b. Pada kelompok responden dengan status sebagai pengurus baru, responden yang dominan pada komitmen afektif sebanyak 12 orang 24; sama-
sama kuat pada komitmen afektif dan berkelanjutan sebanyak dua orang 4; sama-sama kuat pada komitmen afektif dan normatif sebanyak 27
orang 54; dan dominan pada ketiga komponen sebanyak delapan orang 16. Tidak terdapat responden yang dominan pada salah satu komitmen
berkelanjutan ataupun
normatif. Satu
orang responden
tidak terklasifikasikan. Dapat disimpulkan bahwa kelompok responden dengan
status sebagai pengurus baru, paling banyak dominan pada komitmen afektif dan normatif secara bersamaan.
4.3 PEMBAHASAN
Hasil analisa menunjukkan bahwa secara umum pengurus Gereja Katolik Stasi Santa Theresia Lisieux Perumnas Simalingkar dominan pada lebih dari satu
komponen komitmen organisasi, hanya sebagian kecil dari jumlah responden yang dominan pada satu komponen komitmen organisasi saja. Sembilan belas orang
21,11 dominan hanya pada komitmen afektif dan satu orang 1,11 dominan pada komitmen normatif saja. Empat puluh tujuh orang 52,22 responden,
memiliki komitmen afektif dan normatif yang sama-sama kuat; empat orang memiliki komitmen afektif dan berkelanjutan yang sama-sama kuat; dan 17 orang
18,89 dominan pada ketiga komponen komitmen organisasi. Hasil analisa juga menunjukkan terdapat dua orang 2,22 responden yang tidak terklasifikasikan.
Sembilan belas orang pengurus Gereja Katolik Stasi Santa Theresia Lisieux Perumnas Simalingkar yang dominan pada komitmen afektif saja, dikarenakan
Universitas Sumatera Utara
mereka memang merasa senang menjadi bagian dari Dewan Pastoral, secara emosional terikat dengannya, merasa bahwa masalah yang sedang dihadapi oleh
Dewan Pastoral adalah masalah diri sendiri juga, dan memang ingin melakukan tugas sebagai pengurus gereja. Allen dan Meyer 1991 mengatakan bahwa
walaupun faktor-faktor demografis dapat mempengaruhi komitmen, keinginan untuk tetap mempertahankan keanggotaan di dalam organisasi lebih banyak
dipengaruhi oleh pengalaman yang diperoleh selama bekerja. Pekerja ingin tetap berada di dalam organisasi yang memberikan pengalaman kerja yang positif,
karena mereka
menghargai pengalaman
tersebut dan
ingin tetap
mempertahankannya. Pengalaman positif yang dapat dirasakan oleh seorang pengurus gereja dapat berupa perasaan lebih dekat dengan Tuhan dan dapat lebih
menjiwai agama yang dianutnya. Melalui keiikutsertaannya di dalam Dewan Pastoral, sebagai seorang umat beriman ia dapat turut serta dalam tiga tugas
Kristus sebagai Nabi, Imam dan Raja. Tri-Darma Gereja darma pengajaran, pengudusan, dan penggembalaan adalah wujud nyata dari tiga tugas Kristus
tersebut Keuskupan Agung Medan, 2009. Satu orang pengurus Gereja Katolik Stasi Santa Theresia Lisieux
Perumnas Simalingkar yang dominan hanya pada komitmen normatif. Hal ini dapat disebabkan oleh tekanan normatif dari lingkungan sekitar, baik itu dari
dalam keluarga sebagai akibat dari didikan orang tua ataupun budaya masyarakat yang menekankan bahwa kesetiaan adalah hal yang penting Weiner dalam Allen
Meyer, 1991. Komitmen normatif dapat pula terbentuk sebagai akibat dari proses sosialisasi anggota yang baru bergabung dengan organisasi. Pada proses
Universitas Sumatera Utara
atau masa sosialisasi, setiap anggota baru akan diberitahukan mengenai apa yang diharapkan organisasi dan betapa pentingnya nilai kesetiaan. Demikian pula
halnya pada pengurus Gereja Katolik Stasi Santa Theresia Lisieux Perumnas Simalingkar, setiap pengurus baru akan mengikuti proses sosialisasi mengenai
apa-apa saja tugas dan tanggung jawab mereka sebagai Dewan Pastoral dan apa yang diharapkan dari diri mereka. Proses sosialisasi ini yang merupakan proses
pembentuk komitmen normatif pada pengurus Gereja Katolik Stasi Santa Theresia Lisieux Perumnas Simalingkar. Selain proses sosialisasi, faktor lain yang dapat
menjadi pembentuk komitmen normatif pada pengurus Gereja Katolik Stasi Santa Theresia Lisieux Perumnas Simalingkar adalah tekanan normatif dari umat gereja
sendiri. Umat menginginkan pengurus gereja yang sudah terpilih, melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai pengurus gereja. Ketika seorang pengurus
tidak melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, ia akan dianggap sebagai orang tidak bertanggung jawab.
