BAB II LANDASAN TEORITIK
BAB II
LANDASAN TEORITIS
A. Konsep Pendidikan Anak Luar Biasa dalam Perspektif PLS
Guna mewujudkan tatanan pendidikan yang mandiri dan memiliki kualitas yang tinggi sebagaimana diatur dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, perlu dilakukan berbagai upaya strategis dan integral yang menunjang terhadap penyelenggaraan pendidikan. Kesempatan memperoleh pendidikan yang berkualitas berlaku untuk semua (education for all) tanpa ada diskriminasi. Ini sejalan dengan pernyataan Salamanca (Salamanca Statement) tentang pendidikan inclusive. Konsep yang diterapkan oleh UNESCO ini memerlukan dukungan kuat dari semua pihak yang terlibat dalam dunia pendidikan (Stakeholders). Tanpa partisipasi aktif dari semua pihak, tentunya akan sulit mewujudkan hasil pendidikan yang berkualitas. Oleh karena itu upaya peningkatan kualitas pendidikan terutama dari sisi pendidikan non formal bagi anak luar biasa yang selama ini sangat dirasakan kekurangannya perlu mendapat perhatian yang serius, mengingat penanganan pendidikan yang tidak didasarkan pada konsep educational for all akan bisa memunculkan diskriminasi yang sangat luas dampaknya.
Dari sekian jenis anak luar biasa salah satunya adalah anak tunalaras, yang menurut konsep education for all perlu memperoleh pendidikan yang berkualitas, baik itu diselenggarakan oleh pendidikan
(2)
sekolah dalam bentuk Sekolah Luar Biasa bagi anak Tunalaras (SLB/E) atau sekolah inclusive yang bersatu dengan sekolah reguler; maupun pendidikan yang diselengarakan oleh pendidikan luar sekolah melalui berbagai satuan atau jenis pendidikan luar sekolah.
1. Konsep Dasar Ketunalarasan
Dari sekian anak luar biasa salah satunya adalah anak tunalaras, yang pada dasarnya anak tersebut memiliki gangguan emosi dan perilaku menyimpang. Istilah anak tunalaras berasal dari kata tuna dan laras, yang memiliki makna tuna berarti kurang dan laras berarti sesuai. Jadi anak tunalaras dapat diartikan sebagai anak yang bertingkah laku kurang bahkan tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku di dalam lingkungannya dimana anak tersebut tinggal. Perilakunya cenderung bertolak belakang dengan norma yang berlaku dalam lingkungannya, sehingga akibat perbuatannya sering orang menjadi marah karena merasa terganggu dan dirugikan. Sebagai akibat dari perilakunya tidak jarang mereka berurusan dengan pihak yang berwajib atau otoritas, baik itu orang tua, polisi, guru/kepala sekolah, bahkan sampai berujung pada pengadilan. Secara psikologis anak tunalaras umumnya tidak merasa bahagia dan di sekolah umumnya mereka tergolong anak yang tidak berhasil dalam prestasi akademis. Perilaku yang umum muncul dari anak tunalaras antara lain seperti agresif, hiperaktif, menutup diri, tidak peduli terhadap
(3)
lingkungannya dalam arti sering melakukan hal-hal yang melanggar terhadap norma yang berlaku di masyarakat.
Uraian di atas mengisyaratkan bahwa penyimpangan perilaku itu sulit untuk diambil suatu patokan, karena begitu kompleks. Nafsiah Ibrahim & Rohana Aldi (1995: 4) berpendapat :
Ini disebabkan bahwa jenis kelainan atau penyimpangan itu mencakup populasi yang beraneka ragam dan tipe penyimpangan yang berbeda-beda. Selain itu merumuskan suatu definisi tunalaras yang mencakup semua populasi sangatlah sulit. Penggunaan istilahpun berbeda-beda serta bersifat subyektif.
Penggunaan istilah yang berbeda-beda pada anak yang melakukan penyimpangan perilaku umumnya didasarkan pada sudut pandang tiap-tiap ahli yang berbeda dalam menangani anak tersebut, misalkan saja seorang psikiater dan psycholog menyebutnya dengan istilah emotional disturbance, seorang pekerja sosial menyebutnya dengan istilah social maladjustment sedangkan ahli hukum menyebutnya dengan juvenile delinquency, masyarakat awam menyebutnya dengan istilah “anak nakal”. Walaupun pemberian istilah untuk menyebut terhadap penyimpangan perilaku berbeda-beda, kami tetap menggunakan istilah tunalaras sesuai dengan UU RI No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Junto PP No. 72 Tahun 1991 tentang Pendidikan Luar Biasa yang berbunyi : “Tunalaras adalah gangguan atau hambatan atau kelainan tingkah laku sehingga kurang dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat”.
(4)
Belum adanya istilah dan definisi yang baku yang dapat diterima oleh semua ahli di bidang tunalaras, disebabkan oleh adanya perbedaan konsep, perbedaan tujuan dalam merumuskan definisi, merumuskan pengukuran, sangat bervariasinya gejala tingkah laku normal perkembangan ilmu tentang ganguan tingkah laku pada anak-anak dan pemberian label terhadap anak tunalaras. Hal ini menyebabkan sampai saat ini istilah dan definisi ketunalarasan masih bervariasi, tergantung sudut pandang dan latar belakang keilmuan dari yang menyebutnya atau mendefinisikannya.
2. Klasifikasi dan Karakteristik Ketunalarasan
Klasifikasi dan karakteristik ketunalarasan merupakan suatu hal yang sulit dipisahkan dalam pembahasannya, mengingat setiap membicarakan klasifikasi agar lebih jelas harus diikuti bagaimana karakteristiknya. Untuk mengklasifikasikan anak tunalaras dibuat berdasarkan fenomena yang dapat diamati secara terpercaya yang mempunyai hubungan erat dan jelas dengan keadaan asal-usul atau perkembangannya. Menurut Kauffman (1985) dalam Sunardi (1995: 28)” Sistem klasifikasi yang baru, yaitu klasifikasi behavioral atau dimensional, disusun berdasarkan pengamatan langsung atas perilaku tertentu. Oleh karena itu, klasifikasi ini lebih dapat dipercaya”. Selanjutnya menurut Quay (1979) dalam Sunardi (1995: 32) kriteria sistem klasifikasi yang baik yaitu :
a. Kategori harus didefinisikan secara operasional, artinya perilaku yang mendukung kategori tersebut harus didefinisikan sedemikian rupa sehingga dapat diukur.
(5)
b. Sistemnya harus reliabel, artinya seorang individual harus secara konsisten masuk dalam kategori yang sama, meskipun diamati oleh orang yang berbeda pada waktu yang berbeda pula.
c. Kategori harus valid, artinya penentuan kategori dapat dilakukan dengan berbagai cara (misalnya bermacam-macam sistem observasi dan skala dan penentuan kategori harus mempunyai daya prediksi yang tinggi atas perilaku tertentu.
d. Klasifikasi harus mempunyai implikasi penyembuhan dan penanganan yang jelas.
e. Klasifikasi harus dibuat dengan jumlah kategori sekecil mungkin tanpa ada yang tumpang tindih, tetapi mencakup semua kasus yang ada.
Berdasarkan hasil penelitian Quay (1979) maka klasifikasi ketunalarasan terbagi menjadi empat bagian yaitu : Conduct disorder, Socialized Aggression, Anxiety-withdrawal, Immaturity, atau disebut juga inadequacy.
Conduct disorder yang memiliki makna ketidakmampuan mengendalikan diri serta memiliki karakteristik seperti : cenderung sering berkelahi, menyerang dan memukul orang lain. Sikapnya pemarah, tidak patuh, menentang dan sering merusak barang milik orang lain. Kurang ajar dalam arti nakal, tidak kooperatif menolak arahan, tidak pernah diam, gaduh, ramai, mencari perhatian dan sombong. Hiperaktif, tidak percaya diri, pembohong, bicaranya kasar, iri hati, tidak bertanggung jawab dan tidak memperhatikan. Sering mencuri, perhatiannya mudah terganggu, mengganggu dan mengejek orang lain, cenderung menolak kesalahan, dan menyalahkan orang lain, kejam, mendongkol dan pendendam.
(6)
dengan anak-anak jahat, mencuri secara berkelompok, setia pada teman seprofesi, menjadi anggota gank, keluar rumah sampai larut malam, bolos dari sekolah, lari dari rumah.
Anxiety-withdrawal, yang disebut personality problem, memiliki makna berperilaku yang berkaitan dengan kepribadian, dengan karakteristik : berperilaku cemas, tegang, takut, pemalu, menyendiri, depresi, sedih, sensitif, mudah tersinggung, rendah diri, kurang percaya diri, mudah bingung, menyembunyikan diri, sering menangis, sangat tertutup.
Immaturity, disebut juga inadequacy memiliki makna kelompok anak yang menunjukkan perilaku/sikap kurang dewasa, dengan karakteristik : Tidak dapat berkonsentrasi, kemampuan memperhatikan pendek, sering melamun, kaku, lemah koordinasi, pandangan kosong, pasif tak berinisiatif, mudah dipengaruhi, kesulitan memperhatikan, sering mengantuk, mudah bosan, kurang berusaha keras, gagal menyelesaikan sesuatu, ceroboh dan tidak rapi.
Berdasarkan penelitian Quay (1979) dari keempat klasifikasi yang sering ditemukan pada anak-anak tunalaras di sekolah adalah kelompok ketidakmampuan pengendalian diri (conduct disorders) dan kelompok kurang matang (Immaturity). Begitu pula anak yang ditampung di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani umumnya termasuk pada kelompok Conduct disorders dan Immaturity.
(7)
3. Etiologi Ketunalarasan
Sampai saat ini etiologi ketunalarasan yang dirumuskan oleh para ahli belum ada keseragaman, namun secara umum etiologi ketunalarasan terjadi karena berbagai faktor, dalam arti tidak terdapat faktor tunggal yang menyebabkan terjadinya ketunalarasan. Faktor-faktor tesebut antara lain :
Lingkungan Keluarga. faktor penyebabnya antara lain dapat berupa kondisi sosial ekonomi, broken home, sikap dan perlakuan orang tua. Kondisi sosial ekonomi, taraf hidup ekonomi yang terbatas (pra sejahtera) yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup anggota keluarga secara wajar, anak cenderung memenuhi kebutuhannya dari luar lingkungan keluarga, dengan berbagai cara atau menghalalkan segala macam cara. Begitu pula bagi taraf hidup ekonomi keluarga yang berkecukupan/berlebihan, segala macam kebutuhannya mudah terpenuhi akan memberi peluang kepada anak untuk membelanjakan uangnya kepada hal-hal yang menjurus pada pelanggaran hukum, seperti membeli obat-obat terlarang sejenis narkotika.
Keluarga Broken Home, yaitu keluarga yang tidak harmonis, berantakan atau terpecah-pecah baik itu secara fisik, yaitu tidak utuhnya orang tua karena salah satu atau keduanya meninggal dunia; maupun secara psikologis karena ketidakharmonisan hubungan keluarga, ayah, ibu, dan anak sehingga iklim lingkungan keluarga menjadi tidak aman dan tidak menyenangkan anggota keluarga, terutama anak-anaknya. Orang tua
(8)
merupakan pendidikan yang pertama dan utama, tempat pertama dan utama bagi anak untuk memperoleh perhatian dan kasih sayang. Kondisi dan situasi keluarga yang tidak harmonis, acak-acakan dan berpengaruh yang tidak baik terhadap perkembangan jiwa anak. Tidak utuhnya orang tua dalam suatu keluarga, anak akan kehilangan pola dan acuan berperilaku, kehilangan kasih sayang dan perhatian.
