Analisis Perbandingan Hasil Tambak Perikanan di Dalam dan di Luar Kawasan Mangrove (Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur)

(1)

ANALISIS PERBANDINGAN HASIL TAMBAK PERIKANAN

DI DALAM DAN DI LUAR KAWASAN MANGROVE

(KABUPATEN PROBOLINGGO, PROPINSI JAWA TIMUR)

LIVIA AZARINE WISYANDA

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Analisis Perbandingan Hasil Tambak

Perikanan di Dalam dan di Luar Kawasan Mangrove: Kabupaten Probolinggo,

Propinsi Jawa Timur adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing

dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun.

Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya diterbitkan maupun tidak

diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam

Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Juli 2013

Livia Azarine Wisyanda H44080035


(4)

(5)

RINGKASAN

LIVIA AZARINE WISYANDA. Analisis Perbandingan Hasil Tambak Perikanan di Dalam dan di Luar Kawasan Mangrove (Kabupaten Probolinggo, Propinsi Jawa Timur). Dibimbing Oleh AKHMAD FAUZI dan BENNY OSTA NABABAN.

Luas area mangrove di Indonesia kini kian berkurang akibat perkembangan pembangunan daerah pesisir, terutama sebagai tambak perikanan. Mangrove yang ada biasanya ditebang habis kemudian lahan tersebut dijadikan tambak. Kelestarian mangrove yang terganggu tersebut juga akan berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat. Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah memperkenalkan pola pengelolaan tambak tumpangsari, yakni suatu bentuk budidaya perikanan tambak dimana di lahan tersebut tetap dipertahankan ataupun ditanam kembali sejumlah mangrove. Keberadaan mangrove di kawasan tambak tersebut akan memberikan manfaat, baik langsung maupun tidak langsung terhadap produktivitas tambak.

Desa Curahsawo, Kecamatan Gending, Kabupaten Probolinggo, Propinsi Jawa Timur, merupakan desa pesisir dimana para petaninya membuat tambaknya berada di dalam kawasan mangrove, yakni di tengah maupun di pinggir tambak. Untuk melihat bagaimana keberadaan mangrove berpengaruh terhadap produktivitas tambak, atau seberapa besar keuntungan tambak dari adanya mangrove, maka tambak yang berada di lokasi Desa Curahsawo akan dibandingkan dengan tambak yang berada di lokasi Desa Sukokerto. Desa Sukokerto, Kecamatan Pajarakan, Kabupaten Probolinggo, Propinsi Jawa Timur, merupakan desa pesisir yang secara geografis terletak bersebelahan dengan Desa Curahsawo, sehingga lebih kurang memiliki kondisi lingkungan yang sama. Mangrove yang ada di Desa Sukokerto hanya tersisa sedikit, yakni kurang dari lima persen dari seluruh wilayah pesisirnya.

Berdasarkan hasil analisis kelayakan yang dilakukan, diperoleh bahwa nilai kriteria kelayakan usaha tambak yang berada di kawasan mangrove lebih tinggi jika dibandingkan dengan yang berada di luar kawasan mangrove tersebut. Berdasarkan hasil perhitungan, diperoleh nilai kriteria kelayakan usaha tambak Desa Curahsawo seperti NPV sebesar Rp 45.799.888,16, BCR sebesar 1,39, IRR sebesar 67%, dan payback period selama 2 tahun 5 bulan. Untuk Desa Sukokerto, nilai-nilai tersebut adalah NPV sebesar Rp 4.523.615, BCR sebesar 1,11, IRR sebesar 14%, dan payback period selama 7 tahun 11 bulan. Meskipun kedua lokasi memenuhi syarat kelayakan, nilai kriteria kelayakan tambak yang berada di kawasan mangrove jauh lebih baik dan menguntungkan dibandingkan dengan yang berada di luar kawasan mangrove, terlebih dalam jangka panjang. Selain itu, untuk mengetahui tingkat kesejahteraan petani sebagai produsen, dilakukan perhitungan surplus produsen. Berdasarkan hasil perhitungan, diperoleh bahwa nilai surplus produsen Desa Curahsawo sebesar Rp 7.631.792. Nilai tersebut jauh lebih besar jika dibandingkan dengan surplus produsen Desa Sukokerto, yakni sebesar Rp 2.687.010. Hal tersebut memperlihatkan bahwa kesejahteraan petani tambak dalam kawasan mangrove lebih tinggi jika dibandingkan dengan petani tambak di luar kawasan mangrove.


(6)

NABABAN.

COMPARISON ANALYSIS OF FISHERY FARMING IN MANGROVE AREA WITH FISHERY FARMING IN NO-MANGROVE AREA, PROBOLINGGO, EAST JAVA

Wisyanda, Livia Azarine1), Akhmad Fauzi2), dan Benny Osta Nababan3)

ABSTRACT

Mangroves in Indonesia are decreasing in number because of several causes, while the main cause of the mangrove conversion is mostlyfishery farming.Fishery farming areas in coastal areas are usually cleared from mangroves, as a result, so many loss, local communities couldn’ttake direct nor indirect benefits from the existence of mangroves. So, Government introduces a more environment-friendlier way of fishery farming, which is silvo-fishery farming (fishery mangrove in mangrove area), but it’s not well informed to all of farmers, and there is no quantitative prove abouthow much this silvo-fishery farming better than the old way (the full conversion of mangroves). The article examines whether or not the silvo-fishery farming is better than the old way and how much is the difference.By using feasibility analysis and producer’s surplus analysis, the results indicate that although the old way of fishery farming is also viable and creates benefits, it is so not as much as the silvo-fishery would gives.

Keyword: Mangrove, coastal silvo-fishery farming Probolinggo, East Java.

1

Mahasiswa Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, H44080035, Semester 10

2

Dosen Pembimbing I Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Gelar: Prof, Dr, Ir, M.Sc

3


(7)

(8)

ANALISIS PERBANDINGAN HASIL TAMBAK PERIKANAN DI

DALAM DAN DI LUAR KAWASAN MANGROVE

(KABUPATEN PROBOLINGGO, PROPINSI JAWA TIMUR)

LIVIA AZARINE WISYANDA H44080035

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(9)

(10)

Judul Skripsi : Analisis Perbandingan Hasil Tambak Perikanan di Dalam

dan di Luar Kawasan Mangrove (Kabupaten Probolinggo,

Jawa Timur)

Nama : Livia Azarine Wisyanda

NIM : H44080035

Disetujui

Diketahui

Tanggal Lulus:

Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc Pembimbing I

Benny Osta Nababan, S.Pi, M.Si Pembimbing II

Ketua Departemen

Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT NIP. 19660717 199203 1 003


(11)

(12)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur dipanjatkan atas kehadirat Allah SWT, yang atas berkat dan

rahmatNya, skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Adapun ucapan terima

kasih ingin penulis sampaikan atas bantuannya dalam penyusunan skripsi ini,

yakni kepada:

1. Orang tua, bapak, Ir. H. Yahya Agusman, M.Si, dan ibu, Dra. Hj. Putry

Wisni Wardhani. Adik-adik, Vito Demasyanda dan Dissa Alithia

Wisyanda. Terima kasih atas segala-galanya. Atas bantuannya, atas

kesabarannya, atas perhatian dan kasih sayangnya. Terlebih, maaf atas

segala-galanya.

2. Bapak Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc sebagai dosen pembimbing I, dan

Bapak Benny Osta Nababan, S.Pi, M.Si sebagai dosen pembimbing II,

yang telah membimbing penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

3. Bapak Dr. Ir. Ahyar Ismail, M.Agr sebagai dosen penguji utama yang juga

sebagai dosen pembimbing akademik, dan Bapak Novindra, SP, M.Si

sebagai dosen penguji wakil departemen.

4. Pak Bambang, Pak Khairul, Pak Wahono, Pak Sumarno, dan aparat

pemerintahan Kota dan Kabupaten Probolinggo lainnya. Terima kasih

banyak atas waktu dan bantuannya.

5. Nova, Sari, dan teman-teman di ESL lainnya yang tidak dapat disebutkan

satu-persatu. Rina, qq. Terima kasih atas semuanya.

6. Mbak sofi, mbak putri, mbak aam, dan staf departemen ESL lainnya, juga

semua orang yang ikut membantu dan tidak dapat disebutkan di sini.


(13)

(14)

Puji syukur dipanjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat

dan hidayahNya, skripsi yang berjudul “Analisis Perbandingan Hasil Tambak Perikanan di Dalam dan di Luar Kawasan Mangrove (Kabupaten Probolinggo, Propinsi Jawa Timur)” dapat diselesaikan. Inti dari skripsi ini adalah melihat perbandingan hasil dari usaha tambak tumpangsari, yakni tambak

yang berada di dalam kawasan mangrove, dengan usaha tambak yang tidak berada

dalam kawasan mangrove. Hasil tambak yang berada di dalam kawasan mangrove

akan lebih besar dari tambak yang tidak ada mangrovenya sehingga akan berujung

pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dan tentunya juga kelestarian

lingkungan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat sebagai panduan untuk

melaksanakan penelitian lebih lanjut dan juga bermanfaat bagi kepentingan

berbagai kalangan. Sekian dari penulis, kritik serta saran yang membangun

diharapkan untuk hasil yang lebih baik. Terima kasih.

Bogor, Juli 2013

Livia Azarine Wisyanda H44080035


(15)

(16)

PERNYATAAN ……….… i

RINGKASAN …..……….. ii

LEMBAR PENGESAHAN ….………... iii

DAFTAR TABEL ………..………….………..….…… ix

DAFTAR GAMBAR ………... x

DAFTAR LAMPIRAN ...……….……….. xi

I. PENDAHULUAN ………... 1

1.1. Latar Belakang ………..…… 1

1.2. Perumusan Masalah ………..……… 4

1.3. Tujuan Penelitian .…...………..…… 5

1.4. Manfaat Penelitian ………..….. 5

1.5. Ruang Lingkup Penelitian ……….……… 6

II. TINJAUAN PUSTAKA …...……….. 7

2.1. Ekosistem Mangrove ..……….…... 7

2.1.1. Definisi Mangrove …...……… 7

2.1.2. Tumbuhan Mangrove ..……… 7

2.1.3. Fungsi dan Manfaat Hutan Mangrove ...……….. 9

2.1.4. Produk dan Jasa dari Mangrove …...……… 12

2.2 Tambak Tumpangsari ...……….……… 14

2.3. Analisis Biaya dan Manfaat ……….. 17

2.4. Surplus Produsen …..……….... 17

2.5. Penelitian Terdahulu ……..……….. 19

III. KERANGKA PEMIKIRAN …..……….……… 21

IV. METODE PENELITIAN ……...……… 23

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ..……….. 23

4.2. Jenis dan Sumber Data …..……….………... 23

4.3. Metode Pengumpulan Data dan Penentuan Jumlah Sampel …. 23 4.4. Metode Pengolahan dan Analisis Data .…….…….………….. 24

4.4.1. Mengkaji Pendapatan dan Peranan/Partisipasi Masyarakat dalam Menjaga Kelestarian Mangrove….. 24

4.4.2. Mengkaji Perbandingan Kelayakan Pola Tambak dalam Kawasan Mangrove (Tumpangsari) dengan di Luar Kawasan Mangrove (Model Lama) …...…….….. 24

4.4.3. Menganalisis Kesejahteraan Petani Tambak dengan Perbandingan Surplus Produsen Pola Tambak Dalam Kawasan Mangrove (Tumpangsari) dengan di Luar Kawasan Mangrove (Model Lama) ...……….….. 27


(17)

5.2. Keadaan Umum Desa Sukokerto ………. 30

5.3. Kondisi Perikanan dan Potensi Mangrove Kabupaten Probolinggo ………. 31

5.4. Karakteristik Responden ……….. 39

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN ………. 35

6.1. Pandangan dan Peranan Masyarakat Terhadap Kelestarian Mangrove di Desa Curahsawo dan Desa Sukokerto …………. 35

6.2. Perbandingan Kelayakan Finansial Tambak Dalam Kawasan Mangrove dan di Luar Kawasan Mangrove ……….. 41

6.3. Analisa Kesejahteraan Petani Tambak dengan Perbandingan Surplus Produsen Tambak Dalam Kawasan Mangrove dan di Luar Kawasan Mangrove ……….…. 44

