8
Klinefelter,  sindrom  Turner,  sindrom  Wolfram’s, ataksia  Friedreich’s,  Chorea  Huntington,  sindrom
Laurence-Moon-Biedl,  distrofi  miotonik,  porfiria, sindrom Prader Willi, lainnya
IV. Diabetes Gestasional
2.1.4. Faktor Risiko
Menurut Suyono 2007, DM di Indonesia akan terus meningkat disebabkan beberapa faktor antara lain :
a. Faktor keturunan genetik b. Faktor kegemukan atau obesitas IMT  25 kgm2
- Perubahan gaya hidup dari tradisional ke gaya hidup barat - Makan berlebihan - Hidup santai, kurang gerak badan
c. Faktor demografi - Jumlah penduduk meningkat
– Urbanisasi - Penduduk berumur di atas 40 tahun meningkat
d. Kurang gizi Mendrofa, 2011. 2.1.5. Patogenesis
Pada  DM  tipe  1  atau  lebih  dikenal  dengan  nama  Insulin  Dependent Diabetes  Mellitus
IDDM,  terjadi  karena  kerusakan  sel  β  pankreas  reaksi autoimun. Sel β pankreas merupakan satu-satunya sel tubuh yang menghasilkan
insulin  yang  berfungsi  untuk  mengatur  kadar  glukosa  dalam  tubuh.  Autoimun merupakan salah satu penyebab tersering dari DM, dan sebagian kecil disebabkan
oleh  non  autoimun.  Proses  autoimun  biasanya  dipicu  oleh  suatu  infeksi  atau stimulus  lingkungan. Akibat dari proses  autoimun  tersebut  hampir  tidak  terdapat
insulin  dalam  sirkulasi  darah,  glukagon  plasma  plasma  meningkat  dan  sel- sel  β
pancreas  gagal  merespons  peningkatan  glukosa  dalam  darah.  Sering  sekali dijumpai  kondisi  ketoasidosis  pada  pasien  penderita  DM  tipe  1.  Oleh  karena  itu
pemberian insulin penting untuk memperbaiki dalam penatalaksanaan DM tipe 1. Bila telah terjadi kerusakan lebih dari 80 pada sel β pankreas maka gejala DM
akan  muncul,  yang  biasanya  terjadi  lebih  cepat  pada  anak-anak  dibandingkan orang dewasa Kardika et al, 2013.
Universitas Sumatera Utara
9
Pada saat terjadinya diabetes melitus tergantung insulin, sebagian besar sel β pankreas sudah rusak hampir pasti karena autoimun. Ada beberapa serangkaian
kondisi  yang  setidaknya  dimiliki  penderita  yang  berperan  dalam  munculnya penyakit  ini,  yaitu  :  1  Harus  ada  kerentanan  genetik  terhadap  penyakit  ini.  2
Keadaan  lingkungan  biasanya  memicu  proses  ini  pada  individu  yang  memiliki kerentanan  genetik.  Infeksi  virus  juga  diyakini  sebagai  suatu  pemicu,  meskipun
ada  agen  noninfeksius  yang  dapat  berperan  didalamnya.  3  Peradangan  pankreas yang  disebut  insulitis.  Biasanya  ditemukan  sel  monositmakrofag  dan  limfosit  T
teraktivasi  yang  menginfiltrasi  sel-sel  pulau  langerhans.  4  Perubahan  atau transformasi  sel  β  sehingga  dikenali  sebagai  sel  asing  oleh  sel  imun.  5
Selanjutnya  adalah  perkembangan  respon  imun.  Karena  sel  β  pankreas  dikenali
tubuh oleh sel asing, sehingga terjadi respon imun yang akan menghancurkan sel β pankreas melalui pembentukan antibodi anti sitotoksik dan bekerja sama dengan
sel  imun  seluler.  Terkadang  DM  tipe  satu  dapat  berkembang  melalui  pengaruh lingkungan saja, contohnya pada peminum vacor racun tikus atau DM tipe satu
juga dapat berkembang tanpa melalui pengaruh lingkungan misalnya pada genetik murni.  Namun  urutan  patogenetiknya  biasanya  adalah  predisposisi  genetik
– pengaruh lingkungan
– insulitis – perubahan sel beta menjadi sel asing – aktivasi sistem imun
– pengerusakan sel beta – diabetes melitus Foster, 2000. DM tipe 2 memiliki ciri-ciri berupa defek pada sekresi dan resistensi dari
insulin, yang kemungkinan keduanya turut berperan dalam munculnya manifestasi klinis,  karena  individu  dengan  obesitas  dan  resistensi  insulin  yang  nyata  dapat
mempunyai  toleransi  glukosa  yang  normal.  Mungkin  individu  ini  tidak mempunyai lesi sel β. Hal ini menunjukkan bahwa defek utama terletak pada sel
penghasil insulin. Massa sel β intak pada DM tipe 2, yang berlawanan dengan DM tipe  1,  namun  jumlah  sel  α  mengalami  peningkatan  sehingga  rasio  glukagon
dibanding  insulin  meningkat.  Hal  ini  juga  yang  mendukung    keadaan hiperglikemik pada DM tipe 2 Foster, 2000.