Sikap dan Perlakuan Orang Tua, yang tidak tepat terhadap anaknya seperti over protection, rejection, dan laissez faire akan memicu anak untuk berperilaku menyimpang. Orang tua yang Over protection dalam arti sikap yang terlalu melindungi dan dimanja akibatnya anak cenderung tidak mandiri, kurang kreatif, keinginan selalu dipenuhi. Setelah hidup di masyarakat timbul perasaan cemas yang terus menerus, tidak percaya diri takut menghadapi masalah kehidupan, akhirnya situasi ini memicu anak untuk berperilaku menyimpang. Sikap orang tua yang rejection dalam arti menolak kehadiran atau keadaan kondisi anak. Biasanya sikap ini muncul karena kelahiran seorang anak yang tidak diharapkan karena berbagai alasan. Anak yang ditolak kehadirannya, umumnya kurang memperoleh kasih sayang dan perhatian dari orang tua, karena dianggap menjadi beban keberadaannya. Kasih sayang dan perhatian orang tua pada masa kanak-kanak merupakan hal yang prinsip, karena merupakan dasar pembentukan kata hati dan budi pekerti seorang anak kemudian. Sebagai dampak sikap dan perlakuan orang tua tersebut perkembangan emosi dan sosialnya
(9)
menjadi terganggu. Bentuk penyimpangan perilaku yang menonjol pada anak tersebut seperti bermusuhan dan agresif. Sikap orang tua yang berperilaku laissez faire pada anaknya, dalam arti orang tua yang bersikap masa bodoh / acuh tak acuh dan tanpa perhatian. Perhatian dari orang tua sama pentingnya dengan kasih sayang, anak yang kurang diperhatikan orang tua, akan mencari perhatian di luar lingkungan keluarga. Untuk memperoleh perhatian dari orang tua biasanya anak melakukan hal-hal yang tidak diharapkan, berperilaku yang bertentangan dengan nilai dan norma yang ada di masyarakat.
Lingkungan Sekolah. Sekolah merupakan lingkungan kedua bagi anak untuk mengembangkan kognitif, afektif, dan psikomotor, tetapi dalam proses pendidikan di sekolah tidak sedikit mengalami hambatan terhadap perkembangan anak, diantaranya:
a. Kurikulum yang tidak sesuai dengan kebutuhan, bakat minat dan kemampuan anak.
b. Peraturan atau tata tertib disiplin sekolah yang kaku, tidak ada keseragaman dalam pengawasannya, dan tidak konsekuen apabila terjadi pelanggaran.
c. Sikap guru yang otoriter, laissez, overprotection
d. Ketidakmampuan guru dalam mengajar (penguasaan materi maupun didaktik metodiknya) dalam mengelola kelas.
(10)
e. Lingkungan sekolah yang tidak menyenangkan dan tebatasnya sarana untuk mengembangkan kreativitas.
f. Letak sekolah yang kurang baik, dekat pada tempat-tempat keramaian seperti pasar, mall, terminal, tempat hiburan dan tempat yang menimbulkan bising.
Sejalan dengan pendapat Kauffman dalam Sunardi (1995) yang mengidentifikasikan bahwa ada enam kondisi yang dapat menjadi faktor penyebab ketunalarasan dan kegagalan akademik yaitu:
a. Tidak sensitif terhadap kepribadian anak b. Harapan yang tidak wajar
c. Pengelolaan yang tidak konsisten
d. Pengajaran keterampilan yang tidak relevan atau nonfungsional e. Pola pemberian imbalan (reinforcement) yang keliru
f. Model / contoh yang tidak baik.
Lingkungan Masyarakat. Sebagai mahluk sosial tidak terlepas dari interaksi dan komunikasi, yang merupakan hubungan saling berpengaruh antara individu yang satu dengan yang lainnya. Anak dalam perkembangannya lebih banyak menerima pengaruh dari pada memberikan pengaruh dalam kepribadian sosial, dan masih bersifat imitatif buta atau meniru tanpa seleksi. Sehingga apabila dihadapkan pada lingkungan yang kurang baik akan berpengaruh terhadap perkembangan perilaku anak, diantaranya:
(11)
a. Pengaruh teman sepermainan yang bereputasi tidak baik, seperti teman yang suka mencuri, membolos dari sekolah, berjudi, menyalahgunakan obat terlarang sejenis narkotika, dan sebagainya.
b. Pengaruh media masa cetak dan elektronika, yang menyajikan dan menayangkan kekerasan, pornografi atau gambar-gambar fulgar yang dapat menjerumuskan pemuda-pemuda harapan bangsa ke dalam kecabulan dan kejahatan, serta merusak kesadaran remaja terhadap norma kesusilaan.
c. Kurangnya pembinaan hidup beragama, agama merupakan pedoman dalam segala aspek kehidupan, termasuk pedoman dalam berperilaku di masyarakat, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Bila kurang pembinaan terhadap kehidupan beragama, niscaya anak akan mudah terseret dalam perilaku menyimpang.
d. Kurangnya fasilitas rekreasi dan olah raga sebagai penyaluran dan pelepasan kejenuhan, tidak ada wadah dan tempat untuk menyalurkan bakat dan minat anak, akhirnya kelebihan energi yang ada pada diri anak akan disalurkan kepada perilaku menyimpang seperti berkerumun di mulut gang sambil mengganggu orang lewat, dan lebih parah lagi melakukan tindakan yang bersifat kriminal.
e. Terjadi perubahan sosial dan budaya yang terlalu cepat dan tidak seimbang, seperti terjadinya urbanisasi, perubahan status kehidupan
(12)
ekonomi, peperangan, industrialisasi. Perubahan tersebut memberikan dampak negatif terhadap anggota masyarakat, termasuk anak remaja. f. Kurangnya pengawasan aktivitas anak dari masyarakat.
Kaufman dalam Sunardi (1995) mengelompokkan penyebab ketunalarasan menjadi tiga, yaitu faktor keluarga, biologis dan sekolah.
1) Faktor Keluarga: dijelaskan ada beberapa faktor yang sangat rawan terhadap ketunalarasan seperti perceraian, tidak adanya ayah di rumah, hubungan dalam keluarga yang tegang, saling bermusuhan, dan kondisi sosial ekonomi yang rendah.
2) Faktor Biologis: yaitu adanya kelainan genetik, temperamen, gegar otak, kekurangan gizi atau salah makan, penyakit atau cacat tubuh.
3) Faktor sekolah: yaitu karena tidak sensitif terhadap kepribadian anak, harapan yang tidak wajar, pengelolaan yang tidak konsisten, pengajaran keterampilan yang tidak relevan atau nonfungsional, pola pemberian imbalan (reinforcement) yang keliru, model / contoh yang tidak baik.
Dari sekian uraian mengenai faktor penyebab ketunalarasan ternyata tidak ditemukan penyebab tunggal dari ketunalarasan. Ketunalarasan disebabkan oleh banyak faktor yang saling berinteraksi antara penyebab yang satu dengan yang lainnya.
(13)
4. Model Pendekatan Pendidikan Luar Sekolah bagi Anak Luar Biasa Berdasarkan PP 73 Bab II Pasal 2 tentang tujuan PLS, menyatakan bahwa tujuan PLS memiliki makna melayani warga belajar supaya tumbuh dan berkembang sedini mungkin dan sepanjang hayat guna meningkatkan martabat dan mutu kehidupannya. Membina warga belajar agar memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap mental yang diperlukan untuk mengembangkan diri, bekerja mencari nafkah atau melanjutkan pendidikan ke tingkat dan/atau jenjang yang lebih tinggi . Memenuhi kebutuhan belajar masyarakat yang tidak dapat dipenuhi dalam jalur pendidikan sekolah. Menurut The South East Asian Ministry Education Organization (SEAMEO.1977) bahwa tujuan PLS tiada lain untuk mengembangkan pengetahuan, sikap, keterampilan dan nilai-nilai yang memungkinkan bagi seseorang atau kelompok untuk berperan serta secara efisien dan efektif dalam lingkungan keluarganya, pekerjaannya, masyarakat dan bahkan negaranya.
Salah satu dari Anak Luar Biasa adalah anak tunalaras. Merujuk pada tujuan PLS, mereka merupakan satu komunitas warga belajar yang memiliki hak dan kesempatan yang sama seperti warga belajar pada umumnya untuk memperoleh PLS. Untuk itu diperlukan suatu pendekatan yang menggabungkan pendidikan sekolah untuk Anak Luar Biasa dan pendidikan luar sekolah seperti yang terlihat dalam gambar 2.1 berikut ini.
(14)
GAMBAR 2.1
PENDEKATAN MODEL INTEGRETED
Praktek Pendidikan Luar Sekolah bagi Anak Luar Biasa yang difokuskan pada jenis anak tunalaras dalam sebuah Panti Sosial perlu dilaksanakan sejalan dengan azas dan fungsi PLS, sehingga tujuan suatu pendidikan bagi anak tunalaras sebagai salah satu anak dari Anak Luar Biasa dapat dicapai dengan maksimal melalui pembelajaran dalam sistem pendidikan luar sekolah. Sistem penggabungan antara PLS dan PS bagi anak tunalaras ini disebut model pendekatan yang integrated yang memiliki indikator sebagai berikut :
a. Mempelajari bahan tertulis seperti modul. b. Belajar melalui berbagai media informasi.
c. Mengerjakan tugas-tugas dan menerapkan pengalaman belajar dalam kegiatan pembangunan masyarakat.
d. Mengikuti pelajaran langsung dengan tatap muka yang sifatnya berkala. e. Melakukan diskusi dan belajar secara berkelompok dengan bimbingan
fasilitator.
Pelayanan pendidikan bagi anak tunalaras di Indonesia umumnya dipusatkan dalam suatu penampungan rehabilitasi sosial yang bekerja sama
PS ALB PLS PLS
(15)
antara departemen sosial, departemen pendidikan dan departemen kepolisian, departemen kehakiman dan berbagai departemen yang terkait lainnya. Oleh karena itu dalam sistem penyelenggaraan pendidikannya pun anak ditampung dalam suatu penampungan pagi hari dari jam 07.00 s/d jam 14.00 merupakan tanggung jawab departemen pendidikan nasional, karena mereka dididik dengan menggunakan sub sistem pendidikan formal yaitu berupa Sekolah Luar Biasa bagian E (anak tunalaras) atau disingkat SLB/E . Pada jam 14.00 s/d jam 21.00 pendidikan yang dijalankan sebagai upaya rehabilitasi dilakukan dengan menggunakan jalur pendidikan Luar Sekolah (pendidikan non formal) dengan berbagai program dan kegiatan yang tergabung dalam sub sistem pendidikan luar sekolah.
Dari kedua pendekatan pendidikan yang diberikan kepada anak tunalaras diharapkan program rehabilitasi yang diberikan sebagai upaya pemberdayaan untuk mencapai kemandirian anak tunalaras melalui pelatihan kecakapan hidup dapat dilakukan dengan tepat guna dan berhasil guna. Dari kedua pendekatan tersebut terlihat ada suatu penggabungan sistem dimana PLS dapat menjadi komplemen, suplemen atau substitusi bagi penyelenggaraan pendidikan sekolah. yang akhirnya tujuan pendidikan nasional yang dicanangkan untuk mendidik anak tuna laras dapat dicapai dengan lebih baik. Pengertian lebih baik dapat diterjemahkan secara luas, tetapi pada dasarnya, anak tunalaras mampu beradaptasi di masyarakat dengan dan berkehidupan yang adaptif dengan norma-norma masyarakat.
