Judul-judul Buku Swa-bantu Islami sebagai Fetis Pembaca sebagai Subjek Perversif

179 Subjek bukannya tidak tahu perlihal kekurangan lack ini, karena dia tahu persis bahwa “kekayaan”, “rezeki” tidak tersedia bagi setiap orang dan tidak setiap orang bisa lepas dari “hutang” dan “kemiskinan.” Subjek hanya mengingkari kenyataan ini dan tidak mau repot mempersoalkan mengapa orang harus kaya dan memburu rezeki, mengapa diharuskan tidak miskin dan berhutang. Lalu dia pun mengambil penanda-penanda tadi sebagai jalan pintas supaya tidak bersusah-susah mempertanyakan keadaan: bertanya pada dirinya sendiri apakah memang orang hidup harus kaya dalam arti yang umum dipakai, misalnya, atau apa salahnya jika seseorang punya hutang. Dan subjek pun berada pada posisi-subjek perversif. 19 Penanda-penanda yang dijadikan fetis dalam judul-judul buku swa-bantu Islami bisa juga pola ungkapan maksim “jika-maka.” Dalam beberapa judul buku swa-bantu Islami, pola ini mengesankan kepada pembaca semacam instrumentalisasi ibadah untuk tujuan-tujuan yang konkret, keinstanan proses mencapai suatu tujuan, atau keluarbiasaan yang dijanjikan. Judul-judul dengan pola “jika-maka” ini menjadi fetis bagi subjek yang mengingkari kenyataan bahwa Liyan Simbolis kehidupan beragama sebenarnya tidak punya jaminan kebenaran other of the Other tentang apa gunanya beribadah, beramal shaleh, atau berakhlak mulia. Tujuan-tujuan eskatologis seperti pahala dan keselamatan di kehidupan akhirat kelak tetap tidak bisa memberikan kepastian karena tetap harus diuraikan dan ditafsirkan secara simbolis menggunakan bahasa sehari-hari yang dipakai umat Islam. Penyederhanaan tafsiran dalam kosa kata keagamaan, semisal ritual membaca 19 Zizek menyebut subjek yang mempertanyakan keadaan ini sebagai subjek histeris. Sementara perversi adalah alternatif lain untuk menghadapi kebuntuan keadaan akibat permintaan Liyan. “ There are, of course, other possibilities of avoiding this hysterical deadlock: the perverse position, for example, in which the subject identifies himself immediately with the object and thus relieves himself of the burden of the question ”. Lihat Slavoj Zizek, The Sublime Object of Ideology, London: Verso, 2008, hlm 205. 180 al-Quran akan melapangkan rezeki, shalat dapat membugarkan tubuh dan lain sebagainya, justru menjadi jalan pintas bagi subjek untuk tidak repot mempertanyakan “kebenaran” tujuan semua ritual itu. Maka judul-judul yang bentuk retorisnya berpola “jika-maka” ini akhirnya menjadi fetis sebagai penambal bagi Liyan Simbolis yang tak mampu memberikan kepastian bagi subjek yang bertanya-tanya tentang apa sesungguhnya “guna” ibadah bagi dirinya. Tabel II.4: Judul-judul dengan Teknik Retorika Logika “Jika-Maka” Ingin Bahagia? Tegakkanlah Shalat Malam Ingin Sehat? Berobatlah dengan Al‐Quran dan Madu Ingin Cepat Kaya, Shadaqah Amalan Amalan Ringan Pembuka Pintu Surga Menolak Musibah Dengan Sedekah Sukses Kaya Dengan Mengamalkan Asmaul Husna Aku Menikah Maka Aku Kaya Aku Puasa Maka Aku Kaya Ingatlah Mati Maka Akn SuksesBahagia Kesalahan2 Berdhuha Yang Menyebabkan Tidak Bisa Kaya Tabel II.5: Judul-judul dengan Teknik Retorika Janji Ketersingkapan Mengungkap Hikmah