Kapasitas Penambahan Ternak Parameter yang diukur
79
KESIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan total kemampuan produksi pakan Ton BKC asal limbah tanaman pangan Provinsi Sumbar 479.698,71 Ton BKCth, sementara total kebutuhan pakan
ruminansianya saat ini 459.134,66 Ton BKCth sehingga dapat diketahui kapasitas penambahan ternak Ton BKC 20.564,05 Ton BKCTh atau 18.034,25 ST. Data ini mencerminkan bahwa kemampuan
limbah dari tanaman pangan mampu menampung kebutuhan pakan ternak ruminansia, hal ini menunjukan bahwa limbah tanaman pangan dapat menjadi solusi dalam keterbatasan hijauan untuk
pengembangan peternakan sapi potong kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Barat. 2012. Sumatera Barat Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Barat, Padang.
Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Barat. 2014. Berita Resmi Statistik BPS Sumatera Barat. http:sumbar.bps.go.idsumbar?r=artikelcatid=31. Diakses 15 April 2014.
Dinas Peternakan Kabupaten Pesisir Selatan. 2007. Statistik Peternakan Kabupaten Pesisir Selatan Tahun 2007. Dinas Peternakan Kabupaten Pesisir Selatan, Painan.
Dinas Peternakan Provinsi Sumatera Barat. 2014. Sumbar Akan Impor 60.000 Sapi dari Australia. http:disnak.sumbarprov.go.idindex.php?disnak=beritaj=1id=458
. Diakses 15 April 2014.
Makka, J. 2004. Prospek Pengembangan Sistem Integrasi Peternakan yang Berdaya Saing. Prosiding Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman Ternak. Denpasar, Bali.
Liana dan Febriana. 2011. Pemanfaatan Limbah Pertanian Sebagai Pakan Ruminansia pada Peternak Rakyat di Kec. Rengat Barat Kab. Inragiri Hulu. Fakultas Pertanian Universitas Islam
Negeri Sultan Syarif Kasim Riau. Jurnal Peternakan Vol 5 No 1 Februari 2008 28-37. Siregar, S. B., Soedirman dan T. Manurung. 1981. Budidaya Ternak dalam Usahatani Ternak dalam
Usahatani Terpadu di Daerah Penelitian Peternakan 23-26 Maret 1981, Ilmu Usaha Tani Terpadu dan Penelitian Untuk Pengembangan Petani Kecil. Indonesia University
Press, Jakarta. Soetirto, U. 1997. Pemberdayaan petrnakan rakyat dan industri peternakan menuju pasar bebas
pokok bahasan ternak potong. Proseding Seminar Nasional Peternakan dan Veterinir. Lembaga Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Institut Pertanian Bogor,
Bogor. Sumanto dan E. Juarini. 2006. Pedoman Identifikasi Potensi Wilayah. Balai Penelitian Ternak Ciawi-
Bogor, Bogor. Sugeng, Y. B. 2003. Sapi Potong. Penebar Swadaya, Jakarta.
Tressia. 2008. Analisis potensi wilayah untuk pengembangan usaha ternak sapi potong di Kecamatan Lubuk Alung. Skripsi. Fakultas Peternakan Universitas Andalas, Padang.
80
PRODUKSI DAN ANALISA EKONOMI SAPI SIMENTAL DENGAN PEMBERIAN PAKAN KULIT BUAH COKLAT
PRODUCTION AND ECONOMIC ANALYSIS OF SIMENTAL CATTLE BY FEEDING OF COCOA PODS
Ratna AD, Rahmi W dan Yanovi Hendri
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Barat Jl. Raya Padang
– Solok km. 40 Sukarami, Kec. Gng. Talang Kab. Solok sumbar
yanovihendriyahoo.com ABSTRAK
Manajemen peternakan dengan pemberian pakan kulit buah coklat mendekatkan ternak sapi dengan sumber pakan, menekan tingkat pencemaran lingkungan sekaligus mempercepat tercapainya bio-
industri pertanian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan melakukan ekonomi sapi simental dengan pemberian pakan kulit buah coklat yang mensubstitusi rumput di musim kemarau. Penelitian
menggunakan 18 ekor sapi Simental dengan kisaran umur antara 2-3 tahun dengan bobot badan rata- rata 350 kg. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap RAL yang terdiri atas 3 perlakuan
ransum R dan masing-masing 6 kali ulangan. Perlakuan adalah ransum R1 tanpa kulit buah coklat, ransum R2 dengan kulit buah coklat 5 kg dan ransum R3 dengan kulit buah coklat 8 kg. Parameter
yang diukur meliputi pertambahan bobot badan harian PBBH, return over cost ratio RC, nilai keuntungan bersih NKB dan analisis kelayakan usaha. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa
ransum memberikan pengaruh terhadap pertambahan bobot badan sapi. Ransum dengan kulit buah kakao fermentasi R2 dan R3 menghasilkan pertambahan bobot badan lebih tinggi dari ransum R1.
Ransum R2 menghasilkan pertambahan bobot badan lebih tinggi dari ransum R3 dan memberikan tingkat keuntungan yang lebih tinggi dengan nilai BC ratio 0,54. Pemanfaatan kulit buah kakao
sebagai komponen ransum dapat meningkatkan pertambahan bobot badan ternak sekaligus pendapatan peternak.
Kata kunci:
Kulit kakao fermentasi,pertambahan berat badan,sapi,pakan
ABSTRACT
Utilization offermented cocoa pods as cattle feed component efforts toget the low-cost feeding with an in-situ available raw material. This studv aimed to observe the effect of fermented cacao pods
utilization on cows weight gain and to assess economic analysis of feed components. The studyused 18 simental cows aged 2-3 years with maintenance period of 4 months. The research was arranged in a
randomized block designRBD, consisted of 3-treatment feeds R, each treatment was repeated 6 times. Treatment R1 was without fermented cocoa pods, R2 was with 8 kg fermented cacao pods and
R3 was with 5 kg fermented cocoa pods. The parameters measured were body weight gained and economic analysis. The results showed that the feed influenced on body weight gainof cows. Feed with
fermented cacao pods R2 and R3 resulted in higher body weight gain compared tothe feed in R1, feed R2 produced body weight higher than feed R3 and also provideshigher level of benefit to the
value of BC ratio of 0.54. This study concluded that the utilization of cocoa pods as ransom component scan increase body weight gainas well asthe income of livestock farmers.
Keywords: Fermented Cocoa Pods, weight gain, Cattle, Feed
81
PENDAHULUAN
Sapi potong merupakan komoditas peternakan yang memiliki peran strategis dalam aspek ketahanan pangan sebagai penghasil protein hewani terutama daging. Perbaikan kesejahteraan dan
kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi pangan bergizi meningkatkan kebutuhan daging sebesar 7 Pasandaran dkk., 2006. Hingga saat ini produsen lokal belum mampu memenuhi permintaan dan
pemerintah Indonesia melakukan importasi sebanyak 800 ribu ekor sapi dari Australia dan New Zealand Ditjennak, 2008. Importasi ternak sapi tersebut meliputi 42 konsumsi daging domestik
serta menguras devisa negara Inounu., dkk. 2008.
Secara umum, peternakan sapi potong di Indonesia berupa peternakan rakyat dengan sistem pemeliharaan konvensional yakni mengandalkan rumput alam di padang penggembalaan sebagai
sumber hijauan Wirdahayati dan Bamualim, 2007. Kondisi musim mempengaruhi produksi rumput demikian juga produktifitas ternak, kekurangan produksi rumput pada musim kemarau mengakibatkan
pertambahan bobot badan ternak menurun sekitar 0,1 –0,3 kghari Disnak Sumbar, 2008. Selain itu,
alih fungsi lahan menjadi areal pertanian dan pemukiman penduduk menyebabkan kapasitas tampung padang penggembalaan tidak lagi seimbang dengan kebutuhan hijauan per satuan ternak ST.
Keterbatasan lahan penggembalaan menjadi faktor penghambat kecukupan hijauan makanan ternak. Oleh karena itu, Buharman 2011 menyatakan peternak sapi perlu mengupayakan pakan pengganti
rumput terutama di musim kemarau.
Kulit buah coklat merupakan limbah pertanian potensial dan bisa dimanfaatkan sebagai hijauan pakan ternak pengganti rumput. Ismartoyo 2000 menyatakan kulit buah coklat masih
mengandung zat-zat makanan dengan kandungan nutrisi terdiri dari protein 8, serat kasar 40,1 dan TDN 50,8. Kandungan protein kulit buah coklat kaya asam-asam amino essensial. Zain. 2008
menyatakan penggunaan kulit buah kakao sebagai pakan dapat menggantikan fungsi rumput sebesar 5
– 15. Hendri.,dkk. 2011 melaporkan pemberian kulit buah coklat terhadap sapi simental meningkatkan produktifitas. Pemberian kulit buah coklat selama 90 hari sebanyak 3 kghari
menghasilkan pertambahan berat badan sebesar 92,5 kg dan pertambahan berat badan harian sebesar 1,05 kghari.
Propinsi Sumatera Barat merupakan sentra produksi coklat di Kawasan Indonesia Barat KIB. Kawasan pengembangan coklat terdapat di kabupaten Pasaman, Pasaman Barat, Padang Pariaman,
Agam, Lima Puluh Kota dan kota Sawahlunto Anonim, 2009. Pada tahun 2010luas areal pertanaman coklat di Sumatera Barat mencapai 98.706,60 ha dengan kapasitas produksi sebesar 42.606,11 ton
BPS Sumbar, 2010. Dari luasan perkebunan dan produksi coklat tersebut akan menghasilkan kulit buah coklat sekitar 30 ribu ton. Apabila satu ekor ternak sapi mengkonsumsi 3 kg kulit buah coklat per
hari, maka sumbangan kulit buah coklat terhadap daya tampung ternak di Sumatera Barat sebesar 30 ribu ekor sapi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisa ekonomi sapi yang diberi pakan kulit buah coklat untuk mensubstitusi rumput yang bisa dimanfaatkan terutama pada musim kemarau.
METODOLOGI Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Kelompok Sarjana Membangun Desa SMD di Desa Rambatan, Kecamatan Rambatan Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat. Sapi dipelihara pada kandang
kelompok yang berkapasitas 18 ekor sapi.
Ternak dan Perlakuan Pakan
Penelitian menggunakan 18 ekor sapi Simental jantan berumur 1,5-2 tahun yang memiliki berat rata-rata 300 kg. Pemeliharaan ternak dilakukan selama 4 empat bulan dan lama masa adaptasi
ternak terhadap pakan yang diperlakukan selama 1 satu bulan. Selama penelitian, penimbangan berat badan dilakukan setiap bulan menggunakan timbangan digital. Penggemukan sapi dilakukan selama 4
bulan. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok RAK dan masing-masing terdiri dari 6 ulangan. Perlakuan ransum terlihat pada Tabel 1.
82
Tabel 1. Perlakuan ransum selama penelitian
Bahan Pakan R 1 kg
R2 kg R3 kg
1. Jerami segar 20
2. Jerami fermentasi 10
10 3. Kulit buah kakao fermentasi
8 5
4. Ampas tahu 7
5 7
5.Dedak halus 2
- -
6. Konsentrat 0,5
- 0,5
7. Mineral 0,1
0,1 0,1
8. Starbio 0,01
- 0,01
Harga Rp 10.050,-
5.800,- 7.850,-
Ransum R2 dan R3 sebagaimana tercantum pada Tabel 1, disusun untuk memenuhi kebutuhan seekor sapi dengan bobot badan 300 kg dan target pertumbuhan 1 kghari adalah: 7.5 kg
BK; 5 kg TDN; dan 0,82 kg Protein Kasar Kearl., 1982.Kandungan zat makanan pada ransum dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Kandungan zat makanan dalam masing-masing perlakuan ransum
Ransum Bahan kering kg
Protein kg Energi TDN kg
R 1 21,45
1,12 9,75
R 2 13,37
1,83 7,44
R 3 9,32
1,45 5,85
Pada awal penelitian semua ternak diberikan obat cacing sanbe, sehingga semua ternak bebas dari cacing dan pertumbuhan yang terjadi adalah benar-benar akibat perlakuan. Variabel yang
diamati adalah pertambahan bobot badan ternak yang diketahui melalui penimbangan setiap 2 minggu sekali. Data pertambahan bobot badan di analisis dengan analisa sidik ragam dan uji lanjut
menggunakan Duncan pada taraf kesalahan α = 5 Gomez and Gomez, 1995. Proses fermentasi kulit buah kakao menggunakan Starter RAGUR100 yang diproduksi oleh
BPTP Sumatera Barat dengan dosis 20 literton. Cara melakukan fermentasi adalah sebagai berikut :
Kulit buah kakao yang telah dicincang ditumpuk pada tempat yang telah disediakan, drum atau karung plastik, selama penyimpanan harus kedap udara
Penumpukan bahan dalam wadahplastik dilakukan secara bertahap dimana pada setiap tumpukan
disiram dengan larutan fermentor larutan ragi, gula dan urea yang dilakukan dengan proses aerasi selama 24 jam menggunakan spray atau dipercikkan dengan tangan.
Penumpukan dilakukan sampai ketinggian mencapai 1 meter atau disesuaikan dengan wadah yang
digunakan.
Setelah penumpukan wadah ditutup rapat dan dibiarkan selama 6 hari. Setiap 3 hari dilakukan pembalikan wadah agar fermentasi merata.
Setelah 6 hari kulit kakao yang sudah difermentasi dapat dibuka. Hasil fermentasi yang baik
ditandai dengan aroma fermentasi yang baik. Hasil fermentasi di keringkan dengan mengangin- anginkan, setelah itu siap untuk diberikan pada ternak.
Untuk mengetahui tingkat keuntungan bagi peternak dengan memanfaatkan kulit kakao fermentasi dilakukan analisis usahatani. Dalam analisis ekonomi terdapat perbedaan biaya antar
perlakuan dengan menggunakan cara Analisis Anggaran Persial, merupakan analisiscara yang paling sederhana dalam evaluasi kelayakan suatu usaha tani.
83
HASIL DAN PEMBAHASAN Pertambahan Bobot Badan
Rata-rata pertambahan bobot badan sapi ghari dapat dilihat pada Tabel 3. Hasil pengamatan memperlihatkan bahwa perlakuan ransum kulit kakao fermentasi R2 dan R3 memberikan
pertambahan bobot badan harian lebih tinggiP0,05 dibandingkan ransum tanpa kulit kakao fermentasi R1. Pertambahan bobot badan harian sapi kedua perlakuan ransum dengan kulit kakao
fermentasi R2 dan R3 bervariasi dan pertambahan bobot badan harian cenderung lebih tinggi pada level penggunaan yang lebih banyak. Tabel 3 memperlihatkan bahwa penggunaan kulit buah kakao
fermentasi hingga 8 kg dalam ransum R2 menghasilkan rata-rata pertambahan bobot badan harian 915 gekorhari. Hasil tersebut hampir 3 kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan ransum yang biasa
diberikan oleh peternak R1.
Tabel 3. Rata-rata pertambahan bobot badan gekorhari
Ransum P1
P2 P3
P4 P5
P6 Rata-rata
R1 550
425 308
400 300
342 388
b
R2 583
522 711
1375 1014
1286 915
a
R3 393
556 455
972 897
655 655
ab
P = Penimbangan
Terjadinya variasi pertambahan bobot badan harian sapi kemungkinan disebabkan perbedaan kualitas ransum, dimana ransum dengan kulit kakao fermentasi memiliki kualitas lebih baik terutama
dalam hal kandungan protein. Perbedaan bahan pakan dalam ransum juga ikut mempengaruhi, meskipun peternak telah menyusun ransum yang dicampur dengan konsentrat namun komposisi
ransum tersebut belum mampu memberikan pertambahan bobot badan sesuai dengan yang diharapkan. Ransum R2 memiliki kandungan protein lebih tinggi akibat terdapatnya kulit buah kakao fermentasi
dalam ransum yang mencapai 8 kghari. Dengan demikian terdapat asam-asam amino essensial dalam ransum yang memberikan kontribusi nutrisi untuk kebutuhan hidup pokok dan pertumbuhan. Menurut
Suparjo dkk. 2009 proses fermentasi akan menghasilkan sel-sel tubuh mikroba dan enzim yang mengandung protein serta metabolit-metabolit lainnya sehingga menghasilkan produk pakan dengan
kualitas lebih baik dari segi kandungan protein, serat kasar dan lignin. Padang 2009 menyatakan bahwa protein merupakan zat makanan yang paling penting bagi ternak untuk pembentukan sel-sel
baru, pembesaran ukuran sel sebagai penyebab dari pertambahan bobot badan.
Protein tidak dapat langsung dicerna oleh ternak yang bersangkutan akan tetapi terlebih dahulu dirombak oleh mikroorganisme melalui proses fermentasi. Protein makanan pertama kali
dihidrolisis oleh mikroba rumen dan dipergunakan oleh mikroba untuk membentuk protein tubuhnya dan sisanya akan diserap melalui dinding rumen. Disamping itu mikroba-mikroba yang mati masuk ke
dalam usus menjadi sumber protein bagi ruminansia 65 sumbangan protein bagi ruminansia berasal dari mikroba-mikroba tersebut Subagdja2000. Sementara sumbangsih protein untuk pertumbuhan
bagi ruminansia berasal dari protein mikroba yaitu sekitar 40-84 dari seluruh protein yang mencapai abomasum. Dengan demikian pertambahan bobot badan yang tinggi pada sapi yang diberi pakan kulit
buah kakao fermentasi disebabkan oleh tersedia protein mikroba sisa dari proses fermentasi Nelson dan Suparjo, 2011.
Tanuwiria2008 menyatakan prinsip utama pemberian pakan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan ternak akan nutrisi atau zat gizi yaitu protein, enersi, mineral, vitamin dan air. Biasanya
pakan diformulasi dari beberapa bahan pakan dengan proporsi seimbang dan disesuaikan dengan tujuan usaha. Sugeng 2000 menyatakan semakin tinggi kualitas ransum, maka semakin efisien pula
proses pembentukan enersi dan daging. Kadar laju pertumbuhan, nutrisi, umur dan berat badan adalah faktor-faktor yang mempunyai hubungan erat satu sama lain, dan biasanya dapat secara individu atau
kombinasi mempengaruhi komposisi tubuh dan karkas. Berat tubuh erat kaitannya dengan komposisi tubuh. Wirdahayati, dkk. 2011 menyatakan bahwa sapi yang semula diberi pakan hanya cukup untuk
kebutuhan hidup, kemudian diberi pakan berkualitas nutrisi baik maka akan dipergunakan untuk produksi,dalam hal ini untuk pertambahan berat badannya.
84
Analisis Ekonomi
Analisa ekonomi penggemukan sapi menggunakan ransum dengan dan tanpa kulit buah kakao fermentasi disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Analisa ekonomi penggemukan sapi menggunakan ransum dengan dan tanpa kulit kakao fermentasi
Parameter R1
R2 R3
Pembelian sapi 6 ekor Rp 8 juta
48.000.000 48 .000.000
48.000.000 Biaya pakan 4 bln Rp
1.206.000 696.000
942.000 Biaya total Rp
49.206.000 48.696.000
48.942.000 Penjualan sapi Rp
70.500.000 75.000.000
72.600.000 KeuntunganRp
21.294.000 26.304.000
23.658.000 RC Ratio
1.43 1.54
1.48 BC Ratio
0.43 0.54
0.48 Asumsi: Biaya pemeliharaan dianggap sama
Tabel 4 memperlihatkan bahwa ransum dengan kulit kakao fermentasi R2 dan R3 memberikan keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan dengan ransum peternak RS1. Ransum
dengan kandungan kulit kakao fermentasi yang lebih tinggi menghasilkan keuntungan tertinggi. Apabila dilihat berdasarkan BC ratio, keuntungan yang diperoleh dari ransum R2 meliputi 50 persen
dari modal. Perbedaan keuntungan dari masing-masing perlakuan pakan kemungkinan disebabkan oleh perbedaan harga pakan dimana harga per kilogram pakan ransum R1 lebih tinggi sehingga
memberikan keuntungan yang lebih rendah. Selain itu rendahnya keuntungan pada ransum R1 juga disebabkan oleh pertumbuhan ternak yang lebih rendah dibanding ransum R2 dan R3. Hal ini
memperlihatkan bahwa pemanfaatan kulit buah kakao sebagai komponen ransum selain meningkatkan pertambahan bobot badan sekaligus juga meningkatkan pendapatan peternak.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemanfaatan kulit buah kakao fermentasi dalam komponen ransum sapi dapat meningkatkan pertambahan bobot badan. Ransum sapi
yang dicampur kulit buah kakao fermentasi hingga 8 kg akan memberikan pertambahan bobot badan 915 gekorhari dengan nilai BC ratio sebesar 0,54.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian atas bantuan dana penelitian yang diberikan. Kepada Prof. Abdullah, Dr.
Wirdahayati dan Nasril selaku tim peneliti ini. Selain itu ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Endang Tri Margawati yang telah membimbing dalam penulisan karya ilmiah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2009. Database Peternakan Sumbar 2008 dan 2009. Disnak Sumbar BPS Sumbar, 2010. Statistik Sumatera Barat 2009. BPS Sumbar
Buharman, B. 2011. Pemanfaatan teknologi pakan berbahan baku lokal mendukung pengembangan
sapi potong di Provinsi Sumatera Barat. Wartazoa 21 3: 133-144. Direktorat Jendral Peternakan 2008. Statistik Peternakan .Jakarta: Dirjen Peternakan.
Dinas Peternakan 2008.Statistik Peternakan .Padang: Disnak. Gomez,K.A and Gomez,A.A.1995.Statistic I Procedures for Agricultural Research.Jhon
Willey and Sons. New york. Hendri, Y., Azwir dan P. Yufdi. 2010. Sukses Beternak Sapi dengan Pakan Lokal. Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian Sumatera Barat. Inounu, I., Y.Sani dan A. Piyanti. 2006. Arah Kebijakan Penelitian Peternakan Sapi dan
Kerbau.Dalam: Prosiding Nasional Peternakan Revitalisasi Potensi Lokal untuk Mewujudkan Swasembada Daging 2010 dalam Kerangka Pembangunan Peternakan yang
85
Berkelanjutan. dan Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat. Padang: Fakultas Peternakan Universitas Andalas.
Ismartoyo, 2000. Degradasi dan feremntasi bahan pakan ruminansia oleh mikroba rumen dalam sistim consecutive batch culture CBC. Buletin Ilmu Peternakan Dan Perikanan, VII 2,
Desember, 2000. Kearl L.C. 1982. Nutrient Requirement of Ruminants in Developing Countries. Utah State University
Logan Utah USA. Nelson dan Suparjo, 2011. Penentuan Lama Fermentasi Kulit Buah Kakao dengan Phanerochaete
chrysosporium: Evaluasi Kualitas Nutrisi secara Kimiawi. Jurnal Agrinak1 1 : 1-10. Padang. 2009. Respon fisiologis kambing kacang yang diberi kulit buah kakao fermentasis setelah
melalui perendaman dan tanpa perendaman dalam larutan KOH. Disertasi, Pascasarjana Fakultas Peternakan. Bandung: Universitas Padjadjaran.
Pasandaran, E., A. Djajanegara, K. Kariyasa dan F. Kasryno. 2006. Kerangka konseptual integrasi tanaman
–ternak di Indonesia. Dalam “Integrasi Tanaman–Ternak di Indonesia” Eds. E. Pasandaran, F. Kasryno dan A.M. Fagi. Halaman: 11-31. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Subagdja, D. 2000. Peran probiotik untuk ternak ruminansia. Gelar Teknologi Festival Peternakan di
Indonesia. Yogyakarta: Dies Natalis UGM. Sugeng, B. 2000. Sapi Potong. Pemeliharaan, Perbaikan Produksi, Prospek Bisnis dan Analisis
penggemukan. Cet, ke-7. Penebar Swadayan. Suparjo., K.G. Wiryawan, E.B. Laconi dan D. Mangunwidjaja. 2009. Perubahan Komposisi Kimia
Kulit Buah Kakao Akibat Penambahan Mangan dan Kalsium dalam Biokonversi dengan Kapang Phanerochaete chrysosporium. Media Peternakan 32 3 : 204
– 211. Syahrir dan Abdeli M. 2005. Analisis Kandungan Zat-zat Makanan Kulit Buah Kakao yang
Difermentasi dengan Trichoderma sp. sebagai Pakan Ternak Ruminansia. Jurnal Agribisnis 6 3 : 157-165.
Tanuwiria U.H. 2008. Kebutuhan Nutrien pada Berbagai Ternak. Laboratorium Nutrisi Ternak Ruminansia dan Kimia Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran.
Jatinangor.
Wirdahayati, R.B dan A. Bamualim. 2007. Produktivitas ternak sapi lokal pesisir dan daya dukung lahan penggembalaan di kabupaten Pesisir Selatan Sumatera Barat.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor : hal. 122-131.
Wirdahayati R.B., A. Bamualim, Ratna A.D., Agusviwarma, dan Supriyadi 2012. Pendampingan PSDSK melalui Inovasi Teknologi Pakan Lokal Sapi Potong Berbiaya Murah
Memanfaatkan Kulit Kakao Fermentasi. Laporan Hasil Pengkajian BPTP Sumatera Barat TA 2012.
Zain M. 2008. Substitusi Rumput Lapangan dengan Kulit Buah Coklat Amoniasi dalam Ransum Domba Lokal. Media Peternakan 32 1 : 47-52
86
PERCEPATAN PERTUMBUHAN SAPI POTONG BERBASIS PAKAN LOKAL DI SUMATERA BARAT
GROWTH ACCELERATION OF CATTLE BASED LOCAL-FEED IN WEST SUMATERA
Rahmi Wahyuni, Ratna AD dan Y. Hendri
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Barat, Jalan Raya Padang-Solok km 40, Sukarami, Solok 27366. Telp. 0755 31122
E-mail: bundanayla26gmail.com
ABSTRAK
Pemeliharaan ternak sapi potong di Prov. Sumatera Barat sebagian besar dikelola secara konvensional yang masih mengandalkan rumput dipadang pengembalaan. Hal ini menyebabkan rendahnya tingkat
pertumbuhan sapi potong. Oleh sebab itu, diperlukan suatu terobosan baru guna meningkatkan pertumbuhan bobot badan ternak sapi potong melalui inovasi teknologi pakan berbasis sumberdaya
pakan lokal. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh penggunaan pakan berbasis sumberdaya lokal berupa limbah jerami padi fermentasi jerami dan bungkil inti sawit BIS terhadap
peningkatan bobot badan ternak, serta melihat tingkat efesiensi biaya pakan. Kegiatan dilaksanakan di lokasi Kelompok Peternak Fadhilla di Nagari Taram, Kecamatan Harau, Kabupaten Lima Puluh Kota
pada bulan Maret sampai Juni 2012. Kegiatan ini menggunakan 6 ekor berumur antara 3-4 tahun. Untuk kontrol menggunakan sapi dari peternak rakyat sebanyak 5 ekor. Ternak dibagi dalam dua
kelompok, masing-masing kelompok mendapat jenis pakan yang berbeda, yaitu kelompok I kontrol 5 ekor diberi pakan yang biasa diberikan peternak, dengan pakan hijauan rumput 15 kgekorhari
dan dedak 1 kgekorhari. Kelompok II 6 ekor, mendapat pakan jerami fermentasi sebanyak 10 kgekorhari, BIS 2 kgekorhari dan mineral 0,01 kgekorhari. Hasil dari penelitian menunjukkan 1
pertambahan berat badan menggunakan kontrol 0,25 kgekorhari dan pakan berbasis Jerami fermentasi dan BIS 0,65 kgekorhari. 2 Biaya pakan ternak yaitu kontrol Rp.12.000 dan berbasis
Jerami fermentasi dan BIS Rp. 6.150. Keuntungan penggunaan pakan berbasis jerami fermentasi dan BIS, selain meningkatkan pertumbuhan berat badan ternak sapi potong juga dapat menekan tingkat
efesiensi biaya pakan sebesar Rp.5.850.
Kata Kunci:
Sapi potong, Pakan Lokal, BIS
ABSTR
ACT
Maintenance cattle in West Sumatera largely managed conventionally that still rely on grazing meadow grass. This leads to low levels of the growth of beef cattle. Therefore, we need a new
breakthrough in order to increase the growth of body weight of cattle through technological innovation based feed local feed resources. This study aims to look at the effect of the use of feed
based on local resources in the form of waste rice straw straw fermentation and palm kernel cake to the increase in body weight of cattle, as well as see the level of efficiency of feed costs. The
activities carried out at the site Fadhilla farmer group in Nagari Taram, District Harau, District 50 Kota in March to June 2012. The project used 6 animals aged between 3-4 years. To control the use
of the cattle ranchers of the people as much as 5 animals. Livestock was divided into two groups, each group got kind of different feed, ie group I control 5 mice were fed traditionally given farmers
with forage grasses 15 kg head day and bran 1 kg head day. Group II 6 animals, got a straw feed fermentation of 10 kg head day, PKC 2 kg head day and minerals 0.01 kg head day. The
results show 1 the growth of body weight using the controls - 0.25 kg head day and feed Straw- based fermentation and PKC 0.65 kg head day. 2 The cost of fodder which controls Rp. 12,000
and straw-based fermentation and PKC Rp. 6,150. The advantages of using straw-based feed fermentation and PKC, besides increasing the weight gain of cattle also can reduce the level of
efficiency of Rp.5.850 feed costs.
Keywords: Beef cattle, Lokal Feed, palm kernel cake PKC
87
PENDAHULUAN
Pemerintah Indonesia terus berupaya meningkatkan populasi ternak sapi untuk memenuhi kebutuhan daging dalam negeri tanpa harus bergantung dengan pasokan daging impor
. Melalui Program SwasembadaDaging Sapi dan Kerbau PSDSK berupaya mempercepatan peningkatan
produksi daging sapi untuk mencukupi kebutuhan pangan yang berasal dari protein hewani pada tahun 2014.
Populasi sapi potong di Provinsi Sumatera Barat Sumbar diperkirakan mencapai 500 ribu ekor dengan jumlah peternak sebanyak 180.000 KK. Sebagian besar induk sapi potong dikelola secara
tradisional dan mempunyai penampilan produktivitas yang kurang optimal sehingga hasil anak sapi masih berada di bawah target yang sebenarnya dapat dicapai Wirdahayati dan Bamualim, 2006. Oleh
sebab itu, diperlukan suatu terobosan baru guna memperbaiki kualitas dan kuantitas induk sapi potong, sehingga bisa ber reproduksi sesuai potensinya. Salah satu terobosan adalah dengan menerapkan
inovasi teknologi pakan pada induk sapi menggunakan sumberdaya pakan lokal.
Inovasi teknologi pakan berbasis sumberdaya lokal bertujuan untuk perbaikan dan peningkatan pemberian pakan, baik kuantitas maupun kualitas, sehingga ternak mendapatkan pakan
yang optimal untuk keberlangsungan aktivitas reproduksi sesuai potensinya secara normal. Hasil penelitian pemberian inovasi pakan berbasis sumberdaya lokal pada induk sapi Bali dan PO di pulau
Timor menunjukkan peningkatan aktivitas reproduksi sapi induk dan menaikkan angka kelahiran anak sapi Subiarta, 2000. Teknologi pakan berbasis sumberdaya lokal pada induk sapi potong di Sumbar
diharapkan dapat meningkatkan angka kelahiran anak sapi yang pada gilirannya akan mempercepat peningkatan populasi sapi potong di Sumbar.
Sumberdaya pakan lokal seperti limbahsisa pertanian umumnya belum dimanfaatkan secara optimal. Hasil-hasil penelitian dan pengalaman empiris telah membuktikan bahwa pola-pola
keterpaduan antara ternak dan tanaman dalam suatu system integrasi merupakan alternatif dalam upaya perbaikan sistem dan usaha agribisnis peternakan sapi potong Diwyanto dan Haryanto, 2001.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh penggunaan pakan berbasis sumberdaya lokal berupa limbah jerami padi dan BIS terhadap peningkatan bobot badan ternakserta melihat tingkat
efesiensi biaya pakan.
METODOLOGI PENELITIAN
Kegiatan telah dilaksanakan di lokasi Kelompok Peternak Fadhilla di Nagari Taram, Kecamatan Harau, Kabupaten Lima Puluh Kota pada bulan Maret sampai Juni 2012.Kegiatan ini
menggunakan 6 ekor berumur antara 3-4 tahun. Untuk kontrol menggunakan sapi dari peternak rakyat sebanyak 5 ekor. Ternak dibagi dalam dua kelompok, masing-masing kelompok mendapat jenis pakan
yang berbeda, yaitu kelompok I kontrol 5 ekor diberi pakan yang biasa diberikan peternak, dengan pakan hijauan rumput 15 kg dan dedak 1 kg. Kelompok II 6 ekor, mendapat pakan tambahan BIS2
kg dan mineral 0,01 kg dengan pakan basal jerami fermentasi JPF sebanyak 10 kgekorhari.
Parameter yang diamati meliputi pertambahan berat badan ternak serta melihat tingkat efesiensi biaya pakan dari penggunaan masing-masing perlakuan.
Bahan yang digunakan adalah untuk membuat fermentasi 1 ton jerami segar adalah 2,5 kg starbio untuk starter dan 2,5 kg urea. Pertama-tama dilakukan penumpukan jerami setebal 20 cm
dalam tempat yang terlindung dari sinar matahari langsung dan air hujan. Tumpukan diratakan, kemudian ditaburkan urea sekitar 0,5 kg, lalu ditaburkan starbio kira-kira 0,5 kg secara merata. Buat
lapis tumpukan jerami setebal 20 cm lagi, lakukan hal yang sama dengan lapisan pertama tadi. Demikian seterusnya sampai semua jerami 1 ton habis dipakai. Bagian atas ditutup dengan plastic
atau jerami saja. Tutupnya tidak perlu kedap udara. Dibiarkan selama 2 minggu, setelah dua minggu, jerami sudah terfermentasi. Pindahkan tumpukan jerami ini untuk di angin-angin kan. Lalu disimpan
di tempat yang terlindung dari panas dan hujan. Pemindahan dari tumpukan pertama perlu untuk menghentikan proses fermentasi, kalau tidak proses berlanjut dan jerami akan menjadi lapuk berubah
menjadi kompos.
88
HASIL DAN PEMBAHASAN Pertambahan Berat Badan Ternak Selama pengkajian
Pertumbuhan berat badan ternak diporoleh dari perlakuan pakan menggunakan pakan berbasis fermentasi jerami padi dan BIS. Pertumbuhan ternak yang diperoleh dibandingkan dengan
pertumbuhan berat badan ternak menggunakan pakan yang biasa diberikan peternak, dapat dilihat pada grafik dibawah ini.
Grafik 1.Data Primer 2012 Dari Grafik diatas terlihat bahwa dengan penggunaan pakanjerami fermentasi dan BIS dapat
meningkatkan berat badan rata-rata sapi potongsebesar 0,65 kghari, sementara penggunaan pakan yang biasa diberikan peternak hanya dapat meningkatkan sebesar 0,25 kghr. hal ini memperlihatkan
bahwa dengan penggunaan pakan berbasis limbah lokal seperti jerami fermentasi dan bungkil inti sawit dapat meningkatkan bobot badan ternak dibandingkan dengan pakan yang biasa diberikan
peternak. Penelitian Serli dkk 2012, menyatakan pertambahan berat badan harian ternak yang diberi perlakuan formulasi pakan BIS menunjukkan bahwa sapi mengalami pertambahan berat badan selama
kegiatan. Variasi pakan yang diberikan ke ternak sangat berpengaruh terhadap bobot badannya. Hal ini sejalan dengan pendapat Yanovi et al. 2011 yang menyatakan bahwa perbedaan pertambahan berat
badan antar perlakuan kemungkinan disebabkan pengaruh variasi bahan pakan, kualitas dan kuantitas ransum. Pemberian kulit kakao fermentasi sebagai pakan suplemen mengakibatkan penyajian pakan
lebih bervariasi dengan komposisi seimbang, sehingga kebutuhan akan nutrisi tercukupi termasuk yang tidak dapat terpenuhi oleh hijauan. Disamping itu sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan
oleh BPTP Sumbar pada tahun 2011 di Kabupaten Pasaman Barat Wirdahayati et al., 2011 bahwa dengan penggunaan BIS pada sapi potong dapat meningkatkan berat badan ternak sebesar 0,6 kghari
dan di Kabupaten Dharmasraya Bamualim et al., 2011 juga menunjukkan hasil yang cukup memuaskan dengan memberi pakan tambahan bungkil inti sawit BIS pada ternak sapi dapat
meningkatkan berat badan ternak sebesar 0,47 kghari.
Kandungan Nutrisi
Limbah pertanian seperti halnya limbahjerami, limbah perkebunan sawitdan lain-lain sangat potensial untuk pakan ternak karena mengandung bahan-bahan nutrisi yang dibutuhkan ternak dengan
melalui proses fermentasi. Fermentasi bertujuan meningkatkan nilai gizi pakan berserat tinggi. Fermentasi dapat menghidrolisis protein, lemak, sellulosa, lignin dan polisakarida lain, sehingga bahan
yang difermentasi akan mempunyai daya cerna yang lebih tinggi, selama proses fermentasi terjadi pertumbuhan kapang, selain dihasilkan enzim juga dihasilkan protein ekstraseluler dan protein hasil
metabolisme kapang sehingga terjadi peningkatan kadar protein. Fermentasi akan meningkatkan Total Digestible Nutrien TDN dari bahan menjadi 70 Serli et al., 2012.
Pertumbuhan mikroba yang baik akan menyebabkan kecernaan pakan juga menjadi lebih baik Zein, 2009. Kandungan lignin pada kulit buah kakao fermentasi rendah disebabkan karena perlakuan
fermentasi dengan urea mampu melonggarkan ikatan lignin selulosa sehingga lebih mudah dicerna oleh mikroba rumen dan fermentasi dapat meningkatkan kandungan protein yang tinggi Nguyen et
al., 2001; Granzin Dryden, 2003. Dibawah ini terlihat perbandingan nutrisi pada setiap perlakuan yang diberikan:
250,00 270,00
290,00 310,00
330,00 350,00
370,00 390,00
1 2
3 4
5 6
7 Kontrol
JF _+ BIS
89
Tabel 1. Kualitas pakan yang diberikan peternak kontrol=Perlakuan I
Bahan Jumlah kg
BK TDN
PK Rumput lapang
15,0 -
49.65 6.69
Dedak padi 1,0
91,3 55,5
10 Sumber : Wirdahayati 2012.
Tabel 2. Perlakuan II= Pakan demonstrasi Jerami Fermentasi + BIS
Bahan Jumlah kg
BK TDN
PK Jerami fermentasi
10 50
43,2 11
BIS 2,0
92.5 67.4
14.1 Mineral
0,01 -
- -
Sumber : Wirdahayati 2012.
Pada Tabel 1 dan 2 terlihat bahwa perlakuan II memiliki protein ransum dan TDN lebih tinggi lebih tinggi dibandingkan perlakuan I. Kandungan ini telah diatas rata-rata kebutuhan pokok
pertumbuhan sapi potong yang terdapat pada Tabel 3. Menurut Kearl 1982, kebutuhan pakan untuk hidup pokok dan pertumbuhan sapi potong
dengan berat badan seperti yang disajikan dalam Tabel 3. Tabel 3. Kebutuhan Pakan Untuk Hidup Pokok.
Berat Badan kg BK Kg
TDN Protein g
250 6,2
3,3 564
300 7,1
3,8 604
Sumber: Kearl 1982.
Efesiensi Biaya Pakan
Keuntungan penggunaan pakan berbasis pakan lokal seperti jerami fermentasi dan BIS, selain meningkatkan pertumbuhan berat badan ternak sapi potong juga dapat menekan tingkat efesiensi biaya
pakan. Sumberdaya pakan lokal seperti limbahsisa pertanian umumnya belum dimanfaatkan secara optimal, pada lokasi penelitian belum terlalu diperhatikan masyarakat untuk dijadikan pakan ternak
sehingga harganya masih relatif murah. Pada tabel dibawah ini menunjukkan tingkat efesiensi biaya pakan pada masing-masing perlakuan.
Tabel 5. Perbandingan Tingkat Efesiensi Biaya Pakan Pada Masing-Masing Perlakuan.
Bahan Pakan Kelompok I
Kelompok II Biaya Rp
Jumlah kg Biaya
Rp Jumlah kg
Jerami FermentasiJF -
- 3000
10 Rumput Lapang
10.000 15
Dedak padi 2.000
1 -
- BIS
- -
3000 2
Mineral -
- 150
0.01 Harga pakan Rp
12.000 6.150
Sumber : Data Primer 2012.
Hasil penelitian Roswita, dkk 2011 menunjukan bahwa dalam budidaya ternak, pertambahan berat badan sapi baru mancapai 0,4-0,5 kgekorhari dengan biaya pakan yang cukup tinggi yaitu Rp
10.000,-ekorhari. Tetapi dengan pemanfaatan sumberdaya lokal biaya untuk kebutuhan pakan dapat lebih ditekan. Biaya pakan dengan penggunaan jerami fermentasi dan BIS hanya sebesar Rp. 6.150
sedangkan biaya pakan yang biasa diberikan dengan pola petani sebesar Rp. 12.000. data ini membuktikan bahwa dengan penggunaan pakan berbasis bahan pakan lokal seperti jerami fermentasi
dan bungkil inti sawit mampu menekan efisiensi biaya pakan sebesar Rp. 5.850. Hal ini disebabkan karena limbah dari pabrik sawit yaitu BIS dengan kandungan protein yang tinggi dapat diperoleh
dengan harga yang relatif murah yaitu Rp. 1500kg dapat kita gantikan dengan dedak yang relatif lebih mahal Rp. 2000kg. Sementara hijauan yang relatif lebih mahal dapat kita subsitusi dengan jerami padi
yang difermentasikan.
90
KESIMPULAN
1. Pertambahan berat badan harian ternak, berat badan menggunakan kontrol 0,25 kghr dan penggunaan Jerami fermentasi dan BIS 0,65 kghr.
2. Biaya pakan dengan penggunaan jerami fermentasi dan BIS hanya sebesar Rp. 6.150 sedangkan kontrol sebesar Rp. 12.000. Ini mampu menekan efisiensi biaya pakan sebesar Rp. 5.850.
DAFTAR PUSTAKA
Bamualim, A., Y. Hendri, Wirdahayati R.B., H. Surya, Aguswarman, Sadar, Ratna A.D., J.M. Muis, R. Wahyuni, Agusviwarman, Nasril dan Supriyadi. 2011. Kajian pemanfaatan nilai jual
sapi lokal 40 dengan perbaikan kualitas dan kuantitas pakan berbasis sawit di Sumatera Barat. Laporan hasil pengkajian BPTP Sumatera Barat TA 2011.
Diwyanto, K dan Haryanto, B. 2001. Importance of integration in sustainable farming system. International Seminar : Integration of Agricultural and Environmental Policies in an
Environmental Age. August 20-25 KREIFFTC-ASPAC. Seoul Korea. Granzin, B.C. G. Dryden. 2003. Effect of alkali, oxidants and urea treatment on the nutritive value
Rhodes grass Chloris gayana. Anim. Feed. Sci. Tech.103: 113 –122.
Husni, S., Agusviwarman, Nirwansyah, Ermidias, Asmak, Nasril. 2009. Laporan Demostrasi dan Ujicoba Teknologi Pakan Sapi Potong Mendukung Kegiatan FMA. Balai pengkajian
Teknologi Pertanian Sumatera Barat. Kearl, L.C. 1982. Nutrient Requirement of Ruminants in Developing Countries. Utah State University
Logan Utah USA. Nguyen, X.T.,C.X. Dan, L.V. Ly, F. Sundstol.2001. Effect of urea concentration, moisture content
and duration of treatment on chemical composition of alkali treated rice straw. Livest. Res.
Rural. Develop.10
1. [diakses
pada situs
http:www.cipav.org.colrrdlrrd101trac101.htm]. Roswita, R., N. Hasan, Hayani, I. Manti, I. Rusli, Buharman, Aryunis, Syafril. 2010. Laporan Studi
Dampak dan Pengukuran Indikator FEATI. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Barat.
Serli dan kawan-kawan, 2011. Kajian pemberian pakan kulit kakao fermentasi terhadap pertumbuhan sapi bali. Jurnal Agrisistem, Vol. 7 No. 2, Desember 2011.
Wirdahayati, dkk. 2012. Pengkajian Teknologi Surge Feeding Pada Induk Sapi Potong Berbasis Pakan Lokal Mendukung Program Kredit Usaha Pembibitan Sapi Kups Di Sumatera Barat.
Laporan hasil pengkajian BPTP Sumatera Barat TA 2012. Wirdahayati R.B., Y. Hendri, A. Bamualim, Ratna A.D., J.M. Muis, R. Wahyuni, Ermidias dan
Asmak. 2011. Inovasi teknologi peternakan sapi dengan pakan suplemen by-produk agro industri sawit dan jagung mendukung program Pemda Sumatera Barat satu Petani Satu
Sapi SPSS. Laporan hasil pengkajian BPTP Sumatera Barat TA 2011. Wirdahayati R.B. dan A. Bamualim 2006. Profil Peternakan Sapi dan Kerbau di Propinsi Sumatera
Barat. Prosiding Seminar Nasional Peternakan BPTP Sumatera Barat. Yanovi. H, P. Yufdi, dan Azwir K. 2011. Pengaruh pemberian pakan suplemen kulit kakao
fermentasi terhadap pertambahan beratbadan sapi persilangan simental. Prosiding Seminar Nasional Pengkajian dan Diseminasi Inovasi Pertanian Mendukung Program
Strategis Kementerian Pertanian Buku 1, Cisarua, 9-11 Desember 2010. Zain, M. 2009. Substitusi rumput lapangan dengan kulit buah coklat amoniasi dalam ransum domba
lokal. J.Media Peternakan 32: 47 –52.
91
PEMANFAATAN BAHAN LOKAL DALAM MENINGKATKAN KUALITAS TELUR AYAM BURAS
USE OF LOCAL MATERIALS IN IMPROVING THE QUALITY OF NATIVE CHICKEN EGGS Nyoman Suyasa dan IAP. Parwati
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali By Pass Ngurah Rai Pesanggaran - Denpasar
Email : n.suyasayahoo.com
ABSTRAK
Kebutuhan daging dan telur akan terus meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk. Sebagai sumber protein hewani,daging, telur dan susu memiliki kandungan protein dan nilai biologis
yang tinggi. Salah satu komoditas ternak yang mempunyai prospek cukup bagus dan mampu memberikan sumbangan pada penyediaan pangan bergizi adalah ayam buraslokal. Masyarakat
biasanya memelihara ayam buras sebagai sumber pangan keluarga, baik untuk telur ataupun daging serta sebagai tabungan yang sewaktu-waktu dapat diuangkan. Dagingnya yang enak dan telurnya yang
legit dan memiliki kandungan protein yang tinggi sehingga sangat disukai masyarakat. Permasalahan utama dalam budidaya ayam buras adalah mahalnya harga pakan dan seringnya terjadi penolakan telur
ayam buras karena kualitas yang kurang standar. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan kualitas telur ayam buras dengan substitusi bahan lokal. Penelitian dilakukan di desa Jehem,
kecamatan Tembuku kabupaten Bangli. Menggunakan 160 ekor ayam buras yang dipelihara secara intensif. Pemberian bahan lokal sebagai substitusi pakan bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan
menjaga produktivitas tetap stabil. Penelitian menggunakan ayam buras dengan menambahkan bahan lokal kedalam pakan dengan persentase yang berbeda beda. Produktivitas tertinggi dicapai oleh P1
dengan 59,32 dan berbeda nyata P0,05 dengan perlakuan yang lain dan produktivitas terendah dicapai oleh P0 dengan 49,89. Dari bobot telur yang dihasilkan tidak ada perbedaan yang nyata
P0,05 diantara perlakuan dimana P0 ; P1 ; P2 ; dan P3 masing-masing bobot telur mencapai 43,22 ; 43,23 ; 42,28 dan 41,99 grambutir. Skor warna kuning telur tertinggi dicapai oleh P3 dengan nilai
7,90 dan berbeda nyata P0,05 dengan P0 ; P1 dan P2 yang hanya memperoleh skor nilai masing- masing 7,40 ; 7,00, dan 7,60. Pemberian bahan lokal mampu meningkatkan kualitas telur dan menjaga
kestabilan produktivitas.
Kata kunci ; Ayam buras, pakan lokal, produktivitas, kualitas telur
ABSTRACT
Demand for meat and eggs will continue to increase in line with population growth. As a source of animal protein, meat, eggs and milk protein content and high biological value. One of livestock
commodities that have pretty good prospects and able to contribute to the provision of nutritious food is native chicken. People usually maintain chicken as a source of family food, either for eggs or meat
as well as the savings that can be cashed at any time. The meat is tasty and the eggs are sticky, and has a high protein content that is very appreciated by the public. The main problem in the cultivation
of domestic poultry is the high price of feed and the frequent rejection of native chicken eggs because of poor quality standardsThe purpose of this research is to improve the quality of substitution native
chicken eggs with local ingredients. The study was conducted in the village Jehem, district Tembuku Bangli regency. Using 160 native chickens are reared intensively. Giving local materials as
substitutes for feed aimed at improving quality and keeping productivity remains stable. Research using native chicken by adding local ingredients into the feed with different percentages.The highest
productivity is achieved by P1 with 59.32 and significantly different P 0.05 with other treatments and the lowest productivity achieved by P0 with 49.89. From the weight of eggs produced no
significant differences P 0.05 among treatments where P0; P1; P2; and P3 each egg weight reaches 43.22; 43.23; 42.28 and 41.99 g item. The yolk color highest score achieved by P3 with a
value of 7.90 and was significantly different P 0.05 with P0; P1 and P2 have only obtained a score value of 7.40 each; 7.00, and 7.60. Giving local ingredients can improve egg quality and safeguarding
the stability of productivity.
Keyword ; Native chicken, local feed, productivity, quality eggs
92
PENDAHULUAN
Kebutuhan akan daging dan telur ayam buras di Bali sangat tinggi diantaranya untuk konsumsi, bahan pangan olahan dan sarana upacara. Kebutuhan daging dan telur akan terus meningkat
seiring dengan pertambahan jumlah penduduk. Sebagai sumber protein hewani ,daging, telur dan susu memiliki kandungan protein dan nilai biologis yang tinggi. Salah satu komoditas ternak yang
mempunyai prospek cukup bagus dan mampu memberikan sumbangan pada penyediaan pangan bergizi adalah ayam buraslokal, Setioko dan S. Iskandar, 2004. Ayam buras sudah dibudidayakan
sejak lama oleh masyarakat Indonesia terutama yang tinggal di pedesaan dan di daerah-daerah pinggiran kota sub urban. Masyarakat biasanya memelihara ayam buras sebagai sumber pangan
keluarga, baik untuk telur ataupun daging serta sebagai tabungan yang sewaktu-waktu dapat diuangkan. Dagingnya yang enak dan telurnya yang legitdisinyalir memiliki kandungan protein yang
tinggi sangat disukai masyarakat, menyebabkan permintaan akan telur dan daging ayam buras oleh masyarakat terus meningkat. Peranan unggas sebagai penyedia daging dan telur untuk memenuhi
konsumsi protein hewani sangat berarti terutama bagi masyarakat pedesaan. Sumbangan ayam buras terhadap produksi daging nasional sebesar 11,07 atau sebesar 259,9 ribu ton,sedangkan kontribusi
produksi terhadap daging unggas sebanyak 16,9 Dirjen PKH, 2010 dalam Iskandar, et al. 2013. Dilain pihak produksi telur ayam burastahun2010 baru sebanyak 168,9 ribu ton atau 12,3 terhadap
produksi telur secara keseluruhan. Besarnya permintaan akan produk unggas baik dalam bentuk daging maupun telur belum mampu dipenuhi oleh peternak unggas terutama bila permintaan dalam
jumlah besar dan kontinyu. Untuk mengatasi masalah ini perlu dicari berbagai alternatif untuk meningkatkan produktivitas unggas.
Ayamburas salah satu jenis unggas yang keberadaannya tersebar di seluruh daerah di Indonesia. Pada umumnya pemeliharaannya masih dilakukan secara ekstensif tradisional atau secara
diumbar di halaman dan di kebun sekitar rumah, sehingga produktivitasnya rendah. Namun apabila dipelihara secara intensif ayam buras memiliki prospek usaha yang berorientasi agribisnis Diwyanto,
et al.2004.
Ayam buras termasuk salah satu ayam bukan ras dan sering juga disebut sebagai ayam buras Rasyaf, 1995 ; Suyasa et al.2009. Populasi ayam buras di Bali pada tahun 2014 adalah 4.111.438
ekor Disnakkeswan, 2014, menurun bila dibandingkan populasi tahun 2013. Penurunan populasi ayam buras di Bali terjadi karena terjadinya wabah penyakit serta meningkatnya biaya pakan ayam
buras yang terjadi setiap tahun Sinurat,2013, sehingga tidak mampu ditutupi oleh produktivitas yang dihasilkannya. Tetapi besaran angka penurunan populasi dari tiga tahun terakhir semakin
berkurangyaitu sebesar 4,9 pada tahun 2012, 1,5 pada tahun 2013 dan 0,1 pada tahun 2014. Hal itu menunjukkan adanya kegairahan peternak dalam budidaya ayam buras di Bali.
Pemeliharaan ayam umumnya untuk mendapatkan produksi telur serta produksi daging. Dari total produksi telur di Bali sebesar 43.884,22 ton, sekitar 6,77 2.972,85 Ton diantaranya adalah
produksi telur ayam Buras Disnakkeswan Bali, 2014. Sedangkan produksi daging ayam buras tahun 2013 adalah 4.753,03 ton dengan jumlah pemotongan ternak sebanyak 6.172.829. Bagi petani, ayam
buras di Bali memiliki prospek sosial, ekonomi dan budaya yang sangat penting dalam kehidupannya.Telur ayam buras banyak dikonsumsi untuk bahan jamu atau berbagai kebutuhan
upacara serta untuk lauk dalam menu sehari-hari.
Selama ini yang menjadi keluhan peternak ayam buras adalah biaya pakan yang tinggi, yang tidak mampu diimbangi dengan harga jual produksi. Menurut Zainuddin 2004,pada budidaya ternak
ayam secara intensif, pakan merupakan biaya terbesar yang dapat mencapai 70 dari biaya produksi. Oleh karena itu harga bahan baku pakan akan sangat menentukan terhadap biaya produksi. Untuk
memenuhi kebutuhan bahan baku ini sebagian besar masih diimpor, terutama sumber vitamin dan protein seperti bungkil kedelai dan tepung ikan. Sementara bahan baku lokal kebanyakan merupakan
hasil ikutan dari agroindustri, umumnya berkualitas rendah serta kandungan protein dan daya cernanya rendah.
Hal ini menyebabkan banyak peternak yang menurun motivasinya untuk melanjutkan usahanya. Untuk mengatasi masalah pakan tersebut, dapat dilakukan dengan beberapa alternatif,
antara lain : 1 mencari formula ransum baru, untuk menggunakan bahan ransum alternatif yang lebih murah, 2 meningkatkan produktivitas telur, daging dan atau menekan konsumsi pakan, sehingga
dapat menurunkan angka FCR Feed Convertion Ratio atau meningkatkan efisiensi penggunaan pakan Guntoro, et al. 2008.
93
Empon-empon selama ini banyak dimanfaatkan sebagai bahan jamu dan bumbu dapur baik sebagai penyedap masakan ataupun meningkatkan stamina tubuh Zainuddin dan Wakradihardja, 2002
dalam Zainuddin, 2006. Dalam hal ini akan dilakukan pemberian empon-empon jahe dan lengkuas yang akan dicampurkan dalam pakan ayam dengan tujuan mampu meningkatkan stamina ayam dalam
masa-masa stres akibat peralihan musim, cuaca panas atau dingin yang ekstrim atau akibat yang lainnya. Dengan meningkatnya stamina tubuh ternak diharapkan ternak terhindar dari stres dan
dampaknya produktivitasnya tetap stabil. Bahan tersebut dapat dicampur kedalam pakan sebagai feed additive maupun feed suplement yang akan mampu menyebabkan produktivitas menjadi optimal dan
meningkatkan efisiensi pakan serta warna kuning telur lebih orange nilai lebih dari 7 Zainuddin,2006
Disisi yang lain warna kuning telur di pasar modern sangat mempengaruhi harga telur dan sebagai salah satu persyaratan agar telur ayam buras yang dihasilkan dapat diterima. Bunga Margot
Marigold Flower yang memiliki kandungan karoten yang tinggi disinyalir dapat mempengaruhi warna kuning telur yang dihasilkan. Untuk itu dalam kajian ini disubstitusikan juga ekstrak bunga
margot pada pakan untuk meningkatkan kadarwarna kuning pada kuning telur yang dihasilkan.
MATERI DAN METODE
Penelitian dilaksanakan di Desa Jehem, Kecamatan Tembuku Kabupaten Bangli, menggunakan 160 ekor ayam buras umur 4 bulan. Pakan yang digunakan merupakan pakan standar
ayam petelur yang biasa digunakan oleh peternak untuk ayam buras yang dipelihara secara intensif dalam kandang baterry dengan komposisi 25 konsentrat, 35 dedak dan 40 jagung. Dimana
dalam 1 kandang terdapat 1ekor ayam.
Selanjutnya ayam dikelompokan menjadi 4 kelompok berdasarkan perlakuan pakan yang diberikan. Masing-masing kelompok terdiri dari 40 ekor yang dibagi menjadi 8 ulangan, per ulangan
terdiri dari 5 ekor. Seluruh ayam diberi 4 perlakuan : P0 :
Sebagai kontrol : menggunakan campuran pakan dasar yang sudah biasa diberikan oleh peternak dengan komposisi dikombinasikan dari beberapa bahan lokal yang akan dianalisis
kandungannya di laboratorium agar memenuhi standar nutrisi, P1 : untuk perlakuan dengan menggunakan pakan P0 ditambah dengan1 empon-empon jahe dan
lengkuas,dalam bentuk ekstrak. P2 : perlakuan dengan P1 ditambah 1 ekstrak bunga margot Marigold flower.
P3 : perlakuan ransum dengan P1 ditambah 3 ekstrak bunga margot Marigold flower.
Pakan diberikan sesuai dengan kebutuhan + 80 grekorhari. Semua bahan lokal yang ditambahkan dicampurkan ke dalam pakan dan air minum diberikan secara
adlibitum
Metode Analisis
Dari data-data seperti produksi harian, produktivitas, bobot telur, kualitas kuning telur, dan lainnya yang dikumpulkan akan dilakukan analisis berdasarkan perlakuan yang diberikan. Untuk
pemanfaatan bahan lokal sebagai pakan tambahan untuk meningkatkan kualitas telur ayam buras akan dianalisis menggunakan Rancangan Acak Kelompok RAK dan apabila terbukti berbeda nyata akan
dilanjutkan dengan Uji BNT.
HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Harian Ayam Buras Henday
Produksi harian atau henday merupakan jumlah produksi telur yang dihasilkan oleh seekor ayam dalam jumlah hariyang ditentukan. Data dalam tabel 1 menunjukkan bahwa produksi harian
terendah dicapai oleh P0 yang hanya 50,11 sedangkan produksi harian tertinggi dicapai oleh perlakuan P1 yaitu 59,55 kemudian disusul oleh P2 dan P3 masing-masing memperoleh produksi
harian 54,66 dan 51,59. Produksi harian menunjukkan semakin tinggi persentase henday yang diperoleh menunjukkan semakin sering ayam tersebut bertelur dalam jangka waktu tertentu yang juga
berarti produktivitasnya semakin baik. Apabila dilihat dari jumlah telur yang dihasilkan dalam kurun waktu 120 hari masa produksi, maka diperoleh hasil untuk P0 mampu menghasilkan telur 60,16 butir
94
sedangkan P1 yang tertinggi 72,54 butir untuk P2 dan P3 masing-masing menghasilkan 69,54 dan 61,91 butir. Sedangkan Suwindra, 1982 dalam Prawirodigdo, 2005 menyatakan bahwa diantara
strain ayam lokal memiliki produksi yang bervariasi. Hal ini ditunjukkan pada produksi harian henday ayam sayurburas adalah 41,3 dan Kedu hitam 58,8 serta Nunukan mencapai 50,0
Craswell dan Gunawan, 1982 dalam Prawirodigdo, 2005
Pernyataan Yuwono,1995 dalam Prawirodigdo,2005,bahwa produksi telur ayam buras yang dihasilkan dalam 120 hari mencapai rata-rata 34,10- 40,83 dengan bobot telur mencapai 40,4
– 41,7 grbutir. Produksi telur yang dihasilkan dalam kajian ini masih lebih tinggi bila dibandingkan dengan
hasil yang diperoleh diatas. Hal ini dapat disebabkan karena komposisi pakan yang diberikan berbeda atau adanya penambahan bahan lokal yang dapat menjaga stamina ayam selama berproduksi.
Produktivitas Telur Ayam Buras
Tabel 1. Produksi harian henday dan produktivitas ayam buras yang diamatiselama 120 hari
No Perlakuan
Produksi harian HendayButir
Produksi Harian Henday
Produktivitas 1
P0 60,16
a
50.11 49.89
a
2 P1
72,54
b
59.55 59.32
c
3 P2
69,54
b
54.66 54.66
b
4 P3
61,91
b
51.59 54.07
ab
Keterangan : Data Primer 2015.angka yang diikuti huruf berbeda pada kolom sama menunjukkan perbedaan yang nyata pada uji BNT taraf 5
Produktivitas berarti tingkat produksi yang dicapai oleh ayam tersebut dibagi jumlah hari pengamatan dikalikan 100. Kalau dalam bentuk kandang batery dalam kelompok maka dihitung
berdasarkan jumlah ayam dalam kelompok dan tingkat produksinya dalam kelompok tersebut. Sedangkan produksi harian dalam hal ini adalah jumlah telur yang dihasilkan selama 120 hari masa
produksi, umur 6 bulan sampai 12 bulan awal produksi.
Dari data diatas terlihat bahwa produksi telur ayam perlakuan P1 menunjukkan produksi tertinggi yang mencapai 59,32 tertinggi diantara perlakuan yang lainnya dan berbeda nyata P0,05
dengan kontrol P0. Demikian pula halnya P2 memperoleh produksi 54,66 disusul oleh P3, 54,07 berbeda nyata P0,05 dengan P0. Produktivitas yang dicapai oleh P0 justru produksi yang
terendah yaitu 49,89 yang berarti belum mencapai 50 produktivitasnya, juga boleh dikatakan dari jumlah 160 ekor ayam hanya mampu memproduksi dibawah 80 butir per hari atau 79,82 butir per hari.
Hasil yang dicapai sudah lebih tinggi dari hasil penelitian sebelumnya dimana hasil dari Muryanto 2005 mengungkapkan bahwa produksi telur ayam lokal buras yang dipelihara pada kondisi yang
sama 41,3, dan ayam nunukan 50,0, sedangkan ayam kedu hitam mampu berproduksi sampai 58,8. Data ini juga menunjukkan bahwa ayam buras yang dipelihara secara intensif dengan pakan
standar ayam petelur mampu berproduksi lebih tinggi dibandingkan dengan hasil kajian yang lainnya.
Kualitas Telur Ayam Buras
Selama ini kualitas telur sangat mempengaruhi harga telur di pasaran, apalagi harga telur ayam burasburas. Beda sedikit saja dari warna ataupun bentuk telur akan mempengaruhi daya beli
masyarakat, karena disinyalir telur tersebut bukan telur ayam buras yang asli, karena memang ada beberapa penjual telur yang berusaha mengelabui pembeli dengan menjual telur ayam ras yang
berwarna kecoklatan namun ukurannya kecil sebagai telur ayam buras.
Disamping itu kualitas telur juga ditentukan dari bentuk dan warna kuning telur yang ada di dalamnya. Untuk itu kualitas telur juga menentukan harga dan tingkat pembelian telur, termasuk juga
bobot telur yang kurang konsisten akan mempengaruhi pembeli. Sehingga telur yang memiliki bobot seragam akan lebih diminati daripada yang memiliki ukuran yang inkonsisten tidak teratur.
Dilihat dari bobot telur yang diperoleh dari pengamatan selama 120 hari masa bertelur maka bobot telur yang diperoleh dari masing-masing perlakuan adalah : yang tertinggi diperoleh P1 yaitu
43,23 grambutir telur sedangkan yang paling rendah bobotnya adalah P3 41,99 grambutir, sedangkan bobot telur dari perlakuan yang lain P0 dan P2 rata-rata adalah 43,22 ; dan 42,28 grambutir telur
tabel 2 , namun secara statistik tidak berbeda nyata P 0,05 antar perlakuan. Untuk bobot telur ayam buras yang lain seperti ayam Arab Golden atau Arab Merah nama lokal rata-rata adalah 45,3
gram dengan bobot minimal 31 gram dan bobot maksimal telur yang dapat dihasilkan 52 grambutir. Sedangkan ayam MerawangAsean bobot telur minimal adalah 38 gram dan maksimal 45 grambutir
95
sehingga bobot rata-rata telur ayam Merawang adalah 41,5 grambutir Abubakar, et al. 2005. Sedangkan Mansjoer dan Martoyo, 1977 dalam Resnawati dan Bintang, 2005 memperoleh bobot
telur ayam buras berkisar antara 32,75 – 36,96 grambutir. Sepertinya telur ayam buras memiliki bobot
telur yang beragam seperti yang dikemukakan oleh Wihandoyo dan Mulyadi, 1986 dalam Resnawati dan Bintang, 2005 bahwa bobot telur ayam buras yang dipelihara secara tradisional 37,50 grambutir
sedangkan yang dipelihara secara intensif adalah 45,27 grambutir.
Tabel 2. Bobot telur, volume putih, volume kuning telur dan warna kuning telur
Perlakuan Bobot telur gram
Volume Putih Telur ml Volume Kuning
Telur ml Skor Warna Kuning
Telur P0
43,22
a
23,75
a
14,01
a
7,40
b
P1 43,23
a
23,05
a
14,15
a
7,00
b
P2 42,28
a
23,40
a
13,70
a
7,60
ab
P3 41,99
a
23,10
a
13,25
a
7,90
a
KK 8,13
9,12 7,99
20,477 BNT 5
3,17 1,95
1,01 0,006
Keterangan: Data Primer 2015.Angka yang diikuti huruf berbeda pada kolom sama menunjukkan perbedaan yang nyata pada uji BNT taraf 5
Untuk warna telur secara eksterior, penampakan luar telur ayam buras adalah dominan putih hanya perlakuan P3 yang memperoleh warna telur kemerahan 80 sedangkan putih hanya 20
sedangkan 3 perlakuan yang lain P0 dan P2 rata-rata 80 warna telurnya adalah putih sedangkan P1 justru 100 putih. Warna putih sampai kemerahan masih dalam kategori warna telur ayam buras,
apabila warna kemerahan agak pekat mendekati merah biasanya disinyalir sebagai telur ayam ras red leghorn pada awal masa bertelur. Namun warna itu tidak dijumpai pada pengamatan kajian kali ini.
Bentuk telur ayam buras cukup beragam hal ini terlihat dimana hampir semua perlakuan memiliki bentuk telur bulat lonjong oval 80 sedangkan 20 sisanya memiliki bentuk agak lonjong namun
masih dalam kategori normal.
Dari hasil pengamatan jarang dijumpai bentuk telur yang abnormal atau rusak bentuknya. Kebanyakan rusaknya telur karena jatuh atau berbenturan dengan benda keras sehingga pecah. Hal ini
membuktikan bahwa telur yang dihasilkan hampir pasti semuanya laku di pasaran hanya yang pecah dan bobot yang tidak memenuhi standar yang tidak laku untuk dijual ke super market tetapi masih laku
di warung atau pasar tradisional dalam bentuk dijual kiloan.
Dilihat dari hasil pada tabel 2 menunjukkan bahwa volume putih telur pada telur baik pada perlakuan ataupun kontrol tidak berbeda jauh dengan kisaran 20
– 22 ml per butir telur. Sedangkan untuk volume kuning telur terendah dicapai oleh P2 12,55 ml sedangkan tertinggi dicapai oleh P3
13,85 ml. Untuk skor warna kuning telur, terendah dicapai oleh P1 yang hanya mencapai 7,00
sedangkan tertinggi skor warna kuning telur dicapai oleh P3 dengan skor 7,90. Skor warna telur yang dicapai oleh P3 menunjukkan perbedaan yang nyata P0,05 bila dibandingkan dengan perlakuan
yang lainnya. Peningkatan warna kuning telur disebabkan adanya penambahan ekstrak marigold flower yang mengandung karoteboid yang menyebabkan warna semakin terang Vargas, 1998.Skor
warna telur yang dicapai pada ayam ras petelur negeri, mencapai 9,94
– 10,01 Guntoro, et al. 2008. Sedangkan Bintang, et al 2008 memperoleh indek warna kuning telur pada ayam petelur yang
diberikan ampas mengkudu 10 dan 15 hanya mencapai 5,35 dan 5,40 . Pigmen pada telur substansi pigmen terdapat pada semua bagian telur, tetapi sifat kimianya sangat berbeda. Pigmen dalam telur
paling banyak terdapat pada yolk yaitu 0,4 mg, sedang pada albumen 0,03 mg, dan pada bagian yang lain dari telur hanya sedikit. Pigmen yolk merupakan bagian dari telur yang banyak mengandung
pigmen, yaitu 0,02 . Pigmen yolk diklasifikasikan menjadi lipochrome dan liochrome, Arif Santoso, et al. 2013.
Lipochrome merupakan bagian terbesar dari pigmen yolk yang bersifat larut dalam minyak. Pigmen ini termasuk golongan carotenoid yang banyak terdapat dalam tanaman. Carotenoid
merupakan pigmen dari khloroplast yang berwarna merah, oranye dan kuning. Berdasar komposisinya carotenoid terdiri atas carotene dan xanthophylls.Caroten alpha dan beta dan xantophyll
cryptoxanthin, lutein dan zeaxanthin terdapat dalam yolk. Caroten bersifat tidak larut dalam air, asam atau alkali, tetapi larut dalam chloroform dan ether.xanthophylls larut dalam alkohol dan ether,
hanya sedikit larut dalam petroleum ether. Xanthophyl terutama lutein dan zeaxanthin mempunyai
96
intensitas warna dua kali dibandingkan carotene. Pigmen carotenoid dalam yolk sebagian besar dari golongan xanthophylls, perbandingan antara carotene dan xanthophylls adalah 1 : 10, Santoso, et
al.2013 Penambahan feed additive berupa marigold flower atau bunga Margotyang berwarna kuning
– oranye mampu meningkatkan skor warna telur dari rata-rata 7,00menjadi 7,90 walaupun tidak terlalu
tinggi perubahannya namun apabila dilihat secara kasat mata perubahan warna kuning telur akan jelas terlihat warnanya lebih kuning. Vargas 1998 menyatakan penambahan bahan lokal marigold Flower
yang mengandung karotenoid pada pakan ayam menyebabkan warna kuning telur yang dihasilkan semakin terang bila dibandingkan dengan kontrol.
Secara umum dapat dijelaskan bahwa bobot ayam buras yang telah berumur 1 tahun rata- rata memiliki bobot diatas 1 kg, dengan kisaran 1092 gram P sampai 1280 gram P2. Hal ini masuk
kategori bobot ayam buras normal karena Gufron dan Ibrahim 2005 memperoleh bobot ayam buras betina dengan kisaran 1,5
– 1,8 kgekor. Dan bobot telur yang dihasilkan mencapai kisaran 41,80 – 46,74 gram, bobot ini merupakan bobot yang sangat ideal yang dibutuhkan oleh pasar, terutama pasar
modern yang mengutamakan kualitas. Adapun bobot telur yang diterima oleh pasar modern saat ini berkisar 40
– 47 grambutir. Bila dibawah atau diatas kriteria itu maka otomatis telur akan ditolak atau dikembalikan.Wihandoyo, 1981 dalam Resnawati dan Bintang 2005 menyatakan bahwa bobot telur
ayam buras pada masa peneluran ke II mencapai 42,36+4,22 gram. Sedangkan Gufron Dan Ibrahim 2005, memperoleh bobot telur ayam buras dengan kisaran 37,2
– 43,6 grbutir. Wihandoyo dan Mulyadi 1986, dalam Resnawati,dan Bintang 2005, menyatakan rata-rata bobot telur ayam yang
dipelihara secara intensif pada puncak produksi mencapai 45,7 grambutir sedangkan ayam yang dipelihara secara tradisional hanya mencapai 37,50 grambutir.
KESIMPULAN DAN SARAN
Produktivitas ayam buras yang dipelihara intensif dan tanpa diberikan tambahan bahan lokal pada pakan hanya mencapai 49,89 P0, sedangkan yang diberikan tambahan bahan lokal pada pakan
mampu mencapai secara berturut-turut 59,32 P1, 54,66 P2 dan 54,07 P3.
Dengan penambahan bahan baku lokal pada pakan ayam buras, kualitas telur yang dihasilkan masuk kategori normal dan standar yang dikehendaki oleh pasar modern seperti bobot telur 40
– 45 grambutir untuk telur ayam ayam buras, dimana bobot telor yang dihasilkan dalam kajian ini
adalah 41,99 grambutir P3 sampai dengan 44,28 grambutir P4
Penambahan bunga margotmarigold flower dalam ransum mampu meningkatkan kadar kecerahan warna kuning telur, kecerahan warna ini diharapkan akan mampu meningkatkan nilai jual di
pasaran, terutama pasar modern.
Untuk mengetahui tingkat pemberian bahan lokal yang sesuai dengan kebutuhan untuk mencapai kualitas telur yang dibutuhkan perlu dilakukan kajian lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Bakar., Gigih Tri Pambudi dan Sunarto.2005. Performans ayam buras dan biosekuritas di balai pembibitan ternak unggul sapi dwiguna dan ayam. Prosiding Lokakarya nasional
teknologi pengembangan ayam lokal. Pusat Penelitian dan Pengembangan Ternak dan Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang. Hal. 61 - 65
Bintang., I.A.K. ; Sinurat.A.P. dan Purwadaria.T. 2008. Penambahan antibiotika dan bioaktif ampas mengkudu terhadap kualitas telur ayam. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner.Hal
593-596 Disnakkeswan Prov. Bali. 2014. Informasi data peternakan di provinsi bali tahun 2014. Dinas
Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali. Denpasar.Hal 12-13 Diwyanto, K dan Handiwirawan, E. 2004. Peran litbang dalam mendukung usaha agribisnis pola integrasi
tanaman-ternak. Prosiding Seminar Nasional Sistem integrasi tanaman ternak. pusat penelitian dan pengembangan peternakan bekerjasama dengan Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian BPTP Bali. Desmayati, Z. 2006. Tanaman obat meningkatkan efisiensi pakan dan kesehatan ternak
unggas. Prosiding lokakarya nasional. Inovasi teknologi dalam mendukung usaha ternak unggas berdaya saing. Semarang, 4, 202-209.
97
Guntoro,S., N. Suyasa., Rai Yasa.I.M., Dinata, A.A.B.S. 2008. Pemanfaatan probiotik bio l pada ayam ras petelur dan babi untuk meningkatkan produktivitas. Laporan Bappeda Provinsi
Bali.Hal 12 - 18 Gufron, AR, LM Dan Ibrahim.T. M, 2005. Potensi ayam tukong sebagai ayam lokal di kalimantan
barat. Prosiding lokakarya nasional teknologi pengembangan ayam lokal. Pusat Penelitian dan Pengembangan Ternak dan Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang.
Hal. 196-203 Hidayat,Cecep. Iskandar.S. Dan Sartika.T. 2011.Respon kinerja perteluran ayam buras unggul
balitnak kub terhadap perlakuan protein ransum pada masa pertumbuhan. JITV Vol. 16 No. 2 Th. 2011: 83-89
Iskandar, S. 2005. Pertumbuhan Ayam-Ayam Lokal Sampai Dengan Umur 12 Minggu pada Pemeliharaan Intensif. Prosiding lokakarya nasional teknologi pengembangan ayam
lokal. Pusat Penelitian dan Pengembangan Ternak dan Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang. Hal. 132-135.
Prasetyo, L. H., Ketaren, P. P. 2013. Interaksi antara bangsa itik dan kualitas ransum pada produksi dan kualitas telur itik lokal. JITV, 182.
Prawiridigdo, S. 2005. Urgensi Evaluasi Bahan Pakan Asli Indonesia Sebagai Pilar Utama Untuk Menopang Usaha Ayam Lokal. Prosiding lokakarya nasional teknologi pengembangan
ayam lokal. Pusat Penelitian dan Pengembangan Ternak dan Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang...Hal. 149
– 154. Resnawati, H dan Bintang.Ida AK. 2005. Produktivitas Ayam Lokal yang Dipelihara secara Intensif.
Prosiding lokakarya nasional teknologi pengembangan ayam lokal. Pusat Penelitian dan Pengembangan Ternak dan Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang..Hal.
121 - 124 Santoso A, Ning Iriyanti, Tri Rahardjo S. 2013. Penggunaan Pakan Fungsional Mengandung Omega 3,
Probiotik Dan Isolat Antihistamin N3 Terhadap Kadar Lemak dan Kolesterol Kuning Telur Ayam Buras. Jurnal Ilmiah Peternakan 13: 848-855.
Setioko, A.R dan Iskandar.S 2005. Review hasil-hasil penelitian dan dukungan teknologi dalam pengembangan ayam lokal. Prosiding lokakarya nasional teknologi pengembangan ayam
lokal. Pusat Penelitian dan Pengembangan Ternak dan Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang.Hal. 10-16
Sinurat, A. P. 2013. Penggunaan Bahan Pakan Lokal Dalam Pembuatan Ransum Ayam Buras. JITV, 182.
Suyasa, N., Parwati, I.A. dan Guntoro, S. 2009. Peningkatan produktivitas ayam bali super yang dipelihara secara intensif. Prosiding seminar universitas politeknik lampung. Hal 125-128
Vargas,F. D.O. Parede Lopez. 1998. Effects of sunlight illumination of marigold flower meals on egg yolk pigmentation.J. Agric. Food Chem., 1998, 46 2, Pp 698
–706
98
PENGARUH PEMBERIAN PROBIOTIK PADA KARKAS DAN POTONGAN BAGIAN KARKAS PADA AYAM BURAS
PROBIOTICS GIVING EFFECT ON CARCASS AND EXTRACTS FROM THE CARCASS OF NATIVE CHICKEN
Ida Ayu Parwati dan N. Suyasa
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali Jl. By Pass Ngurah Rai, Pesanggaran, Denpasar Telp 0361720498
dayuparwatiyahoo.com
ABSTRAK
Penelitian dilakukan di desa Tangkas, Kecamatan Klungkung, Kabupaten Klungkung tahun 2015.Sebagai suatu lanjutan dari pengkajian budidaya ayam lokal pengamatan kualitas karkas
merupakan hal yang cukup penting terutama dalam upaya penyediaan informasi teknis yang dapat dijadikan gambaran potensi ayam lokal, sehingga mendorong berkembangnya usahatani ayam lokal
sebagai suatu komoditas nasional yang harus dikembangkan.Probiotik digunakan sebagai bahan pakan tambahan dalam ransum ayam buras, mengandung mikroba hidup, keberadaannya memperbaiki
keseimbangan mikroorganisme dalam saluran pencernaan berfungsi meningkatkan daya tahan tubuh terhadap serangan penyakit serta memperbaiki mutu karkas ayam. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui produksi karkas dan potongan bagian karkas ayam yang diberi ransum mengandung probiotik. Ayam yang digunakan dalam penelitian ini adalah ayam Kampung Unggul Badan Litbang
KUB, sebanyak 90 ekor, umur sehari sampai umur 14 minggu,dibagi kedalam 3 perlakuan pakan P0 : pakan sesuai petani ; P1 :kosentrat 25, jagung40 dan dedak35; P2 : seperti P1 + Bio B 2
cc1 liter air ; jumlah pemberian 50-70 gekorhari. Setiap perlakuan diulang tiga kali dan setiap ulangan berisi 10 ekor anak ayam campuranjantan dan betina. Pada 14 minggu dari masing-masing
ulangan dipilih secara acak seekor ayam jantan dan seekorayam betina untuk disembelih, kemudian diukur karkas dan potongan karkasnya. Hasil penelitian menunjukkan pemberian probiotik
memberikan pengaruh nyata P0,05 terhadapkarkas utuh ayam62 x 56,namun tidak berpengaruh nyata P0,05 terhadap potongan bagian karkas. Sedangkan untuk non karkaskelompok
ayam yang diberi probiotik, berat dari organ-organ non karkas beratrempela, hati serta lemak abdomen dan lain-lain lebih ringan P0,05 dari kelompok ayam yang tidak diberikan probiotik64,20
g x 74,53g.
