DINAMIKA LINKUNGAN STRATEGIS GLOBAL
10
Metz, 1988. Berdasarkan penelitian empiris dengan menggunakan data sejumlah negara Cranfield, et.al. 1998 menggolongkan tiga pola konsumsi menurut tingkat pendapatan Tabel 2
Tabel 2. Komposisi umum bahan pangan menurut tingkat pendapatan Peringkat nilai
pengeluaran Tingkat pendapatan perkapita penduduk
Rendah Menengah
Tinggi 1
Biji-bijian Produk ternak
Produk ternak 2
Produk ternak Biji-bijian
Pangan lainnya 3
Sayur dan buah Sayur dan buah
Sayur dan buah 4
Pangan lainnya Pangan lainnya
Biji-bijian Sumber: Cranfield, et.al. 1998
Globalisasi dan diet westernization Globalisasi perdagangan dan investasi telah membuat setiap negara terbuka terhadap investasi
asing dalam bidang industri makanan dan minuman, restoran, perdagangan eceran super markets dan pertanian.
Globalisasi telah menciptakan gelombang “westernization of diet” yang dicirikan oleh transformasi pola pangan dari berbasis diet tradisional menjadi berbasis diet barat Pingali, 2004.
Gelombang westernization of diet dapat diamati dari pertumbuhkembangan restoran cepat saji multinasional seperti McDonald, Kentucky Fried Chicken, Pizza Hut, yang kini sudah ada di hampir
seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia. Lebih jauh, Kelly, et al 2010 menyatakan bahwa
konvergensi pola pangan ke arah diet barat pada tataran global juga diikuti oleh divergensi menurut status sosial ekonomi. Pada awalnya, diet barat diadopsi oleh kelompok penduduk berpendapatan
tinggi. Pada tahapan pembangunan yang lebih tinggi, kelompok penduduk berpendapatan tinggi, yang lebih sadar akan resiko kesehatan diet barat dan lebih berkemampuan dalam mengatur pola
pangannya, akan cenderung menghindari diet barat sedangkan kelompok penduduk berpendapatan rendah terus meningkatkan adopsinya terhadap diet barat. Fenomena inilah yang disebut divergensi
diet . Berdasarkan hipotesis konvergensi dan divergensi diet yang diajukan oleh Kelly, et al 2010, substitusi pola pangan tradisional dengan pola pangan barat konvergensi ke diet barat terutama
terjadi di negara-negara sedang berkembang. Konvergensi diet yang terjadi menurut status sosial ekonomi penduduk domestik akan menyebabkan kelompok penduduk miskin terperangkap dalam
pola pangan barat yang beresiko tinggi menimbulkan sindroma obesitas dan penyakit terkait makanan lainnya.
Kelangkaan lahan dan air
Peningkatan kelangkaan lahan pertanian merupakan fenomena global. Berikut adalah faktor- faktor utama penyebab penurunan luas lahan pertanian. GiovannuccI, et. al 2012 mengemukakan
bahwa sekitar 20.000-50.000 km
2
lahan potensial produktif hilang tiap tahun karena erosi dan degradasi dan 2.9 km
2
dinilai berisiko tinggi berubah menjadi padang pasir, sejumlah besar diantaranya di negara-negara berkembang. Erosi dan degradasi serta konversi ke penggunaan non
pangan diperkirakan menurunkan ketersediaan lahan untuk pangan sebesar 8-20 hingga 2050.Seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3, pertumbuhan lahan pertanian global mengalami
perlambatan dari 0,17 tahun pada 1990-2005 menjadi 0,10 tahun pada 2015-2050. Lahan pertanian mengalami pertumbuhan positif dengan laju yang menurun tajam dari 0,65 tahun pada
1990-2005 menjadi 0,10 tahun pada 2015-2050. Namun di negara-negara industri dan transisi ekonomi mengalami pertumbuhan negatif. Lahan pertanian di Afrika Utara juga menurun dengan laju
yang semakin tinggi sejak tahun 1990an. Pertumbuhan lahan tertingi ialah di Sub-Sahara Afrika yang mencapai 1,07 tahun pada 1990-2005 namun menurun tajam menjadi 0,10 tahun pada 2015-
2050. Amerika Latin menduduki peringkat laju pertumbuhan tertinggi kedua pada periode 2015-2050 dengan laju 0,55 tahun. Laju pertumbuhan di Asia Timur menurun tajam dari 1,12 tahun
peringkat tertinggi pertama pada 1990-2005 menjadi 0,02 tahun pada 2015-2050.