VII. SIMPULAN DAN SARAN ………... 46

7.1. Simpulan ………... 46

7.2. Saran ………. 47

DAFTAR PUSTAKA …….……….……….…………. 48

LAMPIRAN …….……….……….… 51


(18)

ix 2. Luasan mangrove tiap negara dan proporsinya terhadap luasan

mangrove global ……….……….….. 2 3. Produk dan jasa hutan mangrove ...……….. 13 4. Luas ekosistem mangrove propinsi jawa timur tahun 2010 menurut

citra landsat tm-5………...… 31 5. Tutupan dan kerapatan mangrove kabupaten probolinggo ...………. 32 6. Produksi perikanan di kabupaten probolinggo ……….. 33 7. Tingkat partisipasi responden dalam kegiatan perlestarian .……….. 40 8. Perbandingan hasil analisis kelayakan ………...…… 43 9. Perbandingan surplus produsen desa curahsawo dan desa sukokerto 45


(19)

x

2. Peningkatan Luas Lahan Budidaya Tambak Per Tahunnya ……….. 3

3. Manfaat Mangrove Bagi Kehidupan ……….. 12

4. Perbandingan Tambak Model Lama dengan Tambak Tumpangsari ... 14

5. Bentuk Tambak Tumpangsari Pola Parit ………... 16

6. Bentuk Tambak Tumpangsari Pola Komplangan ……….. 17

7. Surplus Produsen ……… 19

8. Kerangka Pemikiran Operasional ………. 22

9. Data Produktivitas Bandeng, Udang Vannamei, dan Udang Werus Kabupaten Probolinggo ………. 39

10. Pendapat Responden Desa Curahsawo Terhadap Kondisi Mangrove di Lingkungannya ………..……….. 35

11. Pendapat Responden Desa Curahsawo Mengenai Manfaat Mangrove ……….……….. 36

12. Pentingnya Keberadaan Mangrove Bagi Responden Desa Curahsawo ………. 36

13. Partisipasi Responden Desa Curahsawo Dalam Mengikuti Penyuluhan ……… 37

14. Partisipasi Responden Desa Curahsawo Dalam Penanaman Mangrove ……….. 37

15. Pendapat Responden Desa Sukokerto Terhadap Kondisi Mangrove di Lingkungannya ………. 38

16. Pendapat Responden Desa Sukokerto Mengenai Manfaat Mangrove ……….. 38

17. Partisipasi Responden Desa Sukokerto Dalam Mengikuti Penyuluhan ……… 39

18. Partisipasi Responden Desa Sukokerto Dalam Mengikuti Penanaman Mangrove ………... 39


(20)

xi

2. Hasil Pengolahan Data Analisis Usaha Tambak….……….. 54

3. Cashflow Analisis ……… 60

4. Karakteristik Responden...……… 64

5. Dokumentasi Penelitian ………... 67


(21)

(22)

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Sejak dulu mangrove telah dimanfaatkan secara luas dan eksploitatif di sebagian besar negara yang ditumbuhi mangrove. Banyaknya studi dan literatur yang ada memperlihatkan keberadaan mangrove yang terus berkurang setiap waktunya di tiap belahan dunia. Tabel 1 memperlihatkan estimasi terhadap luasan mangrove yang dilakukan oleh FAO dan dapat terlihat bahwa penurunan pada luasan mangrove terus terjadi sejak tahun 1980 hingga tahun 2005 di tiap belahan dunia.

Tabel 1. Estimasi luasan mangrove per wilayah di dunia (tahun 1980-2005) Wilayah Estimasi

Terkini

1980 1990 Perubahan 1980-1990 2000 Perubahan 1990-2000 2005 Perubahan 2000-2005 (1000 ha) tahu n ref. (1000 ha) (1000 ha) (100 0 ha) % (1000 ha) (100 0 ha) % (1000 ha) (100 0 ha) % Afrika 3243 1997 3670 3428 24

-0,6 8

3218 21 -0,6

3

3160 12 -0,3

6 Asia 6048 2002 7769 6741 103

-1,4 1

6163 58 -0,8

9

5858 61 -1,0

1 Amerik

a Utara dan Tengah

2358 2000 2951 2592 36 -1,2

9

2352 24 -0,9

7

2263 18 -0,7

7 Oceania 2019 2003 2181 2090 -9

-0,4 2

2012 8 -0,3

8

1972 8 -0,3

9 Amerik

a Selatan

2038 1992 2222 2073 15 -0,6

9

1996 8 -0,3

8

1978 4 -0,1 8 Dunia 1570 5 2000 1879 4 1692 5 187 -1,0 4 1574 0 118 -0,7 2 1523 1 102 -0,6 6 Sumber: FAO (2007)

Dalam studi estimasi luasan mangrove global yang dilakukan oleh FAO tersebut (2007), sebagai negara, Indonesia memiliki area mangrove terluas di seluruh dunia, yakni sebesar 19% dari total luasan mangrove yang ada di dunia, yakni sebesar 3.062.300 ha, diikuti oleh Australia 10%, Brazil 7%, Nigeria 7%, Meksiko 5%, Malaysia 4%, Kuba 4%, Myanmar 3%, Bangladesh 3%, India 3%, dan sisanya adalah 35% yang merupakan gabungan dari negara-negara lainnya (Tabel 2).


(23)

Tabel 2. Luasan mangrove tiap negara dan proporsinya terhadap luasan mangrove global

No. Negara Luas Mangrove (ha) Proporsi terhadap Luasan

Mangrove Dunia (%)

1. Indonesia 3.062.300 19

2. Australia 1.451.411 10

3. Brazil 1.012.376 7

4. Nigeria 997.700 7

5. Meksiko 882.032 5

6. Malaysia 564.971 4

7. Kuba 545.805 4

8. Myanmar 518.646 3

9. Bangladesh 476.215 3

10. India 446.100 3

11. Lainnya 5.747.433 35

Sumber: FAO (2007)

Luasan mangrove saat ini telah mengalami degradasi karena berbagai sebab. Disebutkan oleh Soemartono (2002) dalam Kustanti (2011) bahwa hasil studi yang ada menunjukkan bahwa degradasi hutan mangrove di Indonesia dalam kurun waktu 11 tahun (tahun 1982 sampai 1993) yang terjadi sebesar 47,92%. Menurut LPP Mangrove Indonesia (2004), hutan mangrove telah mengalami degradasi atau penurunan luas hingga mencapai 200.000 ha per tahunnya. Dapat terlihat juga angka penurunan jumlah area mangrove di Indonesia dari tahun 1980 hingga 2005 berdasarkan data dari FAO pada tahun 2007 (Gambar 1).

Sumber: FAO (2007)

Gambar 1. Penurunan luas area mangrove di indonesia

Eksploitasi sumber daya alam daerah pesisir hutan mangrove menjadi tidak terelakkan dan tak terkendali. Tindakan eksploitasi yang berlebihan dan tidak memikirkan kepentingannya secara jangka panjang tersebut akan sangat

2005, 2.900.000

0 1000000 2000000 3000000 4000000 5000000

1975 1980 1985 1990 1995 2000 2005 2010

L

u

as Area Mangrove

(Ha)


(24)

merugikan, merusak ekosistem mangrove maupun habitat yang terkait dengan ekosistem tersebut. Pantai akan terancam erosi dan abrasi, terjadinya intrusi air laut yang dapat mengakibatkan pencemaran air tanah di wilayah pesisir. Tekanan serius pada fungsi ekologis hutan mangrove tersebut terjadi karena berbagai faktor, yakni seperti pembangunan daerah pesisir yang semakin pesat, pertumbuhan penduduk lokal yang tinggi di wilayah pesisir, pertambangan, konversi lahan menjadi kolam garam dan pertanian, ataupun pemanfaatan yang berlebihan dari hutan itu sendiri, namun penyebab yang paling menentukan dalam beberapa tahun terakhir ini adalah meluasnya konversi hutan mangrove menjadi kolam budidaya atau tambak (Aksornkoae et al, 1986 dalam Barbier, 2004).

Lebih dari 50% kebutuhan ikan dunia akan dipasok dari budidaya perikanan air tawar maupun air laut. Menurut laporan FAO (2011), saat ini ikan hasil budidaya adalah sumber protein hewani yang paling cepat pertumbuhannya. Dari tahun 2000 hingga 2008, tingkat pertumbuhannya sebesar 60%, yakni dari 32,4 juta ton menjadi 52,5 juta ton. Gambar 2 menunjukkan potensi lahan pertambakan di Indonesia yang mencapai 682.857 ha pada tahun 2010, dengan grafik yang cenderung meningkat dari tahun-tahun sebelumnya. Seiring dengan adanya kemajuan dalam teknologi, potensi yang tersedia diperkirakan melebihi angka tersebut (Sadi, 2006).

Sumber: BPS (2011)

Gambar 2. Peningkatan luas lahan budidaya tambak per tahunnya

Proporsi luas hutan mangrove yang dikonversi menjadi tambak pun diperkirakan sangat besar dan terus meningkat. Hal tersebut dapat dilihat pada beberapa daerah dengan kasus konversi hutan mangrove yang sangat menonjol, seperti di kawasan Delta Mahakam, Kalimantan Timur, dimana perkembangan

2010, 682,857

0 200,000 400,000 600,000 800,000

2000 2002 2004 2006 2008 2010 2012

L

u

as L

a

han B

udi

daya

(Ha)


(25)

luas konversi hutan mangrove untuk dijadikan tambak pada tahun 1992 sebesar 15.000 ha, kemudian pada tahun 1998 sebesar 40.000 ha, dan pada tahun 1999 mencapai 85.000 ha (Santoso, 2002 dalam Sadi, 2006).

Menanggapi masalah tersebut, Departemen Kehutanan memperkenalkan pola Silvofishery atau yang dapat disebut juga pola tumpangsari. Jika masyarakat menerapkan pola tumpangsari yang merupakan pola pemanfaatan gabungan antara tambak dengan mangrove, maka kelestarian mangrove dapat terjaga tanpa mengabaikan kesejahteraan masyarakat secara umum dan dalam hal ini petani tambak pada khususnya.

1.2. Perumusan Masalah

Tambak tumpangsari merupakan bentuk pengelolaan tambak dengan mempertahankan ataupun menanam kembali sejumlah tanaman mangrove. Tujuan utamanya adalah meningkatkan penghasilan petani tambak dari peningkatan produktivitas tambak yang merupakan hasil dari fungsi jasa lingkungan keberadaan mangrove itu sendiri. Desa Curahsawo merupakan desa yang berlokasi di Kecamatan Gending, Kabupaten Probolinggo, Propinsi Jawa Timur. Desa Curahsawo merupakan daerah pesisir dimana mangrove yang ada masih baik sehingga tambak yang ada di daerah tersebut dikelola sebagai tambak tumpangsari dengan komoditas polikultur udang-bandeng. Desa tersebut juga pernah mendapat kalpataru untuk lingkungan mangrovenya. Meski begitu, masih banyak masyarakat, khususnya petani tambak, yang tidak tahu bagaimana pengaruh mangrove terhadap tambaknya.

Untuk itu, perlu diketahui bagaimana manfaat keberadaan mangrove terhadap produktivitas tambak, yakni dengan membandingkan produktivitas tambak yang berada di dalam kawasan mangrove dengan tambak yang tidak berada di dalam kawasan mangrove. Desa yang merupakan lokasi untuk tambak yang berada di luar kawasan mangrove adalah Desa Sukokerto, Kecamatan Sukokerto, Kabupaten Probolinggo, Propinsi Jawa Timur. Desa Sukokerto terletak hampir bersebelahan dengan Desa Curahsawo, sehingga dengan asumsi bahwa kondisi lingkungan kurang lebih sama, tambak yang juga dikelola dengan komoditas polikultur udang-bandeng di desa tersebut akan dibandingkan dengan


(26)

tambak polikultur udang-bandeng dari Desa Curahsawo, yang nantinya akan terlihat seberapa besar pengaruh adanya mangrove terhadap produktivitas tambak.

Dalam hal ini, perumusan masalah dapat disimpulkan menjadi beberapa pertanyaan berikut:

1. Bagaimana pendapat dan partisipasi masyarakat mengenai upaya pelestarian kawasan mangrove?

2. Bagaimana perbandingan pendapatan dan kelayakan dari tambak yang berada di dalam kawasan mangrove dengan yang di luar kawasan mangrove?

3. Bagaimana perbandingan surplus yang diterima petani tambak dari adanya mangrove?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah menjawab semua perumusan masalah, yakni: 1. Mengetahui pendapat dan partisipasi masyarakat mengenai upaya

pelestarian ekosistem mangrove.

2. Mengetahui hasil dari perbandingan pendapatan dan kelayakan antara tambak tumpangsari (berbasis lingkungan dan berada dalam kawasan mangrove) dengan pola lama (tanpa mangrove)

3. Mengetahui perbedaan surplus yang diterima oleh petani tambak dari adanya mangrove dengan yang tidak ada mangrove.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini memiliki manfaat untuk berbagai hal, antara lain:

a. Bagi peneliti, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai sarana untuk memperoleh tambahan pengetahuan untuk pengembangan ilmu pengetahuan.

b. Bagi akademisi, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan atau referensi untuk melakukan penelitian berikutnya.

c. Bagi pembuat kebijakan, rekomendasi dari hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan atau pertimbangan dalam menentukan atau membuat kebijakan pengelolaan yang lebih baik. Dalam hal ini, penentuan kebijakan demi kesejahteraan masyarakat pesisir dan kelestarian ekosistem mangrove.


(27)

d. Bagi masyarakat, hasil dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan solusi yang lebih baik dalam pemanfaatan kawasan mangrove sebagai areal pertambakan yang ramah lingkungan dan peningkatan produksi tambak masyarakat.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Adapun batasan-batasan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Penelitian dilakukan hanya dalam ruang lingkup Desa Curahsawo, Kecamatan Gending, Kabupaten Probolinggo, Propinsi Jawa Timur dan Desa Sukokerto, Kecamatan Pajarakan, Kabupaten Probolinggo, Propinsi Jawa Timur.

2. Responden merupakan masyarakat yang bermatapencaharian sebagai petani tambak yang berdomisili di Desa Curahsawo dan Desa Sukokerto. 3. Manfaat dari keberadaan mangrove yang dihitung adalah yang berdampak

langsung terhadap produktivitas tambak. Dalam hal ini, tidak menghitung secara moneter manfaat tidak langsung yang lainnya maupun manfaat langsung dari mangrove tersebut, yakni tidak dilakukan valuasi nilai ekonomi total terhadap hutan mangrove yang ada.

4. Berdasarkan data dari Bank Indonesia pada tahun 2012, suku bunga yang digunakan adalah 10%, yang merupakan suku bunga pinjaman.

5. Beberapa asumsi digunakan dalam penelitian ini, yakni seperti harga input dan output yang digunakan dalam perhitungan analisis yang dilakukan didasarkan pada harga yang berlaku pada saat penelitian dilakukan dan konstan selama umur proyek, sumber modal seluruhnya berasal dari masyarakat petani sendiri.


(28)

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Mangrove

Pengetahuan dasar mengenai hutan mangrove sangat diperlukan guna mengenali hutan mangrove itu sendiri. Selain pengertian yang meliputi biologi hutan mangrove, diperlukan juga pemahaman mengenai pengertian ekologi tempat tumbuh hutan mangrove. Perencanaan pengelolaan hutan mangrove akan lebih optimal dalam aplikasinya jika telah diketahui secara pasti potensi yang ada di dalamnya, tidak hanya potensi biotik, namun juga faktor abiotik beserta lingkungannya.

2.1.1. Definisi Mangrove

Kata mangrove merupakan kombinasi antara bahasa Portugis mangue dan bahasa Inggris grove. Dalam bahasa Inggris, kata mangrove digunakan untuk komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah jangkauan pasang-surut maupun untuk individu-individu spesies tumbuhan yang menyusun komunitas tersebut. Sedangkan dalam bahasa portugis, kata mangrove digunakan untuk menyatakan individu spesies tumbuhan dan kata mangal untuk manyatakan komunitas tumbuhan tersebut (Kustanti, 2011). Tomlinson (1986) dalam FAO (2007) mengartikan mangrove sebagai hutan atau vegetasi pesisir yang berada atau tumbuh di lingkungan eustaria yang dapat ditemui di garis pantai tropika dan subtropika yang bisa memiliki fungsi-fungsi sosial ekonomi dan lingkungan.

Walsh (1974) dalam Kustanti (2011) mencoba menjelaskan perbedaan pengembangan komunitas mangrove di dunia dengan membedakan lima persyaratan mendasar bagi mangrove untuk tumbuh, yaitu suhu tropik, daratan alluvial, pantai yang tidak bergelombang besar, salinitas, dan tingkat pasang surut air laut. Kelima faktor lingkungan tersebut mempengaruhi pembentukan dan luasan mangrove, komposisi jenis, zonasi, karakteristik, struktural lanila, dan fungsi ekosistem itu sendiri.

2.1.2. Tumbuhan Mangrove

Menurut Kustanti (2011), mangrove berkaitan dengan tumbuhan tropik yang komunitas tumbuhannya di daerah pasang surut, sepanjang garis pantai, muara, laguna (danau pinggir laut) yang dipengaruhi pasang surut. Mangrove termasuk varietas yang besar dari famili tumbuhan, yang beradaptasi pada


(29)

lingkungan tertentu. Flora dalam mangrove terdiri dari pohon, epifit, liana, alga, bakteri, dan fungi. Komunitas flora di hutan mangrove dapat dikelompokkan menjadi dua kategori, yakni flora inti mangrove (flora yang mempunyai peran ekologi utama dalam formasi mangrove) dan flora peripheral (flora mangrove yang secara ekologi berperan dalam formasi hutan mangrove, tetapi juga flora tersebut berperan penting dalam formasi hutan lainnya).

Mangrove dapat juga diklasifikasikan menjadi tiga kelompok berdasarkan vegetasi dominan penyusunnya, yaitu kelompok mayor, minor, dan asosiasi mangrove. Pengertian masing-masing kelompok adalah sebagai berikut:

1. Kelompok mayor (vegetasi dominan) merupakan komponen yang

memperlihatkan karakter morfologi, seperti mangrove yang memiliki sistem perakaran udara dan mekanisme fisiologi khusus untuk mengeluarkan garam agar dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan. Komponen penyusunnya berbeda taksonomi dengan tumbuhan daratan, hanya terjadi di hutan mangrove serta membentuk tegakan murni, tetapi tidak pernah meluas sampai ke dalam komunitas daratan. Di Indonesia, mangrove yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah Rhizopora apiculata, R. mucronata, Sonneratia alba, Avicennia marina, A. officinalis, Bruguiera gymnorhiza, B. cylinrica, B. parvifolia, B. sexagula, Ceriops tagal, Kandelia candel, Xylacarpus granatum, dan X.moluccensis. 2. Kelompok minor (vegetasi marjinal) merupakan komponen yang tidak

termasuk elemen yang menyolok dari tumbuhan-tumbuhan yang mungkin terdapat di sekeliling habitatnya dan yang jarang berbentuk tegakan murni. Jenis-jenis ini biasanya bersekutu dengan mangrove yang tumbuh pada pinggiran yang mengarah ke darat dan terdapat secara musiman pada rawa air tawar, pantai, daratan landai, dan lokasi-lokasi mangrove lain yang marjinal. Walaupun jenis ini ada di mangrove, jenis ini tidak terbatas pada zona litoral. Jenis-jenis ini yang penting di Indonesia adalah Bruguiera cylindrical, Lumnitzera racemosa, Xylocarpus moluccensis, Intsia bijuga, Nypa fruticans, Ficus retusa, F. microcorpa, Pandanus spp., Calamus erinaceus, Glochidion littorale, Scolopia macrophylla, dan Oncosperma tigillaria.


(30)

3. Kelompok asosiasi mangrove merupakan komponen yang jarang ditemukan spesies yang tumbuh di dalam komunitas mangrove yang sebenarnya dan kebanyakan sering ditemukan dalam tumbuhan-tumbuhan darat.

Flora mangrove sebenarnya akan tumbuh dengan lebih baik jika tidak dipengaruhi oleh kadar garam air. Mereka akan lebih cepat tumbuh dan menjadi lebih tinggi jika tumbuh di air tawar. Namun mangrove dapat beradaptasi sesuai dengan lingkungan yang dihadapi sehingga dapat tumbuh baik. Adapun secara umum, adaptasi vegetasi mangrove adalah sebagai berikut:

1. Terhadap kadar oksigen rendah, yaitu dengan perakaran yang khas. Akarnya berbentuk cakar ayam yang mempunyai pneumatofora untuk mengambil oksigen dari udara, serta akar bertipe penyangga atau tongkat yang mempunyai lentisel.

2. Terhadap kadar garam tinggi, yaitu dengan memiliki sel-sel khusus dalam daun yang berfungsi untuk menyimpan garam. Berdaun tebal dan kuat untuk mengatur keseimbangan garam, serta daun yang memiliki stomata khusus untuk mengurangi penguapan. Sering didapati pada beberapa jenis yang terdapat kristal garam halus pada permukaan daunnya.

3. Terhadap tanah yang kurang stabil dan adanya pasang surut, yaitu dengan mengembangkan struktur akar yang sangat ekstensif dan membentuk jaringan horizontal yang lebar untuk memperkokoh pohon dan mengambil unsur hara serta sedimen.

2.1.3. Fungsi dan Manfaat Hutan Mangrove

Keberadaan vegetasi dan fauna yang terdapat di hutan mangrove merupakan potensi yang dapat dikembangkan dalam pemenuhan kebutuhan sosial, ekonomi, dan lingkungan. Potensi yang diperoleh dari ekosistem hutan tersebut berupa hasil hutan kayu, non kayu, jasa dan lingkungan. Keanekaragaman potensi tersebut sudah lama dimanfaatkan untuk kehidupan manusia baik secara langsung maupun tidak langsung.


(31)

Adapun fungsi hutan mangrove dapat dikategorikan menjadi tiga, yakni: 1. Fungsi biologis/ekologis

Hutan mangrove sebagai sebuah ekosistem terdiri dari komponen biotik dan abiotik. Komponen biotik terdiri dari dari vegetasi mangrove yang meliputi pepohonan, semak, dan fauna. Sedangkan komponen abiotik yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan hutan mangrove adalah pasang surut air laut, lumpur berpasir, ombak laut, pantai yang landai, salinitas laut, dan lain sebagainya.

Selama ini, hutan mangrove memiliki nilai penting, yakni sebagai kunci utama dalam penyediaan makanan bagi organisme yang tinggal di sekitar mangrove, seperti udang, kepiting, ikan, burung, dan juga mamalia. Mangrove merupakan daerah mencari makan bagi organisme-organisme yang ada di dalamnya, dan karena kerapatannya, memungkinkan untuk melindungi kehidupan organisme di dalamnya sehingga hutan mangrove sering dijadikan tempat bagi pemijahan hewan-hewan, juga sebagai nursery ground, terutama bagi anak udang, anak ikan, dan biota laut lainnya.

2. Fungsi fisik

Hutan mangrove memiliki peranan penting dalam melindungi pantai dari gelombang besar, angin kencang, dan badai. Selain itu, mangrove juga dapat melindungi pantai dari abrasi, menahan lumpur, mencegah intrusi air laut, dan juga memperangkap sedimen. Menurut Kusmana et al. (2003), fungsi fisik keberadaan hutan mangrove adalah menjaga garis pantai dan tebing sungai dari abrasi/erosi agar tetap stabil, mempercepat perluasan lahan, mengendalikan intrusi air laut, melindungi daerah yang berada di belakang hutan mangrove dari hempasan gelombang dan angin kencang, dan juga mengolah limbah organik.

3. Fungsi sosial dan ekonomi

Upaya pengelolaan sumber daya hutan mangrove secara lestari hendaknya sudah memperhatikan inisiatif lokal masyarakat sekitar hutan. Hal ini dimaksudkan sebagai upaya proteksi terhadap kemungkinan perusakan ekosistem hutan. Dampak negatif yang mungkin akan timbul dapat ditekan


(32)

apabila masyarakat di sekitar hutan mangrove dilibatkan dan diberi akses untuk mengelola hutan dengan tetap memperhatikan kelestariannya.

Pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove antara lain adalah dalam hal pertukaran pendapat dalam penentuan kebijakan, konsultasi kebijakan dan teknis pelaksanaan pengelolaan, dan penentuan keputusan tingkat tinggi. Peran serta masyarakat sekitar secara aktif akan memberikan dampak positif dalam upaya pengelolaan dan pengamanan hutan mangrove karena dalam diri masyarakat yang terlibat akan timbul rasa memiliki, sehingga akan timbul juga kepedulian untuk menjaga kelestarian mangrove tersebut. Selain itu, pemenuhan kebutuhan masyarakat terhadap hasil hutan dan jasa mangrove dapat memberikan kontribusi dalam upaya peningkatan kondisi ekonomi dan sosial masyarakat di sekitar hutan sehingga kesejahteraan masyarakat pun terjamin.

Manfaat hutan mangrove dapat dilihat sebagai kegunaannya yang dapat diberikan atau dimanfaatkan bagi kehidupan manusia (Gambar 3). Aneka kegunaan hutan mangrove tersebut dapat dibedakan berdasarkan tingkatan ekosistem. Tingkatan ekosistem yang pertama adalah berdasarkan tingkat komponen ekosistem sebagai primary biotic component atau komponen utama biotik. Adapun Kusmana (2003) membagi manfaat hutan mangrove sebagai berikut:

1. Tingkat ekosistem mangrove secara keseluruhan: a. Lahan tambak, lahan pertanian, dan kolam garam

Lahan mangrove di beberapa daerah di Indonesia banyak yang dikonversi menjadi areal pertambakan tradisional udang dan bandeng, lahan pertanian padi dan hortikultur, dan juga untuk pembuatan garam.


(33)

Sumber: Green Coast (2011)

Gambar 3. Manfaat mangrove bagi kehidupan b. Lahan pariwisata

Potensi ekosistem hutan mangrove sebagai lahan pariwisata menawarkan keindahan alam dari hasil-hasil yang bisa diandalkan. 2. Tingkat komponen ekosistem sebagai Primary Biotic component:

a. Flora mangrove

Keberadaan flora mangrove dari vegetasi tumbuhan bawah sampai dengan pepohonan mempunyai manfaat yang besar bagi kehidupan masyarakat.

b. Fauna mangrove

Fauna yang terdapat di ekosistem mangrove terdiri atas lima kelas, yaitu mamalia, reptilian, aves, amphibi, dan pisces. Manfaat ekonomi yang bisa langsung diambil seperti dari adanya ikan, udang, kepiting, burung, dan lainnya.

2.1.4. Produk dan Jasa dari Mangrove

Beranekaragam produk dan jasa dapat dihasilkan dari keberadaan hutan mangrove. Produk yang berpotensi dihasilkan sesuai dengan fungsi sosial dan


(34)

manfaat, baik secara keseluruhan ekosistem maupun komponen ekosistem. Sedangkan jasa yang dihasilkan dari keberadaan hutan mangrove sesuai dengan fungsi bioekologi, sosial ekonomi, dan manfaat, baik secara ekosistem keseluruhan maupun secara komponen ekosistem (Tabel 3). Nelayan, petani, dan masyarakat daerah pada umumnya memanfaatkan kayu mangrove seperti untuk bahan bangunan, kayu bakar, kail, dan lainnya dan produk non-kayu mangrove seperti untuk pakan ternak, alkohol, gula, obat-obatan, dan madu (FAO, 2007). Tabel 3. Produk dan jasa hutan mangrove

Bahan Bakar (Fuel)

Kayu Bakar (Fuelwood) Batu Bara (Charcoal)

Konstruksi (Construction)

Kayu sebagai bahan bangunan (Timber, scaffolding) Konstruksi (Heavy construction)

Alat Pertambangan (Mining props) Pembuatan Kapal (Boat-building)

Perikanan (Fishing)

Kail Pancing (Fishing stakes)

Kapal untuk memancing (Fishing boats)

Tempat Perlindungan Ikan (Fish-attracting shelters)

Tekstil (Textile, leather)

Benang Sintetis (Synthetic fibres (rayon)) Bahan Pewarna Kain (Dye for cloth) Tannin

Produk Alami Lainnya (Other natural products)

Ikan (Fish) Crustaceans Madu (Honey) Wax

Burung (Birds) Mamalia (Mammals) Reptil (Reptiles)

Fauna lainnya (Other fauna)

Makanan dan Obat-obatan (Food, drugs and beverages)

Gula (Sugar) Alkohol (Alcohol)

Minyak Goreng (Cooking oil) Cuka (Vinegar)

Pengganti Teh (Tea substitute) Sayuran (Vegetables (fruit/leaves))

Pertanian (Agriculture)

Pakan Ternak (Fodder)

Barang Rumah Tangga (Household items)

Lem (Glue)

Minyak Rambut (Hairdressing oil) Alu (Rice mortar)

Mainan (Toys)

Korek Api (Match sticks)

Produk Hutan Lainnya (Other forest products)

Kotak Pengemasan (Packing boxes) Obat-obatan (Medicines)

Bahan Kertas (Paper products) Berbagai jenis kertas (Paper – various) Sumber: FAO (2007)


(35)

2.2. Tambak Tumpangsari

Tambak tumpangsari, merupakan bentuk dari kebijakan pendekatan perhutanan sosial, yaitu suatu model pengembangan tambak ramah lingkungan yang memadukan antara hutan/pohon (sylvo) dengan budidaya perikanan (fishery). Menurut Kementerian Kehutanan (2004), sistem tumpangsari tambak tersebut merupakan suatu teknik pembuatan tanaman hutan mangrove, yang pada pelaksanaannya pada areal tersebut juga diusahakan untuk usaha perikanan. Tambak tumpangsari tersebut dapat mengakomodasi tujuan rehabilitasi ekosistem pesisir secara luas dengan tidak mengurangi manfaat ekonomi tambak secara langsung seperti diilustrasikan pada Gambar 4.

Sumber: Green Coast (2011)

Gambar 4. Perbandingan tambak model lama dengan tambak tumpangsari Pengelolaan hutan mangrove melalui pendekatan perhutanan sosial merupakan suatu konsep untuk membantu masyarakat di sepanjang jalur pantai dengan meningkatkan pendapatan ekonominya sehingga diharapkan dapat membantu Perhutani dalam menjaga kualitas hutan mangrove sebagai sistem


(36)

multi guna baik untuk perikanan maupun kehutanan (Soewardi, 1994 dalam Sadi, 2006). Tumpangsari merupakan pola pendekatan teknis yang cukup baik, terdiri atas rangkaian kegiatan terpadu antara kegiatan budidaya ikan dengan kegiatan penanaman, pemeliharaan, pengelolaan dan upaya pelestarian hutan mangrove. Sistem ini memiliki teknologi sederhana, dapat dilakukan tanpa merusak tanaman mangrove yang ada dan dapat dilakukan sebagai kegiatan sela sambil berusaha menghutankan kembali kawasan jalur hijau di daerah pantai yang kritis (Perhutani 1993).

Dengan pola ini, diharapkan ada kerja sama yang saling menguntungkan antara masyarakat yang tinggal di sepanjang pantai sebagai petambak penggarap dan pihak kehutanan. Sistem empang parit dan sistem empang inti merupakan alternatif aplikasi dari sistem tumpangsari ini. Dalam sistem empang parit, tambak yang digunakan untuk budidaya dibuat dalam bentuk parit yang mengelilingi hutan mangrove, dengan luas parit 20% dan mangrove 80%, atau parit 40% dan mangrove 60% dari luas anak petak. Semakin besar proporsi hutan mangrove, nilai ekologi yang diberikan pun akan semakin besar bagi lingkungan, tetapi sebaliknya akan mengurangi nilai ekonomi dari hasil tambak pada tingkat tertentu. Adapun luas anak petak tambak berkisar antara 0,3 - 3 ha.

Sistem ini secara konvensional sudah dilakukan sejak tahun 1968 namun baru dikembangkan secara semi konvensional sejak tahun 1986 (Departemen Kehutanan dan Perkebunan 1999). Jenis utama yang dapat diusahakan dalam budidaya perikanan tambak tumpangsari adalah bandeng, mujair, blanak dan hasil tambahan lain seperti udang dan kepiting (Sukardjo, 1989 dalam Sadi, 2006). Ketahanan tambak tumpangsari tergantung dari jenis tanaman mangrove dan periode pertumbuhannya. Jenis mangrove yang ditanam adalah Bakau (Rhizoppora mucronata) dan Api-api (Avecennia marina) dengan jarak tanam yang dianjurkan adalah 3x3 meter, tetapi dalam praktiknya Perum Perhutani masih memberikan kelonggaran untuk jarak tanam 5x5 meter dan lainnya.

Manfaat dari pengelolaan hutan mangrove melalui pendekatan sosial dengan sistem tumpangsari dengan pola empang parit adalah (1) meningkatkan persentase keberhasilan tanaman mangrove di atas 80% dengan jenis ikan yang diusahakan adalah bandeng dan udang; (2) terbinanya petani penggarap empang


(37)

dalam wadah Kelompok Tani Hutan (KTH) yang melibatkan Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Kehutanan dan Perkebunan serta Perum Perhutani; (3) meningkatkan taraf hidup masyarakat terutama yang tergabung dalam KTH; (4) gangguan terhadap keamanan dan kelestarian mangrove menurun; (5) adanya pengakuan dari dunia internasional terhadap keberhasilan program perhutanan sosial payau (Perum Perhutani, 1993 dalam Sadi, 2006).

Kartasubrata (1988) dalam Tresnowati (2003) menjelaskan bahwa sistem tumpangsari merupakan suatu pola agroforestry yang berasal dari Burma dan dirancang sebagai pendekatan pemerintah untuk membina tanaman hutan dengan biaya murah. Sistem tersebut diterapkan pada pengelolaan hutan mangrove dalam program perhutanan sosial, dimana para petani dapat memelihara ikan dan udang yang sekaligus merehabilitasi kembali hutan mangrove. Kesejahteraan petani meningkat sementara hutan mangrove pun tetap lestari.

Bentuk tambak tumpangsari ini bermacam-macam dan pada dasarnya terdiri atas pematang, saluran keliling (caren) dan pelataran. Pelataran tersebut adalah tempat tumbuhnya tanaman mangrove. Pola tumpangsari yang popular diantara pola yang sudah ditetapkan oleh Perum Perhutani sejak tahun 1989 terdiri atas:

1. Pola parit, yaitu bentuk dengan saluran keliling tempat memelihara ikan dan udang berda di luar wilayah pelatarn tanaman mangrove (Gambar 5).

Sumber: Tresnowati (2003)

Gambar 5. Bentuk tambak tumpangsari pola parit Pintu Air

Caren

Saluran Air

xxxxxxx Tanaman Mangrove

xxxxxxx


(38)

2. Pola komplangan, yaitu bentuk dengan saluran tempat memelihara ikan dan udang berada di pinggir.

Sumber: Tresnowati (2003)

Gambar 6. Bentuk tambak tumpangsari pola komplangan

2.3. Analisis Biaya dan Manfaat

Analisis Biaya dan Manfaat atau Benefit-Cost Analysis (BCA) merupakan analisis yang digunakan untuk mengetahui besaran keuntungan atau kerugian, serta kelayakan suatu kegiatan usaha. Tujuan utama dari BCA adalah untuk menentukan proyek atau kebijakan yang efektif dan efisien dalam penggunaan sumber daya. Salah satu kriteria yang perlu dilakukan adalah Net Present Value (NPV), yaitu rasio antara penjumlahkan manfaat yang telah didiscounting per jumlah biaya yang telah didiscountingkan, sehingga proyek yang ada nanti akan menggambarkan penggunaan sumber daya yang efisien. Kriteria lainnya adalah Benefit-Cost Ratio (BCR), Internal Rate of Return (IRR), dan Payback Period (PP).

