Redefinisi pertanian STRATEGI PEMBANGUNAN PERTANIAN MASA DEPAN

23 jasa ekologi 2 . Sistem pertanian dapat direkayasa sedemikian rupa sehingga menciptakan siklus bio- geo-kimia yang tertutup sehingga berperan dalam menjaga kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan. Dengan demikian, pertanian memiliki tiga fungsi yakni fungsi ekonomi, fungsi sosial- budaya dan fungsi ekologis. Pertanian adalah upaya manusia dalam mengelola ekosistem dan skalanya sehingga dapat menghasilkan produk-produk yang lebih bermanfaat untuk peningkatan kesejahteraannya. Pertanian adalah ekosistem buatan manusia yang disebut agroekosistem. Ilmu dan teknologi yang berkaitan dengan perancangan dan pengelolaan pertanian berbasis prinsip-prinsip ekosistem disebut agroekologi. Pertanian yang dirancang berdasarkan prinsip ekologi disebut sistem pertanian ekologis atau sistem agroekologi. Agroekologi didefinisikan sebagai koherensi seluruh dan setiap hal yang membuat sistem pertanian dapat dirancang sebagai perangkat untuk memanfaatkan fungsionalitas yang disediakan oleh ekosistem, mengurangi tekanan pada lingkungan hidup dan melindungi sumberdaya alam. Walau beragam, definisi agroekologi memiliki beberapa kesamaan prisip dasar dalam rangka merekonsiliasi tantangan triple trade-off keberlanjutan sosial, ekonomi dan lingkungan Schaller, 2013: 1. Memanfaatkan fungsi ekosistem semaksimal mungkin 2. Maksimisasi biodiversitas fungsional melalui pertanaman campuran, diversifikasi antar petakan dan pergiliran tanaman, serta diversifikasi usahatani komplementaritas usahatani tanaman, ternak, ikan, serangga, dsb. 3. Memperkuat regulasi biologis melalui penataan rantai makanan di dalam ekosistem. Untuk pengendalian hama-penyakit tanaman misalnya, disarankan untuk menggunakan bilangan ganjil 3,5,7 dsb dalam menentukan jumlah level rantai makanan. Untuk tiga level rantai makanan, misalnya, promosi rantai makanan level pertama tumbuhan dapat dilakukan dengan membatasi keberadaan level kedua predator dengan menggunakan level ketiga serangga bermanfaat. Dengan lebih rinci, Altieri 2012 menjabarkan prisip dasar sistem pertanian ekologis sebagai berikut: 1. Daur ulang biomassa, dengan maksud optimasi dekomposisi bahan organik dan siklus nutrisi 2. Memperkuat sistem immun dari sistem pertanian melalui penguatan biodiversitas fungsional, musuh alami, antagonis, dsb. 3. Menyediakan kondisi lahan yang baik untuk pertumbuhan tanaman, khususnya dengan mengelola zat organik dan memperkuat aktivitas biologi tanah 4. Meminimumkan kehilangan energi, air, zat hara, dan sumberdaya genetik dengan memperkuat konservasi dan regenerasi lahan, air, dan agro-biodiversitas 5. Meningkatkan diversitas spesies dan sumberdaya genetik di dalam agroekosistem menurut waktu pada level usahatani dan kawasan lansekap. 6. Memperkuat interaksi dan sinergi bermanfaat diantara sesama komponen agro-biodiversitas, sehingga dengan demikian mempromosikan fungsi-fungsi dan proses-proses ekologis utama. Berdasarkan tujuannya, sistem pertanian ekologis dapat dibedakan menjadi sistem pertanian konservatif ekologis dan sistem pertanian intensif ekologis. Sistem pertanian konservatif ekologis berorientasi pada kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan, dan proses produksinya mengandalkan pada input internal agroekosistem. Sistem pertanian intensif ekologis berorientasi untuk menghasilkan nilai tambah usahatani sebesar mungkin, termasuk dengan cara menggunggakan input eksternal, namun dengan dampak minimal terhadap kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan. Sistem pertanian konservatif ekologis tidak efektif untuk peningkatan pendapatan petani dan memacu pertumbuhan pertanian secara agregat sehingga kurang sesuai untuk Indonesia hingga beberapa tahun ke depan. Model ini mungkin cocok bagi Negara-negar yang sudah maju. Pertanian intensif ekologis adalah rekaya biosistem. Sebagai sebuah sistem, arsitektur pertanian intensif ekologis dirancang dalam dua tahapan. Pertama, penetapan batas-batas lokasi serta karakteristik sumberdaya dan lingkungan strategis sosial ekonomi tapakan lokasi pengembangan sistem pertanian intensif ekologis tersebut. Batas-batas