11
Tabel 3. Perluasan lahan pertanian global 196163-2050 Area
Tanah pertanian yang digunakan juta ha Pertumbuhan tahun
196163 198991 2005
20015 2030
2050 1961-
2005 1990-
2005 2015-
2050 Sub-sahara Afrika
133 161
193 236
275 300
0.80 1.07
0.55 Amerika latin
105 150
164 203
234 255
1.01 0.64
0.52 Afrika utara
86 96
99 86
84 82
0.34 -0.02
-0.11 Asia selatan
191 204
205 206
211 212
0.15 0.07
0.07 Asia timur
178 225
259 235
236 237
0.99 1.12
0.02 China
73 94
102 105
109 112
0.85 0.71
0.15 Negara
berkembang 693
837 920
966 1040
1086 0.67
0.65 0.27
China dan India 426
536 594
666 740
789 0.75
0.66 0.39
Negara industri 388
401 388
388 375
364 -0.02
-0.21 -0.15
Negara transisi 291
277 247
247 234
223 -0.32
-0.90 -0.23
Dunia 1375
1521 1562
1602 1648
1673 0.30
0.17 0.10
Source: Bruinsma 2011
Pertanian merupakan pengguna air terbesar. Kedepan, pertanian akan menghadapi masalah kelangkaan air yang kian ketat sebagai konsekuensi dari perpaduan dua kecenderungan berikut.
Pertama, peningkatan permintaan air untuk non-pertanian sebagai akibat pertumbuhan penduduk dan kemajuan ekonomi. Kedua, penurunan pasokan baku air sebagai akibat dari perubahan iklim dan
degradasi alam. Seperti halnya lahan, nilai manfaat rente penggunaan air untuk pertanian secara umum lebih rendah daripada untuk non-pertanian. Oleh karena itu, pertanian akan terus mengalami
tekanan kelangkaan air yang semakin berat. GiovannuccI, et. al 20120 mengemukakan bahwa kelangkaan air boleh jadi merupakan faktor yang paling kuat dalam menurunkan hasil pertanian.
Kelangkaan air, yang diperburuk oleh tekanan hama dan penyakit tanaman dan hewan, dapat menurunkan hasil pertanian antara 5-25 . Insiden kekeringan dalam 30 tahun terakhir telah
membunuh sekitar 20 -62 ternak dan memicu kelaparan di 6 negara Afrika. Perubahan iklim global
Dampak utama perubahan iklim global mencakup Hoffmann, 2011, Keane, et. al. , 2009: 1. Peningkatan suhu mempengaruhi kesehatan tanaman, hewan dan petani, meningkatkan hama-
penyakit, menurunkan pasokan air meningkatkan resiko perluasan ariditas dan degradasi lahan. 2. Perubahan pola presipitasi akan memperkuat kelangkaan air dan tekanan kekeringan terhadap
tanaman dan mengubah pasokan air. 3. Meningkatkan frekuensi kejadian iklim ekstrim berpengaruh nyata terhadap produksi tanaman
dan ternak serta merusak infrastruktur pertanian. 4. Meningkatkan konsentrasi C0
2
atmosfir dalam jangka pendek dapat meningkatkan fertilisasi karbon yang berarti meningkatkan produktivitas tanaman namun dalam jangka panjang dapat
menurunkan produktivitas tanaman. 5. Meningkatkan permukaan air laut yang dapat mengurangi luas lahan dan ketersediaan air tawar
untuk pertanian, mengubah kondisi produksi akuakultur dan mengubah infrastruktur perdagangan pertanian.
