak koefisien parameter yang diduga menunjukkan hasil yang tidak signifikan, maka hal ini mengindikasikan adanya multikolinieritas. Salah satu cara yang paling mudah untuk mengatasi pelanggaran ini adalah dengan menghilangkan salah satu variabel yang tidak signifikan tersebut. Hal ini sering tidak dilakukan karena dapat menyebabkan bias parameter spesifikasi pada model. Kemudian cara


(42)

42

lain adalah dengan mencari variabel instrumental yang berkorelasi dengan variabel terikat tetapi tidak berkorelasi dengan variabel bebas lainnya. Hal ini agak sulit dilakukan mengingat tidak adanya informasi tentang tipe variabel tersebut. Ada beberapa cara untuk mendeteksi ada tidaknya multikolinieritas, salah satunya yaitu melalui correlation matric, dimana batas terjadinya korelasi antar sesama variabel bebas adalah tidak lebih dari │0,80│.

Selain correlation matric dapat juga menggunakan Uji Klien, apabila

terdapat nilai korelasi yang lebih tinggi dari │0,80│, maka menurut Uji Klien multikolinieritas dapat diabaikan selama nilai korelasi tersebut tidak melebihi Adjusted R-squared. Jika tetap menggunakan OLS dalam menghitung estimasi parameter model regresi linier berganda yang mengandung multikolinieritas maka kita harus menghadapi konsekuensi sebagai berikut :

1. Estimator yang dihasilkan masih merupakan BLUE (Best Linear Unbiased Estimator) tetapi memiliki varians dan kovarians yang besar sehingga sulit mendapatkan estimasi yang tepat.

2. Interval estimasi akan cenderung melebar, sehingga nilai statistik hitung t akan kecil akibatnya variabel bebas tidak signifikan secara individual meskipun secara simultan signifikan.

3. Nilai korelasi simultan R-square tinggi tetapi korelasi parsial rendah.

3.4. Beberapa Kelemahan Metode Ordinary Least Square (OLS)

Ketika menggunakan data runtun waktu (time series), seringkali muncul kesulitan-kesulitan yang sama sekali tidak dijumpai pada saat menggunakan data


(43)

seksi silang (cross section). Sebagian besar kesulitan tersebut berkaitan dengan urutan pengamatan. Ada hal yang menjadi kelemahan metode Ordinary Least Square (OLS) dengan menggunakan data time series (Gujarati, 1993) antara lain : 1. Suatu kondisi dimana satu variabel time series berubah secara konsisten

dan terprediksi sebelum variabel lain yang ditentukan demikian. Jika suatu variabel mendahului variabel yang lain, tidak dapat dipastikan bahwa variabel pertama tersebut menyebabkan variabel lain berubah.

2. Variabel-variabel independen Nampak lebih signifikan dari sebenarnya, yaitu apabila variabel-variabel itu memiliki trend menarik yang sama dengan variabel dependennya dalam kurun waktu periode sampel.

3. Terkadang variabel time series tidak stasioner. Maksudnya rata-rata dan variannya tidak konstan sepanjang waktu dan nilai kovarian antara dua periode waktu tergantung dari jarak atau lag antara kedua periode dari waktu sesungguhnya dimana kovarian itu dihitung dan bukan dari periode pada waktu.

4. Variabel time series terkadang tidak mempunyai kointegrasi yaitu dalam jangka waktu tertentu tidak terdapat keseimbangan.

5. Sulit untuk menentukan kapan sebuah variabel tersebut penting sebagaimana dijelaskan dalam teori atau sebaliknya teorinya kurang jelas, maka akan muncul dilema.


(44)

BAB IV

GAMBARAN UMUM

4.1. Perkembangan Penanaman Modal Asing (PMA)

Nilai proyek Penanaman Modal Asing (PMA) di Provinsi Jawa Timur dari tahun ke tahun mengalami pertumbuhan yang sangat fluktuatif (Gambar 4.1). Hal ini tidak dapat dilepaskan dari kondisi ekonomi global, dimana ketidakpastian perekonomian dunia akan sangat berpengaruh terhadap keputusan berinvestasi yang dilakukan oleh negara-negara maju.