Kata Kunci : probiotik, karkas, ayam buras
ABSTRACT
As a continuation of the observation range chicken farming assessment carcass quality is quite important, especially in the provision of technical information that can be used as a picture of the
potential of domestic poultry, so as to encourage the development of domestic poultry farming as a national commodity that must be developed. Probiotics are used as supplemental feed material in
domestic poultry rations, contain microbial life, its existence to redress the balance of microorganisms in the digestive tract works to increase body resistance to disease and improving the quality of chicken
carcasses. This study aims to determine the production of carcasses and carcass parts pieces chickens fed rations containing probiotics. Chickens used in this study is the chicken Kampung Unggul
Research Agency KUB, as many as 90 tails, day old until the age of 14 weeks, divided into 3 treatment P0 feed: feed according farmer; P1: concentrate 25, corn 40 and bran 35; P2: As
P1 + Bio B 2 cc 1 liter of water; the amount of the provision of 50-70 g head day. Each treatment was repeated three times and each test contains 10 chickens a mix of males and females. At 14 weeks
of each replicate randomly selected a rooster and a hen slaughtered, then measured the carcasses and carcassescuts. The results showed probiotics significant effect P 0.05 on whole chicken carcasses,
but not significant P 0.05 of the pieces of carcass. As for the non-carcass chickens fed the probiotic group, the weight of non-carcass organs severe head, gizzard, liver and abdominal fat and others
lighter P 0.05 than the group that was not given probiotics chicken.
Keywords: probiotics, carcass, native chicken
99
PENDAHULUAN
Sebagai suatu lanjutan dari pengkajian budidaya ayam buras, pengamatan kualitas karkas merupakan hal yang cukup penting terutama dalam upaya penyediaan informasi teknis yang dapat
dijadikan gambaran potensi ayam buras, sehingga mendorong berkembangnya usahatani ayam buras sebagai suatu komoditas nasional yang harus dikembangkan. Ayam buras merupakan komoditas
andalan danmempunyai masa depan yang cukup menjanjikan, baiksecara ekonomi maupun sosial, karena ayam burasmampu mensuplai kebutuhan pangan bergizitinggi berupa daging dan telur
Iskandarat et.al., 2010. Jenis produk yangdihasilkan tersebut dapat memenuhi kebutuhankonsumsi semua lapisan masyarakat dengan harga yangrelatif lebih tinggi daripada produk ayam ras. Ayamburas
juga mempunyai daya serap pasar yang cukupbesar untuk memenuhi kebutuhan masyarakat lokal Iskanda.2012.
Pangsa pasar nasional untuk daging dan telur ayam burasmasing-masing mencapai 40 dan 30. Hal ini dapat mendorong peternak kecil danmenengah untuk mengusahakan ayam buras sebagai
penghasil daging dan telur Rohaeni et. al., 2004. Berdasarkan data statistik dari DirektoratJenderal Peternakan, populasi ayam Kampung pada akhir tahun 2009 sebesar 249,963,499 ekor
Ditjennak,2010. Untuk meningkatkan populasi, produksi,produktivitas, dan efisiensi usahatani ayam buras, pemeliharaannya perluditingkatkan dari tradisional ke arah agribisnis Zakaria, 2004.
Keberhasilan dari usaha ayam buras yang dipelihara secara intensif sangat tergantungpada ketersediaan bahan pakan murah, danmampu memenuhi kebutuhan zat nutrisi ayamburas. Namun
ketergantungan ternak unggasterhadap bahan baku pakan impor, telahberdampak pada tingginya biaya produksi Akhadiarto,2010.Berdasarkan analisis ekonomi diketahui bahwapenggunaan bahan pakan
lokal sebagai penggantibahan pakan impor memberikan kontribusi besardalam pengembangan peternakan nasional,khususnya ternak unggas. Ada beberapa kendalapenggunaan bahan pakan lokal
yang perludiperhatikan, seperti kualitas yang rendah danketersediaan yang tidak kontinyu, sehingga perludicarikan pemecahan.
Salah satu metode yang dapat digunakan untukmeningkatkan nilai kegunaan pakan adalahmelalui “feed additive” imbuhan pakan Daudetal., 2007.Beberapa feed additive seperti
hormon danantibiotik antibiotic growth promotor atau AGPtelah dilarang penggunaannya di negara majutermasuk Indonesia, karena terkait dengan isuglobal peternakan unggas saat ini, yaitu keamanan
pangan hewani dari adanya cemaran dan residuyang berbahaya bagi konsumen, resistensi bakteritertentu dan isu lingkungan.Adanya dampak negatif dari penggunaan AGP,maka para ahli
mulai mencari penggantinya yangdifokuskan pada bahan-bahan alami, sepertimikroba. Kelompok dari mikroba-mikroba tersebutdiberi istilah probiotik, yaitu mikroorganisme yangmenguntungkan.
Menurut Kompiang 2006,probiotik adalah mikroba hidup atau sporanyayang dapat hidup atau berkembang dalam ususdan dapat menguntungkan inangnya, baik secaralangsung maupun tidak
langsung. Penggunaan probiotik sebagai bahan pakantambahan untuk meningkatkan pertambahan bobotbadan, konversi pakan dan kesehatan ternakmerupakan alternatif yang amankarena aktifitasnya
dalam mendukungperkembangan mikroba yang menguntungkan danmenekan pertumbuhan bakteri patogen dalamsaluran pencernaan.
Tujuan produksi pada peternakan ayam adalah telur dan karkas daging, sedangkan karkas adalah ayam yang sudah dipotongbersih tanpa kepala, cakar dan jeroan hati,jantung, ginjal, rempela,
usus. Berat karkasmerupakan gambaran dari produksi daging dariseekor ternak dan pengukuran berat karkasmerupakan suatu faktor yang penting dalammengevaluasi hasil produksi ternak.
Dengansemakin beratnya karkas, maka keuntunganpeternak akan semakin bertambah.Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahuiperanan dan efektivitas pemberian probiotik, dalam ransum
sertapengaruhnya terhadap karkas dan potongan karkas pada ayam buras.
100
METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan dikelompok tani Satia Winangun, desa Tangkas, Kecamatan Klungkung, Kabupaten Klungkung, tahun 2015. Menggunakan 90 ekor ayam Kampung Unggul Badan Litbang
KUB umur sehari sampai umur 14 minggu. Perlakuan pemberian ransumdisusun menurut pola pembesaran ayam ras petelur,yaitu masa pemula starter mulai dari 1 hari sampaidengan 6 minggu,
kemudian dilanjutkan masapertumbuhan grower sampai dengan umur 14 minggu. Jenis dan komposisiransum dan jumlah pemberian yang dibeikan disajikan dalamTabel 1.Penelitian dibagi
kedalam 3 perlakuan pakan. Setiap perlakuan diulang tiga kali dan setiap ulangan berisi 10 ekor anak ayam campuran jantan dan betina. Pada 14 minggu dari masing-masing ulangan dipilih secara acak
seekor ayam jantan dan seekor ayam betina untuk disembelih, kemudian diukur karkas dan potongan karkasnya. Adapun perlakuan adalah sebagai berikut :
P0 : pakan sesuai cara petani sebagai pembanding
P1 : kosentrat, jagung dan dedak dengan perbandingan 25:40:35 sebanyak 50-70 gramekorhari mengacu pada kajian ayam buras bali pada tahun 2009. Sedangkan air minum
diberikan secara ad- libitum. P2 : seperti P1 + Probiotik 2 cc1 liter air
Probiotik yang digunakan khusus untuk ternak non ruminansia, diproduksi oleh BPTP Bali, cara pemberian yaitu ditambahkan kedalam air minum sebanyak 2 cc per 1 liter air minum.
Parameter yang diamati adalah: berat hidup,berat karkas,berat potongan bagian karkas paha,
betis, sayap, berat non karkas.Rancangan penelitian yang digunakan adalahRancangan Acak Lengkap RAL yang terdiri dari 3 perlakuan dan 3 ulangan. Data yang diperoleh dianalisisdengan
menggunakan sidik ragam Analisis ofVariance dan apabila terdapat perbedaan diantaraperlakuan dilanjutkan dengan Uji Duncan’s MultipleRange Test menurut STEEL dan TORRIE 1993.
Tabel 1. Pemberian jenis dan jumlah ransum yang diberikan pada ayam pengkajian
Sumber : Data Primer 2015
Tabel 2. Kandungan gizi pakan pada fase grower
No. Sampel Bk Abu
BO LK
PK SK
GECalg
1. P0
91,1815 9.4239
90.5761 4.1867
20.0156 25.0050
2322.1136 2
P1 91.2610
10.4250 89.5750
2.8959 19.0021
27.1169 2108.7538
3. P2
91.1256 11.4167
88.5833 2.6534
19.8875 24.9220
2492.0072 Sumber : Analisis Lab UNUD 2015
Perlakuan Umur 0-5 minggu
Umur 6-14 minggu Jenis Ransum
Jumlah gekor Jenis Ransum
Jumlah gekor P0
Konsentrat 10
Konsentrat 15
Jagung 20
Dedak 15
P1 Konsentrat
7,5 Konsentrat
12,5 Dedak
2,5 Jagung
20 Dedak
17,5 P2
Konsentrat 15
Konsentrat 12,5
Dedak 5
Jagung 20
Bio B 1 cc1 lt
Dedak 17,5
Bio B 2cc1ltr air
101
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karkas unggas merupakan bagian tubuh yang tersisa setelah dilakukan penyembelihan, pembuluan, dan pembuangan jeroan, serta pemotongan kaki, kepala, dan leher Saifudin, 2000.
Perbandingan bobot karkas terhadap bobot hidup atau dinyatakan sebagai persentase karkas sering digunakan sebagai ukuran produksi. Komponen karkas terdiri atas otot, lemak, kulit, dan tulang yang
memiliki kecepatan tumbuh yang berbeda-beda.
Dari data pada Tabel 3 terlihat bahwa sampaidengan umur 14 minggu, perlakuan P0 cara petani yang memberikan ransum dengan kandungan lebih tinggi dari P1 Tabel 1 memberikan berat
karkas utuh dan berat dada lebih tinggi P0,05 namun tidak berbeda nyata P0,05 dengan potongan karkas bagian paha, betis dan sayap. Untuk perlakuan P2, yang menambahkan probiotik
kedalam air minum sebanyak 2 cc1 liter air minum memberikan bobot paling tinggi dan secara significan memberikan pengaruh nyata pada berat karkas utuh dan berat punggung P0,05 demikian
juga pada berat paha, betis dan sayap. Sedangkan dari persentase karkas, penambahan probiotik kedalam air minum P2 memberikan persentase karkas tertinggi walupun secara statistik tidak
berbeda nyata P0,05. Hasil penelitian ini lebih tinggi dari hasil penelitian Arief 2000 yang mendapatkan rataan persentase bobot karkas ayam Kampung umur 6 minggu dengan pemberian
ransum kombinasi pollard dan duckweed sebesar 56,63-58 sedangkan pada umur 12 minggu berkisar antara 66,49-69,35. Demikian juga hasil ini lebih tinggi dari hasil penelitian Dadan 2004 yang
mendapatkan persentase karkas ayam Kampung umur 9 minggu yang diberi ransum bungkil intisawit berkisar antar 58,05-59,67.
Hasil dari perlakuan P2 yaitu penambahan probiotik kedalam air minum hampir sama dengan hasil penelitian Kurniawan 2011 yang memberikan BBJP Jatropha Curcas L terfermentasi
Rhizopus Oligosporus sampai 12,5 ditambah enzim fitase dan selulosa memberikan bobot karkas sebesar 774 g dengan persentase karkas sebesar 62. Hal ini disebab karena penambahan probiotik
kedalam air minum ayam mampu meningkatkan daya cerna ayam sehingga mampu mencerna nutrisi yang ada pada ransum lebih baik dari ayam yang tidak diberikan probiotik, hal ini didukung oleh
penelitian Parwati et.al. 2016, bahwa pemberian probiotik menyebabkan meningkatnya metabolisme tubuh karena Probiotik merupakan mikroorganisme yang hidup dalam makanan yang memiliki efek
menguntungkan dalam tubuh dengan meningkatkan keseimbangan mikrooorganisme dalam saluran pencernaan.
Tabel 3. Bobot dan Persentase karkas utuh, potongan karkas bagian dada, paha-betis dan sayap ayam
KUB sampai dengan umur 14 minggu
Perlakuan Karkas Utuh
dada Punggung
Paha atas Paha Bawah
Sayap P0 g
715,10
b
230,70
b
130,05
a
134,63
a
112,43
a
107,30
a
56,00 32,00
18,00 19,00
16,00 15,00
P1 g 695,00
a
208,75
a
145,00
b
123,75
a
117,50
a
100,00
a
59,00 30,00
21,00 18,00
17,00 14,00
P2 g 893,08
c
247,25
b
195,63
c
159,60
b
159,63
b
130,98
b
62,00 28,00
22,00 18,00
18,00 15,00
Sumber : Data Primer diolah2015 Keterangan : Superskrip yang sama pada kolom yang sama menunjukanperbedaan yang tidak nyata P0,05
dan superskrip berbeda padakolom yang sama menunjukan perbedaan yang nyata P0,05
Merkley et al. 1980 membagi karkas menjadi lima bagian besar potongan komersial yaitu dada, sayap, punggung, paha atas, dan paha bawah. Dada merupakan bagian dari tubuh yang paling
banyak dagingnya. Potongan komersil punggung 15 adalah bagian karkas yang dipotong pada batas persendian tulang belikat yang berbatasan dengan tulang dada sampai dengan batas persendian tulang
paha kiri dan paha kanan. Sayap dipisahkan dari karkas pada persendian bahu. Potongan komersial paha atas adalah bagian karkas yang dipotong sepanjang persendian tulang paha yaitu dari persendian
coxae sampai lutut. Potongan komersial paha bawah adalah bagian karkas yang dipotong dari sendi lutut sampai intersica Bahij, 1991.
Hasil penelitian terhadap bobot dan persentase potongan karkas, pemberian probiotik tidak mempengaruhi persentase potongan bagian karkas P0,05, dari ketiga perlakuan hasilnya dapat
dilihat pada Tabel 3. Rata- rata persentase potongan dada, punggung, paha atas, paha bawah dan sayap pada ayam KUB umur 14 minggu berturut-turut sebesar 30 ; 20,33; 18,33; 17 dan
14,66, hasil penelitian ini hampir sama dengan hasil yang didapat oleh Hapsari 2004 pada ayam
102
kampung umur yang sama14 minggu, dimana hasil yang didapat pada potongan komersial karkas ayam kampung yang terdiri dari dada, punggung, paha atas, paha bawah dan sayap berturut-turut
23,49, 25,7, 18,11, 18,32 dan 14,11. Hasil ini didukung oleh penelitian Kurniawan 2011 bahwa pemberian pakan yang ditambahkan enzim fitase dan selulosa tidak berpengaruh nyata
terhadap persentase potongan bagian karkas ayam kampung.
Untuk bobot non karkas, bobot jeroan, dalam hal ini merupakan bobot total oesophagus, tembolok, proventriculus, rempela, usus, hati, caeca dan colon, yang relatif bersih dari pakan dan sisa
pencernaan. Bobot jeroan dipengaruhi oleh kandungan protein dalam ransum Iskandar, et.al. 2010.Lebih lanjut dikatakan bobot jeroan ayam yang diberi pakan dengan kandungan protein rendah
cenderung mempunyai bobot lebih tinggi. Hal ini kemungkinandisebabkan oleh lebih banyaknya kandungan lemak yang terkumpul di sekitar usus, rempela bahkan hati dibandingkan dengan jeroan
ayam yang diberi kandungan protein yang lebih tinggi. Hasil penelitian disajikan pada Tabel 4. Hasil menunjukkan perlakuan P2 yaitu kelompok ayam yang diberikan probiotik kedalam air minum,
memiliki bobot jeroan, bobot hati, bobot rempela dan lemak abdomen lebih rendah P0,05 dari pada kelompok ayam yang tidak ditambahkan probiotik kedalam air minumnya. Peneltian ini
didukung oleh Sukadaet.al 2005 menyatakan bahwa melalui proses fermentasi dengan ragi tape pada pollard, kulit ari kacang kedelai, dan pod kakao sebelum diberikan pada itik dapat menurunkan jumlah
lemak abdomen dan kadar kolesterol daging itik, hal ini didukung oleh penelitian Parwati etal., 2016, bahwa pemberian probiotik menyebabkan meningkatnya metabolisme tubuh karena Probiotik
merupakan mikroorganisme yang hidup dalam makanan yang memiliki efek menguntungkan dalam tubuh dengan meningkatkan keseimbangan mikrooorganisme dalam saluran pencernaan. Di samping
itu, probiotik itu sendiribertindak sebagai penyedia protein sel tunggal yang mempunyai nilai gizi tinggi khususnyasebagai penyedia asam amino essensial yang sangat diperlukan dalam sintesis urat
dagingserta mampu meningkatkan kecernaan protein.Dilaporkan juga oleh Sibbald dan Wolynetz l986 dalam Parwati dan Suyasa 2016, bahwa retensi energi sebagai proteinmeningkat dengan
semakin meningkatnya konsentrasi protein dalam tubuh.
Tabel 4. Nilai rata-rata jeroan, hati, rempela dan lemak perut ayam KUB sampai dengan umur 14 minggu.
Perlakuan Jeroan g
Hati g Rempelag
Lemak Abdomeng P0
74,53
b
28,55
b
43,50
b
28,73
b
P1 81,13
b
36,35
c
49,20
b
19,78
b
P2 64,20
a
20,05
a
25,00
a
10,08
a
Sumber : Data Primer diolah2015 Keterangan : Superskrip yang sama pada kolom yang sama menunjukan perbedaan yang tidak nyata
P0,05dan superskrip berbeda pada kolom yang samamenunjukan perbedaan yang nyata P0,05
KESIMPULAN
1. Penambahan probiotik sebanyak 2 cc per 1 liter air minum P2 memberikan bobot paling tinggi pada berat karkas utuh 62dibandingkan cara petani P0 56 dan P1 59, sedangkan pada
potongan bagian karkas tidak berpengaruh nyata. 2. Perlakuan P2 yaitu kelompok ayam yang diberikan probiotik sebanyak 2 cc kedalam air minum,
memiliki bobot jeroan, bobot hati, bobot rempela dan lemak abdomen lebih rendah P0,05 dari pada kelompok ayam yang tidak ditambahkan probiotik kedalam air minumnya
DAFTAR PUSTAKA
Arief, A. D. 2000. Evaluasi ransum yang menggunakan kombinasi pollard dan duckweed terhadap persentase berat karkas, bulu, organ dalam, abdominal, panjang usus, dan sekum ayam
Kampung. Skripsi. Jurusan Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Akhadiarto S.2010. Pengaruh pemberian probiotik temban, biovet dan biolacta terhadap persentase karkas, bobot lemak abdomen dan organ dalam ayam broiler. Jurnal Sains dan Teknologi
Indonesia 12 1 : 53-59
103
Bahij, A. 1991. Tumbuh kembang potongan karkas komersial ayam broiler akibatpenurunan tingkat protein ransum pada minggu ketiga-keempat. Karya Ilmiah.Fakultas Peternakan, Insitut
Pertanian Bogor Dadan H. S. 2004. Persentase karkas dan potongan komersial karkas ayam Kampungdengan
pemberian pakan mengandung bungkil inti sawit dan enzim. Skripsi.Program Studi Teknologi Produksi Peternakan. Departemen Ilmu ProduksiPeternakan. Fakultas
Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Daud, M.,Wiranda G. Piliang Dan I. Putu Kompiang. 2007.Persentase dan Kualitas Karkas Ayam
Pedaging yang Diberi Probiotik dan Prebiotik dalam Ransum. JITV . 12 3 : 167- 174irektorat Jendral Peternakan Ditjennak. 2010. Populasi Ternak dan ProduksiDaging,
Telur dan Susu Per Provinsi Tahun 2000-2010. Departemen Pertanian Republik Indonesia Haspari, RR.D.S. 2004. Bobot dan Persentase karkas ayam Kampung jantan umur 14 minggu akibat
pemberian tepung daun pepaya dalam ransum. Skripsi. Universitas Diponegoro. Semarang.
Kurniawan H. 2011.karkas dan potongan karkas ayam kampung umur 10 minggu yang diberi ransum mengandung bungkil biji jarak pagar jatropha curcas lterfermentasi rhizopus
oligosporus. https:www.google.co.idunduh52851
Diunduh Tgl 27 September 2016. Iskandar S. 2012. Optimalisasi protein dan energi ransum untuk meningkatkan produksi daging ayam
lokal. Orasi Profesor Riset Bidang Pakan dan Nutrisi Ternak, Bogor. Iskandar, S., T. Sartika, C. Hidayat, dan Kadiran. 2010. Penentuan kebutuhan protein kasar ransum
ayam Kampung Unggul Balitnak KUB masa pertumbuhan 0-22 minggu. Laporan Penelitian. Balai Penelitian Ternak, Ciawi, Bogor. 28 hlm.
Kompiang, IP. 2006. Pemanfaatanmikroorganisme sebagai probiotik untukmeningkatkan produksi ternak unggas diIndonesia. Orasi Pengukuhan Peneliti Utamasebagai Profesor Riset
bidang Pakan danNutrisi Ternak, Balitnak, Bogor. Merkley. J. W., B. T. Weinland. G. W. Malone G. W. Chaloupka. 1980. Evaluation of commercial
broiler crosses. 2. Eviscerated yield and component parts. Poult Sci. 59:1755-1760. Parwati, I.A. dan Suyasa N. 2016. Peningkatan produktivitas ayam kampung fase stater dengan
tambahan probiotik pada air minum untuk mendukung program kedaulatan pangan. Prosiding seminar nasional hasil penelitian pertanian 2015. Fakultas Pertanian : 730-735
Rohaeni, E.S., D. Ismadi, A. Darmawan, Suryana, A. Subhan. 2004. Profil usaha peternakan ayam lokal di Kalimantan Selatan Studi kasus di Desa Murung Panti Kecamatan Babirik,
Kabupaten Hulu Sungai Utara dan Desa Rumintin Kecamatan Tambarangan, Kabupaten Tapin. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004. Buku II.
Bogor, 4 - 5Agustus 2004. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.
Saifudin. 2000. Perbedaan produksi karkas dan karateristik daging dada dan paha itik dan entok pasca perebusan. Skripsi. Jurusan. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak. Fakultas Peternakan,
Insititut Pertanian Bogor, Bogor. Sukada, I.K, Bidura, I G. M. Dan Warmadewi, D.A. 2005. Penggunaan pollard, kulit kacang kedelai,
dan pod kakao pengaruh terfermentasi dengan ragi tape terhadap karkas dan kadar kolesterol daging itik bali jantan.
https:Scholar.google.co.id Diunduh Tgl 22
Septeember 2016 STEEL, R.G.D. and J.H. TORRIE. 1993. Prinsip dan prosedurstatistika suatu pendekatan biometrik,
jakarta.terjemahan. P.T. Gramedia. Zakaria, S. 2004. Performans ayam buras fase dara yang dipelihara secara intensifdan semiintensif
dengan tingkat kepadatan kandang yang berbeda. BulletinNutrisi dan Makanan Ternak 51: 41-45.
104
PEMANFAATAN PAKAN LOKAL LENGKAP Complette Feed UNTUK MENINGKATKAN
PRODUKTIVITAS PEDET KEMBAR PRASAPIH MENDUKUNG PEMBANGUNAN PERTANIAN BERKELANJUTAN
THE UTILIZATION OF LOCAL COMPLETE FEED TO INCREASE PRODUCTIVITY PRE- WEANING TWIN CALVES SUPPORTS SUSTAINABLE AGRICULTURAL DEVELOPMENT
Erni Gustiani, Yayan Rismayanti dan Liferdi
1
BalaiPengkajianTeknologiPertanianJawa Barat e-mail:fathbianyahoo.com
ABSTRAK
Pembangunan peternakan terutama pengembangan sapi potong perlu dilakukan melalui pendekatan usaha yang berkelanjutan, modern dan professional dengan memanfaatkan inovasi teknologi serta
didukung olehi ndustri pakan dengan mengoptimalkan pemanfaatan bahan pakan spesifik lokasi melalui pola yang terintegrasi. Teknologi produksi pedet yang dilahirkan kembar merupakan sebuah
paradigma baru dalam manajemen dan produksi sapi potong. Teknologi ini memberikan sebuah solusi dalam upaya meningkatkan efisiensi baik reproduksi maupun ekonomi. Namun kondisi aktual
dilapangan menunjukkan bahwa sebagian besar pedet yang dihasilkan dari kelahiran kembar memiliki berat lahir yang lebih rendah dibandingkan pedet dari kelahiran tunggal. Sementara pertumbuhan
pedet setelah dilahirkan sangat dipengaruhi oleh berat lahir. Salah satu upaya untuk meningkatkan produktivitas pedet kembar prasapih dapat dilakukan dengan pemberian pakan lengkap dengan
mengoptimalkan bahan pakan lokal yang tersedia. Pengkajian bertujuan untuk mengetahui produktivitas pedet kembar prasapih melalui optimalisasi pemanfaatan pakan lokal yang diberikan
dalam bentuk pakan lengkap complete feed dan mengetahui nilai konsumsi, kecernaan, dan efisiensi pakan dari kedua kelompok perlakuan pakan. Pengkajian dilakukan di Kabupaten Subang dan
Sumedang pada bulan Januari
– Desember 2014. Masing-masing perlakuan di 2 Kabupaten menggunakan 4 empat ekor pedet kembar prasapih. Perlakuan pakan menggunakan 2 formulasi yaitu
A= jerami padi fermentasi 100 + konsentrat ; B = Jerami padi fermentasi 50 + daun dan pucuk tebu fermentasi 50+konsentrat, dengan pemberian pakan sebanyak 3 dari berat badan ternak atau
sekitar 2-3 kgekorhari. Parameter yang diukur adalah kualitas pakan, konsumsi pakan, kecernaan bahan kering, PBBH, dan efisiensi penggunaan pakan. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa: 1 pedet
kembar prasapih yang diberi pakan perlakuan A memiliki PBBH yang lebih tinggi 957,50 gekorhari dibandingkan dengan PBBH pedet kembar prasapih yang diberi perlakukan B 662,50
gekorhari, 2 nilai rata-rata konsumsi BK pada pakan perlakuan A memiliki kecenderungan lebih tinggi dibandingkan dengan nilai rata-rata konsumsi BK pada perlakuan B yaitu berturut-turut
2.341,90 g dan 2.185,25 g, 3 faktor yang dapat mempengaruhi tingginya konsumsi pada pakan perlakuan A antara lain disebabkan karena pakan perlakuan A memiliki nilai kecernaan BK yang lebih
tinggi 88,10 daripada pakan perlakuan B 84,52, dan 4 pakan perlakuan A memiliki nilai efisiensi yang lebih tinggi dibandingkan pakan perlakuan B berturut-turut sebesar 41,02 dan
31,94.
Kata kunci : pakan lengkap, produktivitas, pedet kembar prasapih
ABSTRACT
Livestock development, especially the development of beef cattle need to be made through a sustained effort, modern and professional to take advantage of technological innovation and supported by feed
industry to optimize the use of site-specific feed ingredients through the integrated pattern. The technology of production of twins calves is a new paradigm in the management and production of beef
cattle. This technology provides a solution in order to improve the efficiency of both reproductive and economically. But the actual conditions in the field indicate that the majority of calf produced from
multiple births have a lower birth weight than a single calf. While the growth of calves after birth is influenced by birth weight. One effort to increase the productivity of pre-weaning twin calves to do
with complete feed by optimizing locally available feed ingredients. The assessment aims to determine the productivity of pre-weaning twin calves through optimizing the utilization of local feed and
knowing dry matter consumption, dry matter digestibility and feed efficiency both of treatment. Assessment do in Subang and Sumedang in January-December 2014. Each treatment in 2 districts
using four 4 pre-weaning twin calves. Treatment of feed using two formulations, namely A =
105
fermented rice straw 100 + concentrate; B = fermented rice straw 50 + leaves and shoots of sugarcane fermentation 50 + concentrates, by feeding as much as 3 of the weight of cattle or
about 2-3 kghead day. The parameter measured were feed quality, dry matter consumption, dry matter digestibility and Average Daily Gain ADG. The study showed that : 1 The treatment feed A
given ADG higher 957,50 gheadday compared to the treatment of feed B 662,50 gheadday, 2 the average value of dry matter consumption by using treatment of feed A higher 2.341,90 g than
treatment of feed B 2.185,25 g, 3 Factor can affect the high consumption to the treatment of feed A because the treatment of feed A has dry matter digestibility higher 88,10 compared to the
treatment of feed B 84,52; 4 Feed efficiency to treatment of feed A higher than treatment of feed B that is 41,02 and 31,94.
Keywords: complete feed, productivity, pre-weaning twin calves
PENDAHULUAN
Permintaan produk peternakan cenderung terus meningkat sejalan dengan pertambahan penduduk, perkembangan ekonomi masyarakat, perbaikan tingkat pendidikan, serta perubahan gaya
hidup sebagai akibat arus globalisasi dan urbanisasi. Pada saat ini, kebutuhan konsumsi daging Jawa Barat belum dapat dipenuhi oleh produksi domestik. Kemampuan domestik Jawa Barat dalam
penyediaan daging sapi, baru mencapai sekitar 20 dari total kebutuhan, sementara sisanya disediakan melalui impor ternak hidup dan daging antar provinsi dan antar negara. Salah satu upaya
terobosan dalam rangka mengakselerasi peningkatan populasi sapi potong adalah melalui peningkatan persentasefrekuensi beranak kembar twinningbirth rate.
Teknologi produksi pedet yang dilahirkan kembar merupakan sebuah paradigma baru dalam manajemen dan produksi sapi potong. Teknologi ini memberikan sebuah solusi dalam upaya
meningkatkan efisiensi baik reproduksi maupun ekonomi. Secara alami, sebagian besar induk sapi hanya melahirkan satu ekor pedet atau beranak tunggal. Akan tetapi melalui pemberdayaan teknologi,
induk sapi dapat diatur agar mampu bunting dan melahirkan anak sapi kembar untuk mempercepat peningkatan populasi. Peluang terjadinya kelahiran pedet kembar secara alamiah masih sangat kecil,
karena sebagian besar induk sapi memiliki sifat hanya melahirkan satu ekor pedet. Meskipun termasuk kategori langka, di Jawa Barat dilaporkan telah terjadi 19 kasus kelahiran kembar pada Tahun 2009 di
enam kabupaten, salah satunya adalah Kabupaten Subang.
Kondisi aktual di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar pedet yang dihasilkan dari kelahiran kembar memiliki berat lahir yang lebih rendah dibandingkan dengan pedet yang dilahirkan
tunggal. Pedet yang dilahirkan kembar memerlukan perhatian khusus karena beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa pedet dari kelahiran kembar mempunyai berat lahir 10 kg lebih ringan daripada
pedet dari kelahiran tunggal. Echternkamp, dkk., 2007 menyatakan bahwa bobot lahir ternak mempengaruhi pertumbuhan pedet. Selain itu, pertambahan berat badan harian PBBH yang
dihasilkan pedet kembar prasapih lebih rendah daripada pedet keturunan tunggal. Hal tersebut terjadi karena adanya kompetisi diantara pedet kembar dalam mendapatkan susu induk dan kondisi induk
yang menurun sehingga berpengaruh terhadap produksi susu yang dihasilkan.
Salah satu upaya untuk meningkatkan produktivitas pedet kembar prasapih dapat dilakukan dengan pemberian pakan lengkap Complette Feed dan untuk meningkatkan efisensi dalam
penggunaan pakan, perlu dioptimalkan teknologi pakan lengkap dengan menggunakan bahan baku pakan lokal yang tersedia di wilayah setempat. Complete feed merupakan inovasi teknologi pakan
yang mempunyai nilai nutrisi lebih lengkap dan lebih tinggi dibandingkan dengan bahan pakan asalnya. Penggunaan complete feed dan undegraded protein UDP mampu meningkatkan konsumsi
nutrien dan pertambahan berat badan harian sapi PO Nusi, 2011.
Tujuan pengkajian ini untuk 1 mengetahui produktivitas pedet kembar prasapih melalui optimalisasi pemanfaatan bahan pakan lokal yang diberikan dalam bentuk pakan lengkap complete
feed, 2 mengetahui nilai konsumsi, kecernaan dan efisiensi pakan dari kedua kelompok perlakuan pakan.
106
METODE PENELITIAN
Pengkajian dilaksanakan dari bulan Januari sampai dengan Desember 2014 di kelompoktani ternak sapi potong di Kabupaten Subang dan Sumedang. Lokasi ini dipilih karena memiliki kasus
kelahiran kembar paling banyak di Jawa Barat, aspek sumberdaya manusia dan alam yang dapat mendukung pelaksanaan pengkajian, serta pemeliharaan ternak yang dilakukan dalam satu kawasan.
Rancangan pengkajian terdiri dari dua perlakuan dua formulasi pakan, dimana masing- masing perlakuan akan diujicobakan terhadap empat ekor pedet kembar prasapih Tabel 1.
Tabel 1. Perlakuan dan Komposisi Pakan yang digunakan dalam Pengkajian
Perlakuan Komposisi Pakan
Serat Kasar Konsentrat
A Jerami padi fermentasi 100
Dedak 75 + tepung daun gamal 24 + mineral mix 1
B Jerami padi fermentasi 50 + daun dan pucuk
tebu fermentasi 50 Dedak 75 + tepung daun gamal 24 +
mineral mix 1
Tahapan pembuatan complete feed terdiri dari: 1 pemotongan bahan-bahan sumber serat menggunakan chopper menjadi ukuran kecil 0,2-0,4 cm, kemudian dikeringkan sampai kadar air
mencapai 10-12, dan 2 pencampuran bahan-bahan sumber serat, energi, dan protein sampai merata dengan perbandingan antara sumber serat dan konsentrat adalah 70: 30. Complete feed diberikan
dalam bentuk kering sebanyak 3 bobot badanekorhari yang diberikan dalam dua kali pemberian yaitu pada pagi dan sore hari.
Sebelum pemberian complete feed, terhadap ternak perlakuan diberikan probiotik pedet untuk mempercepat proses penyapihan pedet dengan mempercepat fungsi rumen. Ternak perlakuan diberi
masa adaptasi pakan perlakuan selama 14 hari sebelum dilakukan pengamatan terhadap parameter yang diukur. Pengamatan pemberian complete feed dilakukan selama tiga bulan setelah ternak
teradaptasi mengkonsumsi pakan perlakuan.
Parameter yang diukur adalah kualitas pakan, konsumsi pakan, kecernaan bahan kering, PBBH, dan efisiensi penggunaan pakan. Pengukuran kualitas pakan dilakukan tiga kali selama masa
pengkajian, kecernaan bahan kering diamati selama tujuh hari, dan PBBH diukur setiap dua minggu selama tiga bulan masa pengkajian. PBBH, Konsumsi BK dan Kecernaan Bahan Kering dihitung
dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
Pertambahan Bobot Badan Harian PBBH
= Bobot Akhir
– Bobot Awal Waktu hari
Konsumsi BK kgekhari = BK pemberian x total pemberian – BK sisa x total sisa
Kecernaan Bahan Kering =
Konsumsi BK kg - BK feses kg x
100 KBK kg
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakterisasi Wilayah
Pengkajian dilaksanakan di Kabupaten Subang Kecamatan Cipunagara dan Cisalak dan Kabupaten Sumedang Tanjungmedar dan Conggeang meliputi 4 Kelompok tani ternak.
a. Kabupaten Subang Topografi di Kecamatan Cipunagara merupakan dataran dan berada pada ketinggian 70 mdpl,
dengan luas pesawahan 459 ha dan lahan kering 833,430. Potensi limbah pertanian di Kecamatan Cipunagara berupa daun dan pucuk tebu yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Sedangkan
toprografi di Kecamatan Cisalak merupakan dataran dan berbukit, pada ketinggian 700 mdpl, dengan luas pesawahan 242 ha dan lahan kering 153,017 ha.
b. Kabupaten Sumedang Topografi di Kecamatan Tanjungmedar merupakan dataran dan berada pada ketinggian 700 mdpl,
dengan luas pesawahan 203,750 dan lahan kering 90,21 ha. Kecamatan Conggeang berada pada ketinggian 700 mdpl dengan luas pesawahan 116 ha dan lahan kering 50 ha. Wilayah ini memiliki
107
luas areal pesawahan yang lebih besar dibandingkan dengan lahan kering sehingga potensi limbah pertanian yang dapat digunakan sebagai pakan ternak adalah jerami padi.
Pakan Lengkap Complette Feed dan Kandungan Nutrisinya
Pakan Lengkap merupakan metode atau teknik pembuatan pakan dimana hijauan sumber serat kasar dan konsentrat sumber protein dan energi dicampur menjadi homogen melalui proses
perlakuan fisik dan suplementasi yang dikemas dalam bentuk tertentu agar pemberian kepada ternak efektif dan memudahkan dalam penyimpanan. Pemberian pakan ternak dalam bentuk pakan lengkap
memiliki keuntungan antara lain dapat menghemat tenaga kerja, dan bila ditinjau dari aspek nutrisi merupakan program yang sangat baik karena partikel yang dikonsumsi oleh ternak dalam kondisi
nutrisi yang seimbang artinya pakan tersebut memiliki kualitas nutrisi yang tinggi Dhalika., et al., 2010. Pembuatan pakan lengkap sebaiknya menggunakan bahan pakan lokal yang tersedia di wilayah
setempat karena dapat menekan biaya pembuatan dan pembelian bahan penyusun pakan.
Kebutuhan nutrisi pedet sangat beragam mulai dari kebutuhan untuk hidup pokok sampai memperoleh pertambahan bobot maksimal yang berasal dari deposit protein dan mineral. Fungsi
pakan bagi ternak adalah menyediakan energi untuk produksi panas dan deposit lemak, memelihara sel-sel tubuh, mengatur beberapa fungsi dan aktivitas di dalam tubuh. Pakan dengan kandungan
protein yang cukup dapat memperbaiki jaringan, pertumbuhan jaringan baru, metabolisme untuk energi, dan berfungsi sebagai penyusun hormon. Sedangkan pakan dengan kualitas gizi yang rendah
dapat mengganggu perkembangan pedet sehingga potensi genetik yang unggul tidak dapat muncul Hidajati, 1998
Dalam pengkajian ini pakan yang diberikan untuk ternak berasal dari bahan baku lokal yang tersedia dilapangan yang dicampur sedemikian rupa antara sumber serat kasar dan konsentrat sehingga
menjadi pakan lengkap. Kandungan nutrisi pakan lengkap yang berbahan baku serat kasar jerami padi A dan berbahan baku serat kasar jerami padi dan daun + pucuk tebu B disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Kandungan Nutrisi Pakan Lengkap Complete Feed yang Diberikan Terhadap Pedet Kembar Prasapih
Pakan Perlakuan
BK PK
Abu Lemak
Serat
A 85,16
9,92 23,76
0,54 10,17
B 87,41
8,22 15,14
2,58 13,09
Sumber : Analisa Proksimat Laboratorium Fisiologi Hasil Balitsa, Lembang. 2014
Hasil analisa proksimat menunjukkan bahwa Kandungan Protein Kasar pakan perlakuan A adalah 9,92 dan pakan perlakuan B adalah 8,22. Nilai tersebut lebih rendah dibandingkan dengan
teknik formulasi ransum dengan metode pearson square, dimana protein kasar PK yang diharapkan terkandung dalam pakan lengkap kegiatan pengkajian sebesar ± 10,98. Hal tersebut dapat terjadi
karena jenis-jenis bahan pakan yang digunakan di lapangan memiliki level PK yang berbeda-beda tergantung pada kondisi pertanaman dan kondisi tanahnya. Disisi lain, kadar Serat Kasar pakan
perlakuan B relatif lebih tinggi dibandingkan dengan pakan perlakuan A, yaitu berturut-turut 13,09 dan 10,17. Hal ini diduga karena sumber serat kasar pakan perlakuan B berasal dari daun dan pucuk
tebu yang pada dasarnya memiliki kandungan serat kasar lebih tinggi dibandingkan dengan jerami padi. Pucuk tebu dapat menggantikan peran rumput gajah tanpa memberikan efek negative pada ternak
sapi. Kandungan dinding sel yang tinggi menyebabkan rendahnya kecernaan Kuswandi, 2007. Namun masih lebih rendah jika dibandingkan dengan pakan yang digunakan pada penelitian Dhalika
et all 2010 yang mengandung serat kasar sebesar 15,80
– 25,31. Hal ini disebabkan karena daun dan pucuk tebu pada pengkajian ini telah mengalami pengolahan terlebih dahulu melalui proses
fermentasi.
Konsumsi dan Kecernaan Bahan Kering Pakan
Konsumsi merupakan faktor esensial yang merupakan dasar untuk hidup dan menentukan produksi, beberapa faktor yang menentukan tingkat konsumsi adalah hewan ternak, makanan yang
diberikan palatabilitas, daya cerna, bangsa, jenis kelamin, umur dan kondisi kesehatan ternak. Palatabilitas merupakan gambaran sifat bahan pakan yang dicerminkan oleh organoleptik seperti
penampakan, bau, rasa hambar, asin, manis, pahit, tekstur dan temperaturnya sehingga timbulnya rangsangan dan daya tarik ternak untuk mengkonsumsi bahan pakan tersebut Yusmadi et al., 2008.
108
Palatabilitas pakan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya rasa, bentuk dan bau dari pakan itu sendiri.
Pemberian pakan konsentrat dapat meningkatkan daya cerna pakan secara keseluruhan. Meningkatnya kecernaan ransum menyebabkan meningkatnya konsumsi, sehingga laju pengosongan
rumen meningkat dan menimbulkan rasa lapar pada ternak untuk menambah konsumsi pakan Prasetiyono et all., 2007. Rata-rata nilai konsumsi dan kecernaan BK pakan pada pedet kembar
prasapih dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Rata-rata Nilai Konsumsi Bahan Kering dan Kecernaan Bahan Kering Pakan pada Pedet Kembar Prasapih
Kelompok Pakan Perlakuan Parameter
Konsumsi BK g Kecernaan BK
A 2.341,90
88,10 B
2.185,25 84,52
Sumber : Data Primer Tahun 2014
Nilai rata-rata konsumsi BK pada pakan perlakuan A memiliki kecenderungan lebih tinggi dibandingkan dengan nilai rata-rata konsumsi BK pada perlakuan B yaitu berturut-turut 2.341,90 g
dan 2.185,25 g. Dari faktor yang mempengaruhi konsumsi, hal yang dapat mempengaruhi tingginya konsumsi pada pakan perlakuan A antara lain disebabkan karena pakan perlakuan A memiliki nilai
kecernaan BK yang lebih tinggi daripada pakan perlakuan B. Bahan penyusun pakan perlakuan B antara lain daun dan pucuk tebu. Salah satu keterbatasan dari serat limbah tebu dan industri gula
adalah daya kecernaan dan konsumsinya yang rendah. MenurutRetnani 2009, rendahnya kadar protein dan kecernaan bahan kering pucuk dan ampas tebu merupakan faktor pembatas
penggunaannya.
Pertambahan Bobot Badan Harian, Konversi dan Efisiensi Penggunaan Pakan
Pertambahan berat badan adalah aktifitas fisiologi yang dapat dinyatakan dengan kenaikan berat badan rata-rata persatuan waktu. Respon berat badan merupakan hasil yang diperoleh dari
kenaikan berat badan yang diketahui melalui penimbangan secara berulang-ulang selama pengamatan yang berasal dari penimbangan berat badan akhir dikurangi berat badan awal dibagi dengan waktu
pengamatan. Rata-rata pertambahan bobot badan harian PBBH pedet kembar prasapih yang diberikan pakan lengkap serta konversi dan efisiensi penggunaan pakan dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Pertambahan Bobot Badan Harian Pedet Kembar Prasapih yang Diberikan Pakan Lengkap serta Konversi dan Efisiensi Penggunaan Pakan
Kelompok Pakan Perlakuan
Parameter Konsumsi BK g
PBBH ghari Konversi Pakan
gBKgPBBH Efisiensi Pakan
A 2.341,90
957,50 2,45
41,02 B
2.185,25 662,50
3,15 31,94
Sumber : Data Primer Tahun 2014
Tabel 4 menunjukkan bahwa pedet kembar prasapih yang diberi pakan perlakuan A memiliki PBBH yang lebih tinggi 957,50 gekorhari dibandingkan dengan PBBH pedet kembar prasapih yang
diberi perlakukan B 662,50 gekorhari. Hasil ini sejalan dengan nilai konsumsi dan kecernaan bahan kering pakan oleh ternak, dimana ternak pada kelompok pakan perlakuan A mengkonsumsi lebih
banyak bahan kering dengan daya cerna yang lebih tinggi dibandingkan ternak pada kelompok pakan perlakuan B. Selain itu diduga bahwa pakan perlakuan A memiliki tingkat palatabilitas yang lebih
tinggi dibandingkan dengan pakan perlakuan B. Kurihara, et al. 1999 melaporkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata dalam konsumsi bahan kering dan PBBH pada ternak yang mengkonsumsi
pakan berkualitas baik dibandingkan dengan ternak yang mengkonsumsi pakan berkualitas sedang.
Peningkatan bobot badan erat kaitannya dengan kecernaan bahan kering. Bahan pakan yang mengandung serat kasar yang tinggi memiliki ikatan lignoselulosa yang dapat menghambat kecernaan
bahan pakan tersebut. Perlakuan fermentasi dapat melonggarkan ikatan lignoselulosa dan lignohemiselulosa sehingga selulosa dan hemiselulosa lebih tersedia sebagai sumber energi, juga
terdapat peningkatan protein. Pakan perlakuan yang diberikan, baik jerami padi maupun daun dan pucuk tebu telah mengalami proses fermentasi terlebih dahulu, sehingga terjadi penurunan kadar
109
hemiselulosa, selulosa dan lignin. Penurunan kadar hemiselulosa, selulosa dan lignin akan berpengaruh terhadap penurunan kadar ADF dan NDF sehingga dapat meningkatkan kecernaan pakan.
Proses fermentasi bahan organik oleh bakteri dapat terjadi karena adanya aktivitas enzim Khuluq, A.D., 2012. Degradasi selulosa dan hemiselulosa disebabkan karena aktifnya enzim endoglukonase
dan silanase Tarmidi dan Hidayat, 2004. Degradasi selulosa menghasilkan karbohidrat sederhana yang mudah dicerna dalam sistem pencernaan hewan
Pertambahan bobot badan harian pedet kembar prasapih pada pakan perlakuan A ini sesuai harapan Puslitbang Peternakan 2010, yaitu pertambahan bobot badan harian pedet prasapih pada sapi
silangan 0,8 kgekorhari dan hasil pengkajian Eriawan, dkk. 2013 mengatakan bahwa PBBH yang diperoleh pedet kembar prasapih sebesar 0,93 kgekorhari. Siregar 2008 mengungkapkan
bahwa pertumbuhan yang cepat terjadi pada periode lahir hingga usia penyapihan dan pubertas, namun setelah usia pubertas hingga usia dewasa, laju pertumbuhan mulai menurun dan akan terus menurun
hingga usia dewasa. Sejak sapi dilahirkan sampai dengan usia pubertas sekitar umur 8-10 bulan merupakan fase hidup sapi yang laju pertumbuhannya sangat cepat. Pertambahan bobot badan sapi
ditentukan oleh berbagai faktor, terutama jenis sapi, jenis kelamin, umur, ransum, dan teknik pengelolaannya.
Konversi pakan adalah perbandingan atau rasio antar jumlah pakan yang dikonsumsi oleh ternak dengan produk yang dihasilkan oleh ternak tersebut. Konversi pakan sangat dipengaruhi oleh
kondisi ternak, daya cerna, jenis kelamin, bangsa, kualiltas dan kuantitas pakan, juga faktor lingkungan. Selain itu, dipengaruhi juga oleh ketersediaan zat-zat gizi dalam ransum dan kesehatan
ternak, semakin tinggi nilai konversi pakan berarti pakan yang digunakan untuk menaikkan bobot badan per satuan berat semakin banyak atau efisiensi pakan rendah. Berdasarkan Tabel 4, konversi
pakan kelompok ternak pakan perlakuan A lebih rendah dibandingkan kelompok ternak pakan perlakuan B yaitu masing-masing sebesar 2,45 dan 3,15. Konversi pakan ini berhubungan erat dan
berbanding terbalik dengan efisiensi pakan.
Efisiensi pakan didefinisikan sebagai perbandingan jumlah unit produk yang dihasilkan pertambahan bobot badan dengan jumlah unit konsumsi pakan dalam satuan waktu yang
sama.Efisiensi pakan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya kemampuan ternak dalam mencerna bahan pakan, pertumbuhan dan fungsi tubuh serta jenis pakan yang digunakan. Semakin
baik kualitas pakan semakin baik pula efisiensi pembentukan energi dan produksi . Sejalan dengan nilai konversi pakan, kelompok ternak yang diberi pakan perlakuan A memiliki nilai efisiensi yang
lebih tinggi dibandingkan pakan perlakuan B berturut-turut sebesar 41,02 dan 31,94. Hal ini menunjukkan bahwa pakan yang diperlukan untuk menaikkan bobot badan ternak pada pakan
perlakuan A lebih sedikit atau lebih efisien dibandingkan dengan pakan perlakuan B.
Ternak yang mengkonsumsi pakan dengan nilai gizi dan jumlah yang cukup serta ditunjang oleh faktor lingkungan dan manajemen pemeliharaan yang tepat akan mengalami pertumbuhan yang
optimal. Pedet khususnya pedet kembar perlu mendapatkan perhatian khusus, mengingat tingkat kematian dan daya tahan tubuhnya terhadap penyakit. Pemberian pakan bergizi tinggi pada pedet
prasapih diharapkan akan memberikan nilai positif saat lepas sapih, dara, dan siap jadi bibit yang prima sehingga produktivitas yang optimal dapat dicapai Muchamad dan Affandhy, 2013.
KESIMPULAN
1. Pedet kembar prasapih yang diberi pakan perlakuan A memiliki PBBH yang lebih tinggi 957,50 gekorhari dibandingkan dengan PBBH pedet kembar prasapih yang diberi perlakukan B 662,50
gekorhari. 2. Nilai rata-rata konsumsi BK pada pakan perlakuan A memiliki kecenderungan lebih tinggi
dibandingkan dengan nilai rata-rata konsumsi BK pada perlakuan B yaitu berturut-turut 2.341,90 g dan 2.185,25 g.
3. Faktor yang dapat mempengaruhi tingginya konsumsi pada pakan perlakuan A antara lain disebabkan karena pakan perlakuan A memiliki nilai kecernaan BK yang lebih tinggi 88,10
daripada pakan perlakuan B 84,52. 4. perlakuan B masing-masing sebesar 2,45 gBKgPBBH dan 3,15 gBKgPBBH artinya pakan
perlakuan A lebih efisien.
110
DAFTAR PUSTAKA
Dhalika, T, Endang Yuni Setyowati, Siti Nurachma dan Yuli Astuti Hidayati. 2010. Nilai Nutrisi Ransum Lengkap Mengandung Berbagai Taraf Hay Pucuk Tebu Saccharum
Officianarum pada Domba Jantan yang Digemukkan. Jurnal Ilmu Ternak. Vol 10 No2 Hal 79-84
Echternkamp, S. E., R. M. Thallman, R. A. Cushman, M.F. Allan and K. E. Gregory. 2007. Increased Calf Production in Cattle Selected for Twin Ovulations. J. Anim. Sci. 85: 3239
– 3248. Eriawan, B., Y. Rismayanti, dan N. Sunandar. 2013. Pengkajian Pemanfaatan dan Peningkatan
Produksi Anak Sapi yang Dilahirkan Kembar untuk Memperbaiki Berat Badan PBBH 0,4 kg dan Peluang Beranak Kembar 50. Laporan Akhir Pengkajian Tahun 2013.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat Hidajati N. 1998. Pembesaran pedet betina sapi perah guna menunjang peningkatan produksi susu.
Wartazoa. 7:1-3 Khuluq, A.D. 2012. Potensi Pemanfaatan Limbah Tebu Sebagai Pakan Fermentasi Probiotik. Buletin
Tanaman Tembakau, Serat dan Minyak Industri 41. Hal 37-45 Kurihara, M., T. Magner, R. A. Hunter and G.J. MCCRABB. 1999. Methane Production and Energy
Partition of Cattle in the Tropics. British J. Nutrition. 81: 263 – 272.
Kuswandi. 2007. Teknologi Pakan Untuk Limbah Tebu Fraksi Serat Sebagai Pakan Ternak Ruminansia. Wartazoa Volume 17 No 2 Tahun 2007
Muchamad Luthfi dan Affandhy L. 2013. Pertambahan Bobot Badan Harian dan Skor Kondisi Tubuh Pedet Silangan Pra Sapih dengan Teknologi Creep Feeding di Peternakan Rakyat.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Hlm. 122-127. Nusi, Musrifah. 2011. Penggunaan Tongkol Jagung Dalam Complete Feed dan Undegraded Protein
Terhadap Konsumsi Nutrien, Pertambahan Bobot Badan, dan Kualitas Daging Sapi Peranakan Ongole. Tesis. Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta.
Prasetiyono, B.W.H.E., Suryahadi, T. Torahmat, dan R. Syarief. 2007. Strategi Suplementasi Protein Ransum Sapi Potong Berbasis Jerami dan Dedak Padi. Media Peternakan. Journal of
Animal Science and Tec hnology. Vol 30 3: 207−217.
Puslitbang Peternakan. 2010. Rekomendasi Teknologi Peternakan dan Veteriner mendukung Program Swasembada Daging Sapi PSDS Tahun 2014. Badan Litbang Pertanian.
Retnani, Y., W. Widiarti, I. Amiroh, L. Herawati dan K.B. Satoto. 2009. Daya Simpan dan Palatabilitas Wafer Ransum Komplit Pucuk dan Ampas Tebu Untuk Sapi Pedet. Media
Peternakan Volume 32 No 2. Hal 130-136 Siregar, S.B. 2008. Penggemukan Sapi. Penebar Swadaya. Jakarta.
Tarmidi, A.R dan R. Hidayat. 2004. Peningkatan kualitas pakan serat ampas tebu melalui fermentasi dengan jamur tiram putih Pleurotus ostreatus. Jurnal Bionatura 6 2: 197
–204 Yusmadi, Nahrowi, dan M. Ridla. 2008. Kajian mutu dan palatabilitas silase dan hay ransum komplit
berbasis sampah organik primer pada kambing peranakan etawah. Jurnal Agripet 8 1:31-38.
111
ANALISIS PENDAPATAN MELALUI PENDAMPINGAN KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI DI KABUPATEN SLEMAN
ANALYSIS OF REVENUES BY REGION HOUSING ASSISTANCE SUSTAINABLE FOOD IN THE DISTRICT SLEMAN
Murwati dan Sutardi
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta Jl. Stadion Maguwoharjo No.22 Karangsari, Wedomartani Ngemplak,Sleman,Yogyakarta Telp. 0274
884662. bptp-diylitbang.deptan.go.id me.mur_watiyahoo.co.id
ABSTRAK
KawasanRumah Pangan Lestari KRPL merupakan programKementerian Pertanian dalam rangka optimalisasi lahan pekarangan yang ramah lingkungan. Penelitian bertujuan untuk mengetahui berapa
jumlah pendapatan Rumah Pangan lestari dalam mengikuti program KRPL .Penelitian dilaksanakan di tiga Desa di Kabupaten Sleman: 1 Desa Wukirsari Kecamatan Cangkringan; 2 Desa Margo Agung
Kecamatan Seyegan dan Desa Wukirharjo Kecamatan Prambanan. Ketiga desa tersebut merupakan desa pendampingan kawasan rumah pangan lestari di Kabupaten Sleman oleh Balai Penelitian
Pengkajian Teknologi Pertanian BPTP Yogyakarta Tahun 2015. Metode yang digunakan adalah suvei dengan menggunakan kuiseoner terstruktur yang melibatkan 3 kelompok Wanita Tani. Petani
dipilih secara sengaja yaitu ke tigaanggorta kelompok wanita, Pengamatan yang dilakukan terhadap pendapatan petani dari program kawasan rumah pangan lestari meliputi berapa jumlah rumah tangga
yang mengikuti program KRPL, pendapatan dari kebun bibit deesa KBD dan pendapatan dari rumah tangga. Hasil perkembangan jumlah rumah tangga yang mengikuti program KRPl: awal 20 keluarga
dan akhir pendampingan 65 keluarga Desa Wukirsari, awal 20 keluarga dan akhir pendampingan 50 keluarga Desa Margo Agung, awal 20 keluarga dan akhir pendampingan 35 keluarga Desa
Wukirharjo. Tanaman yang diusahakan sayuran dan buah-buahan dan tanaman obat. Pendapatan yang diperoleh di Desa Wukirsari pendapatan 65 rumah tangga Rp 21.532.500 dan KBD Rp 2.927.500 ;
di Desa Margo Agung pendapatan 50 rumah tangga Rp 3.475.000 dan KBD Rp.927.500 dan di Desa Wukirharjo pendapatan 35 rumah tangga Rp 9.275.000 dan KBD Rp 709..0000.
Kata kunci: Pendapatan, pendampingan, kawasan rumah pangan lestari
ABSTRACT
Region Sustainable Food House RSFH is a program of the Ministry of Agriculture in order to optimize the environmentally friendly yard area. The study aims to determine how much income
sustained in the Food House RSFH.The research of program conducted in three villages in Sleman: 1 Village Wukirsari Cangkringan; 2 the District Court Seyegan Margo Village and Village
Wukirharjo Prambanan District. All three villages are assisting village home area of sustainable food in Sleman by the AssessmentInstitute for Agricultural Technology AIAT Yogyakarta Year 2015. The
method used is suvey using structured questionnaire involving three groups of Women Farmers. Farmershave been deliberately namely member into three groups of women, observations made on the
income of farmers from the program as a sustainable food home region include how many households who take the program of RSFH, revenue from village nursery gardens VNG and income of the
household. The result of the development of the number of households who take the program of RSFH: initial 20 families and end mentoring 65 families village Wukirsari, beginning 20 families and end
mentoring 50 families village Margo Agung, the initial 20 families and end mentoring 35 families village Wukirharjo. Plants are cultivated vegetables and fruits and medicinal plants. Revenues
earned in the village Wukirsari household income of 65 USD 21.5325 million and 2.9275 million USD VNG; Margo Agung village 50 household income of Rp 3.475 million and KBD Rp.927.500
and in the village of Wukirharjo 35 household income of Rp 9.275 million and Rp 709..0000 KBD.
Keywords: Income, assistance, home area of sustainable food
112
PENDAHULUAN
Kawasan Rumah Pangan Lestari KRPL merupakan salah satu program Kementerian Pertanian dalam rangka optimalisasi lahan pekarangan yang ramah lingkungan dalam suatu kawasan.
Kawasan RPL rumah pangan lestari dapat diwujudkan dalam satu wilayah antara lain wilayah Rukun Tetangga RT, beberapa RT, wilayah Rukun Warga RW, wilayah dusunpedukuhan atau wilayah
desaKelurahan Badan Litbang Pertanian, 2012.
Pekarangan merupakan lahan disekitar rumah yang umumnya ditanami dengan beranekaragam jenis tanaman dan jika dimanfaatkan serta dipelihara secara benar dan baik akan memberikan
pendapatan dan bermanfaat.Pemanfaatan pekarangan dengan tanaman produktif seperti tanaman hortikultura tanaman buah-buahan,sayur-sayuran, dan tanaman obat-obatan memberikan keuntungan
yang berlipat ganda. Selain dapat memenuhi kebutuhan pangan dan gizi keluarga sendiri, juga berpeluang meningkatkan penghasilan rumah tangga, apabila dirancang dengan baik. Upaya tersebut
ialah memanfaatkan pekarangan yang dikelola oleh keluarga Sinartani, 2011
Rumah pangan lestari adalah rumah yang pekarangannya dimanfaatkan secara intensif, ramah lingkungan dan berkelanjutan, dengan mengacu empat prinsip ketahanan dan kemandirian pangan,
diversifikasi pangan dengan berbasis sumber pangan lokal, konservasi sumberdaya genetik, dan upaya lestari
melalui kebun
bibit desa,
menujupeningkatan pendapatan
dan kesejahteraan
petanimasyarakatAnonimus, 2012. Pembangunan pertanian berwawasan pekarangan perlu mendapatkan prioritas, hal ini
didasarkan pada kenyataan bahwa potensi sumberdaya lahan pekarangan di Indonesia tersedia sangat luas tetapi belum dimanfaatkan secara optimal. Intensifikasi pekarangan dimaksudkan sebagai usaha
mengoptimalkan pemanfaatan lahan pekarangan serta tenaga keluarga. Salah satu komoditas yang dapat dikembangkan dalam usaha intensifikasi pekarangan adalah tanaman sayuran. Dengan adanya
peningkatan produksi sayuran diharapkan kebutuhan gizi dan kesehatan masyarakat juga meningkat, khususnya masyarakat di pedesaan Selain itu lahan pekarangan dapat dijadikan sarana bisnis sayuran
untuk meningkatkan pendapatan keluargaRukmana, R.2005.
Pendapatan usaha tani yaitu selisih antara total penerimaan dengan total biaya. Sedangkan penerimaan
usaha tani
adalah produksi
dikalikan dengan
harga produksi
wwwicalpolekegi.blogspot.co.id201112ilmuusatani.htp. Tujuan dari penelitian ini adalah untukmenganalisis tingkat pendapatan keluarga dalam usahatani di lahan pekarangan melalui
pendampingan kawasan rumah pangan lestari di Kabupaten Sleman.
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Sleman meliputi tiga Desa yakni: 1 Desa Wukirsari Kecamatan Cangkringan; 2 Desa Margo Agung Kecamatan Seyegan dan Desa Wukirharjo
Kecamatan Prambanan. Ke tiga desa tersebut merupakan desa pendampingan kawasan rumah pangan lestari di Kabupaten Sleman oleh Balai Pengkajian Teknologi Pertanian BPTP Yogyakarta Tahun
2015. Metode yang digunakan adalah suvei dengan menggunakan kuiseoner terstruktur yang melibatkan 3 kelompok Wanita Tani. Petani dipilih secara sengaja yaitu ke tigaanggota kelompok
wanita, Pengamatan yang dilakukan terhadap pendapatan petani dari program kawasan rumah pangan lestari meliputi berapa jumlah rumah tangga yang mengikuti program KRPL, pendapatan dari kebun
bibit desa KBD: data produksi komoditas sayuran dan buah yang ditanam responden, harga jual, pengeluaran untuk usahatani komoditas yang ditanam, dan pendapatan rumah tangga tangga.
Pengambilan data dilakukan dengan wawancara dan observasi lapangan dengan jumlah responden sebanyak 30 orang. Data dianalisis menggunakan diskriptif dan analisis usahatani secara sederhana
Rusastro, I.W, 2004; wwwicalpolekegi.blogspot.co.id201112ilmu-usahatani.htm; dengan rumus sebagai berikut :
Penerimaan usaha tani Revinue= P X HP
dimana P = Produksi HP = Harga Produksi
Sedangkan C = total cost biaya yang dikeluarkan
113
Pendapatan usaha tani yaitu selisih antara total penerimaan dengan total biaya, dengan rumus sebagai berikut :r = TR
– TC dimana r = Pendapatan
TR= Total Revenue Total penerimaan diperoleh dari P X HP TC = Total cost Total biaya dari semua biaya
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sebelum melakukan analisis pendapatan, perlu diketahui karakteristik wilayah lokasi kegiatan, nama kelompok, perkembaqngan jumlah Rumah pangan lestari RPL yang terlibat
1. Karakteristik wilayah lokasi pengkajian : Luas wilayah Kabupaten Sleman 574,82 km2 dan memiliki luas pekarangan lebih dari 18 ribu
hektar yang tersebar di 17 kecamatan BPS Kabupaten Sleman, 2008. Berdasarkan data statistik Kabupaten Sleman, 2008 bahwa wilayah Kabupaten Sleman terletak pada ketinggian tempat 100
mdpl – 2500 m dari permukaan laut dpl, dengan rata-rata curah hujan 22,8 mmbulan,
kelembaban 73,0 – 86,0 dan temperatur udara 25,5
C – 27,5
C. Nama kelompok tani, wilayah dan Koordinat lokasi pendampingan tertera pada Tabel 1.
Tabel 1. Nama kelompok tani, wilayah dan Koordinat Lokasi Pendampingan di Kabupaten Sleman 2015
No Kecamatan Desa Kelurahan
Tinggi Tempat
m dpl Letak geografis
Garis Bujur Garis Lintang
Selatan 1.
KWT Tani Mulyo Raharjo dan Kelompok Tani Margo Mulyo di Dusun Cancangan,
Desa Wukirsari, Kec. Cangkringan, Sleman
567 110º 26´
7º 39´
2 KWT
“Makmur Lestari”,
Dusun Watukangsi, Desa Margo Agung
Kec.seyegan, Sleman 196
110º 25.6´ 7 º 45.1´
3 KWT Sekar Arum, Dusun Watukangsi,
Desa Wukirharjo Kec. Prambanan, Sleman
227 110º 32´
7 º 49´ Sumber analisis data primer 2015
Pada Tabel 1. Menunjukkan bahwa Letak wilayah dan kebun bibit desa di Wukirharjo dan Margo Agung termasuk dataran rendah 400 m dpl dan di Desa Wukirsari termasuk wilayah dataran
medium 567 m dpl. Menurut Sohat, 2004 bahwa wilayah yang memiliki ketinggian tempat 0 –
400 m dpl digolongkan dataran rendah; 400 - 750 m dpl digolongkan dataran medium dan wilayah yang memiliki ketinggian tempat 750 m dpl digolongkan dataran tinggi. Sayuran yang tumbuh baik
pada dataran rendah sampai datatan tinggi bayam, cabai merah, cabai rawit, kangkung ,
slada, sledri, terong, timun dan tomat. Sayuran yang tumbuh baik pada dataran medium sampai tinggi bawang
putih, brokoli, bunga kol, kobis. Tanaman empon-empon jahe emprit, jahe gajah dan jahe merah tumbuh baik pada ketinggian tempat rendah sampai medium Direktorat Jenderal Hortikultura, 2009
2. Perkembangan KRPL
Perkembangan KRPL meningkat dari awal kegiatan Perkembangan keluarga yang mengikuti kegiatan KRPL tertera pada Tabel 2. Pada tabel 2 menunjukan bahwa jumlah keluarga yang mengikuti
KRPL betambah, setiap desa pada awal kegiatan hanya 20 KK, pada akhir kegiatan menjadi 65 KK Desa Wukirsari, 50 KK Desa Margo Agung dan 35 KK Desa Wukirharjo. Pada tahun 2016 ini,
meskipun sudah tidak kami dampingi, kegiatan KRPL tersebut masih berjalan. Kegiatan apabila dirasakan oleh masyarakat itu bermanfaat dan meningkatkan pendapatan kegiatan tersebut akan tetap
berjalan. Peningkatan jumlah KK diindikasikan bahwa kegiatan tersebut mampu memberikan manfaat bagi petani sehingga kegiatan KRPLdapat berjalan. Menurut BB2TP, 2014 meliputi tiga aspek yaitu
kebun bibit desa, kawasan rumah pangan dan kelembagaan. Jika penilaian dari ke tiga aspek KBD, kawasan pangan dan kelembagaan total nilai 250 program KRPL berlanjut. Jika total nilai 150-
250 program KRPL berlanjut tetapi tersendat dan total nilai 100
– 150 program KRPL tidak berlanjut. Selanjutnya Murwati dan Wiendarti Indri Werdhany 2016 menyatakan bahwa kegiatan
KRPL di Desa Wukirsari mempunyai total nilai 253, Desa Margo Agung total nilai 272 dan Desa
114
Wukirharjo total nilai 274. Dengan total nilai 250 berarti kegiatan ke tiga desa tersebut masih berlanjut masih berjalan.
Tabel 2. Perkembangan keluarga yang mengikuti KRPL 2015
No Lokasi Desa
Jumlah KKawal Jumlah KK akhir kegiatan
1. Wukirsari
20 65
2. Margo Agung
20 50
3. Wukirharjo
20 35
Jumlah 60
150 Sumber analisis data primer2015
3. Pendapatan KRPL Pendapatan KRPL diperoleh dari tanaman sayuran seperti tomat, cabai, terong, dan lain-lain.
Disamping sayuran ada buah pepaya, jahe tergantung spesifik lokasi. Tanaman yang merupakan wajib ditanam adalah tanaman terong, tomat dan cabai. Pendapatan ini didukung juga oleh pendapatan dari
kebun bibit desa KBD. Petani yang menanam cabai di sawah, sebagian besar membeli bibit di KBD, karena tahu bahwa bibit di KBD itu merupakan bibit sehat, yang ditandai bahwa bibit jika ditanam di
lahan sawah kurang terserang penyakit. 3.1. Kawasan Rumah Pangan Lestari di Desa Wukirsari, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman.
Analisis pendapatan KRPL di Desa Wukirsari tertera pada Tabel 3 dan Analisis Pendapatan KBD tertera Tabel 4.
Pada tabel 3. Menunjukkan bahwa analisis pendapatan di kawasan Rumah pangan lestari KRPL di Desa Wukirsari, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman pada
tahun 2015 sebesar Rp 21.532-500,-
Tabel 3. Analisis pendapatan KRPLdi Desa Wukirsari, Cangkringan, Sleman Tahun2015
No Komoditas
Hslkg Jumlah RPL Jml prod kg
Harga satuan Rp
Penerimaan Rp
Biaya Rp Pendapatan
Rp 1 Tomat
6 65
390 7.500
2.925.000 130.000
2795.000 2 Cabai Merah
5 65
325 12.500
4.0625.00 325.000
3.737.500 3 Terong
16 65
1040 4.000
4.160.000 325.000
3.835.000 4 Bawang daun
10 65
650 8.000
5.200.000 195.000
5.005.000 5 Stroberi
phn 1
60 15.000
900.000 150.000
750.000 6 Sawi
5 65
325 5.000
1.625.000 325.000
1300.000. 7 Sledri
2 65
130 12.000
1.560.000 325000
1.235.000 8 Bawang putih
2 1
2 20.000
40.000 5000
35.000 9 Cabe Rawit
6 65
390 7.500
2.925.000 325.000
2.600.000 10 Kobis
3 30
90 3.500
315.000 75.000
240.000 Total
23..712500 218000
21.532.500 Sumber analisis data primer 2015
Masing-masing tanaman mempunyai umur yang berbeda seperti tomat, cabai, terong, loncang, bawang putih, kobis dalam satu tahun ditanam 2-3 kali, karena umur tanaman 3-5 bulan. Jika Sawi
yang ditanam dalam satu tahun 7-8 kali tanam, karena umur tanaman hanya 1 bulan, tanaman sudah dipanen. Selain pendapatan yang berasal dari tanaman sekitar, petani juga memperoleh pendapatan
dari KBD yang tertera pada Tabel 4.Pendapatan di KBD Desa Wukirsari sebesar Rp 2.927.500 ,-
Pendapatan tertinggi dari hasil penjualan buah pepaya dan diikuti hasil penjualan bibit cabai. Komoditas kangkung juga disenangi oleh masyarakat yang rasanya manis, dan jika digigit itu renyah
apabila masaknya optimal. Tanaman kangkung Varietas Sutera dari Badan litbang Pertanian memberikan hasil yang baik bagi petani
115
Tabel 4. Analisis pendapatan KBD di Desa Wukirsari, Cangkringan, Sleman 2015
No Jenis
Komoditas Hasil
kgikat Harga satuan
Rp Penerimaan
Rp Biaya
Rp Pendapatan
Rp 1
Cabe Rawit 10
7500 75.0000
20.000 55.000
2 Bawang
Merah 2
15000 30.000
5.000 25.000
3 Jahe
12 20000
240.000 30,000
210.000 4
Bayam 75 ikt
1500 112.500
5.000 107.500
.5 Cabe Merah
15 12.500
187.500 75.000
112.500 6
Kacang panjang
7 5000
35000 10.000
25.000 7
Kangkung 50 ikt
500 25000
10.000 15.000
8 Terong
4 15000
60000 10.000
50.000 9
Tomat 7
7500 52500
35.000 17.500
10 Pepaya
104 15000bh
1.560.000 50.000
1.510.000 11
Penjualan Bibitbenih
cabai 10.000
120 1.200.000
400.000 800.000
Total 3.5775.00
650.000 2.927.500
Sumber analisis data primer2015
3.2. Kawasan Rumah Pangan Lestari di Desa Margo Agung, Kecamatan Seyegan , Kabupaten Sleman
Analisis pendapatan KRPL di Desa Margo Agung tertera pada Tabel 5 dan Analisis pendapatan dari KBD tertera Tabel 6.
Tabel 5. Analisis pendapatan KRPL di Desa Margo Agung, Sleman 2015
No Jenis
Komoditas Hasil
kg Jumlah
RPL Produksi
kg Harga satuan
Rp Penerimaan
Rp Biaya
Rp Pendapatan
Rp 1
Tomat 1
50 50
3500 175.000
125.000 50.000
2 Cabe
1 50
50 7500
375.000 125.000
250.000 3
Terung 6
50 300
3000 900.000
100000 800.000
4 Bawang
daun 2
50 100
8000 800.000
125.000 675.000
5 Sawi
6 50
300 3000
900.000 50.000
850.000 6
Cabe rawit 4
50 200
4500 900.000
50.000 850.000
Total 4.050.000
575.000 3.475.000
Sumber analisis data primer2015
Pada Tabel 5. Menunjukkan bahwa analisis pendapatan KRPL di Desa Margo Agung Kecamatan Seyegan Kabupaten Sleman sebesar Rp 3.475.000,. -Hasil penjualan terbesar diperoleh dari
komoditas cabai rawit dan sawi. Tabel 6. Analisis pendapatan KBD di Desa Margo Agung, Sleman.2015
No Jenis komoditas
Hasil kgikt
Harga Rp Penerimaan
Rp Biaya Rp
Pendapatan Rp 1
Cabe Rawit 10
7500 75000
10.000 65.000
2 Bawang Merah
4 15000
60000 10.000
50.000 3
Jahe 12
10000 120000
15,000 105.000
4 Bayam
120 ikat 1500
180.000 10,000
170.000 5
Cabe Merah 12
7500 90000
15,000 75.000
6 Kacang panjang
10 3500
35000 10.000
25.000 7
Kangkung 50ikt
1000 50000
10.000 40.000
8 Terong
30 5000
150000 15,000
135.000 9
Tomat 7
2500 17500
15.000 2500
10 Jual Bibit
3000 bibit 120
36000 100.000
260.000 Total
1.137.500 210.000
927.500 Sumber analisis data primer2015
116
Tabel 6 menunjukkan bahwa analisis pendapatan dari KBD di Desa Margo Agung, Kecamatan Seyegan, Sleman sebesar Rp 927.500,-
3.3. Kawasan Rumah Pangan Lestari di Desa Wukirharjo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman
Analisis pendapatan KRPL di Desa Wukirharjo tertera pada Tabel 7 dan Analisis pendapatani KBD tertera Tabel 8. Pada Tabel 7. Menunjukkan bahwa, pendapatan terbesar pada tanaman jahe.
Lokasi ini pada tahun 2015 mendapat juara pertama tingkat propinsi Daerah istimewa Yogyakarta DIY, dalam mengembangkan tanaman toga, khususnya tanaman jahe.
Tabel 7. Analisis pendapatan KRPLdi Desa Wukirharjo dari komoditas, produksi, jumlah, harga tahun 2015
No Komoditas
Rata2 Hasil
Kg Jumlah
RPl KK
Jumlah produksi
Harga satuan
Rp Penerimaan
Rp Biaya
Rp Pendapatan
Rp 1
Bayam 8
35 280
3000 840.000
175.000 665.000
2 Kangkung
10 35
350 3000
1.050.000 175.000
875.000 3
Cabai 1
35 35
16000 560.000
175.000 385.000
4 Terong
12 35
420 4000
1.680.000 175.000
1505.000 5
Bawang daun 4
35 140
8000 1.120.000
175.000 945.000
6 Tomat
2 35
70 5000
350.000 175.000
175.000 7
Jahe 10
35 350
15000 5.250.000
1.050.000 4,200.000
8 Kunyit
2 35
70 5000
350.000 175.000
175.000 9
Kencur 1,5
35 52,5
10000 525.000
175.000 350.000
Total 11.725.000
2.450.000 9.275.000
Sumber analisis data primer2015
Hasil analisis KBD di Desa Wukirharjo terbesar dari hasil penjualan Timun.. Jenis timun yang ditanaman Varietas Timun Mars yang merupakan varietas dari Badan Litbang Pertanian yang
memberikan pendapatan dari KBD 21 dari total pendapatan KBD Tabel 8. Analisis pendapatan KBD Desa WukirharjoTahun 2015
No Komoditas
Produksi KgIkat
Harga Rp
Penerimaan Rp
Biaya Rp Jumlah
Pendapatan Rp
1 Kangkung
500 500
250000 25.000
225.,000 2
Cabe merah 4
16000 64000
50.000 14.000
3 Kacang panjang
5 3000
15000 5.000
10.000 4
Sawi 10
7500 75.000
10.000 65.000
5 Timun
20 8500
170.000 20.000
150.000 6
Bayam 100
2000 200.000
25.000 175.000
7 Jahe
5 15000
75000 5.000
70.000 Total
849.000 140.000
709.000 Sumber analisis data primer2015
Hasil tertinggi dari KBD di Desa Wukirharjo adalah kangkung Varietas Sutra dari Badan Litbang Pertanian yakni sebesar Rp 225,000,- memberikan pwndaptan 31,7 dari total pendapatan
KBD. Pendapatan ke tiga desa KRPL yang tertinggi adalah KRPL Desa Wukirsari Rp 21.532.500,- hal ini disebabkan karena komoditas yang ditanam adalah komoditas yang tumbuh baik pada dataran
medium Direktorat Jenderal Hortikultura, 2009yang umumnya tanaman dataran medium harganya lebih menjanjikan seperti bawang daun, dan stroberi. Selanjutnya pendapatan diikuti oleh KRPL
Wukirhajo Rp 9.275.000,-,karena KRPL Wukirharjo mempunyai komoditas andalan yaitu toga jahe emprit, dan jahe merah. KRPL Wukirharjo ini8 menjadi juara satu tingkat provinsi di Daerah
istimewa Yogyakarta pada tahun 2015 Murwati, dkk, 2015. Sedangkan pendapatan terendah KRPL .Margo Agung Rp 3.475.000,-, karena komoditas yang diusahakan tidak spesifik yakni komoditas
yang diusahakan mempunyai penyebaran tumbuh yang sangat luas di dataran rendah sampai tinggi seperti bayam, sawi, cabai, terong Direktorat Jenderal Hortikultura, 2009, dan ada tanaman bawang
daun tumbuh tetapi pertumbuhannya kurang optimal.
117
Pendapatan dari ke tiga KBD yang tertinggi adalah Desa Wukirsari Rp 2.927.500,- karena ada kerja sama dengan petani yang menanam cabai di sawah. Selanjutnya pendapatan KBD diikuti Desa
Margo Agung Rp 927.500,- . KBD Margo Agung juga menjual bibit cabai merah pada petani sawah, tetapi belum optimal. Pendapatan KBD terendah di Desa Wukirharjo Rp 709.000,-karena beluam ada
kerjasama dengan petani yang menanam cabai di sawah Murwati, dkk,2015.
KESIMPULAN
Hasil analisis pendapatan pendampingan kawasan rumah pangan lestari KRPL ke tiga desa di Kabupaten Sleman, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Rumah pangan lestari RPL di tiga desa memberikan pendapatan rumah tangga yang bervariasi yaitu Wukirsari mencapai Rp 21.532.500,- diikuti Rp Wukirharjo Rp.9.275.000,- dan terendah
DesaMargo Agung sebesar Rp.3.475.000,-
2.
Sementara itu pendapatan dari kebun bibit desa KBD yang terbesar di Desa Wukirsari sebesar Rp 2.927.500 diikuti Margo Agung Rp.927.500 dan Desa Wukirharjo Rp 709.000,-
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapkan terimakasaih kami sampaikan kepada tim KRPL kabupaten Sleman : Sutarno SST, Heri Basuki SST, dan Charisnalia Setyowati SP. Selanjutnya kami ucapkan terimakasih kepada ke tiga
kelompoktani: KWT Mulyo Raharjo di Desa Wukirsari, KWT Makmur Lestari di Desa Margo Agung dan KWT Sekar Arum di Desa Wukirharjo serta Kepala Desa Wukirsari, Margo Agung dan
Wukirharjo yang telah mendukung kegiatan KRPL di Kabupaten Sleman.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimus, 2012. Petunjuk pelaksanaan model kawasan rumah pangan lestari, Balai Besar Penelitian dan PengkajianTeknologi pertanian. Badan Litbang Pertanian,Bogor.
Badan Litbang Pertanian. 2012. Pengembangan kawasan rumah pangan lestari. BadanLitbang Pertanian,Jakarta.
Badan Pusat Statistik. 2008. Slemandalam angka. Sleman. BBP2TP. 2014. Kuiseioner mapping klaster kawasan rumah pangan lestari. Balai Besar Pengkajian
dan Pengembangan Teknologi Pertanian BBP2TP. Bogor. Direktorat Jenderal Hortikultura.2009. Vademekum budidaya dan usaha tanaman sayuran dan
biofarmaka. Direktorat Budidaya Tanaman Sayuran Dan Biofarmaka, Direktorat Jenderal Hortikultura, Departemen Pertanian. Jakarta.
Murwati dan
Wiendarti Indri
Werdhany. 2016.