6. Mempersulit perencanaan produksi pertanian. Tidak dapat dipungkiri, sebagian elemen perubahan iklim dapat berdampak positif terhadap
produksi pertanian. Peningkatan konsentrasi C0
2
atmosfir sampai kadar tertentu dapat fertilisasi karbon yang berarti meningkatkan produktivitas tanaman tertentu. Namun secara keseluruhan dapat
disimpulkan bahwa perubahan iklim berpengaruh negatif terhadap produksi pangan global. Seperti yang ditunjukkan pada Tabel 4, perubahan iklim dapat menurunkan secara nyata produksi pangan
global. Pada periode 2000-2050, perubahan iklim diperkirakan akan dapat menurunkan produk beras - 12.7 , gandum -25.3 , jagung -0.1, millet -7.7 dan sorgum -2.5 . Secara umum, dampak
negatif perubahan iklim ternyata lebih buruk di negara-negara sedang berkembang daripada di negara- negara maju. Kiranya dapat diperhatikan bahwa dampak perubahan iklim secara umum lebih parah
terhadap makanan pokok di setiap kawasan. Sebagai contoh, untuk kawasan Asia Timur dan Pasifik, dampak negatif terparah ialah untuk beras yang merupakan bahan pangan pokok di kawasan tersebut.
12
Untuk Asia Selatan, dampak negatif terparah ialah untuk gandum, beras dan jagung sedangkan untuk kawasan Eropa dan Asia Tengah dampak negatif tertinggi ialah untuk gandum dan jagung yang
kesemuanya adalah pangan pokok di masing-masing kawasan. Persebaran demikian memperparah dampak perubahan iklim terhadap ketahanan pangan global.
Tabel 4. Dampak perubahan iklim terhadap produksi pangan 2000-2050 tanpa penyerbukan karbon Wilayah
Beras Gandum
Jagung Millet
Sorghum Asia Selatan
-14.4 -46.2
-13.7 -14.2
-15.9 Asia Timur dan Pasifik
-9.7 1.8
-1.9 6.25
4.05 Eropa dan Asia Tengah
-0.5 -47.2
-28.6 -4.75
-6.5 Amerika Latin dan Karibia
-20.5 14.4
-2.15 8.0
3.3 Timur Tengah dan Afrika Utara
-36.3 -6.9
-16.6 -4.1
0.5 SubSahara Afrika
-14.8 -34.6
-8.3 -7.2
-2.6 Negara-negara berkembang
-11.2 -9.4
6.65 -4.3
-5.2 Negara-negara maju
-12.8 -31.3
-6.15 -7.7
-2.0 Dunia
-12.7 -25.3
-0.1 -7.7
-2.5 Keterangan: Rata-rata proyeksi model CSIRO dan NCAR Sumber: Nelson, et.al. 2009.
Pada tahap awal ini akan terjadi persaingan antara pemenuhan kebutuhan pangan dan pemenuhan kebutuhan bioenergi. Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi hayati dan
bioenjinering, bioenergi dapat pula dihasilkan dari sampah organik, selulosa generasi kedua dan alga generasi ketiga, tidak perlu lagi menggunakan bahan pangan sehingga pemenuhan kebutuhan
pangan dan bioenergi tidak lagi bersifat trade-off. Oleh karena itulah penggunaan bahan pangan tidak berubah atau bahkan menurun pada periode 2030-2050.
2.2
Ancaman badai sempurna The perfect strorm: Krisis pangan, energi dan air
Perpaduan antara peningkatan kelangkaan dan harga bahan bakar fosil dan kemajuan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi biorefinery telah mendorong peningkatan pesat produksi bioenergi.