Meskipun  resistensi  insulin  pada  DM  tipe  2  disertai  penurunan  jumlah reseptor insulin, sebagian besar resistensi insulin adalah tipe pasca reseptor. Sudah
lama  diketahui  bahwa  terdapat  endapan  amiloid    peptida  asam  amino  37  yang
Universitas Sumatera Utara
10
disekresi  bersama  dengan  insulin  di  pankreas  pada  DM  tipe  2  yang  merupakan suatu  pertanda  bahwa  terjadi  peningkatan  produksi  insulin  akibat  resistensi.
Penelitian pada hewan menunjukkan ada pengaruh amilin bentuk jamak: amiloid terhadap  resistensi  insulin,  namun  kesimpulan  amilin  dapat  menyebabkan
resistensi insulin masih belum dapat disimpulkan Foster, 2000. Tanpa
memandang mekanisme
resistensi insulin,
konsekuensi fisiologisnya  masih  belum  jelas.  Tidak  ada  kelainan  utama  baik  pada  ambilan
glukosa  oleh  sel  atau  metabolisme  oksidatif  menjadi  CO2,  air  dan  laktat.  Blok metabolik  utama  terjadi  pada  sintesis  glikogen  metabolisme  nonoksidatif.
Metabolisme nonoksidatif glukosa yang terganggu, seperti pada hiperinsulinemia dan resistensi insulin, dapat terlihat pada individu nonobes, relatif normoglikemik
dengan DM tipe 2 Foster, 2000. DM  tipe  2  mempunyai  onset  usia  diatas  40-an  tahun,  atau  lebih  tua,  dan
biasanya tidak menunjukkan gejala ketoasidosis. Kebanyakan penderita memiliki berat  badan  berlebih  overwheight.  Atas  dasar  inilah  maka  penderita  dibagi
menjadi  2  kelompok  yaitu  :  1  kelompok  obes  dan  2  kelompok  non-obes. Kemungkinan  menderita  DM  tipe  2  menjadi  meningkat  berkali-kali  lipat  jika
berat  badan bertambah sebanyak 20 dari berat  badan ideal  dan usia meningkat 10 tahun atau diatas 40 tahun Mendrofa, 2012.
Gejala  muncul  secara  perlahan  dan  biasanya  ringan  bahkan  terkadang membutuhkan  waktu  bertahun-tahun  untuk  muncul  serta  progresivitas  gejala
berjalan lambat. Ketoasidosis biasanya tidak muncul, kecuali pada kasus tertentu yang  disertai  stress  atau  infeksi.  Kadar  insulin  menurun  atau  bahkan  tinggi,
namun tidak bekerja efektif Arisman dalam Mendrofa, 2012.