Umumnya pengurus gereja Katolik Stasi Santa Theresia Lisieux Perumnas Simalingkar dominan pada komitmen afektif dan normatif secara bersamaan
52,22. Pengurus dengan komitmen seperti ini memang merasa senang menjadi bagian dari Dewan Pastoral, secara emosional terikat dengannya, merasa bahwa
masalah yang sedang dihadapi oleh Dewan Pastoral adalah masalah diri sendiri, dan ingin melakukan tugas sebagai pengurus gereja; dan pada saat bersamaan,
mereka melaksanakan tugas karena tekanan sosial dari lingkungan sekitar keluarga, teman, umat ataupun budaya yang menekankan bahwa kesetiaan dan
melaksanakan amanat adalah hal yang penting.
Universitas Sumatera Utara
Pengurus yang sama-sama kuat pada komitmen afektif dan normatif dapat disebabkan karena pengaruh dari komitmen afektif yang dimilikinya. Pengalaman
kerja yang positif yang berhubungan dengan komitmen afektif juga dapat berkontribusi terhadap perasaan wajib untuk membalaskan pengalaman kerja yang
telah dirasakan itu Allen Meyer, 1991. Pengurus gereja dengan dua komitmen yang sama-sama kuat ini, pada awalnya memang ingin melaksanakan tugas dan
tanggung jawabnya sebagai pengurus gereja komitmen afektif. Selama menjalankan tugasnya, ia mendapatkan tanggapan yang positif dari umat atas
hasil kerjanya – individu dengan komitmen afektif yang dominan, memiliki
kecenderung untuk lebih berkorban dan memberikan usaha lebih demi kemajuan organisasi, sehingga pelayanan yang diberikan lebih maksimal dan pengguna jasa
lebih merasa puas. Tanggapan positif dari umat, dinilai sebagai pengalaman kerja yang positif. Pada saat ini mulai muncul komitmen normatif, di mana pengurus
tersebut merasa berhutang budi atas pengalaman positif yang telah dirasakannya dan wajib membalaskannya
– seseorang dengan komitmen normatif memilih tetap di dalam organisasi karena ia merasa wajib untuk melakukannya. Hal ini yang
menyebabkan mengapa pengurus yang dominan pada komitmen afektif, juga dominan pada komitmen normatif.
Seorang pengurus yang sama-sama dominan pada komitmen afektif dan normatif dapat pula pada awalnya dominan pada komitmen normatif dan
kemudian juga memiliki komitmen afektif yang kuat. Pengurus tersebut menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sebagai pengurus gereja karena ia
merasa bahwa tugas dan amanat yang sudah dipercayakan kepadanya harus
Universitas Sumatera Utara
dijalankan dengan baik. Karena ia menjalankan tugasnya dengan baik, ia memperoleh tanggapan yang positif dari umat atas hasil kinerjanya. Pada saat ini,
pengurus tersebut mulai membentuk komitmen afektifnya terhadap Dewan Pastoral
– pengalaman kerja yang positif menyebabkan seseorang memiliki komitmen afektif Allen Meyer, 1991.
