produsen buku, tidak akan risau jika buku kami tidak masuk Toga Mas, tapi kami akan sangat risau jika buku kami tidak bisa menembus Gramedia.”
32
Ketat dan cepatnya persaingan di industri perbukuan yang berlangsung dalam hitungan bulan, bahkan minggu, karena tiap penerbit selalu mengamati
pengumuman top hit penjualan per minggu di toko Gramedia, berakibat langsung pada mekanisme pengadaan naskah.
C. Lika-liku Pengadaan Naskah
Secara umum, dari sudut pandang industri perbukuan, naskah yang akan diterbitkan dapat dibagi jadi tiga kategori sesuai penulisnya: naskah dari penulis
akademisi, penulis profesional, dan penulis “tukang”pesanan. Naskah yang ditulis akademisi adalah naskah yang berasal dari penelitian
ilmiah yang terfokus pada satu topik tertentu dan mendalam. Tak jarang naskah- naskah ini awalnya adalah karya ilmiah di perguruan tinggi semisal skripsi, tesis,
disertasi, laporan penelitian atau tulisan-tulisan yang semula ditulis untuk dimuat dalam berbagai jurnal ilmiah. Memang ada juga naskah yang sejak awal ditulis
para akademisi dengan kepentingan untuk diterbitkan sebagai buku, bukan sebagai laporan penelitian. Namun jenis ini sangat jarang, mengingat sudah jadi
rahasia umum kalau waktu dan pikiran sebagian besar akademisicendekiawan Indonesia lebih tersita untuk urusan birokrasi dan tugas mengajar ketimbang
menulis. Naskah dari penulis profesional adalah naskah yang ditulis oleh mereka
yang pekerjaan utamanya baca: mata pencahariannya memang menulis. Para penulis profesional menghasilkan naskah dengan cara melakukan riset mandiri
yang dilakukan demi kepentingan penulisan sebuah buku, bukan untuk dipertanggungjawabkan kepada pihak lain, misalnya dewan penguji di perguruan
32
Wawancara dengan Ade Makruf pada 03 April 2012, di Yogyakarta.
66
tinggi. Tidak jarang juga naskah yang dilahirkan para penulis profesional ini berasal dari gagasan yang telah matang dalam pemikirannya dan kemudian dia tuliskan
dengan menambahkan data-data penunjang gagasan itu. Kerap kali genre tulisan yang lahir dari tangan mereka berbentuk esai atau buku-buku ilmiah populer.
Sedangkan kategori ketiga adalah naskah dari penulis pesanan penulis “piaraan”. Sepintas lalu memang sulit membedakan kategori ini dengan kategori
naskah dari penulis profesional, karena mereka sama-sama menggantungkan penghidupannya pada naskah yang ditulis. Perbedaannya terletak pada siapa yang
lebih dahulu berinisiatif menawarkan naskah. Buku penulis profesional terbit karena sang penulis menawarkan naskahnya kepada penerbit. Penulis yang sudah punya
nama dan diakui punya kualitas atau sudah banyak menerbitkan buku jarang yang ditolak setiap kali menawarkan naskah. Biasanya penulis jenis ini sudah
“berlangganan” dengan penerbit tertentu. Sedangkan buku penulis pesanan lahir karena penerbit yang memesan, inisiatif penulisan naskahnya tidak berasal dari si
penulis, melainkan penerbit. Kategori ketiga ini muncul sebagai akibat dari ketatnya persaingan antar-
penerbit dan tingginya tuntutan naskah yang harus diterbitkan bulan ke bulan oleh setiap penerbit. Berapa jumlah judul dan oplah yang harus dilempar ke pasar tiap
bulan berbanding lurus dengan besar kecilnya penerbit bersangkutan. Keadaan ini terjadi sebagai konsekuensi logis dari aturan main pasar perbukuan, terutama dari
segi pembayaran. Jika sebuah penerbit kecil beromzet Rp. 200 juta per bulan mengandalkan jasa distributor, maka pembayaran akan dilakukan per tiga bulan,
per empat bulan, atau per enam bulan. Jika satu judul dikirim ke distributor pada bulan ke-1, misalnya, maka pembayaran dari hasil penjualan judul itu baru akan
diterima pada bulan ke-4. Menerbitkan satu atau dua judul belum menjamin modal yang ditanam untuk ongkos produksi pada bulan ke-1 bisa kembali di bulan ke-4,
sehingga penerbit harus menerbitkan minimal 5-6 judul. Cara yang sama juga
67
harus dilakukan di bulan ke-2 dan ke-3 dan selanjutnya untuk memastikan aliran dana
cash flow tetap masuk tiap bulan untuk mengongkosi roda produksi.
Tuntutan pengadaan naskah per bulan ini makin besar dirasakan oleh penerbit menengah ke atas yang beromzet Rp.500 juta ke atas per bulan. Agar
perputaran modal tetap terjadi, agar roda penerbitan buku tidak berhenti, mereka dituntut untuk melempar minimal 10 judul per bulan.
Jika sebuah penerbit cuma mengandalkan naskah-naskah yang ditawarkan para penulis profesional, apa lagi penulis akademisi, maka tingginya kebutuhan
akan naskah seperti yang diilustrasikan di atas tidak akan terpenuhi. Itulah sebabnya penerbit menyiasatinya dengan cara memesan penulisan sebuah
naskah kepada penulis. Menurut Ade Makruf cara ini jamak dilakukan para penerbit dengan
berbagai cara.
33
Namun secara umum cara pemesanan itu dapat dibagi menjadi dua sesuai dengan jenis penulis tempat memesan naskah.