(16)
B. Pelatihan Kecakapan Hidup dalam Perspektif Pendidikan Luar Sekolah bagi Kemandirian Anak Tunalaras
Rehabilitasi berasal dari kata re yang berarti kembali, dan habilitasi yang memiliki makna kemampuan. Rehabilitasi sosial memiliki arti mengembalikan kemampuan sosial seseorang, secara lebih halus bermakna sebagai pembetulan pengembalian perbaikan kepada sesuatu yang lebih baik. Departemen Sosial dalam Sunaryo (1995: 108) memberi pengertian bahwa “rehabilitasi adalah suatu proses refungsionalisasi dan pengembangan untuk memungkinkan penderita cacat mampu melakukan fungsi-fungsi sosialnya secara wajar dalam kehidupan masyarakat”. Secara lebih spesifik rehabilitasi sosial dapat diartikan sebagai suatu proses perbaikan yang ditujukan pada anak luar biasa khususnya anak tunalaras agar mereka cakap berbuat dalam menjalani hidup dan kehidupannya di masyarakat secara lebih bermakna. Pelayanan rehabilitasi sosial yang diberikan kepada anak tunalaras meliputi: pembinaan fisik, bimbingan mental dan sosial, pelatihan ketarampilan, serta resosialisasi serta pembinaan lanjut anak nakal agar dapat menjalankan fungsi sosialnya secara wajar dan mampu berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat. Berdasarkan hasil pengamatan, ternyata hasil yang diupayakan untuk melakukan rehabilitasi sosial anak nakal tersebut meliputi pembinaan fisik, bimbingan psikologis, bimbingan moral keagamaan dan spiritual, bimbingan sosial, pelatihan keterampilan usaha, resosialisasi dan integrasi,
(17)
pelatihan keterampilan dan kesenian, serta pengasramaan yang menganut sistem keluarga asuh. Dari sekian program-program tersebut perlu pengorganisasian yang optimal untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Artinya dibutuhkan koordinasi diantara sub-sub pelayanan rehabilitasi sosial anak nakal antara yang satu dengan yang lainnya agar tujuan yang diharapkan dalam pelaksanaan rehabilitasi dapat dicapai dengan baik. Sunaryo (1995) mengatakan bahwa rehabilitasi merupakan suatu pendekatan total yang komprehenshif dengan tujuan mengfungsikan kembali supaya klien dapat berguna. Mengacu pada pendapat tersebut pelayanan rehabilitasi bagi anak tunalaras harus bersifat komprehensif dengan menganut program multidisipliner yang tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri. Keberhasilan melakukan rehabilitasi anak tunalaras berkat kerjasama yang baik antar berbagai pihak seperti orang tua, guru di sekolah, pembimbing di asrama, socialworker, tutor pelatihan, guru dalam beribadah seperti ustad dan semua pihak yang berkompeten dalam melakukan rehabilitasi bagi anak tunalaras. Rusk (1978) seorang ahli rehabilitasi dalam Sunaryo, (1995: 109) mengatakan:
Pada dasarnya rehabilitasi adalah „self rehabilitation’ , artinya keberhasilan dari rehabilitasi itu tergantung dari motivasi penderita mau merehabilitasi dirinya sendiri dalam mengembangkan potensinya seoptimal mungkin, karena para ahli hanya memberikan petunjuk, bimbingan, dan kemudahan fasilitas, serta mendorong penderita untuk keberhasilan program rehabilitasi yang dijalaninya. Dari pernyataan di atas, maka dalam menjalankan program
(18)
kedua belah pihak, kemauan yang keras dari anak tunalaras dan menghilangkan ketergantungan, agar tujuan yang hendak dicapai dalam program rehabilitasi berupa pemulihan kembali rasa harga diri, percaya diri, kesadaran dan tanggung jawab terhadap masa depan diri, keluarga maupun masyarakat atau lingkungan sosialnya, serta pemulihan kembali kemauan dan kemampuan untuk dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dapat tercapai dengan baik.
Anak tunalaras pada hakekatnya sangat membutuhkan suatu program rehabilitasi guna pemulihan kembali rasa harga diri, percaya diri, kesadaran dan tanggung jawab terhadap masa depan diri, keluarga maupun masyarakat atau lingkungan sosialnya, serta pemulihan kembali kemauan dan kemampuan untuk dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar, sehingga dikemudian hari mereka dapat diterima secara wajar di masyarakat. Salah satu program rehabilitasi yang dibutuhkan oleh anak tunalaras adalah pelatihan keterampilan hidup, pelatihan ini sangat berguna untuk anak tunalaras dalam mencapai tujuan rehabilitasi. Pelatihan keterampilan hidup bagi anak tunalaras merupakan salah satu dari gerakan pemberdayaan masyarakat yang ditujukan kepada para pemuda.
1. Konsep Dasar Pemberdayaan
Makna pemberdayaan (empowerment) dapat diterjemahkan sebagai upaya untuk melepaskan belenggu dari keterbelakangan atau ketertinggalan melalui penyelenggaraan pendidikan. Pemberdayaan dapat juga
(19)
diterjemahkan sebagai upaya untuk memperkuat posisi lapisan masyarakat dalam struktur kekuasaan pemerintah maupun budaya. Pernyataan tersebut didukung oleh Kindervatter (1979: 62) yang mengemukakan bahwa pemberdayaan merupakan peningkatan kemampuan, atau dengan dicapainya kemampuan seseorang untuk memahami dan mengontrol kekuatan-kekuatan sosial, ekonomi dan atau politik yang mungkin diperankannya sehingga dapat memperbaiki kedudukan dan peranannya dalam masyarakat.
Kemampuan seseorang dalam bidang pengetahuan, sikap, dan keterampilan sehingga ia mampu menunjukkan eksistensinya dan dapat berpartisipasi serta memperbaiki kedudukannya dalam masyarakat dapat ditingkatkan melalui proses pemberdayaan (empowerment). Mengembangkan kesadaran dan potensi yang dimiliki oleh manusia, sehingga mereka siap dan dapat melakukan atau tidak melakukan sesuatu kegiatan merupakan proses yang utama dalam pemberdayaan. Setelah potensi dan kesadaran dapat berkembang, selanjutnya perlu menumbuhkan rasa percaya diri dan mengembangkan kemampuan yang sudah ada pada dirinya. Kemudian menumbuhkan keyakinan diri untuk melakukan kegiatan atau tindakan, belajar melatih keterampilan yang dibutuhkan untuk keperluan hidupnya. (Kindervatter, 1979). Selanjutnya Kindervatter 1979: 245) menegaskan tentang pemberdayaan melalui pendidikan non formal sebagai berikut:
(20)
Non formal education for empowerment is an approach which enable learner to again greater understanding of and control over social, economic, and/or political forces through: (1) exercising process a high degree of control over all aspects of the learning process, (2) learning both content and process skills responsive to their needs to and problems, and (3) working collaboratively to solve mutual problems.
Proses pemberdayaan merupakan paradigma baru dalam pembangunan manusia seutuhnya dan berkelanjutan, mengingat proses pemberdayaan masyarakat merupakan sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai sosial dan terjadi penanaman nilai-nilai budaya maju; seperti sikap hemat, keterbukaan, berperilaku jujur pada diri sendiri dan mau kerja keras dengan penuh rasa tanggung jawab. Proses pemberdayaan akan berkaitan dengan perasaan individu, harga diri dan keyakinan diri yang tidak dapat dipisahkan dari segenap aspek kehidupan manusia secara psikologis, sosial, ekonomi dan politik. Pemberdayaan bagi individu merupakan proses guna memperbaiki diri sendiri dan meningkatkan peranan serta kedudukannya dalam masyarakat.
Ketidakberdayaan seseorang dalam suatu masyarakat dapat terlihat dalam bentuk interaksinya dalam kehidupan sehariannya di masyarakat. Rapparport dalam Sudarman (2007: 41) mengatakan bahwa:
Bentuk interaksi merupakan kombinasi dari sikap menyalahkan diri sendiri, ketidakpercayaan diri, perasaan terasing dari sumber-sumber pengaruh sosial, pengalaman tidak memiliki akses atau suara dalam menentukan suatu keadaan secara ekonomis rentan atau juga perasaan tidak memiliki harapan dalam pergolakan-pergolakan sosial politik.
(21)
Keberadaan ketidakberdayaan tersebut merupakan satu fenomena yang sering dijumpai dalam kehidupan anak tunalaras, mereka merasa dirinya sudah diasingkan dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu upaya pemberdayaan bagi anak-anak tunalaras sangat dibutuhkan agar mereka kelak dapat menjadi bagian dari masyarakat yang berpotensi dan berguna bagi semua pihak.
Untuk memberdayakan masyarakat agar dapat berkembang berkelanjutan menurut Kartasasmita (1997: 5) dapat dilihat dari tiga sisi: Pertama, menciptakan suasana dan iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang, pada prinsipnya setiap individu, setiap masyarakat, memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Maksudnya tidak ada seorang individupun yang potensinya tidak dapat dikembangkan, begitupula senakal apapun anak tunalaras masih memiliki potensi, peluang dan kesempatan untuk berkembang dan berperilaku sesuai dengan tuntutan masyarakat pada umumnya. Kedua, dengan memperkuat potensi atau daya yang dimiliki. Sudah barang tentu langkah ini mengarah kepada memperkuat potensi dan daya yang dimiliki anak tunalaras yang bersifat positif agar mereka lebih memiliki perilaku yang diharapkan masyarakat. Ketiga, kegiatan memberdayakan mengandung arti melingdungi. Makna dari melindungi mencegah agar yang memiliki potensi dan perilaku lemah/tidak baik tersebut tidak lebih terpuruk, tetapi berupaya untuk mencoba bangkit dari keterpurukan tersebut.
(22)
Uraian dari pemberdayaan tersebut di atas memiliki makna bahwa pemberdayaan dapat diterapkan kepada individu maupun kelompok, baik itu individu yang dikategorikan normal maupun individu yang dikategorikan tidak normal seperti Anak Luar Biasa yang memiliki kelainan perilaku menyimpang (anak tunalaras). Anak semacam ini berada dalam kondisi yang tidak berdaya, sehingga mereka perlu bimbingan rehabilitasi serta perlu pelatihan-pelatihan yang mengarah kepada kecakapan hidup agar mereka dapat menjadi orang yang berguna di masyarakat; yaitu dengan jalan memberdayakan segala potensi yang dimiliki untuk dapat berkembang ke arah yang lebih positif.
2. Konsep Dasar Kemandirian Anak Tunalaras
Mandiri berarti dapat menentukan sesuatu tanpa bergantung pada pihak lain. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (edisi 3) mandiri artinya mandiri dalam keadaan berdiri sendiri, sedangkan kemandirian artinya keadaan dapat berdiri sendiri, dapat mengurus atau mengatasi kepentingannya sendiri tanpa bergantung kepada orang lain. Kemandirian berasal dari kata mandiri, yang berarti suatu sikap individu yang “ditandai adanya kemampuan berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidup minimalnya secara sah, wajar, dan bertanggung jawab” (Rifaid, 2000: 147).
Pengertian di atas berarti bahwa individu yang mandiri adalah mereka yang memiliki kemauan sekaligus memiliki kemampuan untuk berusaha guna memenuhi kebutuhan hidup dan penghidupannya secara normatif.
(23)
Sedangkan kemandirian menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991: 625) adalah : “hal atau keadaan dapat berdiri sendiri tanpa tergantung pada orang lain”. Hal ini berarti merupakan bentuk perilaku yang mencirikan kedewasaan individu.
Dalam kaitan ini seseorang yang memiliki sikap mandiri senantiasa percaya atas kemampuannya sendiri, kerjasama yang dijalani dengan orang lain bukan berarti seseorang tidak memiliki sikap mandiri yang dimiliki justru semakin berkembang ke arah yang lebih produktif apabila diterapkan secara bersama-sama. Kemandirian merupakan ciri kedewasaan individu, kemandirian dapat diartikan sebagai kemauan, kemampuan, berusaha untuk memenuhi tuntutan kebutuhan hidupnya secara sah, wajar dan bertanggung jawab. Sedangkan menurut Covey (1989: 49) dalam Muljani mengemukakan pengertian kemandirian sebagai berikut: “they move us progressively on maturity continuum from dependence to independence … Than gradually, over the ensuing months 3 years we become more and more independent physically mentally, emotionally, and financially”.