Terdapat empat orang pengurus gereja yang memiliki komitmen afektif dan berkelanjutan yang sama-sama kuat. Pengurus dengan komitmen seperti ini
memang merasa senang menjadi bagian dari Dewan Pastoral, secara emosional terikat dengannya, merasa bahwa masalah yang sedang dihadapi oleh Dewan
Pastoral adalah masalah diri sendiri, dan ingin melakukan tugas sebagai pengurus gereja; dan pada saat bersamaan ia juga melaksanakan tugasnya karena ia
membutuhkan sesuatu dari Dewan Pastoral. Menurut Allen dan Meyer 1991, faktor-faktor yang paling umum mempengaruhi komitmen berkelanjutan adalah
side bets atau investasi, dan ketersediaan alternatif. Komitmen berkelanjutan akan semakin meningkat seiring dengan berkurangnya ketersediaan alternatif dan
bertambahnya investasi. Pengurus yang memiliki komitmen afektif dan berkelanjutan yang sama-
sama kuat, dapat dikarenakan pada awalnya pengurus tersebut memang memiliki keinginan dari dalam dirinya untuk menjalankan tugas dan tanggung jawab
sebagai pengurus gereja serta mau berkorban agar Dewan Pastoral dapat mencapai tujuannya. Dalam melaksanakan tugasnya tersebut ia memang memperoleh
pengalaman dan tanggapan yang positif; namun ia menganggap pengorbanan yang dilakukannya demi Dewan Pastoral seharusnya diberi balasan yang setimpal.
Universitas Sumatera Utara
Seorang pengurus gereja dengan komitmen berkelanjutan dikarenakan ia merasa ada sesuatu yang dibutuhkannya dari Dewan Pastoral seperti kemudahan akses ke
pelayanan gerejawi, lebih dikenal umat, ataupun dapat status khusus ataupun karena pengurus tersebut sudah banyak mengeluarkan biaya-biaya tertentu dalam
menjalankan tugas dan tanggung jawabnya, sehingga ia merasa bahwa apa yang telah dilakukannya akan tampak sia-sia jika tidak menjadi bagian dari organisasi
lagi. Tujuh belas orang 18,89 pengurus memiliki komitmen yang sama-
sama kuat pada komitmen afektif, berkelanjutan, dan normatif. Pengurus yang mempunyai komitmen seperti ini memiliki keinginan dari dalam dirinya untuk
menjalankan tugas dan kewajibannya, senang menjadi bagian dari Dewan Pastoral, secara emosional terikat dengannya, merasa bahwa masalah yang sedang
dihadapi oleh Dewan Pastoral adalah masalah diri sendiri. Pada saat bersamaan pengurus tersebut melaksanakan tugasnya karena ia membutuhkan sesuatu dari
Dewan Pastoral dan juga ia menerima tekanan normatif dari lingkungan sekitar dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya.
Terdapat dua orang responden yang tidak dapat diklasifikasikan. Hal ini dikarenakan ketiga komponen komitmen organisasi yang dimiliki, sama-sama
berada pada kategori rendah. Kategori yang rendah menunjukkan komponen komitmen organisasi yang dimiliki tidak dominan.
Komponen komitmen organisasi yang paling dominan pada pengurus Gereja Katolik Stasi Santa Theresia Lisieux Perumnas Simalingkar adalah
komitmen afektif, walaupun tidak seluruh pengurus yang dominan pada komitmen
Universitas Sumatera Utara
afektif betul-betul dominan hanya pada bentuk komitmen tersebut. Lima persen empat orang dari seluruh pengurus yang dominan pada komitmen afektif juga
dominan pada komitmen berkelanjutan, 54 sama-sama dominan pada komitmen afektif dan normatif, 20 sama-sama dominan pada ketiga komponen komitmen.