tapakan, karakteristik sumberdaya dan lingkungan strategis tapakan merupakan penentu skala pengembangan dan alternatif struktur biosistem yang layak dikembangkan di lokasi tersebut. Dalam batas inilah biosistem direkayasa sehingga berkelanjutan secara ekonomi, sosial dan lingkungan. Skala pengembangan sistem pertanian intensif ekologis dapat mencakup satu perusahaan usaha pertanian rakyat, perusahaan besar pertanian, 2 Uraian tentang jasa ekologis dapat dibaca pada Millenium Ecosystem Management 2005 24 komunitas usaha kelompok perusahaan, termasuk kelompok tani, kemitraan petani rakyat dan perusahaan besar pertanian, kawasan pengembangan khusus klaster, zona, kawasan ekologis atau lansekap. Langkah kedua dalam perekayasaan sistem pertanian intensif ekologis ialah rekayasa arsitektur struktur organisme di lokasi pengembangan. Struktur dimaksud mencakup jenis dan populasi setiap spesies dan atau varietas variasi genetik dalam satau species sesuai dengan fungsi ekologis masing-masing sehingga terjalin interrelasi harmonis dalam mewujudkan ciri-ciri tersebut di atas. Secara umum, bauran biodiversitas sistem pertanian ekologis tersebut disebut organisme sekawan companion organisms. Salah satu contohnya ialah budidaya padi dengan pegendalian hama berdasarkan strategi rekayasa ekologis Heong, 2013, dengan menanam tanaman bunga nektar tanaman wijen, bunga matahari yang berfungsi sebagai penarik dan tempat bernaung refugia organisme pengganggu di sekeliling petakanan tanamam padi Winarto, dkk 2013.Fungsi-fungsi ekologis setiap jenis organisme dalam rumpun organisme sekawan tersebut mencakup: 1. Pemanfaatan optimal ruang budidaya: Organisme dapat dibudiyakan secara bersama-sama karena mereka tidak saling bersaing atau bahkan sinergis karena berbeda dalam kebutuhan lahan, hara, air dan matahari, berbeda kedalaman perakaran, berbeda ketinggian, berbeda musim tanam, dsb. 2. Pengendalian hama: Organisme yang bermanfaat dalam pengendalian hama-penyakit, misalnya karena bersifat penarik pest attractor atau pemerangkap hama pest trap, penjauh pest repellant 3. Pendukung pollinasi: Organisme yang berkontribusi dalam peningkatan penyerbukan melalui serangga atau organisme lain, termasuk lebah madu dan serangga lainnya serta tanaman penarik serangga 4. Hewan herbivora dan omnivora ternak dan ikan: Ternak ruminansia, unggas 5. Organisme dekomposer: Jamur, cacing, lalat, dsb untuk media budidaya dan sekaligus mengurai sisa dan limbah biomassa hasil pertanian menjadi bahan pangan, pakan dan pupuk yang selanjutnya dipergunakan dalam budidaya tumbuhan. 6. Sinergi habitat: Integrasi budidaya berbasis lahan dan berbasis air akuakultur dalam rangka membangun rantai pangan food chain antar organisme budidaya serta daur bahan organik, daur ulang air dan hara. Gambar 2. Sketsa arsitektur umum sistem pertanian intensif ekologis 25 Sistem pertanian intensif ekologis terdiri dari lima komponen: subsistem budidaya tanaman darat sekawan, subsistem budidaya ternak, subsistem akuakultur, subsistem budidaya serangga penyerbuk pollinator, dan subsistem budidaya dekomposer Gambar 2. Kelima subsistem tersebut saling berinteraksi sinergis dalam suatu aliran sirkuler semi tertutup biogeokimia materi biomassa, hara, air dan energi. Subsistem budidaya tanaman darat sekawan merupakan produsen utama biomassa primer. Tanaman air dalam subsistem akuakultur juga termasuk produsen biomassa primer. Biomassa primer digunakan sebagai pakan ternak dan ikan. Salah satu penciri sistem pertanian intensif ekologis ialah integrasi budidaya pertanian tanaman-ternak dengan budidaya perairan akuakultur, yang dikenal sebagai sistem integrasi pertanian akukultur yang sudad luas diterapkan di Tiongkok, Vietnam dan beberapa daerah di Indonesia. Penciri kedua sistem pertanian intensif ekologis ialah adanya subsistem budidaya serangga pollinator yang esensial bagi tanaman budidaya, dan juga berfungsi sebagai usaha komersial. Penciri ketiga ialah subsistem dekomposer. Sisa dan limbah biomassa pertanian diolah dalam budidaya dekomposer, yang mencakup budidaya jamur, biodigester untuk menghasilkan biogas, budidaya cacing, dan budidaya serangga untuk menghasilkan belatung berprotein tinggi.