Kemandirian adalah salah satu ciri kedewasaan individu. Individu yang mandiri ditandai oleh adanya kemauan dan kemampuan berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidup minimalnya secara wajar dan bertanggung jawab. Kemandirian tidak identik dengan individualstik yang mengisolasi diri dari orang lain dan lingkungan sekitar. Tetapi individu yang mandiri adalah individu yang hidup dan berada di tengah masyarakat
(24)
yang bekerja sama dengan masyarakat di sekitarnya dan memiliki tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri secara wajar walaupun dalam batas yang sangat minimal sekalipun. Kemanidirian adalah perilaku yang selalu aktif berusaha meningkatkan penghasilan tanpa menggantungkan diri pada orang lain, dengan ciri-ciri sebagai berikut: a. Tanggung jawab, maksudnya berkaitan erat dengan kemauan dan
kemampuan untuk melaksanakan kewajiban dan memanfaatkan hak hidupnya secara wajar, sah sesuai dengan norma hidup yang berlaku di masyarakat.
b. Tidak bergantung pada orang lain, sanggup hidup secara mandiri di lingkungan masyarakat sekitarnya, dengan kemandiriannya mereka sanggup mendapatkan kebutuhan hidupnya tanpa menggantungkan diri terhadap orang lain. Karena itu individu yang mandiri menganggap bantuan orang lain tidak akan dijadikan sandaran, tapi hanya sebagai pelengkap dalam menyelesaikan persoalan yang dihadapinya.
c. Mampu memenuhi kebutuhan pokok minimal, individu mandiri mampu memenuhi kebutuhan pokok minimal, bukan hanya kebutuhan ekonomi saja, tetapi mencakup kebutuhan jasmani dan rohani seperti belajar bermasyarakat, berbuat dan sebagainya yang diperoleh secara wajar dan normatif.
(25)
d. Memiliki etos kerja yang tinggi, individu yang mandiri memiliki kemauan kerja yang baik dan tinggi, ulet, bersemangat, dan memiliki prinsip keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan jasmani dan rohani. e. Disiplin dan berani mengambil resiko, orang yang berjiwa mandiri punya
disiplin dan berani mengambil resiko, konsisten melakukan pekerjaan walaupun mengandung resiko. Bekerja penuh perhitungan serta siap mempertanggungjawabkan segala keputusan yang dibuatnya.
Menurut Sudardja Adiwikarta dalam Ugi Suprayogi. (2005: 54) kemandirian adalah sebagai ciri orang yang dewasa. Kedewasaan disini dititikberatkan pada kemampuannya di dalam melaksanakan peranan produktivitasnya sehingga mampu bertanggung jawab dalam hidupnya. Kemudian Nana Syaodih Sukmadinata (1993) dalam Ugi Suprayogi (2005: 54) mengemukakan bahwa:
Manusia mandiri adalah manusia yang memiliki keunggulan dalam kemampuan, berkepribadian sehat dan bermoral kuat. Manusia unggul adalah manusia yang memiliki kemampuan tertentu, yang dapat dimanfaatkan dalam kehidupannya, baik dalam kehidupan pribadi, sosial, maupun dalam karir atau pekerjaan. Keunggulan tidak berarti harus unggul dalam segala hal, dan mengungguli semua orang, tetapi unggul (exellent) dalam suatu bidang tertentu dan tingkat tertentu. Keahlian atau kemampuan professional juga didukung oleh penguasan pengetahuan dalam suatu bidang, tetapi dalam kadar yang lebih luas dan mendalam. Penguasaan pengetahuan tidak berhenti pada tahap tahu atau memory (remembering), tetapi berlanjut dengan tahap berfikir atau thinking (problem solving, reasoning, conceptual thinking).
(26)
Dalam konteks pembangunan masyarakat (community development) menurut UN (1956) dalam Mustofa Kamil (2002: 93) bahwa kemandirian adalah
…the participation of the people them selves in efforts to improve
their level of living with as much relieve as possible on their own initiative, and the provision of technical and orther services in ways which encourage initiative, self help and mutual help and make these more effectve.
Selanjutnya Mustofa Kamil (2002: 93) menegaskan bahwa :
Kemandirian memiliki nilai lain yang tidak hanya sekedar menjiwai konsep wiraswasta yang lebih mengarah pada nilai-nilai ekonomi (benefit), namun pada definisi tersebut terkandung pula nilai-nilai sosial dan nilai-nilai-nilai-nilai budaya dengan kandungan utamanya selain mampu menolong dirinya sendiri akan tetapi mampu menolong orang lain dalam bentuk gotong royong dan partisipasi. Sehubungan dengan itu, konsep kemandirian yang menjiwai nilai-nilai wiraswasta sebenarnya hanya sebagian kecil saja. Karena secara lebih luas kemandirian tidak hanya untuk itu akan tetapi berlaku bagi setiap gerak langkah kehidupan manusia.
Kemandirian sebagai suatu gambaran kepribadian serta gambaran suatu sikap mental seseorang yang perlu dimiliki oleh anak tunalaras, karena dengan kemandirian dapat mencerminkan watak seseorang yang patut dikembangkan dalam setiap gerak dan langkah atau perilaku manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan demikian anak tunalaras kembali memiliki suatu kepercayaan diri untuk dapat hidup layak di masyarakat secara wajar, dan dapat diterima sebagi anggota masyarakat yang benar-benar memiliki potensi yang patut dibanggakan.
Kemandirian merupakan salah satu bagian dari kepribadian seseorang, dan merupakan nilai yang harus diwujudkan dalam keseluruhan tingkah
(27)
laku individu yang diperoleh melalui proses pelatihan. Kemandirian sebagai nilai menjadi tujuan utama suatu pendidikan atau pelatihan yang harus ditampilkan dalam bentuk tingkah laku yang didorong oleh sikap hidup mandiri yang tertanam dalam dirinya.
Merangkum pendapat sejumlah pakar, Amin, M., et al (1979) dalam Maufur (2005: 27) mempertelakan aspek-aspek sebagai ciri orang yang memiliki kepercayaan diri sebagai berikut :
Pertama individu merasa adekkuat terhadap apa yang dilakukan, hal ini didasari oleh adanya keyakinan terhadap kekuatan, kemampuan, dan keterampilan yang dimiliki. Individu merasa optimistik, ambisius, dan tidak berlebihan. Manifestasi dari keadaan ini antara lain, individu mempercayai kemampuannya sendiri, sanggup bekerja keras, dan mampu menghadapi tugas dengan baik dan bekerja secara efektif, serta bertanggung jawab atas keputusan dan pekerjaannya.
Kedua, individu merasa dapat diterima oleh kelompoknya, yang didasari oleh adanya keyakinan terhadap kemampuannya, khususnya dalam hubungan sosial, dan merasa bahwa kelompoknya atau orang lain menyukainya. Manifestasi dari keadaan ini antara lain, individu aktif menghadapi keadaan lingkungan, berani mengemukakan apa yang menjadi kehendaknya atau ide-idenya secara bertanggung jawab, dan tidak mementingkan diri sendiri.
Ketiga, individu memiliki ketenangan sikap. Hal ini didasari oleh adanya keyakinan terhadap kekuatan dan kemampuannya. Individu merasa tenang dalam menghadapi berbagai situasi.
Dalam kaitan ini, yang dimaksud dengan nilai kemandirian adalah kepercayaan yang melekat untuk mengatur diri dalam menjalankan tugas sehari-hari yang ditunjukkan oleh meningkatnya kecakapan personal, kecakapan sosial, kecakapan akademik, dan kecakapan vokasional anak tunalaras dalam bidang teknik otomotif, teknik pendingin, dan teknik
(28)
pengelasan sebagai representasi kemampuan dan kemauan warga belajar dalam memiliki kecakapan hidup agar menjadi anak yang mandiri.
Anak Tunalaras sebagai warga belajar yang mandiri dapat dicirikan dengan adanya; a) kemauan dan kemampuan untuk berusaha, dan b) kemampuan untuk melakukan tugas-tugas sesuai dengan norma kehidupan sehari-hari yang dimulai dalam lingkungan keluarga/rumah asrama. Kemandirian tidak identik dengan individualistik yang mengisolasi diri dari orang lain dan lingkungan sekitar. Tetapi individu yang mandiri adalah individu yang hidup dan berada di tengah masyarakat yang bekerja sama dengan masyarakat di sekitarnya dan memiliki tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri secara wajar. Pola hidup mandiri pada dasarnya memiliki cakupan pengertian yang sangat luas, namun dalam penelitian ini dibatasi pada pola hidup mandiri Anak Tunalaras dalam memenuhi kebutuhan hidup secara wajar dan sah. Untuk membangkitkan kemandirian demikian memerlukan suatu dorongan yang kuat dan bersifat positif yang lahir dari dalam diri individu untuk mengubah sikap dan perilaku serta cara memenuhi kebutuhan hidup secara sah dan wajar sebagai manusia. Untuk meningkatkan kemauan tersebut harus didukung oleh motivasi untuk berbuat baik (positif) yang tinggi yang datang dari dirinya, lingkungannya dan para pelaku pengubah sebagai fasilitator dan sebagai broker, sehingga anak tunalaras diterima apa adanya oleh masyarakat
(29)
(acceptance), dan anak tunalaras memiliki persepsi positif terhadap lingkungan masyarakat termasuk norma-norma yang berlaku.
Pembinaan melalui pembelajaran Anak Tunalaras di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani pada dasarnya diarahkan pada pembentukan kembali sikap mental dan menghilangkan persepsi negatif dari masyarakat yang disertai dengan peningkatan pemahaman, pengetahuan dan keterampilan praktis, melalui prinsip “to help people to help themselves”, sehingga anak tunalaras menjadi pribadi yang mandiri, ditandai dengan adanya:
a. Rasa Tanggung Jawab
Rasa tanggung jawab di sini adalah ada atau timbulnya rasa dan kemauan, serta kemampuan individu untuk melakukan kewajiban dan memanfaatkan hak hidupnya secara sah dan wajar. Karena tanggung jawab tersebut berkaitan dengan kesediaan mentaati aturan-aturan atau norma-norma yang berlaku di lingkungan masyarakat sekitarnya. Kaitannya dengan Anak Tunalaras dimaknai dengan meninggalkan kebiasaan-kebiasaan yang negatif sebagai akibat kenakalannya, dan mentaati peraturan yang berlaku dalam masyarakat di mana mereka tinggal. Seperti halnya tidak mencuri, meminum minuman keras, penyalahgunaan narkoba, perkelahian, pemalakan, dan tidak melakukan pengerusakan barang atau kendaraan milik orang lain, serta melakukan kegiatan sehari-hari sesuai jadwal yang telah disepakati.
(30)
b. Kemauan dan Kemampuan Melakukan Kegiatan Sehari-hari di lingkungan Panti Sosial Marsudi Putra Handayani
Kegiatan tersebut antara lain :
1) Dapat tidur dan bangun sesuai waktu dan tempatnya. 2) Dapat mandi dan makan sesuai waktu dan tempatnya.
3) Dapat mencuci pakaian, merapihkan dan membersihkan tempat tidur sendiri.
4) Dapat merapihkan kamar asrama, membersihkan lantai dalam lingkungan asrama.
5) Dapat melakukan ibadah keagamaan tepat waktu sesuai dengan agamanya.
6) Dapat mengucapkan salam ketika masuk rumah.