Laju pertambahan nilai penanaman modal asing yang masuk pada tahun 2005 sebesar 50,68 persen, hal ini seiring dengan jumlah proyek yang juga meningkat sebesar 20,00 persen. Pada tahun 2006 peningkatan jumlah proyek sebesar 6,41 persen mampu meningkatkan nilai penanaman modal asing sebesar 172,22 persen. Sedangkan pada tahun berikutnya peningkatan jumlah proyek sebesar 2,41 persen tidak diiringi dengan peningkatan nilai penanaman modal asing yang masuk tetapi justru nilainya menurun sebesar 41,72 persen. Jadi nilai penanaman modal asing tidak ditentukan oleh seberapa banyak jumlah proyek yang masuk. Adapun jumlah proyek yang masuk pada tahun 2010 meningkat sebesar 18,75 persen, demikian juga nilai penanaman modal asing meningkat sebesar 31,50 persen.

Pada periode 1990-2010 menunjukkan bahwa penanaman modal asing tahun 1994 merupakan investasi yang paling tinggi yaitu mencapai 6.771 juta USD dengan proyek sebanyak 56 proyek. Angka ini meningkat 151,96 persen


(45)

dibandingkan jumlah penanaman modal asing yang masuk ke Provinsi Jawa Timur tahun 1993. Sedangkan pada tahun 1998 penanaman modal asing mengalami penurunan cukup tajam yaitu sebesar 86,25 persen. Hal ini disebabkan krisis ekonomi dunia yang terjadi pada tahun 1997, dimana kejadian tersebut sangat berpengaruh pada penanaman modal asing yang masuk tidak hanya dalam lingkup nasional saja tetapi juga dalam lingkup daerah.

Penanaman modal asing yang masuk di Provinsi Jawa Timur pada tahun-tahun berikutnya tetap berfluktuasi tetapi dengan arah yang terus meningkat, krisis finansial yang terjadi pada tahun 2008 juga tidak begitu berpengaruh pada aliran masuk investasi asing. Meskipun sempat mengalami penurunan pada tahun 2009, penanaman modal asing kembali meningkat sebesar 31,50 persen di tahun 2010.

Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal Provinsi Jatim

Gambar 4.1. Perkembangan Penanaman Modal Asing di Provinsi Jawa Timur Tahun 1990-2010

0 1,000,000 2,000,000 3,000,000 4,000,000 5,000,000 6,000,000 7,000,000 8,000,000

n

il

ai

P

M

A

(0

0

0

USD)


(46)

46

Peningkatan yang terjadi pada tahun 2010 salah satunya disebabkan oleh masuknya investasi perusahaan multinasional dari Swiss yang bergerak dibidang pembenihan, hal ini memberikan harapan positif dan sesuai dengan visi Pemerintah Provinsi Jawa Timur untuk menjadikan daerah Jawa Timur sebagai wilayah agribisnis terkemuka di Asia (BPM Provinsi Jatim, 2011).

Sedangkan jika dilihat dari sektor, penanaman modal asing yang masuk ke Provinsi Jawa Timur didominasi oleh sektor industri pengolahan. Adapun penanaman modal asing yang masuk ke Provinsi Jawa Timur selama 2000-2010 menunjukkan bahwa secara rata-rata sektor terbesar adalah investasi di sektor industri sebesar 63,96 persen, kemudian sektor lainnya (sektor bangunan, hotel dan restoran, jasa-jasa) sebesar 34,69 serta sektor pertanian dan pertambangan sebesar 1,35 persen.

Gambar 4.1. menunjukkan penanaman modal asing yang masuk pada tahun 2001 dominan pada sektor industri pengolahan, jenis industri yang paling banyak adalah industri kimia sebesar 95,29 persen, yang kedua industri barang logam sebesar 2,25 persen dan yang ketiga adalah industri makanan sebesar 0,86 persen. Pada periode 2002-2005 sektor industri pengolahan masih juga mendominasi dengan rata-rata persentase sebesar 68,48 persen. Sedangkan pada tahun 2006 dan 2008 penanaman modal asing bergeser pada sektor lainnya yang didominasi oleh sektor konstruksi/bangunan, perdagangan dan jasa. Penanaman modal asing di sektor industri pengolahan kembali meningkat pada tahun 2010 sebesar 77,86 persen, sektor lainnya sebesar 22,05 persen dan sektor pertanian dan pertambangan sebesar 0,09 persen. Peningkatan di sektor industri pengolahan


(47)

utamanya adalah sektor industri makanan/minuman dan sektor industri kimia dan farmasi.