Pada periode 2015-2050, permintaan komoditas pangan untuk bioenergi diproyeksikan akan tumbuh 2,55 tahun sedangkan untuk pangan hanya tumbuh 0,79 tahun Deutsche Bank, 2009. Pangsa
permintaan bioenergi meningkat dari 13,36 pada 2015 menjadi 18,61 pada 2050. Pada tahap awal, produksi bioenergi masih menggunakan teknologi generasi pertama dengan feedstock komoditas
pangan utamanya jagung, kedelai, tebu, ubikayu dan tanaman minyak khususnya kelapa sawit. Seperti yang ditunjukkan pada Tabel 9, penggunaan beberapa komoditas pangan untuk bionergi
meningkat sangat tajam: serealia meningkat dari 65 juta ton pada 20052007 menjadi 182 juta ton pada 2050, minyak sayur meningkat dari 7 juta ton pada 20052007 menjadi 29juta ton pada 2050, tebu
meningkat dari 28 juta ton pada 20052007 menjadi 81 juta ton pada 2050, dan ubikayu meningkat dari satu juta ton pada 20052007 menjadi delapan juta ton pada 2050 Tabel 5.
Tabel 5. Penggunaan Komoditas Pangan untuk Bioenergi 20052007-2050 Komoditas
Satuan 2005 2007
2030 2050
Serealia Juta ton
65 182
182 Serealia
Persentase dalam total penggunaan 3.2
6.7 6.1
Minyak sayur Juta ton
7 29
29 Minyak sayur
Persentase dalam total penggunaan 4.8
12.6 10.3
Sugar equiv. tebu Juta ton
28 81
81 Sugar equiv. tebu
Persentase dalam total penggunaan 15.1
27.4 24.3
Ubikayu segar Juta ton
1 8
8 Ubikayu segar
Persentase dalam total penggunaan 0.4
2.3 1.8
FAO 2012
Proyeksi Idso 2011 menunjukkan bahwa dengan menerapkan Iptek maju total produksi pangan dapat meningkat 0,84 tahun sementara bila penerapan Iptek maju dikombinasikan dengan
fertilisasi C0
2
maka total produksi pangan dapat meningkat 1,26 tahun Tabel 6. Fertilisasi C0
2
sangat penting dalam peningkatan produksi pangan. Jelaslah kiranya bawa produksi pangan dunia tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan. Professor John Beddington2009 kepala dewan ilmuan
13
Chief Scientist Kerajaan Inggris bahkan memperkirakan scenario badai sempurna the perfect storm scenario pada 2030 yang pada intinya memperkirakan bahawa permintaan pangan akan meningkat
1,5 tahun, energi 1,5 tahun dan air 0,9 tahun akibat petumbuhan penduduk, perubahan struktur demografi, pertumbuhan ekonomi sebagaimana telah dijelaskan di muka, sementara kapasitas
produssi pangan dan air cederung menurun akibat perubahan iklim dan cadangan energi fosil kian menipis shingga pada 2030 akan terjadi krisis pangan, air dan energi pada tataran global.
Tabel 6. Proyeksi Penawaran Pangan Global 2009-2050 Tanaman
Pangsa produks
i Produksi
2009 juta ton
Produksi 2050 Pertumbuhan 2009- 2050
tahun Iptek maju
juta ton Iptek maju + fertilisasi
C0
2
juta ton Iptek
maju Iptek maju +
fertilisasi C0
2
Tebu 21.24
1.607 1.979
2.243 0,56
0,97 Jagung
10.28 801
1.283 1.366
1,47 1,72
Beras 9.44
667 867
982 0,73
1,15 Gandum
9.37 649
869 970
0,82 1,21
Kentang 4.87
329 416
466 0,64
1,01 Gula bit
3.88 233
440 515
2,17 2,95
Ubikayu 2.98
235 396
412 1,67
1,84 Kedelai
2.84 237
289 342
0,53 1,08
K. sawit 2.25
212 359
404 1,69
2,21 Barley
2.22 144
194 221
0,85 1,30
Ubijalar 1.97
109 42,2
60,0 -1,49
-1,10 Melon
1.22 106
192 203
1,97 2,23
Pisang 1.13
92,4 147,6
167 1,46
1,97 Jeruk
0.98 66,5
52,6 66,8
-0,51 0,01
Anggur 0.97
68,5 88,0
111 0,69
1,51 Apple
0.94 68,7
151 166
2,92 3,45
Kubis 0.93
73,8 67,0
82,0 -0,22
0,27 Lettuce
0.30 24,7
24,5 28,7
-0,02 0,39
Total 95.0
7.046 9.474
10.677 0,84
1,26 Sumber: Idso 2011
Walau terkesan pesimistik, Indonesia haruslah mengantisipasi ancaman ini dalam penyusunan arah kebijakan dan strategi pembangunan pertanian masa depan. Untuk itu, strategi yang dipandang
tepat ialah pengembangan sistem pertanian bioindustri. Untuk itu, strategi pembangunan nasional mestilah mengadopsi paradigm pertanian untuk pembangunan dan mengadopsi pendekatan
agrobiobisnis Semua itu akan dibahas dalam bagian berikut.