7) Secara rutin dapat belajar sesuai dengan jadwal yang telah disepakti bersama, baik belajar secara formal maupun nonformal.
8) Dapat mempraktikkan hasil belajar/pelatihan di masyarakat/tempat dimana ia tinggal.
9) Dapat menolong orang lain yang mendapat kesulitan/kesusahan. 10)Secara bersama-sama dapat bergotong-royong untuk menyelesaikan
suatu tugas yang dibebankan kepada kelompoknya. c. Tidak Bergantung kepada Orang Lain
Pada dasarnya setiap individu memilki hak terbebas dari gangguan orang lain, serta dapat mempertahankan secara mutlak karena
(31)
memiliki kekuatan hukum yang jelas, seperti adanya konvensi Hak-hak Anak, dan Undang-Undang Perlindungan Anak. Individu memiliki sikap mandiri sudah pasti tdak akan memanfaatkan hak orang lain untuk dijadikan hak dirinya, dan tidak akan hidup di tengah-tengah hak orang lain. Atas dasar itu mengindikasikan bahwa individu anak tunalaras yang mandiri tidak akan merepotkan orang lain, baik dalam pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari, seperti makan, minum, dan pemenuhan kebutuhan hidup lainnya serta individu anak tunalaras yang mandiri akan menganggap bantuan orang lain bersifat pelengkap dalam menyelesaikan persoalan hidup dan kehidupan.
d. Memiliki Keterampilan Praktis
Keterampilan praktis yang dimiliki anak tunalaras dari pelatihan kecakapan hidup melalui pelatihan keterampilan praktis seperti pelatihan otomotif, las, dan mesin pendingin, dipersiapkan untuk memasuki dunia usaha atau dunia kerja setelah mereka keluar dari Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta. Dari keterampilan praktis tersebut diharapkan anak tunalaras dapat diterima masyarakat serta dapat hidup mandiri sesuai dengan harapan masyarakat pada umumnya. 3. Konsep Dasar Pelatihan Kecakapan Hidup dalam Perspektif Pendidikan Luar Sekolah bagi Peningkatan Kemandirian Anak Tunalaras
Pelatihan menurut Sikula dalam bukunya Sumantri (2001: 2) adalah “proses pendidikan jangka pendek yang menggunakan cara dan prosedur
(32)
yang sistematis dan terorganisir. Para peserta pelatihan akan mempelajari pengetahuan dan keterampilan yang sifatnya praktis untuk tujuan tertentu”.
Pelatihan (training) merupakan pembelajaran pengembangan individual yang bersifat mendesak karena munculnya suatu kebutuhan saat ini. Menurut Robinson dalam Anwar (2004: 163) pelatihan sebagai suatu instruksi atau proses pendidikan yang bertujuan untuk membangun dan mengembangkan pengetahuan serta keterampilan yang telah dimiliki. Pengertian pelatihan tersebut memiliki makna bahwa tujuan dasar pelatihan untuk membangun dan mengembangkan pengetahuan dan keterampilan individu agar dapat mencapai tingkat yang diharapkan. Selanjutnya Anwar (2004: 169) menegaskan bahwa pelatihan adalah usaha berencana yang diselenggarakan supaya dicapai penguasaan keterampilan, pengetahuan, dan sikap yang relevan dengan kebutuhan peserta pelatihan. Dari definisi tersebut dapat ditafsirkan bila pelatihan kecakapan hidup diberikan kepada anak tunalaras dapat meningkatkan kualitas sikap anak tunalaras dalam meningkatkan kemandiriannya untuk hidup bermasyarakat secara wajar.
Istilah kecakapan hidup diartikan sebagai kecakapan yang dimiliki seseorang untuk mau dan berani menghadapi problema hidup dan penghidupan secara wajar tanpa merasa tertekan, kemudian secara proaktif dan kreatif mencari serta menemukan solusi sehingga akhirnya mampu mengatasinya (Ditjen PLSP. Direktorat Tenaga Teknis 2003).
(33)
Brolin (1989) menjelaskan bahwa life skills constituate a continuum of knowledge and aptitude that necessary for a person to function effectively and to avoid interruptions of employment experience. Dengan demikian, life skills dapat dinyatakan sebagai kecakapan hidup. Istilah hidup tidak semata-mata memiliki kemampuan tertentu saja (vocational job), namun ia harus memiliki kemampuan dasar pendukungnya secara fungsional seperti membaca, menulis, menghitung, merumuskan, dan memecahkan masalah, mengelola sumber daya, bekerja dalam tim, terus belajar di tempat kerja, mempergunakan teknologi (Satori, 2002).
Pendidikan kecakapan hidup lebih luas dari sekedar keterampilan bekerja apalagi sekedar keterampilan manual. Pendidikan kecakapan hidup merupakan konsep pendidikan yang bertujuan untuk mempersiapkan warga belajar agar memiliki keberanian dan kemauan menghadapi masalah hidup dan kehidupan secara wajar tanpa merasa tertekan kemudian secara kreatif menemuan solusi serta mampu mengatasinya.
Indikator-indikator yang terkandung dalam life skills tersebut secara konseptual dikelompokkan; a) kecakapan mengenal diri sendiri (self awareness) atau disebut juga kecakapan personal (personal skills), b) kecakapan berpikir rasional (thinking skills) atau kecakapan akademik (academic skills), c) kecakapan social (social skills), d) kecakapan vokasional (vocational skills) disebut juga keterampilan kejuruan artinya keterampilan yang dikaitkan dengan bidang pekerjaan tertentu dan bersifat
(34)
spesifik (specific skills) atau keterampilan teknis (technical skills). Menurut Jecues Delor bahwa pada dasarnya program life skills ini berpegang pada 4 pilar pembelajaran yaitu learning to know, learning to do, learning to be dan learning to life together.
Program pembelajaran kecakapan hidup umumnya dapat diterapkan di semua jalur dan jenjang pendidikan. Merujuk pada tujuan dari pendidikan luar sekolah berdasarkan PP No.73 Tahun 1991 tentang PLS pasal 2 ayat (2) adalah membina warga belajar agar memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap mental yang diperlukan untuk mengembangkan diri, mencari nafkah atau melanjutkan ke tingkat dan/atau jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Ayat (3) memenuhi kebutuhan belajar masyarakat yang tidak dapat dipenuhi dalam jalur pendidikan sekolah. Kedua tujuan tersebut bagi anak tunalaras yang berada di Panti Sosial Marsudi Putra Hadayani dapat dicapai melalui kegiatan pelatihan kecakapan hidup yang diselenggarakan oleh pihak Asrama Anak Tunalaras Panti Sosial Marsudi Putra Handayani yang dikelola Departemen Sosial.
Pelatihan kecakapan hidup bagi anak tunalaras sangat dibutuhkan dalam rangka program rehabilitasi. Melalui pelatihan kecakapan hidup diharapkan anak tunalaras dapat menghadapi kenyataan hidup bermasyarakat dengan wajar tanpa mengalami berbagai tekanan dari berbagai pihak, serta mampu melakukan problem solving secara benar sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat.
(35)
Konsep kecakapan hidup atau life skills menurut Brolin dalam Anwar (2004: 20) “life skills constitute a continuum of knowledge and aptitude that are necessary for a person to function effectively and to avoid interupptions of employment experience.”. Pengertian lain mengatakan bahwa: “life skills are skills that enable a person to cope with the stresses
and callenges of life” http:// www.usoe.k12.ut.us /curr/ leskills/). Kecakapan
hidup dapat diartikan sebagai kecakapan yang mengacu pada berbagai kemampuan yang diperlukan seseorang guna menempuh kehidupan yang sukses, bahagia, dan bermartabat di dalam masyarakat. Kecakapan hidup perlu dimiliki seseorang untuk berani menghadapi problema hidup dan kehidupan dengan wajar tanpa merasa tertekan, kemudian secara proaktif dan kreatif mencari serta menemukan solusi sehingga akhirnya mampu mengatasinya. Kecakapan hidup pada prinsipnya dapat dipilah-pilah menjadi empat jenis, yaitu:
a. kecakapan personal b. kecakapan sosial c. kecakapan akademik
d. kecakapan vokasional/kejuruan
Kecakapan personal dan kecakapan sosial disebut dengan istilah kecakapan umum atau general, yang merupakan fondasi dari kecakapan hidup. Kecakapan personal mencakup kecakapan mengenal diri dan kecakapan berpikir rasional. Seperti kecakapan menggali dan menemukan
(36)
informasi, kecakapan mengolah informasi dan mengambil keputusan, kecakapan memecahkan masalah secara kreatif. Kecakapan sosial yang dimaksud meliputi kecakapan komunikasi dan kecakapan bekerja sama.
Kecakapan akademik dan kecakapan vokasional disebut dengan istilah kecakapan khusus karena dianggap lebih spesifik. Kecakapan akademik dapat dikatakan sebagai pengembangan dari kecakapan berpikir rasional yang terdapat dalam kecakapan general, namun dikembangkan lebih spesifik yang mengarah pada aktivitas yang bersifat akademis. Kecakapan vokasional merupakan kecakapan yang cenderung dikaitkan dengan pekerjaan tertentu yang ada dalam lingkungan masyarakat. Kecakapan khusus perlu diberikan kepada anak tunalaras berdasarkan minat dan bakatnya, agar tujuan dari pelatihan kecakapan hidup dalam rangka melaksanakan program rehabilitasi dapat tercapai dengan baik. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam gambar 2.2 berikut ini
(37)
Sumber : Ditjen Penmum 2002 KET HIDUP/ LIFE SKILLS KET. GENERAL SBG PONDASI KET. SPESIFIK UNTUK MENGHADAPI MASALAH KEHIDUPAN KETERAMPILAN PERSONAL KETERAMPILAN SOSIAL KET. AKADEMIK (Pengembangan dari Ket.
Berfikir Rasional) Ket. Mengenal Diri Sendiri Ket. Berpikir Rasional Keterampilan Berkomunikasi Keterampilan Bekerjasama Identifikasi Variabel Merumuskan Hipotesis Melaksanakan Penelitian Menggali dan Menemukan Informasi Mengolah Informasi dan mengambil keputusan Memecahkan Masalah KET VOKASIONAL (Dikaitkan dengan pekerjaan tertentu di masyarakat atas dasar
(38)
4. Implementasi Pelatihan Kecakapan Hidup untuk Peningkatan Kemandirian Anak Tunalaras
Kecakapan hidup merupakan modal utama bagi anak tunalaras untuk dapat diterima oleh masyarakat sebagai seorang individu yang hidup layak berdampingan di tengah-tengah masyarakat pada umumnya. Dengan memiliki salah satu keterampilan dari kecakapan hidup, anak tunalaras yang telah dilatih dan diminimalisir/ditiadakan perilaku menyimpangnya diasumsikan dapat diterima di tengah-tengah masyarakat sebagai individu yang berpotensi. Lebih jauhnya diharapkan anak tunalaras yang telah dibina kecakapan hidupnya dan direhabilitasi perilaku menyimpangnya, dapat memiliki suatu kemandirian dalam hidupnya di tengah-tengah masyarakat, sehingga mereka menjadi orang yang berguna bagi dirinya sendiri, keluarga, masyarakat dan bangsanya.