Peningkatan yang terjadi pada sektor indutsri makanan/minuman dikarenakan penambahan nilai investasi yang dilakukan oleh PT Nestle dengan nilai kontrak sebesar 490 juta USD. Sedangkan peningkatan yang terjadi di sektor industri kimia dan farmasi dikarenakan investasi dari PT Chiel Jedang (CJ) yaitu perusahaan multinasional dari Korea Selatan yang memproduksi asam amino, Hcl-L, Lysne, MSG.

4.2. Perkembangan Produk Domestik Regional Bruto

Pembangunan ekonomi adalah suatu proses kenaikan pendapatan total dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan penduduk

Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal Provinsi Jatim

Gambar 4.2. Persentase Penanaman Modal Asing di Provinsi Jawa Timur Berdasarkan sektor Tahun 2001-2010

0.45 1.60 0.35 0.85 1.31 0.43 5.29 0.85 2.28 0.09 99.30 85.92 66.46 52.68 68.86 25.21 85.41 23.52 54.34 77.86 0.24 12.48 33.19 46.47 29.83 74.36 9.30 75.63 43.38 22.05 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

p er sen tase P MA ( p er sen ) Tahun


(48)

48

dan disertai dengan perubahan fundamental dalam struktur ekonomi suatu negara/daerah dan pemerataan pendapatan bagi penduduknya. Pembangunan ekonomi tak dapat lepas dari pertumbuhan ekonomi karena pembangunan ekonomi mendorong pertumbuhan dan sebaliknya pertumbuhan ekonomi memperlancar proses pembangunan (Kuncoro, 2010). Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) mencerminkan pertumbuhan ekonomi suatu daerah.

Perkembangan PDRB Provinsi Jawa Timur dari tahun ke tahun terus meningkat, hal ini mengindikasikan pertumbuhan ekonomi yang positif. Gambar 4.2. menunjukkan pertumbuhan ekonomi Provinsi Jawa Timur yang terus mengalami peningkatan, kecuali pada tahun 1998 terjadi penurunan sebesar 11,21 persen, hal ini dikarenakan krisis ekonomi global yang terjadi pada tahun 1998. Karena perekonomian dunia cukup terintegrasi, sebagai konsekuensi dari arus globalisasi, setiap terjadi krisis global akan berpengaruh terhadap perekonomian di Indonesia termasuk Provinsi Jawa Timur. Pada tahun 1999 pertumbuhan ekonomi mengalami sedikit peningkatan meskipun hanya sebesar 1,21 persen sebagai bentuk proses pemulihan ekonomi.

Pada perkembangan selanjutnya dari tahun 1999 sampai dengan 2009 PDRB Provinsi Jawa Timur terus mengalami peningkatan, demikian juga pada tahun 2010 terjadi peningkatan sebesar 6,88 persen yaitu dari 320,21 miliar Rp menjadi 342,24 miliar Rp pada tahun 2010. Adapun krisis finansial yang terjadi pada tahun 2008 hanya mengakibatkan laju pertumbuhan sedikit melambat. Pertumbuhan ekonomi yang semakin membaik ini diharapkan mampu membuka


(49)

peluang bagi para investor asing untuk melakukan investasi di Provinsi Jawa Timur.

4.3. Perkembangan Inflasi

Pada triwulan I-2010, inflasi IHK 7 kota di Jawa Timur sebesar 3,01 persen (yoy), lebih rendah dibandingkan dengan inflasi triwulan sebelumnya yang mencapai 3,40 persen maupun dengan inflasi nasional yang mencapai 3,56 persen. Tingkat inflasi Jawa Timur hingga triwulan ini terus menunjukkan tren perlambatan. Kondisi ini secara umum dipengaruhi oleh cukup terjaganya tekanan inflasi pada kelompok yang mendominasi seperti kelompok bahan makanan, kelompok makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau, serta kelompok perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar.