Titikpointkeberlanjutanprogram kawasanrumahpanganlestari KRPL di Sleman. Makalah disampaikan pada seminar
nasional di Universitas Sebelas Maret Surakarta, 27 April 2016. Murwati, Sutardi dan Sutarno. 2015. Evaluasi KRPL Kabupaten Sleman. Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian BPTP Yogyakarta. Rukmana, R. 2005. Bertanam sayuran di pekarangan. PenerbitKanisius. Yogyakarta.
Rusastro,I.W. 2004. Analisis ekonomi usahatani dan kelayakan Finansiil teknologi pada skala pengkajian pelatihan analisis finansial dan ekonomi bagi pengembangan sistem agribibnis
wilayah 29 Nopember-9 Desember 2004. Sinar Tani, 2011. Melongok kawasan rumah pangan lestari di Pacitan. Edisi 3425. Oktober 2011.
Sohat J., 2004. Buletin pengembangan dan UML, kentang dataran medium Balitsa.Badan Litbang Pertanian. Lembang- Jawa Barat.
http:icalpolekegi.blogspot.co.id201112ilmu-usahatani.htm. Ilmu Usahatani. ical pole kegiatan mari berkreasi dengan alam sekitar dengan partisipasi kreatifitas , jumat 02 Desember
2011, diunduh 23 Oktober 2016.
118
TINGKAT PARTISIPASI ANGGOTA KELOMPOK WANITA TANI KWT DALAM PROGRAM MODEL KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI M-KRPL DI DESA
CAMPANG, KECAMATAN GISTING, KABUPATEN TANGGAMUS PARITICIPATION LEVEL MEMBERS OF KWT IN M-KRPL AT CAMPANG VILLAGE,
GISTING DISTRICT, TAGGAMUS REGENCY Nasriati
1
dan Siswani Dwi Daliani
2
1
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Lampung
2
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu. Jl. Hi. Za. Pagar Alam No.1A Rajabasa Bandar Lampung 35145
e-mail : bptp lampungtelkom.net
ABSTRAK
Dalam rangka mewujudkan kemandirian pangan,pemerintah berupaya menggerakkan kembali budaya menanam dilahan pekarangan, baik diperkotaan maupun dipedesaan. Penelitian ini bertujuan untuk 1
mengidentifikasi tingkat partisipasi anggota Kelompok Wanita Tani KWT dalam program Model Kawasan Rumah Pangan Lestari M-KRPL di Desa Campang, Kecamatan Gisting, Kabupaten
Tanggamus pada bulan Nopember 2015. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja purposive, dengan pertimbangan lokasi tersebut sebagai lokasi M-KRPL sejak tahun 2013. Metode penelitian
yang digunakan adalah metode survey melalui wawancara pada anggota Kelompok Wanita Tani KWT peserta M-KRPL, jumlah sampel sebanyak 22 responden. Metode pengambilan sampel
menggunakan Simple Random Sampling. Data yang dikumpulkan yaitu data primer dan data sekunder, data primer diperoleh melalui wawancara langsung pada anggota KWT peserta program M-
KRPL dengan menggunakan kuesioner, sedangkan data sekunder diperoleh dari literatur yang ada. Data yang dikumpulkan meliputi: karakteristik responden, Partisipasi dalam perencanaan,
pelaksanaan, pemanfaatan hasil, dan evaluasi program kRPL serta permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan program KRPL. Analisis data tingkat partisipasi menggunakan metode deskriptif.
Sementara data tingkat partisipasi anggota diukur menggunakan skala ordinal yang berpedoman pada Skala Likert. Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa tingkat partisipasi secara keseluruhan berada
pada kategori tinggi
, mulai dari tahap perencanaan sampai dengan evaluasi dengan persentase diatas 50 . Diketahui bahwa persentase tertinggi ada pada tingkat partisipasi dalam tahap perencanaan
yaitu 86,36 , yang diikuti tingkat partisipasi tahap evaluasi dengan persentase 77,73. Sementara tingkat partisipasi pada tahap pelaksanaan dan pemanfaatan dengan persentase sebesar 72,27.
Kata kunci: Partisipasi, program KRPL
ABSTRACT
In order to achieve food self-sufficiency, the government is attempting to reestablish a culture plant grounds in urban and rural areas.This research aims to 1 identify the level of participation of
members of Women Farmers Group “Kelompok Wanita Tani” KWT in Regions model program Sustainable Food House “Model Kawasan Rumah Pangan Lestari” M-KRPL in Campang Village,
Gisting district, Tanggamus in November, 2015. The choice of location made intentionally purposive sampling, with consideration of the location as the location of the M-KRPL since 2013.The method
used is survey by interviewing the members of the Group of Women Farmers “Kelompok Wanita Tani” KWT participants M-KRPL, the total sample of 22 respondents. The sampling method using
Simple Random Sampling. The data collected are primary data and secondary data, primary data obtained through direct interviews with KWT members M-KRPL program participants using
questionnaires, while the secondary data obtained from the existing literature. Data collected include: characteristics of respondents, participation in planning, implementation, product utilization, and
evaluation of KRPL programs and problems encountered in the implementation of the KRPL programs.Participation level data analysis using descriptive methods. While the data level of member
participation is measured using the ordinal scale based on the Likert Scale. It can be concluded that the overall level of participation at the high category, starting from the planning phase to the
evaluation at high category with a percentage above 50. It is known that the highest percentage is in the level of participation in the planning stages, namely 86.36, followed by the level of participation
of the evaluation stage with a percentage of 77.27. While the level of participation at the stage of implementation and utilization by the same percentage amounted to 72.73.
Keywords:
Participation, KRPL programs
119
PENDAHULUAN
Kementerian Pertanian melalui Badan Litbang Pertanian telah menyusun konsep yang dis
ebut” Kawasan Rumah Pangan Lestari” yang dibangun dari Rumah Pangan Lestari RPL dengan prinsip pemanfaatan pekarangan yang ramah lingkungan untuk pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi
keluarga serta peningkatan pendapatan yang pada akhirnya akan meningkatkankesejahteraan melalui partisipasi masyarakat. Konsep ketahanan pangan selalu identik dengan ukuran kemandirian pangan,
yaitu terpenuhinya kebutuhan pangan nasionalkawasan secara mandiri dengan memberdayakan modal manusia, sosial dan ekonomi yang berdampak pada peningkatan kehidupan sosial dan ekonomi
masyarakatpetani.Kemandirian pangan hanya dapat terwujud jika pembangunan penumbuhan dilaksanakan atas dasar prakarsa partisipasi aktif manyarakat sendiri sebagai bentuk kesadaran untuk
membangun ketahanan pangan yang handal.
Dalam rangka mewujudkan kemandirian pangan, pemerintah berupaya menggerakkan kembali budaya menanam di lahan pekarangan, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Untuk menjaga
keberlanjutannya, pemanfaatan pekarangan dalam konsep Model KRPL dilengkapi dengan kelembagaan Kebun Bibit Desa, unit pengolahan serta pemasaran Laporan Tahunan Pendampingan
Kawasan Rumah Pangan Lestari, 2015
Prinsip utama pengembangan KRPL adalah : 1 memenuhi kebutuhan pangan dan gizi keluarga dan masyarakat melalui optimalisasi pemanfaatan pekarangan secara lestari; 2
meningkatkan kemampuan keluarga dan masyarakat dalam pemanfaatan lahan pekarangan diperkotaan maupun di perdesaan untuk budidaya tanaman pangan, buah, sayuran dan tanaman obat
keluarga toga, pemeliharaan ternak dan ikan, serta pengolahan limbah rumah tangga menjadi kompos; 3 mengembangkan sumber benihbibit untuk menjaga keberlajutan pemanfaatan
pekarangan dan melakukan pelestarian tanaman pangan lokal untuk masa depan, serta 4 mengembangkan kegiatan ekonomi produktif keluarga sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan
keluarga dan menciptakan lingkungan hijau yang bersih dan sehat secara mandiriAnonimous
a
, 2011. Lampung memiliki luas lahan pekarangan sekitar 239.386 ha atau 6,78 dari luas lahan pertanian
yang dapat dijadikan sebagai sumber potensial penyedia bahan pangan yang bernilai gizi dan nilai ekonomi tinggi
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian BPTP Lampung, pada tahun 2011 telah melakukan uji coba pengembangan Model - KRPL di 2 Kabupaten, kemudian pada tahun 2012 ujicoba dilakukan di
10 Kabupaten dari 14 KabupatenKota yang ada di Lampung dan pada tahun 2013 pengembangan dilakukan pada seluruh KabupatenKota di Provinsi Lampung, termasuk salah satunya Kabupaten
Tanggamus, tepatnya Desa Campang, Kecamatan Gisting, dengan melibatkan Kelompok Wanita Tani KWT Srikandi yang dibantu seorang penyuluh pendamping setempat.
Program KRPL merupakan wujud dari pembangunan yang bersifat partisipatif dikarenakan masyarakat diikutsertakan dalam proses pembangunan sehingga masyarakat
dapat ikut andil sebagai subjek pembangunan. Partisipasi merupakan keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan tentang apa yang akan dilakukan dan bagaimana
keputusan tersebut dilakukan; keterlibatan mereka dalam pelaksanaan program dan keputusan dengan menyumbangkan berbagai sumber daya atau kerjasama dalam organisasi
kegiatan yang lebih spesifik; mereka berbagi manfaat dalam program pembangunan; keterlibatan mereka dalam upaya untuk mengevaluasi program. Secara keseluruhan, keempat
jenis keterlibatan mencakup sebagian besar yang biasa disebut dengan partisipasi dalam kegiatan pembangunan pedesaan.
Indikator keberhasilan dari program ini adalah selain diterapkannya KRPL oleh rumah tangga kooperator, juga diharapkan percontohan ini sebagai media
percepatan diseminasi, sehingga M-KRPL dapat berkembang meluas secara cepat dan berjalan secara kontinyu Siswani 2013.
Melalui program ini diharapkan dapat memberikan hasil yang memuaskan dan mencapai kesejahteraan masyarakat.
Penelitian ini bertujuan untuk 1 mengidentifikasi tingkat partisipasi anggota Kelompok Wanita Tani KWT dalam program Model Kawasan Rumah Pangan Lestari M-KRPL di Desa
Campang, Kecamatan Gisting, Kabupaten Tanggamus.
120
METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan di Desa Campang, Kecamatan Gisting, Kabupaten Tanggamus pada bulan Nopember 2015. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja purposive, dengan pertimbangan
lokasi tersebut sebagai lokasi M-KRPL sejak tahun 2013. Metode penelitian yang digunakan adalah metode survey melalui wawancara pada anggota Kelompok Wanita Tani KWT peserta M-KRPL,
jumlah sampel sebanyak 22 responden. Metode pengambilan sampel menggunakan Simple Random Sampling. Data yang dikumpulkan yaitu data primer dan data sekunder, data primer diperoleh
melalui wawancara langsung pada anggota KWT peserta program M-KRPL dengan menggunakan kuesioner, sedangkan da sekunder diperoleh dari literatur yang ada. Data yang dikumpulkan meliputi:
karakteristik responden, Partisipasi dalam perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan hasil, dan evaluasi program kRPL serta permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan program KRPL.Analisis data
tingkat partisipasi dan permasalahan yang dihadapi dalam berpartisipasi menggunakan metode deskriptif, yang merupakan suatu metode dalam menganalisa dan menjabarkan data-data penelitian
dengan teori-teori yang berhubungan dengan permasalahan guna menjawab masalah dan dapat menarik kesimpulan yang disajikan. Sementara data tingkat partisipasi anggota diukur menggunakan
skala ordinal yang berpedoman pada Skala Likert.
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Responden
Kelompok Wanita Tani KWT Srikandi di Desa Campang, Kecamatan Gisting merupakan salah satu lokasi program M-KRPL sejak tahun 2013, sebagian besar anggota 100 suku jawa.
Dari hasil wawancara diketahui karakteristik petani sampel, disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Karakteristik Responden KWT Srikandi, Desa Campang.
Uraian Kisaran
Rata-rata
Umur th 28-50
42,36 Pendidikan th
6-17 10,18
Jumlah Tanggungan Keluarga orang 2-6
4,2 Luas pekarangan m2
12 – 720
196,2 Lama menjadi anggota kelompok tahun
3-10 5,59
Pendapatan 480.000-7.500.000
1.907.727 Sumber: Analisis data primer, 2016
Umur
Umur sangat berkaitan dengan kemampuan fisik seseorang dalam kegiatan usaha, pengalaman berusaha dan pengambilan keputusan terhadap suatu kegiatan yang menyangkut dirinya, yang
tentunya berpengaruh terhadap pendapatan keluarga. Pada Tabel 1, dapat dilihat bahwa umur rata-rata anggota KWT Srikandi kooperator MKRPL Desa Campang 42,36 tahun, berada pada kisaran 28-50
tahun termasuk dalam golongan umur produktif. Menurut Simanjuntak dalam Yasin 2003 penduduk yang memiliki umur berada 15-54 tahun berada pada kisaran produktif, sedangkan umur 0-
14 tahun termasuk ke dalam golongan umur tidak produktif. Dengan demikian diperkirakan kooperator memiliki kemauan dan kemampuan yang cukup dalam menyikapi tujuan program.
Pendidikan
Tingkat pendidikan formal merupakan salah satu indikator untuk mengetahui kemampuan berpikir, kreatifitas dan efisiensi serta keefektifan seseorang dalam berusahatani. dan Kualitas
sumberdaya yang tinggi dapat ditentukan dengan tingkat pendidikan yang diperoleh seseorang. Pada Tabel 1, menunjukkan bahwa pendidikan rata-rata responden pada anggota KWT Srikandi sekitar
10,18 tahun setingkat SMP sebanyak 36, 36 yang diikuti dengan pendidikan SD 27,27 dan yang berpendidikan SLTA dan S1 dengan persentase yang sama yaitu 18,18 . Distribusi tingkat
pendidikan responden dapat dilihat pada Tabel 2.
121
Tabel 2. Distribusi responden anggota KWT Srikandi berdasarkan tingkatPendidikan
No Tingkat Pendidikan
Jumlah Jiwa Persentase
1 Tamat SD
6 27,27
2 Tamat SMP
8 36,36
3 Tamat SMA
4 18,18
4 Sarjana S1
4 18,18
Jumah 22
100 Sumber: Analisis data primer, 2016
Jumlah tanggungan keluarga
Jumlah tanggungan keluarga dalam suatu keluarga merupakan beban keluarga dalam penyediaan segala kebutuhan hidup, tetapi disisi lain merupakan sumber tenaga kerja untuk
melaksanakan kegiatan usaha yang berpengaruh terhadap tingkat pendapatan dan pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Semakin banyak anggota keluarga yang ditanggung akan
semakin banyak pengeluaran yang harus dipenuhi.Pada Tabel 1 dapat dilihat, jumlah tanggungan keluarga KWT Srikandi kooperator MKRPL Desa Campang rata-rata 4,2 jiwa berada pada kisaran
2-6 jiwa.
Lama Menjadi Anggota Kelompok
Anggota KWT Srikandi Desa Campang sebagain besar 54,54 berprofesi sebagai ibu rumah tangga. Pengalaman usahatani sudah mereka miliki semenjak mereka bergabung menjadi
kooperator program M-KRPL, bahkan sebagian anggota KWT sebelumnya terbiasa berusahatani membantu suami mereka. Pada Tabel 1 menunjukkan rata-rata responden telah menjadi anggota
kelompok 5,59 tahun berada pada kisaran 3-10 tahun. Dengan demikian berarti sebagian besar responden menjadi anggota kelompok sejak berdirinya KWT Srikandi yaitu pada tahun 2009 dan
sebagian kecil ada yang sudah menjadi anggota KWT sebelum berdirinya KWT Srikandi.
Pendapatan
Pendapatan merupakan salah satu tolok ukur keberhasilan rumah tangga dalam berusaha dan merupakan indikator kesejahteraan masyarakat dan pendapatan juga dapat berpengaruh pada tingkat
partisipasi. Rata –rata pendapatan rumah tangga KWT Srikandi kooperator M-KRPL Desa Campang
sebesar Rp. 1.907.727,- berada pada kisaran Rp. 480.000 sampai dengan Rp. 7.500.000,-
Tingkat Partisipasi Anggota KWT
Partisipasi merupakan suatu bentuk khusus dari interaksi dan komunikasi yang berkaitan dengan pembagian kewenangan, tanggung jawab dan manfaat Mardikanto, 2012. partisipasi juga
dikemukakan oleh Slameto 1995 yang mengatakan bahwa partisipasi adalah “Pemusatan energi psikis yang tertuju pada suatu obyek, dan juga meliputi banyak sedikitnya kesadaran yang menyertai
sesuatu aktivitas yang sedang dilakukan”. Juga dikatakan partisipasi adalah keikutsertaan, peranserta atau keterlibatan yang berkitan dengan
keadaaan lahiriah. Prinsip partisipasi adalah masyarakat berperan secara aktif dalam proses atau alur tahapan program dan pengawasannya, mulai dari tahap sosialisasi, perencanaan, pelaksanaan, dan
evaluasi dengan memberikan sumbangan tenaga, pikiran, atau dalam bentuk materi PTO PNPM PPK, 2007. Oleh sebab itu partisipasi merupakan faktor yang paling penting dalam mendukung
keberhasilan atau perkembangan suatu program.
Suatu program dalam pengembangannya maupun dalam menjalankan seluruh kegiatannya mutlak memerlukan partisipasi dari seluruh lapisan yang terdapat dalam anggota maupun instansi
pendukung lainnya. Melalui partisipasi, segala aspek yang berhubungan dengan pelaksanaan kegiatan pencapaian tujuan dapat terealisasi. Dalam penelitian ini partisipasi merujuk pada keikutsertaan
anggota KWT dalam mengembangkan Kebun Bibit Desa KBD, pemanfaatan pekarangan dengan aneka sayuran dan berperan aktif dalam mengambil keputusan serta berpartisipasi dalam menjalankan
berbagai kegiatan dalam
Program M-KRPL. Tingkat partisipasi dalam penelitian ini diwujudkan dalam bentuk perencanaan, pelaksanaan,
pemanfaatan hasil dan yang terakhir dalam bentuk evaluasi program. Uraian tingkat partisipasi anggota KWT Srikandi Desa Campang dapat dilihat pada Tabel 3.
122
Tabel 3. Tingkat Partisipasi Anggota KWT Srikandi dalamPerencanaan Program M -KRPL di Desa Campang, Kecamatan Gisting, Kabupaten Tanggamus
No Kategori
Kisaran skor Jumlah Jiwa
Persentase 1
Rendah 14-28
1 4,54
2 Sedang
28,1 – 42
2 9,09
3 Tinggi
42,1- 56 19
86,36 Jumlah
22 100
Sumber: Analisis data primer, 2016
Perencanaan menjadi suatu tahap awal yang secara sistematis akan menjadi pedoman bagi keberlangsungan pelaksanaan suatu kegiatan. Melalui suatu perencanaan, semua pelaksanaan kegiatan
akan berjalan terstruktur sesuai dengan rencana kerja yang telah ditetapkan bersama-sama oleh kelompok dalam perencanaan. Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa tingkat partisipasi anggota KWT
Srikandi dalam perencanaan program M-KRPL berada pada kategori tingi 86,36 , pada kisaran skor 42,1-56. Kemudian sekitar 9,09 berada pada kategori sedang dengan kisatan skor 28,1
– 42, selanjutnya 4,54 berada pada kategori rendah, dengan kisaran skor 14-28. Skor rata-rata tingkat
partisipasi anggota KWT Srikandi dalam perencanaan program M-KRPL adalah 46,41. Tingginya tingkat partisipasi dalam perencanaan ini dikarenakan sangat tinggi nya partisipasi anggota dalam hal
pembentukan kelompok, menghadiri kegiatan sosialisasi program M-KRPL, penentuan lokasi Kebun Bibit Desa KBD, jenis tanaman yang akan dikembangkan dan penentuan jadwal piket pemeliharaan
KBD.
Tabel 4. Tingkat Partisipasi Anggota KWT Srikandi dalam Pelaksanaan ProgramM -KRPL di Desa Campang, Kecamatan Gisting, Kabupaten Tanggamus
No Kategori
Kisaran skor Jumlah Jiwa
Persentase 1
Rendah 17-29
1 4,54
2 Sedang
29,1 – 41
5 22,72
3 Tinggi
41,1- 53 16
72,73 Jumlah
22 100
Sumber: Analisis data primer, 2016
Partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan program merupakan bagian keberlanjutan dari rencana yang telah disepakati sebelumnya, baik yang berkaitan dengan perencanaan, pelaksanaan
maupun tujuan Cohen dan Uphoff, 1979 dalam Nurjannah dkk, 2015. Pada tabel 4 dapat dilihat bahwa tingkat partisipasi anggota KWT Srikandi dalam pelaksanaan program M-KRPL berada pada
kategori tingi 72,73 , pada kisaran skor 41,1-53.Kemudian sekitar 22,72 berada pada kategori sedang dengan kisatan skor 29,1
– 41, selanjutnya 4,54 berada pada kategori rendah, dengan kisaran skor 17-29. Skor rata-rata tingkat partisipasi anggota KWT Srikandi dalam pelaksanaan
program M-KRPL adalah 42,18. Tingginya tingkat partisipasi dalam pelaksanaan program M-KRPL ini dikarenakan Sangat tinggi nya partisipasi anggota dalam hal pertemuan kelompok, pelatihan
teknologi, gotong royong, piket di KBD, pemeliharaan tanaman yang ada di KBD, serta ikut melaksanakan kegiatan teknologi pembuatan kompos, pembuatan pestisida nabati dan penanaman
sayuran di pekarangan. Tabel 5. Tingkat Partisipasi Anggota KWT Srikandi dalam Pemanfaatan Hasil Program M -KRPL di
Desa Campang, Kecamatan Gisting, Kabupaten Tanggamus
No Kategori
Kisaran skor Jumlah Jiwa
Persentase 1
Rendah 11-14
2 9,09
2 Sedang
14,1 – 17
4 18,18
3 Tinggi
17,1- 20 16
72,73 Jumlah
22 100
Sumber: Analisis data primer, 2016
Dalam setiap pelaksanaan program M-KRPL yang dicanangkan pemerintah melalui Balai Pengkajian Teknologi Pertanian BPTP, maka akan diikuti dengan pemanfaatan hasil . Pada
indikator pemanfaatan hasil memiliki memiliki 5 aitem pertanyaan dengan nilai rata-rata persentase 72,73 yang masuk pada kategori tinggi dengan kisaran skor 17,1-20. Kemudian 18,18 yang masuk
123
kategori sedang dengan kisaran skor 14,1 – 17. Selanjutnya 9,09 yang masuk kategori rendah
dengan kisaran skor 11-14. Skor rata-rata tingkat partisipasi anggota KWT Srikandi dalam pemanfaatan hasil program M-KRPL adalah 42,18. Tingginya tingkat partisipasi dalam pelaksanaan
program M-KRPL ini dikarenakan Sangat tinggi nya partisipasi anggota dalam hal pertemuan kelompok, pelatihan teknologi, gotong royong, piket di KBD, pemeliharaan tanaman yang ada di
KBD, serta ikut melaksanakan kegiatan teknologi pembuatan kompos, pembuatan pestisida nabati dan penanaman sayuran di pekarangan.Skor rata-rata tingkat partisipasi anggota KWT Srikandi dalam
pelaksanaan program M-KRPL adalah 17,81. Tingginya tingkat partisipasi dalam pemanfaatan hasil program M-KRPL ini dikarenakan Sangat tinggi nya partisipasi anggota dalam hal memanfaatkan
sarana dan prasarana berupa bantuan yang diberikan oleh BPTP, memanfaatkan hasil sayuran yang ditanam untuk dikonsumsi serta menikmati keindahan pekarangan yang telah ditanami aneka sayuran.
Tabel 6. Tingkat Partisipasi Anggota KWT Srikandi dalam EvaluasiProgram M
–KRPLdi Desa Campang, Kecamatan Gisting, Kabupaten Tanggamus
No Kategori
Kisaran skor Jumlah Jiwa
Persentase 1
Rendah 21-22
2 Sedang
22,1 – 23
5 22,72
3 Tinggi
23,1 – 24
17 77,27
Jumlah 22
100 Sumber: Analisis data primer, 2016
Evaluasi pelaksanaan juga merupakan suatu proses umpan balik atas kinerja anggota dalam pelaksanaan yang telah dilakukan yang berguna untuk meningkatkan produktivitas dan pendapatan.
Pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa tingkat partisipasi anggota KWT Srikandi dalam evaluasi program M-KRPL berada pada kategori tingi 77,27 , dengan kisaran skor 23,1-24.Kemudian sekitar 22,72
berada pada kategori sedang dengan kisatan skor 22,1 – 23. Skor rata-rata tingkat partisipasi
anggota KWT Srikandi dalam evaluasi program M-KRPL adalah 22,5.Tingginya tingkat partisipasi dalam evaluasi pelaksanaan program M-KRPL ini dikarenakan Sangat tinggi nya partisipasi anggota
dalam hal bermanfaatnya program ini dalam memenuhi pangan keluarga, berdampak pada peningkatan pendapatan, berdampak pada peningkatan pengetahuan dan wawasan, mampu
memperkuat kelembagaan yang ada serta menjadi tempat percontohan masyarakat sekitarnya.
KESIMPULAN
Hasil penelitian dengan judul “ Tingkat Partisipasi Anggota KWT Srikandi dalam Program Model Kawasan Rumah Pangan Lestari M-KRPL di Desa Campang, Kecamatan Gisting, Kabupaten
Tanggamus dapat disimpulkan bahwa tingkat partisipasi secara keseluruhan berada pada kategori tinggi. Hal tersebut didasarkan pada
tingkat partisipasi anggota KWT peserta KRPL desa Campang terhadap program KRPL, mulai dari tahap perencanaan sampai dengan evaluasi berada pada kategori
tinggi diatas 50. Persentase tertinggi ada pada tingkat perencanaan yaitu 86,36, yang diikuti tingkat partisipasi tahap evaluasi dengan persentase 77,27 , sementara tingkat partisipasi pada tahap
pelaksanaan dan pemanfaatan yaitu 72,73.
UCAPAN TERIMA KASIH
Kami haturkan terima kasih yang sebesarnya kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam penulisan makalah ini dari mulai pengambilan data sampai dengan pembuatan makalah ini. Kepada
Bapak Kepala BP3K Kecamatan Gisting, Kabupaten tangamus, Penyuluh lapangan di desa Campang Kabupaten Tanggamus, Tak lupa kami ucapkan terima kasih juga kepada stakeholders yang telah
membantu dalam pengisian data kuesioner ini, mudah- mudahan Tulisan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.
AFTAR PUSTAKA
Anonim. 2002. Pedoman Umum Pemanfaatan Pekarangan. http:kambing.ui.ac.idbebasv12
artikelpanganDEPTANNew FolderIIPedum Pengembangan Pekarangan.doc .
Badan Litbang Pertanian. 2012. Pedoman Umum Pengembangan Model Kawasan Rumah Pangan Lestari. Jakarta.
124
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Lampung, 2015. Laporan Tahunan Pendampingan Kawasan Rumah Pangan Lestari. BPTP Lampung. Bandar Lampung, tahun 2015.
BPTP Jawa Tengah 2008. Penyuluh dan Penyebaran Informasi Pertanian pada daerah P4MI. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. Jawa Tengah.
Daliani. 2013.Laporan Pendampingan KRPL th 2013. Fauzia,S.2002. Revitalisasi Fungsi Informasi dan Komunikasi serta diseminasi luaran BPTP . Makalah
disampaikan pada ekspose dan seminar teknologi pertanian spesifik lokasi, 14-15 Agustus 2002 di Jakarta. Pusat penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi. Bogor.
Kementerian Pertanian. 2011. Panduan Kawasan Rumah Pangan Lestari. Jakarta. Mardikanto, 2012. Pemberdayaan Masyarakat Alfabeta, Bandung.
Nurjannah, R. Yulida R, Sayamar, E. 2015. “Tingkat Partisipasi Anggota Kelompok Wanita Tani
dalam Program Model Kawasan Rumah Pangan Lestari M-KRPL di iak.
125
PRODUKTIVITAS TERNAK KAMBING YANG DIBERI PAKAN TEPUNG LIMBAH KOPI TERFERMENTASI
PRODUCTIVITY OF GOATS THAT FED FERMENTED COFFEE WASTE FLOUR Anak Agung Ngurah Badung Sarmuda Dinata
1
, Suprio Guntoro
1
dan Jhon Firison
2
1
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali Jl. By Pas Ngurah Rai Pesanggaran, Denpasar-Bali, TelpFax: 0361-720498
2
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu E-mail: badunglahneyahoo.co.id
ABSTRAK
Suatu penelitian dilakukan untuk mengetahui produktivitas ternak kambing yang diberi pakan tambahan tepung limbah kopi terfermentasi. Penelitian dilakukan selama 4 bulan, menggunakan 16
ekor kambing dengan rataan bobot badan awal 16,12 ± 1,03kg. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap RAL yang terdiri atas 4 perlakuan dan 4 ulangan. Adapun perlakuan yang diberikan
adalah : kambing diberi pakan hijauan sesuai dengan cara petani P1, kambing diberi pakan hijauan + dedak padi 300 gramekorhari P2, kambing diberi pakan hijauan + tepung kulit buah kopi 300
gramekorhari P3 dan kambing diberi pakan hijauan + campuran dedak padi dengan tepung kulit buah kopi 300 gramekorhari dengan perbandingan 1 : 1 P4. Parameter yang diamati meliputi : 1
bobot badan awal, 2 bobot badan akhir, 3 pertambahan bobot badan, 4 konsumsi pakan dan 5 Feed Conversion Ratio FCR. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertambahan bobot badan
kambing yang memperoleh perlakuan P2 paling tinggi yakni sebesar 53,57 gramekorhari, tetapi tidak berbeda nyata P0,05 dibandingkan dengan perlakuan P3 dan P4. Hasil penelitian ini dapat
disimpulkan bahwa kambing yang diberi perlakuan P3 dan P4 memiliki pertambahan bobot badan yang tidak berbeda nyata dengan kambing yang diberi perlakuan P2. Dapat direkomendasikan bahwa
pemberian tepung kulit buah kopi terfermentasi sebanyak 50 dan 100 dapat digunakan sebagai pakan tambahan pengganti dedak padi.
Kata kunci :
kambing, pakan, tepung kulit buah kopi
ABSTRACT
The research was conducted to determine the productivity of goats that fed fermented coffee waste flour. This research was carried out for 4 months, used 16 goats with the average body weight 16,12 ±
1,03kg. The study arranged with completely randomized design with 4 treatments and 4 replication. Treatment were goats fed with forage according to the way farmers P1; goats fed equal to P1 + 300
grams of rice bran head day P2; goats fed equal to P1 + 300 grams of fermented coffee waste flour head day P3 and goats fed equal to P2 + 300 grams of fermented coffee waste flour head
day. Parameters of initial body weight, final body weight, body weight gain, feed consumption and feed conversion ratio FCR were observed. The result indicated that P5 treatment was the best
productivity with highest body weight gain was 53,57 gramsheadday, but was not significantly higher P 0.05 compared to P3 and P4 treatments. This study suggests that goats were given
treatments P2 and P3 has not significant body weight gain compared to P2 treatment. It can be recommended that fed of the fermented coffee waste flour as much as 50 and 100 can be used as a
supplement for substitute of rice bran.
Keywords: goats, feed, coffee waste flour
126
PENDAHULUAN
Kambing merupakan ternak ruminansia kecil yang paling banyak dipelihara pada areal perkebunan kopi. Permintaan daging kambing di Bali semakin meningkat seiring dengan
meningkatnya pendapatan masyarakat. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut setiap tahun Provinsi Bali rata-rata memasukkan sebanyak 32.337 ekor kambing Anon, 2015. Di pihak lain populasi ternak
kambing mengalami penurunan 16,95 yakni dari jumlah 75.138 ekor pada tahun 2009 menjadi sekitar 62.402 ekor pada tahun 2013 Anon, 2014. Selain itu, produktivitas ternak kambing yang
dibudidayakan masih rendah sebagai akibat pemberian pakan yang hanya berupa hijauan saja.
Ketersediaan pakan ternak yang murah dan berkualitas merupakan kendala dalam pengembangan usaha peternakan, karena sekitar 60-80 dari biaya produksi diperuntukkan untuk
memenuhi kebutuhan pakan Hardianto et al., 2002. Untuk menghasilkan produktivitas ternak kambing yang baik, perlu disertai dengan pemberian pakan tambahan. Namun, pemberian pakan
tambahan belum banyak dilakukan karena memerlukan beban biaya tambahan lagi. Pemberian pakan tambahan menurut persepsi petani akan menurunkan margin keuntungan yang diperolehnya. Dengan
demikian pakan yang disediakan hendaknya selain memiliki kualitas yang baik, juga harus ekonomis agar dapat memberikan keuntungan kepada peternak.
Di sisi lain hasil pertanian dan industri pertanian menghasilkan produk limbah dan hasil ikutan dalam volume yang sangat besar dan jenis beragam Ginting, 2004. Areal perkebunan kopi di Bali
seluas 36.597 ha dengan produksi kopi sebanyak 17.317,81 tontahun Anon, 2014. Buah kopi secara fisik proporsinya 51,59 terdiri dari biji dan kulit tanduk sedangkan 48,41 kulit dan daging buah
Zaenudin et al., 1995. Berdasarkan data tersebut, maka terdapat potensi limbah kopi sebanyak 8.383,55 tontahun. Selama ini limbah buah kopi belum dimanfaatkan dan kebanyakan dibuang
sehingga menyebabkan pencemaran lingkungan disekitarnya. Padahal, kulit buah kopi berpotensi besar digunakan sebagai bahan pakan ternak ruminansia khususnya ternak kambing.
Kandungan kulit kopi berturut-turut yakni bahan kering BK : 91,77, protein kasar PK : 11,18, lemak kasar LK : 2,5, serat kasar SK : 21,29 dan TDN : 57,20 Wahyono dan
Hardiyanto, 2004.Kandungan nilai energi metabolisnya 2.440 kkalkg Ruswendi, 2011 serta mengandung pektin sejumlah 6,52 Murni dkk, 2008. Selain adanya potensi tersebut limbah kulit
buah kopi juga memiliki beberapa kelemahan. Limbah kulit buah kopi mengandung zat anti-nutrisi kafein dan tanin Zainuddin dan Murtisari, 1995 dan senyawa fenolik primer seperti lignin Ginting,
2004 yang potensial pengaruhnya dalam menekan nilai manfaat nutrien di dalamnya. Namun, melalui proses fermentasi nilai gizinya dapat ditingkatkan serta zat antinutrisi yang terkandung didalamnya
dapat dikurangi Kompiang, 2000. Dengan inokulan Aspergillus niger, kadar protein daging buah kopi dapat ditingkatkan dari 9,8 menjadi 12,43 Guntoroet al., 2002. Pemberian kulit buah kopi
sebesar20 dapat direkomendasikan untuk menggantikan rumput sebagai pakan basal ternak kambing. Simanihuruk dan Sirait, 2010.
Pemberian pakan tambahan berupa tepung limbah kulit buah kopi terfermentasi akan berpengaruh pada produktivitas ternak kambing. Terkait dengan hal tersebut, perlu dilakukan
penelitian untuk mengetahui produktivitas ternak kambing yang diberi pakan tambahan tepung limbah buah kopi terfermentasi. Hasil penelitian diharapkan akan bisa digunakan sebagai acuan dalam
pemberian pakan tambahan alternatif yang lebih murah, berkualitas dan menguntungkan.
METODOLOGI
Penelitian secara in vivo dilaksanakan di Desa Sanda Kecamatan Pupuan Kabupaten Tabanan. Kambing dipelihara selama 16 minggu dengan didahului masa pra penelitian selama 1 minggu.Ternak
kambing yang digunakan adalah ternak kambing PE umur 12 bulan berjumlah 16 ekor. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap RAL yang terdiri atas 4 perlakuan dan 4 ulangan.
Adapun perlakuan yang diberikan adalah : kambing diberi pakan hijauan sesuai dengan cara petani P1, kambing diberi pakan hijauan + dedak padi 300 gramekorhari P2, kambing diberi pakan
hijauan + dedak kulit buah kopi 300 gramekorhari P3 dan kambing diberi pakan hijauan + campuran dedak padi dengan dedak kulit buah kopi 300 gramekorhari dengan perbandingan 1 : 1
P4.
Kulit buah kopi yang digunakan adalah berasal dari jenis kopi robusta berumur 5 tahun. Kulit buah kopi yang telah kering difermentasi menggunakan jamur Aspergillus niger dalam media cair.
Aspergillus niger dilarutkan dengan air yang sebelumnya ditambahkan gula pasir, urea, dan NPK.
127
Cairan tersebut kemudian inkubasi disertai aerasi selama 24 jam. Fermentasi limbah kulit buah kopi dilakukan di atas lantai yang dilapisi dengan beton, beratap genteng. Limbah yang telah siap
difermentasi ditaburkan pada permukaan media setebal 5 – 10 cm, selanjutnya disiram dengan larutan
Aspergillus niger secara merata. Penyiraman dilakukan dengan sprayer. Tumpukan bahan yang telah tersiram larutan Aspergillus niger ditaburkan lagi limbah setebal 5
– 10 cm, selanjutnya disirami larutan Aspergillus niger secara merata. Demikian seterusnya, sehingga bahan habis tertumpuk dan
tersiram cairan Aspergillus niger. Tumpukan kulit kopi ditutup dengan terpal yang bersih secara rapat dan difermentasi selama 5 hari. Setelah umur 5 hari dibongkar, selanjutnya dikeringkan. Setelah
kering limbah kulit buah kopi tersebut kemudian ditepungkan.
Pakan hijauan yang diberikan berupa jenis hijauan leguminosa semak dengan jumlah 10 dari bobot badan. Pakan hijauan yang diberikan pada masing-masing ternak terdiri atas jenis dan proporsi
yang sama. Pemberian pakan hijauan sebanyak 50 dilakukan pada pagi hari dan 50 pada sore hari. Untuk pemberian pakan tambahan dilakukan pada pagi hari sebelum pemberian pakan hijauan.
Pemberian pakan tambahan dicampur dengan air sampai membentuk pasta. Air minum diberikan pada waktu yang bersamaan dengan pemberian pakan hijauan secara ad libitum. Adapun kandungan pakan
tambahan dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Kandungan nutrisi pakan tambahan
Nutrient
1
Jenis bahan A
B C
Bahan kering 89,60
86,86 87,96
Proten kasar 9,55
10,23 9,89
Gross Energi kcalkg 3581
3829 3705
Lemak 5,96
1,14 3,55
Bahan organik 85,01
92,04 88,53
Abu 14,99
7,96 11,48
Serat kasar 8,9
29,46 19,18
Kalsium Ca 0,88
0,42 0,65
Phospor P 0,9
0,12 0,51
Keterangan :
1
Nutrien diperoleh dari hasil analisa laboratorium Balitnak Bogor A = dedak padi halus
B = limbah kulit buah kopi yang difermentasi dengan Aspergillus niger C = campuran B dan C dengan perbandingan 1 : 1
Parameter yang diamati meliputi : 1 bobot badan awal, 2 bobot badan akhir, 3 pertambahan bobot badan, 4 konsumsi pakan dan 5 Feed Conversion Ratio FCR. Pertambahan
bobot badan diketahui dengan menghitung selisih antara bobot badan denganpenimbangan setiap 4 minggu sekali. Pertambahan bobot badan harian didapatkan dari hasil pengurangan bobot badan akhir
dengan bobot badan awal ternak dibagi dengan lama penelitian. Konsumsi pakan dihitung mengurangi jumlah pakan yang diberi dengan sisa pakan. Untuk penentuan Feed conversion ratio FCR dihitung
dengan membagi jumlah konsumsi pakanekorhari dengan tambahan bobot badan ekorhari yang didapatkan selama penelitian.Data-data yang diperoleh dari hasil penelitian ini dianalisis dengan
analisa sidik ragam dengan tingkat kesalahan 1-5. Apabila pengujian sidik ragam menunjukkan pengaruhnyata, maka pengujian diantara rataan dua perlakuan dilakukan dengan uji jarak berganda
dari Duncan Kaps dan Lamberson, 2004.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Perlakuan P2 memiliki pertambahan bobot badan PBB paling tinggi yakni sebesar 53,57 gramekorhari, tetapi tidak berbeda nyata P0,05 dibandingkan dengan perlakuan P3 dan P4 Tabel
2. Data ini lebih rendah daripada yang didapatkan Guntoro et al. 2004 yang menyatakan pemberian tepung kopi yang difermentasi dengan Aspergillus niger sebanyak 100-200 gramhari menghasilkan
pertambahan bobot badan yang sangat baik 95 gramhari.
128
Tabel 2. Produktivitas ternak kambing yang diberi pakan tambahan tepung limbah buah kopi terfermentasi
Peubah
1
Perlakuan Nilai P
P1 P2
P3 P4
Bobot Badan awal kgekor 16,23
a
15,8
a
16,4
a
16,03
a
0,9808 Bobot Badan akhir kgekor
19,33
a
21,8
a
21,83
a
21,37
a
0,6283 Pertambahan bobot badan gekorhari
27,68
b
53,57
a
43,45
a
47,62
a
0,0398 Konsumsi pakan gekorhari
2
509,5
b
845,4
a
715,37
ab
840,17
a
0,0163 FCR
18,63
a
19,39
a
16,92
a
18,09
a
0,9868 Keterangan :
1
Nilai dengan huruf berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata
2
Nilai dengan huruf berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata P1 : Kambing diberi pakan hijauan sesuai dengan cara petani
P2 : Kambing diberi pakan hijauan + dedak padi 300 gramekorhari P3 : Kambing diberi pakan hijauan + dedak kulit buah kopi 300 gramekorhari
P4 : Kambing diberi pakan hijauan + campuran dedak padi dengan dedak kulit buah kopi 300 gramekorhari
dengan perbandingan 1 : 1
Ternak kambing yang mendapat pakan hijauan seperti cara petani belum mampu memenuhi kebutuhan ternak kambing untuk berproduksi secara optimal. Pemberian pakan tambahan sebanyak
300 gramekorhari menyebabkan pakan yang tersedia menjadi lebih banyak, sehingga lebih banyak juga dapat dikonsumsi oleh ternak. Hal ini dibuktikan dengan lebih tingginya konsumsi pakan
perlakuan P2 dan P4 yang sangat signifikan lebih tinggi P0,01 dibandingkan perlakuan P1. Tingkat konsumsi pakan ruminansia dipengaruhi oleh komposisi pakan, jenis pakan, palatabiitas, ukuran
tubuh, faktor fisiologis, bentuk pakan dan kapasitas rumen Tilman et al., 1986. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian pakan tambahan berupa tepung limbah kopi terfermentasi dapat digunakan sebagai
pengganti dedak padi pada ternak kambing sebanyak 50 hingga 100.
Konversi pakan adalah gambaran terhadap efisiensi penggunaan ransum. Konversi pakan merupakan pembagian antara jumlah konsumsi per hari dengan pertambahan bobot badan per hari.
Paling tingginya konsumsi pakan pada perlakuan P2 menyebabkan feed convertion ratio FCR menjadi lebih tinggi. Pada perlakuan P4 FCR-nya masih lebih rendah dibandingkan perlakuan P1. Hal
ini disebabkakan PBB-nya lebih tinggi, walupun konsumsi pakannya juga lebih tinggi. FCR paling rendah terdapat pada perlakuan P3. Meskipun PBB-nya lebih rendah, tetapi karena konsumsi
pakannya lebih sedikit menyebabkan FCR pada perlakuan P3 menjadi paling rendah. Hal ini menunjukkan bahwa, kambing perlakuan P3 paling efisien dalam memanfaatkan pakan yang
dikonsumsi. Kambing yang diberi ransum perlakuan P3 membutuhkan 16,92 kg pakan untuk meningkatkan 1 kg bobot badan.
Lebih rendahnya konsumsi pakan pada kambing yang memperoleh perlakuan P3 disebabkan kandungan serat kasar dalam tepung limbah buah kopi lebih tinggi. Makin tingginya kandungan serat
kasar akan menyebabkan pakan memiliki sifat bulky kemampuan mengisi lambung lebih tinggi sutardi, 1995. Menurut Putra 1992 ransum yang sifat bulkynya tinggi menyebabkan ternak akan
makan sedikit, karena lambungnya cepat terasa penuh. Selain itu, serat kasar yang tinggi akan menghalangi proses hidrolisis oleh enzim mikroba di dalam rumen, sehingga menurunkan tingkat
kecernaan Tang et al., 2008. Rendahnya konsumsi menyebabkan jumlah pakan yang dapat dicerna semakin rendah sehingga berpengaruh pada PBB-nya lebih rendah.
Lebih rendahnya konsumsi pakan juga disebabkan adanya kandungan zat anti nutrisi di dalam kulit buah kopi. Kulit buah kopi mengandung substansi anti nutrisi seperti kafein, tanin, lignin dan
senyawa polifenol Orozco et al., 2008. Adanya tanin dan kafein menurunkan kesukaan dan palatabilitasnya bagi ternak Mazzafera, 2002. Tandi 2010 mengemukakan tanin dapat mengikat
protein membentuk ikatan kompleks protein tanin sehingga protein tersebut sukar dicerna oleh enzim protease. Tanin juga mempengaruhi metabolisme karbohidrat dengan mengikat pati sehingga sukar
dicerna oleh enzim amylase. Badarina et al. 2013 melaporkan bahwa terjadi penurunan kadar lignin kulit buah kopi setelah difermentasi sebesar 31.12, namun nilai lignin kulit buah kopi masih cukup
tinggi yaitu berkisar 45.04. Arora 1995menyatakan bahwa pakan dengan kandungan lignin yang tinggi mempunyai palatabilitas dan nilai konsumsi yang rendah.
Pemanfaatan kulit buah kopi terfermentasi tidak menimbulkan perbedaan didalam pH rumen dan produksi N-ammonia tetapi menurunkan produksi VFA dan kecernaan bahan kering dan bahan
129
organik Badarina et al., 2014. Penurunan VFA total khususnya proporsi propionat dalam produk kecernaan fermentatif memungkinkan ternak kurang mampu menyediakan dan memanfaatkan energi
yang cukup dalam upaya meningkatkan bobot badannya. Pakan dengan serat kasar yang lebih tinggi akan semakin lama dicerna dalam lambung. Semakin singkat pakan berada di dalam rumen akan
memberikan produk kecernaan yang mengarah ke terbentuknya asam propionat yang lebih tinggi Putra, 2006
KESIMPULAN
1. Kambing yang diberi perlakuan P2 dan P3 memiliki pertambahan bobot badan yang tidak berbeda nyata dengan kambing yang diberi perlakuan P1.
2. Kambing yang memperoleh perlakuan P3 memiliki Feed Convertion Ratio paling rendah 3. Pemberian sebanyak 50 dan 100 dapat digunakan sebagai pakan tambahan pengganti dedak
padi
DAFTAR PUSTAKA
Anon. 2014. Bali Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Provinsi Bali. Anon. 2015. Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan 2015. Direktorat Jenderal Peternakan dan
Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian. Arora, S. P. 1995. Pencernaan Mikroba Pada Ruminansia 2
ed
. Yogyakarta : Gajah Mada University Press
Badarina, I., D. Evvyernie, T.Toharmat, E.N.Herliyana, and L.K. Darusman. 2013. Nutritive value of coffee husk fermented with as ruminant feed. Med. Pet. 36 1: 58-63.
Badarina, I., D. Evvyernie, T.Toharmat dan E.N.Herliyana. 2014. Fermentabilitas Rumen dan Kecernaan In Vitro Ransum yang Disuplementasi Kulit Buah Kopi Produk Fermentasi
Jamur Pleurotus ostreatus. Jurnal Sains Peternakan Indonesia. 9 2 : 102-109 Ginting, S.P. 2004. Tantangan dan peluang pemanfaatan pakan lokal untuk pengembanganpeternakan
kambing di Indonesia. Pros. Lokakarya Nasional Kambing Potong. Bogor, 6 Agustus 2004. Puslitbang Peternakan dan Loka Penelitian Kambing Potong. hlm. 61−77.
Guntoro. S, M. Rai Yasa dan Nym Sugama. 2002. Hasil Pengkajian Pemanfaatan Limbah Perkebunan Kakao dan Kopi Untuk Pakan Ternak. Laporan Kegiatan kerjasama BPTP Bali dengan
Bappeda Prop. Bali Guntoro,S., M. R. Yasa, Rubiyo dan N.Suyasa.2004.Optimalisasi IntegrasiUsaha Tani Kambing
DenganTanaman Kopi.Pros.
SeminarNasional SistemIntergasi
Tanaman-Temak. Denpasar,20-22Juli2004.Puslitbang Peternakan,BPTPBalidanCASREN. Pp 389-395
Hardianto, R. DE., Wahyono, C., Aman, Suyamto, G., Kartono dan S. R Sumarsono. 2002. Kajian Teknologi Pakan Lengkap Complete Feed Sebagai Peluang Agribisnis Bernilai
Komersial di Perdesaan. Makalah Seminar dan ekspose Teknologi Spesifik Lokasi. Badan Litbang Pertanian. Jakarta.
Kaps, M. and W.R. Lamberson. 2004. Biostatistic for Animal Science. CABI Publishing, Cambridge, USA.
Kompiang, I.P. 2000. Peningkatan Mutu Bahan Baku Pakan. Makalah Seminar Pengembangan teknologi Pertanian Ramah Lingkungan. 8-9 Maret 2000. IP2TP Denpasar
Mazzafera, P. 2002. Degradation of Caffeine by Microorganisms, and Potential Use of Decaffeinated Coffee Husk and Pulp in Animal Feeding. Scientia Agricola. Vol. 59. N.4 p. 815-821
Murni, R.Suparjo,dkk. 2008. Buku Ajar Teknologi Pemanfaatan Limbah Untuk Pakan. Laboratorium Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Jambi.
Orozco, A.L., M.I. Perez, O. Guevara, J. Rodriguez., M. Hernandez, and Gonzales-Vila. 2008. Biotechnology enhancementof coffee pulp residues by solid state fermentation with
streptomyces. Py-Gel MS Analysis. J. Anal. Appl. Pyrolysis 81:247-252. Putra, S. 1992. Evaluasi Komposisi Kimia dan Tingkat Konsumsi 16 Provenance Gamal Gliricidia
sepium yang Ditanam Pada Lahan Kering di Bali. Tesis, Fakultas Peternakan. Bogor : Institut Pertanian Bogor
130
Putra, S. 2006. Pengaruh Suplementasi Agensia Defaunasi dan Waktu Inkubasi Terhadap Bahan Kering, Bahan Organik Terdegradasi dan Produk Fermentasi secara In Vitro. Animal
Production. Jurnal Produksi Ternak. Fakultas Peternakan, Universitas Jenderal Soedirman, Surakarta. Vol. 8 2 : 121
– 130. Ruswendi, 2011. Teknologi Pakan Berkualitas untuk Sapi Potong. Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian Bengkulu. Simanihuruk, K dan J. Sirait. 2010. Silase Kulit Buah Kopi Sebagai Pakan Dasar Pada Kambing
Boerka Sedang Tumbuh. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. P. 557- 566
Sutardi, T., D. Sastradipradja., E. B. Laconi., Wardhana., I. G. Permana. 1995. Peningkatan produksi ternak ruminansia melalui amoniasi pakan serat bermutu rendah, defaunasi dan
suplementasi sumber protein tahan degradasi dalam rumen. Laporan Penelitian, Fakultas Peternakan. Bogor : Institut Pertanian Bogor.
Tandi, E. J. 2010. Pengaruh Tanin Terhadap Aktivitas Protease. Seminal Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Fakultas Peternakan. Universitas Hasanuddin. Makassar. Hal:
567-570. Tang, S. X., G. O. Tayo., Z. L. Tan., Z. H. Sun., L. X. Shen., C. S. Zhou., W. J. Xiao., G. P. Ren., X.
F. Han and S. B. Shen. 2008. Effects of Yeast Culture and Fibrolytic Enzyme Supplementation on In Vitro Fermentation Characteristics of Low-Quality Cereal Straws.
Journal Animal Science 86: 1164-1172 Tilman. A. D., H. Hartadi., S. Reksohadiprojo., P. Prawirokusumo dan S Lebdosoekorjo. 1986. Ilmu
Makanan Ternak Dasar. Yogyakarta : Gajah Mada Universitty Press. Wahyono, D. E dan R. Hardiyanto. 2004. Pemanfaatan Sumberdaya Pakan Lokal Untuk
Pengembangan Usaha Sapi Potong. Pros. Lokakarya Nasional Sapi Potong. Puslitbangnak. Badan Litbang Pertanian. Yogyakarta.
Zaenudin. D., Kompiang. I. P. dan Hamid. H. 1995. Pemanfaatan Kulit kopi dalam Ransum Ayam. Kumpulan Hasil
–Hasil Penelitian APBN T.A. 9495. Balai Penelitian ternak Ciawi- Bogor.
Zaenudin, D., dan T. Murtisari. 1995. Penggunaan Limbah Agro-Industri Buah Kopi Kulit Buah Kopi dalam Ransum Ayam Pedaging Broiler. Prosiding Pertemuan Ilmiah Komunikasi
dan Penyaluran Hasil Penelitian. Sub Balai Penelitian Klepu. Ungaran.
131
PEMANFAATAN SILASE KULIT KAKAO UNTUK PAKAN TERNAK MENDUKUNG PENGEMBANGAN TERNAK KAMBING DI PROPINSI LAMPUNG
UTILIZATION OF COCOA SILAGE USE SKIN FOR LIVESTOCK DEVELOPMENT SUPPORT ANIMAL FEED THE GOAT IN THE PROVINCE OF LAMPUNG
Elma Basri dan Suryani
Balai PengkajianTeknologi Pertanian Lampung
Jl.Hi. Z.APagar AlamNo.1A, Raja Basa, BandarLampung
e-mail : basrielmayahoo.co.id
ABSTRAK
Kulit buah kakao KBK adalah pakan potensial yang mudah tersedia sepanjang tahun dan mengandung nilaigizi tinggi.Pengkajian tentangPemanfaatan silase kulit kakao untuk pakan ternak
mendukung pengembangan ternak kambing di Propinsi Lampung dilaksanakan di Desa Sinar Harapan Harapan, Kecamatan Kedondong, Kabupaten Pesawaran, Propinsi Lampung. Tujuan penelitian :
untuk mengetahui peningkatan berat badan kambing.Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus- November 2014.Sebanyak10 ekor kambing Peranakan Etawa dengan berat badan rata-rata 30kg
– 45kg, umur kambing berkisar antara 1,5 hingga 2,0 tahun, dengan perlakuan terdiri dari dua perlakuan
dan lima ulangan. Perlakuan yang diberikan adalah: P0=hijauan segar cara petani; P1=hijauan segar + silase limbah kulit buah kakao. Kambing ditimbang setiap 4 minggu menggunakan timbangan
digital. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak LengkapCRD. Data dianalisis dengan uji T, Hijauan segar diberikan secara adlibitum, silase limbah kulit kakao diberikan sekitar 2 kg ekor hr.
Parameter yang diukur adalah pertambahan berat badan hidup harianPBBH dan konversi pakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan silase limbah kulit buah kakao dapat meningkatan
pertambahan berat badan harian 100g ekor hr P1 dibandingkan dengan kontrol P0 69 g ekorhari. Konversi pakan dari ternak yang diberi silase limbah kulit kakao lebih baik 6,0
dibandingkan dengan tanpa pemberian silase limbah kulit kakao 8,69.
Kata kunci : Pemanfaatan, kulit kakao, pakan ternak, kambing
ABSTRACT
Pod husks CBC is a potential feed is readily available throughout the year and contains high nutritional value. Assessment of Pemanfaatan cocoa skin silage for animal feed to support the
development of goats in Lampung Province was held in the village of Sinar Harapan Harapan, District Kedondong, Pesawaran District, Lampung Province. Objective: to determine the weight gain
of goats. This study was conducted in August-November 2014. A total of 10 goats Etawa breed with an average weight of 30 kg - 45 kg, aged goat ranged from 1.5 to 2.0 years, with treatment consisting
of two treatments and five replications.The treatments were: P0 = fresh forage the farmers; + P1 = fresh forage silage waste pod husks. Goats were weighed every 4 weeks using digital scales. This
study uses a completely randomized design CRD. Data were analyzed by T- test, green fodder provided ad libitum, waste silage cocoa skin given about 2 kg head hr. Parameters measured were
weight gain daily living PBBH and feed conversion. The results showed that the use of waste silage pod husks can increase daily weight gain of 100g head hr P1 compared with controls P0 69 g
head day. Feed conversion of animal waste by silage 6.0 cocoa skin better than without giving cocoa shell waste silage 8.69.
Keywords: Utilization, cocoa skin, fodder, goat
PENDAHULUAN
Potensi kakao di Lampung pada tahun 2013 sebanyak 27.846 ton Lampung dalam angka, 2014.Kulit buah kakao merupakan limbah dengan proporsi paling besar dihasilkan. Kulit biji
diperoleh dari pengolahan biji yang besarnya sekitar 10 dari berat buah kakao. Buah kakao terdiri dari tiga bagian yaitu kulit buah kasar 74 , plasenta 2 dan biji 24 Harsini dan Susilowati, 2010.
Kulit buah kakao yang begitu banyak bila tidak ditangani dengan baik akan menjadi masalah yang cukup serius bagi lingkungan, padahal ditinjau dari komposisisnya limbah tersebut nutrien sangat
dibutuhkan ternak ruminansia. Kulit buah kakao mempunyai komposisi gizi setara dengan komposisi
132
gizi rumput sehingga biomasa KBK sangat potensial sebagai pakan alternatif untuk menggantikan rumput Puastuti dan Yulistiani, 2011.
Limbah kulit buah kakaoKBK adalah pakan potensial karena tersedia sepanjang tahun, mudah tersedia dan tinggi nutrisi. Kakao Quanto terdiri 70-80 dari kulit dan plasenta, sisanya
adalah biji. Dalam satu hektar perkebunan kakao produktif dapat menghasilkan limbah kulitbuahsegarsebanyak 5ton hatahun, atau setara dengan812kgtepung.Limbah kulit buah kakao ini
memiliki peranan yang cukup penting dan cukup berpotensi dalam penyediaan bahan pakan untuk ternak ruminansia, apalagi pada saat musim kemarau.Pada musim kemarau pertumbuhan rumput
terhambat, sehinga ketersediaan bahan pakan hijauan kurang dan kualitasnya rendah. Akibatnya timbul kekurangan hijauan pakan, mengingat ketersediaan hijauan yang terbatas, maka langkah yang
strategis yang diambil adalah memanfaatkan limbah kulit buah kakao sebagai pakan ternak.
Kulit buah kakao cangkangpod, daun pangkasan tanaman serta hijauan tanaman pelindungnaungan yaitu gamal Gliricidia sepium dan lamtoro Leucaena leucocephala merupakan
limbah agroindustri yang sangat potensial untuk dimanfaatkan sebagai pakan ternak ruminansia khususnya kambing terutama pada musim kemarau. Kandungan nutrisi pada bahan pakan tersebut
dapat dikatakan sebagai bahan pakan berkualitas tinggi. Dimana kandungan protein kasar kulit buah kakao berkisar 10 persen, sedangkan untuk tanaman hijau dari gamal dan lamtoro lebih dari 20 persen.
Limbah kulit kakao memiliki kandungan gizi yang terdiri dari 88 BK, 8 CP, CF 40, 50,8 TDN, dan penggunaannya oleh ruminansia 30-40 Sunanto, 1994. Buah kakao yang
diberikan langsung kepada hewan akan menurun kualitasnya. Sebelum menggunakan sebagai pakan ternak, limbah kulit buah kakao harus difermentasi terlebih dahulu karena mengandung senyawa anti-
gizi.
Pemanfaatan KBK sebagai pakan pengganti rumput ataupun pakan tambahan mampu mendukung produktivitas ternak ruminansia terutama kambing Suparjo et al., 2011.
Hijauan adalah pakan utama untuk kambing perah. Namun, pakan penguat konsentrat diperlukan agar ternak dapat berproduksi secara optimal. Pakan yang diberikan harus minimal
memiliki tiga jenis hijauan; jenis rumput, legum biji dan daun. Jenis pakan penguatadalah campuran dari beberapa limbah produk pertanian, seperti dedak padi, dedak gandum pollard, bungkil inti sawit,
bungkil kelapa, molasses, mineral dan vitamin. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan berat badan kambing dengan memanfaatkan silase limbah kulit buah kakao.
METODE PENELITIAN
Kegiatan penelitian yang dilakukan di Desa Sinar Harapanan, Kecamatan Kedondong, Kabupaten Pesawaran. Desa ini merupakan wilayah yang cukup luas perkebunan kakao. Jumlah petani
yang terlibatdalam pengkajian ini berjumlah 10 orang dengan jumlah ternak kambing sebanyak 10 ekor berjenis Peranakan Etawa berusia 1,5
– 2 tahun. Kambing dipelihara dalam sistem kandang panggung secara acak sebanyak 10 ekor kambing.
Perlakuan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah: Po=perlakuan dengan rumput segar cara petani,
P1=perlakuan dengan pemberian silase limbah kulit buah kakao + rumput segar, sebanyak 2 kg Penimbangan dilakukan setiap 4 minggu dengan menggunakan timbangan digital. Sebelum
penelitian semua ternak kambing perlakuan diberikan obat cacing. Jenis,komposisi pakan ternak kambing yang biasanya diberikan pada ternak kambing dari bulan Januari - Juli 2012 tabel 1.
133
Tabel 1.Jenis dan komposisi pakan segar yang biasanya diberikan pada ternak Kambing.
Deskripsi Kemarau
Hujan Komposisi
Jenis -Rumput Alam6 jenis
-Rumput gajahRumput raja
-Leguminosa herba -Daun gamal
-Daun Lamtoro -Jerami kacang tanah
-Kulit buah kakao 32,5
5 5
10 5
5 37,5
20-55 45
- 5
25 -
- 25
15-35 Sumber: Prabowo, 2012.
Selain menanam kakao, peternak memiliki usaha sampingan budidaya ternak kambing. Penelitian dilakukan dengan memanfaatkan limbah kulit buah kakao dibuat menjadi silase untuk
hijauan pakan kambing di lokasi kegiatan. Pada tahap awal, pembuatan silase yang terbuat dari limbah kulit kakao dicampur dengan dedak padi. Limbah kulit kakao dipotong dengan ukuran 2 cm dan
diangin-anginkan dan ditumpuk di terpal, kemudian dicampur dengan dedak padi. Membuat silase sangat mudah, karena mudah mendapatkan bahan baku dari bahan lokal yang tersedia, seperti KBK,
dedak padi, dan lain-lain. Silase dari KBK dapat disimpan selama 2-3 bulan dalam kondisi kedap udara.
Proses pembuatan silase limbah kulit buah kakao : 1. Kulit buah kakao segar dicincang dengan ukuran 1-2 cm atau dengan mesin pencacah cowper
2. Kulit buah kakao diangin-anginkan dengan sinar matahari sehingga kadar airnya turun menjadi 70
. 3. Timbang kulit kakao sebanyak 20 kg.
4. Tambahkan dedak padi sebanyak 10-20 dari kulit buah kakao atau 2 kg - 4 kg. 5. Semua bahan diaduk sampai rata.
6. Bahan yang sudah dicampur disimpan dalam kantong plastik yang diikat dalam Keadaan
kedapudara. 7. Disimpan selama 21 hari atau 3 minggu pada suhu kamar.
8. Penyimpanan dalam kondisi anaerob sebagai cadangan makanan. Pakan, segar yang merupakan campuran dari hijauan segar dan rumput serta
airminum,diberikan secaraadlibitum. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap dan menggunakan 10 kandang 1 kambing per kandang sebagai ulangan. Dibandingkan dengan
perlakuan Po tanpa memberikan silase limbah kulit kakao.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penimbangan rata-rata berat badan awal pada perlakuan P1 adalah 31,22kg, dan rata-rata berat badan akhir adalah 43,2kg. Pertambahan berat badan tertinggi terdapat pada perlakuan P1 dengan
penambahan silase limbah kulit kakao adalah 12,00 kg, bila dibandingkan perlakuan P0 dengan pemberian pakan rumput segarcara petani adalah 8,28 kg. Pertambahan berat badan harianPBHH
selama kegiatan penelitian120 hari adalah 69 g ekor hr perlakuan P0, tidak berbeda nyataP0,05 dengan perlakuan P1 100 grekorhari.Pertambahan berat badan rata-rata perlakuan P1 disebabkan
pakan yang dikonsumsi ternak kambing lebih tinggi bila dibandingkan dengan perlakuan P0 kontrol, serta kandungan protein yang dikandung oleh perlakuan P1 dengan penambahan silase limbah kulit
buah kakao Tabel 2. Menurut Khastrad 2003 dan Chobtang et al2009 konsumsi protein dan energi yang lebih tinggi akan menghasilkan laju pertumbuhan yang lebih cepat.
Hasil penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa olahan KBK dengan tambahan dedak padi melalui proses silase mampu menggantikan 100 rumput di dalam ransum kambing Peranakan
Etawah Puastuti et al., 2009. Silase KBK yang dikombinasikan dengan hijauan leguminosa mengandung protein antara 11,9
– 12,8 lebih tinggi dibandingkan silase KBK tanpa hijauan sebesar 9,2 Puastuti et al ., 2011.
134
Selain pengolahan dengan penambahan starter mikroba, proses fermentasi dapat terjadi dengan menambahkan sumber energi seperti dedak padi, tepung jagung, tepung singkong atau onggok.
Proses fermentasi seperti ini dikenal dengan teknik silase dengan memanfaatkan mikroba indigenous pada KBK, terutama bakteri Lactobacillus sp. Metode silase ini lebih aplikatif di lapang, karena semua
bahan tersedia di lokasi dan tidak diperlukan pengeringan maupun penggilingan. KBK yang disilase dapat diberikan padaternak dalam bentuk segar dan memiliki palatabilitas yang tinggi Puastuti dan
Yulistiani, 2011.
Tanaman kakao Theobroma cacao L, pada perkebunan rakyat menghasilkan limbah kulit buah kakao cangkang yang cukup melimpah dan dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak serta
selalu tersedia sepanjang tahun. Buah Kakao terdiri dari kulit buahcangkang 75,65, biji 21,74, plasenta 2,59. Keberadaan limbah kulit buah kakao belum banyak dimanfaatkan, padahal memiliki
potensi yang cukup besar sebagai bahan pakan ternak alternatif, Kementerian Pertanian 2012.
Kandungan gizi kulit buah kakao yaituBahan Kering 88, Protein Kasar 8, Serat Kasar 40,1, Total DegrestibleNutrient TDN 50,8 dan Lemak 0,90, Sedangkan Menurut Laconiet al
1998 dalam Merdekawani dan Kaswiran 2013 kandungan gizi kulit buahkakao yaitu Bahan Kering 17,0, Protein Kasar 7,17, Serat Kasar 32,5, Abu12,2, Total Degrestible Nutrient TDN
53,0, Lemak 0,80 , Kalsium 0,12,Protein 0,05, dan Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen BETN 32,1.
Pakan yang dikonsumsi pada perlakuan P1dengan penambahan silase limbah kulit buah kakao sebanyak 6 kgekorhari lebih tinggi bila dibandingkan dengan perlakuan kontrol P0 rata-rata 5,5
kgekorhari. Sehingga konversi pakan Perlakuan P1 lebih rendah 6,0 bila dibandingkan dengan perlakuan P0 7,97.
Penggunaan kulit buah kakao yang difermentasi dengan kapang P.chrysosporium dapat digunakan sebagai pakan alternatif pengganti rumputgajah bagi ternak kambing tanpa memperlihatkan
pengaruh yang nyata terhadapkonsumsi bahan organik dan pertambahan bobot badan Murni dkk., 2012.
Tabel2.Data berat badan kambing di Desa Sinar Harapan, Kedondong Kecamatan, Pesawaran
Deskripsi Berat badan kg ekor
P0 P1
Berat badankambing Berat badan awalkg
33,00 31,22
Berat badan akhirkg 41,28
43,2 Pertambahan Berat badankg
8,28 12,00
Pertambahan bobot badan hariang Konsumsi pakan kg
69
a
5.5 100
b
6,0 Konversi pakan
7,97
b
6,0
a
Tabel 3.Hasil analisis kimia pakan kambing ternak selama musim hujan dan musim kemarau, yaitu kandungan protein pakan di musim hujan 10,02, yang lebih rendah dari pada musim kemarau
yaitu 12,44, sementara pakan serat kasar yang diberikan di musim kemarau lebih tinggi 30,75sedangkan pada pada musim kemarau hanya 27,25. Pada musim hujan lemak dalam pakan
ternak 2.93. Hal ini lebih rendah daripada di musim kemarau, yaitu 3,69. Tabel 3.
Tabel3. Analisis kimia bahan pakan ternak kambing PE petani kakao di Kecamatan Kedondong, Kabupaten Pesawaran, pada musim hujan dan musim kemarau.
Deskripsi Kemarau
Hujan
Komposisi Analisis kimia
- Bahan kering , - Protein
- Serat Kasar - Lemak
- Abu - TDN3
38,40 46,82
Bahan kering 10,02
30,75 2,93
8,66 58,85
12,44 27,25
3,69 6,93
65,80 Sumber: Prabowo 2012
135
Sianipar 2007, menyatakan pada pengelolaan limbah kulit buah kakao menjadi silase dapat meningkatan kecernaan dan kandungan protein, dan penyimpananya juga dapat relative lama yaitu 2-3
bulan. Dan penggunaan optimalnya sebesar 20 bahan kering dalam ransum atau sebesar 60 dalam pakan penguat sebagai pakan kambing lokal yang sedang tumbuh. Menurut penelitian hasil Balitnak
Bogor, 2013 Silase Kulit buah kakao BK 22,1 , protein 10,1, lemak 7,9, abu 9,1 , dan 52,2 NDF.
Tabel 4. Hasil analisis proksimat Silase Kulit Buah Kakao di Desa Sinar Harapan,Kecamatan Kedondong, Kabupaten Pesawaran.
Jenis bahan pakan Air
Abu Protein
Lemak Serat
Kasar Karbohidrat
Silase limbah kulit kakao 75.10
2.73 6.53
0.44 8.49
6.03 Hasil analisa Laboratorium Politeknik Negeri Lampung, 2015.
Hasil analisis silase limbah kulit kakao dengan kadar protein 6,53, lemak 0,44, serat kasar 8,49, dan karbohidrat 6,03. Rendahnya hasil analisis silase limbah kulit kakao karena waktu
pembuatan silase limbahkulit kakao kadar airnya terlalu tinggi sehingga kadar proteinnya terlihat lebih rendah Tabel 4.Untuk menurunkan kadar air sebaiknya setelah kulit kakao dicacah kemudian
dikeringkan dikeringkan dengan sinar matahari selama 6 jam penyinaran.
Tabel 5. Analisis usahatani ternak kambing di Desa Sinar Harapan, Kecamatan Kedondong, Kabupaten Pesawaran
No. Parameter
Fisik Biaya RP
A. B.
C. Investasi
Pembuatan kandang Pembelian kambing dara
Jumlah A Operasional
- Pakankonsentrat
- Obat-obatan
- Tenaga kerja 0,5 j
- Hijauan
Jumlah B Total biaya A+B
Hasil
- Penjualan kambing induk
- Penjualan kambing anak
- Penjualan pupuk kandang
Total hasil Keuntungan
RC ratio 10 Unit Rp. 500.000,-
10 ekor Rp. 1.000.000 200 kg Rp. 2.500
2 paket 360 hr Rp. 10.000
15 ekor Rp. 1.500.000,- 16 ekor Rp. 800.000,-
6.480 kg Rp. 500,- 5.000.000,-
10.000.000,- 15.000.000,-
500.000,- 578.000,-
3.600.000,- 4.464.000,-
9.142.000,- 24.142.000,-
22.500.000,- 12.800.000,-
3.240.000,- 38.540.000,-
14.398.000,- 1,59
Analisa pendapatan dari pemeliharaan ternak kambing selama 1 tahun memperoleh tambahan pendapatan sebesar Rp. 14. 398.000,- dari usaha ternak kambing skala usaha 10 ekor. Tingkat efisiensi
usaha ternak kambing dihitung dari penerimaan RC sebesar 1,59. Dengan demikian usaha peternakan kambing dapat memberikan keuntungan bagi peternak dan layak untuk diusahakan tabel 5.
KESIMPULAN
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa penambahan silase limbah kulit kakao untuk ternak kambing dapat meningkatkanpertambahan berat badan harian PBBH 100 g ekor hari, masa
pemeliharaan selama120 hari.Pendapatan usahatani dari pemeliharaan selama 1 tahun memperoleh tambahan pendapatan sebesar Rp. 14.398.000,- dengan RC ratio sebesar 1,59.
136
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih kepada Ir. Firdausil A.B. M.Si ataspartisipasi, bimbingan, bantuan dan kerjasamanya selama pengkajian ini dilaksanakan.
DAFTAR PUSTAKA
Direktorat Pakan Ternak, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian. 2012. Limbah Kakao Sebagai Alternatif Pakan Ternak. Hal: 1-2.
Harsini T. Dan Susilowati. 2010. Pemanfaatan kulit buah kakao dari limbah Sebagai bahan baku pulp dengan proses organosol V. Jurnal Ilmiah.
Khastrad, 2006. Pertumbuhan, konsumsi, dan konversi ransum sapi pesisir yang digemukkan dengan tingkat pemberian ransum dan lama penggemukan berbeda. Jurnal ilmiahilmu-ilmu
Peternakan . 93:215-223. Lampung dalam angka2014. Badan Pusat Statistik Propinsi Lampung.
Murni, R., Akmal dan Y. Okrisandi. 2012. Pemanfaatan Kulit Buah Kakao Yang difermentasi dengan Kapang Phaenerochaete chrysosporum sebagaipengganti hijauan dalam Ransum Ternak
Kambing. AGRINAK. Vol.02 No. 1 Maret 2012:6-10. Magistrelli, D., L.Malagutti, G. Galassi dan F. Rosi. 2014. Cocoa Husks In DietsOf Italian Heavy
Pigs. Journal Of Animal Sciencedoi:10.2527jas.53970 2012, 90:230-232. berbeda. Jurnal Ilmiah Ilmu-ilmu Peternakan. 93:215-223.
Prabowo, A. Firdausil AB. 2012. Laporan Tahunan MP3I tahun 2012. BPTP Lampung, Bandar Lampung.
Puastuti W, Yulistiani D. 2011. Utilization of urea and fish meal in cocoa pod silage based rations to increase the growth of Etawah crossbred goats. In: Ali A, Kamil KA, Alimon AR,
Orskov, Zentek J, Tanuwiria UH, editors. Proc 2nd Int Semin AINI Feed Saf Heal Food. Jatinangor, July 6-7, 2011. Bandung Indonesia: Padjadjaran University. p. 463-469.
Prabowo, A , dan S. Bahri 2002 . Studi Ternak Sistem Pertanian kambing di perkebunan kakao di masyarakat Lampung .Hasil penilaian Laporan TA 2002. BPTP Lampung . Bandar
Lampung 16 halaman Statistik Provinsi Lampung. dalam angka Tahun 2012. Kerjasama Antara Badan Pusat Statistik
Propinsi Lampung Dengan Daerah Badan Perencanaan Pembangunan Of halaman Lampung Province.586.
Suparjo, Wiryawan KG, Laconi EB, Mangunwidjaja D. 2011. Performans kambing yang diberi kulit buah kakao fermentasi.Media Peternakan. 34:35-41.
137
EFEKTIFITAS Trichoderma sp dan BEBERAPA MIKRO ORGANISME LOKAL MOL
SEBAGAI DEKOMPOSER ALAMI PADA KOMPOS JERAMI EFFECTIVENESS OF Trichoderma sp AND LOCAL MICRO ORGANISM MOL AS A
NATURAL DECOMPOSERS ON STRAW COMPOST Widia Siska
1
, Sumilah
1
dan M. PramaYufdy
2
1
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Barat Jl. Raya Padang
– Solok, KM.40 Sukarami Kab. Solok, Sumatera Barat 27365
2
BadanPenelitian dan PengembanganPertanian Jl. Ragunan 29 Pasar Minggu Jakarta 12540
E-mail : widiasiska82gmail.com
ABSTRAK
Pengomposan jerami padi merupakan salah satu cara untuk mengoptimalkan pemanfaatan jerami padi menjadi pupuk organik. Dalam mempercepat proses pengomposan diperlukan dekomposer. Meskipun
Badan Litbang Pertanian sudah mendapatkan dekomposer jerami PROMI dan M-Dec, namun belum banyak diadopsi petani karena sulit didapatkan di pasaran. Hal yang sama juga terjadi pada
Trichoderma sp. Untuk itu, pemanfaatan sumberdaya lokal MOL bisa dimanfaatkan petani sebagai dekomposer alami dalam pembuatan kompos jerami. Penelitian bertujuan untuk melihat efektifitas
Trichoderma sp dan beberapa mikro organisme lokal MOL sebagai dekomposer dalam pembuatan kompos jerami. Pengkajian dilaksanakan bulan September-Desember 2011di Kelompok Tani Fadhila,
Taram, Kabupaten Lima Puluh Kota dan Laboratorium Tanah BPTP Sumatera Barat. R
ancangan Petak Terpisah Split Plot, dengan tiga kali ulangan. Perlakuan Petak Utama adalah 5 jenis bahan
decomposer dengan MOL yang didapat. Anak petak adalah dosiskosentrasi MOL yaitu 400 ml; 300 ml; 200 ml; 100 ml per liter air.
Bahan-bahan yang digunakan terdiri dari : Jerami padi, Trichoderma sp., mol rumen sapi, mol keong, mol rebung, mol buah-buahan, gula merah dan air kelapa. Parameter
yang diamati : 1 suhu, bau, warna, struktur bahan dan hifa mikroba kompos yang diamati setiap minggu. 2 pH dan kadar hara C, N, P, K, Ca, Mg kompos sesudah dikomposkan. Data diolah secara
deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukan bahan kompos jerami padi dengan dekomposer Trichoderma sp lebih cepat mengalami perubahan sifat fisik dibandingkan Mol lainnya. Kompos
jerami padi dengan dekomposer Mol rumen sapi menghasilkan CN yang lebih rendah dan unsur hara N, P, dan K yang lebih tinggi dibandingkan Trichoderma sp dan mol dekomposer yang lainnya.
Kata Kunci : Jerami padi, kompos, dekomposer, Trichoderma sp, mol
ABSTRACT
Decomposition of rice straw is one way to optimize the utilization of rice straw into organic fertilizer. In accelerating the composting process takes decomposers. Although IAARD already getting
decomposers straw Compromise and M-Dec, but has not been widely adopted by farmers because difficult to find in the market. The same thing happened in Trichoderma sp. To that end, the utilization
of local resources Local MicroorganismLM can be used by farmers as a natural decomposer in composting straw. The study aims to look at the effectiveness of Trichoderma sp and several local
micro-organisms as decomposers in composting straw. The assessment was conducted in September- December 2011 in FadhilaFarmers groups, Taram, District Fifty Cities and Soil Laboratory BPTP
West Sumatra. Experimental design used were split plot design, with three replications. Treatment of main plots are 5 types of materials decomposer with LM acquired. The subplots were dose
concentration LM of 400 ml; 300 ml; 200 ml; 100 ml per liter of water. The materials used consisted of: rice straw, Trichoderma sp., Cow rumen LM, mol conch, bamboo shoots LM, LM fruits, brown
sugar and coconut water. The parameters were observed: 1 the temperature, smell, color, structural materials and compost microbial hyphae were observed every week. 2 pH and nutrient levels of C,
N, P, K, Ca, Mg compost after composted. The data were processed by descriptive qualitative. The results showed rice straw compost material by decomposers Trichoderma sp faster change physical
properties compared to other Mol. Rice straw compost with decomposers Mol cow rumen to produce C N lower and nutrients N, P, and K higher than Trichoderma sp and other decomposers mol.
Keywords : Rice straw, compost, decomposers, Trichoderma sp, local microorganism
138
PENDAHULUAN
Pupuk organik memiliki kelebihan dalam mengatasi defesiensi hara, menyediakan hara secara cepat, mengandung unsur hara makro dan mikro yang lengkap meski dalam jumlah sedikit,
memperbaiki struktur tanah, memiliki daya simpan air yang tinggi, memberi tanaman ketahanan terhadap serangan penyakit, serta dapat meningkatkan aktivitas mikroorganisme tanah Palupi, 2015.
Kurangnya pengembalian bahan organik kedalam tanah dan intensifnya penggunaan pupuk kimia menyebabkan mutu fisik dan kimia tanah menurun Sisworo, 2006. Kondisi lahan pertanian di
Indonesia saat ini sekitar ±73 memiliki kandungan C-organik tanah 2,00. Las and Setyorini, 2010. Padahal untuk memperoleh produktivitas optimal dibutuhkan C-organik lebih dari 2Sri
Adiningsih et al., 1995. Oleh karena itu, pemberian pupuk organik mutlak dilakukan.