Pelayanan pendidikan bagi anak tunalaras di Indonesia umumnya dipusatkan dalam suatu penampungan rehabilitasi sosial yang bekerja sama antara Departemen Sosial, Departemen Pendidikan dan Departemen Kepolisian, Departemen Kehakiman dan berbagai departemen yang terkait lainnya. Oleh karena itu implementasi sistem penyelenggaraan pendidikan anak tunalaras ditampung dalam suatu penampungan di bawah tanggung jawab Departemen Sosial. Pagi hari dari jam 07.00 s/d jam 14.00 merupakan tanggung jawab Departemen Pendidikan Nasional, karena mereka dididik dengan menggunakan subsistem pendidikan formal yaitu berupa Sekolah Luar Biasa bagian E (anak tunalaras) atau disingkat SLB/E. Sejak pagi sampai siang anak tunalaras
(39)
bersifat keterampilan akademik, sedang pendidikan yang mengarah pada keterampilan personal, sosial dan vokasional diberikan pada sore hari yaitu pendidikan yang diselenggarakan secara ekstrakurikuler (tidak masuk pada subsistem pendidikan non-formal). Pada jam 14.00 s/d jam 21.00 pendidikan yang dijalankan sebagai upaya rehabilitasi dilakukan dengan menggunakan jalur Pendidikan Luar Sekolah (pendidikan nonformal) dengan berbagai program dan kegiatan yang tergabung dalam sub sistem Pendidikan Luar Sekolah.
Dari kedua pendekatan pendidikan yaitu Pendidikan Sekolah dan Pendidikan Luar Sekolah yang diberikan kepada anak tunalaras diharapkan program rehabilitasi yang diberikan sebagai upaya pemberdayaan untuk mencapai kemandirian anak tunalaras melalui pelatihan kecakapan hidup dapat dilakukan dengan tepat guna dan berhasil guna. Dari kedua pendekatan tersebut terlihat ada suatu penggabungan sistem dimana PLS dapat menjadi komplemen, suplemen atau substitusi bagi penyelenggaraan pendidikan sekolah sesuai dengan gambar 2.1, yang akhirnya tujuan pendidikan nasional yang dicanangkan untuk mendidik anak tunalaras dapat dicapai dengan lebih baik.
C. Model Pembelajaran Kecakapan Hidup dalam Perspektif Rehabilitasi bagi Meningkatkan Kemandirian Anak Tunalaras
1. Karakteristik Belajar Anak Tunalaras
Agar kita dapat membelajarkan anak tunalaras secara optimal, terlebih dulu kita harus memahami bagaimana sebenarnya karakteristik anak tersebut. Untuk membelajarkan bagaimana anak tunalaras dapat belajar secara optimal, kita
(40)
tunalaras, dengan memahami akan kebutuhan belajarnya, diharapkan tujuan pembelajaran bagi mereka dapat tercapai dengan optimal. Dalam membelajarkan anak tunalaras tidak secara tiba-tiba pamong memberikan materi ajar, tanpa kita memahami kebutuhan dan minat belajar dari anak tersebut.
Anak tunalaras memiliki suatu karakteristik tersendiri dalam belajarnya, artinya relatif berbeda dengan anak pada umumnya. Perbedaan karakteristik belajar tersebut muncul sebagai suatu akibat dari ketunalarasan yang disandangnya. Ketidak matangan sosial dan atau emosional seseorang umumnya cenderung berdampak pada keseluruhan perilaku dan pribadinya, termasuk dalam perilaku belajarnya. Secara umum proses belajar bisa berlangsung dengan optimal bila ditunjang dengan kesiapan psikologis dari setiap peserta didik. Anak tunalaras umumnya memiliki ketidak matangan dalam aspek sosial dan atau emosional, ini jelas dapat menimbulkan hambatan dalam aspek psikologisnya, sehingga tidak heran bila mereka dapat dipastikan dalam proses pembelajarannya akan mengalami suatu hambatan.
Gambaran dari karakteristik belajar anak tunalaras menurut Cruickshank (1980) pada buku Psychology of Exeptional Children and Youth dalam Atang Setiawan dan Sunardi (1997: 2)
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik perilaku belajar anak tunalaras tidak jauh berbeda, bahkan sulit dibedakan dengan kelompok anak anak tunagrahita dan anak berkesulitan belajar. Yang membedakan hanyalah bahwa pada anak tunalaras frequensi lebih tinggi dan selalu tertuju pada perilaku-perilaku maladaptive. Hasil studi lain juga menunjukkan bahwa anak tunalaras pada umumnya memiliki IQ yang rendah, prestasi yang rendah, dan juga berasal dari kelas sosial yang rendah pula. Mereka juga banyak mengalami kesulitan dalam satu atau
(41)
Sehubungan dengan karakteristik belajar anak tunalaras menurut Cruickshank (1980) paling tidak terdapat tiga issue yang menarik, yaitu Pertama pada anak tunalaras terdapat kesenjangan antara kemampuan potensial dengan kemampuan aktual, dengan istilah lain cenderung berprestasi dibawah potensinya. Salah satu yang ikut mewarnai kesenjangan prestasi tersebut adalah sifat-sifat pribadi dan perilakunya. Lebih lanjut dikatakan paling tidak terdapat tujuh faktor yang memberikan kontribusi terhadap prestasi belajar anak yaitu : a) Kemampuan anak untuk mengatasi kecemasan, b) perasaan harga diri, c) konformitas terhadap tuntutan otoritas, d) penerimaan kelompok sebaya, e) kurangnya konflik dan sifat ketergantungan, f) keterlibatan dalam akademik, dan g) kemampuan dalam merancang tujuan yang realistik. Pada anak tunalaras umumnya kurang memiliki beberapa kemampuan di atas. Kedua masalah-masalah belajar yang dialami oleh anak tunalaras adalah sebagai manifestasi dari problem emosionalnya. Ini berarti bahwa problem belajar merupakan faktor akibat dari adanya problem emosional. Kita ketahui bahwa pikiran emosional bertindak lebih cepat tapi cenderung tidak tepat, dibanding dengan pikiran rasional yang bersifat lebih lambat tapi cenderung lebih tepat. Ketiga ditemukannya anak yang berbakat dan kreatif tapi tunalaras, namun secara dramatik mengalami kesenjangan antara potensi dengan prestasinya.
Atang Setiawan dan Sunardi (1997: 4) lebih lanjut menyebutkan bahwa ciri-ciri yang menonjol yang sering dijumpai pada belajar anak tunalaras adalah :
(42)
b. Kurang mampu belajar dari pengalaman
Artinya sulit belajar dari pengalamannya sendiri maupun orang lain, karena itu cenderung mengulang kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat sebelumnya.
c. Kurang motivasi
Motivasi belajarnya rendah, karena itu cenderung cepat bosan, malas, bahkan sering meninggalkan kelas dengan berbagai alasan. d. Kurang disiplin
Anak tunalaras cenderung tidak mau bahkan menentang otoritas sekolah melalui aturan-aturan atau tata tertib yang diberlakukan. Mereka cenderung ingin bebas dan menuruti kemauannya sendiri. e. Kurang memiliki motif berprestasi.
Anak tunalaras cenderung mau belajar karena terpaksa, sehingga motivasi untuk mencapai prestasi akademis yang tinggi juga kurang atau bahkan sama sekali tidak dimiliki.
f. Kurang memiliki sikap kerjasama dan toleransi.
Anak tunalaras cenderung ingin menang sendiri, kurang memikirkan kepentingan dan penghargaan terhadap orang lain.
g. Sensitif terhadap hal-hal yang dianggap merugikan dirinya.
Hal-hal yang dianggap merugikan atau mengganggu kepentingannya cenderung ditanggapi secara cepat dengan cara-cara yang negatif. h. Kurang memiliki kesabaran.
Artinya apabila kondisi emosinya sudah terganggu apalagi yang sifatnya negatif, anak langsung tampak emosional dan tidak mampu mengendalikan akal sehatnya.
i. Kurang mampu berfikir secara komperhensif dan kemampuan analisanya rendah.
j. Memiliki cara-cara tersendiri dalam mengolah dan memahami informasi.
k. Cepat melakukan imitasi dan identifikasi terhadap hal-hal diluar dirinya yang dianggap menarik.
l. Sugestibel mudah dipengaruhi dan terpengaruh oleh lingkungan m. Cenderung mengabaikan tugas dan tanggung jawab yang diberikan n. Cenderung tunduk pada guru tertentu yang memiliki kelebihan
sesuai dengan interesnya.
Dari sekian karakteristik tersebut di atas itu hanya sebagian kecil dari ciri-ciri yang cenderung ditampilkan anak tunalaras dalam perilaku belajarnya. Ciri-ciri lain yaitu seperti susah diatur, sering mengganggu teman, ribut dalam kelas tidak mau mengerjakan tugas, mengabaikan perintah guru, meninggalkan kelas
(43)
Sebagai pengecualian, walaupun secara umum memiliki karakteristik seperti di atas, tapi karakteristik yang bersifat khas/unik hanya bisa ditemukan pada masing-masing individu. Oleh karena itu, mungkin ditemukan ada anak tunalaras yang kurang memiliki ciri-ciri di atas. Misalnya anak memiliki kemampuan analisisnya tinggi tetapi cenderung digunakan untuk kepentingan pertahanan dirinya, atau memiliki ide-ide yang cemerlang dan original tetapi sifatnya negatif.
2. Pengelolaan Pembelajaran Anak Tunalaras
Instruktur, atau pamong, atau pelatih anak tunalaras, tugas utamanya adalah bagaimana mereka menyampaikan materi pembelajaran agar dapat diserap oleh warga belajar dengan utuh. Dengan kata lain instrktur harus memiliki keterampilan dalam mengelola pembelajaran bagi anak tunalaras, agar pembelajaran dapat berlangsung secara efektif dan efisien, sehingga tujuan pembelajaran dapat dicapai seoptimal mungkin.
Sehubungan dengan pengelolaan pembelajaran anak tunalaras terdapat keragaman, namun paling tidak ada lima pandangan yang dapat dikelompokkan dalam pengelolaan pembelajaran bagi anak tunalaras, yaitu:
a. Pengelolaan pembelajaran dimaksudkan untuk mengontrol tingkah laku warga belajar. Pandangan tersebut bersifat otokratif, dalam hal ini tugas instruktur adalah menciptakan dan memelihara ketertiban dalam proses pembelajaran dengan mengutamakan kedisiplinan. Menurut pandangan ini tugas instruktur adalah menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedisiplinan serta
(44)
b. Pandangan yang menyatakan tugas instruktur membantu warga belajar untuk merasa bebas melakukan apa yang ingin dilakukannya. Pandangan ini lebih bersifat permisif, mengingat tugas instruktur dalam hal ini mengoptimalkan perwujudan kebebasan warga belajar.
c. Pandangan yang menyatakan bahwa tugas instruktur dalam pengelolaan pembelajaran anak tunalaras adalah membantu warga belajar utuk mengubah tingkah lakunya. Pandangan tersebut dilandasi oleh prinsip-prinsip behavior modification, yaitu tugas utama instruktur adalah mengembangkan tingkah laku yang diinginkan dan mengurangi atau meniadakan tingkah laku yang tidak diinginkan.
d. Pandangan yang menyatakan bahwa tugas instruktur dalam pengelolaan pembelajaran anak tunalaras adalah membantu warga belajar untuk menciptakan iklim sosio-emosional yang positif. Pandangan ini dilandasi oleh asumsi bahwa proses pembelajaran akan berkembang secara optimal kalau berlangsung dalam iklim yang positif, yaitu terciptanya suasana hubungan interpersonal antar warga belajar dengan instruktur/pamong maupun antar sesama warga belajar, sehinga yang menjadi tugas instruktur itu adalah bagaimana menciptakan iklim sosio-emosional yang positif, serta dapat mengembangkan hubungan interpersonal yang baik
e. Pandangan yang menyatakan bahwa tugas instruktur dalam pengelolaan pembelajaran anak tunalaras adalah membantu warga belajar untuk menumbuhkan dan mengembangkan serta mempertahankan organisasi kelas
(45)
Pandangan pertama dan kedua (a dan b) sudah mulai ditinggalkan, karena sulit dipertanggungjawabkan keefektifannya. Pandangan otokratif cenderung menimbulkan masalah, seperti menjadikan warga belajar takut, tertekan, cemas dan lain-lain, yang dapat menghambat terhadap proses pembelajaran. Pandangan permisif dianggap tidak realistik, karena kebebasan yang diberikan dapat menimbulkan masalah, karena yang namanya anak pada dasarnya belum mampu mengembangkan perasaan, tugas dan tanggung jawab, sehingga dapat menimbulkan kekacauan dan menjadikan perkembangan anak tidak terarah.
