Idiopatik II. Defek genetik fungsi sel beta akibat mutasi pada: Penyakit Eksokrin Penyakit Ginjal Kronik

6 ini akan berlanjut mencapai 552 juta penderita pada tahun 2030, yang artinya sekitar 1 dari 10 orang dewasa adalah penderita Diabetes Mellitus Mufanda eat al, 2015. Beragam penelitian tentang trend diabetes menjelaskan bahwa ada peningkatan signifikan prevalensi pada kedua daerah perkotaan dan pedesaan termasuk pria dan wanita dengan resiko yang sama. Hal tersebut diakibatkan perubahan demografi peningkatan kelompok usia tua, urbanisasi, dan perubahan gaya hidup yang beresiko tinggi seperti merokok, obesitas, jarang bergerak physical inactivity Mufanda eat al, 2015. Menurut data organisasi Persatuan Rumah Sakit di Indonesia PERSI , sekitar 14 juta orang menderita DM pada tahun 2006. Dan hanya sekitar 80 yang sadar akan penyakitnya, dan hanya sekitar 30 yang melakukan pengobatan secara teratur. Menurut beberapa penelitian epidemiologi, prevalensi DM berkisar antara 1,5 sampai 2,3, kecuali Manado yang cenderung lebih tinggi, yaitu 6,1 Mendrofa, 2012. 2.1.3. Klasifikasi dan Etiologi Klasifikasi etiologis DM berdasarkan American Diabetes Association ADA dalam Purnamasari, 2009 adalah sebagai berikut: Tabel 2.1. Klasifikasi Etiologi Diabetes Mellitus I. Diabetes Melitus Tipe 1 destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut a. Melalui proses imunologik

b. Idiopatik II.

Diabetes Melitus Tipe 2 bervariasi mulai yang predominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang predominan gangguan sekresi insulin bersama resistensi insulin Universitas Sumatera Utara 7

III. Diabetes Melitus Tipe Lain

a. Defek genetik fungsi sel beta akibat mutasi pada:

- Kromosom 20, Hepatocyte Nuclear Transcription Factor HNF 4α dahulu MODY 1 - Kromosom 12, HNF-1α dahulu MODY 3 - Kromosom 7, Glukokinase dahulu MODY 2 - Kromosom 13, Insulin Promoter Factor IPF 1 dahulu MODY 4 - Kromosom 17, HNF-1β dahulu MODY 5 - Kromosom 2, Neuro DI dahulu MODY 6 - DNA mitokondria - lainnya b. Defek genetik kerja insulin: resistensi insulin tipe

A, leprechaunism, sindrom Rabson Mendenhall, diabetes lipoatrofik, lainnya

c. Penyakit Eksokrin

Pankreas: pankreatitis, traumapankreatektomi, neoplasma, fibrosis kistik, hemokromatosis, pankreatopati fibro kalkulus, lainnya d. Endokrinopati: akromegali, sindrom Cushing, feokromositoma, hipertiroidisme somatostatinoma, aldosteronoma, lainnya e. Karena obat zat kimia: vacor, pentamidin, asam nikotinat, glukokortikoid, hormone tiroid, diazoxid, agonis β adrenergic, tiazid, fenitoin, interferon alfa, protease inhibitor, clozapine, beta bloker, lainnya

f. Infeksi: rubella kongenital, CMV, lainnya g. Imunologi jarang: sindrom Stiff-man, antibodi

anti reseptor insulin, lainnya h. Sindrom genetik lain: sindrom Down, sindrom Universitas Sumatera Utara 8 Klinefelter, sindrom Turner, sindrom Wolfram’s, ataksia Friedreich’s, Chorea Huntington, sindrom Laurence-Moon-Biedl, distrofi miotonik, porfiria, sindrom Prader Willi, lainnya