Pertama, penerbit mengontak langsung seorang penulis kenalannya yang
dianggap mampu menggarap penulisan naskah yang diinginkan. Biasanya penulis ini sudah dikenal baik oleh pihak penerbit, bahkan sudah berlangganan. Inilah apa
yang di kalangan penerbit disebut dengan nada miring sebagai “penulis piaraan.” Pemesanan bisa juga dilakukan dengan cara tidak langsung, yakni dengan
membuka sayembara penulisan naskah dengan tema-tema, format penulisan, gaya penulisan, dan batas waktu yang ditentukan. Cara ini ditempuh oleh penerbit Pro-U
Media Yogyakarta, misalnya, beberapa tahun yang lalu. Bisa diduga cara ini ditempuh karena penerbit yang bersangkutan belum besar dan punya nama, dan
oleh karena itu belum mampu “memelihara” seorang atau beberapa penulis. Bisa pula karena penerbit ingin memetakan komunitas penulis dan menentukan
33
Wawancara dengan Ade Makruf pada 03 April 2012, di Yogyakarta.
68
posisinya di dalam peta tersebut. Namun apa pun motifnya, sayembara ini pasti dilakukan untuk memastikan kelancaran pasokan naskah ke sebuah penerbit.
Di sini perlu ditambahkan bahwa pemastian kelancaran naskah itu bukan hanya dilakukan ketika sebuah tema sudah ditentukan lalu dipesan ke penulis,
melainkan ada pula cara lain, yaitu dengan “mengontrak” penulis untuk beberapa waktu dengan tema-tema yang baru akan ditentukan kemudian selama masa
kontrak itu. Cara ini ditempuh penerbit karena sudah sangat tahu kapasitas dan kualitas seorang penulis dan dia memang dibutuhkan untuk menggarap tema-tema
yang jadi ciri khas posisi sebuah penerbit dalam peta persaingan penerbitan buku. Ade Makruf menyebutkan bahwa dia punya seorang teman penulis yang dikontrak
oleh sebuah penerbit di Yogyakarta selama tiga tahun untuk memasok naskah yang ditentukan penerbit dengan imbalan sebuah rumah
34
Kedua, penulis mengontak tim penulis yang bisa berupa agensi penulis
yang punya struktur formal dengan pembagian tugas yang jelas dan ada pula yang berupa sekadar kelompok yang terdiri dari beberapa orang penulis yang “dipimpin”
oleh seorang penulis yang relatif sudah punya nama. Namun pada dasarnya cara kerja tim penulis ini sama saja, ada yang bertugas jadi humas yang menerima
pesanan atau menawarkan naskah-naskah bikinan mereka yang belum “laku,” pencari data yang bertugas mengumpulkan seluruh data dan bahan terkait tentang
suatu tema, penulis yang akan mengolah data dan bahan-bahan yang terkumpul jadi sebuah naskah, dan terakhir, penyunting yang akan memeriksa dan mem-
proofing naskah sebelum diserahkan ke pemesan.
D. Kendali Pasar atas Tema-tema dan Rekayasa Judul Buku
Cara-cara pengadaan naskah seperti yang dilukiskan di atas ditempuh penerbit untuk memenuhi tuntutan produksi tiap bulan. Jika produksi menurun atau
34
Wawancara dengan Ade Makruf pada 03 April 2012, di Yogyakarta.
69
mengalami stagnasi, maka dapat dipastikan aliran dana pembayaran dari distributor atau toko buku tidak akan mampu menutupi biaya operasional penerbit
per bulan.
35
Tuntutan produksi yang sangat besar ini memaksa para penerbit untuk memutar otak dalam mengadakan naskah. Mereka tidak bisa mengandalkan
naskah-naskah yang ditawarkan oleh para penulis akademisi maupun profesional. Selain naskah dari penulis akademisi memang lebih sedikit dibanding naskah dari
penulis profesional, penyebab lain mengapa pasokan naskah dari para akademisi tidak bisa diandalkan adalah karena naskah-naskah akademis yang cenderung
“berat” jarang yang mampu mengembalikan modal dengan cepat, apa lagi segera mendatangkan keuntungan. Dengan kata lain, naskah akademis jarang bisa
“meledak.” Sementara naskah penulis profesional pun juga tidak bisa terlalu diharapkan, karena naskah yang mereka tawarkan kerap kali kalah cepat dalam
mengikuti tema yang sedang tren. Hal ini wajar terjadi, karena jarang penulis profesional yang mengamati tren tema di pasar perbukuan secepat dan sedekat
penerbit. Tema yang menurut penulis profesional masih tren ketika dia mulai menulis naskah, ketika selesai dan ditawarkan ke penerbit ternyata sudah
ketinggalan. Perlu diingat, ketertinggalan tema ini tidak dalam hitungan tahun, melainkan bulan
Ada beberapa pertimbangan yang dipakai penerbit –dalam hal ini awak redaksi– untuk menerima atau memesan naskah. Namun pada dasarnya,
pertimbangan-pertimbangan itu akhirnya bermuara pada satu prinsip: “pasar adalah tema.”
36
35
Pembayaran dari distributor atau toko buku biasanya dengan sistem kredit, sehingga uang yang diterima untuk satu kali pembayaran pasti lebih kecil dari total harga buku yang diserahkan. Penerbit tidak
mungkin menunggu sampai pembayaran lunas sebelum menerbitkan buku baru, karena cara ini akan menghilangkan nama penerbit dari konsumen di tengah banyaknya penerbit yang ada.
36
Untuk mendapatkan ilustrasi bagaimana pergerakan tren buku di penghujung 1990-an sampai pertengahan tahun 2000-an dapat dilihat dalam sub-bab “Pasar Adalah Tema” dalam buku
Declare Kamar Kerja Penerbit Jogja 1998-2007.
Di bagian ini diilustrasikan bagaimana pada akhir tahun 1990-an
70