Pandangan yang ketiga, keempat dan kelima, apabila kita padukan dalam melakukan pembelajaran anak tunalaras diharapkan dapat memperoleh suatu manfaat yang optimal, sehingga instruktur/pamong memiliki tugas untuk mengembangkan tingkah laku yang diinginkan dan mengurangi atau meniadakan tingkah laku yang tidak diinginkan, mengembangkan hubungan interpersonal dan iklim sosio-emosional yang positif, serta mengembangkan dan mempertahankan organisasi kelas yang efektif dan produktif.
Masalah yang sering dialami oleh instruktur/pamong belajar dalam memberikan pelatihan pada anak tunalaras adalah “bagaimana mengelola kelas agar pembelajaran dalam suatu pelatihan dapat berjalan secara optimal?”. Instruktur/pamong belajar yang tidak mampu mendidik/mengajar/melatih warga belajar dikarenakan mereka tidak mampu dalam mengelola kelas. Oleh karena itu, instruktur/pamong belajar dituntut untuk memiliki sejumlah keterampilan dalam mengatasi berbagai masalah yang muncul saat melakukan pembelajaran terhadap
(46)
Keterampilan yang harus dikuasai oleh instruktur/pamong belajar bagi anak tunalaras minimal harus mampu (1) mengenali secara tepat berbagai jenis pengelolaan kelas, (2) memahami berbagai pendekatan-pendekatan penanganan anak tunalaras yang tepat sesuai dengan jenis masalahnya, (3) memilih, menetapkan dan menerapkan pendekatan yang dianggap paling tepat sesuai dengan masalahnya.
Umumnya masalah yang sering muncul dalam pembelajaran anak tunalaras adalah masalah yang bersifat individual/perorangan dan masalah kelompok. Masalah Individual/perorangan berangkat dari asumsi bahwa manusia berperilaku untuk memenuhi kebutuhannya. Bila individu mengalami hambatan atau kegagalan dalam memenuhi kebutuhannya maka cenderung berperilaku menyimpang. Berdasarkan motifnya masalah-masalah pengelolaan kelas yang bersifat individual dikelompokkan menjadi empat bagian, yaitu:
a. Motif mencari perhatian
Bentuk perilakunya seperti : bikin onar, suka pamer, bertanya terus, melawak, rewel, malas, dsb. Biasanya dilakukan anak tunalaras yang gagal dalam menemukan kedudukan diri dalam hubungan sosialnya.
b. Motif mencari kekuasaan
Bentuk perilakunya seperti : secara terbuka dalam arti aktif misalnya menentang, mendebat, membohong, tidak patuh terang-terangan dsb. Secara pasif atau tertutup misalnya keras kepala, tidak patuh, susah tidur dsb. Perilaku tersebut biasanya dilakukan anak tunalaras yang gagal dalam
(47)
menemukan kedudukan diri dalam hubungan sosial yang lebih parah, sehingga ingin menemukannya melalui penguasaan terhadap orang lain. c. Motif menuntut balas
Bentuk perilakunya seperti menampakkan perilaku keganasan, penyerangan, secara psikis mapun fisik, misalnya menghina, mencela, menendang, mencakar, memukul dsb. Perbuatan itu dilakukan anak tunalaras yang mengalami frustrasi yang amat dalam serta ingin mencari sukses dengan cara menyakiti orang lain.
d. Motif ketidakmampuan
Bentuk perilakunya adalah memperlihatkan perilaku ketidakberdayaan, seperti pasrah apa adanya. Perbuatan itu dilakukan anak tunalaras yang mengalami frustrasi yang amat sangat dan terus menerus yang akhirnya menyerah terhadap tantangan yang dihadapinya, merasa tidak berdaya atau menghindar dari tuntutan/tanggung jawab.
Seorang instruktur/pamong belajar harus benar-benar memahami ke empat kategori tersebut di atas. Bila seorang instruktur/pamong belajar merasa terganggu dengan perilaku anak, artinya ada kaitan dengan masalah motif mencari perhatian, Bila seorang instruktur/pamong belajar merasa terancam/dikalahkan, maka masalahnya berkaitan dengan motif mencari kekuasaan. Bila seorang instruktur/pamong belajar merasa disakiti, masalahnya berkaitan dengan motif menuntut balas. Bila seorang instruktur/pamong belajar merasa tidak mampu menolong lagi, maka masalahnya berhubungan dengan motif ketidakmampuan.
(48)
Masalah-masalah yang bersifat kelompok sering dijumpai pada anak tunalaras, perilaku yang sering muncul misalnya seperti:
a. Adanya ketidakkompakan, ditandai adanya konflik diantara anggota kelompok.
b. Ketidakmampuan mentaati aturan kelompok, ditandai dengan ketidakpatuhan terhadap aturan kelompok yang berlaku.
c. Munculnya reaksi negatif terhadap anggota kelompok minoritas yang ditolak. d. Penerimaan kelompok atas tingkah laku anggota kelompok yang menyimpang, ditandai dengan pemberian dukungan terhadap anggota kelompok yang menyimpang.
e. Sensitivitas kelompok terhadap masalah yang kecil atau sederhana, ditandai dengan penolakan terhadap kegiatan yang dianjurkan atau bahkan protes dan mogok belajar.
f. Ketidakmampuan menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan, ditandai dengan reaksi yang berlebihan terhadap peraturan baru yang diberlakukan. g. Kekurangmampuan memahami suatu persoalan bersama, ditandai dengan
kesalah pahaman dalam menerima suatu informasi.
Antara masalah perorangan dan masalah kelompok kadang sulit untuk dibedakan bahkan adakalanya menyatu.
3. Pendekatan Pendekatan Pembelajaran Anak Tunalaras
Untuk melaksanakan suatu pembelajaran agar memperoleh hasil yang optimal, terdapat tiga pendekatan yang dapat dilakukan dalam melaksanakan
(49)
a. Pendekatan Behavior Modification
Menurut psikologi behavioral tingkah laku manusia yang baik dan yang buruk, yang disukai dan tidak disukai, itu merupakan proses hasil belajar. Seorang bertingkah laku menyimpang atau tunalaras berarti merupakan hasil proses belajar, itu yang menjadi dasar atas prinsip psikologi behavioral. Pendekatan behavioral modivication dibangun atas dasar proses yang perlu diperhitungkan dalam belajar bagi semua orang, baik itu tingkatan umur maupun keadaan, seperti penguatan positif, pengutan negatif, penghilangan atau penundaan dan penghukuman. Proses belajar tersebut baik itu seluruhnya atau sebagian pada dasarnya dipengaruhi atau dikontrol oleh kejadian yang berlangsung di lingkungan.
Tugas utama dari seorang instruktur/pamong belajar menurut pendekatan behavioral modification, adalah harus dapat menguasai dan menerapkan proses pemberian penguatan, atau ganjaran, penguatan negatif atau peniadaan rangsangan yang tidak mengenakkan (hukuman). Penghilangan atau penundaan yaitu menahan ganjaran yang diharapkan seperti yang diberikan sebelumnya. Penghukuman atau pemberian rangsangan yang tidak mengenakkan.
b. Pendektan Sosio-emotional
Pendekatan Sosio-emotional dibangun atas dasar pandangan yang menyatakan bahwa kelas yang efektif merupakan fungsi dari hubungan yang baik antara guru dengan siswa dan siswa dengan siswa. Menurut Rogers, hubungan baik antara guru dengan siswa dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu (1) keterbukaan
(50)
kepercayaan guru kepada siswa, (3) adanya sikap empati dari guru terhadap apa yang dirasakan siswa. Dengan adanya rasa cinta dan dihargai oleh guru maka siswa dapat mengembangkan potensi yang ia miliki dengan maksimal.
Instruktur/pamong bagi anak tunalaras yang ingin menerapkan pendekatan ini harus mampu memiliki kemampuan dan keterampilan untuk bersikap terbuka, menerima, menghargai serta mempercayai warga belajarnya, mampu bersikap empati sehingga diharapkan dapat membuka peluang yang besar bagi terciptanya hubungan interpersonal antara guru dan warga belajar. Untuk dapat bersikap terbuka setiap instruktur/pamong bagi anak tunalaras perlu mengenal dirinya sendiri dengan baik, dan menampilkan sebagaimana adanya. Instruktur/pamong perlu menyadari perasaan-perasaannya, menerima dan bila mungkin mengkomunikasikannya. Instruktur/ pamong harus tampil sesuai dengan perasaan-perasaan tersebut dan tidak berpura-pura. Penerimaan pada warga belajar mengisyaratkan bahwa sekalipun warga belajarnya tunalaras, tertapi instruktur/pamong tetap memandangnya sebagai individu yang berharga, warga belajar harus dipandang sebagai keutuhan pribadi yang sedang berkembang dan bukan semata-mata sebagai seseorang yang tingkah lakunya menyimpang. Dari perlakuan tersebut diharapkan akan tumbuh kepercayaan pada para warga belajar karena mereka merasa diterima, dipercayai dan dihargai sebagai individu yang memiliki hak yang sama seperti pada umumnya.
Untuk melakukan pendekatan sosio-emotional diutamakan adanya suatu komunikasi yang sehat antara instruktur/pamong dengan warga belajar, atau
(51)
instruktur/pamong hendaknya membicarakan keadaan yang dijumpainya tanpa membicarakan masalah pribadi atau sifat sifat khususnya. Untuk mengatasi penyimpangan perilakunya jelaskan apa yang dilihatnya, apa yang dirasakannya dan apa yang sebaiknya dilakukan, dengan cara mendiskusikannya. Komunikasi yang efektif antara lain : jangan membicarakan sifat-sifat pribadinya, kemukakan perasaan yang tulus, hilangkan kekerasan dan utamakan kerjasama, kenali-terima dan hormati ide-ide dan perasaannya, berikan bimbingan bukan kritik, kembangkan otonomi pada warga belajar, hindarkan kata-kata kasar dan pertanyaan-pertanyaan yang mengundang perasaan marah, dan berikan pujian. c. Pendekatan Group Process
Kelompok merupakan suatu sistem sosial yang memiliki ciri-ciri sebagaimana sistem sosial lainnya yang efektif dan produktif. Proses pembelajaran diharapkan dapat berlangsung dalam suasana kelompok yang harmonis efektif dan produktif. Untuk itu instruktur/pamong bagi anak tunalaras dituntut untuk dapat mengoptimalisasi pembelajaran kelompok sebagai suatu sistem sosial yang dipandang efisien, efektif dan produktif. Karena itu tugas instruktur/pamong anak tunalaras yang utama adalah mengembangkan keeratan hubungan antar anggota kelompok, melalui peningkatan daya tarik dan ikatan kelompok dengan jalan menumbuhkan sikap saling menghargai dan mengembangkan komunikasi yang efektif di antara anggota kelompok. Selain itu diharapkan instruktur/pamong anak tunalaras dapat mengembangkan norma-norma kelompok yang produktif dan menyenangkan.
(52)
Sebagai sistem sosial, kelompok yang efektif dan produktif tergantung pada berfungsinya elemen-lemen dasar dari kelompok tersebut, yaitu : kemenarikan, harapan, kepemimpinan, norma, komunikasi, dan keeratan atau kebersamaan dari anggota kelompok tersebut. Jadi tugas instruktur/pamong anak tunalaras harus berupaya agar elemen-elemen tersebut dapat berfungsi secara optimal.