2.4. Surplus Produsen

Menurut Fauzi (2006), salah satu hal yang krusial dari ekonomi sumberdaya alam adalah bagaimana surplus dari sumberdaya alam dimanfaatkan secara optimal. Pada dasarnya konsep surplus menempatkan nilai moneter terhadap kesejahteraan dari masyarakat dari mengekstrasi dan mengkonsumsi sumberdaya alam. Surplus juga merupakan manfaat ekonomi yang tidak lain adalah selisih antara manfaat kotor (gross benefit) dan biaya yang dikeluarkan masyarakat untuk mengekstraksi sumberdaya alam. Green (1992) dalam Fauzi (2006) memandang bahwa menggunakan pendekatan surplus untuk mengukur

Pintu Air Caren

xxxxxxx Tanaman Mangrove

xxxxxxx Tanggul

Saluran Air Pintu Air


(39)

manfaat sumber daya alam merupakan pengukuran yang tepat karena pemanfaatan sumber daya dinilai berdasarkan alternatif penggunaan terbaiknya. Surplus ekonomi yang dimaksud tersebut adalah rente sumberdaya (resource rent), surplus konsumen, dan surplus produsen.

Rente sumberdaya merupakan surplus yang bisa dinikmati oleh pemilik sumberdaya dan merupakan selisih antara jumlah yang diterima dari pemanfaatan sumberdaya dikurangi dengan biaya yang dikeluarkan untuk mengekstraksinya, sedangkan surplus konsumen sama dengan manfaat yang diperoleh masyarakat dari mengkonsumsi sumberdaya alam dikurangi dengan jumlah yang dibayarkan untuk mengkonsumsi barang tersebut. Namun perhitungan surplus yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah surplus produsen.

Salah satu tujuan penting dalam ekonomi adalah dapat menghitung atau menilai adanya keuntungan dan kerugian yang dialami masyarakat, yang berhubungan dengan harga pasar (Callan & Thomas, 2000). Dari sisi penawaran (supply) dalam pasar, pengukuran yang digunakan untuk menghitung kesejahteraan adalah surplus produsen. Surplus produsen merupakan alat yang digunakan untuk mengukur adanya peningkatan keuntungan bersih yang diterima oleh produsen yang didapat dari adanya kelebihan penawaran (excess supply), atau menurut Fauzi (2006), surplus produsen tidak lain adalah pembayaran paling minimum yang bisa diterima oleh produsen dikurangi dengan biaya untuk memproduksi barang x. Surplus produsen dapat juga dianggap sebagai surplus yang bisa diperoleh oleh pemilik sumber daya atau aset yang produktif pada saat pendapatan dari sumber daya melebihi biaya pemanfaatannya. Kelebihan itu didapat dari selisih harga pasar dengan biaya marjinal (Marginal Cost/MC) untuk menghasilkannya, seperti yang dapat dilihat pada Gambar 7.


(40)

Sumber: Fauzi (2006)

Gambar 7. Surplus produsen

Berdasarkan Gambar 7, surplus produsen diperlihatkan sebagai daerah C, yakni daerah di atas kurva penawaran dan di bawah garis harga P2. Surplus

produsen dapat diukur dari kehilangan dari sisi manfaat dan kehilangan dari produsen atau pelaku ekonomi (Tuwo, 2011). Petani yang memiliki tambak dalam kawasan mangrove dikatakan akan memiliki surplus produsen yang lebih besar dari yang di luar kawasan mangrove karena beberapa manfaat tambahan yang didapat dari mangrove.

2.5. Penelitian Terdahulu

Luasan kawasan hutan mangrove mempengaruhi produksi perikanan budidaya. Semakin luas kawasan hutan mangrove, semakin besar produktivitas perikanan. Hasil penelitian Turner (1977) dalam Tuwo (2011) menunjukkan bahwa pembangunan 1 Ha tambak ikan pada hutan mangrove alamiah akan menghasilkan ikan dan udang sebanyak 287 kg setiap tahunnya. Berkurangnya satu hektar hutan mangrove akan mengakibatkan kerugian 480 kg ikan dan udang di lepas pantai per tahunnya. Hal ini menunjukkan bahwa pengurangan luas hutan mangrove dapat menyebabkan penurunan produktivitas perikanan tangkapan.

Hasil penelitian lainnya menunjukkan bahwa pada beberapa wilayah yang hutan mangrovenya dikonversi secara total untuk budidaya tambak, kebanyakan tingkat kesejahteraan petani masih pada tingkat pra-sejahtera. Hal tersebut antara lain diakibatkan oleh besarnya biaya yang harus ditanggung petani untuk

F

B Rp

x P0

MC = C’(x)

P2

X0

X1

E P1

C

U’(x) A


(41)

pengendalian hama dan penyakit sebagai akibat menurunnya kualitas lingkungan (Ditjen RLPS, 2002 dalam Sadi, 2007).

Dalam penelitian Gunawan dan Anwar (2005), disampaikan bahwa air tambak yang berlokasi di luar ekosistem mangrove mengandung Merkuri 16 kali lebih tinggi dari air perairan hutan mangrove alamiah, dan 14 kali lebih tinggi dari air tambak yang hutan mangrovenya masih baik atau tambak tumpangsari. Hal tersebut disebabkan oleh salah satu fungsi ekosistem hutan mangrove, yakni sebagai penyerap logam berat sehingga tidak masuk ke dalam jaring makanan.

Dalam hasil penelitian yang dilakukan oleh Tresnowati (2003), didapat bahwa menurut 93% masyarakat, mangrove dapat mengurangi pembelian pakan atau obat untuk pengelolaan tambak. Selain itu, manfaat ekologi dari mangrove lainnya yang dirasakan oleh masyarakat adalah sebagai pencegah banjir dengan menahan gelombang pasang, menghemat pembuatan tanggul, juga mengurangi intrusi air laut.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Gambe (2007), pada tingkat suku bunga 12% diperoleh nilai NPV tambak, yang dikelola dengan sistem tumpangsari di Desa Jayamukti, Kabupaten Subang, Propinsi Jawa Barat, sebesar Rp 36.911.275, kemudian memiliki nilai BCR sebesar 2,55, dan IRR sebesar 145,99%. Kegiatan pengelolaan tambak tersebut juga menghasilkan nilai pendapatan sebesar Rp 22.028.000 atau sebesar 87,23% dari total pendapatan rumah tangga petani tambak di desa tersebut.

Hal yang membedakan penelitian ini dengan penelitian-penelitian yang ada sebelumnya adalah lokasi penelitian, waktu dilakukannya penelitian, dan metode analisis yang digunakan. Metode analisis tambahan yang digunakan pada penelitian ini adalah surplus produsen, dimana surplus produsen akan memperlihatkan tingkat kesejahteraan dari sisi petani dari adanya penerapan tambak pola tumpangsari tersebut.


(42)

III. KERANGKA PEMIKIRAN

Salah satu jenis ekosistem wilayah pesisir, yakni ekosistem mangrove, sudah dimanfaatkan oleh manusia sejak dulu. Salah satu bentuk pemanfaatan yang ada adalah untuk budidaya perikanan tambak. Mangrove-mangrove ditebang habis dan lahannya dibersihkan untuk dijadikan tambak, dimana tambak tersebut bisa disebut tambak model lama (berada di luar kawasan mangrove). Mangrove tidak lestari di kawasan yang tambaknya dikelola dengan model tersebut. Dalam jangka panjang, bentuk pemanfaatan tersebut akhirnya akan merugikan masyarakat sendiri.

Untuk itu pemerintah memiliki alternatif pemanfaatan kawasan mangrove yang lebih ramah akan lingkungan sekitar, yakni pola pemanfaatan tambak tumpangsari (berada di dalam kawasan mangrove). Tambak tumpangsari merupakan bentuk pemanfaatan lahan sebagai pertambakan, namun tetap mempertahankan ataupun menanam kembali tanaman mangrove yang ada, sehingga tidak hanya pendapatan petani tambak yang meningkat tapi kelestarian lingkungan mangrove pun terjaga. Sayangnya hal tersebut belum tersosialisasikan dengan baik di kalangan masyarakat, terutama para petani tambak.

Oleh karena itu, dengan menggunakan analisis biaya-manfaat, akan dibandingkan hasil dari tambak model lama, yakni yang tidak berada dalam kawasan mangrove tersebut, dengan tambak tumpangsari, yang berada dalam kawasan mangrove. Selain itu akan terlihat pula perbedaan surplus yang diterima olah petani tambak, dimana surplus produsen tersebut juga akan menunjukkan tingkat kesejahteraan dari masyarakat. Pada akhirnya, hasil dari penelitian ini nantinya akan dijadikan bahan untuk membuat rekomendasi, yang secara khusus untuk daerah penelitian dan secara umum untuk lingkungan mangrove lainnya, untuk adanya perbaikan atau peningkatan kualitas lingkungan mangrove dan kesejahteraan masyarakat yang lebih baik. Berikut adalah kerangka pemikiran operasional yang dibentuk dalam diagram alir (Gambar 8).


(43)

Gambar 8. Kerangka pemikiran operasional Ekosistem Mangrove

Tambak Tumpangsari Di Dalam Kawasan

Mangrove

Pendapatan Petani di Dalam Kawasan

Mangrove

Surplus Produsen

Tambak Konvensional

Pendapatan Petani di Luar Kawasan

Mangrove

Perbandingan

Analisis Biaya Manfaat Pandangan

Petani Mengenai Mangrove

Kesejahteraan Masyarakat

Rekomendasi Penelitian Analisa Deskriptif

Budidaya Perikanan Tambak

Di Luar Kawasan Mangrove


(44)

IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan terhadap dua lokasi. Lokasi yang pertama adalah Desa Curahsawo, Kecamatan Gending, yang merupakan lokasi desa dimana tambak berada di lingkungan mangrove yang cukup baik. Lokasi yang kedua adalah Desa Sukokerto, Kecamatan Pajarakan. yakni lokasi desa dimana lahan mangrove hanya sedikit, yakni sekitar lima hektar, karena dikonversi menjadi lahan untuk pertambakan (Lampiran 1). Kedua desa tersebut termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Probolinggo, Propinsi Jawa Timur dan merupakan daerah yang berbatasan langsung dengan laut namun dibatasi oleh hutan mangrove. Penelitian untuk memperoleh data primer dilakukan selama bulan Mei 2012.

4.2. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh dari hasil kuisioner dan pertanyaan yang diberikan, dengan dipandu, kepada masyarakat sekitar, yakni berupa data usaha tambak, pendapat mengenai keberadaan mangrove di sekitar lingkungan tambak, dan lainnya. Data sekunder merupakan data yang didapat dari literatur-literatur seperti data dari Badan Pusat Statistik (BPS), Laporan Monografi Desa, dan lainnya.

4.3. Metode Pengumpulan Data dan Penentuan Jumlah Sampel

Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan survei lapang di lokasi penelitian. Wawancara dilakukan terhadap responden dengan bantuan kuisioner yang telah disiapkan sebelumnya. Studi pustaka juga dilakukan untuk mengumpulkan data sekunder yang dibutuhkan untuk menunjang penelitian, baik dari penelitian-penelitian terdahulu maupun data-data dari instansi yang terkait seperti Perum Perhutani, Dinas Kelautan dan Perikanan, dan lainnya.

Pemilihan reponden dilakukan dengan metode purposive sampling, yakni dengan memilih responden-responden yang memiliki pekerjaan sebagai petani tambak. Penentuan jumlah sampel responden yang digunakan dalam penelitian ini ditentukan dengan menimbang jumlah populasi petani tambak yang ada dan berdasarkan yang dikemukakan Gay bahwa dalam penelitian sosial ekonomi jumlah minimum responden yang dapat dijadikan sampel dapat berjumlah 30


(45)

orang (Wardiyanta, 2006). Untuk itu, dalam penelitian ini jumlah responden yang digunakan adalah sebanyak 30 orang.

4.4. Metode Pengolahan dan Analisis Data

Dalam penelitian ini, akan digunakan dua jenis analisis, yakni analisis kuantitatif dan analisis kualitatif. Analisis kuantitatif digunakan untuk menganalisis data mengenai hasil dari tambak, bagaimana kelayakan usaha tambak, surplus produsen dari petani tambak, dan kemudian bagaimana jika dibandingkan dengan petani yang tidak menerapkan pola tumpangsari pada tambaknya. Data tersebut akan dianalisa secara kuantitatif dengan surplus produsen dan analisis biaya manfaat. Analisis kualitatif dilakukan dengan menganalisa data secara deskriptif, dalam hal ini, data yang didapat mengenai pandangan dan pendapat masyarakat mengenai keberadaan mangrove di sekitar tempat tinggalnya tersebut.