Salah satu bahan yang sangat berpotensi untuk diolah menjadi pupuk organik adalah jerami. Selama ini, jerami belum termanfaatkan secara optimal. Sebagian besar jerami padi masih dibakar
pada areal persawahan. Hal ini akan meningkatkan polusi udara dan berdampak buruk bagikesehatan lingkungan.
Untuk menjadi bahan organik, jerami harus melalui proses pengomposan. Proses pengomposan dipercepat dengan dekomposer.Produk agen dekomposer bertujuan meningkatkan
kecepatan dekomposisi, meningkatkan penguraian materi organik, dan meningkatkan kualitas produk akhir.
Meskipun Badan Litbang Pertanian sudah mendapatkan dekomposer yang mampu mempercepat proses pelapukan jerami PROMI dan M-Dec, namun belum banyak diadopsi petani
karena sulit didapatkan di pasaran. Hal yang sama juga terjadi pada Trichoderma sp.Padahal, saat ini beberapa jenis dekomposer dapat dibuat dari bahan-bahan sederhana yang mudah didapat seperti buah,
rebung, nasi, rumen sapi dan keong.Bahan-bahan tersebut menjadi sumber mikroorganisme lokal MOL yang bisa dimanfaatkan petani sebagai dekomposer alami dalam pembuatan kompos.
MOL adalah cairan yang mengandung mikroorganisme bakteri yang berguna untuk tanaman dan kesuburan tanah. Mol mengandung bakteri seperti rhizobium sp, azospirillum sp, azotobacter sp,
pseudomonas sp, bacillus sp dan bakteri pelarut phospat. Larutan MOL berpotensi sebagai perombak bahan organik, sehingga MOL dapat digunakan baik sebagai dekomposer Husen and Irawan, 2010.
Bahan utama MOL terdiri atas beberapa komponen, yaitu karbohidrat, glukosa, dan sumber mikroorganisme. Karbohidrat sebagai sumber nutrisi untuk mikroorganisme dapat diperoleh dari
limbah organik seperti air cucian beras, singkong, gandum, rumput gajah, dan daun gamal. Sumber glukosa berasal dari cairan gula merah, gula pasir, dan air kelapa, serta sumber mikroorganisme
berasal dari kulit buah yang sudah busuk, terasi, keong, nasi basi, dan urin sapi. Keuntungan MOL yang lain adalah tidak membutuhkan biaya besar dan sangat murah meriah karena menggunakan
bahan-bahan yang mudah diperoleh di sekitar kita serta pembuatannya sangat mudah Hadinata, 2008.Namun, MOL yang telah dimanfaatkan oleh petani ini, belum diketahui efektifitas dan
kandungan kimia komposnya.
Penelitian bertujuan untuk mengkaji efektifitas Trichoderma sp dan beberapa mikro organisme lokal MOL sebagai dekomposer dalam pembuatan kompos jerami.
METODE PENELITIAN
Pengkajian dilaksanakan bulan September-Desember 2011. Lokasi kajian dilakukandi Kelompok Tani Fadhila, Taram, Kabupaten Lima Puluh Kota dan Laboratorium Uji BPTP Sumatera
Barat.Bahan-bahan yang digunakan terdiri dari : Jerami padi, Trichoderma sp., MOL, rumen sapi, keong, rebung, buah-buahan, gula merah dan air kelapa. Alat yang digunakan terdiri dari : meteran,
timbangan, gelas ukur, ember plastik, bak plastik, sabit, golok, goni, dan alat tulis kantor.
139
Prosedur Pengkajian
Pengujian dilakukan terhadap tiga bahan dekomposer dengan MOL yang telah diidentifikasi untuk mendapatkan dosis dan waktu yang optimal dalam menguraikan jerami padi. Digunakan
rancangan Petak Terpisah Split Plot, dengan tiga kali ulangan. Perlakuan Petak Utama adalah 3 jenis bahan decomposer dengan MOL yang didapat dari pengujian pertama. Anak petak adalah
dosiskosentrasi MOL yaitu 400 ml; 300 ml; 200 ml; 100 ml per liter air. Pembuatan kompos menggunakan bahan untuk setiap jenis dekomposer adalah 1 m
3
. Cara pembuatannya yaitu menumpuk bahan baku selapis demi selapis dimana tebal setiap lapisan sekitar 20 cm, dan pada setiap lapisan
disiram dengan bahan dekomposer. Bahan dekomposer dicampur dengan air sesuai perlakuan. Setelah satu minggu dilakukan pembalikkan.
Pengamatan dilakukan terhadap: 1 Kecepatan dan kemudahan proses pelapukan yang diukur dengan nilai CN mulai minggu kedua setelah pengomposan; 2 Kandungan hara jerami padi hasil
pelapukan; 3 Waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan kompos hasil pelapukan; dan 4 Mutu kompos yang dihasilkan, sesuai SNI 19-0428-1989
Pembuatan kompos dimulai dengan pengumpulan jerami padi dan kotoran sapi. Bahan yang telah dikumpulkan kemudian dibersihkan dari kotoran-kotoran yang ikut terbawa selama pengumpulan
dan pengangkutan. Bahan-bahan yang telah siap sebelum dicampur terlebih dahulu dikering anginkan dengan tujuan mengurangi kadar air agar lebih cepat terdekomposisi.
Pembuatan kompos menggunakan bahan untuk setiap jenis dekomposer adalah 1 m
3
. Cara pembuatannya yaitu menumpuk bahan baku selapis demi selapis dimana tebal setiap lapisan sekitar 20
cm, dan pada setiap lapisan disiram dengan bahan dekomposer. Bahan dekomposer dicampur dengan air sesuai perlakuan.
Bahan yang telah ditumpuk kemudian kemudian di tutup dengan terpal plastik. Plastik ditutup dengan rapat agar tidak ada mikroorganisme maupun makroorganisme dari luar yang masuk ke dalam
bahan kompos. Kompos diletakkan pada tempat yang teduh terlindung dari cahaya matahari langsung dan hujan. Lama pengomposan adalah 30 hari.
Pengukuran suhu dilakukan dengan tangan pertama kali setelah tumpukan berumur 3 hari untuk mengetahui suhu tumpukan. Setelah itu, pengukuran suhu dilakukan setiap 1 minggu sekali.
Suhu dalam tumpukan kompos diukur dengan cara memasukkan tangan pada tumpukan selama 5 menit pada kedalaman 25 cm. Bila temperatur sangat panas dilakukan pembalikan.
Pembalikan dilakukan untuk membuang panas yang berlebihan, memasukkan udara segar kedalam tumpukan bahan, meratakan proses pelapukan di setiap bagian tumpukan, meratakan
pemberian air, serta membantu penghancuran bahan menjadi partikel kecil-kecil. Penyiraman dilakukan jika tumpukan bahan kompos terlalu kering dan sebaiknya dilakukan sebelum pembalikan
sehingga ketika dilakukan pembalikan, air akan tercampur dengan sendirinya. Kadar air yang ideal selama proses pengomposan adalah 40-60, dengan nilai optimum 55. Setelah pengomposan
berjalan 30 hari, suhu tumpukan akan semakin menurun hingga mendekati suhu ruangan. Pada saat itu tumpukan telah lapuk, berwarna coklat tua atau kehitaman.
Parameter yang diamati dan diukur meliputi: 1 suhu, bau, warna, struktur bahan dan hifa mikroba kompos yang diamati setiap minggu. 2 pH dan kadar hara C, N, P, K, Ca, Mg kompos
sesudah dikomposkan dianalisis di BPTP Sumatera Barat..
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Sifat Fisik Kompos Sifat-sifat fisik bahan kompos diamati selama proses pengomposan. Pengamatan dilakukan
setiap minggu, dimulai dari minggu pertama sampai minggu ke empat. Pengamatan sifat-sifat fisik kompos meliputi suhu, bau, warna, struktur bahan dan hifa mikroba, disajikan dalam Tabel 1.
Suhu
Pada minggu 1, suhu kompos jerami dengan Trichoderma sp teraba sangat panas dan berasap. Sedangkan kompos dengan mol hanya panas dan berasap. Pada minggu 2 semua bahan kompos
menunjukan peningkatan suhu. Suhu turun pada minggu 3, dan semua bahan kompos sudah stabil dan dingin pada minggu 4.
Peningkatan suhu pada proses pengomposan merupakan hasil aktifitas mikrobiologi dekomposer dalam proses dekomposisi yang menghasilkan energi dalam bentuk panas. Panas yang
140
dihasilkan sebagai hasil proses dekomposisi perlu dikendalikan supaya tidak melebihi 50ºC yang dapat mengakibatkan penurunan aktifitas biologi dekomposer dengan cara pembalikan bahan kompos
Suyanto and Irianti, 2015.
Bau
Pada minggu 1 awal pengomposan, bahan kompos mengalami proses dekomposisi anaerob, akibat kadar air yang sangat tinggi. Kondisi ini menyebabkan aerasi bahan kompos menjadi tidak baik
dan kompos sangat berair. Bahan kompos dari 5 dekomposer Mol mengeluarkan bau menyengat, sedangkan bahan kompos dengan Trichoderma sp mengeluarkan bau sangat menyengat.
Pembalikan dilakukan untuk menurunkan kadar air dan bau menyengat, dan juga untuk merubah dekomposisi secara anaerob menjadi aerob. Bahan kompos dengan Trichoderma sp sudah
tidak mengeluarkan bau pada minggu ke-3, sedangkan bahan kompos dengan Mol lainnya tidak mengeluarkan bau pada minggu ke-4.
141
Tabel 1. Pengamatan Sifat Fisik Kompos
Jenis MOL Suhu
Bau Warna
1 msp 2 msp
3 msp 4 msp
1 msp 2 msp
3 msp 4 msp
1 msp 2 msp
3 msp 4 msp
Mol rumen Panas dan
berasap Sangat Panas
dan berasap agak
Panas dingin
Bau menyengat
Bau menyengat
Agak Bau
Tidak Bau Kuning
kecoklatan Kecoklatan
Kecoklatan Hitam
kecoklatan Mol keong
Panas dan berasap
Sangat Panas dan berasap
agak Panas
dingin Bau
menyengat Bau
menyengat Agak
Bau Tidak Bau
Kuning kecoklatan
Kecoklatan Kecoklatan
Hitam kecoklatan
Mol buah Panas dan
berasap Sangat Panas
dan berasap Agak
Panas dingin
Bau menyengat
Bau menyengat
Agak Bau
Tidak Bau Kuning
kecoklatan Kecoklatan
Kecoklatan Hitam
kecoklatan Mol rebung
Panas dan berasap
Sangat Panas dan berasap
Agak Panas
dingin Bau
menyengat Bau
menyengat Agak
Bau Tidak Bau
Kuning kecoklatan
Kecoklatan Kecoklatan
Hitam kecoklatan
Mol mikroba 2
Panas dan berasap
Sangat Panas dan berasap
Agak Panas
dingin Bau
menyengat Bau
menyengat Agak
Bau Tidak Bau
Kuning kecoklatan
Kecoklatan Kecoklatan
Hitam kecoklatan
Trichoderm a sp sp
Sangat Panas dan berasap
Sangat Panas dan berasap
Agak Panas
dingin Bau sangat
menyengat Bau
menyengat Tidak
Bau Tidak Bau
Kuning kecoklatan
Kecoklatan Kecoklatan
Hitam kecoklatan
142
Jenis MOL Struktur bahan
Hifa mikroba 1 msp
2 msp 3 msp
4 msp 1 msp
2 msp 3 msp
4 msp
Mol rumen Belum lapuk
Belum lapuk Lapuk di tarik
Lunak, Putus- putus di tarik
mulai tumbuh di tengah tumpukan
Tumbuh banyak di tengah tumpukan
Tumbuh banyak di tengah tumpukan
Mulai buram
Mol keong Belum lapuk
Belum lapuk Lapuk di tarik
Lunak, Putus- putus di tarik
mulai tumbuh di tengah tumpukan
tumbuh banyak di tengah tumpukan
tumbuh banyak di tengah tumpukan
Mulai buram
Mol buah Belum lapuk
Belum lapuk Lapuk di tarik
Lunak, Putus- putus di tarik
mulai tumbuh di tengah tumpukan
tumbuh banyak di tengah tumpukan
tumbuh banyak di tengah tumpukan
Mulai buram
Mol rebung Belum lapuk
Belum lapuk Lapuk ditarik
Lunak, Putus- putus ditarik
mulai tumbuh di tengah tumpukan
Tumbuh banyak di tengah tumpukan
Tumbuh banyak di tengah tumpukan
Mulai buram
Mol mikroba 2 Belum lapuk
Belum lapuk Lapuk di tarik
Lunak, Putus- putus di tarik
mulai tumbuh di tengah tumpukan
mulai tumbuh di tengah tumpukan
tumbuh banyak di tengah tumpukan
Mulai buram
Trichoderma sp sp Belum lapuk
Lapuk di tarik Putus-putus ditarik
Lunak sekali Putus-putus
ditarik Agak banyak di
tengah tumpukan Hifa membalut bahan
kompos Hifa membalut bahan
kompos Kurang
terlihat Sumber : Data Primer, 2011
141
Warna
Pada pengamatan minggu pertama, warna kompos dari semua dekomposer mulai berubah dari kuning ke kuning kecoklatan dan akhirnya menjadi hitam kecoklatan pada minggu ke-4.
Struktur bahan
Pada minggu pertama proses pengomposan, struktur bahan belum lapuk sama sekali. Di minggu 2, bahan kompos dengan dekomposer Trichoderma sp mulai lapuk ditarik, sedangkan bahan
kompos dengan dekomposer mol masih belum lapuk. Bahan kompos dengan mol mulai lapuk di tarik pada minggu 3, dan minggu ke 4 sudah lunak, dan putus-putus ditarik. Sedangkan Trichoderma sp
pada minggu ke 3 sudah putus-putus ditarik dan minggu 4 sudah lunak sekali dan putus-putus ditarik.Struktur bahan sangat lunak dan sudah hancur, bila ditarik sedikit saja putus-putus, artinya
kompos jerami padi terurai secara sempurna.
Hifa mikroba
Hasil pengamatan bahan kompos minggu 1, bahan kompos dengan dekomposer Trichoderma sp pada tengah tumpukan saat pembalikan hifa mikroba sudah mulai tumbuh agak banyak terutama di
tengah tumpukan.Pada minggu 2 dan 3, hifa sudah membalut bahan kompos. Pada minggu 4, hifa sudah kurang terlihat hal ini dikarenakan sebagian sudah membentuk spora, karena bahan yang akan
dilapuk sudah hampir habis.
Hifa mikroba pada bahan kompos dengan dekomposer mol, pada minggu 1 mulai tumbuh ditengah tumpukan. Pada minggu 2 dan 3 mulai tumbuh banyak ditengah tumpukan. Dari pengamatan
ini dapat disimpulkan sementara bahwa, pada semua jenis mol yang diuji mengandung mikroba fungi yang terlihat dari hifanya berwarna putih disela-sela helaian jerami padi di tengah tumpukan.
Proses dekomposisi akan mengalami peristiwa secara biologi, fisika,dan kimia, di mana pada proses pembusukan sampah secara aerobik memerlukan mikroba pengurai seperti fungi, yeast, dan
actinomycetes spRinrin, 2002 Hasil pengomposan berbahan baku sampah dinyatakan aman untuk digunakan bila sampah
organik telah dikomposkan dengan sempurna. Salah satu indikasinya terlihat dari kematangan kompos yang meliputi karakteristik fisik bau, warna, dan tekstur yang telah menyerupai tanah, pH netral, suhu
stabil. Endah, N Mashita, Devi N, 2007.
B. Sifat Kimia Kompos Tabel 2.Analisis Kimia Kompos Jerami Padi, 2011
No. Nama
pH H
2
Unsur Makro N
P K
C CN
Ca Mg
1 Jerami.mol rumen sapi
8,82 1,68
0,41 2,42
22,88 13,62
0,37 0,39
2 Jerami. Trichoderma sp
8,74 1,09
0,35 1,51
20,06 18,40
0,42 0,46
3 Jerami. Mol buah
8,93 0,87
0,40 1,67
32,42 37,26
0,45 0,42
4 Jerami. Mol keong
8,87 1,34
0,36 1,67
23,30 17,38
0,40 0,44
5 Jerami. Mol rebung
9,22 1,43
0,38 2,01
32,78 22,92
0,44 0,43
6 Jerami. Mikroba II
8,75 1,15
0,33 1,28
19,94 17,34
0,57 0,57
Sumber : Data Primer, 2011
pH
Berdasarkan hasil analisis Laboratorium Tabel 2 diketahui bahwa pH kompos yang menggunakan dekomposer asal Trichoderma sp dan MOL memiliki pH alkalis 8,5. Penelitian
Palupi 2005, menggunakan dekomposter MOL asal limbah sayuran dalam pengomposan Tandan Kosong Kelapa Sawit juga menunjukan pH 8,5 yaitu 8.59. Nilai pH yang lebih dari 8,0 juga dijumpai
pada kompos matang seperti hasil penelitian Husen and Irawan, 2010 yang bervariasi dari 8,2-8,6.
Kemasaman kompos akan mempengaruhi kemasaman tanah yang akan diberi aplikasi kompos. Dengan kondisi kompos yang tidak masam, akan mengurangi kemungkinan penambahan
kemasaman tanah. Menurut kemasaman tanah akan mempengaruhi serapan unsur hara dan pertumbuhan tanaman Soepardi, 1983
142
pH optimum berkisar antara 5,5-8,0. Bakteri lebih menyukai pH netral, sedangkan fungi aktif pada pH agak masam. Pada pH yang tinggi, terjadi kehilangan nitrogen akibat volatilisasi Setyorini et
al., 2006. Tapi menurut Yang, 1996 dalam Setyorini et al. 2006 Indikator kematangan kompos adalah pH alkalis.
Kandungan bahan organik
Bahan organik tidak dapat digunakan secara langsung oleh tanamankarena perbandingan kandungan CN dalam bahan tersebut tidak sesuai dengan CN tanah. Rasio CN merupakan
perbandingan antara karbohidrat C dan nitrogen N. Rasio CN tanah berkisar antara 10-12. Apabila bahan organik mempunyai rasio CN mendekati atau sama dengan rasio CN tanah, maka bahan
tersebut dapat digunakan tanaman.Rasio CN jerami tergolong tinggi yakni mencapai 50-70. Prinsip pengomposan adalah untuk menurunkan rasio CN bahanSetyorini et al., 2006.
Dalam proses dekomposisi bahan organik, C digunakan oleh mikroorganisme sebagai sumberenergi dan bersama N digunakan sebagai penyusun selnya. Oleh karena itu hasil analisis C,
N,menunjukkan terjadinya penurunan kadar C dan peningkatan kadar N selama proses pengomposan. Kadar C terbesar terdapat pada kompos jerami dengan mol rebung, sedangkan hara N terbesarterdapat
pada kompos jerami dengan mol rumen sapi.
Penurunan kadar C dan peningkatan kadar N pada proses pengomposanmenyebabkan terjadi penurunan nisbah CN.Kompos yang matang selain ditandai oleh warna kompos yang coklat
kehitaman danstabilnya suhu, kematangan kompos juga ditandai dengan rendahnya nisbah CNSuyanto and Irianti, 2015.
Kandungan C-Organik dalam kompos menunjukkan banyaknya bahan organik yang terdapat dalam kompos selama proses pelapukan berlangsung. Semakin intensif pelapukan bahan organik
berlangsung, maka akan semakin sedikit keberadaan karbon organik dalam suatu bahanSuyanto and Irianti, 2015. Bahan organik tertinggi pada kompos jerami dengan dekomposer Rebung yakni 56,51
sedangkan terendah pada Trichoderma sp yakni 34,58.
Kandungan N total
Secara kimiawi, bahan organik pada kompos akan terdekomposisi melalui proses mineralisasi dan akan menjadi penyumbang ion-ion hara tersedia seperti Nitrogen. Kandungan N total pada
kompos jerami dengan menggunakan MOL rumen sapi sebesar 1,68, sedangkan pada Trichoderma sp hanya sebesar 1,09.
Hal ini kemungkinan disebabkan oleh aktifitas bioaktivator MOL asal rumen sapi yang banyak mengandung bakteri yang mampu mensintesis senyawa nitrogen, gula dan substrat bioaktif
lainnya. Bakteri tersebut juga mampu membentuk zat-zat yang bermanfaat antara lain asam amino, asam nukleat, zat-zat bioaktif dan gula. Asam amino tersebut merupakan salah satu sumber nitrogen
bagi tanah Yuwono, 2005.
CN rasio
Besar kecilnya nilai CN rasio sangat bergantung pada besarnya aktivitas mikroorganisme di dalam tanah. Pada proses pelapukan yang intensif, terjadi perubahan yang terjadi secara cepat di dalam
tanah. Flora heterotropik-bakteri, jamur dan actinomycetes, menjadi aktif dan berkembang biak dengan pesat dan menghasilkan banyak CO2. Dalam keadaaan demikian, nitrat menghilang dari tanah
disebabkan perkembangan jasad nitro menkonsumsi banyak nitrogen untuk pembentukan tubuhnyaSoepardi, 1983. Keadaan tersebut di atas menjelaskan bahwa semakin rendah CN rasio
berarti semakin intensif terjadi pelapukan.
Berdasarkan hasil penelitian yang disajikan pada Tabel 2 menunjukkan bahwa kompos dengan menggunakan MOL asal rumen sapi CN nya 14,81 mol mikroba II 17,34, mol keong 17,38,
Trichoderma sp 18,40, mol rebung 22,92 dan mol buah 37,26. Keadaan ini dapat dinyatakan bahwa dengan menggunakan dekomposter MOL asal rumen sapi maka pelapukan yang terjadi
semakin intensif dibandingkan dengan pelakuan Trichoderma sp.
Semakin besar kecepatan penurunan rasio CN, maka semakin singkat waktu yang diperlukan untuk mencapai CN lebih kecil dari 20 yang disebut sebagai waktu pengomposanYuniwati et al.,
2012. Mutu kompos selain dilihat dari sifat fisik sering dilihat hanya dari nilai CN ratio dan kandungan unsur hara. Kompos dengan CN rendah dan memiliki unsur hara yang tinggi, dianggap
sebagai ciri kompos yang baik.
143
Kandungan K
2
O Total
Kandungan K total pada kompos dengan menggunakan MOL asal rumen sapi 2,42 adalah lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan Trichoderma sp yaitu 1,51. Hal ini diduga karena
bioaktivator MOL asal rumen sapi mengandung mikroba dan merangsang perkembangan mikroorganisme menguntungkan lainnya sehingga dapat meningkatkan kandungan unsur hara pada
kompos.
Kandungan P
2
O
5
Total
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kompos dengan menggunakan bioaktivator MOL asal rumen sapi memiliki kandungan P
2
O
5
total yang lebih tinggi 0,41 dibandingkan dengan perlakuan Trichoderma sp 0,35 dan mol lainnya.
Hal ini kemungkinan disebabkan oleh penambahan MOL rumen sapi sebagai penyumbang unsur P ke dalam kompos dan mikroorganisme pada jerami kemungkinan memacu bebasnya unsur P
yang terkandung dalam materian kompos. Tingginya kandungan P dalam kompos setelah perlakuan mengindikasikan pengaruh baik yang akan ditimbulkan oleh penggunaan kompos pada tanah. Urine
sapi memiliki kandungan unsur hara yaitu 0,52 N, 0,01 P, dan 0,56 K Parnata, 2010.
KESIMPULAN
Kompos jerami padi dengan dekomposer Trichoderma sp lebih cepat mengalami perubahan sifat fisikdibandingkan Mol lainnya. Kompos jerami padi dengan dekomposer Mol rumen sapi
menghasilkan CN yang lebih rendah dan unsur hara N, P, dan K yang lebih tinggi dibandingkan Trichoderma sp dan mol dekomposer yang lainnya.
UCAPAN TERIMA KASIH
Kegiatan penelitian ini didukung dana APBN TA 2011 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Barat, Badan Litbang, Kementerian Pertanian. Terima kasih kepada Bapak Ichsan dan
anggota kelompok tani Fadhila yang telah membantu terlaksananya kegiatan ini.
DAFTAR PUSTAKA
Hadinata, I., 2008. Membuat Mikroorganisme Lokal. Http:ivanhadinata.blogspot.com. Diakses pada tanggal 13 September 2016.
Hartatik, W., Setyorini, D., 2011. Pemanfaatan Pupuk Organik untuk Meningkatkan Kesuburan Tanah dan Kualitas Tanaman 571
–582. Husen, E., Irawan, 2010. Efektivitas dan Efisiensi Mikroba Dekomposer Komersial dan Lokal dalam
Pembuatan Kompos
Jerami [WWW
Document]. http:balittanah.litbang.pertanian.go.idinddokumentasiprosiding2008pdfedihusen.pdf.
Las, I., Setyorini, D., 2010. Kondisi Lahan, Teknologi, Arah, dan Pengembangan Pupuk Majemuk NPK dan Pupuk Organik. Hlm 47. Dalam Prosiding Semnas Peranan Pupuk NPK dan
Organik dalam Meningkatkan Produksi dan Swasembada Beras Berkelanjutan. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertani.
Palupi, N.P., 2015. Karakter Kimia Kompos dengan Dekomposer Mikroorganisme Lokal Asal Limbah Sayuran. Ziraa’ah 40, 54–60.
Parnata, A., 2010. Meningkatkan Hasil Panen dengan Pupuk Organik. AgroMedia Pustaka. Bandung. Rinrin, S., 2002. Penurunan Berat Sampah Organik Menggunakan Leachate, Sludge dan Cacing
Tanah, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Diponegoro, Semarang. Setyorini, D., Saraswati, R., Anwar, E.K., 2006. Kompos, Pupuk Organik dan Pupuk Hayati.
Siswor o, W.H., 2006. Swasembada Pangan Dan Pertanian Berkelanjutan. Tantangan Abad 21 ;
Pendekatan Ilmu Tanah, Tanaman dan Pemanfaatan Iptek Nuklir. Badan Tenaga Nuklir Nasional. Jakarta.
Soepardi, G., 1983. Sifat dan Ciri Tanah 1. Fakultas Pertanian IPB, Bogor. Sri Adiningsih, J., Setyorini, D., Prihatini, T., 1995. Pengelolaan Hara Terpadu untuk Mencapai
Produksi Pangan yang Mantap dan Akrab Lingkungan. Prosiding Pertemuan Teknis
144
Penelitian Tanah dan Agroklimat. Makalah Kebijakan. Bogor 10-12 Januari 1995. Suyanto, A., Irianti, A.T.P., 2015. Efektifitas Trichoderma sp dan Mikro Organisme Lokal MOL
Sebagai Dekomposer dalam Meningkatkan Kualitas Pupuk Organik Alami dari Beberapa Limbah Tanaman Pertanian. Agrosains 12, 1
–7. Yuniwati, M., Iskarima, F., Padulemba, A., 2012. Optimasi Kondisi Proses Pembuatan Kompos dari
Sampah Organik dengan Cara Fermentasi Menggunakan EM4. J. Teknol. 5, 172 –181.
Yuwono, D., 2005. Pupuk organik. Penebar Swadaya. Jakarta.
145
PENINGKATAN PENGETAHUAN DAN SIKAP PETANI DALAM MEMANFAATKAN LIMBAH TERNAK DAN PERKEBUNAN DI KABUPATEN REJANG LEBONG
ENHANCEMENT OF KNOWLEDGE AND ATTITUDE OF FARMERS IN USE WASTE OIL IN FEED AND REJANG LEBONG DISTRICT
Linda Harta dan Umi Pudji Astuti
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian BPTP Bengkulu Jl. Irian Km. 6,5 Bengkulu 38119
e-mail : lindahartaymail.com ABSTRAK
Ternak ruminansia menghasilkan limbah, baik limbah padat maupun limbah cair namun limbah tersebut belum dimanfaatkan secara optimal untuk kompos maupun pupuk cair. Demikian juga pada
musim panen kopi, kulit kopi masih sedikit dimanfaatkan sebagai kompos dan pakan ternak. Masih rendahnya pengetahuan petani tentang pemanfaatan limbah ternak dan kulit kopi merupakan salah satu
faktor permasalahan dalam mengoptimalkan potensi limbah ternak dan perkebunan kopi sebagai kompos dan pakan. Tujuan pengkajian adalah: 1 meningkatkan pengetahuan petani terhadap
teknologi pembuatan pakan ternak dan pupuk kompos, 2 mengidentifikasi sikap petani terhadap teknologi pemanfaatan limbah kopi dan ternak. Pendekatan pengkajian melalui pertemuan tatap muka
dengan melakukan demontrasi cara tentang pembuatan pakan ternak dari limbah kopi dan kompos berbahan baku kotoran ternak dan kulit kopi. Pengkajian dilaksanakan pada bulan Agustus 2015
dengan responden adalah kelompok Tani Gading Indah Desa Air Meles Bawah Kecamatan Curup Timur kabupaten Rejang Lebong sebanyak 30 orang. Data primer yang diambil meliputi karakteristik
petani; pengetahuan sebelum demonstrasi dan setelah demonstrasi; dan respon petani dalam pemanfaatan limbah ternak dan perkebunan. Analisis data secara diskriptif dengan pendekatan interval
kelas dan uji statistik nonparametrik test chi square. Hasil kajian memperlihatkan selisih peningkatan pengetahuan petani terhadap pemanfaatan limbah ternak dan perkebunan sebesar 25,71 dan 11,71
dengan kriteria tingkat pengetahuan tinggi. Sikap petani terhadap teknologi pembuatan pakan ternak dan kompos sebesar 4,60 dan 4,44 yang berada pada kriteria setuju. Hal ini menunjukkan bahwa
kegiatan demontrasi cara secara signifikan meningkatkan pengetahuan dan respon petani terhadap teknologi pemanfaatan limbah ternak sebagai kompos dan perkebunan sebagai pakan.
Kata kunci : limbah kopi, limbah ternak, pengetahuan dan sikap
ABSTRACT
Ruminants produce waste, either solid or liquid waste, but the waste is not used optimally for compost and liquid fertilizer. When the harvest season of coffee comes, coffee skin is still slightly used as
compost and livestock feed as well. The limited knowledge of farmers on the use of animal waste and coffee skin is one of the problems in optimizing the potential of livestock waste and coffee plantations
as compost and feed. The purpose of the assessment is 1 to increase the knowledge of farmers for technology manufacture livestock feed and compost, 2 to identify the farmers attitude towards waste
utilization technologies of coffee and livestock. Assessment approach through face to face meetings by way of demonstration on the making of animal feed from coffee waste and compost made from manure
and coffee skin. The assessment was held in August 2015 with 30 respondents from farmer groups Gading Indah, Air Meles Bawah village, Curup, Rejang Lebong regency. Primary data captured
includes the characteristics of farmers; demonstration of knowledge before and after the demonstrations; and the response of farmers towards the livestock and farm waste utilization. The
data analysis by the descriptive approach and the class interval nonparametric statistical test of chi- square test. The study results showed an increase difference farmers knowledge on the utilization of
livestock waste and plantation of 25.71 and 12 with a high knowledge level criteria. Farmers attitude for technology manufacture livestock feed and compost amounted to 4.60 and 4.44 which are in the
criteria agree. The demonstration activity shows of increasing knowledge and farmers response to technological utilization of waste as compost and farm livestock feed.
Keywords: coffee waste, livestock waste, knowledge and attitudes
146
PENDAHULUAN
Provinsi Bengkulu merupakan salah satu daerah yang mempunyai potensi pengembangan sapi potong dan perkebunan kopi, salah satunya adalah Kecamatan Curup Timur di Kabupaten Rejang
Lebong yang merupakan daerah sentra pengembangan sapi potong dan perkebunan kopi. Mayoritas mata pencaharian masyarakatnya adalah berkebun kopi dengan luasan wilayah perkebunan 9.136 ha,
dan sebagian masyarakatnya juga memelihara ternak sapi sebagai tabungan untuk meningkatkan pendapatan. Populasi ternak saat ini mencapai 511 ekor BPP Kesambe Lama, 2016. Saat ini limbah
ternak baik feses maupun urine belum dimanfaatkan secara optimal oleh petani. Seekor ternak sapi dengan berat badan 200 kg yang diberi air minum sebanyak 27 liter perhari akan dikeluarkan dalam
bentuk urine sebanyak 13 liter dan menghasilkan feses sebanyak 13 kghari Puslitbangnak, 2012. Kendala yang ada selama ini adalah petani belum memanfaatkan secara optimal limbah ternak baik
padat maupun cair sebagai pupuk kompos dan pupuk organik cair untuk menggantikan ketergantungan terhadap pupuk anorganik.
Penggunaan pupuk anorganik secara berlebihan dalam waktu yang lama menyebabkan kondisi fisik tanah semakin buruk dimana bahan organiknya menjadi sangat rendah sehingga menyebabkan
kondisi tanah menjadi “sakit”. Adiningsih 2005, menyarankan agar perbaikan kesehatan tanah dan peningkatan produktivitas lahan
– lahan pertanian dapat dilakukan melalui pengelolaan tanah secara terpadu yang mencakup aspek kimia, fisik dan biologi tanah, dimana pengelolaan bahan organik
merupakan salah satu komponen utama. Pakan utama sapi potong adalah hijauan, saat ini ketersediaan hijauan semakin terbatas
sehingga diperlukan pakan alternatif agar ketersediaan pakan tetap kontinue. Limbah perkebunan yaitu kulit kopi belum dimanfaatkan secara optimal oleh petani baik itu untuk pupuk organik maupun
pakan. Ketersediaan kulit kopi pada saat musim panen cukup banyak dan hanya dibiarkan tertumpuk di sekitar pengolahan kopi, hanya sebagian kecil dimanfaatkan untuk pupuk kompos dan pakan ternak.
Peningkatan pendapatan petani kopi dan peternak dapat dilakukan dengan memanfaatkan limbah tanaman kopi dan limbah ternak yang saling berintegrasi antara tanaman kopi dengan ternak
sapi. Prospek pengembangan ternak sapi cukup besar untuk memenuhi kebutuhan daging nasional, untuk mendukung program tersebut pendekatan yang dapat diterapkan adalah dengan mengoptimalkan
potensi yang tersedia melalui sistem pertanian bioindustri pertanian berkelanjutan berbasis komoditas tanaman kopi diintegrasikan dengan ternak. Tanaman tersebut akan menghasilkan limbah yang sangat
potensial untuk pakan ternak sapi, pupuk organik dan bahan pembenah tanah lainnya. Limbah ternak berupa kotoran dapat diproses menjadi pupuk organik untuk memperbaiki produktivitas lahan agar
tanaman yang ditanam nantinya dapat berproduksi tinggi.
Untuk meningkatkan pengetahuan dan sikap petani terhadap teknologi pembuatan pakan ternak dan kompos dapat dilakukan melalui berbagai metode. Salah satu metode pembelajaran yang
dapat dilakukan yaitu metode demonstrasi. Demonstrasi merupakan bentuk penyajian materi yang disiapkan secara cermat, tentang cara penggunaan prosedur dalam pelaksanaan suatu kegiatan yang
berupa penjelasan mengenai sesuatu hal dengan dibantu media tertentu Suwandi, 2016. Demonstrasi terdiri dari dua bentuk yaitu demonstrasi cara dan demonstrasi hasil. Dengan metode demonstrasi
penyuluh dapat memperlihatkan dengan jelas kepada petani tentang penggunaan teknologi baru dan cara kerja yang lebih baik demonstrasi cara atau memperlihatkan hasil suatu cara kerja baru agar
para petani mengetahui apakah cocok untuk diterapkan atau tidak demonstrasi hasil. Menurut Mardiyanto 2015 Faktor
– faktor yang mempengaruhi pengetahuan antara lain adalah pendidikan, umur, pekerjaan, minat, pengetahuan dan informasi.
Dalam rangka mempercepat penyebaran inovasi teknologi ke pengguna di lapang diperlukan metode yang efektif untuk penyaluran inovasi teknologi. Salah satu metode melalui kegiatan
demonstrasi diharapkan dapat mempercepat proses transfer inovasi teknologi sehingga mampu meningkatkan pengetahuan dan sikap petani terhadap inovasi teknologi pembuatan pakan dan
teknologi pengolahan pupuk kompos. Berdasarkan latar belakang tersebut tujuan kajian ini untuk mengetahui tingkat pengetahuan dan sikap petani terhadap teknologi pemanfaatan limbah perkebunan
untuk pakan ternak kulit kopi dan peternakan feses melalui kegiatan demonstrasi di Kabupaten Rejang Lebong.
147
METODE PENELITIAN
Pengkajian dilaksanakan pada bulan Agustus 2015dengan metode pertemuan tatap muka melalui demontrasi cara pembuatan pakan ternak dari limbah kopi dan kompos berbahan baku kotoran
ternak dan kulit kopi. Lokasi pengkajian dilaksanakan di pusat kegiatan model sistem pertanian bioindustri berbasis integrasi tanaman ternak di Desa Air Meles Bawah Kabupaten Rejang Lebong.
Responden adalah kelompok tani Gading Indah sebanyak 30 orang. Data primer yang diambil meliputi karakteristik petani; pengetahuan sebelum demonstrasi dan setelah demonstrasi; dan respon petani
dalam pemanfaatan limbah ternak dan perkebunan.
Data yang dikumpulkan, ditabulasi dan selanjutnya dilakukan analisis terhadap tingkat pengetahuan sebelum dan setelah dilaksanakan demontrasi dan respon petani terhadap metode
penyuluhan demcara menggunakan statistik deskriptif dan interval kelas. Menurut Nasution dan Barizi dalam Rentha, T 2007, penentuan interval kelas untuk masing-masing indikator adalah :
NR = NST – NSR dan PI = NR : JIK
Dimana :NR: Nilai Range , PI: Panjang Interval NST: Nilai Skor Tertinggi , JIK : Jumlah Interval Kelas
NSR: Nilai Skor Terendah
Peningkatan pengetahuan responden dianalisis dengan menggunakan uji statistik non parametrik chi square dengan rumus Martono 2010:
2
= ∑ �� − �ℎ 2
�ℎ
Keterangan : X
2
: chi kuadrat fo : frekuensi yang diperoleh dari hasil observasi sampel frekuensi observasi
fh : frekuensi yang diharapkan dalam sampel sebagai pencerminan dari frekuensi yang diharapkan dalam populasi frekuensi harapan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Responden
Karakteristik responden yang diperoleh antara lain umur dan tingkat pendidikan yang tersaji dalam tabel 1.
Tabel 1. Karakteristik petani di desa air meles bawah tahun 2015
No. Karakteristik Petani
Kelompok tahun Jumlah orang
1. Umur
15 – 25
26 – 35
36 – 45
46 – 55
56 – 65
4 6
11 6
3 13,33
20,00 36,67
20,00 10,00
Jumlah 30
100,00 2.
Pendidikan SD
SMP SMA
S1 9
7 9
5 30
23,33 30
16,67 Jumlah
30 100,00
Sumber : Data primer 2015
Tabel 1 menunjukkan bahwa rata-rata umur responden adalah 39 tahun 4 bulan dan mayoritas responden 36,67 berumur 36
– 45 tahun. Kondisi ini menunjukkan usia produktif yang secara fisik memiliki kemampuan untuk berusahatani. Menurut Klenden 2014, semakin muda umur responden,
semakin tanggap terhadap inovasi baru sehingga semakin tinggi peluang petani mengadopsi inovasi teknologi, sedangkan yang lebih tua pada umumnya bertahan pada sistem yang lama yang sudah biasa
diterapkan oleh masyarakat.
148
Tingkat pendidikan responden sebagian besar SD dan SMA 30, diasumsikan bahwa tingkat pendidikan akan mempengaruhi tingkat pengetahuan responden. Pendidikan formal sangat
mempengaruhi tingkat perilaku baik pengetahuan, sikap, dan keterampilan seseorang dalam pengambilan keputusan, dan cara berpikir terhadap informasi inovasi teknologi yang disampaikan.
Disamping itu juga semakin tinggi umur petani maka kemampuan belajar semakin rendah. Menurut Nazariah 2015, pendidikan mempengaruhi pola pikir, keterampilan, sikap dan pengambilan
keputusan dan tingkat pendidikan juga sangat mempengaruhi dalam menerima informasi, menyerap dan memahami suatu informasi teknologi. Senada dengan hal tersebut, Drakel 2008 menyatakan
bahwa tingkat pendidikan mempengaruhi cara berpikir terhadap respon-respon inovatif dan perubahan-perubahan yang dianjurkan. Dalam hal menerima inovasi baru, responden dengan kondisi
ini tergolong dalam kelompok mudah menerima inovasi baru.
Pengaruh Penyuluhan dengan Metode Demontrasi Terhadap Peningkatan Pengetahuan
Pengetahuan merupakan tahap awal untuk terjadinya persepsi yang akan melahirkan sikap yang diikuti dengan perbuatan. Pengetahuan yang tinggi tentang inovasi teknologi akan mendorong
seorang untuk berubah, artinya pengetahuan yang tinggi dimiliki oleh individu yang mempunyai tingkat kesadaran yang tinggi pula. Menurut Hamtiah, et al. 2012, semakin tinggi tingkat pendidikan
maka semakin besar peluang tingkat pengetahuan yang diperoleh dan semakin tua umur peternak yaitu 60 tahun keatas maka daya ingat yang ditangkap berkurang sehingga pengetahuan yang diperoleh
tetap. Hal ini juga sejalan dengan Kansrini 2016, menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat pengetahuan petani maka kemampuannya dalam mengadopsi teknologi dibidang pertanian juga tinggi.
Tabel 2 memperlihatkan bahwa pengetahuan petani mengenai pembuatan pakan yang berasal dari kulit kopi meningkat dari 50,86 menjadi 76,57. Selisih peningkatan sebesar 25,71 diduga karena
responden belum banyak memahami dan menerapkan pengolahan kompos dan fermentasi kulit kopi untuk pakan.
Tabel 2. Deskripsi tingkat pengetahuan petani terhadap teknologi pembuatan fermentasi kulit kopi tahun 2015
Uraian Skor Pengetahuan Responden
Sebelum Kriteria
Sesudah Kriteria
Manfaat limbah tanaman kopi 57
Sedang 90
Tinggi Limbah tanaman kopi yang bisa dimanfaatkan
50 Sedang
77 Tinggi
Teknologi dalam aplikasi pemanfaatan limbah perkebunan
33 Rendah
73 Tinggi
Pengertian fermentasi 50
Sedang 73
Tinggi Kondisi kulit kopi yang akan digunakan sebagai
pakan ternak 63
Sedang 77
Tinggi Keuntungan dari fermentasi kulit kopi
50 Sedang
73 Tinggi
Manfaat proses fermentasi kulit kopi 53
Sedang 73
Tinggi Jumlah
356 536
Rata – rata
50,86 Sedang
76,57 Tinggi
Sumber : Data primer 2015 Keterangan 0
,00 ≤ x ≤ 33 = Rendah;33 x ≤ 67 = Sedang; 67 x ≤ 1,00 = Tinggi;
Demikian juga setelah data diuji dengan menggunakan analisis statistik non parametrik chi square Tabel 3 terlihat ada perbedaan yang sangat signifikan pengetahuan petani sebelum dan
sesudah penyuluhan, dimana nilai signifikan 0,000 0,05, artinya terjadi perubahan yang signifikan tentang pengetahuan teknologi pembuatan pakan ternak.
149
Tabel 3. Pengetahuan petani sebelum dan sesudah penyuluhan tahun 2015
Pre Post
Chi-Square 19.000
a
27.600
b
Asymp. Sig. .004
.000 Sumber : Data primer 2015
Pengetahuan petani terhadap pembuatan kompos dari kotoran ternak Tabel 4 meningkat dari 64,43 menjadi 76,14 atau 11,72 diduga disebabkan oleh pengalaman petani yang sudah cukup lama
dalam memanfaatkan kotoran ternak yang digunakan sebagai pupuk kompos ke tanaman mereka tetapi petani dari segi teknologi yang digunakan masih rendah karena dalam proses pembuatan kompos tidak
menggunakan decomposer. Tingkat pengetahuan petani terhadap teknologi pengawetan dan pengolahan pakan yang berbasis kulit kopi baru sebesar 17,50 dan yang menerapkan hanya 5
sedangkan yang melakukan pemupukan anorganik tanaman kopi sebesar 14 dan tidak melakukan pemupukan sebesar 84 BPTP Bengkulu, 2015. Melalui metode demontrasi transfer inovasi
teknologi pengolahan pakan dan teknologi pengolahan pupuk kompos diharapkan adanya perubahan perilaku petani terhadap penerapan komponen teknologi tersebut.
Tabel 4. Deskripsi tingkat pengetahuan petani terhadap teknologi pembuatan kompos tahun 2015
Uraian Skor Pengetahuan Responden
Sebelum Kriteria
Sesudah Kriteria
Manfaat limbah tanaman kopi 70,00
Tinggi 86,00
Tinggi Manfaat menggunakan kompos
60,00 Sedang
63,00 Sedang
Teknologi dalam aplikasi pemanfaatan kotoran ternak 80,00
Tinggi 100
Tinggi Penggunaan decomposer
17,00 Rendah
27,00 Rendah
Bahan yang digunakan untuk pembuatan kompos 67,00
Sedang 77,00
Tinggi Tempat pembuatan kompos
77,00 Tinggi
83,00 Tinggi
Ciri – ciri kompos yang sudah matang
80,00 Tinggi
97,00 Tinggi
Jumlah 451
533 Rata
– rata 64,43
Sedang 76,14
Tinggi Sumber : Data primer 2015
Keterangan : 0
,00 ≤ x ≤ 33 = Rendah; 33 x ≤ 67 = Sedang; 67 x ≤ 100 = Tinggi;
Metode penyuluhan melalui demonstrasi cara dapat meningkatkan pengetahuan petani terhadap teknologi pembuatan pakan yang berasal dari limbah perkebunan, begitu juga dengan
teknologi pembuatan kompos. Suwandi 2006, mengemukakan bahwa demonstrasi merupakan bentuk penyajian materi yang disiapkan secara cermat, tentang cara penggunaan prosedur dalam pelaksanaan
suatu kegiatan yang berupa penjelasan mengenai sesuatu hal dengan dibantu media tertentu. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Sefrizon 2011, menyebutkan bahwa melalui metode penyuluhan
ceramah, diskusi kelompok dan demontrasi dapat memberikan perbedaan pengetahuan dan keterampilan.
Peningkatan pengetahuan petani merupakan bagian yang penting dalam proses adopsi inovasi, seperti yang dikemukakan oleh Notoatmodjo dalam Lubis, 2013 salah satu strategi untuk perubahan
perilaku adalah pemberian informasi guna meningkatkan pengetahuan sehingga timbul kesadaran yang pada akhirnya orang akan berperilaku sesuai dengan pengetahuannya tersebut. Jika pengetahuan tinggi
dan individu bersikap positif terhadap suatu teknologi baru di bidang pertanian, maka penerapan teknologi tersebut akan menjadi lebih sempurna, yang pada akhirnya akan memberikan hasil secara
lebih memuaskan baik secara kuantitas maupun kualitas. Syafruddin, et al. 2006 menyatakan bahwa setiap individu memiliki kemampuan berbeda untuk mengembangkan pengetahuan. Hal tersebut
disebabkan oleh adanya perbedaan karakteristik individu tersebut.
Hasil pengkajian setelah diuji dengan menggunakan analisis statistik non parametrik chi square memperlihatkan ada perbedaan yang signifikan pengetahuan petani sebelum dan sesudah
penyuluhan Tabel 5. Dimana nilai signifikan 0,001 0,05, artinya terjadi perubahan pengetahuan yang signifikan tentang teknologi pembuatan kompos.
150
Tabel 5. Pengetahuan petani sebelum dan sesudah penyuluhan tahun 2015
Pre Post
Chi-Square 19.000
a
27.600
b
Asymp. Sig. .018
.001 Sumber : Data primer 2015
Tiap karakter yang melekat pada individu akan membentuk kepribadian dan orientasi perilaku tersendiri dengan cara yang berbeda pula. Dengan meningkatnya pengetahuan petani, diharapkan
proses transfer teknologi pembuatan kulit kopi untuk pakan ternak dan pembuatan kompos dapat dengan cepat diterapkan dan mengurangi dalam penggunaan pupuk kimiawi, sehingga dapat
meningkatkan produktifitas ternak dan dapat meningkatkan perekonomian petani.
Pengaruh Penyuluhan dengan Metode Demontrasi Terhadap Sikap
Hasil kajian terhadap sikap petani terhadap teknologi pembuatan pakan ternak dan teknologi pembuatan kompos tersaji pada tabel 6.
Tabel 6. Deskripsi sikap petani terhadap kegiatan demonstrasi cara di Desa Air Meles Bawah Tahun 2015.
Uraian Respon responden
Kriteria Teknologi pembuatan pakan ternak
4,60 Setuju
Teknologi pembuatan kompos 4,44
Setuju Jumlah
9,04 Rata
– rata 4,52
Setuju Sumber : Data primer 2015
Keterangan 3,00 ≤ x ≤ 3,4 = sangat tidak setuju, 3,4 x ≤ 3,8 = tidak setuju, 3,8 x ≤ 4,2 =cukup setuju, 4,2
x ≤ 4,6 = setuju, 4,6 x ≤ 5,00 = sangat setuju
Hasil analisis data menunjukkan bahwa sikap petani terhadap teknologi pembuatan pakan dan kompos berada pada kategori setuju artinya dengan adanya kegiatan penyuluhan melalui metode
demontrasi cara teknologi pembuatan pakan dan teknologi pembuatan kompos secara langsung sudah adanya minat petani untuk merubah perilaku dalam mengadopsi teknologi pembuatan pakan dan
kompos.
Perubahan sikap
pada dasarnya
dipengaruhi oleh
faktor pengetahuan
dan keyakinankepercayaan yang didapatkan dari hasil penginderaan, yang salah satunya didapat melalui
pendidikan atau proses belajar Lubis et al., 2001. Dari hasil pengkajian Rahmawati, et al. 2007, perubahan sikap dipengaruhi sejauh mana isi komunikasi atau rangsangan diperhatikan, dipahami dan
diterima sehingga memberikan respon positif. Selain itu, pembentukan sikap tidaklah mudah karena tidak terlepas dari adanya faktor yang mempengaruhi responden, seperti pengalaman pribadi
responden, kebudayaan, media massa serta faktor emosi dalam diri individu.
Hasil evaluasianalisis melalui demonstrasi cara sebagai metode penyuluhan secara kelompok mengenai teknologi pembuatan fermentasi kulit kopi dan teknologi pembuatan kompos kepada petani
dapat meningkatkan pengetahuan dan sikap petani. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Lubis, et al. 2013 tentang pengaruh penyuluhan dengan metode ceramah dan diskusi terhadap peningkatan
pengetahuan dan sikap anak tentang pengolahan hidup bersih dan sehat PHBS di Sekolah Dasar Negeri, penyuluhan melalui metode diskusi dapat meningkatkan pengetahuan dan sikap anak tentang
PHBS. Demikian juga dengan hasil penelitian Far 2014 tentang respon petani terhadap penerapan metode penyuluhan di Kota Ambon, menyebutkan respon petani terhadap metode yang digunakan
dalam penyuluhan pertanian lebih banyak menggunakan metode pendekatan secara kelompok karena lebih efisien dari metode pendekatan perorangan dan metode pendekatan massal.
151
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Pengetahuan petani tentang teknologi pembuatan pakan kulit kopi dengan teknologi fermentasi dan teknologi pembuatan kompos melalui kegiatan demontrasi cara meningkat yaitu sebesar
25,71 dan 11,71. 2. Sikap petani terhadap teknologi pembuatan pakan ternak sebesar 4,60 dan kompos sebesar 4,44
yang berada pada kriteria setuju. 3. Kegiatan demontrasi cara secara signifikan meningkatkan pengetahuan dan sikap petani terhadap
teknologi pemanfaatan limbah ternak sebagai kompos dan perkebunan sebagai pakan. 4. Peran penyuluh sangat dibutuhkan dalam penyebaran inovasi teknologi pembuatan pakan dan
kompos.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada Kepala Balai BPTP Bengkulu, Dr. Ir. Dedi Sugandi, MP, Ir. Sri Suryani Rambe, M.Agr dan teman-teman tim kegiatan
bioindustri kopi sapi yang telah membantu dan mendukung dalam penyempurnaan penulisan KTI dan kegiatan pengkajian di lapangan.
DAFTAR PUSTAKA
Adiningsih, J. S dan F. Agus. 2005. Petunjuk penggunaan perangkat uji tanah sawah paddy soil test kit versi 1.0. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. BPTP Bengkulu. 2015. Laporan Pariticipatory Rural Appraisal PRA: Model sistem pertanian bio
industri berbasis integrasi tanaman-ternak spesifik lokasi di Propinsi Bengkulu Tahun 2015. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu. Bengkulu.
BPP Kesambe Lama. 2015. Programa balai penyuluhan pertanian tahun 2015. Kecamatan Curup Timur. Kabupaten Rejang Lebong.
Drakel, A. 2008. Analisis usahatani terhadap masyarakat kehutanan di dusun gumi desa akelamo kota tidore kepulauan. Jurnal Ilmiah Agribisnis dan Perikanan: 1
Far, R.A. F. 2014. Respon petani terhadap penerapan metode penyuluhan pertanian di Kota Ambon Provinsi Maluku. Jurnal Budidaya Pertanian: 10 1: 48-51.
Hamtiah, S., Dwijatmiko, S dan Satmoko, S. 2012. Efektifitas media audio visual video terhadap tingkat pengetahuan petani ternak sapi perah tentang kualitas susu di indrokilo
Kecamatan Ungaran Barat Kabupaten Semarang. Animal Agriculture journal: 1 2: 322 – 330.
Kansrini, Y. 2010. Kajian pengetahuan dan sikap petani dalam mengendalikan hama penggerek buah kakao
PBK di
Kecamatan Biru
– Biru Kabuaten Deli Serdang. www.sttppmedan.ac.idpdfjurnal20vol2058-yuli.pdf. [Diunduh Tgl 12 September
2016]. Klenden, Y.L. 2014. Faktor
– faktor yang mempengaruhi adopsi teknologi infus asap di kabupaten timur tengah selatan, NTT
– Indonesia. KAWISTARA: 4 2: 111-224. Lubis, Z., Akbar, S., Lubis, N., Lumongan dan Syarial, E. 2013. Pengaruh penyuluhan dengan metode
ceramah dan diskusi terhadap peningkatan pengetahuan dan sikap anak tentang PHBS di sekolah dasar negeri 065014 Kelurahan Namogajah Kecamatan Medan Tuntungan tahun
2013. Jurnal.usu.ac.idindex.phpkpkbarticledownload20851127. [Diunduh Tgl 12 September 2016].
Martono, N. 2010. Statistik sosial teori dan aplikasi program SPSS. Penerbit Gava Media. Yogyakarta. Mardiyanto, T.C,. Prastuti dan Reni, T. 2015. Efektifitas pelatihan teknologi budidaya cabe rawit
merah ramah lingkungan dengan metode ceramah di Kabupaten Demak. Dalam Prosiding Seminar Nasional yang diselenggarakan pada tanggal 24
– 25 Agustus di Bogor, Temu teknis jabatan fungsional non peneliti. Halaman :361-370.
Nazariah. 2015. Percepatan difusi teknologi ptt kedelai di provinsi aceh. Dalam Prosiding Seminar Nasional yang diselenggarakan pada tanggal 24
– 25 Agustus di Bogor, Temu teknis jabatan fungsional non peneliti. Halaman :93-99.
152
Puslitbangnak. 2012. Pedoman umum pembibitan dan penggemukan sapi potong. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian.
Rahmawati, I., Sudargo, T dan Paramastri, I. 2007. Pengaruh penyuluhan dengan audio visual terhadap peningkatan pengetahuan, sikap dan perilaku ibu balita gizi kurang dan buruk di
kabupaten waringin barat provinsi Kalimantan tengah. Jurnal Gizi Klinik Indonesia: 4 2: 69
– 77. Rasyid. A. 2012. Metode komunikasi penyuluhan pada petani sawah. Jurnal Ilmu Komunikasi: 1 1:
1-55. Rentha, T. 2007. Identifikasi Perilaku, Produksi dan Pendapatan Usahatani Padi Sawah Irigasi Teknis
Sebelum dan Sesudah Kenaikan Harga Pupuk di Desa Bedilan Kecamatan Belitang OKU Timur Skripsi S1. Universitas Sriwijaya.Palembang.
Sefrizon. 2011. Pengaruh ceramah, diskusikelompok dan demontrasi terhadap pengetahuan dan keterampilan pencegahan penularan tuberculosis paru pada siswi sekolah dasar di
kabupaten solok. Tesis Fakultas Kedokteran UGM. Yogjakarta Sudarta, W. 2005. Pengetahuan dan Sikap Petani Terhadap Pengendalian
Hama Tanaman
Terpadu Online. http: ejournal .unud. ac.id abstrak 620soca-sudarta- pks20pht2.pdf. [Diunduh Tgl 30 Desember 2009].
Syafruddin. 2006. Hubungan Sejumlah Karakteristik Petani Mete dengan Pengetahuan Mereka dalam Usahatani Mete di Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara. Jurnal Penyuluhan Juni
2006: 22.
153
EFISIENSI PROTEIN, ENERGI, DAN PAKAN PADA PERTUMBUHAN AYAM LEHER GUNDUL DAN AYAM NORMAL
THE EFFICIENCY OF PROTEIN, ENERGY, AND FEEDON GROWTH OF NAKED NECK FOWL CHICKEN AND NORMAL CHICKEN
Harwi Kusnadi
1
, J. H. P. Sidadolog
2
, Zuprizal
2
1
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian BPTP Bengkulu Jl. Irian km 6,5 Kota Bengkulu, 38119
2
Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada Jl. Fauna No. 3, Bulaksumur, Yogyakarta, 55281
Email : harwi_kusnadiyahoo.com
ABSTRAK
Penampilan yang kurang optimal dan produktifias yang rendah pada ayam kampung salah satunya disebabkan pemberian pakan dengan nutrisi yang tidak memenuhi kebutuhan ternak, karena biasanya
peternak memberi makan ayam dengan sisa makan dan dedak padi sebagai tambahannya.Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efisiensi protein, energi, dan pakan pada pertumbuhanayam
Leher Gundul dan ayam normal sampai umur 10 minggu. Penelitian ini menggunakan DOC ayam Leher Gundul sebanyak 72 ekor dan DOC ayam normal sebanyak 72 ekor. Pakan perlakuan yaitu tiga
macam dengan imbangan kandungan protein dan energi 1:150 yaitu : P120,94 protein : 3.139,43 kcalkg energi, P218,91 protein :2.839,20 kcalkg energi, P317,32 protein :2.596,28 kcalkg
energi. Pemberian pakan dan air minum secara adlibitum.Data yang diambil antara lain efisiensi protein, efisiensi energi, dan efisiensi pakan. Data dianalisis dengan Rancangan Acak Lengkap Pola
Faktorial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pakan dengan imbangan protein-energi yang sama tidak berpengaruh nyata terhadap efisiensi protein pada minggu ke 0
–2, ke 6–8, dan minggu ke 8– 10, tidak berpengaruh nyata terhadap efisiensi energi pada minggu ke 0
–2, ke 6–8, dan ke 8–10, berpengaruh sangat nyata terhadap efisiensi pakan kecuali pada minggu ke 8
–10. Kesimpulan yang dapat diambil bahwa pakan dengan imbangan protein-energi 20,94 dan energi 3.139,43 kcalkg
paling efisien untuk menghasilkan berat badan dan pertambahan berat badan ayam Leher Gundul maupun ayam normal sampai umur 10 minggu. Kondisi bulu pada ayam Leher Gundul dan ayam
normal tidak mempengaruhi efieiensi protein, energi dan pakan pada masa pertumbuhan.
Kata kunci: efisiensi, pertumbuhan, ayam Leher Gundul, ayam normal
ABSTRACT
The purpose of this study was to determine the efficiency of protein, energy, and feed on the growth of naked neck fowl chicken and normal chicken until the age of 10 weeks. This study used 72DOC naked
neck fowl chickens and 72DOC normal chickens.Treatment of three feeding with protein and energy content balance 1:150, P1 20.94 protein : 3139.43 kcalkg energy, P2 18.91 protein : 2839.20
kcalkg energy, P3 17.32 protein : 2596.28 kcalkg energy. Feeding and drinking water ad libitum. Data taken include protein efficiency, energy efficiency, and feed efficiency. Experimental
design used were complete randomized design with factorial pattern. The results showed that feeding with the same of protein-energy balance did not significantly affect on the protein efficiency in the 0-
2 to 6-8week of age and the 8-10week of age, did not significantly affect the energy efficiency of 0-2 to 6-8 week of age and 8-10 week of age, very significant effect on feed efficiency except 8-
10 week of age. It could be concluded that feed with protein - energy balance 20.94 : 3139.43 kcal kg is the most efficient way to produce weight and gain naked neck fowl chicken and normal chicken
until 10 weeks of age. Neck feathers conditions in naked neck fowl chickens and normal chicken not affect efficiency protein, energy and feeding on growth.
Keywords: efficiency, growth, naked neck fowlchickens, normal chicken
154
PENDAHULUAN
Ayam kampung merupakan ayam lokal di Indonesia yang kehidupannya sudah melekat dengan masyarakat, ayam kampung juga dikenal dengan sebutan ayam buras bukan ras atau ayam
sayur. Penampilan ayam kampung sangat beragam, begitu pula sifat genetiknya, penyebarannya juga sangat luas karena dapat dijumpai di kota maupun di desa. Ayam kampung sangat berarti bagi
masyarakat karena kontrisbusinya dalam meningkatkan pendapatan keluarga dan memenuhi kebutuhan gizi dari daging dan telur yang dihasilkan. Di beberapa daerah di Indonesia ayam kampung
sangat dibutuhkan oleh masyarakat dalam acara keagamaan, adat istiadat dan hobi sehingga pembudidayaannya perlu ditingkatkan Nitis, 2006.
Penampilan ayam dengan kondisi bulu dan pertumbuhan yang terbatas pada bagian leher dan sekitarnya yang disebut ayam Legund atau Leher Gundul Naked Neck Fowl Sidadolog, 1991.Hal
ini menjadikan ayam Legund lebih lancar dalam pembuangan panas tubuh sehingga lebih toleran terhadap lingkungan dengan temperatur tinggi. Kondisi tidak adanya bulu pada leher pada daerah
dengan temperatur tinggi menjadikan ayam Legund lebih toleran terhadap pemberian pakan dengan kandungan energi yang rendah dibandingkan dengan ayam bulu normal sehingga dengan pakan yang
samamemiliki potensi pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan ayam normal Sidadolog, 1991.Dengan keistimewaan tersebut ayam Legund mempunyai potensi yang baik untuk
dikembangkan di daerah tropis.
Permasalahan utama dalam pengembangan ayam kampung adalah penampilan yang kurang optimal dan rendahnya produktifitas.Penampilan ternak ditentukan oleh faktor genetik dan faktor
lingkungan.Faktor genetik didapatkan dari induk betina dan pejantan tetuanya, sedangkan faktor lingkungan salah satunya adalah pakan. Potensi genetik ternak akan ditampilkan apabila ditunjang
dengan nutrisi pakan yang cukup. Penampilan yang kurang optimal dan produktifias yang rendah pada ayam kampung salah satunya disebabkan pemberian pakan dengan nutrisi yang tidak memenuhi
kebutuhan ternak karena biasanya peternak memberi makan ayam dengan sisa makan dan dedak padi sebagai tambahannya. Peningkatan populasi, produksi dan efisiensi usaha ayam kampung perlu
ditingkatkan dari tradisional ke arah agribisnis Zakaria, 2004. Tetapi perlu diperhatikandalam biaya produksi sehingga biaya yang dikeluarkan sebanding dengan hasil yang diperoleh.Dalam usaha
peternakan unggas biaya untuk pakan mencapai 65
–70 dari total biaya produksi Zuprizal, 2006, sehingga harga bahan pakan sangat menentukan biaya produksi. Oleh karena itu perlu diupayakan
penghematan untuk menekan biaya produksi. Pada fase pertumbuhan ayam memerlukan protein dan energi yang tinggi sesuai dengan
kebutuhannya karena protein dan energi merupakan nutrisi makanan yang sangat berperan dalam pertumbuhan. Matitaputty et al. 2011 menjelaskan bahwa pertumbuhanlebih dipengaruhi oleh
nutrisi, konversi pakan dan umur potong. Optimalisasi protein dan energi pakan merupakan upaya untuk meningkatkan efisiensi ekonomis penggunaan pakan oleh ternak sesuai dengan kapasitas laju
pertumbuhan genetis ternak itu sendiri.Kekurangan asupan protein dan energi menyebabkan tertahannya kapasitas genetik tumbuh sehingga ternak tumbuh kurang optimal. Sebaliknya, apabila
asupan protein dan energi berlebihan,ternak akan mengeluarkan kelebihan protein tersebut sehingga merupakan pemborosanIskandar, 2012.
Protein dibutuhkan sebagai sumber energi utama karena protein ini terus-menerus diperlukan dalam pakan untuk pertumbuhan, produksi ternak, dan perbaikan
jaringan yang rusak Zulfanita et al., 2011. Kebutuhan nutrisi ayam kampung pedaging adalah protein
15-19 dan energi metabolis 2.900 kcalkg, sedangkan untuk ayam petelur adalah protein 14-15 dan energi metabolis 2.600 kcalkg Resnawati, 2012.
Penelitian tentang protein, energi pakan pada ayam kampung telah banyak dilakukan.Akan tetapi pemberian tingkat protein dan energi pakan yang tepat masih perlu dilakukan penelitian sejenis
pada berbagai macam jenis ayam kampung diantaranya pada ayam Legund dan dibandingkan dengan ayam normal.Sehubungan dengan uraian permasalahan di atas perlu dilakukan penelitian efieiensi
protein, energi, dan pakan pada pertumbuhan ayam Legund dan ayam normal sampai umur 10 minggu.
155
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di kandang Laboratorium Ternak Unggas Fakultas Peternakan Universitas Gajah Mada, Yogyakarta pada bulan September sampai Desember 2013. Materi yang
digunakan yaitu DOC ayam Legund sebanyak 72 ekor dan DOC ayam normal sebanyak 72 ekor tanpa dilakukan sexing. DOC ayam Legund dan ayam normal merupakan hasil penetasan mesin tetas milik
Laboratorium Ternak Unggas, Fakultas Peternakan, UGM.
Bahan pakan yang digunakan antara lain jagung kuning giling, bungkil kedelai, dedak padi, meat bone meal MBM, tepung ikan, garam, top mix, CaCO3, Lysin, Methyonin, dan minyak CPO.
Pakan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari tiga macam ransum dengan imbangan kandungan protein dan energi 1:150 yaitu : P1 = protein pakan 20,94 dan energi 3.139,43 kcalkg,
P2 = protein pakan 18,91 dan energi 2.839,20 kcalkg, P3 = protein pakan 17,32 dan energi 2.596,28 kcalkg.Formula pakan penelitian disajikan pada Tabel 1.
Kandang yang digunakan adalah kandang kelompok yang dibuat dari rangka besi dan strimin kawat. Kandang dilengkapi dengan tempat pakan dan minum. Penerang dan pemanas berupa lampu
listrik 15 watt sebanyak 2 buah untuk setiap kandang. Ukuran kandang yaitu 50 cm x 100 cm dengan kapasitas masing-masing 4 ekor.
Tabel 1. Formula pakan penelitian
Bahan pakan Formula pakan penelitian
P1 P2
P3 - Jagung kuning giling
46,50 40,00
29,00 - Bungkil kedelai
28,00 23,00
21,50 - Dedak padi
12,00 27,50
42,50 - Meat Bone Meal
3,00 2,50
1,00 - Tepung Ikan
3,50 2,50
1,00 - Garam
0,25 0,25
0,25 - Top Mix
0,25 0,25
0,25 - CaCO3
1,00 1,00
1,00 - L-lysine-HCL
0,25 0,25
0,25 - DL-methionine
0,25 0,25
0,25 - Minyak CPO
5,00 1,50
0,00 - Filler
0,00 1,00
3,00 Total
100 100
100 Kandungan nutrient
- ME kcalkg 3.139,43
2.839,20 2.596,28
- PK 20,94
18,91 17,32
- SK 4,50
7,30 9,90
- LK 3,70
4,20 4,50
- Ca 0,80
0,70 0,70
- Pav 0,30
0,30 0,30
- Abu 5,30
6,40 7,40
- Lisin 1,35
1,27 1,23
- Metionin 0,59
0,58 0,57
Protein : Energi 1:150
1:150 1:150
DOC ayam Legund sebanyak 72 ekor dibagi menjadi tiga kelompok sesuai perlakuan pakan dengan enam kali ulangan sehingga masing-masing kelompok berisi 4 ekor, demikian juga DOC ayam
normalsebanyak 72 ekor dibagi menjadi tiga bagian sesuai perlakuan pakandengan enam kali ulangan sehingga masing-masing kelompok berisi 4 ekor. DOC masing-masing kelompok ditempatkan pada
kandang kelompok yang dilengkapi dengan tempat pakan, tempat minum dan lampu pijar 25 watt.Pemberian pakan dan air minum secara adlibitum.Penimbangan berat badan dan sisa pakan
dilakukan setiap minggu.Ayam dipelihara sampai umur 10 minggu.Data yang diambil meliputi efisiensi protein, efisiensi energi dan efisiensipakan. Data dianalisis dengan Rancangan Acak Lengkap
Pola Faktorial, kemudian apabila hasil analisis menunjukkan pengaruh yang nyata, dilanjutkan dengan uji Duncan
’sNew Multiple Range Test DMRT.
156
HASIL DAN PEMBAHASAN Efisiensi Protein
Efisiensi protein dinyatakan sebagai perbandingan antara pertambahan berat badan g dan konsumsi protein g dikalikan dengan 100, sehingga satuan efisiensi protein adalah gg
Sidadolog dan Yuwanta, 2011. Konsumsi protein kasar dihitung dengan mengalikan konsumsi pakan selamapenelitian gekor dengan kandungan PK setiap pakan perlakuanTrisiwi dan Supartini, 2015.
Rata-rata efisiensi protein ayam hasil penelitian sampai umur 8 –10 minggu disajikan pada Tabel 2.
Tabel2. Rara-rata efisiensi protein g PBBg proteinpengaruh umur, kondisibulu dan pakan
Umur mg
Kondisi bulu Pakan
Rata-rata P1
P2 P3
‘0 - 2 Legund
245,37±61,45 216,53±33,14
194,83±30,19 218,91±41,59
Normal 206,79±42,23
214,88±40,49 192,69±49,47
204,79±44,06 Rata-rata
ns
226,08±51,84 215,71±36,82
193,76±39,83 211,85±42,83
ns
‘2 - 4 Legund
205,99±26,50 186,34±33,83
167,83±26,43 186,72±28,92
Normal 181,87±21,68
169,57±41,15 164,36±24,33
171,93±29,05 Rata-rata
193,94±24,09
a
177,96±37,49
bc
166,09±25,38
c
179,33±28,99
ns
‘ 4 - 6 Legund
177,71±17,48 168,28±18,89
146,56±18,01 164,19±18,13
Normal 169,80±22,06
160,94±9,62 137,62±21,64
156,12±17,77 Rata-rata
173,76±19,77
a
164,61±14,25
ab
142,09±19,83
c
160,15±17,95
ns
‘6 - 8 Legund
151,74±41,19 145,17±55,56
128,79±25,13 141,89±40,63
Normal 145,69±61,39
141,72±32,19 130,22±37,12
139,21±43,57 Rata-rata
ns
148,71±51,29 143,45±43,87
129,50±31,13 140,55±42,09
ns
‘8 - 10 Legund
129,05±22,79 135,61±40,19
127,43±29,15 130,69±30,71
Normal 114,82±19,56
126,03±41,78 130,02±32,47
123,62±31,27 Rata-rata
ns
121,94±21,18 130,82±40,99
128,72±30,81 127,16±30,99
ns
Keterangan
: a,b,c
Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata P0,05 dan sangat nyata P0,01
ns
= non significan = berbeda nyata
= berbeda sangat nyata
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perbedaan tingkat protein pakan dengan imbangan energi yang samatidak berpengaruh nyata P0,05terhadap efisiensi protein pada minggu ke 0
–2, ke 6
–8, dan minggu ke 8–10. Hal ini menunjukkan bahwa pada minggu tersebut protein yang dikonsumsi dapat dimanfaatkan sama baiknya untuk menghasilkan pertambahan berat badan pada
ketiga perlakuan pakan. Pada minggu ke 2 –4 dan ke 4–6 efisiensi protein yang dihasilkan
menunjukkan perbedaan yang nyata P0,05 dimana pada pakan dengan kandungan protein dan energi yang lebih tinggi, nilai efisiensi protein lebih tinggi dibandingkan dengan pada pakan dengan
kandungan protein dan energi yang lebih rendah. Pada minggu minggu ke 2 –4 dan ke 4–
6pemberian protein pakan sampai 20,94 dapat dimanfaatkan dengan lebih baik untuk menghasilkan pertambahan berat badan. Kandungan protein kasar CP dalam ransum tidak
memberikan satu efek yang cukup berarti terhadap konsumsi pakan.Untuk itu, maka kandungan protein kasar dalam ransum harus dibedakan antara untuk ternak yang sedang berproduksi, yang
sedang bertumbuh atau yang hanya untuk kebutuhan hidup pokok saja Zuprizal, 2006.Gultom 2014 menyatakan bahwa konsumsi protein yang tinggi akan mempengaruhi asupan protein pula ke dalam
daging dan asam-asam amino tercukupi di dalam tubuhnya sehingga metabolisme sel-sel dalam tubuh berlangsung secara normal. Tampubolon dan Bintang 2012 menyebutkan bahwa asupan protein
dipengaruhi oleh jumlah konsumsi ransum. Perbedaan tingkat protein dan energi menyebabkan perbedaan tingkat konsumsi pakannya, dimana pakan dengan tingkat protein dan energi lebih rendah,
maka konsumsi pakannya lebih banyak sehingga protein pakan yang dikonsumsi pada setiap perlakuan pakan tidak berbeda. Konsumsi protein inilah yang akan mempengaruhi efisiensi protein dalam
penambahan berat badan.Ransum yang mengandung energi metabolis sebesar 2900 dan protein sebesar 19, dengan kandungan energi dan protein yang rendah maka kurang mampu menghasilkan
rasio efisiensi protein yang baik untuk ternak Sari et all., 2014.
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa pengaruh kondisi bulu memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata P0,05 pada efisiensi protein, dimana ayam normal sama baiknya dengan ayam
Legund dalam memanfaatkan protein yang dikonsumsi untuk menghasilkan pertambahan berat badan.
157
Ayam Legund dapat memanfaatkan protein pakan lebih banyak untuk pembentukan daging sedangkan ayam normal masih membutuhkan protein lebih untuk pertumbuhan bulu.
Efisiensi energi
Efisiensi energi merupakan hubungan antara pertambahan berat badan g dan konsumsi energi kalori dikalikan 100, sehingga satuan efisiensi energi adalah g PBBkalori. Rata-rata
efisiensi energi ayam hasil penelitian sampai umur 8 –10 minggu disajikan pada Tabel 3.
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perbedaan tingkat protein pakan dengan imbangan energi yang samatidak berpengaruh nyata P0,05terhadap efisiensi energi pada minggu ke 0
–2, ke 6
–8, dan ke 8–10. Hal ini menunjukkan bahwa pada ketiga perlakuan pakan, energi yang dikonsumsi dapat dimanfaatkan sama baiknya untuk menghasilan pertambahan berat badan. Faktor
pembatas utama yang berhubungan langsung dengan nafsu makan adalah kebutuhan energi Zuprizal, 2006.Kandungan energi yang tinggi dalam pakan akan membuat ayam lebih cepat berhenti makan
Iskandar, 2012. Ayam akan terus mengkonsumsi pakan sampai kebutuhan energinya terpenuhi. Apabila kebutuhan energinya sudah terpenuhi, maka ayam akan berhenti makan sehingga jumlah
energi pakan yang dikonsumsi pada setiap perlakuan pakan tidak berbeda. Energi inilah yang digunakan untuk menghasilkan pertambahan berat badan.
Pada minggu ke 2 –4 dan ke 4–6 menunjukkan perbedaan yang nyata P0,05. Uji lanjut
dengan DMRT dapat diketahui bahwa pakan dengan kandungan protein dan energi yang lebih tinggi nilai efisiensi energinya lebih tinggi daripada pakan dengan kandungan protein dan energi yang lebih
rendah.Hasil ini sedikit berbeda dengan Sidadolog dan Yuwanta 2011 yang melaporkan pada ayam Merawang efisiensi penggunaan energi tidak berbeda nyata pada minggu ke
‐2, ke‐3 dan pada minggu ke
‐9, ke‐10 dan ke‐11. Mulai dari minggu ke‐4 sampai dengan minggu ke‐8 dan minggu ke‐12, efisiensi penggunaan energi pada perlakuan pakan konsentrasi protein
‐energi tinggi dengan konsumsi energi yang lebih besar ternyata mempunyai efisiensi yang lebih rendah P≥0,05 dibandingkan
dengan perlakuan pakan konsentrasi protein ‐energi rendah dan sedang.
Tabel 3. Rata-rata efisiensi energi g PBBkaloripengaruh umur, kondisi bulu dan pakan
Umur minggu
Kondisi bulu Pakan
Rata-rata P1
P2 P3
‘0 – 2 Legund
16,37±4,09 14,42±2,21
12,99±2,02 14,59±2,77
Normal 13,79±2,82
14,31±2,69 12,85±3,29
13,65±2,94 Rata-rata
ns
15,08±3,46 14,37±2,45
12,93±2,66 14,12±2,86
ns
‘2 – 4 Legund
13,74±1,77 12,41±2,25
11,19±1,77 12,45±1,93
Normal 12,13±1,45
11,29±2,74 10,96±1,62
11,46±1,94 Rata-rata
12,94±1,61
a
11,85±2,49
bc
11,08±1,69
c
11,96±1,93
ns
‘4 – 6 Legund
11,85±1,17 11,21±1,26
9,78±1,20 10,95±1,21
Normal 11,33±1,47
10,72±0,64 9,18±1,44
10,41±1,19 Rata-rata
11,59±1,32
a
10,96±0,95
ab
9,48±1,32
c
10,68±1,19
ns
‘6 – 8 Legund
10,12±2,75 9,67±3,70
8,59±1,68 9,46±2,71
Normal 9,72±4,09
9,44±2,14 8,69±2,48
9,28±2,91 Rata-rata
ns
9,92±3,42 9,55±2,92
8,64±2,08 9,37±2,81
ns
‘8 – 10 Legund
8,61±1,52 9.03±2,68
8,50±1,94 8,71±2,05
Normal 7,66±1,30
8,39±2,78 8,67±2,17
8,24±2,08 Rata-rata
ns
8,13±1,41 8,71±2,73
8,59±2,06 8,48±2,07
ns a,b,c
Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata P0,05 dan sangat nyata P0,01
ns
= non significan = berbeda nyata
= berbeda sangat nyata
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa pengaruh kondisi bulu memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata P0,05 pada efisiensi energi, dimana ayam normal sama baiknya dengan ayam
Legund dalam memanfaatkan energi yang dikonsumsi untuk menghasilkan berat badan. Ayam Legund merupakan ayam yang lebih lancar dalam pembuangan panas karena ada sebagian tubuh tidak
ditumbuhi bulu sehingga seharusnya lebih efisien dalam penggunaan energi dari pada ayam normal. Hal ini diduga dipengaruhi juga dengan penggunaan energi untuk aktifitas ayam di kandang.
158
Efisiensi Pakan
Efisiensi pakan dinyatakan sebagai perbandingan antara pertambahan berat badan g dan konsumsi pakan g dikalikan dengan 100, sehingga satuan efisiensi pakan adalah gg. Rata-rata
efisiensi pakan ayam hasil penelitian sampai umur 8 – 10 minggu disajikan pada Tabel 4.
Pakan dengan kandungan protein lebih tinggi, maka efisiensi pakannya lebih tinggi dibandingkan dengan pakan dengan kandungan protein yang lebih rendah. Efisiensi pakan P1 lebih
tinggi sampai minggu ke-8 mencapai 24,04 sedangkan P2 dan P3 masing-masing 24,74 dan 22,52.
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perbedaan tingkat protein pakan dengan imbangan energi yang samaberpengaruh sangat nyata P0,01terhadap efisiensi pakan kecuali pada minggu ke
8 –10.
