Buku sebagai Produk Pelengkap Gaya Hidup Era Pasca 2000-an

tepat. Misalnya, dia diberikan kepada seseorang dalam rangka Hari Valentine tanggal 14 Februari. Ini pun dengan syarat bahwa pengirim dan penerima sama- sama paham bahwa di tanggal 14 Februari terdapat perayaan hari kasih sayang. Jika salah satu pihak tidak paham, atau kedua-duanya sama-sama berada dalam latar belakang sosial budaya yang menganggap tanggal 14 Februari sama saja dengan tanggal-tanggal lain, maka kue coklat itu hanya kue coklat. Kalau pun dia diberikan kepada orang lain, makna yang diberikan padanya tidak akan dikaitkan dengan apa yang disebut Hari Valentine sebagai hari perayaan kasih sayang. Sedangkan buku sejak sedari awal memang sudah punya pesan dan makna di dalamnya. Tidak ada orang yang akan memandang buku hanya sebatas lembaran kertas yang dijilid dengan sampul. Meski pun buku itu ditulis dengan abjad asing misalnya huruf Kanji atau Arab, tapi tetap saja ada kesadaran kultural yang mengatakan bahwa itu adalah buku. Kemudian dari itu, buku sebagai benda kultural berbeda dari teks-teks produksi massal lain semisal lembaran surat perjanjian, pengumuman, spanduk, leaflet, bahkan surat kabar, karena dia memiliki dua nilai sekaligus: nilai kultural dan nilai ekonomis. 22