4.4.1. Mengkaji Pendapat dan Partisipasi Masyarakat dalam Menjaga Kelestarian Mangrove

Peranan atau partisipasi merupakan suatu proses dimana pemangku kepentingan saling mempengaruhi dan berbagi kekuasaan pada inisiatif-inisiatif pembangunan, keputusan-keputusan, dan sumber daya-sumber daya yang berpengaruh terhadap mereka. Dalam praktiknya, partisipasi memiliki bermacam-macam tahapan, salah satunya adalah tahapan pelaksanaan. Tahapan pelaksanaan merupakan tahap yang paling penting dari suatu kegiatan dan wujud nyatanya digolongkan menjadi tiga, yakni partisipasi dalam bentuk sumbangan pikiran, sumbangan materi, dan bentuk tindakan sebagai anggota proyek. Dengan menggunakan analisis deskriptif, akan diperlihatkan bagaimana pendapat masyarakat mengenai keadaan mangrove yang ada.

4.4.2. Mengkaji Perbandingan Kelayakan Pola Tambak dalam Kawasan Mangrove dengan di Luar Kawasan Mangrove

Kelayakan ekonomi dari pola tambak tersebut dapat dilihat dari perhitungan nilai NPV, BCR, IRR, dan payback period. Kegiatan perikanan tambak dikatakan layak apabila nilai yang didapat sesuai dengan syarat nilai kelayakan kriteria-kriteria tersebut. Menurut Gittinger (1986), ukuran arus uang berdiskonto manfaat proyek yang paling langsung adalah manfaat sekarang neto


(46)

atau NPV. Ukuran ini tak lebih dari nilai sekarang dari manfaat neto tambahan atau arus uang tambahan.

NPV juga dihitung dengan terlebih dahulu mencari selisih antara nilai sekarang dari arus manfaat dikurangi dengan nilai sekarang dari arus biaya atau juga dapat diartikan sebagai nilai sekarang dari arus pendapatan yang ditimbulkan oleh penanaman investasi. NPV juga merupakan nilai diskonto dari selisih manfaat dan biaya untuk setiap aliran keluar masuknya uang yang juga berarti keuntungan bersih pengusahaan pada saat ini (Soekartawi, 1995). Dalam analisa finansial, nilai itu merupakan nilai sekarang dari arus tambahan pendapatan untuk individu. Secara matematis, menurut Gittinger (1976) rumus dari NPV adalah:

NPV = ∑ ..…………... (1) Keterangan:

Bt = Penerimaan petani pada tahun ke-t (Rp)

Ct = Biaya yang dikeluarkan petani pada tahun ke-t (Rp)

i = Suku bunga (%)

t = Tahun kegiatan

n = Umur proyek

Proyek tersebut layak jika kriteria NPV adalah lebih besar dari nol atau positif. Dalam hal ini, jika proyek memenuhi kriteria NPV, berarti akan ada peningkatan dalam kesejahteraan sosial. Selain NPV, ada beberapa alternatif kriteria lainnya, misalnya Benefit-Cost Ratio (BCR), Internal Rate of Return (IRR), dan Payback Period (PP). Kriteria kelayakan BCR merupakan kriteria yang menggambarkan rasio antara manfaat bersih yang bernilai positif dengan manfaat bersih yang bernilai negatif. Suatu proyek dapat dikatakan layak apabila nilai BCR yang didapat adalah sama dengan atau lebih besar dari satu. Secara matematis, rumus BCR dapat dituliskan sebagai berikut:

∑ ………. (2)

Keterangan:

Bt = Penerimaan petani pada tahun ke-t (Rp)

Ct = Biaya yang dikeluarkan petani pada tahun ke-t (Rp)

i = Suku bunga (%)

t = Tahun kegiatan


(47)

Kriteria yang berikutnya adalah IRR. Tingkat pengembalian internal atau IRR merupakan cara lain penggunaan arus manfaat neto tambahan untuk mengukur manfaat proyek, yakni dengan mencari tingkat diskonto yang dapat membuat manfaat sekarang neto dari arus manfaat neto tambahan atau arus uang tambahan sama dengan nol (NPV=0). Tingkat tersebut adalah tingkat bunga maksimum yang dapat dibayar oleh proyek untuk sumber daya yang digunakan karena proyek membutuhkan dana lagi untuk biaya-biaya operasi dan investasi dan proyek baru sampai pada tingkat pulang modal (Gittinger, 1986). Suatu proyek atau kegiatan investasi dikatakan layak apabila IRR ≥Opportunity Cost of Capital atau Discount Rate yang digunakan. Besaran yang dihasilkan dari perhitungan ini adalah dalam satuan persentase. Secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut:

….…………(3)

Keterangan:

IRR = Internal Rate of Return (%)

i1 = Discount rate yang menghasilkan NPV positif (%)

i2 = Discount rate yang menghasilkan NPV negatif (%)

NPV1 = NPV positif (Rp)

NPV2 = NPV negatif (Rp)

Adapun kriteria yang digunakan selanjutnya adalah payback period (PP). Kriteria PP merupakan kriteria yang digunakan untuk menunjukkan jangka waktu yang diperlukan biaya investasi untuk kembali. Menurut Gitingger (1986), PP merupakan adalah jangka waktu kembalinya keseluruhan jumlah investasi modal yang ditanamkan, dihitung mulai dari permulaan proyek sampai dengan arus nilai neto produksi tambahan sehingga mencapai jumlah keseluruhan investasi modal yang ditanamkan. Kriteria payback period berguna untuk mengetahui berapa lama waktu yang diperlukan untuk menutup kembali pengeluaran investasi dengan menggunakan cashflow. Semakin kecil angka yang dihasilkan mempunyai arti semakin cepat tingkat pengembalian investasinya, maka usaha tersebut semakin baik untuk diusahakan. Secara matematis, PP dapat dituliskan sebagai berikut:

PP I ………..………..… (4)

Keterangan:

PP = Payback Period (Tahun ke-) I = Biaya Investasi (Rp)


(48)

4.3.3. Menganalisis Kesejahteraan Petani Tambak dengan Perbandingan Surplus Produsen Pola Tambak Dalam Kawasan Mangrove dengan di Luar Kawasan Mangrove

Menurut Fauzi (2006), pada dasarnya konsep surplus menempatkan nilai moneter terhadap kesejahteraan dari masyarakat dari mengekstraksi dan mengkonsumsi sumber daya alam. Surplus juga merupakan manfaat ekonomi yang tidak lain adalah selisih antara manfaat kotor (gross benefit) dan biaya yang dikeluarkan masyarakat untuk mengekstraksi sumber daya alam. Green (1992) dalam Fauzi (2006) memandang bahwa menggunakan pendekatan surplus untuk mengukur manfaat sumber daya alam merupakan pengukuran yang tepat karena pemanfaatan sumber daya dinilai berdasarkan alternatif penggunaan terbaiknya. Menurut Fauzi (2006), secara matematis besaran surplus produsen dapat diukur berdasarkan:

PS x xC x C x ……… (5)

Keterangan:

PS = Surplus produsen (Producer’s Surplus) (Rp)

xC’(x) = Pembayaran minimum yang dapat diterima produsen (Rp) C(x) = Biaya yang dibutuhkan untuk memproduksi barang x (Rp)

Surplus produsen tersebut tidak lain adalah pembayaran paling minimum yang bisa diterima oleh produsen dikurangi dengan biaya untuk memproduksi barang x. Surplus produsen dapat juga dianggap sebagai surplus yang bisa diperoleh oleh pemilik sumber daya atau aset yang produktif pada saat pendapatan dari sumber daya melebihi biaya pemanfaatannya. Untuk mengestimasi surplus produsen, diperlukan data variabel biaya-biaya produksi dan pendapatan yang diterima dari barang (Djajanigrat 2011). Penerimaan yang diterima oleh petani tersebut adalah yang diperoleh dari petani dari hasil produksi tambak masing-masing. Secara matematis, dapat dilihat dalam rumus berikut:

PSm = Pim.xim – Cm ……… (6)

Keterangan:

PS = Surplus produsen tambak (Rp) Pi = Harga komoditas i (Rp)

xi = Komoditas i (kg)

C = Biaya produksi tambak (Rp)


(49)

V. GAMBARAN UMUM

Penelitian dilakukan di dua desa dalam Kabupaten Probolinggo, Propinsi Jawa Timur, yakni Desa Curahsawo yang berada di Kecamatan Gending, dan Desa Sukokerto yang berada di Kecamatan Pajarakan. Secara geografis, Kecamatan Gending berbatasan langsung dengan Kecamatan Pajarakan yang juga berbatasan langsung dengan Selat Madura, sehingga secara umum keduanya memiliki kondisi lingkungan yang hampir sama. Desa Curahsawo digunakan sebagai lokasi untuk menganalisa tambak yang berada dalam kawasan mangrove, sedangkan sebagai pembandingnya Desa Sukokerto digunakan untuk menganalisis tambak yang berada di luar kawasan mangrove. Adapun berdasarkan Laporan Monografi Desa (2011) dari masing-masing desa, didapat data yang akan diuraikan selanjutnya berikut.

5.1. Keadaan Umum Desa Curahsawo

1. Luas dan Letak Geografis

Desa Curahsawo merupakan desa atau kelurahan yang termasuk ke dalam wilayah administratif Kecamatan Gending, Kabupaten Probolinggo. Propinsi Jawa Timur. Desa Curahsawo tersebut merupakan desa pantai yang terletak lebih kurang 180 km dari Surabaya dan 10 km dari ibukota Kabupaten Probolinggo.

Luas keseluruhan wilayah Desa Curahsawo adalah 555.427 ha, yang terbagi atas tiga dusun, yakni Dusun Karang Anyar, Dusun Krajan, dan Dusun Tambak, lalu ada tiga rukun warga (RW), dan enam rukun tetangga (RT).

Adapun batas-batas wilayah Desa Curahsawo sendiri meliputi:

Utara : Selat Madura Barat : Desa Tamansari Dringu Selatan : Desa Banyuanyar Timur : Desa Pajurangan 2. Topografi dan Iklim

Desa Curahsawo berada pada ketinggian 4 m di atas permukaan laut. Suhu maksimum di desa tersebut adalah 31ºC sedangkan suhu minimumnya adalah 27ºC. Jumlah hari dengan curah hujan terbanyak adalah sebanyak


(50)

79 hari dan banyaknya curah hujan per tahun adalah 150 hari. Secara umum, tanah di wilayah Curahsawo memiliki kemiringan sekitar 8-14%, dan tergolong cukup asam karena memiliki pH sekitar 5,5 hingga 5,9. Lahan di Desa Curahsawo dipergunakan untuk berbagai peruntukan seperti tanah sawah seluas sekitar 45,460 ha, tanah hutan seluas 362 ha. Selain itu juga sebagai tanah keperluan fasilitas umum seluas 3 ha, tanah keperluan fasilitas sosial seluas 1,950 ha, kemudian yang terutama dalam hal ini, tanah basah yaitu tambak seluas 102,363 ha.

3. Penduduk dan Mata Pencaharian Penduduk

Jumlah penduduk Desa Curahsawo adalah 1.638 orang, dengan jumlah laki-laki sebanyak 846 orang dan perempuan sebanyak 792 orang. Jumlah rumah tangga yang ada adalah sebanyak 469 kepala keluarga. Dengan jumlah penduduk 1.638 orang dan luas 5,55 km2, maka kepadatan penduduk Desa Curahsawo adalah sekitar 295 orang per km2 .

Sebagian besar mata pencaharian utama dari penduduk Desa Curahsawo adalah buruh tani. Selain itu, mata pencaharian utama penduduk desa lainnya adalah petani, buruh, pedagang, PNS, TNI, nelayan, dan lainnya. Dalam hal ini, petani tambak yang ada berjumlah 47 orang.

4. Sarana dan Prasarana Daerah

Untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat, ada pula sarana pembangunan seperti koperasi sebanyak satu buah, toko/kios/warung sebanyak 18 buah, bank sebanyak satu buah, kemudian beberapa jenis usaha seperti industri kecil dan rumah tangga sebanyak tiga buah, rumah makan/warung makan sebanyak lima buah, perdangangan sebanyak tiga buah, dan usaha angkutan sebanyak satu buah. Adapun sarana umum lainnya yang dapat digunakan oleh masyarakat adalah tempat ibadah seperti masjid sebanyak dua buah dan musholla sebanyak sembilan buah.