Pembagian responden berdasarkan jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan terakhir, suku, status pernikahan, lamanya menjadi umat, dan status di dalam
kepengurusan juga menunjukkan hasil yang sama, yaitu respoden pada setiap kelompok lebih banyak yang dominan pada komitmen afekif. Jumlah pengurus
yang memiliki komitmen afektif yang banyak, seharusnya membuat umat merasakan pelayanan yang diberikan oleh pengurus gerejanya memuaskan.
Individu yang dominan pada komitmen afektif lebih memiliki kecenderungan untuk memberikan usaha yang lebih besar dibandingkan dengan individu yang
dominan pada kedua bentuk komitmen organisasi yang lain Allen Meyer, 1991.
Penelitian yang dilakukan oleh Ueda 2011 menunjukkan bahwa komitmen afektif memiliki pengaruh yang positif terhadap organizational
citizenship behavior OCB. OCB sendiri adalah perilaku yang ditampilkan oleh seorang di dalam organisasi atas dasar kemauannya sendiri, terlepas dari
ketentuan atau kewajiban yang dibebankan kepadanya dengan tujuan untuk mencapai tujuan dan efektivitas organisasi Organ, 1997. Bila komitmen afektif
merupakan bentuk komitmen yang dominan pada pengurus Gereja Katolik Stasi Santa Theresia Lisieux Perumnas Simalingkar, maka seharusnya OCB pada
pengurus gereja akan berbanding lurus dengan komitmen afektif tersebut. Namun,
Universitas Sumatera Utara
hasil preeliminary research menunjukkan sebagian besar umat belum puas terhadap pelayanan yang diberikan oleh pengurus gereja. Tiga puluh lima persen
dari responden yang berpartisipasi dalam preeliminary research mengatakan puas terhadap pelayanan yang diberikan oleh pengurus gereja, 45 mengatakan
pelayanan yang diberikan cukup memuaskan, dan sisanya 20 mengatakan pelayanan yang diberikan oleh pengurus gereja belum memuaskan. Sebaiknya
Dewan Pastoral meningkatkan komunikasi dengan umat mengenai program- program yang telah, sedang, dan akan dikerjakan, sehingga umat mengetahui
dengan lebih jelas sejauh mana perkembangan tugas dan pelayanan pengurus gereja.
Komitmen normatif merupakan komitmen selanjutnya yang cukup banyak dimiliki oleh pengurus Gereja Katolik Stasi Santa Theresia Lisieux Perumnas
Simalingkar, walaupun umumnya pengurus yang dominan pada komitmen normatif juga dominan pada komponen komitmen organisasi yang lain. Dari
seluruh pengurus yang memiliki komitmen normatif yang dominan; satu orang 2 dominan hanya pada komitmen normatif saja; 47 orang 72 dominan pada
komitmen afektif dan normatif; dan 17 orang 26 dominan pada ketiga komponen komitmen organisasi. Weiner dalam Allen Meyer, 1991
mengatakan bahwa komitmen normatif dapat terbentuk sebagai akibat dari proses sosialisasi yang terdapat di dalam organisasi. Pada proses sosialisasi, organisasi
menekankan pada anggota nilai-nilai apa yang diharapkan dari diri mereka. Salah satu nilai yang ditekankan tersebut adalah nilai kesetiaan. Melalui proses
sosialisasi ini komitmen normatif pengurus dapat terbentuk. Sebaiknya pengadaan
Universitas Sumatera Utara
proses sosialisasi tetap diadakan, khususnya kepada pengurus baru untuk dapat lebih menginternalisasi nilai-nilai yang diharapkan dan tugas serta tanggung
jawab dari seorang pengurus gereja. Analisa kualitatif seperti wawancara diharapkan dapat lebih mengungkanp