2.1.6. Fisiologi dan Patofisiologi 2.1.6.1. Struktur kimia insulin
Insulin  merupakan protein kecil dengan berat  molekul  sebesar 5808  yang di  produksi  dari  organ  pankreas  pada  manusia.  Insulin  tersusun  oleh  51  asam
amino yang terdiri dari rantai A dan rantai B serta dihubungkan dengan jembatan disulfida.  Proses  pembentukan  insulin  dimulai  dari  sintesis  proinsulin  dari
Universitas Sumatera Utara
11
retikulum  endoplasma  kasar,  kemudian  diangkut  kedalam  aparatus  golgi  dan dikemas  dalam  granula-granula  tempat  dimana  proinsulin  akan  dihidrolisis
menjadi  insulin  dan  suatu  peptida-C  dengan  menghilangkan  empat  asam  amino penghubung Nolte, 2007.
Insulin  dan peptida-C disekresikan dalam jumlah  yang ekuimolar sebagai respon terhadap semua agan perangsang insulin bersama sebagian proinsulin yang
tidak  terhidrolisis.  Proinsulin    diduga  memiliki  efek  hipoglikemik,  tetapi  belum diketahui  apakah  protein-C  memiliki  efek  fisiologis.  Granula  di  dalam  sel  B
meyimpan  insulin  dalam  bentuk  kristal  yang  mengandung  dua  atom  seng  dan enam  molekul  insulin.  Secara  keseluruhan  manusia  menyimpan  sebanyak  8  mg
insulin, atau sekitar 200 unit biologis Nolte, 2007. 2.1.6.2. Sekresi insulin
Insulin disekresikan dari sel B pankreas dengan laju basal yang rendah dan laju  basal  yang  rendah  dan  dengan  laju  yang  jauh  lebih  tinggi  bila  terstimulasi
dengan berbagai rangsangan, khususnya glukosa. Stimulan lain yang juga dikenal seperti  gula misalnya, manosa, asam amino tertentu misalnya, leusin,  arginin,
dan  aktivitas  nervus  vagus.  Dalam  gambar  di  bawah  diperlhatkan  bahwa hiperglikemia menyebabkan peningkatan kadar ATP  intrasel  yang akan  menutup
kanal  kalium  sehingga  terjadilah  suatu  depolarisasi.  Depolarisasi  tersebut  akan membuka kanal kalsium. Efluks kalsium intrasel akan mencetuskan eksositasi dari
insulin Nolte, 2007.
Gambar 2.1. Mekanisme pelepasan insulin oleh sel Beta langerhans Martha et al, 2006
Universitas Sumatera Utara
12
2.1.6.3.Insulin dalam sirkulasi Kadar  insulin  basal  pada  manusia  adalah  5-15  µUmL  30-90  pmolL,
dengan kadar puncak sekitar 60-90 µUmL 360-540 pmolL pada waktu makan Nolte, 2007.
2.1.6.4. Reseptor insulin Setelah beredar di sirkulasi, insulin kemudian berdifusi dalam jaringan dan
berikatan  pada  reseptor  khusus  pada  membran  jaringan,  seperti  pada  hati,  otot, dan jaringan adiposa. Reseptor tersebut mengandung dua heterodimer yang terikat
secara  kovalen,  dan  masing- masing  mengandung  subunit  α  yang  merupakan
daerah pengenal dan seluruhnya terdapat di luar membran, serta subunit β yang menemb
us  ketebalan  membran  sel.  Subunit  β  mengandung  protein  kinase  yang akan  aktif  setelah  serangkaian  proses  mulai  dari  pengikatan  insulin  pada  subunit
α,  hingga  terjadilah  suatu  konformasi  yang  mendekatkan  lengkung  katalitik subunit  β  sitoplasmik  yang  berhadapan.  Hal  tersebut  kemudian  memfasilitasi
fosforlisasi timbal balik residu tirosin pada subunit β dan aktifitas tirosin kinase
kemudian diarahkan pada protein sitoplasma Martha, 2007.
Gambar 2.2. Reseptor Insulin  Martha et al, 2006
Universitas Sumatera Utara
13
Protein  plasma  yang difosforilasi  oleh reseptor tirosin  kinase aktif  adalah docking  protein,  yaitu  substrat  reseptor  insulin-1  sampai  -6.  Setelah  fosforilasi
tirosin terjadi di sejumlah tempat kritis , molekul IRS berikatan dan mengaktifkan kinase  lain  yang  terpenting  adalah  fosfatidilinositol-3  kinase  yang  menimbulkan
fosforilasi  lebih  lanjut  atau  berikatan  pada  suatu  protein  adaptor  seperti  protein pengikat  reseptor  faktor  pertumbuhan-2,  yang  mentranslasikan  sinyal  insulin
menjadi  suatu  faktor  pelepas  nukleotida  guanin  hingga  akhirnya  mengaktifkan protein  ras  pengikat  GTP,  dan  sistem  protein  kinase  yang  teraktifkan-mitogen
MAPK.  Tirosin  kinase  tertentu  yang  terfosforilasi  IRS  memiliki  spesifisitas pengikatan dengan molekul hilir berdasarkan motif atau sekuens 4-5 asam amino
di  sekitar-nya  yang mengenali domain src homolog 2  yang spesifik  pada  protein lain.  Jaringan  fosforilasi  ini  dalam  sel  merupakan  perantara  kedua  insulin  dan
menimbulkan  berbagai  efek,  termasuk  tranlokasi  transporter  glukosa  terutama GLUT-4  ke  membran  sel  sehingga  menyebabkan  peningkatan  ambilan  glukosa,
peningkatan  aktifitas  glikogen  sintase  dan  peningkatan  pembentukan  glikogen, berbagai  efek  terhadap  sintesis  protein,  lipolisis,  dan  lipogenesis,  dan  aktivasi
faktor transkripsi yang memacu sintesis DNA dan pembelahan serta pertumbuhan sel. Jalur IRS-2 berkaitan dengan mitogenesis dan proliferasi sel Nolte, 2007.
Beberapa  agen  hormonal  tertentu  seperti  glukokortikoid  dapat menurunkan  afinitas  insulin  terhadap  reseptornya.  Namun,  kelebihan  hormon
pertumbuhan  meningkatkan  sedikit  afinitas  insulin  terhadap  reseptornya. Penyimpangan pada fosforilasi serin dan treonin dalam subunit β reseptor insulin
atau  molekul  IRS  dapat  menimbulkan  resistensi  insulin  dan  penekanan  down regulation reseptor fungsionalnya Nolte, 2007.
2.1.6.5. Efek insulin terhadap targetnya Insulin  berperan  penting  pada  proses  biologis  tubuh  terutama  fungsinya
dalam  meningkatkan  simpanan  lemak  dan  glukosa  dan  mempengaruhi pertumbuhan sel serta fungsi metabolik berbagai jaringan Sherwood, 2009.
Insulin  menimbulkan  beberapa  efek  dalam  penanganan  glukosa, diantaranya ialah :  1  Insulin mempermudah transpor glukosa dari luar ke dalam
sel;  2  Insulin  merangsang  pembentukan  glikogen  dari  glukosa  glikogenesis  di
Universitas Sumatera Utara
14
otot rangka dan hati; 3 Insulin menghambat penguraian glikogen menjadi glukosa glikogenolisis,  maka  insulin  cenderung  bertindak  dalam  mempertahankan
cadangan  karbohidrat;  4  Insulin  menurunkan  pengeluaran  glukosa  dari  hati dengan  menghambat  glukoneogenesis,  perubahan  asam  amino  menjadi  glukosa.
Karena  itu  insulin  mengurangi  kadar  glukosa  dari  darah  dengan  mendorong penyerapan glukosa oleh sel Sherwood, 2009.
Zat-zat lain yang mempengaruhi pengeluaran insulin dari pankreas adalah asam  amino,  asam  lemak  bebas,  badan  keton,  glukagon,  sekretin,  dan  obat
sulfonilurea  tolbutamid  dan  gliburid  yang  diresepkan  pada  penderita  DM  tipe  2, obat  ini  bekerja  dengan  menghambat  kanal  k+  yang  peka  terhadap  atp  Bender,
2009. Secara  sederhana  efek  insulin  pada  lemak  bersifat  anabolik,  yaitu
menyerap  lemak  dari  darah  dan  merangsang  pembentukan  trigliserida,  serta menghambat penguraian lemak lipolisis. Hal ini juga sama pada protein, insulin
juga  bersifat  anabolik  seperti  merangsang  penyerapan  asam  amino  dari  darah  ke dalam  sel,  merangsang  pembentukan  protein  dari  asam  amino,  dan  menghambat
penguraian protein Sherwood, 2009. Dilihat  dari  lingkup  kerjanya,  GLUT-4  merupakan  satu-satunya  jenis
pengangkut  jenis  pengangkut  glukosa  yang  berespons  terhadap  insulin.  GLUT-4 akan dikeluarkan dari membran jika terdapat insulin, berbeda dengan jenis GLUT
lainya.  Sel-sel  yang  bergantung  dengan  insulin  akan  mempertahankan  insulin dalam  vesikel-vesikel  intrasel  dan  akan  disisipkan  ke  membran  jika  dibutuhkan.
Sehingga  peningkatan  sekresi  insulin  akan  meyebabkan  penyerapan  glukosa  10 sampai 30 kali lipat oleh sel-sel dependen insulin Sherwood, 2009.
Beberapa jaringan tidak bergantung pada insulin untuk menyerap glukosa, yaitu  otak  yang  membutuhkan  glukosa  setiap  saat  sebagai  sumber  energi  dan
bersifat permeabel bebas terhadap glukosa dengan molekul GLUT-1 dan GLUT- 3.  Selain  otak,  otot  yang  sedang  dalam  kondisi  aktif  beraktivitas  juga  tidak
membutuhkan  insulin  dalam  penyerapan  glukosa,  dikarenakan  kontraksi  otot secara  langsung  menyebabkan  penyisipan  GLUT-4  pada  membran  Sherwood,
2009.
Universitas Sumatera Utara
15
Hati  atau  hepar  juga  tidak  membutuhkan  GLUT-4  dalam  penyerapan glukosa,  namun  hepar  merupakan  suatu  organ  yang  penting  dalam  pengaturan
homeostasis  glukosa  tubuh.  Insulin  dalam  hal  ini  dapat  meningkatkan metabolisme  glukosa.  Peninggian  kadar  glukosa  darah  puasa,  lebih  ditentukan
oleh  peningkatan  produksi  glukosa  endogen  yang  berasal  dari  proses glukoneogenesis  dan  glikogenolisis  di  jaringan  hepar.  Dalam  hal  ini,  insulin
berperan  menginhibisi  proses  pembentukan  glukosa  endogen  yang  berlebihan. Semakin tinggi tingkat resistensi insulin, semakin rendah kemampuan inhibisinya
terhadap  proses  glikogenolisis  dan  glukoneogenesis,  dan  semakin  tinggi  tingkat produksi glukosa dari hepar Manaf, 2006.
2.1.6.6. Patofisiologi Diabetes Melitus Pada  diabetes  mellitus,  defisiensi  atau  resistensi  hormon  insulin
menyebabkan  kadar  gula  darah  menjadi  tinggi  akibat  menurunnya  ambilan glukosa  oleh  jaringan  otot  dan  adiposa  serta  peningkatan  pengeluaran  glukosa
oleh  hati.  Dikarenakan  sifat  glukosa  yang  dapat  menarik  cairan,  maka  penderita cenderung  untuk  lebih  banyak  buang  air  kecil  poliuri.  Hal  ini  kemudian
mengakibatkan  dehidrasi  akibat  air  dibuang  dalam  jumlah  banyak,  sehingga menyebabkan  rasa  haus  dan  selalu  ingin  minum  polidipsia.  Dikarenakan  sel
jaringan  tidak  pernah  atau  kurang  mendapatkan  suplai  glukosa  dari  luar,  maka volume dan masa sel-sel tubuh menjadi menyusut serta mengirimkan sinyal terus
ke  otak  untuk  merangsang  pusat  lapar,  dan  menyebabkan  penderita  cenderung untuk makan terus-menerus polifagi  Arsono, 2005.
Defisiensi insulin dapat terjadi melalui 3 jalan, yaitu : 1 rusaknya sel- sel β
pankreas karena pengaruh tertentu dari luar virus, zat kimia tertentu, dll ataupun dari dalam autoimmune; 2 Desensitasi reseptor glukosa pada kelenjar pankreas;
3  Desensitasi  atau  kerusakan  reseptor  insulin  down  regulation  di  jaringan perifer Arsono, 2005.
Pasien  NIDDM  Non  Insulin  Dependent  Diabetes  Melitus  atau  lebih dikenal dengan DM tipe 2 mempunyai 2 defek fisiologik, sekresi insulin abnormal
dan resistensi insulin pada sel target jaringan. Abnormalitas utama tidak diketahui mungkin  keduanya.  Secara  deskriptif  3  fase  utama  dapat  dikenali  pada  urutan
Universitas Sumatera Utara
16
klinis  yang  biasa.  Pertama,  glukosa  plasma  tetap  normal  meskipun  terlihat resistensi  insulin  meskipun  kadar  insulin  meningkat.  Pada  fase  kedua  resistensi
insulin  cenderung  memburuk,  ditandai  dengan  intoleransi  glukosa  dalam  bentuk hiperglikemia  setelah  makan  meskipun  konsentrasi  insulin  meningkat  setelah
makan.  Pada  fase  ketiga,  resistensi  insulin  tidak  berubah,  tetapi  sekresi  insulin menurun,  menyebabkan  hiperglikemia  puasa  dan  diabetes  yang  nyata.
Berdasarkan  penemuan  Foster  2000  resistensi  insulin  adalah  hal  yang  pertama muncul  yang  kemudian  diikuti  respon  tubuh  untuk  mensekresikan  lebih  banyak
insulin sebagai
respon  terhadap  resistensi  sehingga  muncul  kondisi hiperinsulinemia.  Namun  hiperinsulinemia  dan  kemungkinan  amilin  itu  sendiri
dapat  menyebabkan  resistensi  insulin.  Hipotesis  yang  dijelaskan  melibatkan sintesis  lemak  terstimulasi  insulin  dalam  hati  dengan  transpor  lemak  melalui
lipoprotein kepadatan sangat  rendah   VLDL menyebabkan penyimpanan lemak sekunder dalam otot. Peningkatan oksidasi lemak akan mengganggu pengambilan
glukosa dan sintesis  glikogen. Penurunan pelepasan insulin  yang terlambat dapat disebabkan  oleh  efek  toksik  glukosa  terhadap  pulau  langerhans  atau  secara
langsung  melalui  efek  genetik  yang  mendasari.  Sebagian  besar  pasien  NIDDM adalah  obes,  dan  diyakini  obesitas  itu  sendiri  menyebabkan  resistensi  insulin.
Namun penderita NIDDM yang tidak obese dapat mengalami hipersekresi insulin dan pengurangan kepekaan insulin sehingga dibuktikan bahwa obesitas itu sendiri
bukan merupakan satu-satunya penyebab resistensi insulin Foster, 2000. Pada  kehamilan  terjadi  resistensi  insulin  fisiologis  akibat  peningkatan
hormon-hormon  kehamilan  human  placental  lactogenHPL,  progesterone, kortisol,  prolaktin  yang  mencapai  puncaknya  pada  trimester  ketiga  kehamilan.