Tabel 4. Rata-rata efisiensi pakan g PBBg pakan pengaruh umur, kondisi bulu dan pakan
Umur minggu
Kondisi bulu Pakan
Rata-rata P1
P2 P3
‘0 – 2 Legund
51,38±12,87 40,95±6,27
33,75±5,23 42,02±8,12
Normal 43,08±8,76
40,63±7,66 33,37±8,57
39,03±8,33 Rata-rata
47,23±10,81
a
40,79±6,96
b
33,56±6,89
c
40,53±8,23
ns
‘2 – 4 Legund
43,14±5,55 35,24±6,39
29,07±4,58 35,81±5,51
a
Normal 38,08±4,54
32,07±7,78 28,47±4,21
32,87±5,51
b
Rata-rata 40,61±5,05
a
33,65±7,09
b
28,77±4,39
c
34,34±5,51 ‘ 4 – 6
Legund 37,21±3,66
31,82±3,57 25,39±3,12
31,47±3,45 Normal
34,28±4,52 30,43±1,82
23,84±3,75 29,52±3,36
Rata-rata 35,75±4,09
a
31,13±2,69
b
24,61±3,43
c
30,49±3,41
ns
‘6 – 8 Legund
31,77±8,63 27,45±10,51
22,31±4,35 27,18±7,83
Normal 30,51±12,85
26,79±6,09 22,56±6,43
26,62±8,46 Rata-rata
31,14±10,74
a
27,13±8,29
bc
22,43±5,39
c
26,89±8,14
ns
‘8 – 10 Legund
27,02±4,77 25,64±7,60
22,07±5,05 24,91±5,81
Normal 24,04±4,09
23,83±7,90 22,52±5,62
23,47±5,87 Rata-rata
ns
25,53±4,43 24,74±7,75
22,29±5,34 24,19±5,84
ns a,b,c
Superskrip yang berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata P0,05 dan sangat nyata P0,01
ns
= non significan = berbeda sangat nyata
Uji lanjut dengan DMRT menunjukkan bahwa pakan dengan kandungan protein dan energi yang lebih tinggi menghasilkan nilai efisiensi pakan lebih tinggi dari pada pakan dengan kandungan
protein dan energi yang lebih rendah. Kandungan protein dan energi pakan 20,94 dan 3.139,43 kcalkg sampai minggu ke 6
–8 layak diberikan karena masih efisien dalam menghasilkan pertambahan berat badan.Konsumsi pakan merupakan hal yang penting, karena berhubungan dengan
pemenuhan kebutuhan baik untuk hidup pokok maupun produksi Yantimala,2011.Pemberian pakan dengan nutrisi yang cukup dan tepat pada waktunya akan memberikan nilai efisiensi pakan yang
tinggi.Pakan dengan kandungan protein-energi yang rendah mempunyai kepadatan nutrisi yang rendah dibandingkan pakan dengan kandungan protein tinggi Rosandi, 2005. Oleh karena itu pada perlakuan
pakan dengan kandungan protein-energi rendah, maka ayam akan mengkonsumsi pakan yang lebih banyak untuk mencukupi kebutuhannya sehingga nilai efisiensi pakannya lebih rendah.
Dilihat dari semakin bertambahnya umur, maka efisiensi pakan semakin menurun karena beban untuk hidup pokok semakin meningkat seiring meningkatnya berat badan dan untuk
pertumbuhan. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa pengaruh kondisi bulu memberikan pengaruh yang
tidak berbeda nyata P0,05 pada efisiensi pakan kecuali pada minggu ke 2 –4, dimana ayam normal
sama baiknya dengan ayam Legund dalam memanfaatkan pakan yang dikonsumsi untuk menghasilkan berat badan. Seharusnya ayam Legund mempunyai efisiensi pakan yang lebih tinggi dibanding ayam
normal. Hal ini diduga lingkungan kandang tidak terdapat cekapan panas yang mempengaruhi fisiologi ayam sehingga ayam Legund maupun ayam normal mempunyai kemampuan adaptasi yang
sama terhadap lingkungan kandang. Penampilan ayam Leher Gundul Legund Naked Neck Fowl merupakan ekspresi dari gen Na yang memberi pengaruh tak langsung terhadap toleransi panas
159
lingkungan. Ini memberi akibat perbaikan dalam pengeluaran panas tubuh melalui permukaan tubuh yang terbuka. Kondisi ini akan memberi pengaruh terhadap fisiologis, produksi dan reproduksinya
Rahayu, 2000.Hasil penelitian ini sedikit berbeda dengan hasil penelitian Galal 2008 yang melaporkan bahwa ayam leher gundul dengan genotip NaNa nyata lebih baik bobot badan pada umur
8 minggu dari pada ayam bergenotip Nana dan nana.
KESIMPULAN
Pakan dengan imbangan protein 20,94 dan energi 3.139,43 kcalkg paling efisien untuk menghasilkan berat badan dan pertambahan berat badan ayam Legund maupun ayam normal sampai
umur 10 minggu. Kondisi bulu pada ayam Legund dan ayam normal tidak mempengaruhi efisiensiprotein, efisiensi energi, dan efisiensi pakanpada pertumbuhan ayam Legund dan ayam
normal.Pemunculan interaksi antara pengaruh tingkat protein dengan imbangan energi yang sama dan pengaruh kondisi bulu tidak terjadi pada efisiensi protein, efisiensi energi dan efisiensi pakanpada
ayam Legund dan ayam normal sampai umur 10 minggu.
UCAPAN TERIMAKASIH
Terima kasih kami sampaikan kepada teman-teman yang ikut menanganipemeliharaan ayam di kandang, kepada teman dilaboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak UGM atas bantuan
analisisproksimatnya, dan semua pihak yang telah membantu pelaksanaan penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Iskandar,S. 2012. Optimalisasi Protein dan Energi Ransum Untuk Meningkatkan Produksi Daging Lokal. Balitnak Bogor. Pengembangan Inovasi Pertanian52, 2012: 96-107.
Galal, A. 2008.ImmunoCompetence And SomeHematological Parameters Of Naked Neck And Normally Feathered Chicken. J. Poult. Sci., 45: 89
– 95. Gultom,S.M., Supratman, R.D.H., Abun. 2014. Pengaruh Imbangan Energi Dan Protein Ransum
Terhadap Bobot Karkas Dan Bobot Lemak Abdominal Ayam Broiler Umur 3-5 Minggu. Jurnal Fakultas Peternakan, Universitas Padjajaran, Bandung.
Matitaputty, P.R., R.R. Noor, P.S. Hardjosworo, dan C.H. Wijaya. 2011. Performa, Persentase Karkas Dan Nilai Heterosis Itik Alabio, Cihateup Dan Hasil Persilangannya Pada Umur Delapan
Minggu. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 16: 90-97. Nitis, I.M. 2006. Peternakan Berwawasan Kebudayaan. Cetakan Pertama, Arti Foundation. Denpasar.
Rahayu, B.W.I. 2000. Kajian Kematian Ayam Legund Naked Neck Fowl Berdasarkan Genotip Pada Fase Embrional. Tesis Program Pascasarjana Fakultas Peternakan Universitas Gadjah
Mada. Yogyakarta. Resnawati, H. 2012. Inovasi Teknologi Pemanfaatan Bahan Pakan Lokal Mendukung Pengembangan
Industri Ayam Kampung, Pengembangan Inovasi Pertanian 52, 2012: 79-95, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Jalan Raya Pajajaran Kav. E-59 Bogor 16152.
Rosandi, H. 2005. Performa Ayam Broiler yang diberi Pakan berbeda dengan Rasio yang sama. Skripsi program S1 Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Sari, K.A., B. Sukamto, dan B. Dwiloka. 2014. Efisiensi Penggunaan Protein pada Ayam Broiler dengan Pemberian Pakan Mengandung Tepung Daun Kayambang Salvinia molesta.
Agripet Vol 14 No. 2 : 76-83 Sidadolog, J.H.P. 1991. Pengaruh Gen Na Naked Neck Terhadap Pertumbuhan Ayam
Kampung.Laporan Penelitian No 233P241M DPPMBDXXI1989. Sidadolog, J.H.P. dan T.Yuwanta. 2011. Pengaruh Konsentrasi Protein-Energi Pakan Terhadap
Pertambahan Berat Badan, Efisiensi Energi dan Efisiensi Protein Pada Masa Pertumbuhan Ayam Merawang. Animal Production 11 1 : 15-22. Lab. Ternak Unggas,
Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada , Yogyakarta.Wahyu, J. 2005. Ilmu Nutrisi Unggas. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Tampubolon dan Bintang, P.P. 2012. Pengaruh Imbangan Energi dan Protein Ransum terhadap Energi Metabolis dan Retensi Nitrogen Ayam Broiler. Jurnal Fakultas Peternakan
Universitas Padjajaran, Bandung.
160
Trisiwi, H.F. dan N. Supartini. 2015. Pengaruh Dua Jenis Pakan Komersial Dan Pakan Rasional Terhadap Penampilan Ayam Kampung. Buana Sains Vol 15 No 1: 29-34.
Yantimala, D. 2011. Pengaruh Pemberian Tepung Kaki Ayam Broiler Sebagai Subtsitusi Tepung Ikan
di Dalam Ransum Terhadap Konsumsi Pakan, Bobot Badan dan Konversi Pakan Ayam Arab gallus turcicus. Skripsi. Jurusan Biologi Fakultas Sains Dan Teknologi.
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. Zakaria,S. 2004. Performa Ayam Buras Fase Dara Yang Dipelihara Secara Intensif Dan Semi Intensif
Dengan Tingkat Kepadatan Kandang Yang Berbeda. Bulletin Nutrisi dan Makanan Ternak. 5 1: 41
– 51. Zulfanita, Roisu, E.M., dan Utami, D.P. 2011. Pembatasan Ransum Berpengaruh Terhadap
Pertambahan Bobot Badan Ayam Broiler Pada Periode Pertumbuhan. Jurnal Mediagro 7: 59-67.
Zuprizal. 2006. Nutrisi Unggas. Handout.Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada.Yogyakarta.
161
PERAN PENYULUHAN TERHADAP RESPON DAN TINGKAT PENGETAHUAN PETANI TERNAK DI KABUPATEN TULANG BAWANG
ROLE EXTENSION ABOUT RESPONSES AND KNOWLEDGE LEVEL OF FARMERS OF LIVESTOCK IN TULANG BAWANG DISTRICT
Suryani dan Gohan Octora Manurung
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian BPTP Lampung Jl. Z.A Pagar Alam No 1A Raja Basa Bandar Lampung
Email : lampung.suryaniyahoo.co.id
1
gomanroeyahoo.co.id
2
ABSTRAK
Luas Kabupaten Tulang bawang 346.632 Ha, dan tiga puluh persen lebih ditanami ubikayu, pemanfaatan limbah ubi kayu sebagai pakan ternak kambing belum maksimal Pengkajian dilakukan
untuk mengetahui tingkat pengetahuan petani tentang pemanfaatan silase daun ubikayu sebagai pakan alternatif ternak kambing sebelum dilakukan penyuluhan dan sesudah dilakukan penyuluhan, di desa
Kampung Tua Kecamatan Menggala Kabupaten Tulang Bawang, Provinsi Lampung. ada bulan Agustus 2016. Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara langsung dan menyebarkan
kuisioner serta yang sudah disiapkan berkaitan dengan materi penyuluhan yaitu pemanfaatan silase daun singkong sebagai pakan alternatif ternak kambing sebelum dan sesudah penyuluhan dilakukan,
serta data sekunder yang berasal dari Programa kabupaten Tulang Bawang. Petani sampel adalah peserta penyuluhan sebanyak 20 orang. Data Data di analisis dengan menggunakan uji tastistik
korelasi Poduck moment. Dari hasil pengkajian di peroleh nilai pre test 579 dan post test 900 kenaikan sekitar 58,1 pada kategori tinggi.Yang berarti penyuluhantentang pemanfaatan silase daun
singkong sebagai pakan alternatif ternak kambing berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan peternak.
Kata Kunci: penyuluhan, pengetahuan, pakan
ABSTRACT
Tulang Bawang Regency has an area of 346.632 ha,and more than thirty percent planted cassava. Waste utilization of cassava as animal feed goats is not maximized. The assessment was conducted to
determine the level of knowledge of farmers on the use of cassava leaf silage as an alternative feed for goats before and after counseling, in the village of Kampung Tua Subdistrict Menggala Tulang
Bawang District, Lampung Province. The data collection was done by direct interviews and distributing questionnaires that had been prepared on extension materials utilization of cassava leaf
silage as an alternative feed for goats before and after counseling. Collecting secondary data drawn from the Programa Tulang Bawang district. Farmers samples are participants extension of 20 people.
Data were analyzed using correlation test Poduck. Assessment results obtained from the pre- test and post-test 579. 900 increase of about 58.1 on higher. Which means education about the utilization of
cassava leaf silage as an alternative feed for goats affect the level of knowledge of farmers.
Keywords : extension, knowledge, feed
PENDAHULUAN
Penyuluhan pertanian adalah proses pembelajaran bagi pelaku utama serta pelaku usaha agar mereka mau dan mampu menolong dan mengkordinasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar,
teknologi, permodalan, dan sumberdaya lainnya, sebagai upaya untuk meningkatkankan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan dan kesejahteraan, serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi
lingkungan hidup Undang-Undang no 16 Tahun 2006 tentang sistim penyuluhan pertanian, perikanan,dan kehutanan SP3K, Deptan, 2006.
Agar penyuluhan pertanian dilaksanakan secara efektif dan efisien, diperlukan metode penyuluhan pertanian yang tepat sesuai kebutuhan pelaku utama dan pelaku usaha. Metode
penyuluhan pertanian adalah carateknik penyampaian materi penyuluhan oleh penyuluh pertanian kepada pelaku utama dan pelaku usaha, Deptan, 2006. Salah satu metode yang digunakan adalah
metode ceramah dan dilanjutkan dengan diskusi dengan memakai metode ceramah diharapkan
162
informasi-informasi yang di sampaikan lebih lengkap dan cepat dengan penjelasan yang lebih baik dan mendalam.
Kabupaten Tulang memiliki luas 346.632 Ha, dengan lahan kering 179.068,69 Ha,yang sebaian besar ditanami Ubi kayusingkong dan tanaman karet, kecamatan Menggala sendiri memiliki
luas lahan kering 26.302,75 Ha dari luas tersebut lebih dari 30 ditanami ubikayu, semua ikutan dari ubikayu bisa dimanfaatkaan sebagai pakan ternak, baik itu ternak sapi, kambing dan kerbau, selama
ini sebagian masyarak Kabupaten Tulang Bawang belum memanfaatkan hasil ikutan ubikayu, terutama daaun singkong masyarakat Tulang Bawang sudah lama memanfaatkan daun singkong
sebagai pakan ternak,tetapi belum digunakan sebagai pakan alternatif di musim kemarau, mereka hanya mengambil daun singkong terus di jemur lalu di berikan kepada ternak.
Hal ini terkendala apa bila pada musim hujan peternak tidak dapat menjemur daun singkong dan mengakibatkan daun singkong membusuk dan terbuang begitu saja, Untuk mengatasi salah satu
cara yaitu dengan fermentasi atau di buat silase . Silase itu sendiri adalah bahan makanan ternak yang sengaja disimpan dan diawetkan dengan proses fermentasi dengan maksud untuk mendapatkan bahan
pakan yang masih bermutu tinggi serta tahan lama agar dapat diberikan kepada ternak pada masa kekurangan pakan ternak. Hanafi d2006
Tujuan dari pengkajian ini adalahuntuk mengetahui peran penyuluhan terhadap respon dan tingkat pengetahuan petani tentang pembuatan silase daun singkong sebagai pakan alternatip ternak
kambing.
METODOLOGI
Penyuluhan dilaksanakan dengan metode ceramah dan diskusi dengan materi cara pembuatan silase daun ubikayu di Desa kampung Tua Kecamatan Menggala Kabupaten Tulang Bawang Provinsi
lampungpada bulan Agustus 2016 dengan jumlah responden 20 orang. Untuk mengetahui tingkat pengetahuan petani ternak tentang pemanfaatan daun ubi sebagai pakan alternatif ternak kambing,
maka sebelum melakukan penyuluhan diawali dengan wawancara dan pemberian kuesioner pre testkepada 20 orang anggota kelompoktani sebagai responden. Untuk mengetahui adanya perbedaan
sebelum dan setelah penyuluhan dilakukan pengisian kembali kuesioner post test dengan responden yang sama, setelah penyuluhan dilakukan paramater yang di ukur adalah tingkat pengetahuan tentang
pengertian silase, tujuan pembuatan silase,bahan tambahan untuk pembuatan silase, tujuan penambahan bahan tambahan, ciri ciri selase yang baik dan cara penyimpanan silase dengan
menggunakan skala likert, tingkat pendidikan dengan menggunakan lama tahun dan dilakukan analisis dengan menggunakan indikator penilaian dengan rumus korelasi Poduck moment menurut
Arikunto 2002. dan Rumus Soedijanto 2001.
� = � ∑
– ∑ ∑ √[N ∑ X
2
− ∑ X ] [ NΣY
2
– ∑ Y
2
]
2
Keterangan: r : Korelasi
X : Total hasil pre test setiap responden Y : Total hasil pos test setiap responden
N : Sampel dari setiap responden pre test, post test Rumus untuk mencari presentasepeningkatan dengan menggunakan rumus Soedijanto 2001:
Peningkatan= Nilai Post Tes – Nilai Pre Test X 100
Nilai Pre Test Dengan Kriteria sebagai berikut
Besarnya Presentase Interpretasi
40.00 – 50.00
Tinggi 30.00
– 39.00 Sedang
20.00 – 29.00
Rendah 10 .00
– 19.00 Sangat rendah
Sumber: Soedijanto 2001
163
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Wilayah
Kabupaten Tulang Bawang merupakan kabupaten yang memiliki potensi wilayah dan aspek- aspek pendukung dibidang pertanian, juga memiliki luas areal yang memadai dimana sektor pertanian
menjadi mata pencaharian utama masyarakat ini. Kabupaten Tulang Bawang secara geografis terletak pada 105
05’- 105 55’ dengan luas 346.632 Ha, yang terdiri dari 15 Kecamatan, 147 desa dan 4
kelurahan programa 2015 Kepemilikan ternak kambing di desa Kampung Tua Kecamatan Menggala Kabupaten Tulang
Bawangrata- rata berjumlah 10 sampai dengan 15 ekor. Dilihat dari skala usahataninyasudah dapat dikatakan lumayan, namun sebagian besar sistem pemeliharaanya masih secara tradisional,
Produktivitas usahataninya masih rendah dengan interval kelahiran 10 sampai dengan 12 bulan sekali. Kalau dilihat dari data di bawah ini tingkat pendidikan dari responden cukup bagus begitu juga
dengan umur responden rata-rata masih berumur muda atau produktif.
Tabel 1. Data tingkat pendidikan responden
Tingkat Pendidikan Jumlah
SD 3
15 SMP
1 5
SMA 10
50 S1
6 30
Total 20
100 Sumber : Data Primer 2016
Tabel satu terlihat bahwa responden yang berpendidikan sekolah dasar hanya sebesar 5, yang berpendidikan sekolah menengah pertama 15, berpendidikaan sekolah menengah atas 45 dan
berpendidikan sarjana sebesar 35. responden petani dengan pendidikan yang lebih tinggi diharapkan dapat menyerap materi penyuluhan silase daun ubi kayu dengan baik.
Dilihat dari umur responden menurut Prijono Tjpto Heri 2001 bahwa yang dimaksud dengan usia produktif adalah umur 15 tahun sampaai dengan 64 tahun sedang kan Tua adalah 64 tahun ke
atas, kelompoktani ini masuk katagori usia produktif. Tabel satu seluruh pertani responden berada pada usia produktif yang memiliki kemampuan aktif dalam berusahatani. Dalam usia inilah
diharapkan petani dapat mengembangkan usahataninya baik dalam bidang peternakan.
Tabel 2. Data tingkatan Umur Responden
Umur Petani Jumlah
Muda 15 tahun Produktif 15-64 tahun
20 100
Tua 64 Total
20 100
Sumber : Data Primer2016
Penyuluhan pertanian materi yang disampaikan adalah tentang pemanfaatan daun silase daun singkong sebagai pakan alternatif ternak kambing. diikuti oleh sekitar 20 Orang peternak kambing,
Hasil analisis evaluasi terhadap pengetahuan responden tentang silase daun singkong sebagai pakan alternatif ternak kambing dengan menggunakan analisis Product Moment dapat dilihat pada Tabel 3.
164
Tabel 3. Hasil analisis evaluasi terhadap pengetahuan responden tentang silase daun singkong sebagai pakan alternatif ternak kambing
No Uraian Materi
Peningkatan Pre Test
Pos Test Korelasir
Kriteria
1 Pengertian Silase
54 92
0,31 70
Tinggi 2
Tujuan Utama pembuatan Silase 56
90 021
60,7 Tinggi
3 jenis racun dalam daun singkong
55 84
0,27 52,7
Tinggi 4
Kandungan protein silase daun singkong 64 89
0,03 39,1
Sedang 5
Bahan tambahan yang diperlukan dalam pembuatan silase daun singkong
61 90
0,007 47,,5
Tinggi 6
Tujuan pemberian bahan tambahan dalam pembuatan silase daun singkong
62 90
45,2 Tinggi
7 Perbandingan protein silase daun
singkong dg rumput lapang 53
89 0,18
67,9 Tinggi
8 Waktu yg diperlukan dalam pembuatan
silase daun singkong 63
89 0,65
41,3 Tinggi
9 Ciri silase yang baik
55 96
0,27 61,8
Tinggi 10
Cara menyimpan silase daun singkong 56
89 0,94
75 Tinggi
Total Pengetahuan 578
914 0,37
58,1 Tinggi
Sumber:Data primer 2016
Dari data di atas di peroleh nilai masing-masing sebagai berikut, perubahan pengetahuan
tentang pengertian silase pre test 54 dan pos Test 92 teramasuk dalam katagori Tinggi. Penyuluhan tentang materi Pembuatan silase daun singkong mendapatkan peningkatan 70,4 yang berarti
mendapatkan respon yang cukup bagus, selama ini materi pembuatan silase daun ubikayu belum banyak petani ternak yang mengetahuinya karena dalam wawancara sebagian peternak menjawab
belum mengetahui.
Tujuan pembuatan Silase Pre Test 56 dan Post Test 90 termasuk Katagori Tinggi, mendapatkan peningkatan pengetahuan 60,7, pemberian materi penyuluhan tujuan pembuatan
silase mendapat respon yang cukup bagus juga.Jenis racun yang terdapat dalam daun singkong Pre Test 55 dan Post Test 84 termasuk Katagori Tinggi, mendapat peningkatan 52,7 , sebagian besar
peternak telah mengathui bahwa dalam daun ubikayu mengandung racun namun tidak banyak mengetahui jenis racun yang terkandung didalamnya.
Kandungan protein dari silase daun singkong mendapatkan peningkatan pengetahuan 39,1 yaitu Pre Test 64 dan Post Test 89 termasuk Katagori Sedang, sebagian besar peternak mengetahui
bahwa pada daun ubikayu memang banyak mengandung protein yang cukup tinggi, jadi peningkatan pengetahuan tentang kandungan protein yang terkandung pada ubikayu mendapat peningkatan
pengetahuan yang sedang.
Jenis bahan tambahan yang harus diberikan dalam pembuatan silase daun singkong mendapatkan peningkatan pengetahuan sebesar 47,5 Pre Test 61 dan Post Test 90 termasuk
Katagori Tinggi, peternak belum mengetahui adanya bahan tambahan dalam pembuatan silase daun ubikayu
Tujuan pemberian bahan tambahan dalam pembuatan silase daun singkong mendapatkan tingkat pengetahuan sebesar 45,7 Pre Test 62 dan Post Test 90 termasuk Katagori Tinggi
. Berbandingan Protein silase daun singkong dengan rumput lapang mendapatkan peningkatan
pengetahuan sebesar 67,9, Pre Test 56 dan Post Test 89 termasuk Katagori Tinggi
Berapa lama waktu yang diperlukan dalam pembuatan silase dari mulai pembuatan sampe silase siap untuk gunakan mendapatkan peningkatan ilmu pengetahuan sebesar 41,3 yaitu Pre Test
63 dan Post Test 89 termasuk Katagori Tinggi. Ciri-ciri silase yang baik
Pre Test 55 dan Post Test 96 termasuk Katagori Tinggi dan mendapatkan peningkatan ilmu pengetahuan sebesar 61,8
. Cara penyimpanan silase supaya silase bertahan lebih lama
Pre Test 56 dan Post Test 89 termasuk Katagori Tinggi mendapatkan peningkatan ilmu pengetahuan sebesar 61,8 Tingkat pengetahuan total
responden petani ternak tentang pembuatan silase daun ubikayu memiliki persentase pencapaian 58,1 dengan kategori tinggi. Kategori tinggi menunjukan bahwa penyuluhan yang dilakukan dengan
metode ceramah dan diskusi tentang silase daun ubikayu berjalan dengan baik dan mampu meningkatkan pengetahuan petani.
165
KESIMPULAN
1. Peran penyuluhan terhadap respon tingkat pengetahuan petani ternak di desa kampung tua kecamatan menggala dengan menggunakan metode ceramah sedangkan materi penyuluhan cara
pembuatan silase daun singkong sebagai pakan ternak kambing mendapat respon yang sangat bagus dengan rataan masuk katagori tinggi, pre test 578 dan pos test 914 dengan prosentase
peningkatan sebesar 58,1 berada pada kategori tinggi. Dengan demikian, diharapkanpenyuluhan
2. Penyuluhan dengan menggunakan metode ceramah dan dapat di lanjutkan dengan metode demcara maupun demplot dapat dilaksanakan secara kontinyu dan berkesinambungan sehingga
informasi inovasi atau diseminasi dapat tersebar secara cepat dan luas
DAFTAR PUSTAKA
Arip. 2008.
Pemilihan Metode
PenyuluhanPertanian.http:masarip.blogs.friendster. commy_blog200709 metode_penyuluh.html. 16 Desember 2008.
Arikunto S. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipata. Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia Pertanian. 2003. PedomanUmum Pemilihan
Metode Penyuluhan Pertanian. Jakarta:
Departemen Pertanian [BPSDMP] Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia Pertanian. 2003. PedomanUmum Pemilihan
Metode Penyuluhan Pertanian. Jakarta: Departemen Pertanian Mardikanto, T dan Sri Sutarni. 1993. Pertunjuk Penyuluhan Pertanian. Surakarta: Sebelas Maret
University Pers Undang-undang no. 16 2006. tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan.
http:akademiternak.blogspot.com201606pengertian-dan-tujuan-pembuatan- silase.html http:saymoooranch.compembuatan-pakan-ternak-fermentasi-silase
https:intannursiam.wordpress.com20100920pengertian-silase Wikipedia, 2008. Ahmad Yani. 2015. http:ahmadyanimisraini1965.blogspot.co.id201504teknologi-pengolahan-
pakan-silase.htmldiunduh 2 september 2016 Saragih B. 2001. Penyuluhan Pertanian. Jakarta: Yayasan Pengembangan Sinar Tani.
Tulang Bawang. 2015. Programa Penyuluhan Pertanian. Kabupaten Tulang Bawang. Van Den Ban AW dan HS Hawkins. 1999. Penyuluhan Pertanian. Jakarta: Kanisius.
Wardani, 2005. Diktat Metode Penyuluhan Pertanian. Bogor: Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian
Bogor.
166
PROFIL DAN ANALISIS USAHA TERNAK KERBAU DI KABUPATEN PADANG LAWAS, PROVINSI SUMATERA UTARA
PROFILE AND EKONOMIC ANALYSIS OF BUFFALOES DEVELOPMENT AT PADANG LAWAS DISTRICT, NORTH SUMATRA
Sri Haryani Sitindaon
1
, Khairiah
1,
dan Jhon Firison
2
1
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian BPTP Sumatera Utara, Jl. A.H. Nasution No. 1, Medan
2
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian BPTP Bengkulu, Jl. Irian Km 6,5 Bengkulu email:
haryanisrirocketmail.com
ABSTRAK
Kabupaten Padang Lawas merupakan salah satu kabupaten yang memiliki populasi ternak kerbau yang paling besar di Sumatera Utara Tahun 2015:10.414 ekor setelah Kabupaten Samosir. Usaha ternak
kerbau Kabupaten Padang Lawas masih terus dilakukan masyarakat tanpa memperhitungkan nilai ekonomi dari usaha ternak kerbau yang dilakukan. Penelitian dilakukan untuk mengetahui profil dan
nilai ekonomi usaha ternak kerbau yang dilakukan peternak di kabupaten Padang Lawas. Penelitian dilakukan mulai bulan Nopember 201-Maret 2016. Penelitian merupakan penelitian deskriptif
eksploratif. Pengumpulan data dilakukan dengan observasi dan indept interview melalui pendekatan PRA Partiicipatory Rural Appraisal. Profil usaha ternak kerbau dilakukan dengan mengamati rata-
rata kepemilikanKK, jenis kerbau yang dipelihara dan sistem pemeliharaan yang diterapkan. Data yang diperoleh diidentifikasi dan dianalisis secara deskriptif. Analisa usaha dilakukan dengan
indikator kelayakan teknis dan ekonomis proyek yaitu: Net Benefit Cost Ratio NBC Ratio dan Revenue Cost Ratio RCR. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepemilikan ternak rata-rata: 5-10
ekorKK, jenis kerbau yang dipelihara adalah jenis kerbau lumpur Swamp type yaitu tipe kerbau potongpedaging. Sistem pemeliharaan yang dilakukan masih tradisional, tenaga kerja untuk
pemeliharaan dilakukan dengan sistem gaduhan, skor kondisi tubuh kerbau yang dipelihara antara sedang sampai dengan gemuk 3-4. Nilai NBC Rasio usaha ternak kerbau yang dilakukan sebesar
0,16 dan RCR 1,16, hal ini menunjukkan bahwa usaha pembibitan ternak kebau layak dikembangkan. Untuk memperoleh keuntungan atau nilai NBC Rasio dan RCR yang lebih tinggi perlu
dilakukan penerapan teknologi manajemen pemeliharaan sehingga terjadi peningkatan efisiensi usaha ternak kerbau di Kabupaten Padang Lawas.
Kata Kunci: Ternak Kerbau, Analisis Ekonomi, Padang Lawas
ABSTRACT
The population of buffaloes Padang Lawas District in 2015 was 10,414 heads. The various reasons that community people buffalo livestock although sometimes farmers do not know how much the
advantages income of raising buffalo.The study was conducted to determine the profile of buffaloes livestock at North Sumatra and feasibility analysis conducted for the subsistence farmers to increase
the income of farmers. The study was conducted from November 2015-March 2016, in the district of Padang Lawas, North Sumatra Province. The study is a descriptive exploratory study. The collection
of data and information are done by direct observation and in-depth interviews. Economic analysis is done with indicators of economic as: Net Benefit Cost Ratio NBC Ratio and Revenue Cost Ratio
RCR. Buffalo livestock in the district of Padang Lawas is a type of swamp buffalo this is producer of meat. The average of buffalo ownership is 5-10 headhouseholds. System maintenance is performed is
still traditional, workforce for maintaining buffalo is done in partnership. The results of field observations indicate frame size buffalo in Padang Lawas range of medium to fat 3-4 on a 1-5 scale.
The results economic analysis of buffalo breeding effort for 4 years, obtained a profit amounting to Rp.70.833monthhead, NBC Ratio of 0.16 and RCR of 1.16. This shows that the breeding buffalo
feasible is worth doing and efforts buffaloes can be maintained as a source of income in rural farmers. To obtain greater profits necessary to increase the population of buffalo maintained, has a
technological innovation better maintenance.
Keyword: Buffalo, economic analysis, Padang Lawas
167
PENDAHULUAN
Kerbau Bubalus bubalis adalah ternak ruminansia besar yang mempunyai potensi tinggi sebagai penyediaan daging. Peranan ternak kerbau cukup signifikan dalam menunjang program
swasembada daging sapi termasuk kerbau tahun 2014, dilihat dari jumlah populasi kerbau sebanyak 2,2 juta ekor dan dihasilkan produksi daging sebesar 46 ribu ton atau sebesar 2 dari jumlah produksi
daging nasional, sedangkan kontribusi daging kerbau sebesar 19 Dwi et al., 2014. Dengan demikian ternak kerbau juga mendukung penyediaan daging di Indonesia. Syafitri et al. 2013
menyatakan bahwa kerbau Bubalus bubalis merupakan salah satu ternak ruminansia besar yang memiliki potensi tinggi dalam memberikan daging. Dengan demikian kerbau juga mendukung
penyediaan daging di Indonesia.
Ternak kerbau sudah sangat populer bagi masyarakat Sumatera Utara dan budidaya ternak kerbau sudah dilakukan sejak dulu secara turun temurun. Berbagai alasan sehingga masyarakat tetap
bertahan memelihara ternak kerbau walaupun kadang peternak tidak mengetahui berapa keuntungan dari beternak kerbau. Secara umum usaha ternak kerbau yang dikembangkan oleh masyarakat sebagai
salah satu mata pencaharian dalam skala usaha yang masih relatif kecil.
Produktivitas ternak kerbau di Sumatera Utara relatif rendah, karena secara teknis masih terdapat beberapa kendala yang memerlukan pemikiran untuk mengatasinya. Masalah peternakan
kerbau cukup bervariasi antara lain pola pemeliharaan tradisional, berkurangnya lahan penggembalaan, tingginya pemotongan pejantan yang berdampak pada kekurangan pejantan,
pemotongan ternak betina produktif, kekurangan pakan dimusim tertentu, kematian anak pra sapih yang cukup tinggi sekitar 10, rendahnya produktivitas, pengembangan sistem pemeliharaan semi
intensif yang masih terbatas Sari et al., 2014. Namun demikian, usaha ternak kerbau memiliki prospek cukup baik untuk dikembangkan terutama di beberapa wilayah yang memiliki sumberdaya
pakan melimpah. Penelitian dilakukan untuk mengetahui profil usaha ternak kerbau yang dilakukan di Sumatera Utara dan analisis kelayakan usaha ternak kerbau yang dilakukan peternak.
METODOLOGI
Penelitian dilakukan mulai bulan Nopember 2015 sampai dengan Maret 2016, di Kabupaten Padang Lawas, Propinsi Sumatera Utara. Lokasi ini merupakan daerah pengembangan ternak kerbau
di Provinsi Sumatera Utara. Penelitian merupakan penelitian deskriptif eksploratif dengan pengambilan sample secara purpose sampling. Pengumpulan data dan informasi dilakukan dengan
cara pengamatan langsung observasi dan wawancara mendalam indept interview menggunakan kuisionerterhadap kelompok peternak melalui pendekatan PRA Partiicipatory Rural Appraisal.
Profil usaha ternak kerbau dilakukan dengan mengamati rata-rata kepemilikanKK, jenis kerbau yang dipelihara dan sistem pemeliharaan yang diterapkan, kendala yang dihadapi dalam usaha
ternak kerbau disertai dengan diskusi kelompok. Data yang diperoleh diidentifikasi dan dianalisis secara deskriptif. Analisa usaha dilakukan dengan indikator kelayakan teknis dan ekonomis proyek
yaitu: Net Benefit Cost Ratio NBC Ratio dan Revenue Cost Ratio RCR. NBC Ratio = jumlah seluruh benefit positif : jumlah seluruh benefit negatif. RCR = penerimaan : pengeluaran x 100. RCR
ini dilakukan untuk menetukan kelayakan suatu usaha yang menguntungkan apabila nilainya lebih tinggi dari suku bunga yang berlaku di perbankan Kusnadi, 2008.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum dan Daya Dukung Lahan Pertanian
Wilayah geografis Kabupaten Padang Lawas terletak pada 1
O
26’-2
O
11’ Lintang Utara, 91
O
01’-95
O
53’ Bujur Timur dan 0-1,915 m diatas permukaan laut. Luas area ± 4.229,99 km
2
datar : 26.863 ha 6,35, landau : 48.739 ha 11,52, berbukit : 67.664 ha 16, Bergunung : 279.733 ha
66,13. Jumlah penduduk 237.258 jiwa laki-laki 118.888 jiwa, wanita 118.370 jiwa. Pemerintahan Kabupaten Padang Lawas terdiri dari 12 kecamatan, 303 desa dan 1 kelurahan. Sebelah
Utara berbatasan dengan Kabupaten Padang Lawas Utara, sebelah Timur berbatasan dengan Provinsi Riau Kabupaten Rokan Hulu, sebelah Selaatan berbatasan dengan Provinsi Sumatera Barat
Kabupaten Pasaman dan Kabupaten Mandiling Natal Kecamatan Siabu, sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Mandailing Natal BPS Padang Lawas, 2014.
Sektor pertanian masih mendominasi perekonomian Kabupaten Padang Lawas yaitu tanaman pangan, perkebunan, peternakan dan kehutanan. Dengan pertimbangan daya dukung lahan yang ada,
168
sektor tanaman pangan, perkebunan dan peternakan kerbau masih sangat potensial untuk dikembangkan di daerah ini. Penggunaan lahan di Kabupaten Padang Lawas dapat dilihat pada Tabel
1.
Table 1. Kondisi penggunaan tanah di Kabupaten Padang Lawas ha 2013.
Kecamatan Lahan
Sawah Pekarangan
dan Bangunan Tegal
Kebun Ladang
Huma Penggembalaan Rawa
tidak ditanami
Hutan Rakyat
Kolam Tebat
Lahan sementara
tidak ditanami Sosopan
350 2.400
9.646 400 -
- 2.500
10.072 15.384 Ulu Barumun
1.037 3.963
500 -
- 5.000
60 4.137
3.500 Barumun
1.591 500
62 20
350 8.672
6.000 650
45 Barumun Selatan
95 7.758
710 65
520 1.900
1.050 125
37 Lubuk Barumun
1.064 9.159
2.500 1.900 1.500
5.400 8.500
- -
Sosa 1.695
18.000 1.612 226
478 32.911
5.133 198
932 Batang Lubu Sutam
375 6.500
8.600 9.000 -
9.375 8.687
9.163 6.500
Hutaraja Tinggi -
4.675 -
356 500
35.124 -
145 -
Huristak 2.145
12.743 385
- 112
20.171 175
34 -
Barumun Tengah 1.185
13.070 750
354 1.898
7.789 9.219
228 7.600
Aek Nabara Barumun 760 13.057
720 900
6.550 11.855
7.975 38
6.920 Sihapas Barumun
550 3.274
303 170
760 4.965
2.080 19
4.587 Padang Lawas
10.848 95.099
25.788 13.391 12.668 143.162
51.379 24.809 45.855
Sumber: BPS Padang Lawas 2014
Karakteristik Ternak Kerbau Padang Lawas Kabupaten Padang Lawas merupakan salah satu kabupaten yang memiliki populasi ternak
kerbau yang paling besar di Sumatera Utara setelah Kabupaten Samosir. Populasi ternak kerbau Kabupaten Padang Lawas Tahun 2013 adalah 12.786 ekor. Hamdan et al. 2011 berpendapat bahwa
perkembangan populasi ternak kerbau di suatu daerah ditentukan berbagai faktor antara lain: kelahiran, kematian, pemotongan, pemasukan dan pengeluaran. Rincian data perkembangan ternak
kerbau Kabupaten Padang Lawas perkecamatan dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Perkembangan populasi ternak kerbau Kabupaten Padang Lawas masing-masing kecamatan Tahun 2013.
Kecamatan Pop. Awal
Ekor Kela-
hiran Ekor
Ternak Masuk
Ekor Pemotongan Ekor
Kema- tian
Ekor Ternak
Keluar Ekor
Pop. Akhir
Ekor Prod.
Daging Ton
Ter catat
Tdk Tercatat Jlh Huristak
4,044 46
17 17
10 12
4,051 2.613
Barumun Tengah 2,169
28 1
15 15
6 8
2,169 2.305
Sihapas Barumun 2,157
25 9
9 5
5 2,163
1.383 Aek Nabara
Barumun 2,163
23 8
8 3
3 2,172
1.229 Lubuk Barumun
786 31
9 9
6 8
794 1.383
Barumun 63
7 3
21 7
28 3
3 39
4.303 Barumun Selatan
51 5
1 3
3 1
53 0.461
Ulu Barumun 27
3 3
2 2
2 29
0.307 Sosopan
19 2
4 4
1 1
15 0.615
Hutaraja Tinggi 669
17 4
10 10
7 7
666 1.537
Sosa 552
19 2
9 9
5 2
557 1.383
Batang Lubu Sutam
79 6
3 3
3 4
3 78
0.461
Jumlah 12,779
212 17
21 96
117 51
54 12,786
17.981
Sumber: Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten Padang Lawas,2013.
Ternak Kerbau yang ada di Kabupaten Padang Lawas adalah jenis kerbau lumpur Swamp type yaitu tipe kerbau potongpedaging. Ciri-ciri spesifik warna tubuh abu-abu cenderung kehitaman,
bentuk tubuh: padat, berisi, sedikit lemak, bentuk tubuh tidak terlalu besar, tanduk panjang melengkung ke belakang, artinya jenis ternak kerbau yang ada di Kabuapten Padang Lawas tidak ada
yang membedakannya dengan jenis Kebau Lumpur umumnya. Ciri spesifik kuantatif kerbau di Kabupaten Padang Lawas dapat di lihat pada Tabel 3. Keunggulan kerbau di Padang Lawas adalah
mampu beradaptasi pada kondisi pakan kualitas rendah, memiliki daya tahan terhadap penyakit tropis tinggi tetapi karena sistem pemeliharaan yang dilakukan secara ekstensif maka ternak kerbau yang di
169
pelihara memiliki temperamen liar sehingga kesulitan untuk melakukan control kesehatan atau penyakit dan Inseminasi Buatan.
Tabel 3. Ciri-ciri spesifik kuantitatif ternak kerbau di Kabupaten Padang Lawas.
No. Uraian
Jantan n=10 Betina n=10
1. Ciri-ciri Morfologi Ekseterior
Bobot Badan 500 kg
450 kg Tinggi Badan
125 cm 110 cm
Panjang Badan 145 cm
140 cm Lingkar Dada
180 cm 170 cm
Produksi Daging 200 kg
150 kg 2.
Ciri-ciri Spesifik Reproduksi Dewasa Kelamin
2 tahun 3,5 tahun
Umur Sapih 8 bulan
8 bulan Keterangan = jumlah sampel yang diukur
Skor kondisi tubuh merupakan metode penilaian dengan visual untuk memprediksi skor kondisi tubuh. Hasil pengamatan dilapangan menunjukkan skor kondisi tubuh kerbau yang ada di
Kabupaten Padang Lawas kisaran antara sedang sampai dengan gemuk 3-4 pada skala 1-5. Keragaan skor kondisi tubuh ternak kerbau di Padang Lawas dapat dilihat pada Gambar 1. Hal ini menunjukkan
bahwa skor kondisi tubuh ternak kerbau di Kabupaten Padang Lawas masih dapat di tingkatkan untuk emperoleh produktivitas yang lebih maksimal dengn memanfaatkan segala potensi yang sudah ada.
Gambar 1. Keragaan skor kondisi tubuh dan sistem perkandangan ternak kerbau Padang Lawas Sejauh ini belum ada peternak yang mengolah susu kerbau. Ternak kerbau di pelihara dalam
waktu yang lama dan akan menjualnya untuk keperluan mendesak dan upacara adat kematian dan perkawinan. Ternak kerbau 10 tahun terakhir sudah tidak digunakan lagi untuk mengolah lahan
pertanian. Ternak kerbau dipelihara hanya untuk produksi daging yang dijual melalui agenpedagang pengumpul kecamatan. Pedagang pengumpul menjual ke pasar hewan atau langsung ke konsumen
bahkan ke luar kotaprovinsi.
Sistem Pemeliharaan Ternak Kerbau
Sistem pemeliharaan ternak yang diterapkan di Kabupaten Padang Lawas 99 dilakukan secara ektensif. Karena adanya alih fungsi lahan dari padang pangonan umum menjadi lahan
perkebunan kelapa sawit menyebabkan akhir-akhir ini ternak kerbau di gembalakan di lahan perkebunan kelapa sawit milik swasta atau BUMN yang terdekat. Hal ini sesuai dengan pendapat
Dwiyanto dan Eko 2006 yang menyatakan bahwa dengan adanya pengembangan sarana irigasi telah menyebabkan perubahan peruntukkan padang pangonan menjadi areal persawahan atau perkebunan,
sehingga luas pangonan menurun secara signifikan.
Pada saat musim hujan bulan September-Maret, lahan sawah mulai diolah dan saatnya masyarakat bercocok tanaman padi, maka agar ternak kerbau tidak mengganggumerusak tanaman
padi maka ternak kerbau digiring dan dilepas ke kawasan lahan perkebunan kelapa sawit yang luas atau ke kawasan padang penggembalaan dipinggiran hutan milik pemerintah. Kerbau dibiarkan selama
berbulan-bulan dialam lepas sampai menunggu musim panen padi tiba. Areal pertanian letaknya tidak
170
jauh dari pemukiman masyarakat. Apabila masa panen padi tiba areal pertanian sudah kosong maka ternak kerbau dijemput dari alam lepas untuk di gembalakan diareal persawahan. Hal ini biasanya
terjadi pada bulan April – Juli, dimana pada bulan ini adalah musim keringkemarau maka lahan
sawah biasanya diberakan sehingga dimanfaatkan sebagai padang penggembalaan ternak kerbau. Saat musim kemarau inilah baru ternak kerbau dibawa ke areal pemukiman, pagi hari pukul 08.00 WIB
ternak kerbau digembalakan dilahan sawah dan sore harinya pukul 17.00 WIB ternak kerbau digiring pulang kekandang yang letakknya tidak jauh dari pemukiman. Kandang kerbau dibuat sangat
sederhana, terdiri dari beberapa tiang seadanya dan dikelilingi dengan kawat duri. Dalam satu kandang barak istilah masyarakat setempat ternak kerbau digabung yang merupakan milik beberapa peternak.
Situasi kandang kerbau yang ada di Padang Lawas dapat dilihat pada Gambar 1.
Peternak tidak ada yang memiliki data recording biologis dan fisiologis ternak yang dipelihara dan tidak ada perlakukan khusus terhadap ternak kerbau yang dipelihara, baik pakan tambahan, feed
supplement ataupun garam mineral. Pengawasan kesehatan ternak dilakukan saat musim keringkemarau saja karena pada masa ini pola pemeliharaan dilakukan secara semi intensif. Apabila
ada ternak kerbau yang sakit peternak segera melaporkannya kepada petugas teknis kesehatan hewan dari Dinas Peternakan Kabupaten Padang Lawas.
Permasalahan yang muncul akibat ternak kerbau di pelihara secara ekstensif di areal perkebunan swasta milik PT ANJ atau dipadang penggembalaan adalah adanya kasus ternak kerbau
yang mati akibat keracunan herbisida dan pupuk Urea. Pasca dilakukan pemupukan di lahan perkebunan kelapa sawit ternak kebau yang berada di kawasan perkebunan akan memakan Urea dalam
jumlah yang banyak dan hal ini akan menyebabkan kematian. Begitu juga dengan keracunan herbisida, dimana pihak perkebunan PT ANJ melakukan penyemprotan herbisida, ternak kerbau
merumput di sekitar kawasan perkebunan yang disemprot herbisada dan ini juga dapat menyebabkan kematian ternak kerbau. Sejauh ini belum ada data yang menyatakan jumlah ternak kerbau yang mati
akibat keracunan herbisida ataupun pupuk Urea, tetapi dari kasus yang pernak dilihat dilapangan, apabila hal ini dibiarkan dapat mengakitbatkan peningkatan mortalitas ternak kerbau produktif. Data
mortalitas ternak kerbau Kabupaten Padang Lawas Tahun 2013 dapat dilihat pada Tabel 2. Selain itu kasus kamatian anak kerbau juga akibat tidak adanya penanganan khusus terhadap ternak kerbau yang
bunting ataupun yang baru melahirkan mengakibatkan kematian anak pra sapih juga tinggi.
Tenaga kerja untuk memelihara ternak kerbau di Padang Lawas dilakukan dengan sistem kemitraan atau kerja sama yang dikenal dengan istilah gaduhan owner crooper. Gaduhan yaitu
seseorang yang memiliki modal untuk membeli ternak kerbau kemudian kerbau tersebut dititipkan kepada peternak untuk dipelihara, selanjutnya hasil dari ternak selama dipelihara dibagi dua antara
pemilik modal dengan peternak orang yang memelihara kerbau. Proses pemeliharaan sepenuhnya menjadi tanggung jawab orang yang memelihara tersebut. Pemeliharaan ternak kerbau dengan sistem
mitra seperti ini sudah terjadi sejak lama tanpa ada ikatankontrak secara tertulis hanya didasarkan saling percaya tanpa ada surat perjanjian secara tertulis berisi tentang hak dan kewajiban antara
pemilik modal dengan peternak. Simatupang 2011 berpendapat bahwa mekanisme gaduhan ini terbukti saling menguntungkan kedua belah pihak dimana orang yang memiliki kehidupan ekonomi
yang lebih mapan memberi bantuan modal berupa ternak lalu menitipkannya kepada peternak untuk memeliharaanya sehingga peternak memperoleh upah dari usahannya selama memelihara ternak yang
dititipkannya.
Curahan waktu untuk menggembalakan ternak saat musim kemarau lebih panjang dibandingakan saat musim penghujan. Saat musim kemarau 1 orang dapat menggembala 10-20 ekor
kerbau selama 8 jamhari. Musim kemarau dapat berlangsung selama 6 bulan berarti curahan waktu yang digunakan menjadi 1.440 jam. Curahan waktu untuk mengontrol ternak kerbau saat musim
penghujan maksimal 1 kali seminggu dalam pengawasan pemilik ternak atau curahan waktu yang digunakan untuk mengontrol ternak hanya 200 jam.
Analisis Ekonomi Ternak Kerbau
Usaha ternak kerbau yang dilakukan di Padang Lawas dilakukan hanya untuk pembibitan, tidak ada untuk penggemukan. Rata-rata kepemilikan 5-10 ekorKK. Ternak kerbau dipelihara dalam
waktu yang lama kemudian apabila ada keturunan ternak kerbau yang jantan sudah berumur kira-kira diatas 2 tahun baru dijual. Umumnya peternak menjual ternak kerbaunya menjelang lebaran hajiIdul
Adha dan Idul Fitri karena harganya lebih mahal dibandingkan dengan biasanya. Kerbau betina dijual apabila sudah tua, walaupun peternak tidak memiliki data recording umur ternak yang dipelihara.
171
Analisis usaha beternak kerbau perlu diketahui untuk memberikan gambaran keuntungan usaha yang dilakukan. Hasil analisis usaha ternak kerbau Kabupaten Padang Lawas untuk pembibitan
dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Analisis finansial usahatani ternak kerbau di Kabupaten Padang Lawastahun 2016.
Uraian Satuan
Volume Harga Rp
Jumlah Rp.
Biaya Produksi
- Kerbau bakalan induk betina
Ekor 4
12.000.000 48.000.000
- Kerbau bakalan pejantan
Ekor 1
15.000.000 15.000.000
- Penyusutan kandang dan alat
5 1.000.000
5.000.000 -
Biaya vitamin dan obat-obatan Paket
1 5.000.000
5.000.000 -
Biaya tenaga kerja Gaduhan
36.000.000 36.000.000
Jumlah Biaya Produksi 109.000.000
Penerimaan
- Penjualan induk kerbau
Ekor 4
15.000.000 60.000.000
- Penjualan induk pejantan
Ekor 1
18.000.000 18.000.000
- Penjualan Anak 2 bln
Ekor 4
12.000.000 48.000.000
- Penjualan Anak 1 bln
Ekor 4
6.000.000 24.000.000
Jumlah Penerimaan 126.000.000
Keuntungan 17.000.000
- Keuntungan per ekor
3.400.000 -
Keuntungan per bulanekor 70.833
Net Benefit Cost Ratio NBC Ratio. 0,16
RCR 1,16
Hasil analisis usaha ternak kerbau pembibitan selama 4 tahun, maka diperoleh keuntungan sebesar Rp.70.833bulanekor, NBC Ratio sebesar 0,16 dan RCR sebesar 1,16. Hal ini menunjukkan
bahwa usaha pembibitan ternak kebau layak dilakukan dan untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar perlu dilakukan peningkatan jumlah ternak yang dipelihara, tentunya didukung dengan inovasi
teknologi dan pola pemeliharaan yang lebih baik. Diintroduksikan agar peternak memberikan pakan tambahan,budidaya hijauan makanan ternak sumber protein, manajemen kandang yang cenderung
semi intensif dan rekording data fisiologis dan biologis yang harus dimiliki setiap peternak. Rusdiana 2008 menyatakan bahwa upaya kerbau dapat dipertahankan sebagai sumber penghasilan di petani
pedesaan.
Peternak biasanya menjual ternak kerbau ke pasar ternak yang ada di masing-masing kecamatan. Dipasar ternak agenpedangang pengumpul kecamatan membeli ternak kerbau dalam
keadaan hidup. Pedagang pengumpul kecamatan sebagian menjual kembali ternak kerbau tersebut ke pedagang pengumpul kabupatenprovinsi lain seperti kota Padang Sidimpuan, Medan, Siantar, Sibolga
bahkan luar provinsi seperti Provinsi Aceh, Sumatera Barat, Riau dan sebagian kecil ke Pulau Jawa dan Sulawesi. Pedagang pengumpul ada juga yang langsung menyembelih ternak kerbau ke rumah
potong hewan kota Padang Sidimpuan untuk sebagai daging konsumsi yang siap dipasarkan ke konsumen, sedangkan rumah potong hewan yang ada di Kabupaten Padang Lawas belum beroperasi
karena umumnya masyarakat Padang Lawas membeli ternak kerbau dalam keadaaan hidup dan disembelih sendiri untuk keperluan upacara adat pesta pernikahan atau kematian. Harga bobot hidup
per ekor kerbau bervariasi untuk kerbau pejantan yang paling besar mencapai Rp.18.000.000
– 20.000.000ekor, induk betina afkir Rp. 15.000.000ekor, anakan Rp. 5.000.000
– 7.000.000ekor, Muda Rp. 10.000.000-15.000.000ekor. Sedangkan harga daging super untuk konsumen di pasar
dengan harga jual Rp.150.000kg.
172
KESIMPULAN
Ternak Kerbau yang ada di Kabupaten Padang Lawas adalah jenis kerbau lumpur Swamp type yaitu tipe kerbau potongpedaging. Kepemilikan ternak masih rendah 5-10 ekorKK. Sistem
pemeliharaan yang dilakukan masih tradisional, tenaga kerja untuk pemeliharaan dilakukan secara gaduhanbagi hasil. Usaha ternak kerbau yang dilakukan di Padang Lawas dilakukan hanya untuk
pembibitan dengan skor kondisi tubuh kisaran antara sedang sampai dengan gemuk 3-4. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai NBC Rasio sebesar 0,16 dan RCR 1,16. Untuk memperoleh
keuntungan ataupun nilai NBC Rasio dan RCR yang lebih besar perlu dilakukan peningkatan sentuhan teknologi manajemen pemeliharaan yang lebih.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik BPS. 2014. Padang Lawas dalam Angka 2014. Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten Padang Lawas. 2013. Statistik Peternakan 2014.
Diwyanto K Dan E. Handiwirawan. 2006. Strategi Pengembangan Ternak Kerbau: Aspek Penjaringan dan Distribusi. Prosiding Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung
Program Kecukupan Daging Sapi. Puslitbangnak. Bogor. Dwi S, Gatot C Dan Suyadi. 2014. Performan Reproduksi Kerbau Lumpur Bubalus Bubalis Di
Kabupaten Malang.
Brawijaya University.
Malang. http:fapet.ub.ac.idwp-
contentuploads201304Performan-Reproduksi-Kerbau-Lumpur-Bubalus-Bubalis-Di- Kabupaten-Malang.pdf
[Diunduh Tgl 27 September 2016]. Hamdan A, A. S. Rohaeni dan Bess T. 2011. Keragaan Usaha Ternak Kerbau Rawa di Kalimantan
Selatan. Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Menwujudkan Ketahanan Pangan Nasional.
Puslitbangnak. Bogor. Kusnadi U. 2008. Analysis of Efficiency in Buffaloes Farming. Seminar Nasional Teknologi
Peternakan dan Veteriner. Puslitbangnak, Bogor. Rusdiana, S. 2008. Profil Dan Analisa Usaha Ternak Kerbau Di Desa Dangdang Kecamatan Cisauk
Kabupaten Tangerang. Seminar dan Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau 2008. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.
Sari N, Hamdan dan R Edhy Mirwandhono. 2014. Identifikasi Metode Recording Ternak Kerbau Yang Dilepasliarkan Di Kabupaten Aceh Tengah. J.Peternakan Integratif Vol.2 No.3;
252-263. Simatupang L. 2011. Penerapan Pola Kemitraan dengan Sistem “Gaduhan” terhadap Kesejahteraan
Petani. repository.usu.ac.idbitstream...5Chapter20I.pdf Syafitri W, Hastuti H and S. Purba. 2013. The Potential of Buffalo Livestock Development by
Optimizing The Grazing Lands Management in Riau Province. Buffalo International Conference. University Hasanuddin. Indonesia.
173
PELUANG PENGEMBANGAN USAHA TERNAK SAPI POTONG BERBASIS LIMBAH KELAPA SAWIT DI KABUPATEN SELUMA
BUSINESS DEVELOPMENT OPPORTUNITIES OF CATTLE BASED ON WASTE OIL PALM IN SELUMA
Zul Efendi dan Dedi Sugandi
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian BPTP Bengkulu Jl. Irian KM 6,5 Bengkulu
Email : fzulefendiyahoo.com
ABSTRAK
Industri perkebunan kelapa sawit mempunyai potensi sebagai sumber daya sebagai penghasil sumber pakan yang besar untuk penyediaan kebutuhan untuk sapi potong berupa limbah dari tanaman kelapa
sawit. Tujuan pengkajian ini adalah untuk mengetahui peluang pengembangan usaha ternak sapi potong berbasis produk limbah kelapa sawit di Kabupaten Seluma. Pengkajian dilaksanakan di
Kabupaten Seluma mulai bulan Mei sampai dengan Juli 2016. Metode pengambilan sampel dilakukan dengan purposive sampling yang melibatkan 34 orang responden peternak sapi potong. Data yang
diamati meliputi data biofisik lokasi pengkajian, karakteristik usaha ternak sapi potong, potensi perkebunan kelapa sawit luas lahan, pertanaman kelapa sawit, dan produksi limbah yang bisa
digunakan oleh pakan sapi. Data yang didapatkan ditabulasi dan dianalisis melalui analisis deskriptif. Hasil yang diperoleh adalah produksi limbah pelepahdaun kelapa sawit di Kabupaten Seluma sebesar
58.597.318 kgtahun pada perkebunan rakyat dan 27.773.592 kgtahun pada perkebunan swasta berpeluang menampung ternak sapi potong sebanyak 36.547 ST dan 17.392 ST.
Kata Kunci : Pengembangan sapi potong, pakan dan sawit.
ABSTRACT
Palm oil industry has potential as a resource as a major producer of feed resources to supply the needs for beef cattle in the form of waste from oil palm plantations. The purpose of this study was to
determine opportunities for business development of cattle-based oil palm waste products in Seluma. The assessment was conducted in Seluma from May to July 2016. The sampling method is done by
purposive sampling involving 34 respondents beef cattle breeders. Observed date biophysical, date location assessment, characteristics of beef cattle business, the potential for oil palm plantations
land, oil palm cultivation, and the production of waste that can be used by cattle feed. The data obtained were tabulated and analyzed through descriptive analysis. The result is the production of
waste midrib palm leaves in Seluma amounted to 58.597.318 kg year on peoples plantation and 27.773.592 kg year on private estates potentially accommodate as many as 36. 547 cattle and 17.392
ST
Keywords: Development of beef cattle, feed and oil.
PENDAHULUAN
Usaha ternak merupakan suatu proses mengkombinasikan faktor-faktor produksi berupa lahan, ternak, tenaga kerja dan juga modal untuk menghasilkan produk peternakan. Keberhasilan usaha
ternak sapi potong bergantung pada tiga unsur yaitu bibit, pakan dan manajemen atau pengelolaan. Unsur manajemen mencakup pengelolaan perkawinan, pemberian pakan, perkandangan dan kesehatan
ternak. Selain itu pengelolaan maupun manajemen dalam usaha tenak tidak terlepas dari karakteristik sosial ekonomi peternak sehingga nantinya akan mempengaruhi hasil yang akan diperoleh oleh
peternak. Sub sektor peternakan sebagai usaha tani terpadu semakin penting dalam perekonomian nasional baik sebagai lapangan usaha maupun sumber pendapatan bagi rumah tangga. Berdasarkan
penelitian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian menyebutkan bahwa sumbangan pendapatan petani miskin terhadap pendapatan nasional sebesar 34, untuk petani sedang 22 dan untuk petani
kaya 14. Oleh karena itu usaha peternakan sangat membantu petani miskin di pedesaan Mubyarto, 1993. Menurut Siregar 2002 bahwa bangsa sapi lokal yang diusahakan sebagai sapi potong untuk
penghasil daging adalah sapi Bali, sapi Ongole, sapi Madura, dan sapi Peranakan Ongole.
Budidaya sapi potong yang berdaya saing memiliki peluang besar untuk menjawab tantangan sekaligus peluang tersebut. Seiring dengan meningkatnya penggunaan lahan untuk berbagai kegiatan
174
pertanian, maka pengembangan ternak pada wilayah-wilayah tertentu harus dilakukan secara terintegrasi yang saling menguntungkan. Usaha perkebunan terutama kelapa sawit sangat potensial
untuk diintegrasikan dengan budidaya ternak sapi. Menurut Umar 2009, sapi mampu mengkonsumsi pakan berserat tinggi seperti hijauan dan konsentrat dalam jumlah banyak, dimana bahan pakan
tersebut dapat disediakan oleh industri kelapa sawit. Mathius 2008 melaporkan bahwa dengan inovasi teknologi yang ada, pemanfaatan limbah dan produk samping industri kelapa sawit dapat
meningkatkan pertambahan bobot badan harian PBBH sapi potong hingga 72.
Provinsi Bengkulu merupakan salah satu provinsi pengembangan kelapa sawit. Menurut data BPS Provinsi Bengkulu 2015, luas perkebunan kelapa sawit di Provinsi Bengkulu adalah sebanyak
190.419 ha yang tersebar di delapan kabupaten. Kelapa sawit merupakan komoditas perkebunan yang mempunyai potensi limbah yang besar berupa daun, pelepah, tandan kosong, cangkang, serabut buah,
batang, lumpur sawit, dan bungkil kelapa sawit yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan, baik untuk unggas maupun ruminansia . Limbah ini mengandung bahan kering, protein kasar dan serat
kasar yang nilai nutrisinya dapat dimanfaatkan sebagai bahan dasar pakan ternak ruminansia Purba, dkk, 1997 ; Purba dan Ginting, 1997; Mathius, dkk, 2003.
Populasi ternak sapi pada tahun 2014 sebesar 109.174 ekor BPS 2015, yang tersebar di semua kabupatenkota yang ada di Provinsi Bengkulu. Ternak sapi merupakan salah satu sumber
penghasil daging yang potensial dan usaha sampingan dari petani di Provinsi Bengkulu. Salah satu limbah yang berpotensi
untuk digunakan sebagai pakan adalah limbah sawit Potensi ini didukung dengan kondisi di Provinsi Bengkulu yang memprioritaskan kelapa sawit sebagai salah satu komoditas unggulan untuk sub sektor
perkebunan. Makalah ini bertujuan untuk mengetahui peluang pengembangan usaha ternak sapi potong berbasis limbah kelapa sawit di Kabupaten Seluma.
METODOLOGI
Pengkajian ini dilaksanakan di Kabupaten Seluma Provinsi Bengkulu dari bulan Mei-Juli 2016. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja purposive sampling dengan pertimbangan bahwa
Kabupaten Seluma merupakan kabupaten sentra pengembangan ternak sapi potong di Provinsi Bengkulu dan mempunyai potensi yang besar sebagai penghasil limbah kelapa sawit. Jumlah sampel
yang diambil adalah 34 orang peternak sapi potong yang ada di Kabupaten Seluma. Pengumpulan data dilakukan dengan metode survei menggunakan kuisioner terhadap peternak dan data skunder
diperoleh dari DinasIntansi terkait. Data yang diamati adalah data biofisik, lokasi pengkajian, karakteristik usaha ternak sapi potong, data potensi perkebunan kelapa sawit dan data rasio antara
potensi limbah kelapa sawit dengan populasi ternak sapi. Data yang diperoleh selanjutnya ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Wilayah
Kabupaten Seluma secara administrasi termasuk ke dalam wilayah Provinsi Bengkulu yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2003, tentang pembentukan Kabupaten
Mukomuko, Seluma dan Kaur. Secara Geografis Kabupaten Seluma terletak di Pantai Barat Sumatera Bagian Selatan yang berada pada koordinat garis lintang dan bujur, yaitu 03º49’55,66”LS -
04º21’40,22” LS dan 101º17’27,57” BT - 102º59’40,54” BT. Batas-batas wilayah Kabupaten Seluma adalah sebelah utara dengan Kota Bengkulu dan
Kabupaten Bengkulu Utara, sebelah selatan dengan Kabupaten Bengkulu Selatan, sebelah timur dengan Kabupaten Lahat Provinsi Sumatera Selatan dan sebelah barat dengan Samudera Indonesia.
Suhu udara rata-rata di Kabupaten Seluma antara 21ºC-32ºC, kelembaban udara relative antara 85-88, jumlah curah hujan untuk setiap tahunnya bervariasi antara 1.500-4.500 mm dengan jumlah
hari hujan antara 110-230 hari setiap tahunnya, rata- rata 16 hari hujan setiap bulannya. Dari luas Kabupaten Seluma 240.044 ha mempunyai beberapa jenis tanah utama antara lain:
Aluvial, Podsolik Merah Kuning. Latosol dan Podsolik Coklat Litosol, sedangkan jenis tanah yang rata-rata di bawah 10 antara lain Organosol Gley Humus, Podsolik Merah Kuning, Litosol dan
Podsolik Merah Kuning Litosol. Tekstur tanah di Kabupaten Seluma umumnya bertekstur agak halus dengan luas 1.112,6ºkm
2
46,35, tekstur sedang 607,92 km
2
, halus 336,28 km
2
14,01, agak kasar 124,85 km
2
5,20 dan kasar 218,79 km
2
9,11.
175
Karakteristik Responden
Hasil identifikasi yang dilakukan terlihat bahwa 34 orang peternak sapi potong di Kabupaten Seluma, 82,2 termasuk dalam usia produktif yaitu antara 25-55 tahun. Sedangkan 6 orang 17,8
peternak sudah tidak produktif lagi. Hal ini sesuai dengan pendapat Harjono, dkk 1990 bahwa umur produktif tenaga kerja antara 25-55 tahun, sedangkan menurut pernyataan Soekartawi 1988 bahwa
secara praktis pengertian produktif dan bukan produktif hanya dibedakan atas umur, dimana pada umur 20 tahun sampai 65 tahun digolongkan kepada usia produktif.
Tabel 1. Umur Peternak
Umur tahun Jumlah Responden orang
Persentase 25
– 55 28
82,2 56
– 72 6
17,8 Sumber: diolah dari data primer tahun 2016.
Tenaga kerja yang produktif sangat mempengaruhi keberhasilan dari suatu usahatani karena biasanya tenaga produktif memiliki pola pikir yang dinamis dan kemampuan fisik yang prima dalam
mengelola usaha ternaknya, sehingga penerapan teknologi pemeliharaan ternak akan lebih mudah, hal ini sesuai dengan pendapat Chamdi 2003 yang menyebutkan bahwa semakin muda usia peternak
usia produktif 20-45 tahun umumnya rasa keingintahuan terhadap sesuatu semakin tinggi dan minat untuk mengadopsi terhadap introduksi teknologi semakin tinggi. Pendapat tersebut didukung oleh
Mardikanto 2009 yang mengatakan bahwa semakin tua seseorang biasanya semakin lamban mengadopsi inovasi dan cenderung hanya melaksanakan kegiatan-kegiatan yang sudah biasa
diterapkan oleh warga masyarakat setempat.
Tingkat pendidikan peternak sapi potong di Kabupaten Seluma umumnya masih rendah berpendidikan SD. Hasil ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan formal yang diperoleh oleh para
peternak di Kabupaten Seluma masih rendah, sehingga perlu adanya upaya yang serius dari pemerintah untuk mengadakan bimbingan teknis maupun pelatihanpenyuluhan tentang budidaya
ternak sapi guna meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dari peternak dalam hal melakukan usaha ternak peternakan khususnya ternak sapi. Menurut Murwanto 2008, bahwa tingkat pendidikan
peternak merupakan indikator kualitas penduduk dan merupakan peubah kunci dalam pengembangan sumberdaya manusia. Pendidikan peternak yang memadai akan mempermudah dalam proses
penerimaan inovasi dan teknologi peternakan sapi potong. Selain itu Soekartawi 2008 menambahkan bahwa mereka yang mempunyai pendidikan yang lebih tinggi relatif lebih cepat melaksanakan adopsi
inovasi daripada mereka yang berpendidikan rendah.
Tabel 2. Tingkat Pendidikan
Pendidikan tahun Jumlah Responden orang
Persentase SD 6
28 82,2
SMP 9 4
11,8 SMA 12
2 5,8
Sumber: diolah dari data primer tahun 2016.
Tingkat tinggi rendahnya pendidikan petani akan menanamkan sikap yang menuju penggunaan praktek pertanian yang lebih modern. Mengenai tingkat pendidikan petani, dimana mereka yang
berpendidikan tinggi relatif lebih cepat dalam melaksanakan adopsi inovasi Ibrahim, dkk, 2003. Hal ini sesuai dengan pendapat Gaold dan Saupe dalam Budiharjo, dkk 2011 bahwa umur, pendidikan
dan pelatihan sebagai variabel yang mempengaruhi produktivitas tenaga kerja dalam off-farm, pekerjaan usaha tani dan rumah tangga.
176
Tabel 3. Pengalaman beternak
Sumber: diolah dari data primer tahun 2016.
Pengalaman seseorang dalam melakoni usahatani memiliki peranan penting dalam terhadap perolehan informasi terutama terhadap inovasi teknologi yang berhubungan erat dengan usahanya.
Lamanya pengalaman usaahatani diukur mulai sejak peternak tersebut aktif secara mandiri mengusahakan usahataninya sampai pengkajian dilaksanakan Fauzia dan Tampubolon 1991.
Pengalaman beternak juga berpengaruh pada skala kepemilikan ternak, sebab semakin lama pengalaman beternak seseorang maka semakin banyak pula pengetahuan yang diketahui oleh peternak
yang dapat mendorong perkembangan usaha peternakan. Hal ini sesuai dengan Murwanto 2008 yang mengatakan pengalaman beternak sapi potong merupakan peubah yang sangat berperan dalam
menentukan keberhasilan peternak dalam meningkatkan pengembangan usaha ternak sapi dan sekaligus upaya peningkatan pendapatan peternak. Pengalaman beternak adalah guru yang baik,
dengan pengalaman beternak sapi yang cukup peternak akan lebih cermat dalam berusaha dan dapat memperbaiki kekurangan di masa lalu.
Karakteristik Usaha Ternak Sapi Potong
Tingkat kepemilikan ternak sapi peternak sapi potong di Kabupaten Seluma dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Tingkat kepemilikan ternak sapi peternak sapi potong di Kabupaten Seluma.
Sumber: diolah dari data primer tahun 2016.
Berdasarkan tabel 4, dapat dilihat bahwa tingkat kepemilikan ternak sapi potong untuk setiap peternak masih rendah berkisar antara 1-3 ekor, sehingga masih tergolong kepada usaha sampingan.
Menurut pendapat Aziz 1993 dalam Prawira, dkk. 2015 bahwa pada tingkat pemeliharaan 6 ekor maka dikategorikan sebagai peternakan sapi potong baru bersifat dimiliki, belum diusahakan, biasanya
ternak merupakan status sosial, serta pemasaran yang baru dilakukan apabila ada kebutuhan yang sangat mendesak untuk kepentingan yang bersifat sosial, budaya atau keagamaan. Sistem
pemeliharaan dan perkawinan ternak sapi potong di Kabupaten Seluma dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Sistem Pemeliharaan dan Perkawinan ternak sapi peternak sapi potong di Kabupaten Seluma.
Sumber: diolah dari data primer tahun 2016.
Sistem pemeliharaan ternak sapi potong di Kabupaten Seluma bersifat semi intensif sebanyak 47,1, dimana ternak sapi pada siang hari diangonkan di kebun kelapa sawit atau di padang
pengembalaan dan pada malam hari dikandangkan. Sistem ini biasanya dilakukan pada pemeliharaan ternak sapi indukan atau pengembangan. Untuk mencukupi kebutuhan pakan ternak sapi, peternak
biasanya memberikan pakan pada malam hari. Hal ini sesuai dengan pendapat Sugeng 1996
Pengamalan tahun Jumlah Responden
Orang Persentase
– 5 16
47,1 5
– 10 6
17,8 10
12 35,3
Jumlah ternak ekor Jumlah Responden orang
Persentase 1 - 3
20 58,8
4 - 5 10
29,4 6 -10
6 17,6
’ 10 4
11,8
Jumlah ternak ekor Jumlah Responden orang
Persentase Sistem Pemeliharaan
Semi Intensif
16 47,1
Intensif
18 52,9
Sistem Perkawinan
Kawin Alam
IB
Campuran 12
16 6
35,3 47,1
17,6
177
menyatakan sistem pemeliharaan semi intensif yaitu pada siang hari ternak dilepas dikebun atau pekarangan yang rumputnya tumbuh subur, kemudian sore harinya ternak dimasukkan dalan kandang
dan pada malam harinya ternak sapi diberi minum berupa hijauanrumput atau dedaunan. Sedangkan untuk sapi penggemukan, biasanya dilakukan dengan cara mengandangkan ternak sapi baik siang atau
malam hari intensif sebanyak 52,9. Pada sistem pemeliharaan dengan sistem intensif ini, ternak sapi diberikan hijauan berupa rumput unggul maupun rumput lapangan sesuai dengan kebutuhan
ternak sapi 10 dari berat badan dan pakan tambahan berupa solid, dedak, ampas tahu,dan lain-lain.
Sistem perkawinan yang dilakukan oleh peterkan sapi potong di Kabupaten Seluma ada 3 macam yaitu kawin alam, IB dan campuran keduanya, dimana perkawinan secara IB lebih sering
dilakukan oleh peternak. Hal ini disebabkan karena peternak sudah memahami teknologi IB tersebut lebih menguntungkan dan sebagian disebabkan oleh ketersediaan pejantan yang langka di daerah
peternakan mereka.
Potensi Pakan ternak Sapi Berbahan Limbah Kelapa Sawit.
Usaha peternak sapi potong pada kawasan perkebunan kelapa sawit pada intinya merupakan usaha untuk mendekatkan sumber pakan kepada ternak sapi, mengingat usaha tersebut tidak
menguntungkan karena biaya pakan yang tinggi Diwyanto dan Priyanti 2005. Manajemen pemeliharaan biasanya bergantung pada keinginan pemilik kebun kelapa sawit, namun pada
prinsipnya dapat dilakukan secara in-situ, atau ex-situ Djajanegara 2005, yang terpenting siklus biologisnya tidak terputus. Hasil sampinglimbah dari satu subsistem produksi menjadi input bagi
subsistem produksi lain. Pelepah dan daun kelapa sawit dapat dijadikan sumber pakan untuk ternak sapi, namun daun kelapa sawit masih mengandung lidi yang menyulitkan ternak dalam
mengkonsumsinya, selain memerlukan tambahan waktu untuk menghilangkannya. Masalah tersebut dapat diatasi dengan pencacahan yang di lanjutkan dengan pengeringan dan penggilingan untuk dibuat
pelet atau balok Mathius, 2008. Kandungan nutrisi daun tanpa lidi dan pelepah kelapa sawit dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Kandungan nutrisi daun tanpa lidi dan pelepah kelapa sawit
Kandungan nutrisi Daun tanpa lidi
Pelepah Bahan kering
46,18 26,07
Protein kasar 14,12
3,07 Lemak kasar
4,37 1,07
Serat kasar 21,52
50,94 Kalsium
0,84 0,96
Fosfor 1,07
0,08 Energi kkalkg
4,461 4.841
Produksi kg BKhatahun 658
1.640 Sumber: Mathius 2003.
Berdasarkan hasil pengamatan dilapangan menunjukkan bahwa untuk setiap pohon kelapa sawit yang sudah berproduksi dapat menghasilkan 22 pelepah, dengan rataan bobot pelepah perbatang
mencapai 5 kg hasil identifikasi oleh Sitompul 2004 bahwa rata-rata berat pelepah adalah 7 kg. Jumlah ini setara dengan 14.300 kg 22 pelepah x 130 pohon x 5 kg pelepah segar yang dihasilkan
untuk setiap ha dalam satu tahun, dengan bahan kering adalah 3.729 kghatahun. Luasan perkebunan kelapa sawit rakyat dan produksi limbahnya di Kabupaten Seluma dapat dilihat pada Tabel 7 dan luas
perkebunan swasta di Kabupaten Seluma pada Tabel 8.
Jika diasumsikan bahwa luasan perkebunan kelapa sawit rakyat yang telah menghasilkan 60 dari luasan pertanaman kelapa sawit, maka limbah yang bisa peroleh adalah 58.597.318
kgtahun. Dengan demikian, apabila limbah tersebut diberikan pada ternak sapi sejumlah 50 dari kebutuhan satuan ternak ST ruminasia dengan bobot hidup 250 kg konsumsi bahan kering 3,5 dari
bobot hidup, maka daya tampung limbah kelapa sawit dari perkebunan rakyat untuk pakan adalah 58.597.318 kg: 4,375 kghari setara dengan 36.547 ST, sedangkan daya tampung dari ternak sapi pada
perkebunan besar adalah 27.773.592 kg : 4,375 kghari sebanyak 17.392 ST. Menurut Purba dan Ginting 1995 dalam Utomo, dkk 2012 menyatakan bahwa pelepah kelapa sawit dapat
menggantikan rumput sampai 80, namun perlu pakan tambahan berupa rumput atau limbah pabrik kelapa sawit. Sedangkan Mathius, dkk. 2004 membatasi jumlah pemberian pelepah maksimum 33
dari total kebutuhan bahan kering. Namun Azmi dan Gunawan 2005 menyatakan bahwa pemberian pelepah sawit sampai mencapai 55 mampu meningkatkan PBBH sapi menjadi 226,7 gramekorhari
dari 216 gramekorhari pada pola petani.
178
Tabel 7. Luasan Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat dan Produksi Limbahnya di Kabupaten Seluma.
No Kecamatan
Luas Perkebunan Rakyat ha Produksi Pelepahdaun
kgtahun 1
Semidang Alas Maras 2.343
5.330.796 2
Semidang Alas 2.276
5.178.355 3
Talo 1.091
2.482.243 4
Ilir Talo 3.682
8.377.286 5
Talo Kecil 1.515
3.446.928 6
Ulu Talo 1.005
2.286.576 7
Seluma 280
637.056 8
Seluma Selatan 1.737
3.952.022 9
Seluma Barat 2.743
6.240.873 10
Seluma Timur 1.262
2.871.302 11
Seluma Utara 805
1.831.536 12
Sukaraja 8.173
18.595.209 13
Air Periukan 3.518
8.140.665 14
Lubuk Sandi 924
2.102.284 Total
31.354 58.597.318
Sumber : Analisis data Skunder dan Primer 2016.
Tabel 8. Luasan Perkebunan Besar di Kabupaten Seluma dan Produksi Limbahnya.
No Nama perusahaan
Luas Tanaman ha
Produksi Pelepahdaun kgtahun
1 PTPN VII
587 2.188.923
2 PT. Agri Andalas
6.861 25.584.669
Total 7.448
27.773.592 Sumber: Analisis data skunder dan primer 2016
Asumsi: Daya tampung pohon kelapa sawit 130 batangha
Produksi pelepah 22 pelepahpohontahun Bobot pelepah: 5 kgpelepah
Solid: 294 kg1.000 kg TBS Bahan Kering: 26,07
Peluang Pengembangan Ternak Sapi Potong Berbasis Industri Kelapa Sawit
Makin meningkatnya permintaan pasar akan produk hewani berupa daging akan memicu meningkatnya harga dari suatu komoditas tersebut. Dilihat dari prospek tersebut pengembangan bisnis
ternak sapi potong di Kabupaten Seluma sebenarnya cukup prospektif. Hal ini setidaknya dilihat dari i ketersediaan lahan pengembangan yang cukup potensial dan dalam skala yang cukup luas, ii
ketersediaan kebutuhan input produksi ternak seperti limbah perkebunan kelapa sawit rakyat sebanyak 58.597.318 kgtahun yang diperkirakan dapat menampung ternak 36.547 ST dan iii prospek pasar
lokal, regional maupun pasar nasional yang masih terbuka lebar untuk komoditas daging sapi. Permasalahan yang timbul dalam menggunakan limbah kelapa sawit daun dan pelepah adalah masih
belum tersedianya mesin penghancur pelepah dan daun shreeder ditingkat peternak, sehingga peternak masih belum banyak yang menggunakan pelepah dan daun kelapa sawit untuk ternak
sapinya.
Faktor pendukung dalam penggunaan limbah kelapa sawit sebagai pakan yaitu teknologi pengolahan limbah sudah banyak tersedia seperti silase, amoniasi dan juga fermentasi. Pelepah dan
daun kelapa sawit dapat diberikan dalam bentuk segar ataupun diolah terlebih dahulu. Selain perlakuan fisik berupa pengeringan, perajangan, penggilingan dan pembentukan pelet, pengelolaan
limbah kelapa sawit berupa daun dan pelepah sebagai pengganti hijauan ternak ruminansia dapat diterapkan dengan proses kimia dan bilologi yaitu perendaman dengan NaOH, amonasi dan selase atau
dicampurkan dengan tepung daun singkong atau dengan hasil limbah pertanian seperti BIS bungkil inti sawit, dedak padi,atau molases.