Shalat Tasbih Menyingkap Rahasia Shalat Khusyuk Menyingkap Tabir Perempuan Islam Mengungkap Keajaiban Sujud Menyingkap Keajaiban Istighfar Mengungkap Hikmah Dan Dahsyatnya Syahadat Misteri Dahsyatnya Gerakan Shalat Misteri Malam Jumat Mukjizat Penyembuhan Air Zamzam Dahsyatnya Mukjizat Shalat Tahajud Rahasia Muslimah Pintar Menyuapi Anak Tabel II.6: Judul-judul dengan Teknik Retorika Janji Keinstanan 10 Metode Efektif Agar Anak Mencintai Alquran Agar Mudah Masuk Surga Allah Maha Pemberi Maka Engkau Gampang Naik Gaji Cara Cepat Menarik Pertolongan Allah Cara Mudah Memahami Aqidah Meraih Surga dalam Hitungan Detik 181 Doa Doa Ampuh Cepat Dikaruniai Momongan Quantum Doa Percepatan Rizqy Rahasia Agar Doa Cepat Terkabul Surah Yasin: Solusi Cepat Mengatasi 1001 Masalah Sebagai tambahan, fetisisme keinstanan dalam judul-judul buku swa-bantu Islami paling mencolok muncul dalam judul-judul yang membuat bilangan- bilangan untuk meringkas sesuatu yang sebenarnya kualitatif, semisal sekian- sekian cara untuk ini, sekian-sekian tips praktis untuk itu dan lain sebagainya. Berdasarkan data yang ada, judul-judul ini relatif banyak sekitar 556 judul 4,45. Sebagai ilustrasi dapat dilihat dalam tabel berikut: Tabel II.7: Judul-judul dengan Bilangan Tertentu 10 Langkah Menjadi Muslim Kaya 10 Metode Efektif Agar Anak Mencintai Alquran 100 Dosa Yang Diremehkan Wanita 1000 Tips Keluarga Samara 1001 Ayat Motivasi Penuntun Hidup DuniaAkhirat 101 Ayat2 Motivasi Hidup Penuh Optimisme 114 Kisah Nyata Doa‐Doa Terkabul 13 Cara Nyata Mengubah Takdir 16 Kunci Rahasia Menjemput Jodoh 17 Cara Mudah Rezeki Berlimpah 25 Rahasia Terdahsyat Haji Hingga Mabrur 293 Kutipan Spiritual 35 Langkah Islami Menghindari Stres 40 Langkah Melestarikan Kemesraan Suami Istri 417 Kesalahan Shalat Yang Diremehkan 52 Nasehat Agar Anak Tidak Durhaka 7 Amalan Penarik Rezeki 8 Secrets. Delapan Rahasia Meraih Kebahagian 9 Kunci Pembuka Gembok Rezeki 99 Tips Praktis Berpikir Positif Dari judul-judul dalam tabel di atas dapat dilihat bagaimana bilangan dari 0- 9 terdapat dalam judul-judul yang ingin memberi kesan sifat kuantitatif dari sesuatu yang pada hakikatnya kualitatif. Di sini yang jadi soal bukan apakah 182 sesuatu yang sebenarnya abstrak-kualitatif itu bisa disederhanakan dikuantifikasi menjadi beberapa poin atau tidak, akan tetap bagaimana subjek akhirnya terpaku pada jumlah bilangan tersebut sebagai pegangan baginya dalam menghadapi abstraknya usaha mencari rezeki misalnya. Bilangan- bilangan tersebut menjadi fetis bagi subjek yang tidak mau “berusaha” sendiri menemukan langkah atau cara-cara yang akan memuaskannya dalam menggapai apa yang dia inginkan. Jika di atas yang dibicarakan adalah hal-ihwal subjek pembaca buku-buku swa- bantu Islami sebagai subjek perversif yang memosisikan penanda-penanda dalam judul-judul buku swa-bantu Islami sebagai fetis, maka selanjutnya akan membicarakan pengetahuan yang dijanjikan oleh buku-buku swa-bantu Islami. Ini dimaksudkan untuk menemukan apa yang jadi kekuatan dari judul-judul itu sehingga bisa menjadi semacam “berhala” bagi pembaca yang gelisah dengan subjektivitasnya, yang sedang mencari-cari identitasnya sebagai seorang Muslim.

B. Janji Pengetahuan dalam Buku Swa-bantu Islami: Judul sebagai Cermin Imajiner

Seperti dinyatakan dalam Bab III, pengetahuan yang dijanjikan buku-buku swa-bantu Islami lewat judul-judulnya adalah pengetahuan informatif. Secara sederhana pengetahuan informatif adalah pengetahuan tentang suatu keadaan maupun tentang arahan atau petunjuk. Pengetahuan tentang keadaan dapat disebut “berita” dan tentang arahan atau petunjuk dapat disebut “pedoman”. Ketika seseorang menerima sebuah berita dan telah dia putuskan benar salahnya, dia pun akhirnya tahu tentang apa yang diinformasikandiberitakan. Ketika dia mendapat suatu pedoman dan telah dia putuskan kebenarannya, dia pun tahu apa yang akan dilakukannya berdasarkan pedoman itu. Ringkasnya, yang pertama dapat disebut 183 pengetahuan tentang sesuatu dan yang kedua pengetahuan tentang bagaimana melakukan sesuatu. Kedua bentuk pengetahuan inilah yang dijanjikan oleh judul- judul buku swa-bantu Islami. Pertanyaannya kemudian adalah bagaimanakah status pengetahuan yang dijanjikan buku swa-bantu Islami lewat judul-judulnya ini jika dihubungkan dengan karakteristik subjek pembaca fetisis sebagaimana diuraikan di muka? Supaya konsisten dengan pembicaraan tentang judul-judul dan pembaca buku swa-bantu Islami, maka pertanyaan ini juga akan disorot menggunakan perspektif Lacanian. Konsepsi Lacanian tentang pengetahuan membedakan dengan tegas dua jenis pengetahuan dan dua jenis subjek-mengetahui. Dua jenis itu dibedakan menggunakan dua kata bahasa Prancis: connaissance dan savoir. Sayangnya, bahasa Inggris dan Indonesia menerjemahkan keduanya ke dalam satu kata: “ knowledge ” dan “pengetahuan.” Ada pun subjek-mengetahui untuk yang pertama disebut “subjek-mengetahui yang sadar” the knowing subject of consciousness dan untuk yang kedua disebut “subjek-mengetahui tak-sadar” the knowing subject of concsciousness . Connaissance adalah pengetahuan yang disebut Lacan sebagai pengetahuan yang salah anggap, sehingga dia memilih menyebut connaissance dengan meconnaissance misrecognition . Dikatakan salah anggap karena dengan pengetahuan ini, seseorang ego menganggap dapat mengenali realitas, termasuk dirinya sendiri, dengan kesadaran penuh dan secara objektif. Dengan kesadarannya, dia mengidentifikasi dirinya dan objek-objek lain sebagai hal yang objektif dan stabil. Padahal keobjektifan dan kestabilan kenyataan ini terjadi cuma gara-gara ilusi adanya makna tunggal: kemapanan hubungan antara penanda dan petanda, antara citra akustik dengan konsep. Anggapan keliru tentang adanya ketunggalan dan kemapanan makna ini bersifat imajiner seperti imajinernya 184 anggapan seorang bayi yang berada di depan cermin mengira image yang tampak di cermin merupakan dan sama dengan dirinya. Karakter dari connaissance adalah narsistik-agresif, sementara cara kerjanya adalah identifikasi. Dikatakan narsistik-agresif karena dalam connaissance, hubungan ego dengan apa yang dia ketahui adalah hubungan penguasaan mastery demi dirinya sendiri. Sementara cara kerja connaissance adalah identifikasi imajiner sebab dalam hubungannya dengan apa yang dia ketahui, ego terperangkap dalam hubungan spekular keduanya. Ego keliru menganggap dia dan bayangannya adalah satu dan sama. Sehingga hubungan ego dengan yang diketahuinya terperangkap dalam hubungan menguasai dan mengobjektifikasi. Menurut psikoanalisis Lacanian, pengetahuan yang tidak ilusif dan tidak salah anggap adalah pengetahuan yang menerima kenyataan bahwa makna tidak mapan dan setiap saat makna baru bisa lahir. Pengetahuan ini lahir dalam diri subjek yang ego imajinernya sudah runtuh disintegrated dan mengakui keberadaan sang Liyan: analis sebagai Liyan dalam situasi analitik, dan Liyan Simbolis dalam kehidupan biasa. Pengakuan ini pada gilirannya akan menggiring subjek mengalami dialektika hasrat. Dalam dialektika hasrat subjek akan mengalami alienasi dan separasi. Kedua proses ini dimungkinkan terjadi karena adanya Liyan simbolis, sementara keberhasilan atau kegagalalannya ditentukan oleh hubungan subjek dengan Liyan. Pengetahuan inilah yang disebut Lacan dengan savoir atau pengetahuan simbolis. Savoir adalah pengetahuan di tatanan Simbolis di mana hubungan subjek dengan objek yang diketahui bukan penguasaan mastery , melainkan ketundukan subjection subjek pada penanda-penanda. Karena –sebagaimana disinggung sebelumnya– rangkaian penanda akan memunculkan makna jika ada campur tangan S 1 sebagai point de capiton dan dia datang dari Liyan Simbolis. Savoir adalah pengetahuan tentang Liyan Simbolis di tatanan simbolis. 185 Savoir menjadi pengetahuan yang bisa melahirkan makna baru karena dialektika hasrat antara subjek dan Liyan simbolis akan menghantarkannya pada separasi yang bermuara pada pelampauan fantasi. Asupan makna yang datang lewat permintaan Liyan Simbolis tidak lagi diidentifikasi ego secara narisistik- imajiner, melainkan diartikulasikan subjek sembari mengakui ketundukannya pada Liyan Simbolis. Dalam mengartikulasikan Liyan Simbolis inilah subjek ketidaksadaran bisa mengartikulasikan hasratnya. Maka makna pun tidak lagi menjadi kemapanan yang akan diidentifikasi, melainkan praktik pemaknaan signifying practice yang produktif. Karena sifatnya yang mengidentifikasi, maka connaisanse bersifat reproduktif: mencari-cari keidentikan. Sementara savoir bersifat artikulatif-produktif. Sehingga dalam prosesnya, kedua jenis pengetahuan ini memiliki “logika” yang berbeda, connaissance bersifat metonimik dan mengulang-ulang, sementara savoir metaforis dan tak terduga.