Sumber : Badan Pusat Statistik Provinsi Jatim

Gambar 4.3. Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Jawa Timur Tahun 1990-2010 -15.00 -10.00 -5.00 0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 P ertu m b u h an Ek o n o m i (p erse n )


(50)

50

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3

2009 2010

Nas 9.2 8.6 7.92 7.31 6.04 3.65 2.71 2.75 2.83 2.57 2.41 2.78 3.72 3.81 3.56

Jatim 7.9 8.07 7.52 6.76 5.74 3.67 2.64 2.47 2.75 2.45 2.6 3.4 4.06 3.55 3.01 0.0

1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0 7.0 8.0 9.0 10.0

Nas Jatim

Secara umum, tren penurunan inflasi tersebut terutama dipengaruhi oleh terkendalinya harga bahan makanan (sebagai kelompok yang memiliki bobot terbesar kedua di Jawa Timur). Meskipun sempat terjadi kenaikan harga pada kelompok tersebut pada bulan Januari dan Pebruari 2010, namun deflasi yang terjadi pada bulan Maret 2010 mampu menekan inflasi keseluruhan pada triwulan satu. Hal ini juga dipengaruhi oleh kecukupan distribusi, ketegasan pemerintah provinsi dalam pengendalian harga komoditas strategis (terutama gula pasir), serta didukung oleh ekspektasi masyarakat yang terjaga.

4.4. Perkembangan Ekspor

Selama bulan Desember 2010 ekspor hasil pertanian menunjukkan kenaikan sebesar 34,60 persen disbanding bulan sebelumnya, dari 80,58 juta USD

Sumber : BPS Provinsi Jawa Timur


(51)

di bulan November 2010 menjadi 108,47 juta USD di bulan Desember 2010. Hasil industri naik 30,86 persen dari 1.073,81 juta USD menjadi 1.405,18 juta USD di bulan Desember 2010, dan hasil pertambangan danlainnya naik 66,02 persen disbanding bulan sebelumnya yaitu dari 2,66 juta USD di bulan November 2010 menjadi 4,41 juta USD di bulan Desember 2010. Dibanding periode yang sama tahun 2009, ekspor hasil pertanian Januari-Desember 2010 naik 21,86 persen. Hasil industri naik 34,59 persen dan hasil pertambangan dan lainnya naik sebesar 6,32 persen (tabel 4.1).

Tabel 4.1. Perkembangan ekspor Provinsi Jawa Timur 2009-2010

Sumber : BPS Provinsi Jawa Timur (2011)

Dilihat dari kontribusinya terhadap total nilai ekspor pada bulan Desember 2010, ekspor migas memberikan kontribusi sebesar 5,79 persen dan non migas sebesar 94,21 persen. Sedangkan besarnya peranan ekspor sektor industri sebesar 87,21 persen, sektor pertanian serta sektor pertambangan dan lainnya masing-masing sebesar 6,73 persen dan 0,27 persen. Adapun selama Januari-Desember 2010 ekspor migas berperan 10,18 persen, ekspor non migas berperan sebesar 89,82 persen.

% November Desember Jan-Des Jan-Des Perubahan

Jan-Des 2010 Des Jan-Des Thd. 2009 2010 2010 Migas 115,059.48 93,275.25 685,592.65 1,447,142.79 111.08 5.79 10.18 Non Migas 1,157,053.53 1,518,063.97 9,571,710.37 12,770,044.27 33.41 94.21 89.82 - Pertanian 80,582.34 108,465.05 810,005.03 987,065.80 21.86 6.73 6.94 - Industri 1,073,811.98 1,405,184.00 8,728,433.53 11,747,605.16 34.59 87.21 82.63 - Pertambangan &

lainnya 2,659.21 4,414.92 33,271.81 35,373.31 6.32 0.27 0.25 Total ekspor 1,272,113.01 1,611,339.22 10,257,303.02 14,217,187.06 38.61 100.00 100.00

Nilai (000 USD) % Peran thd.

Total Ekspor Sektor


(52)

52

4.5. Perkembangan Upah Minimum Provinsi

Undang-undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mewajbkan Gubernur untuk menetapkan upah minimum kabupaten/kota. Regulasi upah minimum ditetapkan oleh Gubernur Jawa Timur dan dituangkan dalam bentuk Peraturan Gubernur yang akan memberikan acuan mengenai besaran upah minimum pada 37 kabupaten/kota yang ada di Jawa Timur. Berdasarkan data upah minimum Jawa Timur dapat diketahui adanya peningkatan rata-rata UMR dari tahun 2000 sampai dengan 2010 sebesar 11,56 persen (Tabel 4.2.).