Sarana pendidikan yang ada di Desa Curahsawo terdiri dari taman kanak-kanak swasta sebanyak dua buah dengan jumlah murid sebanyak 116 orang dan tenaga pengajar sebanyak sembilan orang, kemudian ada sekolah dasar negeri sebanyak satu buah dengan jumlah siswanya sebanyak 157 orang dan dengan tenaga pengajar sebanyak 14 orang, dan


(51)

juga sekolah dasar swasta sebanyak satu buah yang memiliki siswa sebanyak 127 orang dengan tenaga pengajar sebanyak 12 orang.

5.2. Keadaan Umum Desa Sukokerto

1. Luas dan Letak Geografis

Desa Sukokerto merupakan salah satu desa atau kelurahan yang termasuk dalam wilayah Kecamatan Pajarakan, Kabupaten Probolinggo, Propinsi Jawa Timur. Desa ini memiliki luas 344,780 ha yang terdiri dari lima dusun, yakni Dusun Pandean, Dusun Sukunan, Dusun Krajan, Dusun Lumbang, dan Dusun Kancoan, kemudian enam RW dan 21 RT. Desa Sukokerto berbatasan dengan Desa Panembangan dan Desa Sukomulyo dari kecamatan yang sama di bagian timur, Desa Karanggeger di bagian barat, Desa Pajarakan Kulon di bagian selatan, dan desa ini juga berbatasan dengan Selat Madura di bagian utara seperti Desa Curahsawo. 2. Topografi dan Iklim

Secara umum, tanah di wilayah Sukokerto memiliki karakteristik yang mirip dengan yang ada di wilayah Curahsawo, yakni tanah yang cukup asam dengan pH sekitar 5,5 hingga 6 dan kemiringan antara 8% sampai 12%. Desa ini juga ada pada ketinggian sekitar 3 m di atas permukaan laut dan bertemperatur rata-rata 32ºC, memiliki rata-rata curah hujan pada musim penghujan 7-9 mm per tahun dan 3-6 mm per tahun pada musim kemarau.

Sebesar 60% lahan yang ada di wilayah Sukokerto digunakan sebagai sawah tadah hujan, sisanya dipergunakan untuk peruntukkan lainnya seperti untuk perumahan dan pekarangannya, tegalan, kuburan, gedung sekolah, kantor desa, dan lain-lain.

3. Penduduk dan Mata Pencaharian Penduduk

Jumlah penduduk Desa Sukokerto adalah 2.846 jiwa, dengan jumlah laki-laki sebanyak 1.387 jiwa dan perempuan sebanyak 1.459 jiwa. Jumlah kepala keluarga yang ada adalah sejumlah 988. Kepadatan penduduk Desa Sukokerto, dengan jumlah penduduk 2.846 orang dan luas 3,44 km2, adalah sekitar 827 orang per km2 dan hal tersebut menunjukkan bahwa Desa Sukokerto jauh lebih padat jika dibandingkan dengan Desa


(52)

Curahsawo yang kepadatannya hanya 295. Hal tersebut mungkin dapat menjadi salah satu penyebab tingginya tingkat kerusakan mangrove yang ada, yakni lahan mangrove dijadikan peruntukkan yang lain seperti tempat tinggal dan kegiatan ekonomi lainnya untuk menunjang kehidupan masyarakat.

Penduduk Desa Sukokerto memiliki pekerjaan yang beragam, dimana mayaoritas masyarakatnya bekerja sebagai pedagang, yakni sebanyak 238 orang, kemudian buruh tani sebanyak 203 orang, dan petani sebanyak 101 orang. Sisanya merupakan TNI, polri, sopir, PNS, tukang bangunan, pekerja industri, dan lainnya.

4. Sarana dan Prasarana Daerah

Sarana perekonomian yang ada di Desa Sukokerto cukup banyak tersedia untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sekitar yakni seperti pasar yang berjumlah satu buah, took/kios/warung sebanyak 112 buah, kemudian ada usaha tukang las, tukang patri, servis mobil, servis motor, servis elektronik, warung internet (warnet), dan lain-lain yang semuanya berjumlah total 21 unit.

5.3. Kondisi Perikanan dan Potensi Mangrove Kabupaten Probolinggo

Berdasarkan data yang didapat oleh Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Propinsi Jawa Timur dalam laporan Status Lingkungan Hidup Daerah (SLHD) Propinsi Jawa Timur, dengan menggunakan citra landsat TM-5, dapat diketahui luas mangrove di beberapa kota di Jawa Timur pada tahun 2010 yang dapat dilihat dalam Tabel 4.

Tabel 4. Luas ekosistem mangrove propinsi jawa timur tahun 2010 menurut citra landsat tm-5

No. Lokasi Mangrove Luas (Ha)

1. Kota Surabaya 378,19

2. Kab. Sidoarjo 1.236,42

3. Kab. Pasuruan 294,40

4. Kota Pasuruan 79,20

5. Kab. Probolinggo 267,65

6. Kota Probolinggo 38,94

7. Kab. Situbondo 96,93


(53)

Berdasarkan hasil interpretasi hutan mangrove dengan citra landsat TM-5 pada tahun 2010 tersebut (Tabel 4), diketahui bahwa luas mangrove Kabupaten Probolinggo adalah 267,65 ha. Luasan tersebut mengalami peningkatan, jika dibandingkan dengan data terbaru yang didapat pada tahun 2011 oleh DKP Kabupaten Probolinggo. Menurut hasil yang didapat oleh DKP pada tahun 2011 tersebut, ekosistem mangrove masih relatif luas di sepanjang pantai Kabupaten Probolinggo, yakni seluas ± 545 ha.

Luas tersebut terdiri atas luasan mangrove yang berkondisi baik seluas ± 315 ha, mangrove dengan kondisi sedang seluas ± 108 ha, dan sisanya adalah mangrove dalam kondisi jelek yakni seluas ± 122 ha. Selain itu, ditemukan sepuluh spesies mangrove di Kecamatan Gending (Desa Curahsawo). Spesies yang paling banyak dijumpai adalah Acanthus ilicitolius dan Terminalia catapa, sedangkan spesies yang memiliki kerapatan tertinggi adalah Rhizopora mucronata dan Rhizopora apiculata. Kecamatan Gending memiliki luas lokasi mangrove yang paling luas di antara kecamatan lainnya di Kabupaten probolinggo, yakni dari Desa Curahsawo yang memiliki luas mangrove sebesar 140 ha. Adapun data selengkapnya dapat dilihat dalam Tabel 5.

Tabel 5. Tutupan dan kerapatan mangrove kabupaten probolinggo

No. Lokasi Luas Mangrove

(Ha)

Presentase Tutupan (%)

Kerapatan (Pohon/Ha) 1. Kec. Tongas

- Desa Tambakrejo 35 60 500-1000/Ha

2. Kec. Sumberasih

- Desa Lemah Kembar 12 40 500-1000/Ha

3. Kec. Dringu

- Desa Dringu 8 40 500-1000/Ha

4. Kec. Gending

- Desa Curahsawo 145 80 500-1000/Ha

- Desa Pesisir 30 65 500-1000/Ha

5. Kec. Pajarakan

- Desa Penambangan 55 75 500-1000/Ha

6. Kec. Kraksaaan

- Desa Sidopekso 40 45 500-1000/Ha

- Desa Kebonugung 34 45 500-1000/Ha

Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Probolinggo (2011)

Masyarakat di perairan pantai utara Jawa Timur yang tinggal di daerah pesisir pantai sangat akrab dengan alam laut. Pada umumnya mereka sering dikenal sebagai masyarakat nelayan yang mencari penghidupan dari penangkapan


(54)

ikan. Para nelayan tersebut berlayar mencari ikan hingga ke tengah Laut Jawa juga perairan Selat Makassar dan Maluku selama berhari-hari.

Selain kehidupan para nelayan, terdapat satu kelompok masyarakat lainnya yang juga bergantung dari hasil perairan pantai, yakni para petani tambak. Hasil produksi perikanan di air payau, yakni tambak, menyumbang kontribusi yang cukup besar kepada total produksi perikanan Kabupaten Probolinggo, yakni sekitar 30%. Oleh karena itu, sektor perikanan tambak cukup berkembang di Jawa Timur, terutama di Kabupaten Probolinggo tersebut. Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS) Propinsi Jawa Timur, dapat dilihat data dari DKP mengenai produksi perikanan secara keseluruhan dari Kabupaten Probolinggo dalam Tabel 6. Tabel 6. Produksi perikanan kabupaten probolinggo

No. Uraian Satuan 2007 2008 2009 2010 2011*)

1. Produksi Sumberdaya Kelautan

- Penangkapan

dari Laut

Ton 9.267,30 12.856,00 9.342,20 9.474,30 9.550,20 2. Produksi Air

Tawar

- Perairan Umum Ton 193,30 95,00 182,10 162,80 163,10

- Kolam Ton 184,00 175,00 175,70 222,60 237,30

3. Produksi Air Payau

- Tambak Ton 3.023,90 3.020,00 3.020,50 3.367,50 3.526,90 Keterangan: *) = Angka Sementara

Sumber: Modifikasi dari Badan Pusat Statistik Propinsi Jawa Timur (2012)

Selain itu, berdasarkan data lainnya dari DKP, didapat jumlah produksi secara keseluruhan beberapa komoditas tambak di Kabupaten Probolinggo. Beberapa komoditas tersebut diantaranya bandeng, udang vannamei, dan udang werus, yang jumlahnya berfluktuasi tiap tahun. Total produksi bandeng pada tahun 2011 mencapai 932,5 ton, total produksi udang vannamei sebesar 1345,33 ton, dan total produksi udang werus sebesar 246,25 ton.


(55)

Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Probolinggo (2011)

Gambar 9. Data produktivitas udang vannamei, udang werus, dan bandeng di kabupaten probolinggo, jawa timur

5.4. Karakteristik Responden

Responden dalam penelitian ini berjumlah total 30 orang, yakni 15 orang petani yang merupakan warga Desa Curahsawo dan 15 orang petani yang merupakan warga Desa Sukokerto. Seluruh responden dalam penelitian ini berjenis kelamin laki-laki. Usia responden yang berdomisili di Desa Curahsawo bervariasi antara 40 tahun hingga 51 tahun. Sedangkan responden-responden dari Desa Sukokerto berusia antara 35 hingga 55 tahun. Selain itu, tingkat pendidikan responden, yang terlihat dari pendidikan terakhir responden, bervariasi dari SD hingga SMA. Jumlah responden Desa Curahsawo yang berpendidikan terakhir SD berjumlah enam orang, SMP berjumlah enam orang, dan SMA berjumlah tiga orang. Untuk responden dari Desa Sukokerto, jumlah responden yang berpendidikan terakhir SD adalah sembilan orang, SMP dua orang, dan SMA empat orang. Adapun data selengkapnya dapat dilihat dalam Lampiran 4.

Rata-rata luas lahan 15 responden yang berdomisili di Desa Curahsawo adalah sebesar 2,50 ha. Luas lahan responden tambak di Desa Sukokerto hampir sama dengan rata-rata luas lahan responden dari Desa Curahsawo, yakni sebesar 2,51 ha. Sebagian besar responden dari Desa Curahsawo, yakni sebesar 40% dari responden, memiliki tingkat pendapatan yang berkisar antara Rp 1.000.000 hingga Rp 2.000.000. Di sisi lain, sebagian besar responden yang berasal dari Desa Sukokerto memiliki tingkat penghasilan yang berkisar antara Rp 800.000 hingga Rp 1.000.000. Adapun data selengkapnya dapat dilihat dalam Lampiran 4.