179
KESIMPULAN
Limbah perkebunan kelapa sawit berupa pelepah dan daun berpeluang digunakan sebagai bahan pakan ternak sapi potong. Kabupaten Seluma dengan luasan pertanaman kelapa sawit rakyat
sekitar 31.354 ha dan perusahaan swasta sebanyak 7.448 ha berpeluang menampung ternak sapi potong sebanyak 36.547 ST pada perkebunan rakyat dan 17.392 ST untuk perkebunan swasta.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu yang mendukung pendanaan pada kegiatan penelitian
ini. Kepada Ibuk Zuraini Kabid. Peternakan Dinas Pertanian, Peternakan dan Perkebunan Kabupaten Seluma dan petugas lapangan yang telah membantu dalam pengambilan data dilapangan diucapkan
terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya.
DAFTAR PUSTAKA
Aziz, M.A. 1993. Agroindustri sapi Potong Prospek Pengembangan pada PJPT II. PT.Insan Mitra satya. Jakarta.
Azmi dan Gunawan. 2005. Pemanfaatan pelepah kelapa sawit dan solid untuk pakan sapi potong. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan, Bogor. BPS Kabupaten Seluma. 2014. Kabupaten Seluma Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten
Seluma. Budiharjo. K, Handayani. M dan Sanyoto. G. 2011. Analisis provotabilitas usaha penggemukan sapi
potong di Kecamatan Gunung Pati Kota Semarang. Jurnal Ilmu-ilmu pertanian Mediagro Vol.7. No.1. 2011: hal 1
– 9. Chamdi, A.N. 2003. Kajian profil sosial ekonomi usaha kambing di Kecamatan Kradenan Kabupaten
Grobogan. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor 29 –
30 September 2003. Djajanegara, A. 2005. Pembentukan jejaring komunikasi sistem integrasi sawit-sapi . Makalah
disampaikan pada Workshop Pengembangan Sistem Integrasi sawit-sapi banjarbaru, 22- 23 Agustus 2005.
Diwyanto, K dan A. Priyanti. 2005. Prospek pengembangan ternak pola integrasi berbasis sumber daya lokal. Makalah disampaikan pada Workshop Pengembangan Sistem Integrasi sawit-
sapi banjarbaru, 22-23 Agustus 2005. Harjono, B. S. Wisadirana dan Susilo E. 1990. Analisis Produktif Tenaga kerja dan Kesempatan Kerja
wanita Pada Usaha Peternakan Sapi Perah. Laporan Penelitian Pusat Ilmu Sosial. Universitas Brawijaya, Malang.
Ibrahim, J.T., Armand Sudiyono, dan Harpowo. 2003. Komunikasi dan Penyuluhan Pertanian. Banyumedia Publishing. Malang.
Mathius.I.W. 2003. Perkebunan kelapa sawit dapat menjadi basis pengembangan sapi potong. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian 25 5: 1
– 4. Mathius. I.W, D. Sitompul, B.P. Manurung dan Azmi. 2004. Produk samping tanaman dan pengolahan
buah kelapa sawit sebagai bahan dasar pakan komplik untuk sapi. Suatu tinjauan. Hlm 120-128. Prosiding Lokakarya Nasional Sistem Integrasi Kelapa sawit-sapi, Bengkulu . 9
-10 September 2003. Kerjasama Departemen Pertanian. Pemerintah Provinsi Bengkulu dan PT. Agricinal.
Mathius, I. W. 2008. Pengembangan sapi potong berbasis industri kelapa sawit. Pengembangan Inovasi Pertanian 1 2: 206-224.
Mardikanto, T. 2009. Sistem Penyuluhan Pertanian. UNS Press, Surakarta. Mubyarto, 1993. Pengantar Ekonomi Pertanian Edisi Ketiga. LP3ES. Jakarta.
Murwanto, A. G. 2008. Karakteristik Peternak dan Tingkat Masukan Teknologi Peternakan Sapi Potong di Lembah Prafi Kabupaten Manokwari Farmer Characteristic and Level of
Technology Inputs of Beef Husbandry at Prafi Valley, Regency of Manokwari. Jurnal Ilmu Peternakan, Vol. 3 No.1 hal. 8- 15.
Prawira. Y.P, Muhtarudin dan Rudy Sutrisna. 2015. Potensi Pengembangan Peternakan Sapi Potong di Kecamatan Tanjung Bintang Kabupaten Lampung Selatan. Jurnal Ilmiah Peternakan
Terpadu Vol.3 4: 250-255, November 2015.
180
Purba. A dan S.P. Ginting. 1995. Nilai nutrisi dan manfaat pelepah kelapa sawit sebagai pakan ternak. Jurnal Penelitian Kelapa Sawit 5 3: 161-177.
Purba, A., S . P . Ginting, Z. Poeloengan, K. Sanihuruk dan Junjungan . 1997 . Nilai nutrisi dan manfaat pelepah kelapa sawit sebagai pakan domba. Jurnal Penelitian Kelapa Sawit 5 3
: 161-177 . Purba, A. dan S . P . Ginting. 1997. Integrasi perkebunan kelapa sawit dengan ternak ruminansia.
Jurnal Penelitian Kelapa Sawit 5 2 :55-60. Umar, S. 2009. Potensi perkebunan kelapa sawit sebagai pusat pengembangan sapi potong dalam
merevitalisasi dan mengakselerasi pengembangan peternakan berkelanjutan. Pidato pengukuhan jabatan guru tetap dalam bidang ilmu reproduksi ternak pada fakultas
peternakan Universitas Sumatera Utara, Medan. Utomo. B.N, Ermin. W. 2012. Pengembangan Sapi Potong Berbasis Industri Perkebunan Kelapa
sawit. Jurnal Litbang Pertanian. Vol. 31.No 34. Desember 2012: 153-162. Siregar, S.B. 2002. Penggemukan Sapi. Cetakan ke-6. Penerbit Swadaya, Jakarta.
Siregar, N. W.P. 2013. Faktor-faktor yang mempengaruhi usaha ternak sapi potong di Desa Mangkai Lama Kecamatan Lima Puluh Kabupaten Batubara Provinsi Sumatera Utara. Skripsi.
Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Sitompul. D. 2004. Desain pembangunan kebun dengan sistem usaha terpadu ternak sapi Bali. Pros.
Lokakarya Nasional sistem integrasi kelapa sawit-sapi. Badan Litbang Pertanian, Pemprov. Bengkulu dan PT. Agricinal. Hlm. 81
– 88. Soekardono. 2009. Ekonomi Agribisnis Peternakan. Penerbit Akademika Pressindo. Jakarta.
Soekartawi, 1988. Ternak Sapi Potong dan Kerja. Yasaguna. Jakarta. Soekartawi. 2008. Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Sugeng, B.Y.1996. Sapi potong. Penebar Swadaya. Jakarta. Tangendjaja, 2009. Teknologi pakan dalam menunjang industri peternakan di Indonesia.
Pengembangan Inovasi Pertanian 2 3: 192-207.
181
EFEKTIVITAS M-DECK TERHADAP KEMATANGAN KOMPOS KOTORAN AYAM EFFECTIVENESS OF M-DECK TO MATURITY COMPOST OF CHICKEN MANURE
Hasrianti Silondae
1
dan Tri Wahyuni
2
1
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Utara
2
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu Email:
hasrianti_silondaeyahoo.com
ABSTRAK
Pengomposan merupakan proses biologis dengan kecepatan proses yang berbanding lurus dengan kecepatan aktivitas mikroba dalam mendekomposisi limbah organik. Proses pengomposan p
upuk kandang juga bergantung pada faktor lingkungan.
Jika kondisi lingkungan semakin mendekati kondisi optimum yang dibutuhkan oleh mikroba maka aktivitas mikroba semakin tinggi sehingga proses
pengomposan semakin cepat. Penelitian yang dilaksanakan di Kebun Percobaan Pandu pada bulan
Juni sampai bulan Agustus tahun 2012 ini, bertujuan untuk mengetahui kematangan kompos kotoran ayam selama pengomposan dengan menggunakan biodekomposer M-Dec. Penelitian menggunakan
Rancangan Acak Lengkap dengan bahan baku kompos kotoran ayam dengan 3 tiga ulangan dan kontrol. Pengomposan dilakukan di atas permukaan tanah dalam sangkar kompos yang terbuat dari
bambu berukuran 1 meter kubik.Volume bahan yang dikomposkan adalah sekitar 1 m
3
sangkar dan dilakukan
penimbangan berat
saat awal pembuatan
dan pembalikan
kompos sekali
seminggu.Pembuatan kompos menggunakan 1 kg M-Dec bagi tiap 1 ton bahan organik.Diketahui bahwa tahapan pengomposan menghasilkan s
uhu semakin menurun mengikuti lamanya waktu pengomposan. Diperoleh suhu pada ulangan 1 sebesar 41
o
C, 39
o
C dan 43
o
C untuk ulangan 2 dan 3. Sedangkan perlakuan kontrol mencapai suhu 46
o
C. Penyusutan berat kompos masih lebih tinggi pada perlakuan dengan M-Dec dibanding kontrol yaitu U1 1026 kg, U2 1022 kg, U3 825 kg, dan
Kontrol 1032 kg. Karakter kompos yang dihasilkan mempunyai ciri tekstur kasar, tidak berbau,
tidak ada jamurhyfa, dan berwarna coklat gelapkehitaman.
Kata Kunci: kotoran ayam, suhu, tekstur, M-Dec
ABSTRACT
Composting is a biological process with a process speed is directly proportional to the speed of microbial activity in decomposing organic waste. Manure composting process also depends on
environmental factors. If the environmental conditions closer to optimum conditions required by microbes, the microbial activity makes so that higher and faster of the composting process.This
research conducted at Kebun Percobaan Pandu in June to August 2012, aims to maturity compost of chicken manurefor composting using biodekomposer M-Dec. Research using a completely randomized
design with chicken manure compost material with three 3 replicates and controls. Composting is done above ground level in a compost cage made of bamboo measuring 1 cubic meter. The volume of
composted material is about 1 m
3
cage and do weighing at the beginning creation and reversal of compost once a week. Making compost using 1 kg M-Dec for every 1 ton of organic material. It is
known that the stages of composting produceheat that raise temperature and then decrease follows the length of the composting time. Retrieved temperature at 41
o
C for replay 1, 39
o
C and 43
o
C to repeat 2 and 3. The control treatment reaches 46
o
C.Depreciation weight of compost was higher in the treatment with M-Dec compared to controls, U1 1026 kg, U2 1022 kg, U3 825 kg, and Control
1032 kg.Characters compost produced has the characteristic coarse texture, no smell, no mildewhype, and dark brownblack.
Keywords: chicken manure, temperature, texture, M-Dec
182
PENDAHULUAN
Menurut Sihombing 2006dalam Kusuma 2012, limbah ternak atau peternakan adalah semua yang berasal dari ternak atau petenakan baik bahan padat maupun cair, yang belum
dimanfaatkan dengan baik, yang termasuk dalam limbah ternak adalah tinja atau feses dan air kencing atau urin.Kotoran ternak merupakan limbah ternak yang terbanyak dihasilkan dalam pemeliharaan
ternak selain limbah yang berupa sisa pakan. Djuarnanietal, 2005 menjelaskan bahwa kompos merupakan hasil fermentasi atau hasil dekomposisi bahan organik seperti tanaman, hewan, atau limbah
organik.Secara ilmiah, kompos dapat diartikan sebagai partikel tanah yang bermuatan negatif sehingga dapat dikoagulasikan oleh kation dan partikel tanah untuk membentuk granula tanah. Sejalan dengan
Crawford 2003 dalam Isroi 2008, bahwa kompos adalah hasil dekomposisi parsialtidak lengkap, dipercepat secara artifisial dari campuranbahan-bahan organik oleh pupulasi berbagai macam mikroba
dalam kondisi lingkungan yanghangat, lembab, dan aerobik.Kompos telah digunakan secara luas selama ratusan tahun dan telah terbukti mampu menangani limbah pertanian sekaligus berfungsi
sebagai pupuk alami. Prinsip pengomposan adalah menurunkan nilai rasio CN bahan organik menjadi sama dengan rasio CN tanah. Rasio CN adalah hasil perbandinganantara karbon dan nitrogen yang
terkandung didalam suatu bahan. Bahan organik yang memiliki rasio CN sama dengan tanah memungkinkan bahan tersebut dapat diserap oleh tanaman Djuarnaniet al, 2005.
Menurut Sutanto 2002, kualitas kompos sangat ditentukan oleh tingkat kematangan kompos, disamping kandungan logam beratnya. Bahan organik yang tidak terdekomposisi secara sempurna
akan menimbulkan efek yang merugikan bagi pertumbuhan tanaman. Penambahan kompos yang belum matang ke dalam tanah dapat menyebabkan terjadinya persaingan bahan nutrien antara tanaman
dan mikroorganisme tanah.Keadaan ini dapat mengganggu pertumbuhan tanaman.
Kotoran ayam merupakan salah satu limbah yang dihasilkan baik ayam petelur maupun ayam pedaging yang memiliki potensi yang besar sebagai pupuk organik. Komposisi kotoran sangat
bervariasi tergantung pada sifat fisiologis ayam, ransum yang dimakan, lingkungan kandang termasuk suhu dan kelembaban. Kotoran ayam merupakan salah satu bahan organik yang berpengaruh terhadap
sifat fisik, kimia dan pertumbuhan tanaman. Penggunaan bahan organik kotoran ayam mempunyai beberapa keuntungan antara lain sebagai pemasok hara tanah dan meningkatkan retensi air. Apabila
kandungan air tanah meningkat, proses perombakan bahan organik akan banyak menghasilkan asam- asam organik. Anion dari asam organik dapat mendesak fosfat yang terikat oleh Fe dan Al sehingga
fosfat dapat terlepas dan tersedia bagi tanaman. Penambahan kotoran ayam berpengaruh positif pada tanah masam berkadar bahan organik rendah karena pupuk organik mampu meningkatkan kadar P, K,
Ca dan Mg tersedia. Mikroba perombak merupakan salah satu pupuk hayati yang dapat membantu mempercepat proses pengomposan bahan organik menjadi pupuk organik yang siap diberikan untuk
tanaman. Secara alami untuk mendapatkan pupuk organik memerlukan waktu yang cukup lama.Sekarang ditemukan beberapa aktivator yaitu agensia yang dapat mempercepat proses
pengomposan sehingga kontinuitas produksipupuk organik lebih terjamin Warsana,2009 dalam Fitri et al,2012. M-Dec merupakan inokulan perombak bahan organik yang mengandung, Trichoderma sp,
Aspergillus sp, dan Trametes sp yang mempercepat proses pengomposan sisa-sisa tanaman pertanian jerami, seresah jagung, perkebunan tandan kosong kelapa sawit, blotong, dan hortikultura sampah
sayuran, sampah perkotaan kertas, daun sisa tanaman, potongan rumput, kotoran hewan, sehingga dapat segera menjadikannya bahan organik tanah yang berfungsi menyimpan dan melepaskan hara di
sekitar tanaman. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas M-Dec terhadap kematangan bahan kompos kotoran ayam.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Pandu pada bulan Juni hingga Agustus 2012, dengan menggunakan kotoran ayam dan decomposer M-Dec sebagai perlakuan, bambu berbentuk
segiempat untuk penyangga dan sirkulasi udara, Sepatu bot, sekop, cangkul, garu, ember dan gayung air, alat pengayak, parang, tongkat kayu, thermometer. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan
Acak Lengkap dengan 3 ulangandan kontrol. Data yang diperoleh diuraikan secara deskriptif. Volume timbunan kompostinggi 1 m, lebar 1 m, panjang 1 m. Bentuk timbunan kompos segiempat, terletak di
atas tanah dengan diberi penyangga berupa kayu berbentuk segiempat. Proses pembuatan kompos kotoran ayam sebagai berikut :
183
a. Menyiapkan media yaitu kotoran ayam1 ton dan M-dec sebanyak 1 kg yang dilarutkan kedalam 10 liter air. Tempat pembuatan kompos dilakukan di bawah pohon agar terlindung dari sinar
matahari langsung, alas dibuat agak tinggi dan dibuat selokan untuk menghindari genangan air. b. Dibuat lapisan setinggi 1m, kemudian tumpukan bahan kompos disiram dengan larutan M-Dec
secara merata pada bahan dasar kompos, selanjutnya dilapisi lagi setinggi 20 cm dan disiram M- Dec secara merata. Demikian seterusnya dilakukan sesuai dengan kapasitas bahan yang diproses.
Kemudian media kompos ditutup dengan terpal agar terhindar dari hujan dan proses dekomposisi dapat berjalan dengan baik.
c. Tumpukan bahan tersebut dibalik seminggu sekali.
Metode analisa
Observasi lapangan meliputi: pengamatan proses pengomposan dari awal sampai akhir pada parametersuhu, penyusutan berat kompos setiap pembalikan, warna dan bau. Pengukuran di lapangan
terhadap parameter pengomposan seperti: 1. Suhu
Pengukuran suhu timbunan kompos Yuwono, 2005. Suhu keempat sudut dan bagian tengah timbunan kompos diukur dengan menggunakan thermometer dan dicatat setiap kali pengamatan
dilakukan.Pengukuran suhu dilakukan pada pagi hari pukul 06.00 WITA, sebelum dilakukan penyiraman oleh pekerja pada timbunan kompos dan sore hari pukul 17.00.
2. Penyusutan berat kompos 3. Penampilan warna dan bau kompos melalui pengamatan panca indera.
HASIL DAN PEMBAHASAN Suhu
Suhu merupakan parameter penting dalam mengevaluasi proses pengomposan sekaligus menentukan berhasil atau tidaknya proses dekomposisi terhadap bahan kompos. Hasil pengukuran
suhu selama proses pengomposan, disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1 . Profil suhu selama pengomposan
Selama proses pengomposan, terjadi pelepasan energi reaksi eksotermik dalam tumpukan. Kenaikan suhu selama proses pengomposan sangat menguntungkan bagi beberapa jenis
mikroorganisme thermofilik, akan tetapi proses pengomposan yang tidak terkontrol, misalkan suhu di atas 65-70°C akan menyebabkan aktivitas populasi mikroorganisme menjadi menurun drastis. Pada
kurva suhu tumpukan kompos, terlihat bahwa suhu semakin menurun mendekati suhu lingkungan seiring dengan bertambahnya minggu pengomposan.Perubahan temperatur ini dipengaruhi oleh
beberapa faktor seperti karakter bahan organik yangdikomposkan, nisbah volumetumpukan atau timbunan yangberbanding dengan permukaan tumpukan.Makin tinggi volumetumpukan maka makin
besar isolasi panas yangterjadi dalam tumpukan bahan yangdikomposkan.Perlakuan pembalikan tumpukan kompos akan sangat membantu proses aerasi dan homogenitas suhu dan bahan. Pembalikan
secara berkala dan teratur akan membantu pemerataan kondisi terhadap tumpukan kompos bagian bawah, tengah dan atas, namun sebaiknya pembalikan jangan sering dilakukan, terutama fase
50 100
1 2
3 4
5 6
7 8
9 10
11 Suh
u oC
Minggu Ke Suhu Kompos Kotoran Ayam oC U1
Suhu Kompos Kotoran Ayam oC U2 Suhu Kompos Kotoran Ayam oC U3
Suhu Kompos Kotoran Ayam oC Kontrol
184
awaldekomposisi, hal ini untuk menjaga kondisi suhu tumpukan dan aktivitas mikroorganisme dalam tumpukan. Suhu tumpukan yang dingin akan berakibat proses pengomposan menjadi lambat. Profil
perubahan suhu selama pengkomposan ditunjukkan dalam Gambar 1.Kahlon Kalra 1986, menyatakan bahwa aktivitas mikroorganisme ditunjukkan dengan panas yang menyebabkan
perubahan suhu dalam timbunan kompos.
Pada Gambar 1 di atas diketahui bahwa suhu kompos pada masing-masing ulangan perlakuan larutan M-Dec maupun tanpa M-Dec kontroltidak mencapai fase termofilik 40-65
o
C.Suhu kompos pada setiap minggunya hanya berkisar antara 31-51
o
C.Diduga tumpukan bahan yang terlalu rendah membuat bahan lebih cepat kehilangan panas, sehingga temperatur yang tinggi tidak dapat tercapai
meskipun tinggi tumpukan kompos sekitar 1 meter. Diketahui bahwa tinggi maksimum adalah 1,5-1,8 meter Widarti, 2015. Menurut Bach et al. 1987, penguraian dengan suhu 35-60
o
C masih memenuhi persyaratan optimum. Untuk pengontrolan suhu supaya memenuhi syarat optimum penguraian pada
timbunan kompos dilakukan pengudaraan langsung ke timbunan kompos dengan cara pembalikan. Robinzonet al. 2000, menyatakan bahwa penurunan suhu sebanyak 50
o
C disebabkan proses pembalikan. Temperatur yang tinggi pada proses pengomposan sangat penting untuk proses
higienisasi, yaitu untuk membunuh bakteri patogen dan bibit gulma, selain untuk memacu proses pengomposan karena pada umumnya proses pengomposan kombinasi suhu termofilik dan mesofilik.
Kurang tingginya suhu kompos disebabkan karena jumlah limbah kotoran ayam yangdikomposkan tidak cukup memberikan proses insulasi panas. Sejumlah energi dilepaskan dalam
bentuk panas pada perombakan bahan organik sehingga mengakibatkan naik turunnya temperatur.Peningkatan suhu adanya aktivitas bakteri dalam mendekomposisi bahan organik.Kondisi
mesofilik lebih efektif karena aktivitas mikroorganisme didominasi protobakteri dan fungi. Pembalikan yang dilakukan dalam proses pengomposan mengakibatkan temperatur turun dan
kemudian naik lagi Pandebesie, 2012 dalam Widartiet al, 2015.
Penyusutan berat kompos kotoran ayam
Menurut Odum1971, dekomposisi adalah suatu proses penguraian bahan organik yang berasal dari binatang dan tanaman secara fisik maupun kimia menjadi senyawa-senyawa anorganik
sederhana yang dilakukan oleh berbagai mikroorganisme tanah, yang dapat memberikan hasil berupa hara mineral yang dapat secara langsung dimanfaatkan oleh tanaman. Sehingga penyusutan berat
kompos merupakan akibat terjadinya proses dekomposisi selama pengomposan berlangsung.
Gambar 2 .Penyusutan berat kompos kotoran ayam selama 11 minggu
Sutanto 2002, menyatakan bahwa selama proses pengomposan berlangsung, perubahan secara kualitatif dan kuantitatif terjadi. Pada tahap awal akibat perubahan lingkungan beberapa spesies
flora menjadi aktif, makin berkembang dalam waktu yang cepat, dan kemudian hilang untuk memberikan kesempatan pada populasi lain untuk menggantikan. Selama dekomposisi intensif
berlangsung, dihasilkan suhu yang cukup tinggi dalam waktu relatif pendek, dan bahan organik yang mudah terdekomposisi akan diubah menjadi senyawa lain. Selama tahap pematangan utama dan pasca
pematangan bahan yang agak sukar terdekomposisi menjadi terurai dan terbentuk ikatan kompleks lempung-humus.Pengomposan dari bahan tanaman lebih lama dibandingkan dari kotoran hewan,
disebabkan kandungan lignin dan polifenol.
200 400
600 800
1000 1200
1400
2 4
6 8
10 12
U1 U2
U3 Kontrol
185
Dalam penelitian ini diperoleh berat akhir dari kompos dengan tanpa pemberian M-Dec kontrol masih lebih tinggi dibanding kotoran ayam dengan pemberian M-Dec, yaitu sebesar 1032 kg
dibanding dengan berat kompos ulangan 1, 2, 3, masing-masing sebesar 1026 kg, 1022 kg, dan 825 kg. Kandungan Trichoderma, sp, Aspergillus sp, dan Trametes sp pada M-Dec mempercepat proses
pengomposan kotoran hewan, sehingga dapat dijadikan pupuk organik yang memperkaya sumber hara bagi tanaman.
Perubahan bau dan warna
Ciri-ciri kompos yang sudah matang adalah terjadinya perubahan warna menjadi coklat kehitaman, tekstur menjadi lunak dan tidak berbau menyengat. Berdasarkan pengamatan di lapangan
kompos kotoran ayam pada minggu 1 sampai minggu 7 pengomposan masih berwarna coklat sesuai warna dasarnya dan masih berbau.Memasuki minggu 8 sampai minggu 11, kompos telah berubah
warna dari coklat menjadi warna coklat tua kehitaman dan tidak berbau.Pada saat panen bau kompos menyerupai bau tanah yang menunjukan bahwa materi yang dikandungnya sudah menyerupai materi
tanah, dan tidak ada jamurhyfa.Menurut Isroi 2008, pupuk yang telah matang akan berbau seperti tanah, bila tercium bau tidak sedap berarti terjadi fermentasi anaerobik dan kompos belum matang.
Kemudian kompos dikeringkan dengan cara dijemur dan diangin-anginkan supaya mendapatkan hasil yang berkualitas.
Secara umum kompos yang sudah matang dapat dicirikan dengan sifat-sifatsebagai berikut :
1.
Berwarna coklat tua hingga hitam dan remah
2.
Tidak larut dalam air, meskipun sebagian dari kompos bisa membentuk Suspensi
3.
Sangat larut dalam pelarut alkali, natrium pirofosfat atau larutan ammoniumoksalat dengan menghasilkan ekstrak berwarna gelap dan dapat difraksinasilebih lanjut menjadi zat humic,
fulvic, dan humin
4.
Rasio CN sebesar 20-40, tergantung dari bahan baku dan derajat humifikasi
5.
Memiliki kapasitas pemindahan kation dan absorpsi terhadap air yang tinggi
6.
Jika digunakan pada tanah, kompos dapat memberikan efek menguntungkanbagi tanah dan pertumbuhan tanaman
7.
Memiliki suhu yang hampir sama dengan temperatur udara
8.
Tidak mengandung asam lemak yang menguap
9.
Tidak berbau
KESIMPULAN
Berbagai bahan organik dapat dijadikanpupuk organik melalui teknologi pengomposan sederhana maupun denganpenambahan mikroba perombak serta pengkayaan dengan hara lain.Pupuk
organik yang berasal dari pupuk kandang merupakan bahanpembenah tanah yang paling baik dibanding bahan pembenah lainnya, disamping kandungan selulosa yang tinggi pada kotoran ayam
sehingga bahannya mudah terdekomposisi. Pemakaian M-Dec dapat mempercepat kematangan kompos kotoran ayam meski tidak cukup mencapai fase termofilik disebabkan tinggi tumpukan bahan
belum terlalu ideal bagi proses insulasi panas.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis ucapkan terimakasih kepada Bapak Dr. Ir. Jaelani, M.Si dan Ibu Ir. Hartin Kasim atas segala dukungan dan diskusi yang bermanfaat, sehingga makalah ilmiah ini dapat terselesaikan dengan
baik.
186
DAFTAR PUSTAKA
Bach, P.D., K. Nakasaki, M. Shoda H. Kubota. 1987. Thermal balance in composting operations. J. Ferment, Technol, 652:199-209.
Djuarnani N, Kristian, Budi SS. 2005. Cara cepat membuat kompos. Depok:Agro Media Pustaka. Fitri, ANS, Jayantu, S.C, Budianta, D. 2012. Dinamika mikrobia dari berbagai bahan organik yang
didekomposisi menjadi kompos. Agria, Vol 7, No. 2: 208-217. Isroi, 2008.Manfaat kompos. Link:
https:isroi.files.wordpress .Com. Diakses tanggal 28 September
2016. Kahlon, S.S. Kalra, K.L. 1986. Chaetomium globosum, a non-toxic fungus: a potential source of
protein SCP. Agricultural Wastes 18: 207-213. Kusuma, E.M. 2012. Pengaruh beberapa jenis pupuk kandang terhadap kualitas bokashi. Jurnal Ilmu
Hewani Tropika. Vol.1 No.2 : 41-46. Odum EP. 1971. Fundamental of ecology. Philadhelpia: W.B. Saunders Company.
Robinzon R.,E. Kimmel Y. Avnimelech. 2000. Energy and mass balance of windrow composting system. Transactions of ASAE Vol. 43:1253-1259.
Sutanto R. 2002. Pertanian organik. Yogyakarta: Kanisius. Widarti, N.B, Wardhini, K.W, Sarwono, E. 2015. Pengaruh rasio CN bahan baku pada pembuatan
kompos dari kubis dan kulit pisang. Jurnal Integrasi Proses Vol. 5, No. 2 75 – 80
Yuwono, D. 2005. Kompos. Seri Agritekno. Jakarta.
187
PERFORMANS AYAM ARAB YANG DIBERIKAN PAKAN SOLID FERMENTASI PADA FASE PERTUMBUHAN
PERFORMANCE OF ARAB CHICKEN THAT GIVEN FEED FERMENTATION SOLID AT GROWTH PHASE
Wahyuni Amelia Wulandari dan Erpan Ramon
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian BPTP Bengkulu Jl. Irian Km 6,5 Kota Bengkulu 38119
e-mail : wahyuniwulandari88yahoo.co.id
ABSTRAK
Solid merupakan salah satu limbah padat dari hasil pengolahan minyak sawit kasar yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan unggas dan belum banyak dimanfaatkan oleh peternak maupun petani
yang berada di sekitar pabrik kelapa sawit. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui performans ayam arab yang diberikan pakan solid fermentasi pada fase pertumbuhan. Materi yang digunakan
adalah 48 ekor DOC ayam arab. Bahan pakan yang diberikan terdiri dari konsentrat komersial, dedak padi, jagung giling dan solid fermentasi. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan September sampai
dengan bulan Desember 2015 di Kandang Percobaan Ternak Unggas, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu.Rancangan penelitiannya menggunakan Rancangan Acak Lengkapdengan 4
perlakuan pakan dan 4 ulangan, tiap ulangan terdiri 3 ekor ayam. Adapun pemberian pakan yang diberikan dengan memanfaatkan bahan pakan lokal berupa solid fermentasi. Perlakuan P1 terdiri dari
konsentrat komersial 20, dedak padi 40, jagung giling 40, P2 terdiri dari konsentrat komersial 20, dedak padi 40, jagung giling 37,5, solid fermentasi 2,5, P3 terdiri dari konsentrat
komersial 20, dedak padi 40, jagung giling 35, dan solid fermentasi 5, P4 terdiri dari konsentrat komersial 20, dedak padi 40, jagung giling 32,5, dan solid fermentasi 7,5. Hasil
yang diperoleh menunjukkan bahwa pemberian solid fermentasi pada taraf 5 P3 dan 2,5 P2 tidak berpengaruh nyata terhadap performans ayam arab dengan yang diberikan pakan tanpa solid P1
P0,5, namun pemberian solid sebesar 7,5 dalam ransum P4 berpengaruh nyata terhadap performans ayam arab. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa pemberian
solidsebagai pakan ayam dapat diberikan pada ayam arab fase pertumbuhan sampai dengan taraf pemberian 5.
Kata kunci: ayam arab,performance, pertumbuhan, solid fermentasi
ABSTRACT
Solid is one of the solid waste from the processing of crude palm oil which can be used as poultry feed and not yet widely used by breeders and farmers who are in the vicinity of the plant oil palm. This
study aims to assess the performance of arab chicken given solid feed fermentation in the growth phase. The materials used are 48 DOC tail arabchicken. The feed material consists of a commercial
concentrate, rice bran, corn flour and solid fermentation. This study was conducted from September to December 2015 Poultry Cage Experiment, BPTP Bengkulu. Design research using completely
randomized design with 4 treatments and 4 replicates feed, each repetition consists of 3 chickens. This provision of feed given to utilizing local feed ingredients in the form of solid fermentation. P1
Treatment consists of commercial concentrate 20, 40 rice bran, grits 40, P2 consists of a commercial concentrate 20, 40 rice bran, grits 37.5, 2.5 solid fermentation, P3 consists of
concentrate 20 commercial, 40 rice bran, grits 35, and 5 solid fermentation, P4 consists of a commercial concentrate 20, 40 rice bran, grits 32.5, and 7.5 solid fermentation. The results
showed that the fermentation solid at 5 level P3 and 2.5 P2 did not significantly affect the performance arab chicken with a given feed without solid P1 P 0.5, but the provision solid
7.5 in the ration P4 significantly affect the performance of arab chicken. Based on these results it can be concluded that the administration can be solid as chicken feed given to chickens arab growth
phase up to the level of administration of 5.
Keywords: arab chicken, performance, growth, solid fermentation
188
PENDAHULUAN
Industri peternakan unggas di Indonesia masih mengimpor beberapa bahan baku yang harganya berfluktuasi dan mempengaruhi biaya produksi. Kenyataan ini sangat memberatkan peternak
ayam yang menggantungkan usahanya pada pakan komersial pabrik, dan sebagai dampaknya keuntungan yang diperoleh peternak semakin berkurang bahkan banyak peternak yang gulung tikar.
Mahalnya harga pakan komersial tersebut menyadarkan kita betapa pentingnya pemanfaatan sumberdaya lokal sebagai sumber bahan pakan alternatif, terutama bahan baku sumber protein dan
energi. Bahan baku dimaksud, tersedia secara kontinyu, melimpah, murah, tidak bersaing dengan manusia, secara ekonomi menguntungkan, dan secara sosial dapat diterima masyarakat. Salah satu
bahan pakan yang saat ini cukup potensial adalah produk samping perkebunan kelapa sawit. Perkebunan kelapa sawit di Bengkulu mempunyai potensi daya dukung untuk pengembangan
peternakan,yaitu sebagai sumber pakan baik pakan hijauan maupun pakan dari limbah pengolahan minyak kelapa sawit. Salah satu limbah yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak unggas adalah
solid.
Solid adalah limbah padat hasil samping pengolahan buah kelapa sawit menjadi crud palm oil CPO. Bentuk dan konsistensinya padat seperti ampas tahu namun berwarna coklat gelap, tidak
berasa, lembut di lidah lumer, berbau asam-asam manis, dengan kandungan gizi: protein kasar PK 12,63-17,41; serat kasar SK 9,98-25,79; lemak kasar LK 7,12-15,15; energi bruto GE
3.217-3.454 kkalkg bahan kering Widjaja et al., 2006. Produksi solid di Bengkulu sekitar 15-25 tonhari per pabrik dan saat ini sudah 41buah pabrik yang beroperasi. Produksi solid akan nertambah
sejalan dengan semakin meningkatnya produksi tandan buah segar TBS, dimana produksi solid yang dapat diperoleh sekitar 3 dari TBS yang diolah. Umumnya pabrik belum memanfaatkan solid secara
optimal bahkan dibuang saja Utomo, 2001; Utomo dan Widjaja, 2004.
Ayam Arab merupakan ayam keturunan Brakel Kriel-Silver dari Belgia. Disebut ayam Arab karena dua hal yaitu pejantannya memiliki daya seksual yang tinggi dan keberadaannya di Indonesia
melalui telurnya yang dibawa oleh orang yang menunaikan ibadah haji dari Mekah Kholis dan Sitanggang, 2002.
Salah satu plasma nutfah ayam buras adalah ayam Arab Balitnak, 2009. Ayam Arab yang ada sekarang adalah hasil kawin silang dengan ayam lokal Linawati, 2009. Secara genetik ayam
Arab tergolong galur ayam buras yang unggul, karena mempunyai kemampuan produksi telur yang tinggi yaitu mencapai 225 butir per tahun. Ayam Arab mulai bertelur pada umur 4,5 - 5,5 bulan
sedangkan ayam kampungburas setelah berumur 6 bulan. Pada umur 8 bulan produksi telurnya mencapai puncak. Selama usia produktif antara 0,8 - 1,5 tahun, betina ayam Arab terus-menerus
bertelur, sehingga hampir setiap hari menghasilkan telur. Pada umur 1,5 - 2 tahun biasanya ayam Arab sudah bisa diafkir Kholis dan Sitanggang, 2002.
Ayam Arab jantan dewasa dapat mencapai tinggi 30 cm dengan bobot 1,5 - 1,8 kg. Jengger tunggal, tubuh berbentuk segi empat mirip kotak, bulu tebal dan memiliki warna bulu menarik. Tinggi
ayam Arab betina dewasa berkisar antara 22 - 25 cm dengan bobot 1,1 - 1,2 kg. Kepala berjengger merah, berpial merah dan badan berbulu tebal. Selama usia produktif, ayam betina dewasa hampir
setiap hari bertelur Sujionohadi, 1995.
Ayam Arab jantan biasanya dipotong pada umur 4 bulan sebagai ayam potong. Kebutuhan nutrisi ayam Arab diperkirakan lebih tinggi dibanding ayam buras lainnya mengingat ayam Arab
merupakan jenis ayam buras yang mempunyai genetik unggul. Suprijatna 2008 menyatakan bahwa ayam yang mempunyai genetik unggul kebutuhan nutrsinya lebih tinggi.
Ransum yang baik adalah ransum yang mengandung zat makanan yang dapat digunakan oleh ayam untuk aktivitas, pertumbuhan dan reproduksi. Zat makanan tersebut adalah karbohidrat, lemak,
protein, mineral, vitamin, air dan serat kasar Sarwono, 2002. Pada penyusunan ransum yang utama diperhatikan adalah zat-zat makanan terutama protein dan kandungan energi Suprijatna, 2008. Dua
unsur nutrisi protein dan energi menjadi acuan utama dalam menyusun ransum unggas, karena kedua nutrisi ini sangat penting bagi pertumbuhan Suthama, 2006.
Ayam mengkonsumsi ransum untuk memenuhi kebutuhan energi. Ransum dengan energi tinggi dikonsumsi lebih sedikit dibanding ransum dengan energi rendah Suprijatna et al. 2005. Jika
energi terpenuhi tetapi bahan pembentuk jaringan tubuh kurang maka laju pertumbuhan dan produksi terganggu. Oleh karena itu perlu diperhitungkan keseimbangan antara tingkat energi dengan protein
Suprijatna, 2008.
189
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian ransum yang mengandung solid fermentasi maupun tanpa solid fermentasi terhadap performans ayam arab pada fase
pertumbuhan.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan September sampai dengan bulan Desember 2015 di Kandang Percobaan Ternak Unggas, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu. Ternak yang
digunakan adalah DOC ayam arab yang berasal dari Balai Pembibitan Ternak Unggul BPTU Sembawa, Sumatera Selatan sebanyak 48 ekor.
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain kandang ayam, litter dari sekam padi, timbangan digital, timbangan 5 kg, tempat pakan, tempat minum, ember, gayung, sapu lidi dan
sekop. Bahan pakan yang digunakan adalah solid fermentasi, jagung giling, dedak padi, dan konsentrat komersial. Kandang yang digunakan adalah kandang berpetak dengan ukuran panjang :
lebar : tinggi adalah 2 m : 2 m : 2,5 m sebanyak 4 petak kandang besar dan dibagi lagi menjadi 4 petak kecil yang berisi 3 ekor DOC ayam arab. Sebelum pemeliharaan dilakukan pengapuran pada lantai dan
dinding kandang dan bahan litter yang digunakan adalah sekam padi setebal 5 cm. Ayam arab dipelihara dari DOC sampai dengan umur 16 minggu.
Adapun pemberian pakan yang diberikan dengan memanfaatkan bahan pakan lokal berupa solid fermentasi. Selama periode umur ayam dari DOC hingga 4 minggu diberikan pakan konsentrat
komersial pabrik. Selanjutnya ayam mulai diberikan formula pakan perlakuan mulai umur 5 minggu sampai dengan umur 16 minggu. Pemberian pakan diberikan sesuai dengan umur, sedangkan air
minum diberikan ad libitum. Penelitian terbagi dalam 4 perlakuan pakan 3 perlakuan pakan dengan bahan pakan solid fermentasi dan 1 perlakuan pakan sebagai kontrol. Tiap perlakuan terdiri dari 4 kali
ulangan dan masing-masing ulangan terdiri dari 3 ekor ayam. Perlakuan P1 tanpa solid fermentasi terdiri dari konsentrat komersial 20, dedak padi 40, jagung giling 40, P2 terdiri dari konsentrat
komersial20, dedak padi 40, jagung giling 37,5, solid fermentasi 2,5, P3 terdiri dari konsentrat komersial 20, dedak padi 40, jagung giling 35, dan solid fermentasi 5, P4 terdiri dari
konsentrat komersial 20, dedak padi 40, jagung giling 32,5, dan solid fermentasi 7,5. Ransum yang digunakan mengandung berbagai level protein kasar yaitu P1 sebesar 13,2, P2 sebesar 12,35,
P3 sebesar 13,27 dan P4 sebesar 13,84. Energi P1 sebesar 3.460 kcalkg, P2 sebesar 3.428 kcalkg, P3 sebesar 3.406 kcalkg dan P4 sebesar 3.394 kcalkg. Semakin tinggi pemberian solid fermentasi
maka menurunkan pemberian jagung giling. Untuk mengetahui pertambahan bobot badan dilakukan penimbangan bobot badan setiap minggu sekali.
Pengaruh pemberian solid dalam ransum terhadap performans ayam arab fase pertumbuhan dilakukan dengan analisis statistik menggunakan Rancangan Acak Lengkap RAL Steel andTorrie,
1991. Data yang terkumpul dianalisis dengan sidik ragam ANOVA dan bila terdapat perbedaan dilanjtkan dengan uni Duncan Multiple Range Test DMRT. Variabel yang diamati adalah komposisi
nutrisi pakan, konsumsi pakan, konversi pakan, bobot badan akhir dan pertambahan bobot badan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Komposisi nutrisi pakan
Kombinasi 4 perlakuan pakan dan komposisi zat-zat makanan yang disajikan pada Tabel 1. Pemberian solid fermentasi dengan mengurangi pemberian jagung giling dalam pakan dengan jumlah
pemberian yang sama pada ayam arab fase perumbuhan tidak menurunkan kandungan nutrisi pakan.
190
Tabel 1. Komposisi nutrisi pakan perlakuan
Komposisi Bahan Perlakuan
P1 P2
P3 P4
Konsentrat komersial 20,0
20,0 20,0
20,0 Dedak padi
40,0 40,0
40,0 40,0
Jagung giling 40,0
37,5 35,0
32,5 Solid fermentasi
- 2,5
5,0 7,5
Komposisi zat-zat makanan Energi metabolis Kkalkg
3.460 3.428
3.406 3.394
Protein kasar 13,20
12,35 13,50
12,85 Serat kasar
9,23 9,50
10,65 12,14
Lemak 2,05
1,73 1,36
1,78 Abu
11,29 11,31
11,97 11,90
Ca 1,52
1,64 1,46
1,62 P
0,56 0,58
0,60 0,55
Hasil analisis Lab. Balai Penelitian Ternak Ciawi 2016
Hasil analisis proksimat menunjukkan bahwa semakin tinggi penambahan solid fermentasi dalam ransum menurunkan energi metabolis namun meningkatkan serat kasar Tabel 1. Ransum yang
mengandung bahan pakan solid mempunyai kandungan serat kasar lebih tinggi sejalan dengan makin meningkatnya taraf penggunaan solid. Komposisi ransum pada P1 tanpa solid mengandung energi
metabolis tertinggi yaitu 3.460 Kkalkg dan namun serat kasar terendah yaitu 9,23. Sedangkan pada P4 yang diberikan solid fermentasi berjumlah tertinggi yaitu sebesar 7,5 mengandung EM terendah
yaitu sebesar 3.394 Kkalkg dan serat kasar tertinggi yaitu sebesar 12,14. hal ini diduga pengaruh dari pemberian solid fermentasi yang diberikan pada pakan.
Konsumsi dan konversi ransum
Jumlah konsumsi ransum oleh ayam arab dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu, lingkungan, imbangan zat-zat makanan, kualitas ransum, bangsa ternak, kecepatan pertumbuhan, bobot badan,
tingkat produksi, palatabilitas ransum dan tingkat energi ransum. Ransum dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan zat-zat makanan yang diperlukan baik untuk hidup pokok, produksi maupun
pertumbuhan ayam. Kelemahan dari pakan berbahan dasar solid adalah warnanya menjadi kehitaman. Hal ini sangat mempengaruhi palatabilitas pakan yang berakibat pada rendahnya nilai konsumsi pakan
dan pada gilirannya mempengaruhi bobot hidup.
Rata-rata konsumsi ransum ayam arab jantan sampai umur 16 minggu masing-masing perlakuan berkisar antara 3.890
– 3.948 gramekor Tabel 2. Konsumsi pakan tertinggi tetap pada pakan yang tanpa solid yaitu jagung giling, dedak padi dan konsentrat komersial Widiadi, 1992;
Hastaningrum, 2000; Widjaja et al., 2006 dan semakin tinggi kandungan solid dalam pakan konsumsinya semakin menurun. Hal ini menunjukkan bahwa pakan tanpa solid mempunyai
palatabilitas yang tinggi. Faktor penyebab tingginya tingkat palatabilitas adalah warna yang cerah dan bentuknya butiran.
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa penggunaan soliduntuk mengurangi penggunaan jagung giling dalam ransum ayam Arab hingga 5tidak memberikan pengaruh nyata
P0,05 terhadap konsumsi dan konversi pakan. Namun pemberian solid fermentasi dalam ransum sebesar 7,5 memberikan pengaruh nyata P0,05 terhadap konsumsi dan konversi pakan. Hasil ini
menunjukkan bahwa pemberian solid fermentasi sampai 5 dapat diberikan kepada ayam Arab jantan umur 4 bulan pembesaran, hal ini terlihat dengan tidak mempengaruhi konsumsi ransum dari setiap
perlakuan yang diberikan. Konsumsi ransum untuk masing-masing perlakuan relative sama. Hal ini disebabkan karena ransum yang diberikan mempunyai imbangan protein dan energi yang sama
sehingga kandungan zat makanannya seimbang dan sesuai dengan yang direkomendasikan oleh NRC 1994.
191
Tabel 2. Rata-rata konsumsi, konversi ransum, bobot badan akhir dan pertambahan bobot badan
ayam arab umur 4 bulan yang diberi ransum berbasis solid.
Parameter Perlakuan
P1 P2
P3 P4
Konsumsi pakan gramekor 3.948
a
3.920
a
3.905
a
3.890
b
Konversi pakan 6,00
a
6,40
a
6,70
a
7,00
b
Bobot badan akhir gramekor 1.102,08
1.069,230 1.025,00
1.090,38 Pertambahan bobot badan gramekor
667,47
a
613,46
a
582,69
a
557,69
b
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata P0,05
Konversi ransum merupakan salah satu standar produksi untuk menilai efisiensi pakan yang dikonsumsi ternak menjadi daging atau sebagai patokan tingkat produktifitas ayam. Angka konversi
ransum yang dihasilkan erat kaitannya dengan jumlah konsumsi ransum dan pertambahan bobot badan. Jika konsumsi ransum yang tinggi tetapi diikuti dengan pertambahan bobot badan yang tinggi
pula, maka angka konversi ransum dikatakan tidak efisien dalam menghasilkan pertambahan bobot badan.
Menurut Rassyaf 2002 bahwa harapan yang dikehendaki adalah pertumbuhan yang relative cepat dengan tingkat konsumsi ransum yang lebih sedikit dimana ransum yang dikonsumsi tersebut
mampu menunjang pertumbuhan yang cepat, hal ini menunjukkan efisiensi penggunaan ransum. Sedangkan Anggorodi 1985 menyatakan bahwa peningkatan konsumsi ransum yang diikuti dengan
penurunan bobot badan menyebabkan tingginya angka konversi ransum sehingga ransum tidak efisiensi.
Pertambahan bobot badan
Berdasarkan Tabel 3 pemberian pakan konsentrat yang berbasis solid fermentasi yang ditambahkan dengan konsentrat komersial, dedak padi dan jagung giling menghasilkan PBBH ayam
arab umur 1 - 4 bulan fase pertumbuhan yang tidak kalah dengan ayam arab yang diberikan pakan tanpa solid fermentasi.
Ransum perlakuan berpengaruh nyata P0,05 terhadap pertambahan bobot badan hanya dengan perlakuan P4 yang diberikan solid fermentasi 7,5, sedangkan kontrol dan yang diberikan
solid fermentasi 2,5 dan 5 tidak berpengaruh nyata. Hal ini di duga ada kaitannya dengan kandungan serat kasar ransum Subiharta et al., 1994.
Ransum perlakuan pada P4dengan pemberian konsentrat di tambah 7,5 solid fermentasi menghasilkan pertambahan bobot badan 557,69 gekor, secara statistik berbeda nyata dibandingkan
dengan perlakuan yang lain P0,05. Keterlambatan pertumbuhan pada perlakuan P4 kemungkinan disebabkan oleh terhambatnya pencernaan zat-zat nutrisi karena serat kasar yang terlalu tinggi dalam
pakan yaitu 12,14. Hal ini menyebabkan terbatasnya kemampuan alat-alat pencernaan pada unggas untuk mencerna serat kasar sehingga penyerapan zat-zat nutrisi pada pakan tidak sempurna Widjaja et
al., 2006.
Ransum perlakuan semakin tinggi level solid kandungan serat kasarnya juga semakin tinggi Tabel 1. Menurut Sundari 1986 dan Hasanah 2002 kandungan serat kasar yang dapat ditolerir
oleh ayam broiler adalah di bawah 10. Hasil penelitian Sundari 1986 dengan serat kasar ransum sampai tingkat 8,02 masih dapat dicerna ayam sampai umur 8 minggu, sedangkan kandungan serat
kasar ransum di atas 10,22 menurunkan pertambahan bobot badan.
Tabel 3. Data rata-rata pertambahan bobot badan
Perlakuan Bobot badan gekor
PBBH kgekor BB1
BB2 BB3
BB4 P1
434,62 668,75
937,50 1.102,08
667,47
a
P2 455,77
667,31 857,69
1.069,23 613,46
a
P3 442,31
634,62 905,77
1.025,00 582,69
a
P4 451,92
690,38 973,08
1.090,38 557,69
b
Huruf berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata P0,05 BB1 : Bobot badan umur 1 bulan; BB2 : Bobot badan umur 2 bulan; BB3 : Bobot badan umur 3 bulan; BB4 :
Bobot badan umur 4 bulan.
192
Gambar 1. Grafik sebaran bobot badan selama penelitian
KESIMPULAN
Pemberian pakan solid fermentasi sebagai pakan sehingga mengurangi pemberian jagung giling dapat diberikan sampai pada taraf pemberian sebesar 5.Pemberian sebesar 5 pada ransum
tidak berpengaruhterhadap konsumsi pakan, konversi pakan dan bobot badan akhir ayam Arab jantan umur 4 bulan, namun pemberian solid fermentasi sebesar 7,5 menurunkan pertambahan bobot badan
yang nyata P0,05. Semakin tinggi pemberian solid fermentasi dalam ransum menurunkan efisiensi pakan. Konversipakanyang terbaik terdapat pada perlakuan I P1 yang diberikan pakantanpa
solid fermentasi dengan konversi pakan terendah yaitu 6,0.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terimakasih kami sampaikan kepada Dr. Dedi Sugandi selaku Kepala Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu atas arahan dan bimbingannya sehingga penelitian ini dapat
selesai dengan baik. Kepada rekan-rekan penelitian diantaranya Joko Giyamdin, Zul Efendi, Harwi Kusnadi dan Jhon Firison kami sampaikan terima kasih juga atas bantuan dan kerjasamanya yang baik
selama ini.
DAFTAR PUSTAKA
Anggorodi, R. 1985. Ilmu Nutrisi Aneka Unggas. Gramedia, Jakarta. Hasanah, S. 2002. Pengaruh Pemberian Silase Ikan-Tape Ubi Kayu terhadap Persentase Berat Karkas,
Lemak Abdomen dan Organ Dalam Ayam Broiler. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Hastaningrum. 2000. Pemanfaatan Kommpleks Onggok-Urea-Zeolit yang Difermentasikan dengan Aspergillus Niger dalam Ransum Ayam Pedaging. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut
Pertanian Bogor. Kholis dan Sitanggang. 2002. Ayam Arab dan Pocin Petelur Unggul PT. AGro Media Pustaka.
Jakarta. Linawati. 2009. Formulasi strategi pengembangan usaha ayam arab petelur di Trias Farm Bogor.
Institut Pertanian Bogor. National Research Council, 1994. Nutrient Requirement of Poultry. National Academy of Science,
Washington. Rasyaf, M. 2002. Beternak Ayam Pedaging. PT. Penebar swadaya. Jakarta.
Sarwono, B. 1996. Beternak Ayam Kampung. PT. Penebar Swadaya, Jakarta. Steel, R. G. D. and J. H. Torrie. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistika. 2 nd Ed. Gramedia, Jakarta.
Subiharta, T. Yuwono dan J. Purba. 1994. Kemungkinan penggunaan isi rumen kering sebagai pengganti bekatul kecil sebagai basis industri peternakan di daerah padat penduduk. Pros.
Pertemuan Nasional Pengolahan dan Komunikasi Hasil-hasil Penelitian. Semarang, 8-9 Februari 1994. Sub Balai Penelitian Ternak, Klepu Semarang. hlm 172-177.
S e
b ar
an b
o b
o t
b ad
an g
P1 P2
P3 P4
193
Sundari, S. 1986. Toleransi Ayam Broiler terhadap Kandungan Serat Kasar, Serat Detergent Asam, Lignin dan Silika dalam Ransum yang Mengandung Tepung Daun Alang-alang.
Disertasi. Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Suprijatna, E., U. Atmomarsono dan R. Kartasudjana. 2005. Ilmu Dasar Ternak Unggas . Jakarta:
Penebar Swadaya. Suthama, N. 2006. Kajian aspek “protein turnover” tubuh pada ayam Kedu periode pertumbuhan.
Media Peternakan 292:47-5. Utomo, B.N dan E. Widjaja. 2004. Limbah padat pengolahan minyak kelapa sawit sebagai sumber
nutrisi ternak ruminansia. J. Litbang Pertanian 231: 22-28. Utomo, B.N. 2001. Potential of Oil Palm Solid Wastes as Local Feed Resource for Cattle in Central
Kalimantan, Indonesia. Tesis. Wageningen Agricultural University, Animal Science, The Netherlands.
Widiadi, AB. 1992. Studi Pemanfaatan Onggok sebagai Pengganti Jagung dalam Ransum Ayam Broiler. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Widjaja, E, dan B.N. Utomo. 2004. Pemanfaatan limbah pengolahan minyak kelapa sawit yang berupa solid untuk pakan ternak sapi, domba dan ayam potong. Succes Story Pengembangan
Teknologi Inovatif Spesifik Lokasi. Badan Litbang Pertanian. Buku I. hlm. 173-185. Widjaja, E, W.G. Piliang, I. Rahayu dan B.N. Utomo. 2006. Produk samping industri kelapa sawit
sebagai bahan pakan alternatif di Kalimantan Tengah: 1. Pengaruh pemberian solid terhadap performans ayam broiler. JITV 111: 1-5.
194
INVENTARISASI METANA DARI FERMENTASI ENTERIK TERNAK DI KALIMANTAN SELATAN
INVENTORY FROM LIVESTOCK ENTERIC FERMENTATION IN SOUTH KALIMANTAN Anggri Hervani, Miranti Ariani, Ika Ferry Y, Sri Wahyuni, Prihasto Setyanto
Balai Penelitian Lingkungan Pertanian Jl. Raya Jakenan-Jaken Km 05 Pati Jawa Tengah 59182
email : anggrihervaniyahoo.com
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah memberikan informasi secara berkala mengenai tingkat, status dan kecenderungan perubahan emisi metana dari fermentasi enterik ternak. Sistem metabolisme ternak
ruminansia, merupakan sumber emisi gas rumah kaca yaitu gas metana. Sebagai contohnya adalah fermentasi enterik dalam sistem ternak ruminansia dapat memproduksi dan mengemisikan metana.
Penelitian ini merupakan penelitian desk study dengan cara melakukan inventarisasi GRK menggunakan IPCC Guidelines 2006.Penelitian dilaksanakan dengan mengumpulkan data aktivitas
ternak provinsi Kalimantan Selatan pada bulan Juni tahun 2016 sebagai sumber emisi GRK, serta penetapan faktor emisi berdasarkan IPCC Guidelines 2006. Data aktivitas didapatkan dari data
statistik provinsi Kalimantan Selatn. Inventarisasi emisi gas rumah kaca dari fermentasi enterik di Kalimantan Selatan menggunakan Tier 1 dari IPCC Guidelines. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
emisi terbesar dari fermentasi enterik di Kalimantan Selatan ada pada ternak sapi potong yang menyumbang 78 total emisi metana, ternak kerbau menyumbang 17 emisi metana sedangkan
untuk ternak kecil adalah kambing yang menyumbang 5 emisi metana. Ternak sapi perah, kuda, domba dan babi menyumbang emisi metana dari fermentasi enterik yang paling rendah yaitu 0 dari
seluruh total emisi metana dari fermentasi enterik.
Kata kunci : inventarisasi, fermentasi enterik, emisi
ABSTRACT
The research aims to provide regular information on the level, status, and trends of changes in methane emissions from enteric fermentation of livestock. Metabolic system of ruminants is a source
of greenhouse gas emissions e.g methane. An example, enteric fermentation in livestock ruminant systems can produce and emit methane. This research is a desk study by conducting GHG inventories
using the IPCC Guidelines 2006. The research was conducted by collecting the activity data of livestock at South Kalimantan province in June 2016 as a source of GHG emissions, as well as the
determination of emission factors based on IPCC Guidelines, 2006. The activity data obtained from the statistical data of South Kalimantan province. Inventory of greenhouse gas emissions from enteric
fermentation in South Kalimantan using Tier 1 of the IPCC Guidelines. The results showed that the largest emissions from enteric fermentation in South Kalimantan come from cattle which accounted
for 78 of total methane emissions, buffaloes accounted for 17 of methane emissions, while for small livestock likes goats which accounted for 5 of methane emissions. Dairy cattle, horses, sheep
and pigs have a low contribution to methane emissions from enteric fermentation, 0 from total methane emissions from enteric fermentation
Keyword : inventory, enteric fermentation, emissions
PENDAHULUAN
Inventarisasi gas rumah kaca GRK adalah kegiatan untuk memperoleh data dan informasi mengenai tingkat, status, dan kecenderungan perubahan emisi GRK secara berkala dari berbagai
sumber emisi source dan penyerapnya sink, termasuk simpanan karbon carbon stock. Emisi GRK adalah lepasnya gas rumah kaca ke atmosfer pada area tertentu dalam jangka waktu tertentuRepublik
Indonesia, 2011. Emisi gas rumah kaca dari sektor pertanian yang utama adalah metana dengan persentase 67 selanjutnya adalah N2O 30 dan CO2 3 . Total emisi gas rumah kaca dalam
sektor pertanian mencapai 75.419,73 Gg pada tahun 2000. Sumber utama dari emisi gas rumah kaca ini adalah dari lahan sawah 69 dan dari ternak 28KLH, 2009.
Emisi dari sektor peternakan berasal dari fermentasi enterik dan pengelolaan kotoran ternak. Sistem metabolisme ternak, khususnya untuk ternak ruminansia, merupakan sumber emisi gas rumah
195
kaca. Sebagai contohnya adalah fermentasi enterik dalam sistem ternak ruminansia dapat memproduksi dan mengemisikan metana KLH, 2012.
Metana dihasilkan oleh hewan memamah biak sebagai hasil samping dari fermentasi enterik, suatu proses dimana karbohidrat dipecah menjadi molekul sederhana oleh mikroorganisme untuk
diserap ke dalam aliran darah. Ternak ruminansia misalnya : sapi, domba, dan lain-lain menghasilkan metana lenih tinggi dari pada ternak non ruminansia misalnya: babi, kudaKLH,
2012. Metana diproduksi secara normal semala proses pencernaan hewan. Hewan ruminanisa merupakan kontributor uutama emisi metana sebesar dua per tiga emisi metana atau sekitar 6,8 Tg yr-
1 di Uni Eropa; Moss et al, 2000 karena proses pencernaan dimana karbohidrat dipecah oleh mikroorganisme and metan terlepas sebagai produk dari fermentasi enterik Stevens dan Hume, 1995.
Ternak non ruminansia juga memproduksi metana, namun tidak sebesar produksi metana dari ternak ruminansia karena keterbatasan terjadinya fermentasi enterik didalam lambung seperti sekum dan usus
besar Robinson et al, 1989; Sukahara dan Ushida, 2000. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan informasi secara berkala mengenai tingkat, status dan kecenderungan perubahan emisi
metana dari fermentasi enterik ternak di Kalimantan Selatan.
METODOLOGI
Inventarisasi GRK menggunakan IPCC Guidelince 2006 dan dilakukan dengan cara pengumpulan data aktivitas ternak sumber emisi GRK, serta penetapan faktor emisi. Untuk faktor
emisi yang tidak tersedia datanya maka penghitungan emisi menggunakan faktor emisi dari IPCC. Data aktivitas didapatkan dari data BPS.
Terdapat 3 tiga tingkat ketelitian “Tier” dalam metodologi inventarisasi untuk memperkirakan emisi gas rumah
kaca. Tingkatan ketelitian dari “Tier dibedakan mulai dari penggunaan persamaam yang sederhana hingga kompleks. Tingkat sederhana menggunakan data
default dari IPCC Guidelines 2006 hingga penggunaan data spesifik untuk sistem yang lebih kompleks.
Dalam inventarisasi metana dari fermentasi enterik ternak menggunakan Tier 1 karena belum adanya data spesifik di Kalimantan Selatan. Tier 1 dirancang untuk perhitungan yang sederhana,
dimana persamaan-persamaan dan nilai-nilai parameter default misalnya, faktor-faktor emisi dan perubahan simpanan karbon telah disediakan dan dapat digunakan, untuk Tier 1 seringkali ada
sumber data aktivitas yang tersedia secara global misalnya, laju deforestasi, statistik produksi pertanian, peta tutupan lahan global, pemakaian pupuk, data populasi ternak dan lain-lain, meskipun
biasanya data kasar KLH, 2012.
Perhitungan yang digunakan menggunakan pedoman IPCC 2006 untuk menghitung emisi GRK adalah dengan mengalikan data aktivitas dengan faktor emisi.
E = DA x FE 1
Dimana : DA : Data Aktivitas adalah besaran kuantitatif kegiatan atau aktivitas manusia yang dapat
melepaskan danatau menyerap GRK. FE : Faktor Emisi adalah besaran emisi GRK yang dilepaskan ke atmosfer per satuan aktivitas
tertentuKLH, 2012. Perhitungan emisi metana dari fermentasi enterik ternak di gunakan persamaan berikut :
2 Dimana :
Emissions = Emisi metana dari fermentasi enterik, Gg CH4 yr-1 EFT
= Faktor emisi untuk populasi jenis ternak tertentu, kg CH4 head-1 yr-1 NT
= Jumlah populasi jeniskategori ternak tertentu, Animal Unit T
= Jeniskategori ternak IPCC, 2006. Untuk faktor emisi yang di gunakan dalam rumus di atas menggunakan faktor emisi dari IPCC 2006
karena masuk katagori Tier 1.
Emissions=EFTNT 10
-6
196
Tabel 1.Faktor emisi ternak untuk menghitung fermentasi enterik dengan Tier 1
No. Jenis Hewan
Faktor Emisi kg CH4 ekorth
1 Sapi Perah
68 2
Sapi Potong 47
3 Kerbau
55 4
Kuda 18
5 Kambing
5 6
Babi 1
7 Domba
5 Sumber : KLH2012
Selain faktor emisi dan data aktivitas, untuk menghitung emisi metana dari fermentasi enterik ternak diperlukan nilai faktor koreksi. Berdasarkan Second National Communication SNC, ada nilai faktor
koreksi untuk ternak sapi potong, sapi perah dan kerbau secara berurutan yaitu 0,72; 0,75 an 0,72.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Untuk menghitung emisi dari fermentasi enterik ternak, maka data yang digunakan adalah data populasi ternak yang dapat diunduh melalui alamat elektonik Badan pusat Statistik. Data populasi
ternak disajikan dalam tabel 2 sebagai berikut
Tabel 2. Data Populasi Ternak Untuk Perhitungan Emisi dari Fermentasi Enterik di Kalimantan
Selatan 2000-2015.
Jenis ternak Populasi ternak Ekor
2000 2001 2002 2003 2004
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
sapi potong
143.416 146.763 153.147 166.469 173.648 182.639 193.920 202.037 210.633 218.065 228.545 138.691 152.495 115.235 141.446 150.875
sapi perah
59 64
74 79
70 102
133 135
124 96
112 110
209 156
232 220
kuda
1.046 911
835 810
770 730
752 737
624 365
289 221
188 99
105 105
kerbau
35.288 35.513 37.463 37.550 38.488 40.163 41.435 43.096 43.971 44.603 45.109 23.843 25.973 21.686 25.314 27.301
kambing
69.827 73.649 77.757 84.442 91.911 99.271 107.873 111.733 118.240 123.258 126.109 111.161 105.500 66.118 67.098 67.069
domba
3.748 3.602 3.642
3.611 3.419
3.427 3.474
3.462 3.494
3.581 3.820
3.692 3.755
2.393 2.282
3.054
babi
6.657 7.247 7.051
7.202 6.523
6.268 7.436
7.472 5.791
5.733 6.329
5.920 5.257
4.064 3.407
2.979
Sumber : BPS 2016
Pertumbuhan rata-rata populasi ternak di Kalimantan Selatan untuk sapi potong sebesar 1,56 , sapi perah sebesar 12,62 , kambing sebesar 0,55 . Untuk ternak kuda, kerbau, domba dan babi
mengalami rata rata penurunan populasi berurutan sebesar 12,71 , 0,34 , 0,42 dan 4,54. Peningkatan populasi ternak tumbuh mengikuti asumsi pertumbuhan rata rata populasi seperti untuk
ternak sapi yaitu 5 , ayam broiler dan petelur 3 , kerbau, domba, kambing, babi dan ayam kampung 2 , untuk kuda dan itik 1 .
Gambar 1. Emisi Fermentasi Enterik Ternak Besar
197
Untuk ternak besar, yaitu sapi perah, sapi potong, kerbau dan kuda dari Gambar 1, dapat dilihat bahwa ternak sapi potong sebagai penyumbang emisi dari fermentasi enterik terbesar sebsar 5,13 Gg
CH
4
th sedangkan sapi perah, kuda dan kerbau mengemisikan metana secara berurutan sebesar 0,01; 0,001; 1,09 Gg CH
4
th.
Gambar 2. Emisi Fermentasi Enterik Ternak Kecil Pada ternak kecil yang disajikan dalam Gambar 2, ternak kambing sebagai penyumbang emisi
metana dari fermentasi enterik terbesar. Jika dibandingkan dengan ternak besar maka ternak kecil menyumbangkan emisi metana lebih rendah. Jenis ternak kecil mengalami peningkatan emisi metana
dari fermentasi enterik mengikuti peningkatan populasi ternak tersebut. Emisi fermentasi enterik dari ternak kambing, domba dan babi secara berurutan sebesar 0,34; 0,02; 0,003 Gg CH
4
th. Peningkatan emsisi metana di proyeksikan dalam gambar 3. Proyeksi emisi metana dari sektor
peternakan tergantung pada peningkatan populasi ternak di Indonesia. Peningkatan emisi metana ini pada tahun 2030 di estimasikan akan menembus angka 1.732 tontahunPermana et al, 2012.
Gambar 3. Proyeksi emisi metana dari sektor peternakanPermana et al, 2012. Proyeksi emisi dari sektor pertanian ditunjukkan dalam gambar 4. Sampai tahun 2030,
proyeksi emisi gas metana dari lahan sawah mecapai 42000 Gg CO2 eq dengan BAU2Setyanto et al, 2009.
198
Gambar 4. Proyeksi emisi gas metan dari lahan sawah beserta aksi mitigasinyaSetyanto et al, 2009
Gambar 5. Persentase Ternak Penyumbang Emisi Fermentasi Enterik Dari gambar 5 diketahui bahwa emisi terbesar dari fermentasi enterik ternak di Kalimantan
Selatan ada pada ternak sapi potong yang menyumbang 78 diikuti kerbau sebesar 17 dan kambing sebesar 5. Sedangkan emisi terendah ada pada ternak sapi perah, kuda, domba dan babi sebesar 0
dari total emisi yang bersumber dari fermentasi enterik. Total emisi dari fermentasi enterik ternak di Kalimantan Selatan di tahun 2014 dan 2015 sebesar 6,2 dan 6,6 Gg CH
4
th.
KESIMPULAN
Emisi terbesar dari fermentasi enterik di Kalimantan Selatan ada pada ternak sapi potong yang menyumbang 78 total emisi metana, ternak kerbau menyumbang 17 emisi metana sedangkan
untuk ternak kecil adalah kambing yang menyumbang 5 emisi metana. Ternak sapi perah, kuda, domba dan babi menyumbang emisi metana dari fermentasi enterik yang paling rendah yaitu 0 dari
seluruh total emisi metana dari fermentasi enterik.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan di Laboratorium Gas Rumah Kaca Balai Penelitian Lingkungan Pertanian atas bantuannya dalam penyusunan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2016. Data Populasi Ternak 2000 – 2015. Di unduh di
www.bps.go.id tanggal 10 Juni 2016.
[IPCC] Intergovernmental Panel on Climate Change. 2006. IPCC Guidelines for National Greenhouse
Gas Inventories – A primer, Prepared by the National Greenhouse Gas Inventories
Programme, Eggleston H.S., Mwa K., Srivastava N. And Tanabe K. eds. IGES,Japan.
199
[KLH] Kementrian Lingkungan hidup. 2009. Summary for Policy Makers : Indonesia Second National Communication Under The United Nation Framework Convention on Climate Change
UNFCCC . Jakarta. November 2009.
[KLH] Kementrian Lingkungan Hidup. 2012. Pedoman Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional. Buku II Volume 3 Metodologi Perhitungan Tingkat Emisi Dan
Penyerapan Gas Rumah Kaca Kegiatan Pertanian, Kehutanan, Dan Penggunaan Lahan Lainnya. Kementrian Lingkungan Hidup Press.
Moss, A. R., J. P. Jouany, and J. Newbold. 2000. Methane production by ruminants: Its contribution to global warming. Ann. Zootech. 49:231-253.
Republik Indonesia, 2011. Peraturan Presiden Republik Indoneisa Nomor 71 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca. Lembaga Negara RI tahun 2011,
Jakarta : Sekertariat Kabinet Republik Indonesia. Robinson, J. A., W. J., Smolemski, M. L. Ogilvie, and J. P. Peters. 1989. In vitro total gas, CH4 , H2 ,
volatile fatty acids and lactate kinetics studies on luminal contents from small intestine, cecum and colon of pig. Appl. Environ. Microbiol. 55:2460- 2467.
Permana., Suryahadi., Boer. 2012. Inventory and Mitigation for Methane Emissions from Livestock in Indonesia. The 10
th
Workshop on GHG Inventories in Asia WGIA10. Vietnam.Juli 10- 12 2012.
Setyanto, P.,E. Surmain dan Boer dalam Kementrian Lingkungan hidup. 2009. Summary for Policy Makers : Indonesia Second National Communication Under The United Nation
Framework Convention on Climate Change UNFCCC. Jakarta. November 2009. Steven, C. E. and I. D. Hume. 1995. Comparative Physiology of the Vertebrate Digestive System.
Cambridge University Press, Cambridge. Sukahara, T. and K. Ushida. 2000. Effects of animal and plant protein on cecal fermentation in guinea
pigs Cavia porclellus, rats Rattus norvegicus and chicks Gallus gallus domesticus. Comp. Biochem. Physiol. A. Mol. Integr. Physiol. 127:139-146.
200
PENGKAJIAN KERAGAAN PRODUKTIVITAS INSEMINASI BUATAN IB SAPI POTONG DI KABUPATEN BANTUL
THE ASSESSMENT OF ARTIFICIAL INSEMINATION AI CATTLE PRODUCTIVITY IN THE BANTUL DISTRICT
Wiendarti I W, Sugiyanti, Anthony M, Sri Budhi L
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta
ABSTRAK
Sampai saat ini, Indonesia belum mampu mewujudkan swasembada daging, dan bahkan untuk mengurangi kesenjangan telah dilakukan kebijakan impor ternak hidup dan daging, demikian pula
program Gertak Birahi dan Inseminasi Buatan GBIB yang dicanangkan belum sepenuhnya diketahui mampu mencapai tujuan yang diharapkan. Pengkajian bertujuan untuk mengetahui keragaan
produktivitas IB sapi potong di tingkat lapangan dan mengetahui permasalahan ditingkat lapangan. Pengkajian dilakukan terhadap60 orang yang terdiri dari 15 orang inseminator, 5 orang petugas
kesehatan hewan dari poskeswan, 20 orang peternak dan 20 orang petugas peternakan lapangan dari Kabupaten Bantul. Pengkajian dilakukan dengan metode survei dan pengumpulan data dilakukan
dengan observasi lapang dan teknik wawancara menggunakan kuesioner berstruktur pada bulan Maret sampai dengan Agustus 2016. Data dan informasi yang terkumpul dianalisa secara deskriptif. Hasil
menunjukkan dalam program IB, serviceconception SC sapi PO maupun non PO mencapai 2, angka konsepsi AK 55. Straw jenis Siemmental paling disuka peternak 100 dibandingkan
jenis sapi PO, meskipun 57,1 peternak sangat setuju dengan upaya pelestariaan sapi PO. Sebagian besar 60 menyatakan kualitas straw semen beku bagus, dengan post thawing motility PTM
antara 40-45. Beberapa permasalahan yang banyak ditemukan antara lain kualitas pakan bagi sapi pedet lepas sapih kurang bagus, kondisi sapi induk yang kurus atau kurang nutrisi pakan, kemampuan
peternak melakukan deteksi birahi serta faktor layanan IB dari inseminator.
Kata kunci : IB, sapi potong, produktivitas
ABSTRACT
Indonesia has not been able to achieve beef self-sufficiency, the import policy of live animals and meat could not reduce the gap between supply and demand, moreover the estrus induction and artificial
insemination program has failed to achieve the desired objectives. The purpose of the assessment is to determine the performance of AI productivity of beef cattle and discover the AI program execution
problems.It was conducted on 60 people consisting of 15 inseminators, 5 animal health officers from animal health unit, 20 farmers and 20 field farm officials of Bantul area. It was executed by survey
and the field observation and interview techniques using a structured questionnaire as mean of data collection, in March to August 2016. The data and information collected were analyzed descriptively.
The results showed that in the AI program, service conception SC PO and non-PO cow reaches the number of 2, conception rates AK is 55. Siemmental straw is most preferred types of breeders
100 compared to PO type, although 57.1 of farmers strongly agree with the effort of PO cattle preservation. Most 60 stated that the quality of frozen semen straw is good, with a post-thawing
motility PTM between 40-45. Some of the problems which are found among others and the AI program are the poor quality of feed for weaning calves, the thin and malnutrition cows, the farmers
ability to estrus detection and AI service factors of inseminator.
Keywords: AI, beef cattle, productivity
201
PENDAHULUAN
Upaya swasembada sapi potong terkendala oleh beberapa faktor antara lain : rendahnya produktivitas dan reproduktivitas ternak, akibat gangguan reproduksi yang mempunyai kontribusi
yang cukup besar dalam meningkatkan penurunan populasi. Salah satu langkah yang telah diambil Pemerintah dalam upaya mempercepat pertumbuhan populasi dengan melakukan impor sapi indukan
Brahman Cross untuk didistribusikan pada kelompok ternak terpilih dan dipelihara secara konvensional. Meskipun hal ini menimbulkan kontroversi mengingat untuk keberhasilan kelompok
dalam memelihara sapi jenis ini tentunya masih memerlukan dukungan Pemerintah Daerah terutama untuk penyiapan lahan hijauan sebagai pasokan pakan agar dapat secara tersedia secara kontinyu.
Terdapat dua aspek dalam usaha ternak sapi potong, yaitu produksi bakalan untuk penggemukan dan produksi hasil penggemukan. Dalam produksi bakalan, teknik penguasaan
reproduksi sangat menentukan keberhasilan pembiakan sebagai sebuah usaha yang berkelanjutan, seperti pemahaman terhadap kesehatan organ reproduksi dan kemampuan deteksi birahi. Kurangnya
pemahaman dinamika dalam bidang reproduksi ini akan beresiko terhadap kegagalan Inseminasi Buatan IB. Disamping itu, keteraturan dalam pencatatan recording terhadap sumber semen beku
straw dan asal usul semen beku dapat beresiko terhadap terjadinya kawin sedarah in-breeding yang berdampak terhadap menurunnya keunggulan mutu genetik yang diwariskan pada anaknya. Hal ini
telah nampak pada ternak-ternak persilangan yang banyak dipelihara peternak dengan banyaknya kasus waktu birahi yang semakin panjang pada sapi-sapi persilangan Siemntal maupun Limousin.
Pemahaman mengenai manajemen kelahiran yang masih kurang berakibat pada rentannya imunitas anak sapi dan potensi kematian.
Prioritas pengembangan kawasan ternak sapi potong di kab Bantul, di diutamakan dalam meningkatkan produktivitas sapi potong melalui peningkatan laju reproduksi sapi induk dan
optimalisasi program inseminasi buatanIB termasuk melalaui program Gertak Birahi dan Inseminasi BuatanGBIB. Guna menunjang kebijakan agar mencapai kinerja secara optimal, perlu diketahui
keragaan kinerja yang telah dicapai di tingkat lapangan, permasalahan maupun potensi masalah beserta alternatis solusinya.
Tujuan pengkajian adalah : 1 Mendapatkan informasi keragaan produktivitas program IB hingga Agustus 2016, 2 mengetahui permasalahan lapangan tentang bidang reproduksi ditingkat
lapangan.
METODOLOGI
Pengkajian dilakukan di Kabupaten Bantulpada beberapa lokasi sentra sapi potong dengan metode survei. Pengumpulan data dilakukan dengan observasi lapang dan teknik wawancara
menggunakan kuesioner berstruktur terhadap60 orang yang terdiri dari 15 orang inseminator, 5 orang petugas kesehatan hewan dari poskeswan, 20 orang peternak dari 4 kelompok ternak dan 20 orang
petugas peternakan lapangan pada bulan Maret sampai dengan Agustus 2016.
Prosedur pengkajian, merupakan pengkajian deskriptif yang meliputi : 1 kergaan produktivitas IB sapi potong ditingkat kelompok, 2 merumuskan permasalahan dalam program IB di
lapangan 3 faktor-faktor potensial meningkatkan efisiensi program IB di kab Bantul. Data primer meliputi antara lain : service per conceptipn SC; angka kebuntingan AK; kualiatas semen dari
straw semen beku setelah thawing post thawing motility = PTM; fasilitas sarana IB; preferensi dan respon peternak terhadap program GBIB dan IB; sistim pelaporan dan permasalah eksternal dan
internal program IB. Data dan informasi yang diperoleh dianalisa dan diinterpretasikan secara deskriptif dan perhitungan nilai rata-rata bagi data yang bersifat parametrik.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kepemilikan ternak sapi
Sebanyak 20 orang peternak yang di wawancarai dalam survei mewakili 4 kelompok ternak terpilih di kabupaten Bantul, sebagian besar adalah petani yang telah berpengalaman antara 5
– 15 tahun tahun dalam memelihara ternak sapi secara tradisional. Kepemilikan sapi terbanyak antara 1- 5 ekor 80 ,
kepemilikan antara 6-10 ekor hanya 20 dan tidak ada yang memiliki lebih dari 10 ekor, atau rerata setiap peternak memiliki 3 ekor ternak sapi. Tabel 1. Rata-rata kepemilikan sebesar 3 ekor, karena
peternak pada umumnya adalah petani sayuran hortikultura bawang merah dan cabai merah sehingga sebagian besar waktunya digunakan untuk memelihara tanaman di sawah dan ternak sapi
202
hanyalah sebagai usaha sampingan. Selain itu peternak tidak sanggup menyediakan pakan berkualitas jika terlalu banyak ternak yang dipelihara.
Tabel 1. Kepemilikan ternak sapi oleh peternak sampai dengan Juni 2016
Jumlah kepemilikan sapi Responden orang
Persentase 1
– 5 ekor 16
80 6
– 10 ekor 4
20 10 ekor
- Jumlah
20 Sumber : Analisis data primer 2016
Berdasarkan jenis kelamin dan umur ternak yang dipelihara, sesuai dengan tujuan pemeliharaan adalah untuk mendapatkan bibit, maka sebanyak 54,3 adalah sapi betina yang telah
dewasa dan melahirkan anak dengan umur lebih dari 1,5 tahun, dan 25,7 sapi betina yang berumur antara 6 bln
– 1,5 tahun dan 20 pedet betina kurang dari 6 bulan. Pada umumnya induk dijual setelah beranak 5 kali 25 atau lebih dari 5 kali 25 dan
sebanyak 3 selama ternak masih dianggap subur sehingga terdapat ternak yang masih dipelihara untuk di IB meskipun telah 7 kali beranak. Sebanyak 12,5 peternak menjual induk setelah 3 kali
beranak. Disamping itu dari 20 orang responden, masih memiliki ternak sapi jantan 40 yang berumur lebih dari 1,5 tahun, berumur antara 6
– 1,5 tahun 20 dan pedet berumur 1-6 bulan 40. Tabel 2
Berdasar Tabel 2, terlihat responden masih cukup konsisten dengan tujuan budidaya untuk perbibitan dengan memelihara induk produktif yang lebih banyak. Biasanya kelompok menjual ternak
pedet betina nya pada umur 5 bulan. Sedangkan untuk sapi jantan sebagian besar 80 dijual pada saat telah berumur 8 bulan. Penjualan ternak yang dilakukan oleh peternak karena harga pasar yang
bagus 40, namun pada umumnya untuk memenuhi kebutuhan keluarga 60.