Tabel 4.2. Perkembangan UMR Provinsi Jawa Timur 2001-2010

Sumber : BPS Provinsi Jawa Timur (2011)

Tingkat upah minimum suatu daerah sangat dipengaruhi oleh perkembangan perekonomian pada daerah tersebut. Perbedaan tingkat upah minimum antar daerah antara lain disebabkan oleh kesepakatan antara organisasi sektoral pekerja, sehingga untuk daerah-daerah kawasan industri tingkat upah minimumnya lebih tinggi dibandingkan dengan daerah yang bukan kawasan industri.

Tahun UMR (Rp) Pertumbuhan

(persen)

Tahun UMR (Rp) Pertumbuhan

(persen) 2001 220,000 3.77 2006 390,000 14.71 2002 245,000 11.36 2007 448,500 15.00 2003 281,750 15.00 2008 500,000 11.48 2004 310,000 10.03 2009 570,000 14.00 2005 340,000 9.68 2010 630,000 10.53


(53)

5.1. Estimasi Parameter Model

Metode yang digunakan untuk menduga faktor-faktor yang memengaruhi Penanaman Modal Asing di Provinsi Jawa Timur adalah dengan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS) dengan alat analisis yang digunakan adalah program Eviews 6.0. Model persamaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah model terbaik. Dimana model terbaik adalah model yang memenuhi seluruh kriteria, baik itu kriteria secara statistik maupun ekonometrika. Variabel-variabel yang digunakan adalah PMA sebagai Variabel-variabel dependen, sedangkan variabel PDRB dan nilai tukar sebagai variabel independen. Hasil estimasi model persamaan regresi Penanaman Modal Asing di Provinsi Jawa Timur adalah sebagai berikut :

Tabel 5.1. Hasil Analisis Regresi PMA di Provinsi Jawa Timur

Variabel Koefisien Standar error t-statistik Probabilitas PDRB 0.336207 0.047449 7.085660 0.0000 OPEN 55.88475 20.75364 2.692769 0.0226 INF -0.242051 0.084637 -2.859873 0.0170 UMR -40.87010 5.775691 -7.076226 0.0000 C -3.202137 8.466665 -0.378205 0.7132 R-square 0.846917 Prob(F-statistik) 0.000440 Adjusted R-square 0.785684 F-statistik 13.83100 Durbin-Watson stat 2.179674


(54)

54

Langkah selanjutnya adalah melakukan berbagai pengujian terhadap parameter estimasi tersebut melalui uji statistik dan uji ekonometrika. Pengujian statistik meliputi goodness of fit, uji t dan uji F, sedangkan pengujian ekonometrika meliputi uji autokorelasi, uji heterokedastisitas dan uji multikolinearitas.

5.2. Uji Kriteria Statistik

1. Uji Koefisien Determinasi (R2)

Goodness of fit ditunjukkan oleh nilai R-square dimana hasil analisis regresi dalam persamaan Penanaman Modal Asing memiliki nilai R-squared 0.846917 yang berarti bahwa variabel PDRB, keterbukaan ekonomi, inflasi dan upah minimum mampu menjelaskan variasi penanaman modal asing sebesar 84,69 persen. Variasi sisanya sebesar 15,31 persen dapat dijelaskan oleh variabel lain di luar model.

2. Uji F

Penggunaan persamaan regresi linier berganda dengan metode Ordinary Least Square (OLS) menyatakan bahwa minimal terdapat satu diantara variabel PDRB, keterbukaan ekonomi, inflasi dan upah minimum yang signifikan memengaruhi penanaman modal asing. Hal tersebut didasarkan pada nilai Prob (F-statistik) yang lebih kecil dari α = 0,05.

3. Uji t

Berdasarkan hasil output Eviews 6.0. analisis secara parsial menunjukkan bahwa masing-masing variabel PDRB, keterbukaan ekonomi, inflasi dan upah


(55)

minimum provinsi berpengaruh signifikan terhadap penanaman modal asing di Provinsi Jawa Timur.

5.3. Uji Kriteria Ekonometrika 1. Uji Autokorelasi

Pengujian ekonometrika dimaksudkan untuk mendeteksi ada tidaknya pelanggaran asumsi. Jika terjadi pelanggaran asumsi maka akan menghasilkan dugaan yang tidak valid. Uji ekonometrika terdiri dari uji normalitas, uji autokorelasi, uji heterokedastisitas dan uji multikolinieritas.