IV. Diabetes Gestasional

2.1.4. Faktor Risiko

Menurut Suyono 2007, DM di Indonesia akan terus meningkat disebabkan beberapa faktor antara lain : a. Faktor keturunan genetik b. Faktor kegemukan atau obesitas IMT 25 kgm2 - Perubahan gaya hidup dari tradisional ke gaya hidup barat - Makan berlebihan - Hidup santai, kurang gerak badan c. Faktor demografi - Jumlah penduduk meningkat – Urbanisasi - Penduduk berumur di atas 40 tahun meningkat d. Kurang gizi Mendrofa, 2011. 2.1.5. Patogenesis Pada DM tipe 1 atau lebih dikenal dengan nama Insulin Dependent Diabetes Mellitus IDDM, terjadi karena kerusakan sel β pankreas reaksi autoimun. Sel β pankreas merupakan satu-satunya sel tubuh yang menghasilkan insulin yang berfungsi untuk mengatur kadar glukosa dalam tubuh. Autoimun merupakan salah satu penyebab tersering dari DM, dan sebagian kecil disebabkan oleh non autoimun. Proses autoimun biasanya dipicu oleh suatu infeksi atau stimulus lingkungan. Akibat dari proses autoimun tersebut hampir tidak terdapat insulin dalam sirkulasi darah, glukagon plasma plasma meningkat dan sel- sel β pancreas gagal merespons peningkatan glukosa dalam darah. Sering sekali dijumpai kondisi ketoasidosis pada pasien penderita DM tipe 1. Oleh karena itu pemberian insulin penting untuk memperbaiki dalam penatalaksanaan DM tipe 1. Bila telah terjadi kerusakan lebih dari 80 pada sel β pankreas maka gejala DM akan muncul, yang biasanya terjadi lebih cepat pada anak-anak dibandingkan orang dewasa Kardika et al, 2013. Universitas Sumatera Utara 9 Pada saat terjadinya diabetes melitus tergantung insulin, sebagian besar sel β pankreas sudah rusak hampir pasti karena autoimun. Ada beberapa serangkaian kondisi yang setidaknya dimiliki penderita yang berperan dalam munculnya penyakit ini, yaitu : 1 Harus ada kerentanan genetik terhadap penyakit ini. 2 Keadaan lingkungan biasanya memicu proses ini pada individu yang memiliki kerentanan genetik. Infeksi virus juga diyakini sebagai suatu pemicu, meskipun ada agen noninfeksius yang dapat berperan didalamnya. 3 Peradangan pankreas yang disebut insulitis. Biasanya ditemukan sel monositmakrofag dan limfosit T teraktivasi yang menginfiltrasi sel-sel pulau langerhans. 4 Perubahan atau transformasi sel β sehingga dikenali sebagai sel asing oleh sel imun. 5 Selanjutnya adalah perkembangan respon imun. Karena sel β pankreas dikenali tubuh oleh sel asing, sehingga terjadi respon imun yang akan menghancurkan sel β pankreas melalui pembentukan antibodi anti sitotoksik dan bekerja sama dengan sel imun seluler. Terkadang DM tipe satu dapat berkembang melalui pengaruh lingkungan saja, contohnya pada peminum vacor racun tikus atau DM tipe satu juga dapat berkembang tanpa melalui pengaruh lingkungan misalnya pada genetik murni. Namun urutan patogenetiknya biasanya adalah predisposisi genetik – pengaruh lingkungan – insulitis – perubahan sel beta menjadi sel asing – aktivasi sistem imun – pengerusakan sel beta – diabetes melitus Foster, 2000. DM tipe 2 memiliki ciri-ciri berupa defek pada sekresi dan resistensi dari insulin, yang kemungkinan keduanya turut berperan dalam munculnya manifestasi klinis, karena individu dengan obesitas dan resistensi insulin yang nyata dapat mempunyai toleransi glukosa yang normal. Mungkin individu ini tidak mempunyai lesi sel β. Hal ini menunjukkan bahwa defek utama terletak pada sel penghasil insulin. Massa sel β intak pada DM tipe 2, yang berlawanan dengan DM tipe 1, namun jumlah sel α mengalami peningkatan sehingga rasio glukagon dibanding insulin meningkat. Hal ini juga yang mendukung keadaan hiperglikemik pada DM tipe 2 Foster, 2000. Meskipun resistensi insulin pada DM tipe 2 disertai penurunan jumlah reseptor insulin, sebagian besar resistensi insulin adalah tipe pasca reseptor. Sudah lama diketahui bahwa terdapat endapan amiloid peptida asam amino 37 yang Universitas Sumatera Utara 10 disekresi bersama dengan insulin di pankreas pada DM tipe 2 yang merupakan suatu pertanda bahwa terjadi peningkatan produksi insulin akibat resistensi. Penelitian pada hewan menunjukkan ada pengaruh amilin bentuk jamak: amiloid terhadap resistensi insulin, namun kesimpulan amilin dapat menyebabkan resistensi insulin masih belum dapat disimpulkan Foster, 2000. Tanpa memandang mekanisme resistensi insulin, konsekuensi fisiologisnya masih belum jelas. Tidak ada kelainan utama baik pada ambilan glukosa oleh sel atau metabolisme oksidatif menjadi CO2, air dan laktat. Blok metabolik utama terjadi pada sintesis glikogen metabolisme nonoksidatif. Metabolisme nonoksidatif glukosa yang terganggu, seperti pada hiperinsulinemia dan resistensi insulin, dapat terlihat pada individu nonobes, relatif normoglikemik dengan DM tipe 2 Foster, 2000. DM tipe 2 mempunyai onset usia diatas 40-an tahun, atau lebih tua, dan biasanya tidak menunjukkan gejala ketoasidosis. Kebanyakan penderita memiliki berat badan berlebih overwheight. Atas dasar inilah maka penderita dibagi menjadi 2 kelompok yaitu : 1 kelompok obes dan 2 kelompok non-obes. Kemungkinan menderita DM tipe 2 menjadi meningkat berkali-kali lipat jika berat badan bertambah sebanyak 20 dari berat badan ideal dan usia meningkat 10 tahun atau diatas 40 tahun Mendrofa, 2012. Gejala muncul secara perlahan dan biasanya ringan bahkan terkadang membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk muncul serta progresivitas gejala berjalan lambat. Ketoasidosis biasanya tidak muncul, kecuali pada kasus tertentu yang disertai stress atau infeksi. Kadar insulin menurun atau bahkan tinggi, namun tidak bekerja efektif Arisman dalam Mendrofa, 2012. 