Tabel 2. Kepemilikan ternak betina dan jantan oleh 20 orang responden
Jenis Kelamin ternak Umur
Jumlah ekor Persentase
Betina 1,5 tahun
19 54,3
6 bln – 1,5 tahun
9 25,7
1 – 6 bulan
7 20
Sub total 25
Jantan 1,5 tahun
4 40
6 bln – 1,5 tahun
2 20
1 – 6 bulan
4 40
Sub total 10
Total 35
Sumber : Analisis data primer tahun 2016
Hasil wawancara untuk mengetahui program Gertak Birahi GBIB dan tanggapan peternak terhadap kegiatan tersebut, menunjukkan bahwa sebagian besar peternak 90 tidak memahami apa
yang dimaksud dengan Gertak Birahi, Tujuannya dan apa yang hendak dicapai dalam program tersebut. Meskipun sebagian besar terlibat dalam program GBIB, namun tingkat keberhasilannya
dinilai rendah.
203
Keragaan aspek reproduksi
Hasil wawancara terhadap 60 orang responden untuk mendapatkan informasi mengenai program IB, aspek reproduksi, serta kondisi ternak milik peternak, didapatkan hasil keragaan sebagaimana Tabel 3.
Tabel 3. Keragaan aspek reproduksi yang diketahui dan dikerjakan oleh peternak
Uraian Persentase
1 Mengetahui ternak sedang birahi
Ya 80
Tidak 20
2 Service per conception
1 – 2 kali
40
3 – 4 kali
30 4
– 5 kali 20
5 kali 10
3 Cara mengawinkan sapi
Alam 12,5
IB 87,5
4 Waktu dikawinkan lagi setelah beranak
2 bulan 20
3 bulan 30
4 bulan 30
5 bulan 5 bulan
20 5
Jarak melahirkan 12 bulan
18,1 13 bulan
27,3 14 bulan
27,3 15 bulan
15 bulan 27,3
6 Umur pedet di sapih dari induk
3 bulan 11,1
4 bulan 66,7
5 bulan 11,1
6 bulan 11,1
6 bulan 7
Gangguan reproduksi pada ternak Kemajiran : pernah
13,33 Tidak pernah
86,67 Hypofungsi Ovarium : pernah
21,67 Tidak pernah
78,33 Keguguran : pernah
6,67 Tidak pernah
93,23 Endometritis : pernah
13,33 Tidak pernah
86,67 Distokia : pernah
Tidak Pernah 100
Sumber : Analisis data primer tahun 2016
Pemahaman peternak terhadap aspek reproduksi ternak sapi sangat diperlukan untuk dapat mengenali dan mendeteksi ternak yang sedang birahi, serta perlu perhatian yang terus menerus
terhadap ternak yang sedang dipelihara agar dapat dicapai efisiensi reproduksi yang maksimal. Berkat pengalaman yang cukup lama dalam memelihara ternak sapi, sebanyak 80 responden menyatakan
telah memahami dan dapat mengenali kondisi ternak yang sedang birahi dengan menyebutkan lebih dari 5 tanda birahi pada induk sapi dan 20 diantaranya dinyatakan belum dapat mendeteksi dengan
baik dan hanya dapat menyebutkan 1 tanda birahi. Tabel 3. Hal ini dapat terjadi mengingat sebagian merupakan peternak yang baru dan belum banyak berpengalaman. Namun demikian hasil
wawancara dengan responden yang berasal dari inseminator dan petugas poskeswan, menyatakan bahwa meskipun peternak telah mengetahui, namun sering terlambat melaporkan kepada inseminator
dan tidak dapat menjelaskan waktu yang pasti, hal ini menurut sebagian responden 21,4 merupakan penyebab SC 3, disamping pengaruh kondisi induk.
204
Meskipun telah banyak yang mengikuti program IB 87,5, namun masih terdapat peternak 12,5 yang mengawinkan secara kawin alam,dengan alasan karena seringnya terjadi kegagalan IB dan pada
lokasi tersebut terdapat pejantan yang dianggap unggul sehingga ketepatan waktu kawin dapat lebih terjamin. Tingkat keberhasilan ternak untuk menjadi bunting pada lokasi pengkajian mencapai 55.
Kinerja program IB dalam GBIB dengan SC antara 1-2 dengan angka konsepsi mencapai 55, sudah dianggap bagus untuk kondisi peternak rakyat yang masih tradisional dalam pemeliharaan.
Namun demikian dengan periode anestrus post partum APP adalah 3 bulan maka diperoleh jarak beranak 12-13 bulan, sebagaimana Tabel 3, hal ini juga meningkatkan tingkat produktivitas ternak dan
seharusnya Angka Kebuntingan dapat ditingkatkan hingga mendekati 70 sehingga calf-crop sapi potong di wilayah binaan juga meningkat. Kondisi ini didukung pula oleh kebiasaan peternak yang
menyapih pedetnya pada umur 4 bulan.
Gangguan atau hambatan proses reproduksi pada sapi dapat menyebabkan terjadinya kegagalan menunjukkan gejala birahi, kegagalan menjadi bunting, kegagalan memelihara proses
kebuntingan dan kegagalan membesarkan anak. Hasil survei dan wawancara dengan peternak, menyatakan bahwa pada umumnya ternak dapat menunjukkan tanda birahi yang baik dan dapat
dikenali oleh peternak, hanya saja kasus yang terjadi adalah gagal bunting atau ternak menunjukkan tanda birahi lagi pada siklus berikutnya setelah dilakukan IB. Kemajiran atau gagal bunting
disampaikan oleh 13,4 responden, yang ditandai dengan sapi yang berulang kawin atau setelah 3-4 kali IB dan tidak menjadi bunting. Biasanya peternak menjual dan mengganti dengan induk yang
leibh sehat. Kondisi ini berdasar informasi dari petugas keswan, sering terjadi karena faktor pakan yang kurang mencukupi dan berkualitas yang berdampak pada terjadinya ketidak seimbangan
hormonal atau dapat pula disebabkan oleh faktor keturunan. Kegagalan reproduksi sebagian besar dipengaruhi oleh faktor lingkungan terutama masalah manajemen dan pemberian pakan yang buruk
serta peranan dokter hewan dalam menanggulangi penyakir reproduksiToelihere, 1983. Sebagian besar responden 86,67 menyatakan sapinya tidak pernah majir, namun masih ditemui gangguan
dalam proses memelihara kebuntingan atau keguguran sebanyak 6,67. Keguguran dapat terjadi karena adanya infeksi, diantaranya oleh kuman Brucella. Infeksi kuman penyakit yang menyebabkan
kasus endometritis disampaikan oleh 13,3 responden. Kasus yang cukup banyak ditemukan di lapangan adalah hypofungsi ovarium 21,67. Hal ini ditunjang penjelasan oleh para petugas medis
poskeswan yang menyatakan kasus hypofungsi ovarium merupakan masalah berat di wiayah kerja mereka. Tidak berfungsinya ovarium yang memprodukksi sel telur menyebabkan proses reproduksi
tidak dapat berlangsung. Pada umumnya terjadi karena kekurangan nutrisi atau kurang asupan pakan berkualitas dan sebagian karena kongenital. Melalui pemeriksaan per rektal dan pengobatan
menggunakan hormonal serta pemberian pakan berkualitas, masih dapat dipertimbangkan untuk memperbaiki kondisi hypofungsi ovarium. Sebagaimana hasil penelitian yang dilakukukan oleh
Wiendarti IW dan Erna W, 2010. beberapa kasus hypofungsi ovarium yang ditemukan dilapangan dan dalam peneriksaan per rektal masih dapat diperbaiki, dapat dipulihkan dengan pemberian hormon
ginadotropin. Faktor-faktor yang berpengaruh dalam optimalisasi pelayanan IB
Bagi keberhasilan perkawinan atau inseminasi buatan, semen harus diproduksi dalam jumlah dan kualitas yang baik, demikian pula dalam penanganan pada saat aplikasi atau melakukan IB di
lapangan. Prosedur pemakaian yang benar dan tepat sesuai persyaratan dengan induk yang sehat dan deteksi birahi yang tepat sehingga IB dapat dilakukan pada waktu yang tepat dan berhasil. Supriatna,
1992 Survei dan hasil wawancara yang dilakukan kepada responden untuk mengetahui keragaan kualitas
semen pada saat melakukan penyimpanan dan handling di tingkat inseminator atau peternak. Sesuai hasil survei dan wawancara yang dilakukan kepada responden, terklarifikasi beberapa hambatan atau
masalah dalam upaya optimalisasi program IB sapi potong yang dibagi dalam faktor internal dan faktor eksternal.
205
Tabel 4. Faktor-faktor eksternal yang berpengaruh terhadap permasalahan IB
Uraian Bermasalah
Ya Tidak
mb ms
mr tm
Kondisi sapi induk skor kondisi tubuh 25
50 25
- Kualitas pakan lepas sapih
3,33 53,33
13,33 30
Performance sapi hasil IB -
20 28,33
51,67 Kondisi gangguan reproduksi karena genetik
- 50
50 -
Kasus hypofungsi ovarium di wilayah kerja saudara 80
20 -
- Kasus kegagalan IB di wilayah kerja saudara
30 45
20 5
Ketrampilan peternak mendeteksi sapi birahi -
25 60
15 Ketersediaan kartu IB recording IB, PKB
20 65
15 Catatan : mb : masalah berat; ms : masalah sedang; mr : masalah ringan dan tm: tidak
bermasalah
Hasil survei dan pengamatan terhadap performance sapi hasil IB menurut peternak dan petugas lapangan, pada umumnya berat badan normal, dan melihat harga pasar dan ternak jantan lebih
mahal daripada betina. Harga jual pada umur 8 – 12 bulan dibandingkan dengan umur 4 – 5 bulan
secara ekonomis tidak terdapat kenaikan yang berarti, sehingga peternak lebih menyukai untuk menjual ternak pada umur 5 bulan.
Permasalahan nyata dari faktor peternak yang berat menekan program IB adalah kualitas pakan lepas sapih yang diberikan oleh peternak terhadap sapi hasil IB setelah tidak memperoleh air
susu dari induk, sebagian besar bermasalah tingkat sedang 53,33 dan sebanyak 13,33 bermasalah tingkat berat. Meskipum sebanyak 30 menyatakan tidak menjadi masalah terhadap kualitas pakan
bagi pedet hasil IB lepas sapih. Tabel 4. Menunjukkan bahwa sebanyak 50 responden menyatakan kondisi sapi induk skor kondisi tubuh yang dipelihara peternak bermasalah tingkat sedang dan 25
mengklasifikasi dalam masalah ringan dan berat. Skor kondisi tubuh induk sapi potong induk dikategorikan sedang. Hasil wawancara yang dilakukan terhadap petugas poskeswan dan inseminator,
pada umumnya peternak kurang memperhatikan mengenai kebutuhan pakan hijauan dan kualitasnya sebagai contoh hanya diberi jerami padi, banyaknya gangguan reproduksi dan peternak senang
melakukan IB dengan semen sapi jenis lain limosin atau siemental. Perlu dilakukan solusi dengan teknologi pakan dan pemberian pakan berkualitas seperti hijauan, konsentrat, IB dengan semen sapi
sejenis. Kondisi tubuh induk berpengaruh terhadap angka kebuntingan AK, semakin rendah skor kondisi tubuh maka semakin rendah peluang untuk mencapai SC=1.
Kesehatan reproduksi sangat mutlak diperlukan bagi berhasilnya program IB bagi ternak sapi. Gangguan reproduksi yang berakibat pada kegagalan reproduksi, dapat diklasifikasikan menjadi tiga
hal yaitu kegagalan karena faktor pengelolaan, faktor ternaknya, dan faktor lain dari penanganan proses reproduksi. Gangguan fungsional reproduksi yang banyak dijumpai dan merupakan masalah
berat adalah pada kasus hypofungsi ovarium 80 yang sebagian adalah karena faktor genetik yang masuk dalam katagorie bermasalah ringan 50 dan sedang 50. Sementara kasus kegagalan IB
sebagan besar mengklasifikasikan dalam masalah sedang 45, dengan tingkat keberhasilan IB untuk sapi jenis PO dapat mencapai 60 dan 50 untuk jenis sapi non PO. Memperhatikan
ketrampilan peternak dalam mendeteksi birahi, sebagaian besar 60 menganggap masalah ringan dan hanya 25 yang memasukkan dalam klasifikasi masalah sedang, bahkan sebanyak 15
menyatakan tidak bermasalah, maka kemampuan peternak ini bukanlah penyebab dominan terhadap kegagalan IB. Menurut hasil wawancara, gangguan reproduksi dan pakan yang kurang berkualiatas
merupakan penyebab utama tinggnya kegagalan IB, disamping peternak tidak melaporkan kasus reproduksi ke puskeswan. Laporan dan pencatatan segala kejadian dan kegiatan dalam proses
reproduksi sangat penting untuk keberhasilan program IB. Masalah layanan termasuk didalamnya ketersediaan kartu IB pencatatan individu sapi farm recording yang di IB dan hasil IB
diklasifikasikan dalam masalah ringan 65 dan sudah bukan merupakan masalah sebanyak 15. Pada umumnya peternak sudah memahami pentingnya pencatatan bagi individu ternaknya dan telah
menjadi bagian dari organisasikelembagaan kelompok. Menggunakan kartu recording reproduksi tersebut setiap petugas baik inseminator, poskeswan dan instansi manapun dapat mengetahui setiap
proses yang sudah berlangsung. Pencatatan sangat diperlukan untuk menentukan maju mundurnya program IB pada individu betina, kelompok ternak betina dalam suatu daerah yang dapat digunakan
untuk antara lain 1 menilai ketrampilan inseminator 2 menilai kesanggupan peternak dalam mendeteksi birahi 3. Menentukan sebab-sebab kegagalan, 4 memberi data untuk penilaian hasil IB
206
dan efisiensi reproduksi, 5 Memperkirakan waktu kelahiran dan 6 informasi tentang identitas induk dan ayah dari anak yang dilahirkan. Toelihere, WR, 1992
Permasalahan internal pelayanan IB sapi potong yang ditangani oleh inseminator dapat diperhatikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Faktor-faktor internal optimalisasi pelayanan IB
Uraian Bermasalah
Ya Tidak
mb ms
mr tm
Ketersediaan kontainer di inseminator 100
Ketersediaan N2 cair 100
Kelengkapan fasilitas untuk inseminasi 100
Ketersediaan straw semen beku di lapangan 100
Kualitas straw semen beku di lapangan 100
Kualitas Post Thawing Motility PTM -
40 -
60 Ketrampilan inseminator
- -
40 60
Catatan : mb = masalah berat; ms = masalah sedang; mr = masalah ringan; tm: tidak bermasalah.
Tabel 5 menunjukkan, faktor ketersediaan kontainer, N2 cair, kelengkapan fasilitas inseminator, ketersediaan straw smen beku dan kualitasnya bukan merupakan masalah dalam
optimnalisasi program IB sapi potong, seluruhnya 1005 tidak bermasalah namun hasil wawancara kepada peternak, sering dijumpai inseminator yang tidak menggunakan fasilitas kontainer berisi N2
cair pada saat ke lapangan dan cenderung hanya menggunakan fasilitas seadanya pada saat akan melakukan IB. Jika diperhatikan pada kualitas post thawing motility PTM, meskipun 60
menyatakan tidak bermasalah, namu 40 menyatakan PTM merupakan masalah sedang. Hasil klarifikasi kepada petugas poskeswan terhadap data lapangan tersebut, menyatakan bahwa diduga
faktor-faktor penyebabnya adalah : 1 suhu dalam termos yang digunakan untuk ke lapangan kurang sesuai atau bahkan suhu dalam kontainer yang digunakan untuk menyimpan straw semen beku dalam
waktu lama sudah tidak ideal lagi pada suhu minus 176
o
C yang disebabkan karena kurangnya Nitrogen dalam kontainer, atau terjadi kebocoran pads kontainer; 2 terjadi cold shock pada saat
pemindahan straw semen beku dari kontainer ke termos atau ke kontainer lainnya serta dalam perjalanan menuju lokasi kandang, yang dapat menurunkan motilitas sperma. 3 petugas IB
menjalankan proses IB tidak sesuai prosedur pada saat melakukan thawing.Untuk mempertahankan kehidupan spermatozoa, maka semen beku harus selalu disimpan dalam container berisi nitrogen cair
yang bersuhu -196oC dan terus dipertahankan pada suhu tersebut sampai waktu digunakan. Demi menjamin fertilitas yang tinggi, harus dipastikan pencairan kembali semen beku thawing, apapun
caranya harus memperhatikan prinsip kurva peningkatan suhu semen harus meningkat secara konstan sampai waktu Inseminasi. Toelihere, M. 1992.
Memperhatikan performance sapi hasil IB dan harga jual sapi, pada umunya peternak lebih menyukai straw semen beku dari sapi jenis Limosin, 100 peternak mengkalasifikasi kesukaan pada
jenis sapi Limosin dengan melihat haga jual sapi hasil IB jenis Limosin, meskipun seluruhnya 100 sangat setuju terhadap upaya pelestraian dengan memelihara sapi jenis PO. Sapi jenis PO bagi
peternak tradisional akan lebih mudah dalam pemeliharaannya karena pemberian pakan lebih mudah dan biasanya SC = 1-2.
KESIMPULAN
1. Produktivitas IB di Kab Bantul didukung oleh aspek ketrampilan peternak dalam mengenail gejala birahi, pencapaian SC antara 1-2 dan Angka Konsepsi 55 serta jarak beranak antara
12-13 bulan. 2. Gangguan reproduksi akibat kekurangan pakan berkualitas masih menjadi masalah yang berat
seperti hypofungsi ovarium. Sedangkan kegagalan menjadi bunting, kegagalan memelihara kebuntingankeguguran relatif sedikit dan hanya bersifat individual.
Permasalahan atau faktor eksternal dan internal pada upaya peningkatan kinerja IB adalah : 1. Kondisi sapi induk skor kondisi tubuh yang kurus.
2. Kualitas pakan atau ransum bagi sapi hasil IB lepas sapih yang rendah
207
3. Performance sapi hasil IB yang tidak seragam 4. Kualitas pakan penguat dan hijauan yang kurang memenuhi kebutuhan nutrisi
5. Beberapa inseminator tidak menerapkan SOP secara utuh dan benar dalam menjalankan tugas dan
fungsinya. 6. Kewajiban untuk melaporkan kasus-kasus reproduksi bagi peternak yang belum dilaksanakan
dengan penuh.
DAFTAR PUSTAKA
Ditjenakkeswan, 2010. Tiga Tahun Perbibitan. Kinerja Direktorat Perbibitan tahun 2008-2010. Direktorat Jendral peternakan dan Kesehatan Hewan.
Putro, P. P. 2008. Dinamika Folikel Ovulasi dan Korpus Luteum setelah Sinkronisasi Estrus pada Sapi Perah Peranakan Friesian Holstein. Disertasi Doktor, Program Pascasarjana
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Puslitbangnak, 2011. Petunjuk Pelaksanaan LL dan SL.PPSP. Puslitbangnak. Badan Litbang
Pertanian. Jakarta. Partodihardjo, S. 1992. Ilmu Reproduksi Hewan. Cetakan ketiga. Fakultas Kedokteran Veteriner,
Jurusan Reproduksi Institut Pertanian Bogor. Mutiara Sumber Widya, Jakarta Pusat. Salisbury, G.W. dan H.L. Van Denmark. 1985. Fisiologi Reproduksi dan Inseminasi Buatan pada
sapi, Penerjemah Prof Drs R Djanuar. Gadjah Mada University Press Yogyakarta. Supriatna, I dan Pasaribu, F. 1992. In Vitrro Fertilisasi, Transfer Embrio dan pembekuan Embrio.
Pusat Antar Universitas. Bioteknologi. IPB. Tiesnamurti, b., p. Situmorang dan y. Anggreni. 2010. Petunjuk pelaksanaan kegiatan
pengkajian sapi kembar dari aspek pemuliaan, nutrisi dan reproduksi. Puslitbang peternakan. Bogor.
Toelihere, M.R, et all. 1981. Laporan Pilot Proyek Penanggulangan Penyakit Reproduksi pada Ternak di Indonesia. Bogor.
Toelihere, m.r. 1985. Inseminasi buatan pada ternak. Penerbit angkasa Bandung. Toelihere, m.r. 1985. Fisiologi reproduksi pada ternak. Penerbit angkasa Bandung .
Wiendarti, iw dan erna w. 2010. Upaya memperoleh kelahiran kembar melalui superovulasi. Prosiding seminar nasional bptp ungaran jawa tengah.
208
PEMANFAATAN MEDIA INFORMASI OLEH PETANI DI PEDESAAN MENUJU PETANI YANG MODERN DAN BERWAWASAN BISNIS
THE USE OF INFORMATION MEDIA FOR FARMERS IN RURAL TO MODERN AND BUSINESS INSIGHTFUL FARMERS
1
Nia Rachmawati dan
2
Hamdan
1
PUSTAKA Jl. Ir. H. Juanda No. 20, Bogor 16122
2
BPTP Bengkulu, Jl. Irian Km. 6,5 Kelurahan Semarang, Indonesia e-mail:niarachmawati_sinayahoo.com
ABSTRAK
Kebutuhan akan informasi yang cepat, andal, dan akurat dalam kondisi lingkungan yang penuh ketidakpastian mutlak diperlukan oleh setiap orang termasuk petani. Informasi ini termasuk inovasi
teknologi pertanian yang dihasilkan oleh Balitbangtan namun masih sedikit yang sampai dan diadopsi oleh pengguna. Inovasi ini disajikan melalui berbagai media dengan tujuan untuk mudah diakses oleh
petani dan diterapkan pada usahatani yang sedang dijalankan sehingga dapat menjadi petani yang modern dan berwawasan bisnis. Informasi yang berupa inovasi teknologi ini dapat diakses petani
melalui media yang beragam baik tercetak, elektronik, maupun melalui hubungan interpersonal. Kajian ini bertujuan untuk mengetahui pemanfaatan media informasi dan aksesibilitas petani di
pedesaan karena masih dipandang minim dan ketersediaan media yang juga terbatas. Kajian dilakukan melalui review terhadap data-data empiris yang didukung oleh beberapa hasil kajian yang relevan.
Adapun jenis informasi paling banyak tersedia 56,24 terkait teknologi produksi, sumber informasi paling banyak 90 melalui penyuluhan, dan media untuk akses informasi paling banyak digunakan
95 adalah telepon genggam HP. Berdasarkan fenomena yang ada, perlu upaya untuk menyediakan informasi melalui media yang mudah diakses dan sesuai dengan kebutuhan serta kondisi
petani di pedesaan agar dapat dimanfaatkan secara optimal.
Kata kunci: media informasi, petani di pedesaan, inovasi teknologi
ABSTRACT
The need for rapid information, reliable, and accurate in environmental conditions of uncertainty absolutely necessary by anyone including farmers. This information including technological
innovation agriculture produced by IAARD Indonesian Agency for Agricultural Research and Development but still less until and adopted by users. This innovation served through some media for
the purpose of accessible farmers and applied to the cultivation of being executed so that it can be a farmer modern and insightful business. Information of technology innovation can be accessed farmers
through the diverse printed media, electronic, as well as through interpersonal relations. This study seeks to find out the uses of information media and accessibility of farmers in rural areas to be viewed
minimal and the availability of media restricted. The study was done through a review on empirical data supported by some studies relevant. As for types of information most widely available 56.24
related technology production, a source of information the most 90 through extension activities, and media to access to information the most used 95 are mobile phone. Based on that
phenomenon, efforts need to be made to provide information through a media that easy to access and in accordance with their needs and the farmers in rural areas that can be used optimally .
Keywords: information media, farmers in rural areas, technology innovations
PENDAHULUAN
Kebutuhan akan informasi yang cepat, andal, dan akurat dalam kondisi lingkungan yang penuh dengan ketidakpastian mutlak diperlukan Rahmawati 2008. Seiring dengan perkembangan
Iptek bidang pertanian, maka penyajian informasi pun muncul dalam berbagai media, baik media tercetak maupun elektronik. Kedua media ini sangat potensial bagi petani di pedesaan ataupun
perkotaan sebagai sumber untuk memperoleh informasi pertanian, namun ketersediaannya tersebut belum dapat menjamin informasi digunakan secara optimal oleh petani. Informasi tidak akan dapat
dimanfaatkan dengan mudah apabila tidak dihimpun, diolah, dan disajikan dengan baik sesuai dengan harapan dan keinginan pengguna.
209
Informasi yang sampai ke petani dapat berasal dari berbagai sumber melalui berbagai cara yaitu secara langsung atau melalui suatu media. Sampai saat ini media massa dianggap sebagai salah
satu alat dalam mengarahkan pembangunan, sementara di sisi lain petani adalah sebagai pelaku utama pembangunan, sehingga sudah seharusnya media massa berperan besar bagi petani. Media massa
sangat berperan dalam penyebaran informasi dalam hal ini penyebaran informasi yang terkait inovasi teknologi pertanian. Pada hakekatnya penyebaran informasi ini merupakan suatu proses distribusi atau
pengiriman informasi tertentu kepada pengguna dari sumber infomasi baik lembaga maupun perorangan Prytherch 1990. Secara sederhana dapat diartikan sebagai transfer informasi antara
pencipta informasi dengan pengguna informasi Rubin 1998.
Lembaga penelitian seperti Balitbangtan maupun perguruan tinggi ataupun lembaga lain penghasil inovasi adalah sebagai sebagai sumber informasi telah banyak menghasilkan inovasi.
Inovasi ini diwujudkan dalam bentuk informasi untuk dapat dimanfaatkan oleh khalayak luas. Namun informasi tersebut belum mencapai sasaran utama yaitu petani Mulyandari dan Ananto 2005. Untuk
mempercepat penyampaian informasi teknologi pertanian dapat dilakukan dengan mengubah paradigma diseminasi dari yang bersifat konvensional kepada yang lebih maju dan cepat dengan
memanfaatkan berbagai saluran atau media.
Banyak informasi yang dapat dimanfaatkan petani, diantaranya informasi yang menyajikan inovasi-inovasi teknologi hasil penelitian dari Badan Litbang Pertanian mulai dari varietas, budidaya
sampai pasca panen. Inovasi teknologi yang dihasilkan ini harus dapat merespon permintaan pasar sehingga nilai tambah yang dihasilkan dari aktivitas yang ada mampu memberikan kesejahteraan bagi
para pelaku yang terlibat didalamnya Saragih 2004.
Akses pasar dan penguasaan informasi di sektor pertanian menurut Apriantono 2006 masih lemah. Beberapa masalah informasi yang dihadapi pertanian adalah informasi teknologi masih
terbatas, informasi stok kebutuhan komoditas belum terbangun, pemanfaatan teknologi informasi belum menyentuh petani, minat petani mencari informasi lemah, dan penggunaan informasi pertanian
belum meluas.
Petani yang mayoritas tinggal di pedesaaan memiliki aksesibilitas yang terbatas terhadap informasi dan ini merupakan salah satu masalah yang dihadapi sektor pertanian. Petani memiliki
penguasaan dan akses teknologi pertanian yang masih lemah. Hal ini menjadi latar belakang untuk mengetengahkan kajian yang terkait dengan aksesibilitas informasi di tingkat petani di pedesaan untuk
mewujudkan petani yang modern dan berwawasan bisnis sehingga untuk ke depannya dapat meningkatkan kesejahteraan. Tujuan yang ingin dicapai dengan mengkaji hal ini adalah untuk
mengetahui pemanfaatan media informasi dan aksesibilitas petani di pedesaan terhadap sumber informasi karena dipandang minim dalam mengakses informasi dan media yang tersedia juga terbatas.
Selanjutnya lebih jauh diharapkan adanya akses informasi yang lebih mudah bagi petani dan diperolehnya pendekatan yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi petani di pedesaan.
METODE
Kajian pemanfaatan media informasi oleh petani di pedesaan menuju petani yang modern dan berwawasan bisnis ini dilakukan melalui review terhadap data-data empiris yang didukung oleh
beberapa hasil kajian yang relevan. Penulis mencoba untuk mengkaitkan kerangka teoritis dan data- data empiris yang ada berdasarkan pada berbagai hasil penelitian ataupun kajian yang relevan dan
telah dilakukan sebelumnya. Analisis diperkaya dengan pembahasan yang bersumber dari pengetahuan dan pemahaman penulis.
HASIL DAN PEMBAHASAN Inovasi Teknologi Pertanian Badan Litbang Pertanian dan Ragam Media yang Dapat Diakses
Inovasi teknologi hasil penelitian Badan Litbang Pertanian terus bertambah dan berkembang pada berbagai aspek mulai hulu sampai hilir. Secara ringkas beberapa inovasi teknologi yang telah
dihasilkan dapat disajikan pada Tabel 1.
210
Tabel 1. Teknologi inovatif Badan Litbang Pertanian untuk diaplikasi dan diadopsi petani
No. Jenis Informasi
Jumlah Informasi yang Tersedia buah 1
Informasi dasar lahan, iklim, model aliran permukaan daerah aliran sungai, dan lain-
lain hal terkait 12
2 Input Produksi
a. Tanaman Pangan b. Tanaman Hortikultura
c. Tanaman Perkebunan d. Peternakan
e. Pupuk dan Pengendali Hayati f. Perangkat uji, alat, dan mesin pertanian
g. Pengembangan produk pertanian h. Bioenergi dan lingkungan
95 90
71 38
71 66
50
7 Sumber: data primer dari 500 teknologi inovatif pertanian Balitbangtan diolah 2015
Berdasarkan tabel 1 informasi yang paling banyak tersedia adalah terkait dengan komoditas tanaman pangan, meliputi berbagai varietas padi untuk berbagai agroekosistem, palawija, gandum, dan
sorgum. Beberapa informasi tersebut dapat diakses oleh petani melalui media tercetak maupun melalui media internet.
Inovasi berada dalam suatu sistem yang terkait satu sama lain Sasmojo 2004. Inovasi yang berkembang dan diadopsi di tingkat petani merupakan satu kesatuan sistem yang utuh bukan hanya
sebatas menjalankan usahatani tetapi juga sudah memperhatikan unsur lainnya, seperti aspek pemasaran, akses terhadap informasi teknologi dan lembaga keuangan atau lembaga risetperguruan
tinggi sebagai sumber inovasi. Sistem inovasi dalam hal ini dibangun oleh struktur ilmu pengetahuan, riset, dan teknologi. Dalam suatu sistem inovasi terdapat suatu struktur yang berkaitan satu sama
lainnya. Sistem usahatani yang dijalankan petani memiliki keterkaitan erat dengan pihak lain juga seperti swasta yang menyerap produk pertanian dan penyediaan sarana produksi juga lembaga
risetperguruan tinggi yang dapat dijadikan sebagai sumber inovasi yang dapat diakses oleh petani. Model sistem inovasi dapat disajikan secara sederhana pada Bagan 1.
Bagan 1. Model sistem inovasi pertanian saat ini sumber: Sasmojo 2004
Berbagai inovasi teknologi yang telah dihasilkan diharapkan dapat diadopsi untuk diimplementasikan oleh petani pada usahatani yang sedang dijalankannya. Adopsi inovasi teknologi
digambarkan sebagai tiga tahap rangkaian,meliputi inisiatif, adopsi, dan implementasi Thong 1999 dalam Rahab 2009. Selanjutnya Rahab 2009 menjelaskan bahwa tahap inisiatif berkaitan dengan
pengumpulan dan evaluasi mengenai inovasi teknologi. Tahap adopsi melibatkan pembuatan keputusan tentang adopsi inovasi teknologi. Selanjutnya tahap implementasi melibatkan implementasi
inovasi teknologi di tingkat petani.
Permintaan kualitas produk
pertanian usahatani
Adopsi Iptek
Konsepsi Iptek
Pembiayaan riset
211
Potret Petani Saat Ini
Sektor pertanian di Indonesia merupakan mesin pertumbuhan yang berperan besar bagi pembangunan desa dalam bentuk penciptaan nilai tambah bagi masyarakat di pedesaan. Pendapatan
dari usahatani yang diterima masyarakat desa adalah wujud nyata nilai tambah yang diperoleh dari sektor pertanian Saragih 2004. Sebagai negara agraris Indonesia dikenal sebagai negara dengan
jumlah petani yang banyak, namun ironisnya sebagai petani kecil yang hidup di bawah garis kemiskinan dengan sekitar 19 juta diantaranya tinggal di pedesaan. Petani ini memiliki segala
keterbatasan terutama dalam penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya teknologi pertanian Arifin 2012.
Setiap petani pada hakekatnya menjalankan sebuah pertanian di atas usahataninya dengan tujuan ekonomis Mosher 1978. Kegiatan usahatani yang dimaksud adalah mengusahakan input
produksi untuk menghasilkan suatu produk dengan menggunakan sumberdaya hayati yang ada. Sejalan dengan perkembangan zaman input produksi ini didalamnya juga termasuk akses terhadap
informasi. Keterampilan dan pengetahuan yang dimiliki petani akan berpengaruh terhadap pengelolaan usahatani yang dilakukan terutama pada penggunaan teknologi guna meningkatkan
produktivitas dan kualitas produk pertanian Heryanto dan Supyandi 2012.
Teknologi yang digunakan adalah teknologi usatahani yang diartikan bagaimana cara melakukan pekerjaan usahatani Mosher 1978. Dengan struktur pertanian saat ini cukup sulit untuk
dilakukan perbaikan menuju peningkatan kesejahteraan petani melalui usahatani yang dijalankan. Namun berbagai upaya terus dilakukan untuk perbaikan kesejahteraan petani dengan diawali aktivitas
untuk perbaikan produktivitas. Peningkatan produktivitas akan dapat terwujud melalui inovasi teknologi, yaitu temuan baru yang mampu menggandakan nilai produk secara besar.
Kontribusi sektor pertanian yang besar ternyata berbanding terbalik dengan kondisi nyata petani umunya di Indonesia hingga saat ini. Data menunjukkan bahwa kelompok masyarakat yang
bekerja sebagai petani merupakan kelompok terbanyak yang termasuk ke dalam golongan masyarakat miskin. Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan September tahun 2011 tercatat sebanyak
29,98 juta orang yang terdiri dari 10,94 juta orang adalah masyarakat miskin kota, 2,7 juta orang miskin desa non petani dan 16,25 juta orang adalah miskin desa bekerja sebagai petani yang berarti
sebanyak 54,37 masyarakat miskin di Indonesia adalah bekerja sebagai petani BPS 2012. Umumnya menjalan usahatani secara subsisten hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari tanpa
memperhitungkan produktivitas tanaman. Sejalan dengan pendapat Mubyarto 1991 bahwa sistem pertanian subsisten memiliki tujuan utama hanya untuk memenuhi keperluan hidup petani dan
keluarganya. Kondisi subsisten saat ini salah satunya sapat dicirikan dengan minimnya akses informasi pertanian bagi petani.
Aksesibilitas Petani Terhadap Sumber dan Media Informasi
Dalam era informasi saat ini, petani dapat mengakses informasi melalui berbagai sumber informasi baik lembaga maupun perorangan dan melalui berbagai media baik tercetak, seperti buku,
majalah, leaflet, koran maupun buku saku. Berbagai media elektronik yang dapat diakses, seperti televisi, radio, internet maupun telepon genggam. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya petani
umumnya masih menghadapi keterbatasan sarana akses informasi online Tologbonse et al. 2008. Keterbatasan ini menjadi bahan pertimbangan untuk lembaga atau sumber-sumber informasi untuk
menyebarluaskan informasi terkait dengan inovasi teknologi pertanian. Media online ini untuk ke depannya akan diperlukan karena seiring dengan tuntutan zaman yang mengikuti perkembangan
informasi yang dinamis. Media tercetak dipilih petani dengan beberapa alasan, diantaranya dapat dibaca pada saat ada waktu atau disimpan dan dibaca ulang kembali apabila diperlukan, hal ini sejalan
dengan pendapat Mulya 2010 yang mengemukakan kelebihan media tercetak adalah dapat dibaca ulang, memudahkan pengguna mencerna informasi, dan dapat disimpan. Kenyataannya masih sedikit
media tercetak dari lembaga penelitianpengkajian yang tersedia atau dapat diakses dengan mudah dan lengkap serta pada waktu yang tepat diperlukan. Masing-masing media tersebut memiliki keunggulan
dan kelemahannya. Petani dapat memilih media yang dianggap efektif untuk mendukung usahatani yang sedang dijalankan.
Dewasa ini media informasi sangatlah beragam, namun media yang sangat berperan dalam pembangunan termasuk pembangunan di sektor pertanian adalah media massa. Media massa sendiri
ialah suatu jenis komunikasi yang ditujukan kepada sejumlah khalayak yang tersebar, heterogen, dan anonim melewati media tercetak atau elektronik, sehingga pesan informasi yang sama dapat diterima
212
secara serentak atau bersamaan dan sesaat. Media massa terdiri dari buku, majalah, koran, film secara prinsip pada film komersil, rekaman suara sound recordings, radio, dan televisi DeFleur
McQuail 1985. Bentuk-bentuk media massa tersebut menurut Dominick 2005 merupakan media massa tradisional. Disebut demikian karena munculnya bentuk baru media massa yang dikenal dengan
Internet Dominick2005. Internet ini terus menyediakan informasi terbaru yang berisi inovasi teknologi yang terus diperbaharui.
Hasil penelitian Andriyati dan Setyorini 2011 mengemukakan bahwa sumber informasi teknologi pertanian yang diakses petani dan tersedia di Kabupaten Magelang, Banjarnegara, Pacitan,
dan Malang dalam bentuk media tercetak, siaran radio, dan televisi masih sangat terbatas. Dengan adanya keterbatasan ini, maka perlu adanya upaya lain agar terpenuhi kebutuhan petani akan
informasi.
Informasi pertanian bagi pelaku pertanian Indonesia merupakan input yang seringkali terabaikan. Jenis informasi yang dibutuhkan petani secara umum, meliputi informasi teknis, finansial,
hukum, internasional, dan lingkungan. Petani sebagai manajer memerlukan informasi khusus yang dapat membantu manajemen usahatani, petani membutuhkan belajar darimana mendapatkan,
bagaimana menyimpan, dan merespon serta menggunakannya. Fahmi dan Fauzan 2001 menggolongkan informasi sektor pertanian menjadi dua kelompok, yaitu 1 informasi teknis, yaitu
informasi teknis menyangkut cara bercocok tanam, sejak analisis kondisi lahan, metode penyemaian, perawatan tanaman dalam masa tanam, pemupukan, perlindungan dari penyakit insektisida, herbisida,
dan lain-lain, panen hingga pasca produksi, 2 informasi bisnis, yaitu informasi yang menyangkut aspek ekonomi sektor pertanian, mulai permodalan, permintaan dan penawaran bibit, bahan, dan alat-
alat, termasuk aspek pasar dan konsumen.
Aksesibilitas petani untuk mencapai sumber-sumber informasi perlu mendapatkan perhatian terutama untuk informasi yang mendukung usahatani yang sedang dijalankan. Media informasi yang
tersedia sekarang sudah cukup beragam.Sejalan dengan perkembangan dan kemajuan di bidang teknologi informasi tersaji dalam berbagai bentuk baik offline buku, majalah, leaflet, dan sebagainya
maupun online akses melalui internet.
Agar penerapan dukungan informasi secara optimal tepat pada sasaran, maka terlebih dahulu perlu dipahami bagaimana sistem usahatani berfungsi dan bagaimana pengambilan keputusan dalam
memanfaatkan sumberdaya yang dilakukan termasuk untuk memanfaatrkan informasi. Keberagaman karajteristik usahatani menyebabkan keragaman kebutuhan informasi Reijntjes 1999. Dari berbagai
kenyataan yang terjadi terbuki bahwa sistem informasi pertanian di Indonesia membutuhkan pembenahan di berbagai sisi.
Berbagai inovasi teknologi yang telah disebarluaskan terus dikembangaka dengan harapan untuk diadopsi oleh petani. Penerapan atau adopsi inovasi juga ditentukan oleh aksesibilitas terhadap
inovasi itu sendiri. Sejalan dengan pendapat Ukwu dan Umoru 2009 bahwa pendidikan dan pendapatan berhubungan nyata dengan tingkat aksesibilitas terhadap informasi pertanian. Ketersediaan
dan kredibilitas sumber informasi serta sarana untuk mengakses informasi juga akan menentukan kebutuhan informasi pengguna. Hal-hal yang berhubungan dengan aksesibilitas petani terhadap
informasi ini perlu dipahami agar informasi dapat efektif dan berdaya guna.
Pemanfaatan Informasi oleh Petani Untuk Usahatani
Menurut Mardikanto 2010 untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan termasuk didalamnya tujuan pembangunan di sektor pertanian memerlukan teknologi tertentu yang sebelumnya
telah dipilih sehingga seluruh sumberdaya yang tersedia dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi perbaikan mutu hidup masyarakat. Teknologi ini berasal dari sumber-sumber teknologi dan dapat
dimanfaatkan dengan mengaksesnya sebagai informasi yang menyangkut banyak hal.
Berbagai teknologi yang telah hadir sebagai hasil penelitian atau kajian atau pengembangan untuk disebarluaskan kepada masyarakat luas sehingga diadopsi sesuai dengan kebutuhan dan kondisi
lingkungan. Teknologi tersebut disajikan dalam bentuk informasi pada berbagai media yang selalu diupayakan untuk mudah dipahami dan diterima oleh masyarakat luas. Berbagai pendekatan pun
diluncurkan dengan menggunakan sumber-sumber informasi yang terdekat dengan petani.
Pemanfaatan informasi menurut Dervin yang dikutip Choo 2006 pencerahan adalah informasi digunakan untuk mengembangkan konteks atau untuk memahami situasi dasar, seperti
pengalaman pribadi, pemecahan masalah adalah informasi digunakan dalam cara yang lebig spesifik dari pencerahan, digunakan untuk mengembangkan pemahaman yang lebih baik dari masalah tertentu,
213
konfirmasi adalah informasi digunakan untuk memverifikasi sebuah informasi, proyektif adalah informasi digunakan untuk memprediksi apa yang mungkin terjadi di masa depan dan motivasi adalah
informasi digunakan untuk memulai atau mempertahankan keterlibatan pribadi dalam rangka untuk terus bergerak sepanjang pada tindakan tertentu.
Hasil penelitian Syatir et al. 2013 menunjukkan sumber informasi yang tersedia dan dapat dimanfaatkan oleh petani sayuran di Desa Tugu Selatan Kecamatan Cisarua Bogor adalah penyuluh
dan kelompok tani. Secara keseluruhan responden dapat membaca sehingga dapat mengakses informasi dari media tercetak. Selain itu hampir keseluruhan petani responden memiliki radio
sehingga dapat mengakses informasi melalui media elektronik yaitu radio.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Andriaty dan Setyorini 2011 ketersediaan sumber informasi yang dimanfaatkan petani di lokasi penelitian dapat disajikan pada
Tabel 2. Jenis informasi yang tersedia di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 2 yang ditunjukkan dengan jenis informasi yang paling banyak tersedia 56,25 adalah informasi yang menyangkut
teknologi produksi, sumber informasi yang paling banyak 90 digunakan adalah melalui penyuluhan, dan untuk media akses informasi yang paling banyak digunakan 95 adalah telepon
genggam HP.
Penelitian Hapsari 2012 menunjukkan bahwa tingkat pemanfaatan informasi usahatani untuk usahatani yang sedang dijalankan oleh petani sayuran termasuk kategori rendah yaitu mempraktekan
satu hingga dua jenis informasi saja. Sebenarnya teknologi menuntut petani untuk mengikuti setiap perkembangan yang ada. Suatu inovasi teknologi akan diterapkan pengguna jika secara teknis mudah
dilaksanakan, secara ekonomi menguntungkan, dan secara sosial budaya dapat diterima oleh masyarakat.
Tabel 2. Ketersediaan informasi yang dimanfaatkkan petani di Kabupaten Banjarnegara, Magelang, Malang, dan Pacitan tahun 2011
Unsur Informasi yang Diamati Jumlah buah
Persentase Jenis informasi
a. Teknologi produksi b. Teknologi pengolahan
c. Pemasaran d. Lainnya
90 77
69 1
56,25 48,13
43,13 0,63
Sumber informasi a. Penyuluhan
b. Kontak tani c. Keagamaan
143 139
125 90
86,88 78,13
Media akses informasi a. Pertemuan
b. Telepon rumah c. Telepon genggam HP
d. Komputer e. Radio
f. TV g. Warnet
h. Perpustakaan i. Media cetak Koran, majalah
144 136
152 44
136 136
28 22
94 90
85 95
27,50 85
85 17,50
13,75 58,75
Sumber: Andriyati dan Setyorini 2011
Menurut Thompson et al. 1991 faktor sosial mempengaruhi pemanfaatan teknologi informasi yang dikembangkan. Sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Qadri 1997
menemukan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara faktor sosial dengan pemanfaatan teknologi informasi.
Hasil penelitian Prihtanti et al. 2007 di Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang menunjukkan bahwa cara budidaya dan pasar merupakan informasi vital bagi petani. Van den Ban dan
Hawkins 1999 menjelaskan bahwa informasi pertanian akan menarik bagi para petani apabila mengandung beberapa unsur yang menyangkut segala sesuatu yang berhubungan dengan di sekitar
dirinya, seperti teman, keluarga, sesuatu yang baru dan menarik. Hal ini dapat dijadikan sebagai pertimbangan untuk mengemas informasi agar dapat diterima dan diadopsi petani.
214
Selanjutnya Prihtanti et al. 2007 menjelaskan juga bahwa informasi pertanian yang diperlukan oleh petani pada setiap tahap usahataninya pun berbeda. Hasil penelitian juga menunjukkan
bahwa informasi yang dibutuhkan petani pada masa panen adalah informasi harga pasar dan untuk hasil identifikasi ini ditemui pada semua jenis usahatani. Sesuai tempat pemasaran yang biasa dituju,
masyarakat petani Getasan cenderung mencari informasi harga pasar lokal pasar tradisional. Hasil penelitian juga menunjukkan belum banyak media informasi yang dapat ataupun digunakan oleh
petani untuk mendukung usahataninya.
Selain media tercetak dan elektronik, petani memiliki media lain untuk mendapatkan informasi yaitu melalui hubungan interpersonal dengan keluargateman dan PPL. PPL dipandang
petani lebih mudah dihubungi dan rutin mengunjungi wilayah binaannya yang merupakan lokasi tempat petani menjalankan usahataninya. Media ini merupakan media informasi yang dianggap paling
bermanfaat dalam memperoleh informasi pada setiap tahapan usahatani. Rendahnya kemanfaatan media informasi lebih disebabkan karena belum banyak petani yang mengakses media yang ada
tercetak maupun elektronik dan bukan karena belum adanya media masuk desa Prihtanti et al. 2007.
Petani Modern dan Berwawasan Bisnis Sebuah Tantangan
Mosher 1978 menjelaskan bahwa petani adalah orang yang mengelola sumberdaya alam termasuk di dalamnya tanah, tanaman, dan hewan agar dapat bermanfaat secara optimal. Selanjutnya
membagi pertanian menjadi dua golongan, yaitu primitif dan modern. Pertanian modern diartikan sebagai yang menguasai pertumbuhan tanaman dan aktif mencari metode-metode baru serta dapat
menerima pembaharuan dalam bidang pertanian. Petani yang menerapkan cara seperti inilah yang dapat berkembang dalam rangka menunjang ekonomi di bidang pertanian.
Petani modern dan berwawasan bisnis adalah suatu harapan yang akan terus diupayakan untuk dapat diraih. Sebagai individu petani selalu berusaha mencari informasi dengan berbagai cara untuk
mengembangkan usahataninya. Saat mencari dan mendapat informasi pertanian dapat saja berperilaku pasif atau aktif. Menurut Matindas 2011 pasif yaitu hanya menerima terpaan informasi pertanian
serta mempertimbangkan informasi yang didapat. Berperilaku aktif yaitu mencari melalui berbagai saluran atau media dan sumber informasi. Perilaku yang diharapkan dari petani adalah aktif untuk
mencari atau mengakses informasi.
Pencarian informasi ini dalam rangka untuk mencari alternatif teknologi yang rendah input tetapi mencapai hasil optimal. Idealnya, kebutuhan teknologi untuk meningkatkan kualitas berasal dari
permintaan pasar. Kesenjangan gap kualitas antara produk pertanian yang dihasilkan dengan keinginan konsumen harus dapat disesuaikan. Sebagai ilustrasi dinamika perubahan permintaan pasar
akan kualitas produk pertanian hortikultura jauh lebih cepat dibandingkan komoditas tanaman pangan seperti padi atau jagung Sasmojo 2004. Berdasarkan fenomena ini, petani modern dan mandiri harus
dapat menangkap pasar dengan mengakses informasi untuk memperoleh teknologi yang dapat menghasilkan produk pertanian dengan kualitas sesuai dengan permintaan pasar.
Petani masa depan diharapkan petani yang modern dengan kemampuan mengakses informasi yang up to date. Ke depannya petani harus mampu untuk mengakses informasi online yang kini sudah
dijadikan sebagai alternatif pilihan yang memungkinkan dijangkau oleh petani untuk dapat menjalankan usahatani yang berdaya saing tinggi. Penggunaan telepon genggam atau internet bukan
sesuatu yang baru lagi, bahkan tak sedikit petani yang sudah dapat menggunakan android sebagai media untuk mengakses informasi terkait inovasi teknologi pertanian.
Salah satu sumber informasi berupa lembaga yang dapat diakses petani atau didatangi secara langsung adalah unit kerja Kementerian Pertanian yang mempunyai mandat untuk penyebaran
teknologi pertanian yang terbuka bagi siapa saja yang memerlukan informasi terkait dengan perkembangan inovasi teknologi pertanian. Tabel 3 menyajikan pangkalan data elektronik yang
tersedia di PUSTAKA Pusat Perpustakaan dan Penyebaran Teknologi Pertanian yang membuka layanan untuk semua stakeholders. Pangkalan data yang tersedia di PUSTAKA ini bersifat dinamis
dan selalu diperbarui informasinya agar dapat memenuhi kebutuhan pengguna. Informasi yang tersedia bukan hanya untuk kalangan akademisi dan peneliti saja tetapi juga untuk umum termasuk
untuk petani yang berupaya mencari informasi terkait inovasi teknologi yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian atau lingkup Kementerian Pertanian.
215
Tabel 3. Pangkalan data elektronik bidang pertanian dan bidang terkait yag dimiliki PUSTAKA sampai tahun 2008
Nama Pangkalan Data Terbitan
Akses Jenis Informasi
ProQuest 1993-2008
Online Artikel lengkap
Science Direct 1993-2008
Online Artikel lengkap
TEEAL 1993-2005
Offline Artikel lengkap
AGRICOLA 1970-2007
Offline Bibliografis
AGRIS 1975-2008
Offline Abstrak
CARIS 1996-2002
Offline Abstrak
Tropag dan Rural 1995-2007
Offline Abstrak
CAB Abstract 1984-1995
Offline Abstrak
Crops Protection Compendium 1996-1998
Offline Abstrak
Indonesiana 1983-2008
Offline Artikel lengkap
Warintek 2000
Offline Artikel lengkap
Teknologi Tepat Guna 1983-2008
Online Artikel lengkap
Publikasi Badan Litbang Pertanian 1996-2004
Online Artikel lengkap
Kumpulan Berita Surat Kabar 1995-2008
Offline Artikel lengkap
CD-Interaktif 2000-2007
Offline Audio visual
Sumber: Maksum et al. 2008
Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 3 terdapat beberapa alternatif untuk mengakses informasi di bidang pertanian dan bidang terkait lainnya yang tersedia di PUSTAKA. Dengan adanya
informasi ini petani dapat mempertimbangkan untuk meningkatkan kapasitas dirinya sehingga dapat mengakses dan mengadopsi inovasi teknologi pertanian dengan informasi yang tersedia.
Pangkalan data ini merupakan salah satu teknologi untuk mengakses informasi secara online. Teknologi dalam bidang informasi terus mengalami perkembangan yang sangat pesat. Melalui
teknologi informasi ini petani dapat mengakses informasi yang diperlukan untuk mendukung usahataninya. Sejalan dengan pendapat Bodnar dan Hopwood 1995 teknologi informasi adalah
segala acara atau alat yang terintegrasi yang digunakan untuk menjaring data, mengolah dan mengirimkan atau menyajikan secara elektronik menjadi informasi dalam berbagai format yang
bermanfaat bagi penggunanya.
Suatu inovasi teknologi termasuk teknologi informasi di bidang pertanian dapat diterima dengan beberapa syarat harus terpenuhi salah satunya tidak rumit atau tidak kompleks. Sejalan dengan
penelitian Tornatzky dan Klein 1982 menemukan bahwa semakin kompleks inovasi pada suatu teknologi informasi maka akan semakin rendah tingkat adopsi atau penerimaannya. Demikian halnya
dengan penelitian Thompson et al. 1991 mengemukakan terdapat pengaruh yang signifikan dan negatif antara kompleksitas dan pemanfaatan teknologi informasi.
Selain itu juga yang harus menjadi bahan pertimbangan untuk penyebarluasan informasi adalah karakter penggunanya. Berdasarkan karakter pengguna informasi Atherthon dalam Fahmi dan
fauzan 2001 mengemukakan terdapat tiga kelompok penting pengguna sistem informasi ilmu pengetahuan dan teknologi, yaitu 1 peneliti, untuk penelitian dasar maupun terapan, 2 praktisi dan
teknisi, untuk kegiatan pengembangan dan operasional berbagai disiplin ilmu, seperti teknologi industri, pertanian, kedokteran, dan komunikasi, dan 3 manajer, perencana, dan pengambil
keputusan. Berdasarkan kategori tersebut petani dapat dimasukkan ke dalam golongan ke tiga dalam pengguna sistem informasi yaitu sebagai manajer, perencana, dan pengambil keputusan untuk
usahatani yang sedang dijalankannya.
Untuk menghadapi tantangan pasar global yang semakin ketat dan kompleks, maka tidak ada pilihan bagi petani di negara berkembang kecuali mengubah secara terencana wajah pertanian dari
corak subsisten atau tradisional menjadi pertanian modern yang berdaya saing tinggi Sudalmi 2010. Demi mewujudkan petani yang modern dan berwawasan bisnis membutuhkan upaya yang keras dan
bersungguh-sungguh. Semua aspek harus dilihat termasuk aspek masalah yang biasanya dihadapi oleh petani terkait dengan teknologi sehingga dapat didesain informasi apa yang harus diprioritaskan.
Masalah yang umumnya dihadapi oleh petani dalam berusaha tani bervariasi antar lokasi sehingga teknologi yang diperlukan pun berbeda, namun umumnya terkait dengan produksi dan produktivitas.
Sejalan dengan hasil penelitian Ukwu dan Umoru 2009 jenis informasi yang diperlukan petani umumnya berkaitan dengan produksi. Untuk membantu mengatasi atau menyelesaikan berbagai
masalah yang dihadapi petani di lapangan dalam menjalankan usahataninya, Badan Litbang Pertanian
216
meluncurkan berbagai inovasi teknologi pertanian yang sampai saat ini telah dihasilkan sebanyak 500 teknologi inovatif di bidang pertanian untuk berbagai aspek dari hulu sampai hilir dan pada berbagai
komoditas yang dapat dimanfaatkan dan diadopsi oleh petani sesuai dengan kebutuhan dan kondisinya di lapangan. tidak menutup kemungkinan teknologi inovatif ini akan terus bertambah dan berkembang
Balitbangtan 2015.
Dalam penerapan suatu teknologi inovatif kenyataannya sering menghadapi kendala, diantaranya gap antara hasil penelitian dengan kondisi riil di lapangan. Sebagai ilustrasi dapat
disajikan informasi di lapangan yang terjadi di Provinsi Maluku yang dilaporkan oleh Nurdin 2013 produktivitas padi sawah di Provinsi Maluku tergolong masih rendah dengan kisaran hasil antara 3-4
ton GKPha bila dibandingkan dengan hasil penelitian yang mencapai 7-10 ton GKPha. Demikian pula halnya dengan produktivitas padi gogo yang baru mencapai 0,7 ton GKPha bila dibandingkan
dengn hasil penelitian yang bisa mencapai 3-4 ton GKPha. Hal ini dapat menunjukkan bahwa adopsi inovasi oleh petani belum optimal.
Menurut Manwan dan Oka 1991 dalam Nurdin 2013 terdapat empat faktor yang harus tersedia dalam menunjang keberhasilan penyampaian teknologi kepada petani, yaitu 1 teknologi
yang telah matang sesuai utuk wilayah pengembangan, 2 dukungan pemerintah daerah dalam bentuk pembinaan dan penyuluhan, 3 ketersediaan sarana produksi dan pemasaran yang kondusif, dan 4
partisipasi petani menerima teknologi. Selain itu juga karakteristik individu petani sangat menentukan untuk diadopsinya suatu teknologi. Salah satunya adalah pendidikan. Sejalan dengan pendapat
Syamsudin 1982 bahwa petani yang berpendidikan lebih tinggi relatif lebih cepat untuk mengadopsi inovasi dibandingkan dengan petani yang tingkat pendidikannya lebih rendah.
Beberapa kendala yang melekat pada petani merupakan suatu tantangan untuk meraih mimpi menjadi petani modern dan mandiri. Arifin 2012 berpendapat bahwa dengan keterbatasan mengakses
Iptek pertanian, petani dalam menjalankan usahataninya hanya berdasarkan kepada pengalaman tentunya. Pengalaman yang diperoleh secara turun temurun menjadi satu-satunya sarana yang ada
yaitu usahatani yang dijalankan secara konvensional. Mau tidak mau dan suka atau tidak suka pengalaman merupakan guru yang dijadikan sebagai acuan atau pedoman. Sementara ini inovasi yang
dihasilkan dari pengalaman belum teruji secara empiris.
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
Petani adalah pelaku utama dalam pembangunan sektor pertanian dan mayoritas tinggal di pedesaan. Dalam menjalankan usahataninya petani memerlukan dukungan input yang memadai salah
satunya adalah teknologi. Teknologi yang diperlukan petani adalah teknologi inovatif yang dapat memberikan banyak manfaat terutama dukungan dalam menjalankan usahatani. Teknologi yang ada
dan tersedia saat ini merupakan hasil penelitian dan pengembangan yang dapat dimanfaatkan petani yang dikemas menjadi informasi yang dapat diakses oleh petani dimana pun termasuk petani
dipedesaan. Pemanfaatan informasi oleh petani umumnya digunakan untuk pemecahan masalah yang dihadapi dalam usahataninya. Petani perlu menambah wawasan, keterampilan, membuka dan
memperkaya diri dengan informasi yang terkait dengan usahatani dan informasi lain yang relevan dengan media yang tersedia digunakan secara optimal. Pemerintah perlu memfasilitas atau membuat
regulasi yang dapat mempermudah aksesibilitas informasi petani terhadap informasi yang diperlukan. Aksesibilitas petani terhadap informasi dapat ditingkatkan dengan kerjasama semua pihak,
memperluas jaringan informasi sampai ke pelosok pedesaan sehingga dapat diwujudkan petani yang modern dan berwawasan bisnis.
DAFTAR PUSTAKA
Andriaty, E. dan E. Setyorini. 2012. Ketersediaan sumber informasi teknologi pertanian di beberapa kabupaten di Jawa. J. Perpus. Pert.: 21 1 April 2012: 30-35.
Arifin, B. 2012. BBM, ekspektasi inflasi, dan kesejahteraan petani. Kompas.com, analisis ekonomi, Senin,
2 April
2012. http:nasional.kompas.comread2012040203422023BBM.Ekspektasi.Inflasi.dan.Kese
jahteraan Petani. [Diunduh tgl 26 Agustus 2016].
Apriantono, A.
2006. Pembangunan
pertanian di
Indonesia. www.deptan.go.id
. renbangtankonsep_pembangunan_pertanian.pdf. [Diunduh tgl 6 Agustus 2016].
Balitbangtan. 2015. 500 Teknologi inovatif pertanian. Jakarta: IAARD Press.
217
Bodnar and Hopwood. 1995. Accounting information system. Prentice hall Inc. BPS. 2012. Jumlah penduduk miskin, persentase penduduk miskin, dan garis kemiskinan.
https:www.bps.go.id .[Diunduh tgl 17 Juli 2016]
Choo, C., W. 2006. Working with information: information management and culture in a professional services
organization. Canada.
http:choo.fis.utoronto.caFISResPubJIS2006.pdf. [Diunduh tgl 30 Juli 2016].
DeFleur McQuail, D. 1985. Understanding Mass Communication, 2
nd
ed.,Houghton Mittlin, Boston.
Dominick, J., R. 2005, The Dynamics of Mass Communication:Media in the Digital Age. McGraw-
Hill Company, Inc, New York.
Fahmi, I dan Fauzan, D. 2001. Jaringan perpustakaan digital untuk menunjang jaringan informasi agrikultur nasional desain dan strategi implementasi. Lokakarya jaringan penelitian
pertanian nasional, 31 Oktober 2001. Knowledge Management Research Group. Bandung: Institut Teknologi Bandung ITB.
Hapsari, R., D. 2012. Pemanfaatan informasi oleh petani Kasus di Desa Ciaruteun Ilir Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor. [tesis] Pasca Sarjana. Bogor: Institut Pertanian Bogor .
Heryanto, M., A. dan Supyandi, D. 2012. Peran lembaga riset dalam sistem inovasi frugal sektor pertanian: pendekatan analisis berpikir sistem. Warta KIML: 10 12: 67-82. LIPI: Pusat
Penelitian dan Pengembangan Iptek. Maksum, Lukman, B., D., dan Prawati, B. 2008. Aksesibilitas informasi, intensitas komunikasi, dan
efektivitas layanan informasi digital. Jurnal Perpustakaan Pertanian: 172:48-55. Mardikanto, T. 2010. Komunikasi pembangunan. Surakarta: UPT Penerbitan dan Percetakan UNS.
Matindas, K. 2011. Strategi komunikasi petani sayuran organik dalam mencari dan menggunakan informasi pertanian berbasis gender. [disertasi] Pasca Sarjana. Bogor: Institut Pertanian
Bogor . Mosher, A., T. 1978. Menggerakkan dan membangun pertanian. Syarat-syarat pokok pembangunan
dan modernisasi. Jakarta: CV. Yasaguna. Mubyarto, 1991. Pengantar Ekonomi Pertanian. Jakarta: LP3ES. Mulya, H. 2010. Kelebihan dan
kekurangan media
cetak dan
televisi. httpwww.hendramulya.bogspot.com201007kelebihan-dan-kekurangan-media-ccetak-
dan.html Mulyandari, R.S.H. dan E.E. Ananto. 2005. Teknik implementasi pengembangan sumber informasi
pertanian nasional dan lokai P4MI. Informatika pertanian 14:807-817. Nurdin, M. 2013. Kajian pola dan faktor penentu distribusi penerapan inovasi pertanian PTT padi
sawah di Kabupaten Buru. Jurnal Agribisnis Kepulauan Agrilan: 22 Februari 2013. 1- 15.
Prihtanti, T., Maria, dan Yuliawati. 2007. Persepsi petani terhadap informasi pertanian. Jurnal AGRIC: 19 1: 44-57.
Prytherch, R. 1990. Harrod’s librarian glossary. Ed. 7
th
. Hants: Gower Publishing. Qadri, R. 1997. Pengaruh faktor sosial, affect, konsekuensiyang dirasakan dan kondisi yang
memfasilitasi terhadap pemanfaatan computer. Tesis Program Pasca Sarjaan. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.
Rahab. 2009. Hubungan antara karakteristik teknologi dengan kemungkinan usaha kecil untuk mengadopsi TI. Jurnal Bisnis dan Ekonomi September 2009: 162:111-125.
Rahmawati, D .2008. Analisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pemanfaatan teknologi informasi. J. Ekonomi dan Pendidikan: 51: 107-118 April 2008.
Reijntjes, C., H. 1999. Pertanian masa depan: pengantar untuk pertanian berkelanjutan dengan input luar rendah. Yogyakarta: Kanisius.
Rubin, R. 1998. Foundations of library and information science. New York: Neal-Schuman Publisher, Inch.
Saragih, B. 2004. Membangun pertanian perspektif agribisnis. Dalam: pertanian mandiri pandangan strategis para pakar untuk kemajuan pertanian Indonesia. Jakarta: Penebar Swadaya.
218
Sasmojo, S. 2004. Sains, teknologi, masyarakat, dan pembangunan. Program Pascasarjana. Bandung: Institut Teknologi Bandung ITB.
Sudalmi, E., S. 2010. Pembangunan pertanian berkelanjutan. Jurnal inovasi pertanian: 92, September 2010. 15-28.
Syamsudin, U. 1982. Dasar-dasar penyuluhan dan modernisasi pertanian. Bandung: Angkasa Offset. Syatir, Lubis, D., P., dan Matindas, K. 2013. Keterdedahan dan pemanfaatan informasi oleh petani
sayuran. Jurnal Komunikasi Pembangunan: 112. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Thompson, R., Christoper, A., and Howell Jane.1991. Personal computing: toward a conceptual model
of utilization. MIS Quarterly. March 1991. Tologbonse, D., O. Fashola, and M. Obadiah. 2008. Policy issues in meeting rice farmers agricultural
information needs in Niger State. J. Agric. Extension: 12 2:84-94. Tornatzky and Klein. 1982. Innovation characteristics and innovation adoption-implementation: A
meta analysis of findings. IEEE Transaction on Engineering Management. February 1982.
Ukwu, O.J.and B.I. Umoru. 2009. A study of woman farmer’s agricultural information needs and accessibility: A case study of Apa local government area of Benue State, Nigeria. Afr. J.
Agric. Res.: 412:1404-1409. Van den Ban, A., W. dan Hawkins, H., S. 1999. Penyuluhan Pertanian. Yogyakarta: Kanisius.
219
ANALISIS PERSEPSI ANGGOTA KELOMPOK WANITA TANI KWT TERHADAP TEKNOLOGI PEMANFAATAN LAHAN PEKARANGAN RAMAH LINGKUNGAN DI
KOTA SAWAHLUNTO PERCEPTION ANALYSIS OF WOMEN FARMERS GROUP MEMBERS KWT BACKYARD
OF TECHNOLOGY FRIENDLY ENVIRONMENTIN SAWAHLUNTO CITY Sumilah dan M. Ichwan
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Barat, Jl. Raya Padang-Solok KM. 40 Sukarami-Solok, 27366;
email: sumilah_utomoyahoo.com
ABSTRAK
Salah satu program pemerintah untuk mendorong kelompok masyarakat dalam mengkonsumsi aneka ragam pangan lokal serta peningkatan gizi adalah dengan mengadakan Gerakan Nasional Kawasan
Rumah Pangan Lestari KRPL dengan prinsip teknologi pemanfaatan lahan pekarangan yang ramah lingkungan untuk pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi keluarga. Agar inovasi dapat dilaksanakan
oleh semua anggota KWT harus disebarluaskan dengan tujuan mempercepat alih inovasi teknologi kepada pengguna petani, penyuluh dan masyarakat. Tujuan dari penelitian ini adalah a untuk
mengetahui persepsi anggota KWT tentang teknologi pemanfaatan lahan pekarangan ramah lingkungan dan b untuk mengenali faktor yang mempengaruhi persepsi anggota KWT terhadap
kegiatan teknologi pemanfaatan lahan pekarangan ramah lingkungan. Penelitian dilaksanakan Januari - Desember 2015 di Desa Lunto Timur Kecamatan Lembah Segar Kota Sawahlunto dengan pemilihan
sampel secara sengaja purposive sampling 30 anggota KWT pelaksana KRPL. Metode yang digunakan komunikasi langsung melalui wawancara terstruktur kepada anggota KWT.Analisis
datadalam penelitian inimeliputi: uji proporsi dan analisis regresi linear berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwalebih dari 50 anggota kelompok wanita tani mempunyai persepsi yang tinggi
terhadap kegiatan teknologi pemanfaatan lahan pekarangan ramah lingkungan di Kota Sawahlunto yaitu sebesar 73. Faktor yang mempengaruhi persepsi anggota kelompok wanita tani adalah
tingkat pendidikan dan umur anggota KWT.
Kata kunci : persepsi, KWT, pekarangan
ABSTRACT
One of the governments programs to encourage community groups to consume a variety of local food and nutritional improvement is to hold a National Movement Region Sustainable Food House RSFH
with the principle of land-use technologies that are environmental friendly yard to meet the needs of food and nutrition. To innovation can be implemented by all member Women farmers groups WFG
should be disseminated with the aim of accelerating the transfer of technological innovation to users farmers, extension workers and community. The purpose of this study were a to determine the
perception of WFGmembers of utilization technologies yards environmentally friendly and b to identify factors that influence the perception of WFGmembers on the activities of utilization
technologies yards environmentally friendly. The research was conducted from January to December 2015 Lunto East Village District of Lembah Segar Sawahlunto with sample selection intentionally
purposive sampling 30 members of the executive WFGRSFH. The method used direct communication through structured interviews with members of the WFG. Analysis of the data in this
study includes: the proportion of test and multiple linear regression analysis. The results showed that more than 50 of members of women farmers have a high perception of the activities of utilization
technology of environmentally friendly yard area in Sawahlunto, namely by 73. Factors affecting the perception of members of women farmers is the level of education and age KWT members.
Keywords: perception, Women farmers group, yard
220
PENDAHULUAN
Salah satu program pemerintah untuk mendorong kelompok masyarakat dalam mengkonsumsi aneka ragam pangan lokal serta peningkatan gizi adalah dengan mengadakan Gerakan Nasional
Kawasan Rumah Pangan Lestari KRPL dengan prinsip teknologi pemanfaatan lahan pekarangan yang ramah lingkungan dan dirancang untuk pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi keluarga,
diversifikasi pangan berbasis sumber daya lokal, pelestarian tanaman pangan untuk masa depan,serta peningkatan pendapatan yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat
Kementerian Pertanian, 2011.
Pemanfaatan lahan pekarangan juga berpeluang menambah penghasilan rumah tangga apabila dirancang dan direncanakan dengan baik serta dapat menjaga kelestarian lingkungan Mardiharini,
2011. Oleh sebab itu, pemanfaatan lahan pekarangan dapat dilaksanakan dengan sungguh - sungguh dan memerlukan dukungan dari berbagai pihak. Pertanian ramah lingkungan bukan berarti pertanian
organik saja yaitu pertanian tanpa menggunakan masukan bahan kimia meskipun intensitasnya mengarah kepada penggunaan komponen organik dan spesifik lokasi, khususnya pestisida dan pupuk
Irawan, 2013.
Perhatian anggota KWT terhadap pemanfaatan lahan pekarangan masih terbatas, akibatnya pengembangan berbagai inovasi yang terkait dengan lahan pekarangan belum mencapai
sasaran secara maksimal. Padahal dengan melaksanakan kegiatan pemanfaatan lahan pekarangan untuk tanaman pangan, tanaman obat, hortikultura berpotensi dapat memenuhi kebutuhan pangan
keluarga.
Mengingat potensi pemanfaatan lahan pekarangan yang cukup bagus, namun pada kenyataannya keberlanjutan pemanfaatan lahan pekarangan masih terdapat beberapa masalah.
Beberapa permasalahan pokok dalam pemanfaatan lahan pekarangan yaitu: a pilihan jenis komoditas dan bibit terbatas, b kurang tersedianya teknologi budidaya spesifik lahan pekarangan, c
kurang tersedianya teknologi panen dan pasca panen komoditas pangan lokal, d bersifat sambilan, dan e hanya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan belum berorientasi pasar.
secara praktis, pemanfaatan lahan pekarangan menghadapi kendala lingkungan, sosial dan keuangan yang mengancam kelanjutan dari kegiatan pemanfaatan lahan pekarangan. Pemanfaatan
lahan pekarangan yang berkelanjutan melalui pemberdayaan kelompok wanita tani membutuhkan peran semua anggota KWT. Peran anggota kelompok wanita tani dalam pemanfaatan lahan
pekarangan yang berkelanjutan merupakan suatu perilaku dari anggota kelompok untuk mengajak anggotanya agar tetap melaksanakan kegiatan pemanfaatan lahan pekarangan. Peran anggota
kelompok wanita tani merupakan interaksi antar anggota kelompok wanita tani yang sering melibatkan dalam penataan situasi, persepsi, dan harapan dari anggota kelompok yang mampu
saling memberi, mempengaruhi perasaan dan perilaku orang lain, memfasilitasi serta menggerakkan orang lain untuk bekerja menuju sasaran yang diinginkan. Persepsi dapat diartikan
juga sebagai perilaku dari seseorang terhadap informasi yang masuk kedalam otak manusia, kemudian diinterpretasikan menjadi suatu makna.
Pekarangan adalah areal tanah yang biasanya berdekatan dengan sebuah bangunan. Jika bangunan tersebut rumah, maka disebut pekarangan rumah. Pekarangan dapat berada di depan,
belakang atau samping sebuah bangunan, tergantung seberapa luas sisa tanah yang tersedia setelah dipakai untuk bangunan utamanya Balitbang Pertanian, 2012.
Di Kota Sawahlunto sendiri, lahan yang diperuntukkan perumahan pekarangan seluas 0.05 Km
2
Bappeda dan BPS Sumbar, 2011. Potensi yang cukup besar ini diharapkan akan mendorong terjadinya peningkatan produksi dan konsumsi sayur serta buah sehingga meningkatkan pula PPH
masyarakat Ariani, 2010. Teknologi pemanfaatan lahan pekarangan ramah lingkungan banyak dihasilkan. Agar inovasi ini dapat dilaksanakan oleh semua anggota KWT harus disebarluaskan
dengan tujuan mempercepat alih inovasi teknologi kepada pengguna petani, penyuluh dan masyarakat. Tujuan dari penelitian ini adalah a untuk mengetahui persepsi anggota KWT tentang
teknologi pemanfaatan lahan pekarangan ramah lingkungan dan b untuk mengenali faktor yang mempengaruhi persepsi anggota KWT terhadap kegiatan teknologi pemanfaatan lahan pekarangan
ramah lingkungan.
221 Zhitung =
METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan Januari - Desember 2015 di Desa Lunto Timur Kecamatan Lembah Segar Kota Sawahlunto dengan pemilihan sampel secara sengaja purposive sampling 30 anggota
KWT pelaksana KRPL. Metode yang digunakan komunikasi langsung melalui wawancara terstruktur kepada anggota KWT
Dalam menjawab tujuan dalam penelitian ini, maka dilakukan beberapa metode analisis, yaitu : 1. Tujuan penelitian pertama diuji menggunakan uji proporsi dengan persamaan sebagai berikut :
Ho : P 50 Ha : P 50
Ho : Diduga ≤ 50 petani memiliki persepsi yang tinggi terhadap kegiatan teknologi teknologi
pemanfaatan lahan pekarangan ramah lingkungan di Kota Sawahlunto. Ha : Diduga 50 petani mempunyai persepsi yang tinggi terhadap kegiatan teknologi
pemanfaatan lahan pekarangan ramah lingkungan di Kota Sawahlunto. Tingkat signifikansi 0,05 5, n = 30
Statistik pengujian :
X = jumlah petani sampel yang mempunyai persepsi tinggi terhadap teknologi pemanfaatan lahan pekarangan ramah lingkungan di Kota Sawahlunto
n = jumlah keseluruhan anggota KWT sampel Po = 50
Kriteria Pengujian : Z hit Z tabel : Ho ditolak, Ha diterima
Z hit Z tabel : Ho diterima, Ha ditolak
Untuk metode skoring merujuk kepada Mardikanto 2010, yaitu upaya penyajian dimaksudkan mengungkapkan informasi penting yang terdapat dalam data kedalam bentuk yang
lebih ringkas dan sederhana yang pada akhirnya mengarah pada keperluan adanya penjelasan dan penafsiran. Analisis statistik deskriptif dilaksanakan melalui beberapa tahapan :
a. Penyajian data analisa dengan metode tabulasi b. Penentuan kecenderungan nilai responden untuk masing-masing variabel yang dikelompokkan
ke dalam 3 tiga kelas kriteria masing-masing adalah : rendah, sedang, dan tinggi. Interval kelas ditentukan dengan rumus sebagai berikut :
Nilai tertinggi – Nilai terendah
Klasifikasi 2. Tujuan penelitian kedua untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi anggota
KWT terhadap teknologi pemanfaatan lahan pekarangan ramah lingkungan di Kota Sawahlunto, digunakan analisis regresi linier berganda, dengan persamaan sebagai berikut :
Y = a + b1.X1 + b2.X2 + b3.X3 + €
Keterangan : Y
=
Persepsi petani X3
=
Luas lahan pekarangan X1
=
Tingkat Pendidikan €
=
Konstanta X2
=
Umur anggota KWT b1, b2, b3
=
koefisien regresi
xn – Po
√
Po 1 – Po
n
Interval Kelas =
222
HASIL DAN PEMBAHASAN
Persepsi anggota Kelompok Wanita Tani Terhadap Teknologi Pemanfaatan Lahan Pekarangan Ramah Lingkungan di Kota Sawahlunto
Menurut Anggoro 2004, respon petani dapat diartikan sebagai perubahan sikap petani yang diakibatkan adanya rangsangan stimulus dari luar dan dari dalam diri petani, dalam wujud
melaksanakan program, memperluas areal tanam, pengorganisasian kelompok, dan mengumpulkan serta menyebarluaskan informasi teknologi. Berdasarkan definisi di atas dapat kita simpulkan bahwa
persepsi petani adalah tanggapan atau reaksi yang dilakukan oleh petani berupa jawaban terhadap suatu rangsangan atau sesuatu hal yang baru, dalam hal ini mengenai respon petani terhadap teknologi
pemanfaatan lahan pekarangan ramah lingkungan.
Kelompok wanita tani merupakan wadah bagi wanita tani baik dalam proses pembelajaran maupun untuk meningkatkan produktivitas usaha tani melalui pengelolaan usaha tani secara
bersamaan. Persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh penginderaan tentang informasi atau stimuli dari lingkungan yang berhubungan dengan pengalaman akan obyek, peristiwa, dan hubungan-
hubungan yang diperoleh, kemudian mengubahnya ke dalam kesadaran psikologi Rakhmat 2007.
Persepsi secara keseluruhan dari aspek sikap petani terhadap komponen teknologi pemanfaatan lahan pekarangan ramah lingkungan dapat dibedakan menjadi 3 kategori, yaitu respon
rendah, sedang dan tinggi. Komponen teknologi yang diintroduksikan yaitu i. Penyiapan media; ii. pembibitan; iii. penanaman; iv. pemupukan; v. pengelolaan HPT; vi. panen. Tingkat persepsi
anggota KWT terhadap teknologi pemanfaatan lahan pekarangan ramah lingkungan di Kota Sawahlunto dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Sebaran persepsi anggota kelompok wanita tani terhadap teknologi pemanfaatan lahan pekarangan ramah lingkungan di Kota Sawahlunto
Kategori Respon Jumlah orang
Persentase Rendah
Sedang 8
27 Tinggi
22 73
Total 30
100 Sumber : Data Primer, 2015
Berdasarkan tabel 1, diketahui bahwa petani yang mempunyai respon yang sedang sebesar 27 dan respon yang tinggi sebesar 73. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar anggota KWT
di Kota Sawahlunto memiliki tingkat respon dengan kategori tinggi terhadap kegiatan teknologi pemanfaatan lahan pekarangan ramah lingkungan.
Hipotesis pertama pada penelitian ini adalah diduga lebih dari 50 petani mempunyai respon yang tinggi terhadap kegiatan teknologi pemanfaatan lahan pekarangan ramah lingkungan di Kota
Sawahlunto. Untuk membuktikan kebenaran hipotesis pertama tersebut, dilakukan dengan menggunakan uji proporsi. Dari perhitungan diatas diperoleh hasil Z hitung sebesar 2,552898 Z
tabel 1,645, sehingga Ho ditolak dan Ha diterima atau hipotesis yang menyatakan bahwa lebih dari 50 anggota KWT mempunyai persepsi yang tinggi terhadap kegiatan teknologi pemanfaatan lahan
pekarangan ramah lingkungan di Kota Sawahlunto diterima. Hal ini dikarenakan pada variabel komponen teknologi, anggota KWT merespon sangat baik terutama pada tingkat kemudahan dalam
penerapan komponen teknologi penyiapan media, pembibitan, penanaman, pemupukan, pengelolaan HPT dan panen. Menurut Rogers 2003 menyatakan proses keputusan inovasi merupakan suatu
proses mental sejak seseorang mulai pertama kali mengetahui adanya suatu inovasi, membentuk sikap terhadap
inovasi tersebut,
mengambil keputusan
untuk mengadopsi
atau menolak,
mengimplementasikan ide baru dan membuat konfirmasi atas keputusan tersebut.
223
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Persepsianggota KWT Terhadap Kegiatan Teknologi Pemanfaatan Lahan Pekarangan Ramah Lingkungan di Kota Sawahlunto
Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi anggata KWT dalam kegiatan teknologi pemanfaatan lahan pekarangan ramah lingkungan di Kota Sawahlunto diduga dipengaruhi oleh tingkat
pendidikan, umur anggota KWT dan luas lahan pekarangan. Dari analisis linear berganda diperoleh faktor
– faktor yang mempengaruhi persepsi petani dalam kegiatan teknologi pemanfaatan lahan pekarangan ramah lingkungan di Kota Sawahlunto dapat dilihat pada Tabel 2.
Hasil analisis regresi menunjukan bahwa nilaiAdjusted Rsquare sebesar 0,546. Artinya 54,6 variabel persepsi anggota KWT terhadap kegiatan teknologi pemanfaatan lahan pekarangan ramah
lingkungan di Kota Sawahlunto dapat dijelaskan oleh ketiga variabel independennya yaitu tingkat pendidikan, umur anggota KWT dan luas pekarangan. Sedangkan 45,4 sisanya dapat dijelaskan oleh
faktor-faktor dari luar model.
Tabel 2. Hasil regresi berganda faktor-faktor yang diduga mempengaruhi persepsi anggota KWTterhadap teknologi pemanfaatan lahan pekarangan ramah lingkungan di Kota
Sawahlunto
No Variabel
Koefisien Regresi Nilai t
Sign 1
Tingkat Pendidikan 0,621
3,638 0,001
2 Umur Petani
0,393 3,091
0,005 3
Luas Pekarangan 0,016
0,116 0,909
Konstanta 2,321
0,000 Rsquare
0,593 Adjusted Rsquare
0,546 F hitung
0.535 0,597
Sumber: Data Primer, 2015
Faktor-faktor yang diduga berpengaruh pada persepsi anggota KWT terhadap teknologi pemanfaatan lahan pekarangan ramah lingkungan di Kota Sawahlunto adalah :
1. Tingkat pendidikan X1 Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa tingkat signifikansi variabel ini sebesar 0,001 lebih
kecil dari taraf signifikansi 0,05 α = 0,05 dengan nilai t hitung 3,638. Hal ini berarti variabel tingkat pendidikan anggota KWT berpengaruh nyata terhadap persepsianggota KWT, artinya semakin tinggi
pendidikan anggota KWT mempengaruhi persepsi anggotaKWT terhadap teknologi pemanfatan lahan pekaranagan ramah lingkungan. Pendidikan seseorang juga akan mempengaruhi nilai-nilai yang
dianutnya, cara berpikir, cara pandang, bahkan persepsinya terhadap suatu masalah Simanjuntak et al. 2010.
Tabel 3. Sebaran tingkat pendidikan anggota KWT menurut kategori terhadap teknologi pemanfaatan lahan pekarangan ramah lingkungan di Kota Sawahlunto
Tingkat Pendidikan Jumlah orang
Persentase SD
13 43
SMP 7
23 SMA
8 27
SARJANA 2
7 Total
30 100
Sumber : Data Primer, 2015
Tabel 3 menunjukkan bahwa sebanyak 43 anggota KWT berpendidikan SD, 23 berpendidikan SMP, 27 berpendidikan SMA dan anggota KWT yang mengenyam pendidikan
hingga sarjana hanya sebesar 7. Berdasarkan respon diketahui bahwa pendidikan yang rendah pada anggota KWT diduga karena faktor ekonomi yang menyebabkan tidak bisa melanjutkan pendidikan
lebih lanjut. Umumnya tingkat pendidikan menunjukkan bahwa individu tersebut memiliki kemampuan untuk mencari, menerima, dan menyerap inovasi untuk dapat dimanfaatkan dalam
kegiatan pemanfaatan lahan pekarangan. Semakin tinggi pendidikan anggota KWT maka akan berpengaruh terhadap penerimaan inovasi teknologi. Tingkat pendidikan formal petani berpengaruh
terhadap pengetahuan, sikap, dan keterampilannya dalam memanfaatkan teknologi informasi untuk mendukung kegiatan usaha tani Mulyandari,2011
224
Pendidikan merupakan suatu proses untuk memperoleh ilmu pengetahuan dan diperlukan oleh setiap manusia. Saat ini pendidikan menjadi perhatian karena disadari bahwa pendidikan sangat
penting untuk masa depan. Pendidikan merupakan salah satu faktor yang penting bagi kehidupan manusia.
2. Umur Anggota KWTX2
Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa didapatkan tingkat signifikasi untuk variabel umur anggota KWT adalah 0,005 lebih kecil dari taraf signifikansi 0,05
α = 0,05 dengan nilai t hitung dari variabel umur sebesar 3,091 sehingga variabel umur berpengaruh nyata terhadap persepsi KWT pada
kegiatan teknologi pemanfaatan lahan pekarangan ramah lingkungan.Umur seorang manusia sangat menentukan perkembangan pada dirinya, mengingat banyaknya aspek yang dikembangkan pada diri
individu melalui umur yang dimiliki. Umur yang produktif dapat mempengaruhi kemampuan fisik dan pola pikir, sehinga sangat potensial dalam mengembangkan berbagai usaha.
Tabel 4. Sebaran umur anggota KWT menurut kategori terhadap teknologi pemanfaatan lahan pekarangan ramah lingkungan di Kota Sawahlunto
Umur KWT tahun Jumlah orang
Persentase 17
– 33 9
30 34
– 50 17
57 51
– 67 4
13 Total
30 100
Sumber : Data Primer, 2015
Dari tabel 4 menunjukkan bahwa petani berumur 34 tahun sampai dengan 50 tahun jumlahnya lebih banyak sebagai responden yaitu 17 orang sehingga akan berpengaruh terhadap tingginya persepsi
anggota KWT pada kegiatan teknologi pemanfaatan lahan pekarangan ramah lingkungan. Anggota KWT berumur 17 tahun sampai dengan 33 tahun berjumlah 9 orang, namun anggota kwt pada umur
ini masih memiliki keingingan atau motivasi untuk memperbaiki teknologi pemanfaatan lahan pekarangan khususnya dengan teknologi ramah lingkungan, sehingga dari keinginan tersebut juga
akan berpengaruh terhadap tingginya persepsi KWT. Sedangkan anggota KWT yang berumur 51 tahun sampai dengan 67 tahun, walaupun memiliki banyak pengalaman, namun terkadang persepsi
terhadap inovasi baru lebih cenderung kurang dalam memahami atau menerapkannya. Semakin meningkatnya umur maka semakin meningkat pemanfaatan lahan pekarangan. Ini disebabkan oleh
responden yang berumur tua lebih aktif melaksanaakan kegiatan pemanfaatan lahan pekarangan, karena responden berumur tua sudah terbiasa dengan berusaha tani baik di kebun maupun di
pekarangan.
Latifah et al.2010 menyatakan bahwa semakin bertambah usia seseorang, maka akan semakin banyak alternatif cara yang dilakukan untuk menghadapi permasalahan yang dialaminya.
Umur seseorang berhubungan dengan persepsi melalui tahap perkembangan yang harus dijalani seseorang dalam hidupnya, proses inilah yang dapat mengubah persepsi seseorang pada suatu obyek
Gulam, 2011. Hal ini berarti bahwa umur yang produktif biasanya memiliki semangat untuk ingin tahu terhadap obyek yang dapat diamati disekitar lingkungannya, sehingga mereka berusaha aktif
mencari informasi, melaksanakan adopsi inovasi.
3. Luas Lahan Pekarangan X3 Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa didapatkan tingkat signifikasi untuk variabel luas
lahan pekarangan adalah 0,909 lebih besar dari taraf signifikansi 0,05 α = 0,05 dengan nilai t hitung dari variabel luas lahan pekarang sebesar 0,116 sehingga variabel luas lahan pekarangan tidak
berpengaruh nyata terhadap persepsi KWT pada kegiatan teknologi pemanfaatan lahan pekarangan ramah lingkungan.
225
Tabel 5. Sebaran Luas Lahan Pekarangan milik petani menurut kategori terhadap teknologi Pemanfaatan Lahan Pekarangan
Luas Pekarangan m
2
Jumlah orang Persentase
2 – 26
16 54
27 – 49
10 33
52 – 76
4 13
Total 30
100 Sumber : Data Primer, 2015
Sebaran dari segi luas lahan pekarangan terlihat bahwa 54 kwt memiliki lahan pekarangan hanya 2
– 26 m
2
, hal ini akan berpengaruh terhadap rendahnya produktifitas lahan pekarangan dalam penerapan teknologi pemanfaatan lahan pekarangan karena memiliki luas lahan pekarangan yang
sempit. Jika dilihat luas lahan pekarangan responden masih sedikitsempit, namun lahan pekarangan yang sempit bukanlah menjadi suatu hambatan dalam pemanfataan pekarangan.
Secara teknis pekarangan yang sempit tidak memungkinkan untuk menanam secara langsung ketanah tanpa menggunakan media, karena produksi yang diperoleh akan sedikit. Kondisi ini dapat
diupayakan dengan cara menggunakan media yang ada di sekitar lingkungan seperti pot, polybag, talang, botol plastik, dan bambu.
KESIMPULAN
1. Persepsi anggota kelompok wanita tani terhadap teknologi pemanfaatan lahan pekarangan ramah
lingkungan di Kota Sawahlunto lebih dari 50 anggota kelompok wanita tani mempunyai persepsi yang tinggi
yaitu sebesar 73. 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi anggota kelompok wanita tani terhadap teknologi
pemanfaatan lahan pekarangan ramah lingkungan di Kota Sawahlunto yakni tingkat pendidikan dan umur anggota KWT.
UCAPAN TERIMA KASIH
Kegiatan penelitian ini didukung DIPA Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Barat TA 2015. Terima kasih kepada Bapak Anwar Fadhli yang telah membantu terlaksananya kegiatan ini.
DAFTAR PUSTAKA
Anggoro, N. 2004. Respon Petani Terhadap Program Konservasi Tanah di Kabupaten Klaten. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada.
Ariani, M. 2010. Analisis konsumsi pangan tingkat masyarakat mendukung pencapaian diversifikasi pangan. Gizi Indon 331:20-28
[Balitbang] Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2012. Inovasi Terkini Budidaya Sayuran. Jakarta ID: Kementerian Pertanian Republik Indonesia.
Bappeda dan BPS Sumbar, 2011. Sumatera Barat dalam angka tahun 2011. Bappeda dan Badan
Pusat Statistik Propinsi Sumatera Barat. Padang Gulam PM. 2011. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Pemukim di Bantaran Sungai
Ciliwung di DKI Jakarta [tesis]. Bogor ID: Institut Pertanian Bogor. Irawan, 2013. Pertanian Ramah Lingkungan : Indikator dan Cara Pengukuran Aspek-Eknomi.
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta
Kementerian Pertanian. 2011. Pedoman Umum Model Kawasan Rumah Pangan Lestari. Jakarta Latifah EK, Hartoyo, Guhardjo S. 2010. Persepsi, Sikap, dan Strategi Koping Keluarga Miskin
Terkait Program Konversi Minyak Tanah Ke LPG di Kota Bogor. Jurnal Ilmu Keluarga dan Konsumen, 3 2 : 122-132.
Mardiharini M. 2011. Model Kawasan Rumah Pangan Lestari dan pengembangannya ke Seluruh Provinsi di Indonesia. Warta Penelitian Dan Pengembangan Pertanian, 33 6 : 3-5.
http:pustaka.litbang.deptan.go.id [diunduh 1 Februari 2014.]
226
Mardikanto, T. 2010. Metoda Penelitian dan Evaluasi Pemberdayaan Masyarakat. Program Studi Penyuluhan PembangunanPemberdayaan Masyarakat Program Pascasarjana UNS.
Surakarta. Mulyandari RSH. 2011. Perilaku Petani Sayuran dalam Memanfaatkan Teknologi
Informasi. Jurnal Perpustakaan Pertanian, 201 : 22-34 Rakhmat J. 2007. Psikologi Komunikasi. Bandung ID: Remaja Rosdakarya.
Rogers. EM. 2003. Diffusion of Innovations. 5
th
ed. New York US: Free Pres. Simanjuntak M, Puspitawati H, Djamaludin MD. 2010. Karakteristik Demografi, Sosial, dan Ekonomi
Keluarga Penerima Program Keluarga Harapan PKH. Jurnal Ilmu Keluarga dan Konsumen, 3 2 : 101-113.
227
PENINGKATAN PRODUKTIVITAS SAPI BALI DENGAN PEMBERIAN PAKAN TAMBAHAN KONSENTRAT DAN PROBIOTIK BIOPLUS PADA LAHAN SUB OPTIMAL
DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU INCREASING PRODUCTIVITY WITH THE PROVISION OF BALI CATTLE FEED
SUPPLEMENT USING CONCENTRATE AND PROBIOTIC BIOPLUS ON SUB-OPTIMAL LAND IN THE PROVINCE OF RIAU ISLANDS
Salfina N Ahmad, Apriyani NS, Melli Fitriani dan Zulfawilman
Loka Pengkajian Teknologi Pertanian Kepulauan Riau salfina.bptpgmail.com
ABSTRAK
Inovasi teknologi terhadap sapi potong di Provinvi Kepulauan Riau sangat dibutuhkan guna meningkatkan produktivitas. Sebelum dilakukan penelitian, pertambahan bobot badan sapi hanya
sekitar 0,1 – 0,2 kghariekor dan kematian anak 20. Secara performan, bulu sapi terlihat kusam
dan tidak mengkilat. Penelitian bertujuan untuk meningkatkan pertambahan bobot badan sapi dan mengurangi angka kematian pedet. Penelitian dilaksanakan di Desa Malang Rapat dan Bintan Buyu,
Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau. Materi yang digunakan adalah Sapi Bali sebanyak 18 ekor. Sapi dalam keadaan bunting dengan umur kebuntingan 6
–8 bulan. P0 = Sapi diberi pakan rumput lapangan + bioplus saja. P1 = P0 + pelepah sawit+dedak+ampas tahu+lamtoro.P2 = P0 +
limbah sayuran+dedak +ampas tahu +lamtoro. Selanjutnya semua sapi perlakuan, diberi obat cacing Caprintel Bolus® dengan dosis 2 bolusekor. Sebelum perlakuan sapi disuntik dengan vitamin B
Compleks dan antibiotik dengan dosis masing-masing sebanyak 5 cc. Pengukuran lingkar dada dilakukan sekali dalam sebulan. Hasil pengukuran kemudian dikonversikanmenggunakan metode
Smith. Dari hasil pengkajian terlihat bahwa P0, P1 dan P2menunjukkan angka kematian sebesar 0. Sedangkan pertambahan bobot badan sapi harian PBBH untuk masing
– masing perlakuan P0, P1 dan P2 secara berurutan yakni 0,3 kg, 0,66 kg dan 0,59 kgekorhari. Bobot lahir sapi P0, P1 dan P2
secara berurutan masing – masing 10,5 kg, 13 kg dan 12 kg.Secara performan anakan sapi P0 tidak
begitu aktif dan agak lemah sedangkan perlakuan P1 dan P2 anakan sapi yang dilahirkan lebih lincah dan kuat.
Kata kunci : Produktivitas, Sapi Bali, Sub Optimal, Sawit dan Limbah Sayuran, Bioplus
ABSTRACT
Innovations and technology to beef cattle in the Riau Islands is urgently needed to increase productivity. Before research, body weight gain of cattle is only about 0.1 to 0.2 kg day head and
the calves mortality 20. In performance of cow fur looks dull and not shiny.The research aims to improve body weight gain and reduced veal calf mortality. The research was conducted in the village
of Malang Rapat and Bintan Buyu, Bintan Regency, Riau Islands Province. The material used is 18 heads bali cattle. Cows in a state of gestation pregnant with 6-8 month. P0 = cows fed grass field +
bioplus only. P1 = P0 + palm midrib + bran + tofu + lamtoro. P2 = P0 + vegetable wastes + bran + tofu + lamtoro. Furthermore, all the cows treatment, given worm medicine Caprintel Bolus® a dose of
2 bolus head. Before treating cows injected with vitamin B Complex and antibiotic doses as 5cc. Measurements bust done once a month. The measurement results is then converted using the method
of Smith. From the results of the assessment shows that the P0, P1 and P2 showed a mortality rate of 0. While the daily cattle weight gain for each treatment P0, P1 and P2 respectively are 0.3 kg, 0.66
kg and 0.59 kg head day. Birth weight cattle P0, P1 and P2 in sequence are 10.5 kg, 13 kg and 12 kg. The performance of a calf P0 not very active and look weaker while P1 and P2 treatment of a calf
that was born more agile and powerful.
Keywords : Productivity, Bali Cattle, Sub-Optimal, and Waste Vegetable Oil, Bioplus
228
PENDAHULUAN
Pembangunan pertanian khususnya bidang peternakan di Provinsi Kepulauan Riau masih rendah.Hal ini dikarenakan pertambahan populasi sapi, kambing dan ayam masih rendah ditambah
dengan manajemen pemeliharaan yang masih tradisional. Di Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau masih banyak petani yang menggunakan cara ini. Maka dari itu diperlukan adanya inovasi
teknologi untuk mengubah sistem manajemen pemeliharaan secara tradisional ke sistem pemeliharaan yang intensif.
Provinsi Kepulauan Riau Kepri merupakan provinsi baru hasil pemekaran dari Provinsi Riau. Secara geografis Provinsi Kepulauan Riau berbatasan dengan negara tetangga yaitu Singapura,
Malaysia, dan Vietnam. Luas wilayah Provinsi Kepulauan Riau yakni 252.601 km
2
dimana 95 bagian wilayahnya merupakan lautan dan hanya 5 berupa daratan. Walaupun demikian masih ada
potensi untuk pengembangan pertanian khususnya bidang peternakan. Menurut hasil kajian analisa kebutuhan dan ketersediaan pakan yang dilaporkan oleh Dinas Pertanian, Kehutanan dan Peternakan
Provinsi Kepri 2007, ketersediaan pakan ruminansia dari padang rumput saja di provinsi ini dapat menampung 25 kali lipat dari jumlah populasi ternak ruminansia yang ada. Jumlah tersebut belum
termasuk sumber pakan yang berasal dari limbah pertanian berupa hasil limbah tanaman jagung manis serta agroindustri lainnya. Menurut data dari BPS Kepri 2011, produksi pertanian palawija dalam
hal ini jagung manis sekitar 924 ton dan kacang tanah 143 ton. Limbah dari tanaman jagung manis dan kacang tanah ini nantinya dapat digunakan sebagai pakan ternak.
Jumlah populasi sapi potong di Provinsi Kepulauan Riau adalah 17.378 ekor BPS Kepri, 2011. Masih terdapat kesenjangan antara jumlah permintaan daging sapi dibandingkan dengan
ketersediaanya. Hal ini yang mengakibatkan harga daging mahal. Rata-rata permintaan dan konsumsi daging sapi di Provinsi Kepulauan Riau meningkat sekitar 9,31 per tahun dimana sebagian besar
disuplai dari impor karena daerah tidak dapat memenuhi permintaan tersebut. Rendahnya produktivitas ternak sapi di tingkat petani merupakan salah satu faktor penyebab ketidakmampuan
daerah untuk memenuhi permintaan daging sapi. Produktivitas ternak sapi yang tinggi berhubungan dengan ketersediaan pakan yang mencukupi. Hal ini terlihat sebelum adanya penelitian, sapi terlihat
kurus dan nafsu makannya berkurang sehingga dengan pemberian pakan standard 10 dari bobot badannya pun masih terdapat sisa.
Di Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau, penggunaan limbah perkebunan kelapa sawit dan limbah sayuran sebagai pakan ternak belum pernah dilakukan. Menurut Suyasa dkk, 1999
menyatakan bahwa sapi Bali mempunyai kelemahan yaitu pertumbuhan yang lambat dengan culving interval dengan jarak yang panjang sehingga pertumbuhan populasi terhambat. Diharapkan dengan
adanya pemberian pakan tambahan ini nantinya memungkinkan jarak beranak dapat diperpendek.
Kelapa sawit merupakan komoditi perkebunan yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Tanaman ini menyumbang 27 dari kebutuhan minyak nabati dunia yang berasal dari buah. Luas
perkebunan kelapa sawit di Provinsi Kepulauan Riau tercatat sebesar 2.679 ha BPS Kepri, 2011. Dalam pengolahan kelapa sawit hingga menjadi minyak dihasilkan limbah perkebunan yang dapat
digunakan sebagai pakan ternak. Pelepah sawit pun dapat digunakan sebagai pakan tambahan untuk ternak.
Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan produktivitas sapi potong, meliputi meningkatan pertambahan bobot badan harian, meningkatan bobot badan lahir, meningkatkan birahi kembali dan
mengurangi angka kematian.
METODOLOGI
Penelitian ini dilakukan pada lahan sub optimal, sebelum dilakukan penelitian ternak sapi hanya diberi makan rumput lapangan sedangkan lahan sekitarnya banyak bahan lokal yang dapat
digunakan sebagai pakan ternak. Penelitian Integrasi Sapi Sawit melibatkan Kelompok Tani Tunas Jaya yang terletak di Desa Malang Rapat dan Kelompok Tani Tunas Muda di Desa Bintan Buyu,
Kecamatan Gunung Kijang, Kabupaten Bintan. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan bulan Agustus 2016.
Sapi yang digunakan dalam pengkajian merupakan sapi bali sebanyak 18 ekor, dimana sapi tersebut dalam keadaan bunting dengan usia kebuntingan 6
–7 bulan, dengan perlakuan seperti yang terlihat pada Tabel 1. Sebelum perlakuan, bobot badan sapi diukur dengan cara mengukur lingkar dada
LD dan panjang badan PB kemudian dihitung dengan cara sebagai berikut :
229
BB = LD²xPB 10
4
Keterangan : BB = Bobot Badan
LD = Lingkar dada PB = Panjang Badan
Pengukuran bobot badan pertama ini bertujuan untuk mengetahui bobot awal sapi sebelum penelitian. Selanjutnya pengukuran bobot badan sapi dilakukan setiap bulan sekali. Kisaran bobot
badan awal sapi yang digunakan dalam pengkajian ini antara 278,850 kg – 372,400 kg. Sedangkan
kisaran bobot akhirnya yakni antara 308,850 kg – 451,600 kg.
Limbah sawit yang digunakan yakni pelepah sawit dalam keadaan segar. Pemberian pelepah sawit terhadap ternak dengan cara pelepah sawit dicacah dengan mesin pencacah kemudian dicampur
dedak. Bioplus yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari Balitnak, Ciawi, Bogor. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok RAK dan diuji secara statistik yakni uji-t. Sapi tersebut
diberikan pakan tambahan berupa dedak, ampas tahu, limbah sayuran, dan pelepah sawit serta probiotik Bioplus seperti terlihat pada Tabel 1 dengan 3 perlakuan dan 6 ulangan.
Tabel 1. Perlakuan pakan tambahan dan probiotik bioplus pada sapi bali di kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau
No Uraian
Perlakuan Kontrol P0
Perlakuan 1 P1 Perlakuan 2 P2
1 Dedak 2kgekorhari
- √
√ 2
Limbah sayur 10 -
√ -
3 Pelepah daun sawit 30ekorhari
- -
√ 4
Bioplus 1 dosis = 0,5 kg diberikan sebelum pengkajian dan diberikan
setelah melahirkan √
√ √
5 Obat cacing 2 bolusekor
√ √
√ 6
Tetracycline Dosis 5 ccekor √
√ √
7 Ampas tahu
- √
√ 8
Rumput Lapang √
√ √
Sumber : Data primer 2016
Pelepah sawit segar tersebut dicacah dengan mesin pencacah kemudian dicampur dengan dedak, rumput lapangan serta kemudian diberikan kepada sapi. Pemberian Bioplus dengan cara
dicekokan ke dalam mulut sapi. Bioplus diberikan pada waktu awal pengkajian dan diberikan 2 bulan setelah sapi melahirkan. Sedangkan ampas tahu diberikan pada pagi hari. Sebelum penelitian,
dilakukan pemeriksaan telur cacing dengan mengambil feses sapi yang kemudian diperiksa di Laboratorium Kesehatan Hewan Provinsi Type B. Sebelumpengkajian dilakukan sapi diberi vitamin B
Komplex dan Antibiotik. Parameter yang diukur adalah bobot badan sapi pada awal dan akhir penelitian, bobot anak lahir, birahi kembali dan kematian pedet. Data yang diperoleh kemudian
dianalisa secara statistik dengan Rancangan Acak kelompok kemudian diuji t.
230
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian dapat terlihat pada Tabel 2.Berdasarkan tabel tersebut terlihat bahwa perlakuan P0, P1 dan P2 memberikan penambahan bobot badan masing
– masing sebesar 0,3 kg, 0,66 kg dan 0,59 kg per ekor per hari.Adanya pemberian pakan tambahan tersebut secara statistik tidak
berbeda nyata. Tabel 2. Rata-rata produktivitas sapi bali yang dipelihara selama 4 bulan di kabupaten bintan
No Uraian
Perlakuan P0
P1 P2
1 Rata-rata Bobot Badan awal
309,617 kg 328,165 kg
340,191 kg 2
Rata-rata Bobot Badan akhir 343,607kg
427,242 kg 401,008 kg
3 Petambahan bobot badan harian
0,30
a
kgekorhari 0,66
a
kgekorhari 0,59
a
kgekorhari 4
Rata-rata bobot lahir anak 10,5 kgekor
13 kgekor 10,5 kg’ekor
5 Rata-rata kematian pedet
16,55 6.
Birahi kembali 3 ekor
5 ekor 6 ekor
Angka pada lajur diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5 Sumber : Salfina, dkk 2016
Berdasarkan tabel diatas terlihat bahwa peningkatan bobot badan harian PBBH sapi paling tinggi adalah P1 yaitu 0,66 kgekorhari dan paling rendah P0 yaitu 0,3 kgekorhari. Akan tetapi
secara statistik antara P0, P1 dan P2 tidak berbeda nyata. Hasil tersebut dapat menunjukkan bahwa pemberian limbah pelepah sawit, limbah sayuran, maupun dedak dan ampas tahu memiliki
kemampuan untuk meningkatkan bobot badan sapi. Hasil yang dicapai saat ini lebih tinggi daripada yang dicapai Suyasa dkk., 1999 dan Widyazid dkk., 1999 yang masing
– masing hanya dapat menambah bobot badan harian sekitar 0,60 kgekorhari dan 0,62 kgekorhari. Nurhayu dkk.,2015
menyatakan bahwa pemberian pakan tambahan berupa pelepah sawit dapat meningkatkan bobot badan sapi sebesar 0,27 kgekorhari sedangkan menurut hasil penelitian Thony 2007, penambahan pelepah
sawit pada sapi peranakan Brahman dapat meningkatkan penambahan bobot badan harian sebesar 0,78 kghariekor.
Berdasarkan Tabel 2 diatas terlihat bahwa P0 diberi Bioplus dapat meningkatkan bobot badan sekitar 0,3 kgekorhari. Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian Batubara dkk., 1999 dimana dalam
penelitiannya adanya pemberian pakan tambahan pelepah sawit pada sapi bali mampu meningkatklan bobot badan harian sekitar 0,51 kgekorhari. Pemberian pakan tambahan berupa limbah sayuran,
dedak dan probiotik mampu meningkatkan rata-rata pertambahan bobot badan harian sapi sekitar 0,59 kgekorhari. Hasil penelitian ini sedikit lebih rendah dibanding hasil penelitian Ketut dkk., 2016
yaitu dengan pemberian limbah sayuran ditambah konsentrat dedak dan probiotik Bio-Cass mampu meningkatkan pertambahan bobot badan sapi sekitar 0,62 kgekorhari.
Probiotik bioplus adalah sumber vitamin, enzim, dan nutrien lain juga berperan dalam peningkatan populasi mikroba rumen. Selain itu, probiotik juga dapat memproduksi enzim pencerna
serat kasar. Dengan meningkatnya populasi mikroba rumen bakteri dapat menyebabkan peningkatan penggunaan amonia, kecernaan serat, dan sintesis protein mikroba. Peningkatan kecepatan kecernaan
serat dan pembentukan protein mikroba akan menyebabkan laju aliran pakan ke usus halus lebih cepat, sehingga dapat meningkatkan jumlah pakan yang dikonsumsi dan pasokan substrat ke usus halus, yang
akhirnya dapat meningkatkan laju pertumbuhan pertambahan bobot badan ternak. Hasil penelitian Winugroho et.al,. 1995 terlihat denganadanya pemberian dedakkosentrat kepada induk sapi
sebanyak 0,5 dan 1 dari bobot badan ternak menghasilkan berat badan harian masing
– masingsebesar 0,38 dan 0,51 kgekorhari.
Meningkatnya PBBH sapi pada P1 dan P2 disebabkan karena adanya penambahan probiotik Bio-Cass dan Bioplus, yang di dalamnya terkandung mikroba yang dapat membantu memecahkan
karbohidrat kompleks menjadi senyawa –senyawa yang lebih sederhana sehingga mudah dicerna oleh
saluran pencernaan sapi Ngadiyono dkk, 2001. Hasil penelitian menjelaskan bahwa pemberian pakan tambahan dedak ditambah limbah sayuran dan bioplus mampu meningkatkan pertambahan bobot
badan sekitar 0,59 kgekorhari. Ketut dkk., 2003 menambahkan bahwa secara umum penggunaan limbah sayuran memberikan respon pertumbuhan sapi yang cukup baik dibandingkan penggunaan
rumput
–rumputan sebagai hijauan, berdasarkan pengalaman petani di Baturiti dan sekitarnya penggunaan jenis rumput
–rumputan sebagai pakan hijauan memberikan pertambahan bobot badan sekitar 300
– 400 gekorhari sedangkan pemberian hijauan yang sebagian besar berupa limbah sayuran memberikan pertambahan bobot badan 400 gekorhari. Hal ini menunjukkan bahwa limbah
231
sayuran bisa dijadikan sumber Hijauan Makanan TernakHMT alternatif terutama dimusim kemarau sebagai pengganti rumput.
Flushing pada penelitian ini adalah pemberian pakan tambahan dedak 2 kgekorhari, pelepah sawit, ampas tahu dan limbah sayuran diberikan pada induk sapi yang sedang bunting dengan umur
kebuntingan 6 – 7 bulan. Umur kebuntingan 7 bulan merupakan umur kebuntingan yang sensitif
terhadap terjadinya perubahan pada janin. Penambahan pakan bernutrisi ini diharapkan dapat diterima oleh janin dalam kandungan sehingga berdampak positif terhadap induk dan janin sapi. Menurut
Djagra dan Budiarta 1979 fetus pada sapi bali akan berkembang pesat setelah memasuki umur kebuntingan 30 minggu kondisi induk akan sangat mempengaruhi fetus yang dikandungnya.
Berdasarkan Tabel 2 diatas terlihat bahwa rata-rata bobot anak yang dilahirkan pada induk perlakuan P1dan P2 masing
– masing adalah 13 kg dan 12 kg per ekor sedangkan bobot anak yang dilahirkan oleh induk perlakuan P0 sebesar 10,5 kgekor. Hasil penelitian ini sesuai dengan Djagra dan
Budiarta 1979 bahwa sapi yang dipelihara didaerah kering yang hijauannya terbatas seperti NTT dan NTB mempunyai rataan bobot lahir pedet sekitar 12
– 13 kgekor. Hasil penelitian ini didukung Pane 1990, dalam penelitian yang dilakukannya menghasilkan bobot lahir rata
– rata pada sapi bali 12 dan 13 kgekor. Sebagai tambahan bahwa keterbatasan hijauan yang tersedia akan mempengaruhi
pertumbuhan fetus terutama pada masa – masa kritis kebuntingan umur kebuntingan 30 minggu atau
7 bulan karena pada fase ini gizi yang dikonsumsi sepenuhnya digunakan untuk pertumbuhan fetus dan induk. Pane 1990 dan Winugroho et.al. 1995 mengatakan bahwa produktivitas indukan sapi
bali pada kondisi pedesaan dapat ditingkatkan dengan penambahan dedak padi dan bioplus. Di mana dengan adanya penambahan tersebut dapat menambah bobot badan dan produksi susunya. Hal ini akan
berpengaruh terhadap perkembangan anakan sapi pedet sehingga diperoleh pertumbuhan yang optimal. Pemberian Bioplus pada ternak sapi akan membantu memecah serat kasar, sehingga pakan
yang dimakan dapat diserap lebih sempurna dan berdampak terhadap pertumbuhannya.
Berdasarkan Tabel 2 diatas sapi yang bunting kembali pada perlakuan P0, P1 dan P2 masing masing sebanyak 3 50, 5 80,33 dan 6 100 ekor. Pada perlakuan P1 dan P2 sapi mengalami
birahi kembali birahi rata – rata 2 bulan setelah melahirkan sedangkan pada perlakuan P0 lebih dari 2
bulan. Menurut penelitian Suyasa dkk.1999 dengan pemberian pakan tambahan dapat meningkatkan kesehatan induk dan mempercepat rekondisi organ
– organ reproduksi sehingga mempercepat terjadinya birahi kembali. Suyasa dkk., 1999 menyatakan juga bahwa pakan tambahan yang
diberikan pada induk memberikan nutrisi yang mampu memenuhi kebutuhan tubuh untuk mempercepat pemulihan organ-organ setelah melahirkan.
Kematian anak sapi pedet yang diberi perlakuan P1 dan P2 sebanyak 0 sedangkan pada perlakuan kontrol P0 kematian anak sapi yaitu 1 ekor 16,66. Hal ini didukung oleh penelitian
Winugrohoet.al.,1995 yang menyatakan bahwa memberikan pakan tambahan dedak padi dan bioplus pada induk sapi dapat menambah bobot badan dan produksi susunya, yang akan mempengaruhi
terhadap perkembangan pedet sehingga diperoleh pertumbuhan yang optimal.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan 1. Pemberian pakan tambahan berupa dedak, ampas tahu, limbah sayuran, limbah pelepah sawit dan
bioplus dapat meningkatkan pertambahan bobot badan harian sekitar 0,3 kg, 0,59 kg dan 0,66 kg. 2. Pemberian pakan tambahan tersebut juga dapat menurunkan angka kematian pada anakan sapi dan
meningkatkan bobot lahir anak sebesar 10,5 kg, 12 kg dan 13 kg. Saran
Beberapa hasil kajian yang ditampilkan belum sepenuhnya memuaskan semua pihak, maka dari itu akan dilakukan kajian
– kajian selanjutnya untuk memperoleh data yang lebih lengkap.
DAFTAR PUSTAKA
BPS, 2011. Kepulauan Riau Dalam Angka 2011. Badan Pusat Statistik. Tanjung Pinang. Batubara, A., I. Kasep, A.A. Kisma A., Irfan H Simanjuntak dan Harahap.1999. Kajian integrasi
penggemukan ternak sapi potong di lahan perkebunan sawit. Laporan Hasil Kegiatan BPTP Riau Tahun 2000.
232
Djagra, dan GK. Budiarta. 1979. Faktor-faktor yang berpengaruh pada berat lahir dan berat sapih sapi bali. Prosiding Seminar Keahlian Dibidang Peternakan Sapi Bali. Fakultas Kedokteran
Hewan dan Peternakan Universitas Udayana. Denpasar. Harmadji, S.G.N. 1990. Prospek sapi bali dalam kaitannya dengan konsolidasi peternakan di
Indonesia. Kumpulan Reprint Publikasi Lab. Reproduksi : 1986 – 1990, hal ; 48 – 65.
Fapet UNUD. Denpasar. Ketut, K. I., Guntoro, S., I. B. Aribawa. 2003. Integrasi usaha tani sapi potong dengan sayuran di lahan
kering dataran tinggi beriklim basah. Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman- Ternak. Halaman 496
– 501. Bogor. Ngadiyono, N., Hari Hartadi dan M. Winugroho., Deddy Djauhari S., Salfina, NA. 2000. Pengaruh
pemberian bioplus terhadap kinerja sapi madura di kalimantan tengah. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 62. Halaman : 69-75.
Nurhayu, A., A. B. L Ishak., dan Andi E. 2014. Pelepah dan daun sawit sebagai pakan substitusi hijauan pada ternak sapi potong di kabupaten luwu timur. Prosiding Seminar Nasional.
Optimalisasi Sumberdaya Lokal Pada Peternakan Rakyat Berbasis Teknologi. Hal 108- 115. UNHAS, Makasar.
Pane, I. 1990. Upaya peningkatan mutu genetik sapi bali di P3 Bali. Prosiding Seminar Nasional Sapi Bali. Fakultas Peternakan Universitas Udayana. Denpasar.
Suyasa, S. Guntoro, Parwati, Suprapto, dan Widiyazid. S. 1999. Pemanfaatan probiotik dalam pengembangan sapi potong berwawasan agribisnis di bali. Jurnal Pengkajian dan
Pengembangan Teknologi Pertanian. Volume 2. No.1. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
Tony, FKP. 2007. Pengaruh penggunaan pelepah sawit dalam pakan berbasis limbah perkebunan terhadap performan sapi peranakan brahman lepas sapih. USU Press, Medan.
Widiyazid S., I Kt, Parwati, IA Pt., Suyasa, Nym., Suprio G., Londra Md., Tri Agastia, Km Adnyana, AA Gede. 1999. Laporan akhir usaha pertanian sapi potong berbasis ekoregional lahan
kering. IP2TP. Denpasar. Badan Litbang Pertanian. Winugroho, M. Y., Widiawati dan A. Thalib. 1995. Peningkatan produktivitas sapi potong menunjang
pengadaan daging nasional. Prosiding Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. 7
– 8 November 1995. Bogor. Yasa, I. M. R. 1997.Pengaruh perbedaan sistem pemeliharaan dan umur sapi bali terhadap prevalensi
infeksi cacing hati. Skripsi Fakultas Kedokteran Hewan, Iniversitas Udayana, Denpasar.
233
KARAKTERISTIK SIFAT KUALITATIF SAPI KAUR BETINA DIPROVINSI BENGKULU QUALITATIVE NATURE CHARACTERISTICS KAUR COW FEMALE IN PROVINCE
BENGKULU Erpan Ramon, Zul Efendi dan Wahyuni Amelia Wulandari
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian BPTP Bengkulu, Jl. Irian KM 6,5 Bengkulu38119. Telp. 0736 23030, faximile 0736 345568
Email: rerramonyahoo.com
ABSTRAK
Sapi Kaur merupakan salah satu jenis sapi lokal yang dimiliki Provinsi Bengkulu, terdapat diKabupaten Kaur, seperti halnya sapi lokal lain, sapi ini dapat dikembangkan untuk perbaikan mutu
genetik sapi lokal Indonesia. Tujuan pengkajian ini adalah untuk mendapatkan informasi akurat mengenai sifat-sifat kualitatif sapi Kaur, sapi kaur diharapkan menjadi plasma nutfah lokal yang
berasal dari Provinsi Bengkulu. Data diskriptif di peroleh melalui survey dan 46 ekor sapi kaur betina yang dikumpulkan data kualitatifnya dan disajikan dalam bentuk tabel agar lebih mudah dalam
pembahasan dan muda dipahami
. Hasil penelitian menunjukan bahwa Sifatkualitatif sapi kaur betina
memiliki warna moncong yang dominan adalah warna krim hitam yaitu 41,30 diikuti oleh warna hitam dan putih, warna hidung sangat dominan dengan warna hitam yaitu 91,3, kelopak mata
berwarna hitam diatas 93,48 sedangkan dahi warna krim. Tubuh bagian tengah berwarna terang, profil punggung berbentuk lurus 58,7 , miring kedepan 36,96 dan melengkung 4,35 , sedang
kan vulva sapi kaur betina mempunyai warna gelap.
Kata Kunci : Sapi kaur, Karakteristik, kualitatif, Provinsi Bengkulu.
ABSTRACT
Cows Kaur is one of the local cattle owned by the Province of Bengkulu, as well as other local cattle that can be developed to improve the genetic quality of local cattle Indonesia. The purpose of this
study is to obtain accurate information about the properties of qualitative Kaur cow, the cow is expected to be local genetic resources originating from the province of Bengkulu. Descriptive data
obtained through the survey and 46 cows kaur female qualitative data is collected and presented in tabular form to make it easier in the discussion and the young understood. The results showed that the
qualitative nature of cattle kaur females have muzzle dominant color is the color of cream, namely 41.30, followed by black and white, the color of the nose is very dominant in black that is 91.3,
black eyelid above 93.48 while the forehead color cream. Middle of the body a light-colored, straight-shaped back profile 58.7, 36.96 and tilted forward curved 4.35, while the female vulva
kaur cows have a dark color.
Keywords: Cow kaur, characteristics, qualitative, Province Bengkulu.
PENDAHULUAN
Di Provinsi Bengkulu terdapat sapi lokal yang lebih di kenal dengan sapi Kaur karena sapi tersebut terdapat hanya pada Kabupaten Kaur dan sedikit sekali di Kabupaten Bengkulu Selatan,sapi
tersebut merupakan sumberdaya genetik plasma nutfah yang terdapat diProvinsi Bengkulu.Seperti halnya sapi lokal lain, sapi tersebut dapat dikembangkan untuk perbaikan mutu genetik sapi lokal
Indonesia. Statistik Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bengkulu 2013. Mencatat jumlah populasi sapi di Kabupaten Kaurdari tahun 2009 sampai dengan 2013 terus bertambah rata-rata
± 337 ekortahun,menurut keterangan tokoh masyarakat dan pemerintah daerah Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Kaur sapi kaur berkembang biak sejak lama, sampai saat ini sapi kaur tersebut
sudah lebih dari 5 generasi karena sapi tersebut sudah ada sejak zaman kolonial Belanda. Menurut Noor 2008. Sapi lokal adalah sapi yang terbaik untuk lokal setempat karena sapi tersebut mampu
bertahan hidup berdasarkan seleksi alam selama bertahun-tahun. Ditjennak 2009. Menjelaskn juga bahwa sapi lokal adalah ternak hasil persilangan atau introduksi dari luar yang telah di kembangkan
diIndonesia sampai dengan generasi ke lima atau lebih yang telah beradaptasi pada lingkungan dan atau manejemen setempat.
Upaya untuk mempertahankan keberadaan ternak lokal di suatu daerah perlu dilakukan, karena ternak-ternak tersebut telah beradaptasi dengan keadaan lingkungan setempat dengan baik, baik
234
dengan makanan bernilai gizi rendah maupun penyakit didaerah teropis, Azmi, et al, 2007. dijelaskan juga oleh Agustar dan Jaswandi 2008. Mengemukakan bahwa jenis ternak sapi lokal Indonesia juga
mempunyai potensi daya reproduksi yang tinggi. Usaha mempertahankan eksistensi sapi kaur sebagai plasma nutfah indigenous, perlu di
lakukan kegiatan penjaringan guna mendapatkan bibit yang berkualitas. Peraturan Mentan No 54PermentanOT.140102006 menyebutkan bahwa untuk memilih ternak bibit perlu dilakukan uju
performan berdasarkan sifat kualitatif dan kuantitatif meliputi pengamatan, pengukuran dan penimbangan.
Sapi Kaur merupakan kekayaan sumberdaya genetik ternak yang dimilki oleh Provinsi Bengkulu sehingga perlu dikarakterisasi dan ditetapkan sebagai plasma nutfah ternak sapi asli
Indonesia yang terdapat di Kabupaten Kaur Provinsi Bengkulu.Karakterisasi merupakan langkah penting yang harus ditempuh apabila akan melakukan pengelolaan sumberdaya genetik secara baik
Chamdi, 2005. Karakterisaasi dapat dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif Noor, 2008; Abdullah, 2008; Sarbaini, 2004. ekspresi sifat ini ditentukan oleh banyak pasangan gen dan
dipengaruhi oleh lingkungan, baik lnternal umur dan seks maupun eksternal iklim, pakan, penyakit dan pengelolaan Martojo,1992; Warwick et al., 1995; Noor, 2008.
Sebagai gambaran awal sapi Kaur mempunyai morfologis yang khas, dimana sapi kaur betina mempunyai tanduk yang panjang dan cenderung melengkung ke depan menyerupai sabit dan tidak
berpunuk. Sedangkan sapi jantan mempunyai tanduk lebih pendek dan. Selain itu sapi kaur jantan mempunyai punuk dengan ukuran yang kecil. Sapi jantan dan betina mempunyai glambir. Warna bulu
sapi kaur dominan warna putih agak kekuningan, merah bata atau kombinasi warna hitam, putih, bercak hitam putih dan merah. Sapi jantan dewasa mempunyai bobot + 400 kg dan betina + 250 kg.
Sementara itu secara ekonomi, petemak harus mengupayakan peningkatan kesejahteraan. Karakterisasi morfologis sapi Kaur diKabupaten Kaur dilaksanakan sebagai bahan masukan untuk
pelaksanaan pelestarian plasma nutfah secara lekat lahan onfarm conservation dan pembandingannya dengan karakterisasi yang dilakukan peneliti sebelumnya. Dibandingkan dengan sapi exotic,
produktivitas sapi Kaur memang relatif lebih rendah terutama bila usaha temak dilaksanakan secara intensif dan komersial. Dilain pihak, sapi Kaur sudah beradaptasi baik dikabupaten Kaur dengan
keterbatasan sumberdaya agroekosistem lingkungan, mempunyai materi genetik yang sangat potensial untuk tetap dipertahankan keragamannya dan sekaligus menyediakan materi genetik untuk
menciptakan bangsa temak masa mendatang.
Penelitian mengenai karakterisasi sifat kualitatif ini bertujuan untuk mendapatkan informasi yang akurat mengenai sifat-sifat kualitatif sapi Kaur yang di harapkan dapat dimanfaatkan sebagai
flasma nutfah lokal yang berasal dari Provinsi Bengkulu, penelitian ini juga diharapkan dapat digunakan untuk mendukung keberhasilan program Open Nucleus Breeding Scheme ONBS yaitu
program perbibitan melalui penjaringan sapi-sapi lokal potensial sebagai sumber bibit.
METODOLOGI
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Kaur pada dua kecamatanyang merupakan daerah sentra populasi sapi Kaur. Pengkajian dilaksanakan pada bulan April sampai dengan Juli 2016. Data
keadaan umum lokasi pengkajian di peroleh dari data Pemerintah Daerah, untuk mengetahui sejarah singkat tentang sapi kaur dilakukan diskusi dengan beberapa tokoh masyarakat pada beberapa
kecamatan dikabupaten Kaur. Sebanyak 46 ekor sapi Kaur betina, ciri visualnya didokumentasikan, kemudian diamati polawarna tubuh secara keseluruhan, arah tanduk dan telinga, kelopak mata, profil
tubuh bagian belakang. Data yang diperoleh selanjutnya ditabulasi dan dihitung Frekuensi fenotipnya kemudian menganalisis variasi sifat kualitatif. Frekuensi fenotip dihitung berdasarkan proporsi fenotip
dengan rumus sebagai berikut Johari et al., 2009:
235
Σ Sifat A Frekuensi fenotip sifat A= ------------------- x 100
N Keterangan:
A = salah satu sifat kualitatif pada Sapi Kaur yang diamati N = total contoh Sapi Kaur yang diamati
Perhitungan dari frekuensi fenotip kemudian disajikan dalam bentuk tabel untuk memudahkan dalam pembahasan.
Pengamatan karakterisasi morfologis sapi kaur yang diamati pada dua kecamatan yaitu Kecamatan Kelam Tengah dan Kecamatan Kaur Selatan. Lokasiyang terpilih adalah desa Rigangan I
dan desa Rigangan III kecamatan Kelam Tengah, dengan pola usaha pembibitan dan pengembangan. Desa Selasih Kecamatan Kaur Selatan pola usaha penggemukan dan dipelihara untuk tujuan sebagai
sapi pekerja Pedati. Karakteristik spesifik sapi Kaur didapatkan dengan pengamatan secara langsung dan menggali preferensi peternak atas keragaman sifat kualitatif yang didapatkan. Preferensi petugas
lapangan dan peternak dijadikan sebagai bahan pertimbangan penilaian kualitatif.
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan umum lokasi pengkajian
Kabupaten Kaur memiliki lahan kering Tegalkebun, Ladang, dan padang penggembalaan yang luas yakni sekitar 17.214 Ha BPS Kabupaten Kaur 2015. Melihat keadaan lahan kering yang
relatif luas, maka sangat potensial bagi ketersediaan lahan untuk usaha peternakan, dengan kata lain bahwa Kabupaten Kaur disamping merupakan lumbung pertanian juga merupakan lumbung ternak
secara regional. Hal ini terlihat dampak positifnya, bahwa usaha pengembangan ternak sapi potong di masyarakat dapat berkembang dengan baik, disisi lain juga mampu memberikan peluang usaha dan
pendapatan sebagian masyarakat pedesaan. Badan Pusat Statistik Kabupaten Kaur mencatat, populasi sapi di Kabupaten Kaur setiap tahun terus bertambah. Hasil pendataan yang dilakukan lembaga itu
menunjukkan, populasi sapi di Kabupaten Kaur tahun 2015 mencapai 10.100 ekor. Angka ini mengalami peningkatan dibanding tahun 2011 yang hanya mencapai 6.024 ekor.
Oleh karena itu, wilayah pengamatan dapat dikelompokkan sebagai wilayah beragroekosistem lahan sawah dan wilayan beragroekosistem lahan pantai. Sebagian besar 84,9 tataguna lahan
wilayah pengamatan di Kabupaten Kaur berupa lahan tada hujan tegalan, sedangkan di wilayah Kabupaten Kaur sebagian besar 43,3 berupa sawah tadah hujan dan sebagian lagi 25,8 berupa
lahan tegalan Wilayah pengamatan di Kabupaten Kaur relatif subur. Perbedaan kondisi agroekosistem temyata berpengaruh terhadap pola usaha ternak sapi Kaur.
Berdasarkan hasil diskusi dan pengamatan, peternak memelihara ternak sapi kaur dengan alasan lebih mudahgampang dalam pemeliharaan, ternak sapi lokal ini merupakan harta warisan yang
turun temurun keluarga, hal ini hampir sama dengan hasil penelitian yang di lakukan oleh Zuman., et al. 2012, menyatakan bahwa ada 3 hal peternak mempertahankan ternak sapi lokal, 1. Ekonomi,
menambah pendapatan sebagai ternak kerja dan tabungan., 2. Teknis, jinak dan mudah di kendaliakan dan tahan terhadap penyakit dan 3. Sosial, warisan keluarga dan ikut keluarga. Petemak sapi di
Kecamatan Kelam Tengah pada umumnya memelihara sapi Kaur dengan tujuan untuk menghasilkan anak pola usaha pembibitanpembesaran, sedangkan peternak di Kecamatan Kaur Selatan pada
umumnya memelihara sapi Kaur dengan tujuan untuk penggemukan pola usaha penggemukan dan dipelihara untuk tujuan sebagai sapi pekerja Pedati. Tanah yang relatif subur dan ketersediaan
hijauan pakan, limbah pertanian juga berkontribusi sebagai sumberdaya pendukung usaha ternak sapi kaur.
Sejarah singkat Ternak Sapi kaur
Sapi lokal provinsi Bengkulu di Kabupaten Kaur sangat unik karena di pelihara oleh masyarakat setempat. Zuman et al, 2012, menjelaskan bahwa sapi kaur dipelihara secara ekstensif
disepanjang daerah pantai kabupaten Kaur dalam bentuk ranch-ranch dan sedikit sekali di daerah dataran tinggi. Kelebihan sapi ini adalah dapat beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang ekstrim,
berdasarkan pengalaman dan informasi petugas setempat belum ada penyakit yang infeksius, angka fertilitas relatif tinggi, tahan terhadap pakan yang nilai nutrisinya rendah, keberadaan ternak sapi kaur
di kabupaten kaur sudah diatas lima puluhan tahun dengan demikian merupakan sumberdaya genetik
236
plasma nutfah yang dapat di kembangakan untuk perbaikan dan perbaikan mutu, tingkat penyebarannya terbatas hanya pada kabupaten kaur dan kabupaten Bengkulu Selatan saja.
Menurut tokoh masyarakat asal-usul sapi kaur berasal dari India dalam rangka penyebarluasan ternak sapi pada zaman kolonial Belanda diawali dengan masuknya pedagang-pedagang zaman
belanda, melalui aceh umumnya para pejabat keresidenan belanda menggunakan sapi tersebut sebagai alat transportasi antar keresidenan melalui daerah palembang dan sampai kekabupaten kaur dan
menyebar, sapi kaur tersebut berdomestifikasi cendrung ke warna putih, ciri yang mencolok pada sapi betina adalah tanduk mengarah ke depan, ketahanan tubuh sangat baik, ukuran tubuh. Oleh karena itu
perlu upaya mempertahankan keragaman genetik melalui konservasi yang merupakan bentuk usaha yang rasional baik ditinjau dari aspek potensi, keilmuan maupun sosio-ekonomi. Pola perkawinan dan
seleksi yang tidak terkontrol atau terlalu ketat dapat menyebabkan erosi materi genetik.
Pengamatan Linier Tubuh Sifat kualitatif
Profil ternak sapi kaur bertempramen jinak, muka lurus kedepan, bentuk telinga oval dan mengarah ke samping, sapi kaur betina tidak mempunyai punuk, keberadaan tanduk kecil 6,52 ,
tidak bertanduk 2,17 dan ada tanduk normal 91,30 , warna tanduk coklat kehitam- hitaman 90 dan coklat muda 10 , tanduk mengarah ke atas depan 21,74 , mengarah ke atas 56,52 , mengarah
kesamping dan mengarah ke bawah 2,17 , mengarah ke bawah samping 4,35 dan mengarah ke depan 15,22 . Seperti yang terlihat pada gambar 1.
Keragaman lain yang terlihat di bagian kepala adalah munculnya tanduk yang beragam. Secara umum bentuk tanduk sapi Kaur ada 2 dua macam tanduk sapi Kaur yaitu bentuk lurus dan
melengkung,sedangkan yang melengkung ada 4 empat tipe yaitu melengkung keatas, melengkung kedepan, melengkung kebelakang dan melengkung kebawah. Dari hasil karakterisasi yang dilakukan
terdapat 95,23 sapi Kaur yang memiliki tanduk dan 4,76 yang tidak bertanduk di Kecamatan Kelam Tengah, sedangkan di Kecamatan Kaur Selatan terdapat 93,22 sapi Kaur yang bertanduk
dan 6,78 sapi Kaur yang tidak bertanduk, berdasarkan hasil pengamatan tersebut bahwa hal tersebut mempunyai kemiripan dengan sapi katingan hasil penelitian Utomo et al 2012.
Menimpulkan bahwa bentuk pertumbuhan tanduk sapi katingan didominasi mengarah melengkung kedepan.
Profil pantat berbentuk datar, ekor mempunyai warna coklat dan panjang termasuk sedang ukuran 68
– 85 cm. Sistem perkawinan ternak seringkali tidak terkontrol oleh peternak dan petugas hal ini di sebabkan oleh sistem pemeliharaan yang masih sistem konfensional, menurut keterangan
petugas dan pengalaman peternak sapi kaur sangat toleran terhadap penyakit yang berbahaya dan kondisi kekeringan dan panas, hal ini hampir sama dengan pendapat Setiadi dan Dwiyanto 1997,
menerangkan hasil penelitiannya bahwa sapi lokal lebih tahan terhadap keterbatasan sumberdaya lingkungan.
Telinga Kelopak mata
Hidung Dahi sapi kaur
237
Bentuk tanduk betina Bentuk Muka sapi kaur
Gambar 1 : foto bagian sifat kualitatif sapi kaur betina Hasil pengamatan di jabarkan pada tabel 1 diketahui bahwa sapi kaur betina memiliki warna
moncong yang dominan adalah warna krim yaitu 41,30 yang di ikuti oleh warna hitam dan putih, warna hidung sangat dominan dengan warna hitam yaitu diatas 90 , hasil penelitian ini hampir
mempunyai kemiripan dengan sapi madura yang dilakukan oleh Setiadi dan Dwiyanto 1997. Menerangkan bahwa sapi madura mempunyai moncong berwarna hitam. kelopak mata sapi kaur di
dominasi juga oleh warna hitam diatas 90 sedangkan dahi terrnak sapi kaur betina adalah didominasi oleh warna krim. Hasil pengamatan ini hampir mirip dengan hasil penelitian yang di
lakukan oleh Utomo et al 2012, terhadap sapi katingan betina mempunyai pariasi warna yang relatif tinggi yaitu sembilan pola warna dengan dominasi warna gelap coklat kemerahan. Hal ini
menunjukan bahwa dari pola warna sapi kaur mempunyai kemiripan dengan sapi betina katingan.
Tabel 1. Keragaan warna pada bagian kepala
Moncong Pola sifat Kualitatif
Σ Total ekor Total
Putih 8
17,39 Hitam
10 21,74
Kuning 6
13,04 Coklat
1 2,17
Krim 19
41,30 Abu-abu
2 4,35
46 100
warna Dahi Pola sifat Kualitatif
Σ Total ekor Total
Putih 8
17,39 Kuning
18 39,13
Merah 3
6,52 Hitam
3 6,52
Krim 10
21,74 Coklat
4 8,70
46 100
Kepala Pola sifat Kualitatif
Σ Total ekor Total
Putih 8
17,39 Hitam
5 10,87
Kuning 16
34,78 Merah
3 6,52
Krim 10
21,74 Coklat Kehitaman
3 6,52
Abu-abu 1
2,17 46
100
Berdasarkan Tabel 2 terlihat hasil penelitian pada sampel lokasi penelitian diperoleh bahwa warna badan bagian tengah didominasi oleh warna terang yaituwarna putih sebesar 28,26 yang di
ikuti oleh warna kuning keemasan, kuning bata dan warna krim masing-masing sebesar 23,91 sedangkan warna lain adalah hitam, abu-abu, coklat dan merah tua. Hasil ini hampir sama dengan hasil
penelitian Setiadi dan Dwiyanto 1997. Bahwa sapi madura yang didominasi oleh warna terang. Kemungkinan besar hal ini disebabkan oleh kondisi lingkungan, yaitu pada pola warna badan sapi
kaur betina di dominasikan oleh warna terang disebabkan oleh daerah kabupaten kaur yang mempunyai suhu yang tinggi dengan hari hujan yang relatif lebih rendah dan ketersediaan sumberdaya
238
pakan hijauan relatif terbatas. Hal ini hampir sama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Handiwirawan dan Subandrio 2004. Menyatakan bahwa sapi bali betina pada umumnya mempunyai
pola warna terang kuning kemerah-merahan warna tersebut cocok untuk dijadikan induk betina mempunyai produktifitas reproduksi yang tinggi.
Pada sapi Katingan warna bulu lebih beragam jika dibandingkan dengan warna bulu pada kaur, sapi Bali, PO dan Madura. Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa jenis sapi lokal
Indonesia lainnya menunjukkan berbagai variasi warna bulu. Namikawa et al. 1982 mengklasifikasi secara fenotip warna sapi-sapi di Indonesia menjadi enam jenis, yaitu hitam, coklat kegelapan, coklat
kekuningan, putih keabuabuan, warna seperti Bali dan tipe Bali. Pola warna sapi Katingan ditemukan pada sapi lokal lainnya, seperti sapi Pesisir, sapi Aceh dan sapi Jawa. Sarbaini 2004
mengelompokkan sapi Pesisir ke dalam lima warna utama dan warna yang dominan adalah merah bata. Sedangkan warna bulu sapi aceh dikelompokkan oleh Abdullah 2008 ke dalam delapan pola
warna bulu, dan yang dominan adalah warna merah bata dan cokelat muda. Sapi Jawa oleh Soeroso 2004 dikelompokkan ke dalam empat kelompok dengan warna bulu dominan adalah coklat
kekuningan. Warna bulu sapi menurut Johari et al. 2009 dapat menunjukkan kemampuan dalam beradaptasi dengan lingkungan
Propil punggung berbentuk lurus 58,70 , miring kedepan 36,96 dan yang berpropil melengkung sangat sedikit yaitu sebesar 4,3 , sedangkan Pada tabel 2 juga terlihat bahwa warna
vulva sapi kaur betina 60,87 berwarna hitam kecoklatan warna coklat 13,04 , warna hitam oranye, putih totol masing-masing 4,35 , dan kuning tua 2,17 . Pengamatan warna vulva ini sama
dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sudrajad dan Adinata 2013 pada sapi PO. Pada umumnya peternak lebih menyukai vulva berwarna gelap hitam, sebab peternak meyakini bahwa
sapi betina dengan vulva warna hitam memiliki kinerja reproduksi yang lebih baik, seperti beranak lebih pendek, hal ini di perlukan dibuktikan denganpenelitian lebih lanjut.
Tabel 2. Keragaan warna pada bagian badan
warna Badan Pola sifat Kualitatif
Σ Total ekor Total
Putih 13
28,26 Hitam
4 8,70
Kuning Keemasan 11
23,91 Merah Tua
2 4,35
Krim 11
23,91 Abu-abu
3 6,52
Coklat 2
4,35 46
100 Profil Punggung
Pola sifat Kualitatif Σ Total ekor
Total Lurus
27 58,70
Miring ke depan 17
36,96 Melengkung
2 4,35
46 100
Warna Vulva Pola sifat Kualitatif
Total ekor Total
Putih Totol 1
2,17 oranye Hitam
1 2,17
Kuning Tua 1
2,17 Hitam kecoklatan
43 93,59
46 100
239
Potensi Sapi kaur
Sapi kaur mempunyai potensi untuk dibudidayakan secara intensif hal ini dikarenakan sapi tersebut memiliki keunggulan, yakni dapat beradaptasi dengan baik pada keadaan lingkungan yang
kurang baik seperti daerah sepanjang pantai Kabupaten Kaur, sapi kaur juga dapat hidup pada daerah pemukiman penduduk pedesaan, sapi kaur juga dapat hidup pada wilayah yang mempunyai
keterbatasan sumberdaya pakan, hal ini mempunyai kemiripan dengan keunggulan dari sapi madura yakni dapat beradaptasi dengan baik pada lingkungan panas dan kering serta keterbatasan sumberdaya
pakan. Hal ini sama dengan hasil penelitian pada sapi bali yang dilakukan oleh Handiwirawan dan Subandrio 2004. Sebagai sapi asli Indonesia, sapi bali memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi
terhadap lingkungan yang kurang baik, namun demikian sapi bali ternyata memiliki kerentanan yang sangat tinggi terhadap beberapa jenis penyakit.
Dari hasil pengkajian terlihat bahwa sapi kaur betina mempunyai kemampuan reproduksi yang baik hal ini terlihat dari warna gelap pada vulva hitam kecoklatan, hal ini sama dengan hasil
penelitian yang di lakukan olehSudrajad dan Adinata 2013, menyatakan bahwa peternak lebih menyukai sapi dengan vulva warna hitam, sebab mereka meyakini bahwa sapi dengan warna vulva
hitam memiliki kinerja reproduksi yang lebih baik, seperti jarak beranak lebih pendek.
KESIMPULAN
Ternak sapi kaur berasal dari daerah india masuk melalui laut pada zaman hindia belanda, dipelihara oleh peternak sistem kompensional didaerah panas di sepanjang pantai kabupaten Kaur.
Sapi kaur mempunyai ketahanan hidup pada daerah dengan keterbatasan sumberdaya agroekosistem lingkungan. Pola warna sapi kaur betina di dominasi oleh warna terang yaitu putih, kuning dan
sedikikit sekali warna gelap, sapi kaur betina pada umumnya mempunyai tanduk mengarah keatas depan, warna vulva di dominasi oleh warna gelap hitam kecoklatan .
UCAPAN TERIMA KASIH
Terimakasih penulis sampaikan kepada bapak Dedi Sugandi kepala BPTP Bengkulu yang telah membantu memberikan saran pembinaan dan pendapatnya, Dari awal kegiatan pengkajian
hingga sampai pada akhir penulisan makalah ini. Ucapan terimakasih juga kepada kami sampaikan kepada penanggungjawab kegiatan Sumber Daya Genetik SDGyang telahfasilitasi pelaksanaan
kegiatan pengamatan ternak.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M.A.N. 2008. Karakterisasi genetik sapi Aceh menggunakan analisis keragaman fenotipk, daerah Dloop DNA mitokondria dan DNA mikrosatelit. Disertasi. Sekolah Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor, Bogor. Agustar A, dan Jaswandi. 2008. Melirik potensi sapi lokal dalam upaya mewujudkan kecukupan
pangan dan pengembangan kawasan pembangunan peternakan. Dalam Prosiding Seminar Nasional Peternakan Revitalisasi Potensi Lokal. Padang Indonesia : BPTP Sumatra
Barat. Hlm 27 – 31.
Azmi, Gunawan, Suharnas S. 2007.Study Karakteristik Morfologis dan genetik kerbau Benuang di Bengkulu. Dalam Bamualim AM, Talib C. Handi wirawan E. Herawati T. Penyunting
Peningkatan Produktifitas ternak kerbau dalam mendukung swasembada daging sapi tahun 2010. Prosiding seminar dan Lokakarya Nasional Usaha ternak Kerbau Jambi, 22
– 23 Juni 2007. Bogor Indonesia: Puslitbangnak. Hlm 107
– 112. BPS Kabupaten Kaur. 2015 Kabupaten Kaur dalam Angka. BAPPEDA dan Badan Pusat Statistik
Kabupaten Kaur. Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bengkulu. 2013. Statistik Peternakan Provinsi
Bengkulu tahun 2013. Dirjend Peternakan. 2009. Buku statistik Peternakan Tahun 2008. Departemen Pertanian. Jakarta.
DISTANAK Kabupaten Kaur, Laporan Tahunan, Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Kaur 2015.
240
Hartati, Sumadi dan Hartatik, T. 2009. Identifikasi karakteristik genetik sapi peranakan ongole dipeternakan rakyat. Buletin Peternakan ISSN 0126-4400 Volume. 33 Halaman 64 -73.
Handiwirawan. E. Dan Subandriyo. 2004. Potensi dan keragaman sumberdaya genetik sapi bali. Prosiding Lokakarya Nasional Sapi Potong Halaman 50
– 60 Johari, S., Sutopo dan A. Santi. 2009. Frekuensi fenotipik sifat-sifat kualitatif ayam Kedu dewasa.
Makalah Seminar Nasional Kebangkitan Peternakan, Semarang, 20 Mei 2009. Universitas Diponegoro, Semarang.
Namikawa, T., J. Amano and H. Martojo. 1982. Coat colour variation of Indonesia cattle. The Origin and Phylogeny of Indonesia Native Livestock Part III. Tokyo: The Research Group of
Overseas Scientific Survey. pp. 31-34. Noor, R.R.2008. Genetika Ternak. Ed ke-4. PT. Penebar Swadaya. Depok.
Pundir, RK, Singh PK, Singh, KP, Dangi, PS. kjg2011. Factor Analysis of Bio Metric of Kankrej cow to explainbody confirmation. Asian
– Aust J Anin Sci.24: 449 – 456. Sarbaini. 2004. Kajian keragaman karakteristik eksternal dan DNA ikrosatelit sapi pesisir Sumatera
Barat. Disertasi. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Setiadi, B dan K, Dwiyanto. 1997. Karakterisasi Morfologis Sapi Madura. Jurnal Ilmu Peternakan dan
Veteriner Vol. 2 No. 4 Halaman: 218 – 224.
Soeroso. 2004. Performans sapi Jawa berdasarkan sifat kuantitatif dan kualitatif. Tesis. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Sudrajad, P., Subiharta dan Adinata Y. 2013. Karakter Fenotipik Sapi Betina Peranakan Ongole Kebumen, Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Puslitbang Peternakan.
Halaman 98 - 106. Utomo. BN., Noor. RR., Sumantri. C., Supriatna.I., Gunardi. E.D. dan Tiesnamurti B. 2012.
Keragaman Fenotifik Kualitatif Sapi Katingan. JITV. Volume 17 No 01 Halaman 1 – 12.
Zuman, H., Setianto, J. Dan Utama, P. 2012. Keputusan Peternak Mempertahankan Ternak Sapi Lokal Sebagai Usaha Ternak Di Kabupaten Kaur. Jurnal Penelitian Pengelolaan Sumberdaya
Alam dan Lingkungan Nuturalis. ISSN : 2302-6715 . Volume 1. Nomor 2, Halaman 135 - 140.
241
PEMBERDAYAAN KELOMPOK PETERNAK MELALUI USAHA PEMBUATAN PUPUK ORGANIK DI KABUPATEN SLEMAN
EMPOWERMENT OF FARMER GROUP THROUGH ORGANIC FERTILIZER BUSINESS DEVELOPMENT IN SLEMAN DISTRICT
Sri Budhi Lestari, Ari Widyastuti dan Endang Wisnu Wiranti
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta sribudhilestarigmail.com
ABSTRAK
Permasalahan yang sering muncul ditingkat peternak antara lain adalah keengganan petani dalam menggunakan limbah kandang sebagai pupuk untuk tanamanya. Beberapa alasan dikemukakan bahwa
penggunaan limbah kandang menyulitkan karena membutuhkan banyak tenaga untuk mengangkut dari kandang ke lahan; penggunaan limbah kandang menimbulkan masalah baru yaitu tumbuhnya gulma
secara cepat dan menimbulkan bau menyengat. Untuk mengatasi hal ini, perlu dilakukan kajianpenelitian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemberdayaan kelompok peternakbaik
dari aspek ekonomi maupun dari aspek sosialkhususnya dalam usaha pembuatan pupuk organik padat. Penelitian dilakukan pada bulan Maret 2016 di kelompok peternak Andini Mulyo Desa Purwomartani
Kecamatan Kalasan Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta.Lokasi penelitian ditentukan secara purposive, yaitu di lokasi kegiatan pendampingan pengembangan kawasan peternakan sapi
potong Kabupaten Sleman.Penelitian dilakukan dengan metoda on-farm research. Parameter yang diamati meliputi efisiensi penggunaan input dalam pembuatan POP Pupuk Organik Padat dan
kapasitas kelompok peternak dalam menjalin kerjasama pemasaran produk POP. Untuk mengetahui efisiensi penggunaan input dilakukan dengan analisis input-output pembuatan POP model petani
peternak model lama dan model introduksi teknologi pembuatan POP hemat tenaga pada kegiatan pendampingan kawasan pengembangan sapi potong. Untuk mengetahui kapasitas kelompok dalam
menjalin kerjasama pemasaran produk POP, dilakukan wawancara dan pengamatan selama pendampingan berlangsung. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa terdapat efisiensi input sebesar Rp
340.000,-perperiode produksi. Kelompok mampu menjalin kerjasama pemasaran POP dengan Gapoktan setempat dan Gapoktan se Kecamatan untuk mendukung kegiatan GP-PTT Gerakan
Penerapan Pengelolaan Tanaman Terpadu.
Kata kunci: Kelompok peternak, pupuk organik, pemberdayaan, Sleman.
ABSTRACT
One of problems which often arise among breeders is reluctance of farmers using cages waste as fertilizer for crops. Some reasons of it stated that the use of waste enclosure is difficult because it
requires a lot of energy to transport cage to land; the use of waste enclosure creates new problems, namely the quick growth of weeds and a stench production. To overcome this, it is necessary to do
research. This study aims to determine farmer group empowerment both from economic and social aspects, specifically in solid organic fertilizer production enterprise. The study is conducted in March
2016 for Andini Mulyo farmers group in Purwomartani Village, Kalasan Sub-District, Sleman Regency, Special Region of Yogyakarta. The location in which this study conduct is determined
purposively, ie on-site assistance activities the development of beef cattle breeding in Sleman region. On-farm research method conducts this study. The observed parameters are the efficiency of POP
Solid Organic Fertilizer making input use and the farmer group capacity in establishing a joint marketing of POP products. To determine of input use efficiency is employed by the POP making an
input-output analysis of livestock farmers model old model and introduction models of POP making technology power saving on area assistance activities of beef cattle development. The group capacity
determination in POP product marketing cooperation is conducted by interviews and observations during the mentoring. The results show that there is input efficiency of Rp 340,000,- per production
period. That group capable tp establish POP marketing cooperation with local Gapoktan among Sub District to support GP-PTT Movement Implementation of Integrated Crop Management activity.
Keywords: group of farmers, organic fertilizer, empowerment, Sleman.
242
PENDAHULUAN
Kegiatan usaha peternakan di Indonesia sebagian besar dilakukan oleh peternakan rakyat yang merupakan peternak dengan skala usaha terbatas. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia nomor 6 tahun 2013 tentang pemberdayaan peternak, peternak sebagai salah satu tulang punggung dalam mencukupi kebutuhan pangan asal hewan, bahan baku industri dan jasa yang perlu
diberdayakan melalui pemberian kemudahan dalam menjalankan usahanya agar mampu mandiri dan berkembang untuk meningkatkan kesejahteraannya Ditjen PKH, 2016.
Pemberdayaan masyarakat merupakan upaya dalam mengembangkan rencana kerja masyarakat petani agar lebih maju dan mandiri. Pemberdayaan masyarakat bertujuan untuk membuat
masyarakat menjadi mandiri, dalam arti memiliki potensi untuk mampu memecahkan masalah- masalah yang mereka hadapi, dan sanggup memenuhi kebutuhannya dengan tidak menggantungkan
hidup mereka pada bantuan pihak luar, baik pemerintah maupun organisasi-organisasi non- pemerintah.Permasalahan mendasar yang dihadapi petani adalah kurangnya akses kepada sumber
permodalan, pasar dan teknologi, serta organisasi tani yang masih lemah Nadrayunia, 2012.
Terkait dengan pengelolaan limbah kandang sapi, permasalahan yang sering muncul ditingkat petani antara lain adalah keengganan petani dalam menggunakan limbah kandang sebagai pupuk untuk
tanamannya. Beberapa alasan dikemukakan bahwa penggunaan limbah kandang menyulitkan karena membutuhkan banyak tenaga untuk mengangkut dari kandang ke lahan; penggunaan limbah kandang
menimbulkan masalah baru yaitu tumbuhnya gulma secara cepat dan menimbulkan bau menyengat.Untuk mengatasi hal tersebut, perlu dilakukan pengelolaan pada limbah kandang yaitu
dengan menebarkan bahan decomposit yang dapat mempercepat penguraian limbah kandang. Teknologi ini memerlukan waktu 4 empat minggu dan membutuhkan tenaga dalam proses
pembalikannya.Dalam perkembangannya, pembuatan pupuk organik dengan decomposer tidak lagi membutuhkan tenaga kerja untuk proses pembalikan. Penggunaan bambu ataupun paralon yang
dipasang ditengah tumpukan limbah kandang, dapat melancarkan keluar-masuknya sirkulasi udara, sehingga tidak perlu lagi dibolak-balik. Cara ini mudah dilakukan dan tentu saja akan menghemat
tenaga kerja dalam pembuatannya Murwati, et. al., 2015.
Terkait dengan pendampingan pengembangan kawasan peternakan sapi potong, beberapa kegiatan telah dilakukan, mulai dari teknologi pakan termasuk di dalamnya penerapan budidaya
hijauan rumput dan legume serta pemberian pakan tambahan dengan metoda flushing terhadap betina produktif, managemen reproduksi, penataan kandang, dan teknologi pengolahan limbah kandang
menjadi pupuk organik. Beberapa kegiatan tersebut dilakukan dengan tujuan agar kelompok dapat mengangkat dirinya sendiri dengan memanfaatkan sumberdaya yang ada, efisien dalam penggunaan
input serta dapat menjalin kerjasama dengan pihak luar terutama dalam pemasaran hasil produsi yang digelutinya. Dalam perjalanannya, apakah tujuan yang ingin dicapai tersebut sudah terwujud?; oleh
karena itu, perlu suatu penelitian ini. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efisiensi penggunaan input dalam pembuatan POP pupuk organic padat sesuai introduksi teknologi dan input pembuatan
POP yang dilakukan oleh petani pada umumnya, serta mengetahui kerjasama pemasaran POP yang dilakukan oleh kelompok Andini Mulyo.
METODOLOOGI
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efisiensi penggunaan input pembuatan POP pupuk organic padat sesuai introduksi teknologi pada kegiatan pendampingan pengembangan kawasan
pembibitan sapi potong, dan mengetahui kemampuan kelompoktani dalam menjalin kerjasama pemasaran hasil produksi POP. Penelitian dilakukan pada bulan Maret 2016 di kelompok peternak
Andini Mulyo Desa Purwomartani Kecamatan Kalasan Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta.Lokasi penelitian ditentukan secara purposive, yaitu di lokasi kegiatan pendampingan
pengembangan kawasan peternakan sapi potong Kabupaten Sleman.Penelitian dilakukan dengan metoda on-farm research. Parameter yang diamati meliputi efisiensi penggunaan input dalam
pembuatan POP Pupuk Organik Padat, meliputi bahan-bahan untuk membuat POP seperti decomposer, Urea dan alat bantu berupa paralon. Untuk mengetahui kapasitas kelompok dalam
menjalin kerjasama dengan pihak lain, dapat diamati dengan cara wawancara dan melihat cacatan siapa dan darimana pembeli berasal.
Untuk mengetahui efisiensi penggunaan input dilakukan dengan analisis input-output pembuatan POP model petani peternak model lama dan model introduksi teknologi pembuatan POP
hemat tenaga pada kegiatan pendampingan kawasan pembibitan sapi potong. Untuk mengetahui
243
kapasitas kelompok dalam menjalin kerjasama pemasaran produk POP, dilakukan wawancara dan memperhatikan catatan yang kelompok yang terkait dengan transaksi penjualan pupuk, siapa dan
darimana pembeli berasal.
HASIL DAN PEMBAHASAN 1.
Potensi Sumberdaya Peternakan di Kabupaten Sleman.
Populasi ternak, sistem perkandangan, sistim pemeliharaan ternak, ketersediaan lahan hijauan, kebiasaan pemberian air minum, kondisi reproduksi induk dan kondisi kelembagaan kelompok di
kawasan peternakan sapi potong Kabupaten Sleman, terekam pada Tabel 1. Tabel 1. Potensi sumberdaya peternakan di lokasi pendampingan pengembangan
kawasanpeternakan sapi potong Kabupaten Sleman, tahun 2016.
No Karakteritik
Peternak Karakteristik
Kelembagaan kelompok Populasi ekor
Perkandangan 1
Umur th : 41-60 85,72
Jumlah anggota 21 orang
anak = 17 Bentuk koloni
2 Pendidikan th
6-12 95,23 Kehadiran dalam
pertemuan rutin 85 muda = 9
Tanah milik kas desa 3
Pengalaman beternak th
10 71,42 Administrasi
ada, cukup lengkap dewasa = 37
Cukup bersih, dilengkapi
saluran pembuangan kotoran
4 Unit usaha
2 macam Rerata
pemilikan = 3 Kapasitas
2-3 ekorunitpetak 5
Limbah sudah diolah menjadi pupuk
Sumber: Data Primer Terolah, 2016.
Mencermati tabel 1, tingkat kepemilikan ternak hanya berkisar 3 ekor. Hal ini selaras dengan data BPS D.I.Yogyakarta dalam berita resmi 23 Desember 2014, dipaparkan data terakhir, bahwa dari
total rumah tangga peternak sapi potong 88,84, tingkat kepemilikan tiap rumah tangga peternak pada kisaran 1-2 ekor; selebihnya antara 3-9 ekor dan diatas 10 ekor. Dilihat dari struktur ongkos
pengusahaan sapi potong, biaya terbesar adalah untuk pakan yaitu sebesar 62,65 dari total biaya produksi.
Dilihat dari sisi kelembagaan, kelompok Andini Mulyo beranggotakan 21 orang, kegiatan pertemuan rutin dilaksanakan setiap bulan sekali dengan tingkat kehadiran anggota lebih dari 85.
Agenda utama pada pertemuan rutin adalah membahas budidaya peternakan, permasalahan dan alternatif pemecahan masalah yang dihadapi kelompok.
Beberapa factor yang mempengaruhi tingkat kepemilikan sapi, antara lain adalah ketersediaan bahan pakan lokal, faktor lain adalah kebutuhan petani yang mendesak seperti untuk biaya
pendidikan, perbaikan rumah, dan lain-lain.. Keberadaan ternak khususnya sapi potong sangat spesial bagi petani, karena limbah yang berupa kotoran sapi sangat dibutuhkan masyarakat tani sebagai bahan
dasar pembuatan pupuk organik yang digunakan untuk memupuk lahan guna meningkatkan kesuburan lahan yang dimilikinya.Rendahnya tingkat kepemilikanjuga disebabkan karena kurangnya kemampuan
peternak dalam menyediakan pakan terutama dimusim kemarau sehingga ternak sebagian dijual untuk mencukupi kebutuhan usahanya maupun untuk kebutuhan lain dalam keluarga; bahkan di Kabupaten
Gunungkidul ada istilah, sapi makan sapi, artinya menjual sapi pedet atau bakalan untuk membeli pakan guna mencukupi kebutuhan pakan ternak yang masih dikelolanya Lestari, et., al., 2015.
Dalam pemeliharaan ternak, disamping pakan, ketersediaan kandang sangat dibutuhkan, karena kandang merupakan tempat berteduh bagi ternak untuk hidup dan proses produksi. Dengan
sistim kandang koloni, dapat mempermudah dalam pengelolaanya, termasuk kontrol terhadap kesehatan ternak, serta penanganan kotoran atau limbah untuk dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan
pupuk, terutama POP Pupuk Organik Padat.