Pengujian autokorelasi adalah untuk melihat apakah terjadi korelasi antara suatu periode t dengan periode sebelumnya (t-1). Autokorelasi dideteksi dengan menggunakan pengujian Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test. Kriteria ujinya adalah jika Prob Chi-square nya lebih besar dari taraf nyata α = 0,05 maka tidak tolak H0 yang artinya bahwa model persamaan yang digunakan pada penelitian tidak mengalami masalah autokorelasi. Sebaliknya jika jika Prob Chi-square nya lebih kecil dari taraf nyata α = 0,05 maka tolak H0 yang artinya bahwa model persamaan yang digunakan pada penelitian mengalami masalah autokorelasi.

Model persamaan yang digunakan dalam penelitian ini mempunyai Prob Chi-square sebesar 0,1794. Nilai ini lebih besar dari taraf nyata 0,05, artinya model persamaan yang digunakan dalam penelitian ini tidak memiliki masalah autokorelasi. Hasil uji asumsi autokorelasi dapat dilihat pada gambar 5.2.


(56)

56

Tabel 5.2. Hasil Estimasi Uji Autokorelasi pada Persamaan PMA Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:

F-statistik 1.188623 Prob. F(2,8) 0.3532 Obs*R-squared 3.436238 Prob. Chi-Square(2) 0.1794 Sumber: Hasil Pengolahan dengan Eviews 6.0.

2. Uji Heterokedastisitas

Uji heterokedasitas dilakukan melalui uji white yaitu (White’s General Heterokedasticity Test). Kriteria ujinya adalah jika Prob Chi-square nya lebih

besar dari taraf nyata α = 0,05 maka model persamaan yang digunakan tidak

mengalami masalah heterokedastisitas, dan sebaliknya jika Prob Chi-square nya

lebih kecil dari taraf nyata α = 0,05 maka model persamaan yang digunakan

mengalami masalah heterokedastisitas. Hasil uji dari persamaan yang digunakan dalam penelitian ini diketahui bahwa Prob Chi-square adalah sebesar 0,6302

dimana nilai tersebut lebih besar dari taraf nyata α = 0,05, maka model persamaan

pada penelitian ini tidak mengalami masalah heterokedastisitas. Adapun hasil uji tersebut bisa dilihat pada tabel 5.3. di bawah ini.

Tabel 5.3. Hasil Estimasi Uji Heterokedastisitas pada Persamaan PMA Heteroskedasticity Test: White

F-statistik 0.436239 Prob. F(4,10) 0.7798 Obs*R-squared 2.228558 Prob. Chi-Square(4) 0.6938 Scaled explained SS 0.598034 Prob. Chi-Square(4) 0.9633 Sumber: Hasil Pengolahan dengan Eviews 6.0.


(57)

3. Uji Multikolinieritas

Uji multikolinieritas dilakukan untuk melihat koefisien korelasi antar variabel bebas (independent) pada correlation matrix. Pada model persamaan yang digunakan dalam penelitian ini tidak terdapat variabel yang mempunyai nilai koefisien korelasi yang relatif tinggi yaitu lebih dari │0,8│, maka tidak terdapat multikolinieritas.

Tabel 5.4. Hasil Estimasi Uji Multikolinieritas pada Persamaan PMA Correlation

LPMA PDRB OPEN INF UMP

LPMA 1.000000 0.108897 0.144761 -0.121881 -0.034881 PDRB 0.108897 1.000000 -0.164070 0.275400 0.784974 LINF 0.144761 -0.164070 1.000000 0.512854 -0.158456 LNT -0.121881 0.275400 0.512854 1.000000 -0.295093 UMP -0.034881 0.784974 -0.158456 -0.295093 1.000000 Sumber: Hasil Pengolahan dengan Eviews 6.0.

4. Uji Normalitas

Uji normalitas digunakan untuk melihat apakah nilai residual terdistribusi normal atau tidak. Model regresi yang baik adalah model yang memiliki nilai residual yang terdistribusi normal. Uji ini dilakukan pada nilai residualnya, bukan pada masing-masing variabel penelitian. Dimana dilakukan dengan uji histogram, kriteria ujinya adalah dengan melihat nilai p-value Jarque Berra.