III. PERUBAHAN KONTEKS DAN KONTEN PEMBANGUNAN AGRIBISNIS Kemajuan peradaban pada tataran global dalam enam dekade terakhir, telah menyebabkan
perubahan mendasar dalam context dan content pembangunan agribisnis. Perubahan context berkaitan dengan perubahan lingkungan strategis sementara perubahan content berkaitan dengan berubahan
karakter internal dari sistem agribisnis. Perubahan context dan content telah mengubah arah, issu dan kebijakan, yang berati pula paradigma pembangunan yang tepat untuk memahami dan mengelola
pembangunan agribisnis. Faktor-faktor pendorong utama key drivers yang mendorong perubahan tersebut diuraikan berikut ini Simatupang, 2015.
Pertama, perubahan tataran persaingan dari persaingan antar perusahaan menjadi persaingan antar rantai nilai. Perubahan ini merupakan konsekuensi dari globalisasi perekonomian dan perubahan
preferensi konsumen hasil usaha agribisnis. Seperti yang dijelaskan oleh Simatupang 1995, globalisasi ekonomi dicirikan oleh liberalisasi perdagangan dan investasi sehingga dayasaing menjadi
kunci bagi setiap perusahaan agar dapat bertahan hidup dan tumbuh-kembang. Liberalisasi perekonomian merupakan konsekuensi dari kesepatan World Trade Organization WTO dan Tripple-
T Revolution Telecommunication, Transportasi, Tourism. Perubahan preferensi konsumen dicirikan oleh perubahan preferensi konsumen dari permintaan terhadap komoditas atau produk menjadi
14
permintaan terhadap atribut produk. Selain itu, konsumen juga menuntut adanya transparansi dan ketelusuran traceability penggunaan input, produsen dan proses produksi serta sistem logistik hingga
produk sampai ke konsumen akhir. Hal ini hanya dapat diwujudkan melalui pengelolaan rantai nilai secara eksklusif.
Kedua, kesadaran baru tentang orientasi pembangunan. Kini semakin disadari bahwa orientasi kehidupan manusaia, yang berarti juga orientasi pembangunan setiap negara, bersifat multi-
dimensi. Tidak hanya berdimensi ekonomi, tetapi juga berdimensi sosial dan lingkungan. Dimesi sosial mencakup antara lain keadilan dan pemerataan pembangunan justice and equity, partisipasi
demokratik, dan hak azasi manusia bahkan juga hewan. Dimensi lingkungan mencakup keberlanjutan sumberdaya alam serta kesehatan, kenyamanan, dan keindahan lingkungan hidup.
Seiring dengan itu, usaha agribisnis tidak boleh lagi berorientasi pada perolehan laba sebesar-besarnya dimensi ekonomi, tetapi juga harus memperhatikan kesejahteraan hidup, keadilan dan pemerataan
pembagian hasil usaha, dan hak azasi pegawainya, turut bertanggung jawab atas penghidupan masyarakat sekitar dimensi sosial, serta bertanggunggung jawab atas kelestarian sumberdaya alam
dan lingkungan hidup. Keberlanjutan eksistensi perusahaan ditentukan oleh pelaksanaan ketiga dimensi tersebut. Indikator kinerja perusahaan ini dikenal dengan konsep Profit Ekonomi-People
Sosial-Planet Lingkungan Hidup. Dengan demikian, kesadaran baru itu telah mengubah orientasi nilai manfaat yang diciptakan oleh perusahaan agribisnis dari semata-mata nilai ekonomi menjadi nilai
ekonomi plus nilai sosial dan nilai lingkungan hidup.