Tidak  jauh  berbeda  dengan  patofisiologi  DM  tipe  2  ,  pada  DMG  juga  terjadi gangguan  se
kresi  insulin  oleh  sel  β  pankreas  yaitu  berupa  :  1  autoimun,  2 kelainan  genetik,  dan  3  resistensi  insulin  kronik.  Xiang  mengungkapkan  dalam
studinya  bahwa  para  wanita  yang  memiliki  DMG  mengalami  gangguan kompensasi produksi oleh sel β pankreas sebesar 67 dibanding wanita dengan
kehamilan  normal.  Sebagian  kecil  dari  wanita  ini  memiliki  antibody  islet  cell
Universitas Sumatera Utara
17
1,6- 3,8, dan sekitar 5 dari populasi DMG diketahui memiliki defek sel β
seperti  mutasi pada glukokinase Adam, 2009. Resistensi  insulin  selama  kehamilan  merupakan  mekanisme  adatif  tubuh
untuk  menjaga  asupan  nutrisi  ke  janin  fisiologis.  Sementara  resistensi  insulin kronik  terjadi  pada  wanita  yang  memiliki  obesitas.  Wanita  dengan  DMG
kebanyakan  memiliki  kedua  jenis  resistensi  fisiologis  dan  kronik  sehingga manifestasi  klinisnya  lebih  berat  dibandingkan  kehamilan  normal.  Kondisi  ini
akan segera membaik segera setelah partus dan akan kembali normal setelah masa nifas, dimana konsentrasi HPL sudah menurun Adam, 2009.
2.1.7. Diagnosis Diabetes Melitus
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM, antara lain
PERKENI dalam Purnamasari, 2009. a.  Keluhan  klasik  DM  berupa  :  poliuria,  polifagia,  dan  penurunan  berat
badan yang tidak dijelaskan sebabnya. b. Keluhan lain dapat berupa : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur
dan disfungsi ereksi pada laki-laki serta pruritus vulva pada perempuan. Selain  dengan  keluhan,  diagnosa  DM  harus  ditegakkan  berdasarkan
pemeriksaan  kadar  glukosa  darah  dengan  cara  enzimatik  dengan  bahan  darah plasma vena. Penggunaan bahan darah utuh  whole blood, vena ataupun kapiler
sesuai  kondisi  dengan  memperhatikan  angka-angka  kriteria  diagnostik  yang berbeda  sesuai  pembakuan  WHO.  Sedangkan  untuk  tujuan  pemantauan  hasil
pengobatan  dapat  dilakukan  dengan  menggunakan  pemeriksaan  glukosa  darah kapiler PERKENI dalam Purnamasari, 2009.
Kadar Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa Sebagai Patokaan Penyaring dan Diagnosis DM mgdl.
Universitas Sumatera Utara
18
Tabel 2.2. Kriteria diagnosis DM Purnamasari, 2009
1. Gejala klasik DM + glukosa darah sewaktu ≥200 mgdl 11,1 mmolL
Glukosa darah sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir
2. Atau, gejala klasik DM + glukosa plasma puasa ≥126 mgdl 7,0 mmolL
Puasa  diartikan  pasien  tidak  mendapat  kalori  dalam  waktu  sedikitnya  8 jam.
3. Glukosa plasma puasa 2 jam pada TTGO ≥ 200 mgdl 11,1 mmolL
TTGO dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban standar yang setara  dengan  75  gram  glukosa  anhidrus  mengandung  1  molekul  air
hidrat yang dilarutkan kedalam air.
Tabel 2.3. diagnosis menurut ADA, Diagnosis DM menurut ADA 2012 dapat ditegakkan melalui salah
satu cara berikut,
1. HbA1c ≥6,5. Tes ini harus dilakukan di laboratorium yang menggunakan metode bersertifikat serta sudah distandarisasi.
2. Glukosa plasma puasa Fasting Plasma Glucose = FPG ≥ 126 mgdl 7,0 mmoll. Puasa didefinisikan sebagai tidak adanya asupan kalori selama
minimal 8 jam. 3
. Glukosa plasma 2 jam ≥ 200 mgdl 11.1mmoll selama tes toleransi glukosa oral TTGO. Tes harus dilakukan seperti yang dijelaskan oleh WHO
yaitu menggunakan glukosa dengan beban 75 g dilarutkan dalam air.
4. Pada pasien dengan gejala klasik hiperglikemia atau krisis hiperglikemia,
plasma acak glukosa ≥200 mgdl 11,1 mmoll ADA, 2014.