Jika nilai p-value Jarque Berra lebih besar dari taraf nyata α = 0,05 maka model persamaam yang digunakan nilai residualnya telah terdistribusi normal. Dan sebaliknya jika nilai p-value Jarque Berra lebih kecil dari taraf nyata α =


(58)

58

0 1 2 3 4

-10 -5 0 5 10

Series: Residuals Sample 1996 2010 Observations 15 Mean 2.46e-14 Median 0.111517 Maximum 8.156133 Minimum -9.542331 Std. Dev. 5.040389 Skewness -0.130680 Kurtosis 2.207576 Jarque-Bera 0.435153 Probability 0.804466

0,05 maka model persamaan yang digunakan nilai residualnya tidak terdistribusi normal. Pada penelitian ini nilai p-value Jarque Berra sebesar 0,804466, hal ini berarti bahwa model persamaan PMA nilai residualnya telah terdistribusi normal. Hasil uji normalitas tersebut bisa dilihat pada Gambar 5.5. di bawah ini.

Sumber: Hasil Pengolahan dengan Eviews 6.0.

Gambar 5.1. Hasil Estimasi Uji Normalitas pada Persamaan PMA

5.4. Estimasi Model

Berdasarkan hasil estimasi regresi linier berganda dengan metode Ordinary Least Square (OLS) didapatkan hasil bahwa pada persamaan PMA di Provinsi Jawa Timur semua variabel penjelas memberikan pengaruh nyata pada taraf 5 persen (α = 0,05). PDRB, keterbukaan ekonomi, inflasi dan upah minimum secara statistik berpengaruh signifikan terhadap PMA.


(1)

Sumber: Hasil Pengolahan dengan Eviews 6.0. 0

1 2 3 4

-10 -5 0 5 10

Series: Residuals Sample 1996 2010 Observations 15 Mean 2.46e-14 Median 0.111517 Maximum 8.156133 Minimum -9.542331 Std. Dev. 5.040389 Skewness -0.130680 Kurtosis 2.207576 Jarque-Bera 0.435153 Probability 0.804466


(2)

Lampiran 3. Hasil Output Eviews 6.0. Uji Autokorelasi

Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:

F-statistic 1.188623 Prob. F(2,8) 0.3532

Obs*R-squared 3.436238 Prob. Chi-Square(2) 0.1794

Test Equation:

Dependent Variable: RESID Method: Least Squares Date: 11/30/11 Time: 15:35 Sample: 1996 2010

Included observations: 15

Presample missing value lagged residuals set to zero.

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

PDRB -0.003270 0.046672 -0.070054 0.9459

OPEN -9.443824 22.37494 -0.422071 0.6841

INFLASI 0.012643 0.094114 0.134334 0.8965

UMR -0.061877 5.681878 -0.010890 0.9916

C 4.680490 9.013108 0.519298 0.6176

RESID(-1) -0.200293 0.359454 -0.557215 0.5926 RESID(-2) -0.525274 0.349772 -1.501761 0.1716

R-squared 0.229083 Mean dependent var 2.46E-14

Adjusted R-squared -0.349106 S.D. dependent var 5.040389 S.E. of regression 5.854463 Akaike info criterion 6.677010 Sum squared resid 274.1979 Schwarz criterion 7.007434 Log likelihood -43.07758 Hannan-Quinn criter. 6.673490 F-statistic 0.396208 Durbin-Watson stat 1.998500 Prob(F-statistic) 0.862224


(3)

Heteroskedasticity Test: Breusch-Pagan-Godfrey

F-statistic 0.575985 Prob. F(4,10) 0.6867

Obs*R-squared 2.808783 Prob. Chi-Square(4) 0.5903 Scaled explained SS 0.753738 Prob. Chi-Square(4) 0.9445

Test Equation:

Dependent Variable: RESID^2 Method: Least Squares Date: 11/30/11 Time: 15:36 Sample: 1996 2010

Included observations: 15

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 21.00071 40.84416 0.514167 0.6183

PDRB -0.009689 0.228899 -0.042327 0.9671

OPEN 66.98727 100.1179 0.669084 0.5186

INFLASI -0.539013 0.408298 -1.320147 0.2162

UMR -3.888129 27.86260 -0.139547 0.8918

R-squared 0.187252 Mean dependent var 23.71182

Adjusted R-squared -0.137847 S.D. dependent var 26.97142 S.E. of regression 28.77039 Akaike info criterion 9.817772 Sum squared resid 8277.353 Schwarz criterion 10.05379 Log likelihood -68.63329 Hannan-Quinn criter. 9.815258 F-statistic 0.575985 Durbin-Watson stat 3.064023 Prob(F-statistic) 0.686662


(4)