Ketiga, pandangan baru bahwa iklim global adalah barang publik global global public good yang kini sudah mengalami perubahan yang mengancam eksistensi kehidupan di bumi. Iklim global
adalah barang publik global, yang berarti bahwa iklim mempengaruhi kehidupan setiap orang dimana saja, sehingga setiap orang dimana saja turut beranggung jawab untuk memeliharanya. Penelitian
menunjukkan bahwa perubahan iklim sudah mendekati titik kritis, yang mengancam kenyaman dan eksistensi manuasi dan mahluk hidup hidup secara umum. Perubahan iklim juga juga telah
menyebabkan penurunan produksi pertanian global. Perubahan iklim global tersebut merupakan indikasi dari kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Setiap usaha agribisnis berkewajiban
untuk turut serta dalam memelihara iklim global.
Keempat, kebangkitan bioekonomi. Mengingat bahan fosil diperkirakan akan semakin langka dan mahal sepanjang abad ke-21 dan akan habis keseluruhannya di awal abad ke-22, maka ke depan,
perekonomian setiap negara haruslah ditransformasikan dari yang selama ini berbasis pada sumber energi dan bahan baku asal fosil menjadi berbasis pada sumber energi dan bahan baku baru dan
terbarukan, utamanya bahan hayati. Era revolusi ekonomi yang digerakkan oleh revolusi teknologi industri dan revolusi teknologi informasi berbasis bahan fosil telah berakhir, dan akan digantikan oleh
era revolusi bioekonomi yang digerakkan oleh revolusi bioteknologi dan bioenjinering yang mampu menghasilkan biomassa sebesar-besarnya untuk kemudian diolah menjadi bahan pangan, pakan,
energi, obat-obatan, bahan kimia dan beragam bioproduk lain secara berkelanjutan Kementerian Pertanian, 2014. Bioekonomi itu pastilah berbasis agribisnis penghasil biomassa agrobiomassa.
Banyak negara telah mempersiapkan diri untuk mengambil kesempatan lebih awal dari kebangkitan revolusi bioekonomi tersebut dengan menyusun rencana strategis dan melaksanakannya dengan road
map yang komprehensif Albrecht and Ettling, 2014. Era revolusi bioekonomi menjadi momentum bagi kebangkitan kembali renaissance pertanian dan ilmu ekonomi pertanian Sexton, 2013.
Kelima, saturasi teknologi Revolusi Hijau dan kebangkitan Revolusi Hayati. Pingali 2012 mengatakan bahwa periode Revolusi Hijau generasi pertama telah berakhir pada paruh pertama
dekade 1980’an. Penelitian Grassini, Eskridge, and Cassman 2013 menunjukkan bahwa tren produktivitas padi, jagung dan gandum menunjukkan tren pertumbuhan menurun sejak akhir dekade
1990’an. Kemajuan bioscience dan bioengineering telah mendorong tumbuh kembangnya Revolusi Hayati Biorevolution menggantkan Revolusi Hijau Green Revolution yang kini telah mengalami
pemudaran atau bahkan telah berubah menjadi sumber permasalahan bagi pertanian. Ciri-ciri Revolusi Hayati itu dan perbandingannnya dengan Revolusi Hijau ditampilkan pada Tabel 1.
Penggerak utama Revolusi Hayati itu ialah Revolusi Bioekonomi sebagaimana diuraikan di atas; Peningkatan kebutuhan pangan, pakan, energi dan serat. Perubahan iklim global dan internalisasinya
dalam sistem ekonomi-politik; Peningkatan kelangkaan sumberdaya lahan dan air; Peningkatan permintaan terhadap jasa lingkungan; Peningkatan jumlah petani marginal. Kementerian Pertanian
2014 telah menyusun kerangka dasar atau strategi induk pembangunan pertanian dalam rangka
15
mengambil kesempatan pertama dari kebangkitan Revolusi Hayati tersebut. Namun demikian, kita masih menunggu respon positif dari Pemerintah dan para pihak terkait dalam pelaksanaan gagasan
besar tersebut.