2.2. Tambak Tumpangsari
Tambak tumpangsari, merupakan bentuk dari kebijakan pendekatan perhutanan sosial, yaitu suatu model pengembangan tambak ramah lingkungan
yang memadukan antara hutanpohon sylvo dengan budidaya perikanan fishery. Menurut Kementerian Kehutanan 2004, sistem tumpangsari tambak
tersebut merupakan suatu teknik pembuatan tanaman hutan mangrove, yang pada pelaksanaannya pada areal tersebut juga diusahakan untuk usaha perikanan.
Tambak tumpangsari tersebut dapat mengakomodasi tujuan rehabilitasi ekosistem pesisir secara luas dengan tidak mengurangi manfaat ekonomi tambak secara
langsung seperti diilustrasikan pada Gambar 4.
Sumber: Green Coast 2011
Gambar 4. Perbandingan tambak model lama dengan tambak tumpangsari Pengelolaan hutan mangrove melalui pendekatan perhutanan sosial
merupakan suatu konsep untuk membantu masyarakat di sepanjang jalur pantai dengan meningkatkan pendapatan ekonominya sehingga diharapkan dapat
membantu Perhutani dalam menjaga kualitas hutan mangrove sebagai sistem
multi guna baik untuk perikanan maupun kehutanan Soewardi, 1994 dalam Sadi, 2006. Tumpangsari merupakan pola pendekatan teknis yang cukup baik, terdiri
atas rangkaian kegiatan terpadu antara kegiatan budidaya ikan dengan kegiatan penanaman, pemeliharaan, pengelolaan dan upaya pelestarian hutan mangrove.
Sistem ini memiliki teknologi sederhana, dapat dilakukan tanpa merusak tanaman mangrove yang ada dan dapat dilakukan sebagai kegiatan sela sambil berusaha
menghutankan kembali kawasan jalur hijau di daerah pantai yang kritis Perhutani 1993.
Dengan pola ini, diharapkan ada kerja sama yang saling menguntungkan antara masyarakat yang tinggal di sepanjang pantai sebagai petambak penggarap
dan pihak kehutanan. Sistem empang parit dan sistem empang inti merupakan alternatif aplikasi dari sistem tumpangsari ini. Dalam sistem empang parit, tambak
yang digunakan untuk budidaya dibuat dalam bentuk parit yang mengelilingi hutan mangrove, dengan luas parit 20 dan mangrove 80, atau parit 40 dan
mangrove 60 dari luas anak petak. Semakin besar proporsi hutan mangrove, nilai ekologi yang diberikan pun akan semakin besar bagi lingkungan, tetapi
sebaliknya akan mengurangi nilai ekonomi dari hasil tambak pada tingkat tertentu. Adapun luas anak petak tambak berkisar antara 0,3 - 3 ha.
Sistem ini secara konvensional sudah dilakukan sejak tahun 1968 namun baru dikembangkan secara semi konvensional sejak tahun 1986 Departemen
Kehutanan dan Perkebunan 1999. Jenis utama yang dapat diusahakan dalam budidaya perikanan tambak tumpangsari adalah bandeng, mujair, blanak dan hasil
tambahan lain seperti udang dan kepiting Sukardjo, 1989 dalam Sadi, 2006. Ketahanan tambak tumpangsari tergantung dari jenis tanaman mangrove dan
periode pertumbuhannya. Jenis mangrove yang ditanam adalah Bakau Rhizoppora mucronata dan Api-api Avecennia marina dengan jarak tanam
yang dianjurkan adalah 3x3 meter, tetapi dalam praktiknya Perum Perhutani masih memberikan kelonggaran untuk jarak tanam 5x5 meter dan lainnya.
Manfaat dari pengelolaan hutan mangrove melalui pendekatan sosial dengan sistem tumpangsari dengan pola empang parit adalah 1 meningkatkan
persentase keberhasilan tanaman mangrove di atas 80 dengan jenis ikan yang diusahakan adalah bandeng dan udang; 2 terbinanya petani penggarap empang