1. Buku sebagai Benda Kultural

Nilai kultural buku lahir dari fungsinya sebagai sarana tempat diinskripsikannya wacana dalam pengertian umum dan luas. Inti wacana itu adalah “pengalaman” yang ingin ditularkan, ditransmisikan atau diwariskan penulis kepada orang lain pembaca. Kata “pengalaman” dipakai untuk mengisyaratkan bahwa yang terinskripsi dalam buku bukan hanya pengetahuan dalam pengertian ilmiah-kognitif, melainkan bisa juga dalam arti apa yang 22 Catatan tentang nilai simbolis, yang tidak dimasukkan ke sini, karena walau pun tidak tertutup kemungkinan buku dijadikan simbol dan karena itu memiliki nilai simbolis dalam sebuah pertukaran simbolis, namun untuk penelitian ini, relevansi dari jenis nilai ini tidak terlalu banyak. 57 diimajinasikan orang lain sastra dan seni, apa yang terjadi pada orang di masa lalu sejarah, atau apa yang diuji-coba atau dipikirkan orang lain sains dan filsafat. Fungsi seperti inilah yang membedakan buku dari “buku” manual perawatan kendaraan atau buku telepon, misalnya. Sebagaimana nilai-nilai lain, nilai kultural sebuah buku dalam pengertian yang dikemukakan di atas juga dapat dipertukarkan dan dari pertukaran ini akan diperoleh selisih yang akan menentukan apakah pertukaran itu menghasilkan keuntungan atau kerugian. Di dalam dunia penerbitan buku, nilai kultural buku yang diterbitkan saling dipertukarkan antar-penerbit dan antara penerbit dengan pembaca. Salah satu wujud keuntungan atau kerugian yang kemudian lahir dari pertukaran ini adalah pengakuan. Setiap penerbit dan para pemangku kepentingan dalam dunia perbukuan secara umum menyadari adanya nilai kultural ini –buku sebagai wadah wacana. Karena nilai ini kemudian secara sadar atau tidak, secara langsung atau tidak, akan dipertukarkan, maka mereka mau tak mau juga menyadari bahwa dalam memproduksi buku posisi menjadi sangat menentukan. Penerbit akan sangat memperhatikan “pandangan” pembaca terhadap mereka, karena dalam tingkatan tertentu, pandangan pembaca inilah yang kemudian juga dipakai oleh para kompetitor dalam memandang mereka. Titik di mana penerbit akan dipandang inilah yang jadi posisi yang harus selalu diperhatikannya dalam mengelola sumber daya modal, menentukan strategi pemasaran, dan mengevaluasi penjualan. Ade Makruf, penulis buku seorang praktisi dunia penerbitan Yogyakarta sejak tahun 1999 dan penulis buku Declare Kamar Kerja Penerbit-penerbit Jogja 1998-2007 , menjelaskan demikian: “Penerbit Andi, misalnya, akan sangat tergopoh-gopoh menggarap dan menerbitkan Jean Baudrillard dibanding Penerbit Jalasutra. Sementara Penerbit Jalasutra akan tergopoh-gopoh pula menerbitkan buku-buku 58 komputer dibanding Penerbit Andi. Atau bagi LKiS, misalnya, apa yang menurut saya bukan buku swa-bantu, tapi mereka tetap menerbitkannya lewat imprint anak perusahaan LKiS yang khusus menerbitkan buku- buku populer dan awam, termasuk swa-bantu. Jadi, poin saya adalah bahwa positioning itu penting dalam dunia penerbitan. Positioning ini bisa ditentukan sejak awal bisa juga diperoleh setelah bereksperimen dengan pasar.” 23 Pertukaran nilai kultural yang dibawa sebuah buku berimplikasi pada keuntungan atau kerugian yang dialami penerbit dari segi kultural. Wujud dari keuntungan atau kerugian ini adalah ada atau tidaknya, bertambah atau berkurangnya, pengakuan dari khalayak pembaca terhadap sebuah penerbit. Pengakuan ini akan sulit sekali dideteksi dan diterjemahkan ke dalam grafik kuantitatif kalau tidak merujuk pada angka-angka di laporan penjualan, karena pemberian atau penarikan pengakuan itu berlangsung dalam obrolan sehari- hari antar pembaca, entah itu di rumah, di tempat ibadah, di ruang kelas, di perpustakaan, di warung kopi dan lain sebagainya. Omong-omongan yang berisi pengakuan inilah yang kemudian menghadirkan apa yang disebut citra sebuah penerbit. Memang dalam dalam pelajaran atau ceramah manajemen pemasaran dikenal apa yang disebut teknik branding, yang tak lain adalah cara-cara membuat citra sebuah produk atau produsen agar diakui, dan oleh karena itu diinginkan calon konsumen. Akan tetapi, serevolusioner apa pun cara yang diajarkan atau dipakai, sehebat apa pun penceramah teknik pemasaran yang diundang, kalau calon konsumen dalam hal ini calon pembaca tidak mau memberikan pengakuan itu, maka implikasi riilnya akan langsung terlihat dalam angka penjualan. Argumen di atas dikemukakan untuk menguatkan pernyataan bahwa penempatan posisi menjadi sangat penting dalam industri perbukuan. Ada 23 Wawancara dengan Ade Makruf pada 03 April 2012, di Yogyakarta. 59 sebuah penerbit yang teknik pemasaran dan branding-nya dilakukan berdasarkan prinsip lillahi ta’ala apa adanya. 24 Penerbit ini tidak mau ikut pameran sekecil apa pun dan di mana pun, sementara menurut penerbit lain pameran adalah salah satu media promosi paling ampuh karena langsung ke konsumen. Pemasaran produk penerbit ini pun hanya mengandalkan jaringan distributor sendiri melalui 4 kios bukunya di shoping Bringharjo dan Terban, Yogyakarta dan satu kios buku dekat kampus Universitas Soedirman, Purwokerto. Namun sejak awal berdiri tahun 2000 penerbit ini berkomitmen ingin menerbitkan buku-buku teoretis standar yang berhaluan ilmu sosial kritis. Citra yang didapat penerbit ini –untuk tidak mengatakan keuntungan– adalah obrolan dan celetukan yang beberapa kali penulis dengar langsung bahwa penerbit ini “terkenal dengan buku-buku ilmu sosial serius. Saat ini sudah jarang penerbit yang mau menerbitkan buku-buku seperti ini.” 25 Lain lagi dengan positioning yang ditempuh Edi AH. Iyubenu, pemilik dan pimpinan penerbit Diva Press Yogyakarta. Di awal tahun 2000 Edi menerbitkan buku terjemahan penulis bersama seorang teman di bawah bendera penerbit Ircisod Yogyakarta. Buku tersebut membahas tujuh teori tentang agama. Dalam perjalanannya, buku tersebut jadi salah satu buku pegangan wajib bagi mahasiswa yang belajar sosiologi atau antropologi agama sehingga tetap dicetak ulang sampai tahun 2011. Namun karena pemilik perusahaan menilai bahwa tren buku sejak awal tahun 2000-an akan bergerak ke arah sastra Islami populer dan buku-buku populer lainnya, termasuk yang bergenre swa-bantu, maka dia memutuskan untuk mendirikan Diva Press yang 24 Wawancara dengan Ashad Kusuma Jaya, pendiri dan pimpinan Penerbit Kreasi Wacana, 10 Juni 2010 di Yogyakarta. 25 Pernyataan ini penulis dengar ketika mengobrol dalam suasana tidak formal dengan beberapa orang kenalan. Poin yang ingin disampaikan di sini adalah betapa cara kerja pemberian pengakuan, atau terbentuknya citra sebuah penerbit, berlangsung tidak kasat mata dan kadang tidak rasional. Pernyataan teman penulis bahwa itu tentu bisa langsung dibantah karena tetap ada penerbit lain yang menggarap buku-buku serius. 60