2.1.6. Fisiologi dan Patofisiologi 2.1.6.1. Struktur kimia insulin Insulin merupakan protein kecil dengan berat molekul sebesar 5808 yang di produksi dari organ pankreas pada manusia. Insulin tersusun oleh 51 asam amino yang terdiri dari rantai A dan rantai B serta dihubungkan dengan jembatan disulfida. Proses pembentukan insulin dimulai dari sintesis proinsulin dari Universitas Sumatera Utara 11 retikulum endoplasma kasar, kemudian diangkut kedalam aparatus golgi dan dikemas dalam granula-granula tempat dimana proinsulin akan dihidrolisis menjadi insulin dan suatu peptida-C dengan menghilangkan empat asam amino penghubung Nolte, 2007. Insulin dan peptida-C disekresikan dalam jumlah yang ekuimolar sebagai respon terhadap semua agan perangsang insulin bersama sebagian proinsulin yang tidak terhidrolisis. Proinsulin diduga memiliki efek hipoglikemik, tetapi belum diketahui apakah protein-C memiliki efek fisiologis. Granula di dalam sel B meyimpan insulin dalam bentuk kristal yang mengandung dua atom seng dan enam molekul insulin. Secara keseluruhan manusia menyimpan sebanyak 8 mg insulin, atau sekitar 200 unit biologis Nolte, 2007. 2.1.6.2. Sekresi insulin Insulin disekresikan dari sel B pankreas dengan laju basal yang rendah dan laju basal yang rendah dan dengan laju yang jauh lebih tinggi bila terstimulasi dengan berbagai rangsangan, khususnya glukosa. Stimulan lain yang juga dikenal seperti gula misalnya, manosa, asam amino tertentu misalnya, leusin, arginin, dan aktivitas nervus vagus. Dalam gambar di bawah diperlhatkan bahwa hiperglikemia menyebabkan peningkatan kadar ATP intrasel yang akan menutup kanal kalium sehingga terjadilah suatu depolarisasi. Depolarisasi tersebut akan membuka kanal kalsium. Efluks kalsium intrasel akan mencetuskan eksositasi dari insulin Nolte, 2007. Gambar 2.1. Mekanisme pelepasan insulin oleh sel Beta langerhans Martha et al, 2006 Universitas Sumatera Utara 12 2.1.6.3.Insulin dalam sirkulasi Kadar insulin basal pada manusia adalah 5-15 µUmL 30-90 pmolL, dengan kadar puncak sekitar 60-90 µUmL 360-540 pmolL pada waktu makan Nolte, 2007. 2.1.6.4. Reseptor insulin Setelah beredar di sirkulasi, insulin kemudian berdifusi dalam jaringan dan berikatan pada reseptor khusus pada membran jaringan, seperti pada hati, otot, dan jaringan adiposa. Reseptor tersebut mengandung dua heterodimer yang terikat secara kovalen, dan masing- masing mengandung subunit α yang merupakan daerah pengenal dan seluruhnya terdapat di luar membran, serta subunit β yang menemb us ketebalan membran sel. Subunit β mengandung protein kinase yang akan aktif setelah serangkaian proses mulai dari pengikatan insulin pada subunit α, hingga terjadilah suatu konformasi yang mendekatkan lengkung katalitik subunit β sitoplasmik yang berhadapan. Hal tersebut kemudian memfasilitasi fosforlisasi timbal balik residu tirosin pada subunit β dan aktifitas tirosin kinase kemudian diarahkan pada protein sitoplasma Martha, 2007. Gambar 2.2. Reseptor Insulin Martha et al, 2006 Universitas Sumatera Utara 13 Protein plasma yang difosforilasi oleh reseptor tirosin kinase aktif adalah docking protein, yaitu substrat reseptor insulin-1 sampai -6. Setelah fosforilasi tirosin terjadi di sejumlah tempat kritis , molekul IRS berikatan dan mengaktifkan kinase lain yang terpenting adalah fosfatidilinositol-3 kinase yang menimbulkan fosforilasi lebih lanjut atau berikatan pada suatu protein adaptor seperti protein pengikat reseptor faktor pertumbuhan-2, yang mentranslasikan sinyal insulin menjadi suatu faktor pelepas nukleotida guanin hingga akhirnya mengaktifkan protein ras pengikat GTP, dan sistem protein kinase yang teraktifkan-mitogen MAPK. Tirosin kinase tertentu yang terfosforilasi IRS memiliki spesifisitas pengikatan dengan molekul hilir berdasarkan motif atau sekuens 4-5 asam amino di sekitar-nya yang mengenali domain src homolog 2 yang spesifik pada protein lain. Jaringan fosforilasi ini dalam sel merupakan perantara kedua insulin dan menimbulkan berbagai efek, termasuk tranlokasi transporter glukosa terutama GLUT-4 ke membran sel sehingga menyebabkan peningkatan ambilan glukosa, peningkatan aktifitas glikogen sintase dan peningkatan pembentukan glikogen, berbagai efek terhadap sintesis protein, lipolisis, dan lipogenesis, dan aktivasi faktor transkripsi yang memacu sintesis DNA dan pembelahan serta pertumbuhan sel. Jalur IRS-2 berkaitan dengan mitogenesis dan proliferasi sel Nolte, 2007. Beberapa agen hormonal tertentu seperti glukokortikoid dapat menurunkan afinitas insulin terhadap reseptornya. Namun, kelebihan hormon pertumbuhan meningkatkan sedikit afinitas insulin terhadap reseptornya. Penyimpangan pada fosforilasi serin dan treonin dalam subunit β reseptor insulin atau molekul IRS dapat menimbulkan resistensi insulin dan penekanan down regulation reseptor fungsionalnya Nolte, 2007. 2.1.6.5. Efek insulin terhadap targetnya Insulin berperan penting pada proses biologis tubuh terutama fungsinya dalam meningkatkan simpanan lemak dan glukosa dan mempengaruhi pertumbuhan sel serta fungsi metabolik berbagai jaringan Sherwood, 2009. Insulin menimbulkan beberapa efek dalam penanganan glukosa, diantaranya ialah : 1 Insulin mempermudah transpor glukosa dari luar ke dalam sel; 2 Insulin merangsang pembentukan glikogen dari glukosa glikogenesis di Universitas Sumatera Utara 14 otot rangka dan hati; 3 Insulin menghambat penguraian glikogen menjadi glukosa glikogenolisis, maka insulin cenderung bertindak dalam mempertahankan cadangan karbohidrat; 4 Insulin menurunkan pengeluaran glukosa dari hati dengan menghambat glukoneogenesis, perubahan asam amino menjadi glukosa. Karena itu insulin mengurangi kadar glukosa dari darah dengan mendorong penyerapan glukosa oleh sel Sherwood, 2009. Zat-zat lain yang mempengaruhi pengeluaran insulin dari pankreas adalah asam amino, asam lemak bebas, badan keton, glukagon, sekretin, dan obat sulfonilurea tolbutamid dan gliburid yang diresepkan pada penderita DM tipe 2, obat ini bekerja dengan menghambat kanal k+ yang peka terhadap atp Bender, 2009. Secara sederhana efek insulin pada