2011, 1345.33

2011, 246.25 2011, 932.5

0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600

2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012

Jumlah Produksi

(ton)

Tahun

Udang vaname Udang werus Bandeng


(56)

6.1. Pa M

Pa masyaraka keberlanju sebagian b ini, yakni lingkunga

Gambar 1

Ha kawasan t mangrove mangrove tambaknya memiliki manjawab kesejukan mangrove (Gambar 1 andangan angrove di andangan ter at sekitar utan mangr besar masy sebesar 67% an mereka m

10. Pendapa lingkung al tersebut tersebut. Se yang ada. adalah seb a, kemudia

manfaat s b sebagai p n. Sisanya, bermanfaa 11). Cukup 67 VI. HAS dan Per Desa Cura rhadap man terhadap rove itu s yarakat Des %, berpend masih tergol at responde gannya pun terliha elain itu me Sebanyak agai pemas an sebanya sebagai pe

pencegah i yakni seb at sebagai p Baik 7% Rusak 13%

IL DAN PE ranan M ahsawo dan ngrove dan kelestariann sendiri. Ber a Curahsaw dapat bahwa

ong cukup b

n desa cura

at dari bany ereka pun c

60% dari ok bibit-bib ak 20% l encegah ba intrusi air banyak 6% tempat hid EMBAHAS asyarakat n Desa Suk

tentunya pe nya tentun rdasarkan wo yang me a kondisi ma baik (Gamb

ahsawo terh

yaknya poh ukup meng responden bit atau larv ainnya me anjir. Seban

laut, pena % dari resp

up hewan-h B SAN Terhada kokerto eranan yang nya berpen

kuisioner enjadi respo angrove yan bar 10). hadap kond hon mangro gerti mengen menjawab va ikan maup

enjawab ba nyak 7% ahan abrasi ponden, m hewan atau Baik Sekali 20% ap Kelesta g dilakukan ngaruh terh yang diber onden pene ng ada di se

disi mangro

ove yang a nai manfaa bahwa ma pun udang u ahwa mang dari respo i, juga pem menjawab b

u tumbuhan arian n oleh hadap rikan, elitian ekitar ove di ada di at dari anfaat untuk grove onden mberi bahwa n lain


(57)

Gam mem bentu tamb dicam adan sehin peng Gam mang (Gam sekit atau yang

mbar 11. Pen Warga manfaatkan s

uk pemanfa bak. Air yan

mpur denga nya mangro ngga air taw ggunaan air

mbar 12. Pen Sebagian grove sanga mbar 12). U

tar mereka penanaman g perlu dil

Untu mena banjir/o 20% m m (int ngetahuan re Desa Cu sumber day aatan mangr ng digunak an air tawar ove, air yan war yang di

tawar yang

ntingnya keb n besar res at penting b Untuk itu, m

tersebut pe n kembali h

akukan. M uk ahan ombak % Untuk mencegah masuknya trusi) air laut

7% Cuk Penti 20% esponden de urahsawo, ya mangrov

rove yang ad kan pada tam

r dengan sa ng masuk itambahkan ada. beradaan m sponden (80 bagi merek ereka semu rlu dikelola hutan mang Mereka pun Me Kes kup ing % esa curahsaw terutama e sejak pulu da adalah se mbak adala alinitas terte ke tambak n tidak perlu

angrove bag 0%) berpen

a dan cuku ua berpendap

a dengan ba rove sebaga n pernah m

emberi sejukan 7% wo mengen para peta uhan tahun ebagai filter ah air payau entu. Menur

k sudah be u terlalu ba

gi responde ndapat bahw up penting b

pat bahwa m aik dengan

ai bentuk p mendapat p Tempat hid hewan-hew atau tumbu lain 6% San Pen 80 nai manfaat ani tamba yang lalu. r masuknya u, yakni air rut responde erkurang sa anyak dan m

en desa cura wa keberad bagi sebagi mangrove y memilih pe pengelolaan penyuluhan dup wan uhan Tempa pemasok b bibit/larv ikan/uda 60% ngat nting 0% mangrove ak, sudah Salah satu a air laut ke r laut yang

en, dengan alinitasnya, menghemat ahsawo daan hutan ian lainnya yang ada di enghijauan mangrove mengenai at bibit-va ang


(58)

G mangrove penyuluha Gambar 1 Se dilakukan diikuti ole tersebut bi tambak de yang ada. ditanam te sekitar kar yang ada, Gambar 14 Me sudah ber mangrove hampir sem begitu ak bermanfaa

di desa ole an tersebut s

3. Partisipa lain penyu , yaitu pen eh responde iasanya dip engan men Responden ersebut sec rena merek terutama ya 4. Partisipas mangrove enurut respo rlaku sejak

, yakni da mua masya kan ada b at bagi lingk

Perna dari 8

Pernah, l dari 1 k 93%

eh penyuluh setidaknya e

asi responde uluhan, keg

nanaman m en setidakn prakarsai ole

gusahakan n juga meng cara tidak l

a yang pali ang ada di s

si responde e

onden, di d k lebih dar alam bentuk arakat meng

anyak poh kungan dan ah, lebih i 1 kali 87%

lebih kali %

h lapangan. empat kali (

en desa cura giatan men mangrove. K nya sebanya

eh aparat de bibit/anaka gatakan bah

angsung di ng merasak sekitar maup

en desa cur

desa tersebu ri 15 tahun

k larangan gikutinya. H hon mangro masyaraka Ti Sebagian be (Gambar 13 ahsawo dala ngenai man

Kegiatan p ak dua kali esa, ataupun annya sendi hwa pemelih ilakukan ole kan manfaat

pun di dalam

rahsawo da

ut terdapat a n yang lalu

untuk me Hal tersebut ove yang at. idak Pernah 6% s esar (87%) 3). am mengiku ngrove lain penghijauan

(Gambar 1 n warga des iri dari kaw haraan mang eh para pem t dari keber m tambak m

alam mengi

aturan atau s u dalam up enebang po ada baikny dapat tum Pernah sebanyak kali 7% Pernah, sebanyak 1 kali 7% sudah meng uti penyuluh nnya pun n tersebut s 14) dan keg sa yang mem wasan mang grove yang milik tamb radaan mang mereka. ikuti penan sistem adat paya pelest ohon muda, ya karena de mbuh besar , k 1 gikuti han telah sudah giatan miliki grove telah bak di grove naman yang tarian , dan engan r dan


(1)

6. Apakah pernah ada penyuluhan mengenai hutan mangrove di desa ini, sebelumya?

a. Pernah, …….. kali b. Tidak pernah

7. Jika pernah, melalui media apa penyuluhan tersebut dilakukan? a. Radio b. TV c. Ceramah d. Penyuluh lapangan 8. Berapa kali Anda mengikuti penyuluhan tersebut?

a. ………….. kali b. Tidak pernah

9. Selain penyuluhan, apakah ada kegiatan lain? a. Tidak ada

b. Ada, seperti ………. 10. Apakah Anda pernah mengikuti kegiatan lain tersebut?

a. Pernah, ………….. kali b. Tidak pernah

11. Apakah ada kegiatan penghijauan mangrove? a. Ada, ………… kali

b. Tidak Ada

12. Apakah Anda terlibat / mengikuti kegiatan penghijauan tersebut? a. Ya, ………….. kali

b. Tidak pernah

13. Siapa yang biasanya memprakarsai / memulai / membuat kegiatan tersebut? a. Warga desa

b. Aparat desa/ Instansi terkait c. Program Nasional

d. Lainnya ………..

14. Setelah penanaman, apakah dilakukan pemeliharaan?


(2)

b. Ya, jarang, oleh ……….. c. Tidak pernah

15. Apakah kegiatan yang dilaksanakan, melibatkan seluruh anggota masyarakat?

a. Iya

b. Belum semua c. Tidak sama sekali

16. Untuk melaksanakan kegiatan penanaman, darimana Anda memperoleh bibit/anakan?

a. Lembaga Pemerintah Desa / Instansi Terkait b. LSM / Kelembagaan Sosial lainnya

c. Mengusahakan sendiri dari hutan d. Mengusahakan sendiri dari luar hutan

17. Bagaimana pendapat Anda tentang kegiatan tentang pengelolaan mangrove? a. Baik Sekali

b. Baik

c. Cukup Baik d. Tidak Baik

18. Apakah ada aturan/sistem adat dalam upaya pelestarian mangrove? a. Ya b. Tidak Ada

19. Jika ya, seperti apa aturan/sistem tersebut? a. Upacara adat

b. Selamatan

c. Kegiatan rutin menanam bibit

d. Menanam bibit minimal sejumlah tertentu e. Tidak boleh menebang pohon muda


(3)

20. Sejak kapan aturan/sistem tersebut berlaku? a. Kurang dari 5 tahun

b. Sekitar 5-10 tahun c. Sekitar 11 – 15 tahun d. Lebih dari 15 tahun

21. Apakah semua masyarakat mengikuti aturan tersebut dan berjalan dengan baik?

a. Ya b. Tidak

22. Apakah Anda pernah menanam mangrove atas keinginan sendiri? a. Ya, sering b. Jarang c. Tidak pernah

23. Apakah Anda ingin pengelolaan hutan mangrove diserahkan pada masyarakat?

a. Ya b. Tidak

24. Jika ya, siapa yang seharusnya mengkoordinir? a. Pemerintah Desa

b. Kelompok Tani c. Pemuka masyarakat

d. Lainnya ………. 25. Bagaimana pendapat Anda mengenai hutan mangrove?

a. Sangat bermanfaat b. Kurang bermanfaat c. Tidak bermanfaat

26. Menurut Anda, lebih bermanfaat mana antara mangrove dan tambak? a. Sama-sama bermanfaat

b. Tambak

c. Mangrove d. Tidak tahu


(4)

27. Bagaimana pendapat Anda mengenai lingkungan yang ada di sekitar Anda? ……… ……… ………

PENGELOLAAN TAMBAK 1. Berapa yang didapat dari:

a. Hasil dalam 1 kali panen (utama): Rp……… Yang terdiri dari:

- ………... sebanyak ……… (kg / ton) dengan harga satuan Rp ……….. - ……….. sebanyak ……… (kg / ton) dengan harga satuan Rp ……….. - ……….. sebanyak ……… (kg / ton) dengan harga satuan Rp ……….. - ……….. sebanyak ……… (kg / ton) dengan harga satuan Rp ……….. b. Hasil dalam 1 kali panen (sampingan): Rp ……….

Yang terdiri dari:

- ………... sebanyak ……… (kg / ton) dengan harga satuan Rp ……….. - ……….. sebanyak ……… (kg / ton) dengan harga satuan Rp ……….. a. Hasil tangkapan harian: Rp ……….…

Yang terdiri dari:

- ………... sebanyak ……… (kg / ton) dengan harga satuan Rp ……….. - ……….. sebanyak ……… (kg / ton) dengan harga satuan Rp ……….. d. Hasil lainnya: Rp ……….

Yang terdiri dari:

- ………... sebanyak ……… dengan harga satuan Rp ………..


(5)

- ……….. sebanyak ……… dengan harga satuan Rp ……….. - ……….. sebanyak ……… dengan harga satuan Rp ……….. 2. Biaya yang dikeluarkan: (Rincian tiap biaya ditanyakan langsung)

a. Biaya investasi : Rp ………… b. Biaya tetap : Rp ………… c. Biaya tidak tetap : Rp …………. d. Biaya lain : Rp …………


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Livia Azarine Wisyanda, lahir pada tanggal 25 Mei 1992 di Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara dan merupakan anak dari pasangan Ir. H. Yahya Agusman, M.Sc dan Dra. Hj. Putry Wisni Wardhani. Jenjang pendidikan yang ditempuh penulis adalah TK Islam Baitul Hikmah Cimanggis Depok dari tahun 1996 hingga tahun 1997, SDIT At-Taufiq Harjamukti Depok hingga tahun 2003, SMP Islam PB Soedirman Cijantung Jakarta Timur hingga tahun 2005, kemudian melanjutkan ke SMA Negeri 105 Ciracas Jakarta Timur dan lulus pada tahun 2008.

Penulis kemudian melanjutkan pendidikannya ke Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 2008 melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dengan jurusan mayor Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan (ESL) Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selain itu penulis juga mengambil minor Pengelolaan Wisata Alam dan Jasa Lingkungan dari Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (KSHE) Fakultas Kehutanan. Selama menempuh pendidikan di IPB, penulis juga sempat aktif dalam organisasi kampus, yakni sebagai Sekertaris Divisi Campus Social Responsibility (CSR) dari himpunan profesi mahasiswa ESL Resource and Environmental Economics Student Association (REESA) pada tahun 2010-2011, selain itu penulis juga aktif dalam berbagai kegiatan kepanitiaan yang ada di lingkup IPB.