dinamika komitmen organisasi yang dimiliki oleh pengurus Gereja Katolik Stasi Santa Theresia Perumnas Simalingkar. Teori komitmen organisasi Allen Meyer
1991 dibentuk berdasarkan analisa terhadap organisasi sekuler, sehingga terdapat kemungkinan beberapa hal di dalam teori tersebut kurang relevan dengan
tema penelitian. Pada komitmen afektif, analisa kualitatif secara mendalam pada pengalaman positif apa saja yang dialami oleh seorang pengurus gereja dapat
mengungkap dengan lebih jelas dinamika komitmen afektif pada pengurus Gereja Katolik Stasi Santa Theresia Lisieux Perumnas Simalingkar merupakan
komponen komitmen organisasi yang paling dominan. Pada komitmen berkelanjutan, analisa kualitatif secara mendalam terhadap hal-hal apa saja yang
dibutuhkan oleh seorang pengurus dari Dewan Pastoral. Pada Dewan Pastoral tidak terdapat sistem penggajian yang dapat menjadi
salah satu penyebab terbentuk komitmen berkelanjutan, namun pada pengurus Gereja Katolik Stasi Santa Theresia Lisieux Perumnas Simalingkar, komponen
komitmen ini ditemukan. Analis kualitatif mendalam dapat mengungkap dengan lebih jelas faktor-faktor penyebab dan bagaimana dinamika komitmen
berkelanjutan yang terdapat pada pengurus Gereja Katolik Stasi Santa Theresia Lisieux Perumnas. Pada komitmen normatif, analisa kualitatif yang mendalam
tentang bagaimana tekanan normatif yang diterima oleh pengurus gereja dan yang
Universitas Sumatera Utara
diberikan oleh umat dapat membantu lebih memahami dinamika terbentuk komitmen normatif pada pengurus Gereja Katolik Stasi Santa Theresia Lisieux
Perumnas Simalingkar. Penelitian terhadap pengaruh faktor-faktor personal seseorang seperti tipe
kepribadian, suku, tingkat pendidikan, status pernikahan, dan jenis kelamin terhadap komponen komitmen organisasi yang dimiliki dapat memberikan
penjelasan yang lebih mendalam terhadap dinamika bagaimana terbentuknya komitmen organisasi pada pengurus Gereja Katolik Stasi Santa Theresia Lisieux
Perumnas Simalingkar. Faktor-faktor organisasi, seperti budaya dan struktur organisasi juga dapat diteliti lebih lanjut untuk mengetahui bagaimana
pengaruhnya terhadap komponen komitmen organisasi yang dimiliki. Demikian pula halnya pada skala komitmen organisasi yang digunakan.
Pada penelitian ini, skala dibentuk berdasarkan teori Allen Meyer 1991. Dengan adanya analisa kualitatif yang lebih mendalam, dapat diungkap faktor-
faktor apa saja yang sebenarnya mempengaruhi pembentukan setiap komponen komitmen
organisasi pada
pengurus gereja
dan bagaimana
proses pembentukannya, sehingga dapat dibentuk skala yang lebih valid untuk mengukur
setiap komponen komitmen organisasi pada pengurus gereja. Hasil penelitian ini tidak dapat digeneralisir pada populasi pengurus
Gereja Katolik secara umum karena penelitian ini yang bersifat studi kasus dan hasil tersebut hanya berlaku pada Gereja Katolik Stasi Santa Theresia Lisieux
Perumnas Simalingkar. Pada penelitian selanjutnya diharapkan mengikutsertakan pengurus gereja yang berasal dari wilayah pelayanan lain, sehingga hasilnya lebih
Universitas Sumatera Utara
dapat digeneralisir. Seperti mengikutsertakan seluruh pengurus Gereja Katolik pada tingkat stasi yang terdapat di dalam sebuah paroki.
Universitas Sumatera Utara
75
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN