Sampul Buku sebagai Media Promosi bagi Dirinya Sendiri
perancang sampul adalah prinsip kemenarikan tadi. Bahkan bisa dikatakan bahwa masalah kemenarikan ini jadi pertimbangan utama ketimbang fungsi desain itu
untuk mempertegas pesan judul. Inilah yang terkadang membuat image
visual desain sampul tidak “nyambung” dengan kata-kata judul. Calon pembaca akan
kesulitan menemukan, bahkan gagal, menemukan sambungan antara kata-kata di judul dengan
image visual “padang pasir”, “matahari di ufuk menyembul di balik
awan”, “permainan warna” dan lain sebagainya yang terlihat dalam sampul di bawah
Gambar I.4: Sampul Buku dengan Image-image yang Tidak “Nyambung”
Saat mengamati sampul-sampul buku swa-bantu Islami yang diproduksi ada dua asumsi yang dipegang oleh para illustrator sampul.
Pertama, asumsi
bahwa image
visual yang merepresentasikan kearaban menyimbolkan keislaman. Konsekuensi naïf dari asumsi ini adalah islam adalah Arab, Arab adalah Islam. Ini
dapat dilihat dari sampul-sampul yang menampilkan image
gurun, onta, kafilah bersurban, wanita bercadar, pola arsitektur berkubah, dan lain sebagainya. Asumsi
ini tidak sepenuhnya keliru, karena memang berangkat dari khasanah bahasa visual yang berkembang sehari-hari di tengah masyarakat muslim Indonesia.
Asumsi ini mengingatkan kita pada anekdot yang mengisahkan betapa pengurus
82
masjid di suatu daerah memutar rekaman lagu-lagu cinta muda-mudi Ummu Kultsun, seorang biduanita popular Mesir era 1950-1970-an, dengan pengeras
suara. Kedua
, asumsi bahwa semakin “denotatif” dan langsung image
visual menyatakan tema, pembaca akan semakin termanjakan secara verbal, bukan
secara visual. Image
visual dibuat sejelas dan naif mungkin agar pembaca tidak bersusah payah menemukan makna simbolik selain yang telah disodorkan kata-
kata verbal pada judul. Misal sampul buku di bawah ini:
Gambar I.5: Sampul Buku dengan Image-image yang Naif
Di sampul ini pembaca dimanjakan dengan image
visual yang memperkuat pesan bahwa Islam juga memiliki tradisi seni bersetubuh seperti tradisi kamasutra
di India. Apa itu kamasutra sedikit banyaknya sudah “dijelaskan” wajah perempuan mirip artis film India. Keindian ini juga dilengkapi dengan jenis tipografi huruf yang
mirip aksara India. Sebagai “gongnya”, bahwa Islam juga punya seni bercinta a la kamasutra India, maka dikasihlah wajah perempuan tadi berjilbab dengan
permainan piranti lunak photoshop dan coreldraw. Dengan catatan bahwa di sini jilbab dianggap sebagai symbol Islam, bukan sebagai salah satu tradisi berpakaian
suatu kebudayaan tertentu.
83
Selain yang terang-terangan memuat image
- image
simbolis yang jadi representasi kearaban qua keislaman tadi, terdapat pula
image lain yang juga
diasumsikan merepresentasikan keislaman, yakni image
ornament arabesque
.
50
Hiasan-hiasan arabesque
biasanya dipakai manakala judul buku dirancang semeriah mungkin dalam rangka menarik mata pembaca. Artinya, illustrator
memang memutuskan untuk memakai ornament non-verbal ketimbang memilih image
- image
simbolis. Berikut adalah beberapa contoh sampul buku yang mengandalkan
image visual
arabesque
Gambar I.6: Sampul Buku dengan Ornamen-Ornamen Arabesque
50
Situs Wikipedia.org dengan mengutip pendapat John Flemming dan Hugh Honour dalam buku Dictionary of Decorative Art
mendefinisikan arabesque sebagai a form of artistic decoration consisting of
surface decorations based on rhythmic linear patterns of scrolling and interlacing foliage, tendrils or plain lines,
often combined with other elements. Dengan definisi ini bisa dilihat kalau arabesque adalah bentuk
seni rupa yang bertumpu pada bentuk garis dan lekukan sehingga bermotif dedaunan merambat yang biasanya disusun secara simetris.
84
Ornamen arabesque
kadang juga dipakai untuk pelengkap image
visual yang bersifat simbolik, baik realis maupun realis. Ornamen ini dipakai untuk
mengisi ruang kosong sekaligus penguat kesan keislaman berdasarkan asumsi Arab adalah Islam tadi.
Gambar I.7: Sampul Buku dengan Ornamen sebagai Pelengkap
Selanjutnya, sebagian kecil penerbit mengeluarkan desain sampul buku memakai ornament atau
image -
image non-realis lain bukan karena pertimbangan
85
desain semata, melainkan karena pertimbangan paham teologis.
