5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Definisi Pangan
Pangan menurut Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak
diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain
yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman. Sedangkan pangan olahan menurut Undang-Undang No.
7 Tahun 1996 tentang Pangan adalah makanan atau minuman hasil proses dengan cara atau metode tertentu dengan atau tanpa bahan tambahan.
II.2 Definisi Ikan Kalengan
Yang dimaksud dengan ikan kalengan menurut Kategori Pangan Badan POM RI Tahun 2006 adalah produk yang diperoleh dari ikan segar atau potongan ikan
segar dan dihilangkan isi perutnya, dicuci dengan air bersih, disusun dalam kaleng, dengan atau tanpa diberi media, dengan atau tanpa bumbu-bumbu atau
bahan lainnya, kemudian dikemas secara kedap hermetis dan disterilisasi atau dipasteurisasi dengan cara pemanasan.
II.3 Skombrotoksin
Scombrotoxin Fish Poisoning SFP sering disebut keracunan histamin yang berasal dari famili ikan scombroidae seperti ikan tuna Thunnus spp, bonito
Sarda spp, mackerel Scomber spp, skipjack Katsuwonus polamis, dan mahi- mahi varietas ikan lumba-lumba. Tetapi famili non-scombroidae seperti sardine
Sardinella spp, ikan herring Clupea spp salmon Arripis truttaceus, tongkol, cakalang, kuwik dan kembung juga menjadi penyebab SFP. Jenis ikan ini
mengandung sejumlah histidin bebas yang tinggi dalam jaringannya, sementara bakteri tertentu mempunyai enzim histidine decarboxylase, yaitu enzim yang
mampu memecah histidin menjadi histamin. Enzim histidine decarboxylase dapat ditemukan pada bakteri Enterobacteriaceae, Clostridium, Lactobacillus, Vibrio,
Pseudomonas dan Photobacterium Joint FAOWHO, 2012. SFP merupakan
6 masalah keamanan pangan di seluruh dunia dan menjadi penyebab umum dari
keracunan ikan yang terjadi pada manusia. Keracunan makanan disebabkan scombrotoksin yang stabil terhadap panas, timbul dari kerja bakteri pada ikan.
Meskipun komponen skombrotoksin belum teridentifikasi, umumnya terdapat amina biogenik, terutama histamin, memainkan peran penting dalam patogenesis
SFP. Ikan yang dicurigai mengandung histamin tingkat tinggi akibat dari aktivitas bakteri karena kondisi penanganan, pengolahan atau penyimpanan yang tidak
layak.
Berbagai gejala SFP telah diamati di antara manusia, seperti urtikaria, hipotensi, sakit kepala, diare, muntah, dan lain-lain. Keracunan individu mungkin
menunjukkan satu atau lebih dari gejala-gejala ini, dan tingkat keparahan respon terhadap ikan yang terkontaminasi dapat bervariasi. Rasa mual dengan atau tanpa
muntahdiare, rasa terbakar pada tenggorokan, bibir bengkak, sakit kepala, muka dan leher kemerah-merahan, kulit gatal dan badan lemas adalah gejala yang
timbul akibat keracunan histamin. Gejala biasanya berkembang cepat dari 5 menit sampai 2 jam setelah konsumsi ikan, dengan durasi 8-12 jam dan dengan
gejala biasanya tidak lagi diamati setelah 24 jam.
Diagnosis SFP sebagian besar tergantung pada gejala, waktu onset, riwayat alergi makanan
dan konsumsi
ikan yang
terkontaminasi. Diagnosis
dapat dikonfirmasikan dengan mendeteksi tingkat histamin yang tinggi dalam makanan,
sisa-sisa makanan atau produk serupa yang diperoleh dari sumber yang sama Joint FAOWHO, 2012.
Pengobatan antihistamin adalah terapi optimal untuk SFP. Gejala biasanya mereda dengan cepat setelah pengobatan tersebut. Kedua antagonis H1 misalnya
diphenhydramine dan antagonis H2 misalnya simetidin telah digunakan untuk pengobatan keracunan histamin. Mengingat bahwa gejala dapat sembuh dalam
waktu yang cukup singkat, intervensi farmakologis mungkin tidak diperlukan dalam kasus ringan dan pasien hanya memerlukan dukungan pemeliharaan
misalnya penggantian cairan Joint FAOWHO, 2012.
7 Histamin adalah penyebab signifikan dari SFP. Hal ini dibuktikan pada pasien
keracunan histamin terdapat tingkat histamin yang tinggi dalam darah atau urin, dan obat antihistamin dapat efektif mengurangi gejala. Histamin ternyata bukan
merupakan faktor tunggal penyebab keracunan. Biogenik amin lain, misal kadaverina dan putresin dalam daging ikan dapat memperkuat efek toksik
histamin. Penguatan efek ini terjadi karena adanya hambatan kerja enzim yang memetabolisme histamin, yaitu enzim diamine oxidase atau histaminase dan
histamine N-methyltransferase Joint FAOWHO, 2012, Maintz, dkk., 2007.
Ikan penyebab keracunan histamin biasanya mengandung histidin bebas dalam jumlah tinggi kadar histidin bebas lebih dari 1. Kandungan histamin pada
ikan segarsehat adalah kurang dari 0,1 mggram ikan, sedangkan bila ikan diletakkan pada suhu kamar, histamin akan meningkat dengan cepat mencapai 1
mggram ikan dalam waktu 24 jam. Histamin tidak membahayakan jika dikonsumsi dalam jumlah yang rendah, yaitu 8 mg100 g ikan. Menurut Food and
Drug Administration FDA Amerika Serikat, keracunan histamin akan timbul jika seseorang mengkonsumsi ikan dengan kandungan histamin 50 mg100 g ikan.
Ikan dengan kandungan histamin lebih dari 20 mg100 g ikan sudah tidak boleh dikonsumsi. Gejala keracunan akan terjadi jika mengkonsumsi ikan dengan
kandungan histamin tinggi lebih dari 70 mg100 gr ikan. Tampilan ikan yang telah mengandung racun biasanya tidak berubah dan tidak menunjukan tanda
pembusukan.
Histamin bersifat stabil selama pemanasan dan pembekuan. Sehingga, jika ikan yang mengandung histamin dalam jumlah tinggi diolah lebih lanjut menjadi
produk olahan ikan, baik dalam bentuk ikan beku, ikan yang telah dimasak, dikuring atau dikalengkan maka produk akhir yang dihasilkan akan tetap
mengandung histamin dalam jumlah tinggi. Kadar histamin dalam ikan kaleng bisa sebesar 68 sampai 280 mg100 g. Karena itu tidak mengherankan jika
keracunan histamin bisa tetap terjadi padahal ikan telah dimasak dengan sempurna Arisman, 2009.
8
II.4 Histamin