Lampiran 5. Hasil Output Eviews 6.0. Uji White Heterokedastisitas

Heteroskedasticity Test: White

F-statistic 0.436239 Prob. F(4,10) 0.7798

Obs*R-squared 2.228558 Prob. Chi-Square(4) 0.6938 Scaled explained SS 0.598034 Prob. Chi-Square(4) 0.9633

Test Equation:

Dependent Variable: RESID^2 Method: Least Squares Date: 11/30/11 Time: 15:36 Sample: 1996 2010

Included observations: 15

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 26.93938 23.67845 1.137717 0.2818

PDRB^2 8.80E-05 0.000465 0.189027 0.8539

OPEN^2 51.43211 127.1112 0.404623 0.6943

INFLASI^2 -0.004399 0.003975 -1.106489 0.2944

UMR^2 -1.945410 7.088197 -0.274458 0.7893

R-squared 0.148571 Mean dependent var 23.71182

Adjusted R-squared -0.192001 S.D. dependent var 26.97142 S.E. of regression 29.44707 Akaike info criterion 9.864268 Sum squared resid 8671.302 Schwarz criterion 10.10028 Log likelihood -68.98201 Hannan-Quinn criter. 9.861754 F-statistic 0.436239 Durbin-Watson stat 2.983612 Prob(F-statistic) 0.779837


(5)

Lampiran 6. Hasil Output Eviews 6.0. Uji Multikolinieritas


(6)

WIDYASTUTIK).

Penanaman Modal Asing (PMA) menjadi salah satu sumber pembiayaan yang penting bagi wilayah yang sedang berkembang dan mampu memberikan kontribusi yang cukup besar bagi pembangunan. Sebagai salah satu komponen aliran modal, PMA dianggap sebagai aliran modal yang relatif stabil dibandingkan dengan aliran modal lainnya, misalnya investasi portofolio maupun utang luar negeri. Perkembangan penanaman modal asing yang masuk periode 1990-2010 menunjukkan bahwa investasi asing yang masuk ke Provinsi Jawa Timur relatif kecil dibandingkan dengan total investasi nasional. Adapun perkembangan PMA di Pulau Jawa menunjukkan rata-rata investasi asing yang masuk sebesar 80,50 persen dari investasi nasional, dimana rata-rata investasi terbesar yaitu Provinsi DKI Jakarta sebesar 37,97 persen, Provinsi Jawa Barat sebesar 21,71 persen dan Provinsi Jawa Timur sebesar 9,31 persen. Sedangkan jika dilihat pendapatan domestik regional bruto di Pulau Jawa, Provinsi Jawa Timur memiliki pendapatan terbesar kedua setelah Provinsi DKI Jakarta. Permasalahan yang ingin dilihat adalah mengapa Provinsi Jawa Timur yang memiliki pangsa pasar yang besar tidak menarik bagi investor asing.

Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran penanaman modal asing di Provinsi Jawa Timur dan menganalisis faktor-faktor yang memengaruhinya. Gambaran yang diberikan diharapkan berguna untuk berbagai pihak terutama Pemerintah Provinsi Jawa Timur untuk menentukan kebijakan selanjutnya. Peningkatan PMA yang besar dapat digunakan sebagai salah satu instrumen dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi, yang merupakan prasyarat pembangunan.

Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif dan analisis regresi linier berganda dengan metode analisis Ordinary Least Square (OLS). Pada analisis deskriptif dijelaskan gambaran kondisi PMA dan variabel yang diduga memengaruhinya seperti PDRB, keterbukaan ekonomi, inflasi dan upah minimum. Analisis regresi linear berganda digunakan untuk mengetahui pengaruh variabel bebas yang diduga memengaruhi PMA di Provinsi Jawa Timur.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel PDRB dan keterbukaan ekonomi mempunyai hubungan positif terhadap PMA hal ini sesuai dengan teori dan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Azam dan Lukman (2008), sedangkan variabel inflasi dan upah minimum mempunyai hubungan negatif terhadap PMA, variabel PDRB sebagai proxy dari market size berpengaruh positif hal ini sesuai dengan teori neoklasik dan teori pertumbuhan endogen, juga sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Sarwedi (2002), Kurniati (2007), Sutarsono (2010) dan Phytaloka (2010) yang berarti bahwa PDRB yang tinggi di suatu daerah merupakan pendorong bagi investor untuk berinvestasi.