51
Di dalam sebagian ajaran Islam ortodoks terdapat larangan membuat gambar atau patung
yang menyerupai makhluk hidup. Ini didasarkan pada hadits Nabi yang menyatakan bahwa kelak di hari kiamat gambar atau patung itu akan meminta
diberi nyawa kepada pembuatnya di dunia. Hikmah di balik larangan ini adalah agar umat Islam terhindar dari syirik, yang wujud konkretnya adalah penyembahan
berhala. Pertimbangan teologis inilah yang melandasi desain-desain sampul buku
yang menggambarkan sosok makhluk hidup dengan teknik kartun. Misalnya
Gambar I.8: Sampul Buku dengan Image Kartun Makhluk Hidup Ornamen sebagai Pelengkap
Terlepas dari persoalan-persoalan seputar sampul yang dibicarakan di atas, terdapat pula sampul-sampul yang terkesan sederhana dari segi tampilan
visualnya. Seakan-akan tampilan itu dibikin dengan menempelkan beberapa image
yang file-nya dikopi dari internet lalu warna latar dimainkan sedemikian rupa.
51
Tanpa bermaksud memasuki terlalu jauh perdebatan dalam tradisi Islam perihal sejarah dan esensi penggambaran makluk hidup melalui seni rupa atau patung, namun di sini dapat dikutip pendapat Seyyed
Hossein Nasr yang menyatakan bahwa arabesque adalah artikulasi keimanan ummat muslim pengesaan Tuhan yang tak bisa digambarkan. Dia mengistilahkan masalah ini dengan istilah kekosongan
void yang
mengejawantah dalam bentuk artistik. Dia menyatakan The arabesque enables the void to enter into the
very heart of matter, to remove its opacity and to make it transparent before the Divine Light. Through the use of the arabesque in its many forms, the void enters into the different facets of Islamic art, lifting from
material objects their suffocating heaviness and enabling the spirit to breathe and expand. Lihat Seyyed
Hossein Nasr, Islamic Art and Spirituality,
New York: SUNY Press, 1987, hlm. 186 dst.
86
Desain-desain sampul seperti ini seakan ingin menegaskan kembali bahwa fungsi utama dari sampul adalah bagai wajah seseorang sebagai perwakilan identitas
siapa dia. Karena buku adalah wajah dari sesuatu yang mengandung pesan dan makna, maka yang ditonjolkan di wajah itu adalah pesan itu sendiri, yakni kata-kata
judul. Cara menonjolkannya bermacam-macam, bisa dengan ukuran yang dominant, warna yang mencolok, maupun jenis font tipografi yang dipilih
sedemikian rupa. Misalnya sampul-sampul berikut ini:
Gambar I.9: Sampul Buku yang hanya Menonjolkan Kata-kata Judul
87
Di ujung pembicaraan seputar desain sampul buku-buku swa-bantu Islami ini, muncul sebuah pertanyaan mendasar tentang mengapa desain sampul
tersebut berwujud demikian, tidak yang lain? Pertanyaan ini dapat dijawab dengan merujukkannya pada prinsip dasar yang berlaku pada rekayasa judul di dapur
keredaksian sebuah penerbit. Karena desain sampul tidak bisa dipisahkan dari judul verbal sebuah buku
di mana fungsi utamanya adalah penguat judul tersebut, maka desain sampul buku swa-bantu juga mengikuti logika pembikinan judul, yakni bagaimana desain itu
menarik minat calon pembaca. Di arena penerbitan buku swa-bantu Islami, implikasi dari prinsip tersebut
adalah sampul buku berfungsi sebagai media promosi bagi dirinya sendiri. Unsur- unsur
image visual maupun kata-kata verbal yang ada di sampul buku, mulai dari
judul, anak judul, nama penulis atau editor, endorsement atau testimoni dari pihak lain difungsikan untuk mempercantik penampilan sebuah buku sehingga menarik.
Pandangan naïf isi buku sudah terwakili oleh judul dan nama penulis, sehingga tampilan visual tidak lagi perlu diolah sedemikian rupa tidak bisa
dipertahankan. Bahwa orang membeli buku karena pertimbangan isinya memang benar, namun jika isi itu dibahas oleh banyak buku yang diterbitkan oleh beragam
penerbit, maka dia juga harus berusaha meyakinkan calon pembaca bahwa dia menarik dan layak dibaca. Bagaimana cara meyakinkan dan membujuk calon
pembaca ditempuh dengan teknik-teknik seperti diuraikan di atas. Diungkapkan secara lain, buku-buku yang terpajang di rak toko buku ibarat papan iklan yang
bertebaran di tepi jalan. Hanya saja sampul buku mempromosikan dirinya sendiri. Prinsip yang membedakannya adalah tujuan. Papan iklan tujuannya membujuk,
papan pengumuman tujuannya memberitahu. Tidak bisa dibayangkan bagaimana jadinya wajah industri perbukuan islam popular jika sampulnya dibikin senaif dan
sesederhana fungsi plang penunjuk arah rumah ketua RT. Akan tetapi juga tak bisa
88
89
dibiarkan begitu saja dunia perbukuan Islam sebagai medium konsumsi informasi dan pengetahuan tentang Islam, jika sampul-sampulnya justru berfungsi sebagai
papan iklan.