Universitas Sumatera Utara
19
2.1.8. Komplikasi Diabetes Melitus 2.1.8.1. Komplikasi Akut
Komplikasi  akut  yang  sering  dialami  penderita  DM  adalah  kontrol  gula darah,  yaitu  berupa  hiperglikemiaketoasidosis  dan  hipoglikemia.  Apabila  kadar
insulin  sangat  menurun  pasien  mengalami  hiperglikemia  dan  glukosuria  berat penurunan  lipogenesis,  peningkatan  lipolisis  dan  peningkatan  oksidasi  asam
lemak  bebas  disertai  pembentukan  badan  keton  asetoasetat,  hidroksibutirat,  dan aseton  yang  dapat  menurunkan  pH  darah  sehingga  terjadilah  asidosis.  Asidosis
merupakan  kondisi  yang  berbahaya,  dan  bila  tidak  segera  ditolong  dapat menyebabkan koma dan kematian. Selain itu glikosuria dan ketonuria  yang jelas
dapat  mengakibatkan  diuresis  osmotik  dengan  hasil  akhir  kehilangan  dehidrasi dan kehilangan elektrolit. Hal ini dapat menyebabkan hipotensi dan syok jarang
terjadi,  yang  juga  dapat  mneyebabkan  penderita  koma  dan  meninggal Schteingart, 2002.
Hiperglikemia,  hiperosmolar,  koma  nekrotik  HHNK  merupakan komplikasi  akut  lain  yang  sering  terjadi  pada  penderita  DM  tipe  2  usia  lanjut.
Bukan  karena  defisiensi  absolut,  tetapi  relatif  dan  muncul  tanpa  ketosis. Hiperglikemia ditandai dengan kadar glukosa yang lebih dari 600 mgdl. Kondisi
ini  menyebabkan  hiperosmolaritas,  diuresis  osmotik,  dan  dehidrasi  berat.  Pasien dapat  segera  meninggal  jika  tidak  ditolong,  dan  angka  mortalitas  sebesar  50.
Biasa dilakukan penanganan berupa terapi cairan pengganti beserta elektrolit dan insulin regular Schteingart, 2002.
Komplikasi  lain  yang  dapat  timbul  adalah  hipoglikemia.  Merupakan komplikasi dari terapi insulin. Biasa terjadi pada penderita DM tipe 1  yang pada
suatu  kondisi  menerima  insulin  dalam  jumlah  besar,  atau  pada  pasien  yang  lupa untuk  menyantap  makanannya  setelah  menginjeksikan  insulin  yang  dibutuhkan
untuk  mempertahankan  glukosa  normal  yang  berakibat  pada  hipoglikemik. Gejala-gejala  yang  timbul  disebabkan  pelepasan  epinefrin  berkeringat,  tremor,
sakit  kepala,  dan  takikardi,  juga  akibat  kekurangan  glukosa  di  otak  timbul tingkah  laku  aneh,  sensorium  yang  menurun,  dan  koma.  Kondisi  ini  juga  sangat
Universitas Sumatera Utara
20
berbahaya karena dapat menyebabkan kerusakan otak permanen bahkan kematian Schteingart, 2002.
2.1.8.2. Komplikasi kronik Komplikasi  kronik  diabetes  melitus  terutama  disebabkan  gangguan
integritas  pembuluh  darah,  yaitu  penyakit  mikrovaskuler  dan  makrovaskuler  dan biasanya  berkaitan  dengan  perubahan  metabolik  seperti  hiperglikemia.  Tiga
kelainan  patogenesis  yang  berhubungan  dengan  komplikasi  kronik  diabetes melitus  adalah  :  glikosilasi  non  enzimatik,  perubahan  glukosa  pada  jalur  poliol,
dan  aktivasi  protein  kinase  C.  Kerusakan  vaskuler  merupakan  gejala  yang  khas bagi  DM,  dikenal  dengan  nama  angiopati  diabetika.  Makroangiopati  kerusakan
makrovaskuler  biasanya  muncul  sebagai  gejala  klinik  berupa  penyakit  jantung iskemik  dan  pembuluh  darah  perifer.  Adapun  mikroangiopati  kerusakan
mikrovaskuler  memberikan  manifestasi  berupa  retinopati,  nefropati,  dan neuropati Arsono, 2005.
2.2. Penyakit Ginjal Kronik