lemak bersifat anabolik, yaitu menyerap lemak dari darah dan merangsang pembentukan trigliserida, serta menghambat penguraian lemak lipolisis. Hal ini juga sama pada protein, insulin juga bersifat anabolik seperti merangsang penyerapan asam amino dari darah ke dalam sel, merangsang pembentukan protein dari asam amino, dan menghambat penguraian protein Sherwood, 2009. Dilihat dari lingkup kerjanya, GLUT-4 merupakan satu-satunya jenis pengangkut jenis pengangkut glukosa yang berespons terhadap insulin. GLUT-4 akan dikeluarkan dari membran jika terdapat insulin, berbeda dengan jenis GLUT lainya. Sel-sel yang bergantung dengan insulin akan mempertahankan insulin dalam vesikel-vesikel intrasel dan akan disisipkan ke membran jika dibutuhkan. Sehingga peningkatan sekresi insulin akan meyebabkan penyerapan glukosa 10 sampai 30 kali lipat oleh sel-sel dependen insulin Sherwood, 2009. Beberapa jaringan tidak bergantung pada insulin untuk menyerap glukosa, yaitu otak yang membutuhkan glukosa setiap saat sebagai sumber energi dan bersifat permeabel bebas terhadap glukosa dengan molekul GLUT-1 dan GLUT- 3. Selain otak, otot yang sedang dalam kondisi aktif beraktivitas juga tidak membutuhkan insulin dalam penyerapan glukosa, dikarenakan kontraksi otot secara langsung menyebabkan penyisipan GLUT-4 pada membran Sherwood, 2009. Universitas Sumatera Utara 15 Hati atau hepar juga tidak membutuhkan GLUT-4 dalam penyerapan glukosa, namun hepar merupakan suatu organ yang penting dalam pengaturan homeostasis glukosa tubuh. Insulin dalam hal ini dapat meningkatkan metabolisme glukosa. Peninggian kadar glukosa darah puasa, lebih ditentukan oleh peningkatan produksi glukosa endogen yang berasal dari proses glukoneogenesis dan glikogenolisis di jaringan hepar. Dalam hal ini, insulin berperan menginhibisi proses pembentukan glukosa endogen yang berlebihan. Semakin tinggi tingkat resistensi insulin, semakin rendah kemampuan inhibisinya terhadap proses glikogenolisis dan glukoneogenesis, dan semakin tinggi tingkat produksi glukosa dari hepar Manaf, 2006. 2.1.6.6. Patofisiologi Diabetes Melitus Pada diabetes mellitus, defisiensi atau resistensi hormon insulin menyebabkan kadar gula darah menjadi tinggi akibat menurunnya ambilan glukosa oleh jaringan otot dan adiposa serta peningkatan pengeluaran glukosa oleh hati. Dikarenakan sifat glukosa yang dapat menarik cairan, maka penderita cenderung untuk lebih banyak buang air kecil poliuri. Hal ini kemudian mengakibatkan dehidrasi akibat air dibuang dalam jumlah banyak, sehingga menyebabkan rasa haus dan selalu ingin minum polidipsia. Dikarenakan sel jaringan tidak pernah atau kurang mendapatkan suplai glukosa dari luar, maka volume dan masa sel-sel tubuh menjadi menyusut serta mengirimkan sinyal terus ke otak untuk merangsang pusat lapar, dan menyebabkan penderita cenderung untuk makan terus-menerus polifagi Arsono, 2005. Defisiensi insulin dapat terjadi melalui 3 jalan, yaitu : 1 rusaknya sel- sel β pankreas karena pengaruh tertentu dari luar virus, zat kimia tertentu, dll ataupun dari dalam autoimmune; 2 Desensitasi reseptor glukosa pada kelenjar pankreas; 3 Desensitasi atau kerusakan reseptor insulin down regulation di jaringan perifer Arsono, 2005. Pasien NIDDM Non Insulin Dependent Diabetes Melitus atau lebih dikenal dengan DM tipe 2 mempunyai 2 defek fisiologik, sekresi insulin abnormal dan resistensi insulin pada sel target jaringan. Abnormalitas utama tidak diketahui mungkin keduanya. Secara deskriptif 3 fase utama dapat dikenali pada urutan Universitas Sumatera Utara 16 klinis yang biasa. Pertama, glukosa plasma tetap normal meskipun terlihat resistensi insulin meskipun kadar insulin meningkat. Pada fase kedua resistensi insulin cenderung memburuk, ditandai dengan intoleransi glukosa dalam bentuk hiperglikemia setelah makan meskipun konsentrasi insulin meningkat setelah makan. Pada fase ketiga, resistensi insulin tidak berubah, tetapi sekresi insulin menurun, menyebabkan hiperglikemia puasa dan diabetes yang nyata. Berdasarkan penemuan Foster 2000 resistensi insulin adalah hal yang pertama muncul yang kemudian diikuti respon tubuh untuk mensekresikan lebih banyak insulin sebagai respon terhadap resistensi sehingga muncul kondisi hiperinsulinemia. Namun hiperinsulinemia dan kemungkinan amilin itu sendiri dapat menyebabkan resistensi insulin. Hipotesis yang dijelaskan melibatkan sintesis lemak terstimulasi insulin dalam hati dengan transpor lemak melalui lipoprotein kepadatan sangat rendah VLDL menyebabkan penyimpanan lemak sekunder dalam otot. Peningkatan oksidasi lemak akan mengganggu pengambilan glukosa dan sintesis glikogen. Penurunan pelepasan insulin yang terlambat dapat disebabkan oleh efek toksik glukosa terhadap pulau langerhans atau secara langsung melalui efek genetik yang mendasari. Sebagian besar pasien NIDDM adalah obes, dan diyakini obesitas itu sendiri menyebabkan resistensi insulin. Namun penderita NIDDM yang tidak obese dapat mengalami hipersekresi insulin dan pengurangan kepekaan insulin sehingga dibuktikan bahwa obesitas itu sendiri bukan merupakan satu-satunya penyebab resistensi insulin Foster, 2000. Pada kehamilan terjadi resistensi insulin fisiologis akibat peningkatan hormon-hormon kehamilan human placental lactogenHPL, progesterone, kortisol, prolaktin yang mencapai puncaknya pada trimester ketiga kehamilan. Tidak jauh berbeda dengan patofisiologi DM tipe 2 , pada DMG juga terjadi gangguan se kresi insulin oleh sel β pankreas yaitu berupa : 1 autoimun, 2 kelainan genetik, dan 3 resistensi insulin kronik. Xiang mengungkapkan dalam studinya bahwa para wanita yang memiliki DMG mengalami gangguan kompensasi produksi oleh sel β pankreas sebesar 67 dibanding wanita dengan kehamilan normal. Sebagian kecil dari wanita ini memiliki antibody islet cell Universitas Sumatera Utara 17 1,6- 3,8, dan sekitar 5 dari populasi DMG diketahui memiliki defek sel β seperti mutasi pada glukokinase Adam, 2009. Resistensi insulin selama kehamilan merupakan mekanisme adatif tubuh untuk menjaga asupan nutrisi ke janin fisiologis. Sementara resistensi insulin kronik terjadi pada wanita yang memiliki obesitas. Wanita dengan DMG kebanyakan memiliki kedua jenis resistensi fisiologis dan kronik sehingga manifestasi klinisnya lebih berat dibandingkan kehamilan normal. Kondisi ini akan segera membaik segera setelah partus dan akan kembali normal setelah masa nifas, dimana konsentrasi HPL sudah menurun Adam, 2009. 