5.2 Pergeseran dari paradigma agribisnis ke paradigm agrobiobisnis

Paradigma agribisnis yang dipelopori oleh Davis and Golberg 1957 dan disempurnakan oleh Davis 1968 dipandang sudah tidak sesuai dengan konteks dan issu pembangunan pertanian kontemporer dalam abad ke 21 ini. Tidak dapat dipungkiri, paradigma agribisnis telah berjasa dalam menyususun kerangka teori dan program operasional pembangunan pertanian da lam era tahun 1960’an hingga tahun 1990’an atau bahkan hingga awal dekade 2000’an, termasuk di Indonesia sejak akhir decade 1980’an. Paradigm agribisnis berpandangan bahwa pertanian adalah usaha komersial yang berorientasi pasar, tergantung pada input eksternal yang dihasilkan oleh lembaga atau perusaan- perusahaan lain, industri pengolahan, dan usaha pemasaran yang dilaksanakan oleh perushaan- perusahaan lain, fasilitasi dan jasa penunjang yang disediakan oleh lembaga atau perusaan-perusahaan lain, serta iklim usaha agribusiness enabling environment yang menentukan aturan main atau koordinasi diantara para pelaku usaha regulasi dan fasilitasi pemerintah, asosiasi bisnis, infrastruktur bisnis. Dengan demikian, pertanian merupakan subsistem utama dari suatu sistem agribisnis yang terdiri dari lima subsistem Gambar 3: Subsistem agribisnis hulu up-stream agribusiness, Subsistem agribisnis usahatani on-farm agribusiness, Subsistem agribisnis hilir down-stream agribusiness, Subsistem usaha penunjang agribisnis agribusiness-supporting enterprises, dan Subsistem lingkungan pemberdaya agribisnis agribusiness enabling environment. Kiranya dicatat bahwa Subsistem Lingkungan Pemberdaya Agribisnis dapat dipandang sebagai subsistem koordinator dalalam konsep Goldberg 1968 dan merupakan komponen tambahan terhadap konsep sistem agribisnis awal yang digagas oleh Davis and Goldberg 1957 dan Saragih 2010. Perubahan context dan content pembangunan seperti yang diuraikan diatas terus mengikis relevansi paradigm agribisnis. Paradigm agribisnis konvensional menekankan pengelolaan sistem agribisnis mulai dari pengadaan prasasaran dan prasana usaha pertanian hingga pengolahan dan pemasaran komoditas hasil pertanian. Penekanan lebih pada sistem logistik komoditas, bukan produk akhir hingga titik penjualan akhir. Sistem agribisnis tidak mencakup subsistem konsumen akhir. Kerjasama antar aktor dalam sistem agribisnis terutama ialah dalam hal informasi pasar, bukan kerjasama dalam rangka peningkatan nilai pada setiap simpul sistem agribisnis. Tataran persaingan masih tetap pada tingkat perusahaan dan komoditas. Konsep ini jelas sudah tidak relevan pada saat persaingan telah bergeser pada tingkat rantai nilai dan poduk spesifik atribut. Oleh karena itulah paradigm agribisnis telah digeser oleh paradigm rantai pasok dan kemudian rantai nilai pertanian agricultural value chain pada dekade 1990’an hingga 2000’an. Paradigma agribisnis maupun rantai nilai konvensional menekankan pada laba usaha agribisnis, sama sekali tidak menyebut hal-hal yang berkaitan dengan nilai sosial dan nilai jasa lingkungan. 26 Gambar 3. Sistem Agribisnis Diolah dari Davis, 1968 Paradigma agribisnis relevan pada era Revolusi Hijau, namun tidak sesuai dalam era Revolusi Hayati karena beberapa alasan berikut. Pertama, Revolusi Hayati menekankan pentingnya nilai sosial dan jasa lingkungan, sementara paradigma agribisnis tidak memperhatikan. Kedua, paradigma agribisnis mekankan aliran linier komodistas sampai titik penjualan akhir, sehingga mengakibatkan terjadinya aliran keluar zat hara dari kawasan agroekosistem basis usaha pertanian on farm. Karakteristik inilah yang menyebabkan lahan pertanian mengalami pemiskinan hara sehingga memerlukan penambahan hara dan air dari sumber eksternal pupuk kimia, air dalam jumlah yang terus meningkat dan selanjutnya menimbulkan kerusakan lingkungan. Seiring dengan perkembangan bioekonomi baik dari segi ilmu maupun kegiatan perekonomian, kini telah berkembang pula konsep baru, yaitu biobisnis. Definisi biobisnis berbeda menurut perspektif yang digunakan, berbasis teknologi atau berbasis sumberdaya dalam proses produksinya. Dari perspektif basis teknologi, Willoughby 2011 mendefinisikan biobisnis sebagai kegiatan ekonomi yang diabdikan untuk pengembangan atau komersialisasi ilmu hayati bioscience atau teknologi berkaitan ilmu hayati, produk atau jasa. Senada dengan Willoughby, Shahi 2006 mendefinisikan biobisnis sebagai kegiatan komersial yang didasarkan pada pemahaman ilmu-ilmu hayati dan proses-proses ilmu hayati, yang mencakup: Biomedikal termasuk pemeliharaan kesehatan, farmasi, peralatan medis, diagnostik, dll, agri-veteriner dan pangan, lingkungan dan industry, bidang terkait bioinformatika, bioengineering, teknologi nano, dll. Pada definisi ini, biobisnis berkenaan dengan kegiatan ekonomi berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi yang mempergunakan atau dituntun oleh ilmu hayati. Dari basis sumberdaya, biobisnis didefinisikan sebagai kegiatan komersial yang berkaitan dengan produksi biomassa serta konversi dan transformasi biomassa tersebut menjadi beragam bahan pangan, pakan, energi, dan bioproduk European Commission, 2012. Dengan definisi ini, biobisnis mencakup kegiatan komersias dalam sektor pertanian termasuk kehutanan dan perikanan yang memproduksi agrobiomassa, bioindustri yang mengolah mengonversi atau mentransformasi biomassa, serta logistik dan perdagangan yang menghantarkan produk turunan biomassa tersebut kepada konsumen. Definisi yang lebih umum ialah menggabungkan perspektif teknologi dan perpektif basis sumberdaya. Biobisnis ialah kegiatan komersial yang berkaitan dengan pengembangan atau komersialisasi ilmu dan teknologi hayati serta produksi, konversi dan transformasi biomassa tersebut menjadi beragam bahan pangan, pakan, energi, dan bioproduk. Agrobiobisnis adalah bagian dari biobisnis yang biomassanya adalah hasil usaha pertanian agrobiomassa. Berdasarkan definisi biobisnis di atas, agrobiobisnis ialah usaha komersial yang berkaitan dengan sistem rantai nilai agrobiomassa biomassa hasil pertanian dan sistem ilmu pengetahuan dan inovasi pendukung rantai nilai agrobiomassa tersebut. Sistem rantai nilai agrobiomassa mencakup usaha pertanian penghasil agrobiomassa, agrobioindustri yang mengonversi dan mentransformasikan agribiomassa menjadi beragam bahan pangan, pakan, energi, dan bioproduk, serta agrobiologistik dan pemasaran yang menghantarkan produk turunan agrobiomassa tersebut kepada konsumen. Sedangkan sistem ilmu pengetahuan dan inovasi mencakup pengembangan,