1. Pengetahuan Imajiner bagi Pembaca yang Dianggap Rasional Pembaca sebagai Ego Modern

Dalam hubungannya dengan dua pengertian pengetahuan dalam psikoanalisis Lacanian di atas, jenis pengetahuan yang manakah yang dijanjikan buku swa-bantu Islami lewat judul-judulnya? Ada dua kenyataan yang harus diperhatikan untuk menjawab pertanyaan ini: pertama, kenyataan bahwa buku- buku tersebut adalah bagian dari tatanan simbolis yang juga didiami oleh calon pembacapembeli. Bukti ekstrem dari kenyataan ini adalah dipakainya ungkapan atau penanda–penanda yang secara umum sedang tren di tengah khalayak pembaca Muslim. Misalnya judul-judul Membuat Doamu Cespleng Setajam Silet; Yuk Shalat Kawan; Dahsyatnya Doa Coy; Ketika Hati Sedang Lowbat; 186 Tahajjud Memang Gila; Siapa Sih Allah; dan lain sebagainya. Kedua, kenyataan bahwa sebagian besar judul-judul buku swa-bantu Islami menyasar calon pembaca sebagai sosok yang jelas, apakah status, posisi, atau keadaannya –pendek kata, predikatnya. Apa yang terjadi dalam dunia perbukuan swa-bantu Islami menunjukkan bahwa penanda-penanda yang beredar menempati posisi objek yang akan dikuasai to be mastered Ini terlihat dari judul-judul buku yang pada dasarnya mengarahkan pembaca untuk “menjadi sesuatu.” Melalui judulnya, buku-buku itu menjanjikan “bagaimana menjadi Muslim yang ….” Titik-titik ini dapat diisi dengan berbagai penanda yang berhubungan secara metonimik dengan penanda utama “Islami.” Janji dalam ungkapan “bagaimana menjadi Muslim yang …” ini tidak mesti tertera secara eksplisit dalam judul-judul buku swa-bantu Islami, karena dia dapat diganti-ganti dengan ungkapan-ungkapan yang juga berelasi secara metonimik dengan ungkapan tersebut. Ini dapat dilihat dari judul-judul yang mengandung kata-kata “menurut,” “sesuai,” “dalam,” “a la,” “di sisi,” dan lain sebagainya seperti dalam buku-buku berjudul: Seni Dan Etika Bercinta menurut Al‐Quran Dan Hadist; Dimensi Kesehatan Jiwa dalam Rukun Iman; Gila Baca a la Ulama; Indahnya Bercinta sesuai Syariah; Ibadah‐ ibadah Terdahsyat di sisi Allah dan lain sebagainya. Liyan Simbolis yang terdapat di dalam judul-judul buku swa-bantu Islami seperti dalam contoh di atas menawarkan dirinya sebagai sesuatu yang harus dimiliki. Predikat-predikat keislamian yang diminta oleh Liyan Simbolis adalah hal-hal yang harus dikuasai dan dimiliki oleh pembaca –pembaca sebagai ego. Penanda-penanda yang jadi predikat sosok seorang Muslim pada judul-judul itu menjadi sasaran identifikasi pembaca.