2.1.7. Diagnosis Diabetes Melitus Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM, antara lain PERKENI dalam Purnamasari, 2009. a. Keluhan klasik DM berupa : poliuria, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dijelaskan sebabnya. b. Keluhan lain dapat berupa : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi pada laki-laki serta pruritus vulva pada perempuan. Selain dengan keluhan, diagnosa DM harus ditegakkan berdasarkan pemeriksaan kadar glukosa darah dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan bahan darah utuh whole blood, vena ataupun kapiler sesuai kondisi dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan WHO. Sedangkan untuk tujuan pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler PERKENI dalam Purnamasari, 2009. Kadar Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa Sebagai Patokaan Penyaring dan Diagnosis DM mgdl. Universitas Sumatera Utara 18 Tabel 2.2. Kriteria diagnosis DM Purnamasari, 2009 1. Gejala klasik DM + glukosa darah sewaktu ≥200 mgdl 11,1 mmolL Glukosa darah sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir 2. Atau, gejala klasik DM + glukosa plasma puasa ≥126 mgdl 7,0 mmolL Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori dalam waktu sedikitnya 8 jam. 3. Glukosa plasma puasa 2 jam pada TTGO ≥ 200 mgdl 11,1 mmolL TTGO dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban standar yang setara dengan 75 gram glukosa anhidrus mengandung 1 molekul air hidrat yang dilarutkan kedalam air. Tabel 2.3. diagnosis menurut ADA, Diagnosis DM menurut ADA 2012 dapat ditegakkan melalui salah satu cara berikut, 1. HbA1c ≥6,5. Tes ini harus dilakukan di laboratorium yang menggunakan metode bersertifikat serta sudah distandarisasi. 2. Glukosa plasma puasa Fasting Plasma Glucose = FPG ≥ 126 mgdl 7,0 mmoll. Puasa didefinisikan sebagai tidak adanya asupan kalori selama minimal 8 jam. 3 . Glukosa plasma 2 jam ≥ 200 mgdl 11.1mmoll selama tes toleransi glukosa oral TTGO. Tes harus dilakukan seperti yang dijelaskan oleh WHO yaitu menggunakan glukosa dengan beban 75 g dilarutkan dalam air. 4. Pada pasien dengan gejala klasik hiperglikemia atau krisis hiperglikemia, plasma acak glukosa ≥200 mgdl 11,1 mmoll ADA, 2014. Universitas Sumatera Utara 19 2.1.8. Komplikasi Diabetes Melitus 2.1.8.1. Komplikasi Akut Komplikasi akut yang sering dialami penderita DM adalah kontrol gula darah, yaitu berupa hiperglikemiaketoasidosis dan hipoglikemia. Apabila kadar insulin sangat menurun pasien mengalami hiperglikemia dan glukosuria berat penurunan lipogenesis, peningkatan lipolisis dan peningkatan oksidasi asam lemak bebas disertai pembentukan badan keton asetoasetat, hidroksibutirat, dan aseton yang dapat menurunkan pH darah sehingga terjadilah asidosis. Asidosis merupakan kondisi yang berbahaya, dan bila tidak segera ditolong dapat menyebabkan koma dan kematian. Selain itu glikosuria dan ketonuria yang jelas dapat mengakibatkan diuresis osmotik dengan hasil akhir kehilangan dehidrasi dan kehilangan elektrolit. Hal ini dapat menyebabkan hipotensi dan syok jarang terjadi, yang juga dapat mneyebabkan penderita koma dan meninggal Schteingart, 2002. Hiperglikemia, hiperosmolar, koma nekrotik HHNK merupakan komplikasi akut lain yang sering terjadi pada penderita DM tipe 2 usia lanjut. Bukan karena defisiensi absolut, tetapi relatif dan muncul tanpa ketosis. Hiperglikemia ditandai dengan kadar glukosa yang lebih dari 600 mgdl. Kondisi ini menyebabkan hiperosmolaritas, diuresis osmotik, dan dehidrasi berat. Pasien dapat segera meninggal jika tidak ditolong, dan angka mortalitas sebesar 50. Biasa dilakukan penanganan berupa terapi cairan pengganti beserta elektrolit dan insulin regular Schteingart, 2002. Komplikasi lain yang dapat timbul adalah hipoglikemia. Merupakan komplikasi dari terapi insulin. Biasa terjadi pada penderita DM tipe 1 yang pada suatu kondisi menerima insulin dalam jumlah besar, atau pada pasien yang lupa untuk menyantap makanannya setelah menginjeksikan insulin yang dibutuhkan untuk mempertahankan glukosa normal yang berakibat pada hipoglikemik. Gejala-gejala yang timbul disebabkan pelepasan epinefrin berkeringat, tremor, sakit kepala, dan takikardi, juga akibat kekurangan glukosa di otak timbul tingkah laku aneh, sensorium yang menurun, dan koma. Kondisi ini juga sangat Universitas Sumatera Utara 20 berbahaya karena dapat menyebabkan kerusakan otak permanen bahkan kematian Schteingart, 2002. 2.1.8.2. Komplikasi kronik Komplikasi kronik diabetes melitus terutama disebabkan gangguan integritas pembuluh darah, yaitu penyakit mikrovaskuler dan makrovaskuler dan biasanya berkaitan dengan perubahan metabolik seperti hiperglikemia. Tiga kelainan patogenesis yang berhubungan dengan komplikasi kronik diabetes melitus adalah : glikosilasi non enzimatik, perubahan glukosa pada jalur poliol, dan aktivasi protein kinase C. Kerusakan vaskuler merupakan gejala yang khas bagi DM, dikenal dengan nama angiopati diabetika. Makroangiopati kerusakan makrovaskuler biasanya muncul sebagai gejala klinik berupa penyakit jantung iskemik dan pembuluh darah perifer. Adapun mikroangiopati kerusakan mikrovaskuler memberikan manifestasi berupa retinopati, nefropati, dan neuropati Arsono, 2005.

2.2. Penyakit Ginjal Kronik

2.2.1. Definisi dan Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik Berdasarkan panduan dari KDOQI Kidney Disease Outcomes Quality Initiative tahun 2002, penyakit ginjal kronik didefinisikan sebagai kerusakan ginjal atau penurunan Glomerulal Filtration Rate GFR kurang dari 60 mLmin1.73 m² selama lebih dari 3 bulan. Gagal ginjal merupakan kelainan patologis pada ginjal, yang ditandai dengan abnormalitas pada darah dan urin pada hasil lab. Hal serupa juga dikemukakan oleh lee pada 2015 lalu, yaitu dengan tambahan albuminuria lebih dari 30 mg24 jam. Penyakit ginjal diklasifikasikan menjadi akut atau kronik tergantung dari cepat atau lambatnya onset terjadinya penyakit berikut onset munculnya azotemia. Penelitian mengenai onset akut atau kronik penyakit ginjal penting untuk dilakukan, agar memudahkan memahami adaptasi fisiologi tubuh, mekanisme penyakit, dan bagaimana penatalaksanaannya. Tetapi pada kenyataannya cukup sulit menentukan durasi penyakit pada penderita karena progresivitas penyakit sering tidak terdiagnosa, dan gejala baru muncul jika kerusakan sudah mencapai Universitas Sumatera Utara 21 75. Riwayat pasien seperti hypertensi, diabetes, tampilan ginjal yang mengecil pada foto polos mungkin dapat membantu mengindikasikan penyakit. Penyakit ginjal dapat mengarah pada kerusakan yang irreversibel william, 2008. Tabel 2.4. Derajat keparahan penyakit ginjal berdasarkan GFR KDOQI, 2002 Klasifikasi penyakit telah dibuat berdasarkan derajat penurunan laju filtrasi glomerulus, yang akan disajikan pada tabel di atas. 2.2.2. Epidemiologi Gagal Ginjal Di Amerika jumlah penderita penyakit gagal ginjal yang telah diobati dengan dialisis dan transplantasi meningkat dari 340.000 orang pada 1999, menjadi 651.000 orang pada tahun 2010 Andrew et al, 2013. Berdasarkan penelitian lain disebutkan bahwa angka insidensi gagal ginjal sekitar 330 kasus per 1 juta penduduk. 128.000 diantaranya diberi penatalaksanaan transplantasi ginjal, sisanya masih dengan dialisis. Kasus kejadian ini berkaitan dengan diabetes melitus William, 2008. Di indonesia sendiri menurut Habibie 2004 penderita gagal ginjal mencapai 4500 orang. Sedangkan menurut Iritanti 2004 dalam 1.000.000. penduduk, 20 orang mengalami gagal ginjal pertahunnya Erwin dalam Dewi, 2010. stadium kelainan GFR MLmin1.73 m² 1 Kerusakan ginjal kronis dengan GFR normal atau meningkat 90 2 Kehilangan GFR ringan 60-89 3 Kehilangan GFR sedang 30-59 4 Kehilangan GFR berat 15-29 5 Gagal ginjal 15 or dialysis Universitas Sumatera Utara 22 2.2.3. Etiologi Gagal Ginjal Kronik Berbagai jenis kelainan dapat memiliki hubungan dengan kejadian gagal ginjal. Bisa secara langsung menyebabkan kelainan atau primary renal process glumerulonefritis, pyelonefritis, congenital hypoplasia, atau secara tidak langsung secondary, misalnya berkaitan dengan sistemik sperti diabetes melitus, lupus erythematosus dapat bertanggung jawab. Ketika muncul suatu injury atau kerusakan, sisa nefron yang masih normal bekerja lebih keras untuk mengatasi beban ginjal. Progresi dari penyakit akan terus berkembang hingga ke stadium selanjutnya. Ditambah lagi dengan jika penderita mengalami dehidrasi, infeksi suatu agen, hypertensi maupun diabetes, maka dapat dipastikan gagal ginjal akan semakin parah William, 2008. Meskipun memiliki banyak penyebab, gagal ginjal mirip satu dengan yang lain, dan jika didefinisikan secara sederhana adalah defisiensi jumlah total nefron yang berfungsi dan kombinasi gangguan yang tidak dapat ditelakkan lagi Wilson, 2002. Berikut disajikan tabel berupa etiologi PGK, Tabel 2.5. Etiologi Penyakit Ginjal Kronik Wilson, 2002. Klasifikasi Penyakit Penyakit Penyakit Infeksi Tubulointersitial Pielonefritis kronik atau refluks nefropati Penyakit Peradangan Glomerulonefritis Penyakit Vaskular Hipertensif Nefrosklerosis benigna Nefrosklerosis maligna Stenosis arteri renalis Gangguan Jaringan Ikat Lupus eritematous sistematik Poliarteritis nodosa Universitas Sumatera Utara 23 Gangguan Kongenital dan Herediter Penyakit ginjal polikistik Asidosis tubulus ginjal Penyakit Metabolik Diabetes melitus Gout Hiperparatiroidisme Amiloidosis Nefrotopati Toksik Penyalahgunaan analgesik nefropati timah Nefropati Obstruktif Traktus urinarius bagian atas : batu, neoplasma, fibrosis, retroparitoneal. Traktus urinarius bagian bawah : hipertropi prostat, striktur uretra, anomali kongenital leher vesika urinaria dan uretra. 2.2.4. Patogenesis Gagal Ginjal Kronik Mekanisme tepat yang mengakibatkan kemunduran fungsi ginjal secara progresif masih belum jelas, tetapi faktor-faktor yang memainkan peran penting sudah diketahui, yang mencakup cidera immunologi yang berlangsung terus menerus sehingga menimbulkan radang glomerulus yang akhirnya menimbulkan jaringan parut Bergstein, 2012. Secara umum, perjalanan klinis gagal ginjal dibagi menjadi 3 stadium. Stadium pertama adalah penurunan cadangan ginjal, dengan kadar kreatinin serum dan urea masih normal, di sini penderita belum mengeluhkan apa-apa asimptomatik. Tetapi jika diberikan beban kerja berat pada ginjal atau dengan penelitian GFR secara teliti, maka gangguan kelainan mungkin dapat ditemukan Wilson, 2002. Stadium 2 di tandai dengan BUN dan kreatinin serum mulai meningkat di atas nilai normal. Jaringan ginjal yang mengalami kerusakan telah melebihi 75 Universitas Sumatera Utara 24 nilai GFR 25 dari nilai normal. Azotemia biasanya masih ringan dengan pengecualian terhadap kondisi infeksi, dehidrasi, dan gagal jantung . Insufisiensi ginjal pada stadium ini menyebabkan poliuria dan nokturia yang diakibatkan oleh gangguan pemekatan, namun penderita mungkin belum memperhatikan gejala ini. Nokturia didefinisikan sebagai pengeluaran urin pada malam hari sebanyak 700 ml, atau pasien terbangun sebanyak beberapa kali untuk buang air kecil pada malam hari. Poliuria adalah peningkatan urine yang terjadi secara terus menerus dan lebih dari 1500 ml per hari. Insufisiensi ginjal biasanya lebih besar pada penderita kelainan tubulus, sehingga pada gagal ginjal pada stadium ini tidak lebih dari 3 liter perhari Wilson, 2002. Stadium ketiga adalah stadium terakhir gagal ginjal ESRD dengan kerusakan nefron ginjal lebih dari 90, atau kira-kira 200.000 nefron yang masih tersisa. GFR bernilai 10 dari normal dan bersihan kreatinin sekitar 5-10 ml per menit aau kurang. Nilai BUN dan kreatinin serum meningkat dengan sangat mencolok sebagai respon terhadap GFR yang sangat rendah. Gejala mungkin cukup parah karena ginjal tidak mampu lagi mempertahankan homeostasis cairan dan elektrolit dalam tubuh asidosis metabolik, anuria, edema, hipertensi, retinopati, dsipnea, anemia hemolisis, mual muntah, dan lain-lain. Urin menjadi isoosmotis dengan plasma sehingga berat jenis tetap pada 1,010. Pasien menjadi oliguria urin output kurang dari 500 ml per hari bahkan bisa menjadi anuria, dikarenakan kegagalan glomerulus memproduksi urin, meskipun penyakit mula- mula menyerang tubulus Wilson, 2002. Meskipun stadium penyakit dapat dibagi menjadi 3, namun tidak ada batas-batas yang jelas antara stadium tersebut. Bentuk hiperbolik grafik azotemia yang dihasilkan dengan membandingkannya dengan nilai GFR memperlihatkan bahwa penyakit ini berkembang secara perlahan-lahan, dan makin lama makin cepat Wilson, 2002. 2.2.5. Patofisiologi Umum Gagal Ginjal Kronik. Urutan peristiwa dalam patofisiologi gagal ginjal secara progresif secara umum dapat diuraikan dari segi hipotesis nefron yang utuh. Meskipun sudah Universitas Sumatera Utara 25 terjadi kerusakan nefron pada gagal ginjal, namun beban jumlah zat yang harus dikeluarkan untuk mempertahankan homeostasis adalah tidak berubah, sehingga sisa nefron yang ada bekerja dengan keras dan mengalami hipertrofi untuk menyelesaikan pekerjaannya. Terjadi hiperfiltrasi atau peningkatan daya dorong filtrasi sehubungan dengan dilatasi arteriola aferen dan vasokontriksi arteriola eferen akibat angiotensin II. Mekanisme kompensasi ini cukup efektif untuk mempertahankan keseimbangan homestasis cairan dan elektrolit hingga derajat tertentu sekaligus memelihara fungsi ginjal Bergstein, 2012. Gambar 2 dibawah memperlihatkan 6 dari 8 buah nefron yang hancur dan 2 sisanya mengalami hipertrofi Wilson, 2002. Gambar 2.3. 2 dari 8 nefron yang rusak mengalami hipertrofi Wilson, 2002. Mekanisme yang berpotensi merusak glomerulus ginjal adalah peningkatan langsung dari tekanan hidrostatik, hasilnya adalah keluarnya protein melewati dinding kapiler dan pada akhirnya kelainan ini menyebabkan perubahan pada sel mesengium dan epitel dengan perkembangan sklerosis glomerulus. Ketika sklerosis luas telah terjadi nefron sisanya akan menderita peningkatan Universitas Sumatera Utara 26 beban ekskresi, mengakibatkan lingkaran setan peningkatan aliran darah glomerulus dan hiperfiltrasi Bergstein, 2012. Jika kerusakan sudah mencapai sekitar 75 masa nefron maka beban kerja nefron yang demikian tinggi mengakibatkan ketidakseimbangan glomerulus- tubulus keseimbangan laju filtrasi dan reabsorbsi tubulus tidak dapat lagi dipertahankan. fleksibilitas baik pada ekresi maupun konservasi zat terlarut dan air menjadi berkurang. Dengan sedikit mengkonsumsi makanan dapat mengubah keseimbangan yang rawan tersebut, karena makin rendah GFR maka semakin besar perubahan kecepatan ekspresi per nefron dan selanjutnya hilangnya kemampuan nefron untuk memekatkan dan mengencerkan urine menyebabkan berat jenis urine tetap pada 1,010 atau 285 mOsm sama dengan plasma hal inilah yang kemudian menimbulkan poliuria dan nokturia. Perlu di ingat bahwa orang normal dapat memekatkan urinenya hingga 4 kali nilai plasma, sehingga urine nya menjadi lebih pekat dan secara otomatis air yang dikeluarkan pun lebih sedikit, hal itu juga bergantung dari apa yang dia makan. Sementara pada penderita gagal ginjal maka untuk mengeluarkan zat terlarut 600 mOsm 285 mOsmL pada orang gagal ginjal maka dia akan kehilangan air sebanyak 2 liter Wilson, 2002. Proteinuria menetap dan hipertensi sistemik karena sebab apapun dapat merusak dinding kapiler glomerulus secara langsung, mengakibatkan sklerosis glomerulus dan permulaan cidera hiperfiltrasi Bergstein, 2012. 2.2.6. Diagnosa dan Temuan Klinis 2.2.6.1. Pemeriksaan fisik dan inspeksi Pada penyakit ginjal kronik yang belum masuk stadium lanjut, dapat tanpa gejala asimptomatik. Gejala yang muncul biasanya adalah pruritus, malaise, lassitude lesu, confused, nausea, hilangnya nafsu atau libido, dan fatique. Biasanya gejala-gejala ini sering ditemukan dan dikomplain oleh pasien stadium 2 dan 3. Pada remaja dapat ditemukan tumbuh kembang lambat. Hampir semua pasien dapat dijumpai peningkatan tekanan darah akibat volume meningkat dan anemia akibat hemodilusi. Pulsasi nadi dan pernafasan dijumpai meningkat akibat kondisi anemia dan asiodsis metabolik. Temuan klinis lain seperti uremic fetor, Universitas Sumatera Utara 27 perikarditis, kelainan neurologik seperti astriksis, perubahan status mental, dan neuropati perifer hanya ditemukan pada stadium akhir gagal ginjal ESRD. Jika ginjal teraba mungkin disebabkan oleh penyakit ginjal polikistik. Gangguan pada mata retinopati biasanya berkaitan dengan sindroma metabolik William, 2008. 2.2.6.2. Anamnesa Pada 20 kasus riwayat orang tua dan genetik mungkin berpengaruh terhadap timbulnya penyakit. Namun perlu juga ditanyakan riwayat penyakit infeksi ginjal terdahulu pada pasien, serta riwayat konsumsi obat dan kemungkinan riwayat keracunan misal timbal William, 2008. 2.2.6.3. Pemeriksaan lab dan lanjutan Penegakan pasti penyakit ginjal kronik memerlukan beberapa pemeriksaan lab, mulai dari pemeriksaan analisa urine dan analisa darah. Pada analisis urin, terjadi peningkatan volume urin yang tergantung dari derajat keparahan. Jumlah air dan garam yang normal pada urin kemungkinan disebabkan oleh kelainan ginjal polikistik dan penyakit interstitial. Saat nilai GFR sudah mencapai 5 nilai normal, ESRD volume pengeluaran urine bisa menurun menjadi oliguria. Akibat terjadinya retensi garam pada pengeluaran urin, maka penderita mengalami edema secara luas. Proteinuria, leukosituria, sedimen urin dapat ditemukan pada urinalisa yang merupakan pertanda penyakit ginjal kronik William, 2008. Pada analisa darah, dapat dijumpai penurunan Hb dan trombositopenia, sehingga waktu perdarahan meningkat. Beberapa kelainan dalam serum elektrolit dan plasma dijumpai apabila nilai GFR 30 dari normal atau sekitar 30 mlmenit. Asidosis dapat terjadi karena tubuh tidak mampu mengekskresikan sisa-sisa metabolisme seperti ureum dan badan keton, sehingga menimbulkan pernafasan yang cepat. Hiperkalemia dijumpai jika GFR turun mencapai 5 mlmenit atau penyakit ginjal kronik berkaitan dengan diabetes melitus, penyakit renal intersitial, ataupun gout. Pada penyakit ginjal kronik stadium moderate bisa dijumpai peningkatan serum phospate dan menurunnya serum kalsium. Hiperfosfatemia diakibatkan penurunan fungsi ginjal. Karena ginjal merupakan Universitas Sumatera Utara 28 tempat konversi vitamin D2 menjadi bentuk aktif yaitu D3, maka jumlah vitamin D aktif yang dibutuhkan tubuh berkurang, hal ini juga akan menyebabkan hiperparatiroidisme, dan kerusakan tulang osteomalasia, dan ostitis fibrosa sistika. Asam urat terkadang meningkat, tetapi dalam kasus ini jarang menimbulkan batu ginjal atau gout William, 2008. Tabel 2.6. Derajat keparahan gagal ginjal berdasarkan GFR KDOQI, 2002. Di atas adalah tabel diagnosis gagal ginjal berdasarkan panduan dari KDOQI tahun 2002. Di bawah penjelasan mengenai nilai proteinuria dan albuminuria pada penyakit ginjal kronik yang juga bersumber dari KDOQI 2002. stadium kelainan GFR MLmin1.7 3m² 1 Kerusakan ginjal kronis dengan GFR normal atau meningkat 90 2 Kehilangan GFR ringan 60-89 3 Kehilangan GFR sedang 30-59 4 Kehilangan GFR berat 15-29 5 Gagal ginjal 15 or dialysis Universitas Sumatera Utara 29 Tabel 2.7. Keterangan mengenai kadar protein dan albumin pada urine normal dan pada proteinuria dan albuminuria KDOQI, 2002. Metode Pengambilan Urine Normal Microalbuminuria Albuminuria atau Proteinuria Total Protein Pengeluaran urine selama 24 jam 300 mghari NA 300 mghari Spot Urine Dipstick 30 mgdL NA 30 mgdL Spot Urine ratio protein dan kreatinin 200 mgg NA 200 mgg Albumin Pengeluaran urine 24 jam 30 mghari 30-300 mghari 300 mghari Spot Urine Albumin Dipstick 3mgdL 3 mgdL NA Spot Urine Ratio Albumin dan Kreatinin 17 mgg pria 25 mgg wanita 17-250 mgg pria 25-355 mgg wanita 250 mgg pria 355 mgg wanita Universitas Sumatera Utara 30 Pada keadaan diabetes ada perubahan fungsi dan struktur ginjal yang menyebabkan proteinuria dalam rentang derajat tertentu, dari mikrogram hingga beberapa gram sehari. Resiko untuk berkembang menjadi ESRD End Stage Renal Disease berkaitan erat dengan pembuangan albumin melalui urin urinary albumin excretion, yang artinya pemberian RAS renin angiotensin aldosterone system inhibitor penting bagi kelangsungan hidup, fungsi, dan manfaat sistemik ginjal. Nefropati Diabetik muncul bersamaan dengan keluaran albumin melalui urin dan persisten mikroalbuminuria, yang didefinisikan sebagai pengeluaran urin antara 20 dan 199 μg menit atau 30-299 mghari pada dua kali kesempatan uji lab, dan juga didefinisikan dengan perbandingan albuminkreatinin rasio sekitar 30- 299 mgg, pada ambilan sampel urin yang terisolasi. Pada diabetes tipe 1 sebaiknya dilakukan pengukuran kadar keluaran albumin melalui urin rutin selama paling tidak 5 tahun sekali. Pada diabetes tipe 2 meningat sulitnya memastikan tempat tinggal pasien, sebaiknya dilakukan pada saat datang ke praktek atau saat ditentukan diagnosis DM. Prevalensi mikroalbuminuria pada pasien diabetes tipe 2 adalah 24,9 pada follow up 10 tahun, tetapi 30 pasien diabetes tanpa mikroalbuminuria juga berkembang menjadi Nefropati Diabetik. Penting sekali untuk dilakukan pengukuran glomerular filtration rate GFR karena beberapa pasien DM juga mengalami perburukan kondisi ginjal tanpa disertai proteinuria. Faktor resiko perkembangan Nefropati Diabetik adalah hiperglikemia, peningkatan tekanan darah hipertensi, dislipidemia, usia lebih dari 65 tahun, jenis kelamin laki-laki, merokok, riwayat keluarga, dan orang keturunan latin Hispanic atau orang afrika-amerika Carranza et al, 2015. Universitas Sumatera Utara 31 Untuk penyakit ginjal akut terdapat suatu kriteria yang menjelaskan tentang diagnosis nya, yaitu RIFLE kriteria, Tabel 2.8. RIFLE kriteria untuk penyakit ginjal akut KDIGO, 2012. Kreatinin kriteria Kriteria pengeluaran urin Risk Peningkatan kreatinin 1,5x normal Pengeluaran urin 0,5mlkg6 jam Sensitivitas Tinggi Injury Peningkatan kreatinin 2x normal Pengeluaran urin 0,5mlkg12 jam Failure Peningkatan kreatinin 3x normal ≥4mgdl Pengeluaran urin 0,3mlkg24 jam atau anuria selama 12 jam Spesifitas Tinggi Loss Hilangnya fungsi ginjal normal selama 4 minggu Esrd End Stage Renal Disease Untuk menghitung GFR dapat digunakan rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut: LFG mlmnt1,73m2 = 140-umur x berat badan 72 x kreatinin plasma mgdl Pada perempuan dikalikan 0,85 Reenosha, 2014. Pemeriksaan foto polos renal dapat memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, dan korteks ginjal yang menipis. Pemeriksaan foto polos pada tulang memperlihatkan pertumbuhan tulang terhambat, osteomalasia renal rickets, atau ostitis fibrosa. Dapat dijumpai vaskular kalsifikasi. Pasien dengan penyakit ginjal polikistik memperlihatkan pembesaran ukuran ginjal yang bervariasi antara ginjal dan dijumpai gambaran kista William, 2008. Pemeriksaan biopsi ginjal mungkin tidak teralalu banyak menunjukkan perbedaan antara intersitial fibrosis dan glomerulosklerosis. Mungkin dapat ditemukan perubahan yang nyata pada vaskular dan penebalan tunika media serta proliferasi media tunika intima. Kemungkinan gejala tersebut disebabkan oleh Universitas Sumatera Utara 32 sindroma uremik, hipertensi, atau bisa disebabkan secara langsung oleh nefron sklerosis. Pemeriksaan biopsi renal tidak dianjurkan pada pasien karena berkaitan dengan peningkatan morbiditas, khususnya perdarahan William, 2008. Tabel 2.9. Kriteria untuk penyakit ginjal kronik KDIGO, 2013. Kriteria untuk penyakit ginjal kronik kerusakan fungsi atau struktur ginjal yang berhubungan lebih dari 3 bulan Indikator kerusakan ginjal  Albumin Excretion Rate AER ≥30 mg24 jam; Albumin Creatinin Ratio ACR≥30 mgg[≥3mgmmol]  Kelainan sedimentasi urin  Kelainan elektrolit dan lain-lain dikarenakan gangguan tubulus ginjal  Kelainan struktur pada jaringanhistologi  Kelainan yang terdeteksi melalui foto imaging  Riwayat transplantasi ginjal Penurunan GFR GFR 60 mlmenit1.73 m² Universitas Sumatera Utara 33

2.3. Nefropati Diabetik