4. Pola Interaksi antara Instruktur dan Warga Belajar
Keberhasilan seorang instruktur/pamong anak tunalaras dalam mengatasi pembelajaran tergantung bagaimana kemampuan dan keterampilannya dalam melakukan interaksi antara instruktur/pamong dengan warga belajar. Artinya kemampuan dan keterampilan dalam menangani masalah-masalah yang muncul dan kemampuan mengantisipasi masalah-masalah yang belum muncul. Instruktur/pamong dalam menghadapi warga belajar harus dapat melakukan kegiatan yang bersifat preventif dan kuratif.
Tindakan preventif adalah tindakan instruktur/pamong yang dianggap menguntungkan bagi tercapainya kondisi belajar yang optimal sehingga dapat menghindari munculnya masalah-masalah yang mungkin terjadi dalam proses pembelajaran. Tindakan preventif yang dimaksud meliputi:
a. Meningkatkan kesadaran diri sebagai instruktur/pamong b. Meningkatkan kesadaran warga belajar
c. Bersikap terbuka dan tampil apa adanya d. Memahami akan kebutuhan warga belajar e. Merancang
(53)
f. Memahami, menemukan, dan menerapkan alternatif yang sesuai dalam proses pembelajaran.
g. Melakukan kontrak sosial melalui tata tertib dengan segala sangsinya.
Tindakan preventif ini harus lebih banyak menerapkan ganjaran secara tepat, mengembangkan hubungan interpersonal antara instruktur/pamong dengan warga belajar. antara warga belajar dengan warga belajar, serta mengembangkan kondisi kelompok yang efektif dan produktif.
Tindakan Kuratif adalah tindakan instruktur/pamong untuk mengoreksi penyimpangan tingkah laku yang terjadi sehingga dapat mengganggu jalannya proses pembelajaran yang sedang berlangsung. Tindakan yang perlu dilakukan antara lain:
a. Mengidentifikasi warga belajar yang mendapat kesulitan untuk menerima dan mengikuti kontrak sosial yang telah disepakatinya.
b. Mengidentifikasi jenis masalah dan latar belakang dari munculnya kesulitan atau pelanggaran yang telah dilakukan.
c. Membuat rencana yang diperkirakan paling efektif dan efisien untuk menanggulangi masalah tersebut.
d. Membuat kesepakatan tentang waktu pertemuan untuk membicarakan masalahnya.
e. Menjelaskan tujuan dan harapan dari pertemuan yang sedang dilakukan.
f. Menjelaskan pada warga belajar bahwa setiap manusia termasuk intruktur tidak terlepas dari kelebihan dan kekurangan.
(1)
a. Pendekatan Behavior Modification
Menurut psikologi behavioral tingkah laku manusia yang baik dan yang buruk, yang disukai dan tidak disukai, itu merupakan proses hasil belajar. Seorang bertingkah laku menyimpang atau tunalaras berarti merupakan hasil proses belajar, itu yang menjadi dasar atas prinsip psikologi behavioral. Pendekatan behavioral modivication dibangun atas dasar proses yang perlu diperhitungkan dalam belajar bagi semua orang, baik itu tingkatan umur maupun keadaan, seperti penguatan positif, pengutan negatif, penghilangan atau penundaan dan penghukuman. Proses belajar tersebut baik itu seluruhnya atau sebagian pada dasarnya dipengaruhi atau dikontrol oleh kejadian yang berlangsung di lingkungan.
Tugas utama dari seorang instruktur/pamong belajar menurut pendekatan behavioral modification, adalah harus dapat menguasai dan menerapkan proses pemberian penguatan, atau ganjaran, penguatan negatif atau peniadaan rangsangan yang tidak mengenakkan (hukuman). Penghilangan atau penundaan yaitu menahan ganjaran yang diharapkan seperti yang diberikan sebelumnya. Penghukuman atau pemberian rangsangan yang tidak mengenakkan.
b. Pendektan Sosio-emotional
Pendekatan Sosio-emotional dibangun atas dasar pandangan yang menyatakan bahwa kelas yang efektif merupakan fungsi dari hubungan yang baik antara guru dengan siswa dan siswa dengan siswa. Menurut Rogers, hubungan baik antara guru dengan siswa dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu (1) keterbukaan dan sikap guru yang tidak pura-pura, (2) adanya sikap menerima dan sikap
(2)
kepercayaan guru kepada siswa, (3) adanya sikap empati dari guru terhadap apa yang dirasakan siswa. Dengan adanya rasa cinta dan dihargai oleh guru maka siswa dapat mengembangkan potensi yang ia miliki dengan maksimal.
Instruktur/pamong bagi anak tunalaras yang ingin menerapkan pendekatan ini harus mampu memiliki kemampuan dan keterampilan untuk bersikap terbuka, menerima, menghargai serta mempercayai warga belajarnya, mampu bersikap empati sehingga diharapkan dapat membuka peluang yang besar bagi terciptanya hubungan interpersonal antara guru dan warga belajar. Untuk dapat bersikap terbuka setiap instruktur/pamong bagi anak tunalaras perlu mengenal dirinya sendiri dengan baik, dan menampilkan sebagaimana adanya. Instruktur/pamong perlu menyadari perasaan-perasaannya, menerima dan bila mungkin mengkomunikasikannya. Instruktur/ pamong harus tampil sesuai dengan perasaan-perasaan tersebut dan tidak berpura-pura. Penerimaan pada warga belajar mengisyaratkan bahwa sekalipun warga belajarnya tunalaras, tertapi instruktur/pamong tetap memandangnya sebagai individu yang berharga, warga belajar harus dipandang sebagai keutuhan pribadi yang sedang berkembang dan bukan semata-mata sebagai seseorang yang tingkah lakunya menyimpang. Dari perlakuan tersebut diharapkan akan tumbuh kepercayaan pada para warga belajar karena mereka merasa diterima, dipercayai dan dihargai sebagai individu yang memiliki hak yang sama seperti pada umumnya.
Untuk melakukan pendekatan sosio-emotional diutamakan adanya suatu komunikasi yang sehat antara instruktur/pamong dengan warga belajar, atau
(3)
instruktur/pamong hendaknya membicarakan keadaan yang dijumpainya tanpa membicarakan masalah pribadi atau sifat sifat khususnya. Untuk mengatasi penyimpangan perilakunya jelaskan apa yang dilihatnya, apa yang dirasakannya dan apa yang sebaiknya dilakukan, dengan cara mendiskusikannya. Komunikasi yang efektif antara lain : jangan membicarakan sifat-sifat pribadinya, kemukakan perasaan yang tulus, hilangkan kekerasan dan utamakan kerjasama, kenali-terima dan hormati ide-ide dan perasaannya, berikan bimbingan bukan kritik, kembangkan otonomi pada warga belajar, hindarkan kata-kata kasar dan pertanyaan-pertanyaan yang mengundang perasaan marah, dan berikan pujian. c. Pendekatan Group Process
Kelompok merupakan suatu sistem sosial yang memiliki ciri-ciri sebagaimana sistem sosial lainnya yang efektif dan produktif. Proses pembelajaran diharapkan dapat berlangsung dalam suasana kelompok yang harmonis efektif dan produktif. Untuk itu instruktur/pamong bagi anak tunalaras dituntut untuk dapat mengoptimalisasi pembelajaran kelompok sebagai suatu sistem sosial yang dipandang efisien, efektif dan produktif. Karena itu tugas instruktur/pamong anak tunalaras yang utama adalah mengembangkan keeratan hubungan antar anggota kelompok, melalui peningkatan daya tarik dan ikatan kelompok dengan jalan menumbuhkan sikap saling menghargai dan mengembangkan komunikasi yang efektif di antara anggota kelompok. Selain itu diharapkan instruktur/pamong anak tunalaras dapat mengembangkan norma-norma kelompok yang produktif dan menyenangkan.
(4)
Sebagai sistem sosial, kelompok yang efektif dan produktif tergantung pada berfungsinya elemen-lemen dasar dari kelompok tersebut, yaitu : kemenarikan, harapan, kepemimpinan, norma, komunikasi, dan keeratan atau kebersamaan dari anggota kelompok tersebut. Jadi tugas instruktur/pamong anak tunalaras harus berupaya agar elemen-elemen tersebut dapat berfungsi secara optimal.
4. Pola Interaksi antara Instruktur dan Warga Belajar
Keberhasilan seorang instruktur/pamong anak tunalaras dalam mengatasi pembelajaran tergantung bagaimana kemampuan dan keterampilannya dalam melakukan interaksi antara instruktur/pamong dengan warga belajar. Artinya kemampuan dan keterampilan dalam menangani masalah-masalah yang muncul dan kemampuan mengantisipasi masalah-masalah yang belum muncul. Instruktur/pamong dalam menghadapi warga belajar harus dapat melakukan kegiatan yang bersifat preventif dan kuratif.
Tindakan preventif adalah tindakan instruktur/pamong yang dianggap menguntungkan bagi tercapainya kondisi belajar yang optimal sehingga dapat menghindari munculnya masalah-masalah yang mungkin terjadi dalam proses pembelajaran. Tindakan preventif yang dimaksud meliputi:
a. Meningkatkan kesadaran diri sebagai instruktur/pamong b. Meningkatkan kesadaran warga belajar
c. Bersikap terbuka dan tampil apa adanya d. Memahami akan kebutuhan warga belajar e. Merancang
(5)
f. Memahami, menemukan, dan menerapkan alternatif yang sesuai dalam proses pembelajaran.
g. Melakukan kontrak sosial melalui tata tertib dengan segala sangsinya.
Tindakan preventif ini harus lebih banyak menerapkan ganjaran secara tepat, mengembangkan hubungan interpersonal antara instruktur/pamong dengan warga belajar. antara warga belajar dengan warga belajar, serta mengembangkan kondisi kelompok yang efektif dan produktif.
Tindakan Kuratif adalah tindakan instruktur/pamong untuk mengoreksi penyimpangan tingkah laku yang terjadi sehingga dapat mengganggu jalannya proses pembelajaran yang sedang berlangsung. Tindakan yang perlu dilakukan antara lain:
a. Mengidentifikasi warga belajar yang mendapat kesulitan untuk menerima dan mengikuti kontrak sosial yang telah disepakatinya.
b. Mengidentifikasi jenis masalah dan latar belakang dari munculnya kesulitan atau pelanggaran yang telah dilakukan.
c. Membuat rencana yang diperkirakan paling efektif dan efisien untuk menanggulangi masalah tersebut.
d. Membuat kesepakatan tentang waktu pertemuan untuk membicarakan masalahnya.
e. Menjelaskan tujuan dan harapan dari pertemuan yang sedang dilakukan.
f. Menjelaskan pada warga belajar bahwa setiap manusia termasuk intruktur tidak terlepas dari kelebihan dan kekurangan.
(6)
g. Mengarahkan warga belajar pada masalahnya, yaitu pelanggaran yang telah dilakukan.
h. Lakukan pengamatan terhadap respon warga belajar dalam menanggapi masalahnya, bila tidak responsif tentukan untuk diskusi di lain waktu.
i. Upayakan melalui pertemuan-pertemuan yang dilakukan akhirnya sampai pada kontrak individu/kelompok untuk memperbaiki tingkah lakunya yang menyimpang.
j. Lakukan follow-up dengan melakukan evaluasi dan monitoring secara terus menerus dan intensif terhadap pelaksanaan kontrak serta kemajuan-kemajuan yang dicapainya.
Langkah-langkah di atas secara umum meliputi identifikasi masalah, analisa masalah dan pemilihan, penetapan dan penerapan alternatif tindakan dan follow-up.