Sementara orang dewasa memang tidak terbiasa mewariskan kitab al-Quran,
Juz Amma
kitab yang berisi surat-surat pendek dari al-Quran, atau surat Yasin. Sementara kelemahan dari segi tampilan terjadi karena Baharthah yang
tidak memiliki latar belakang pendidikan formal apa pun memang tidak memperhatikan segi ini. Dia menganggap sebuah buku sudah dapat dinilai baik
jika punya sampul dan judulnya tertera dengan jelas. Sampul buku terbitan al- Maarif biasanya hanya satu warna dasar dengan sedikit variasi, tipografi judul
dan nama pengarang yang tidak “artistik” namun kontras dengan warna sampul sehingga jelas. Barangkali Baharthah berkeyakinan bahwa sebuah buku yang
penting bukan tampilannya, melainkan apa yang tertulis di dalamnya. Namun justru kelemahan inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh generasi penerbit
baru Islam di era 1980-an, seperti Mizan, Pustaka Bandung dan sebagainya. Kedua,
usaha penerbit al-Maarif mencetak sendiri kitab-kitab berbahasa Arab yang umumnya dipelajari di pesantren-pesantren Indonesia. Setelah
puluhan tahun umat Muslim terbiasa mengimpor kitab-kitab dari Timur Tengah, terutama Kairo dan Beirut, penerbit al-Maarif berinisiatif mengkopi dan
mencetak sendiri kitab-kitab itu. Sebagai hasilnya, harga kitab produksinya bisa jauh lebih murah dari kitab impor. Sebuah kitab impor dari Timur Tengah yang
di tahun 1970-an berharga Rp. 6.000,- bisa ditekan menjadi Rp.2.000,- saja. Strategi “ibadah” ini makin membuat al-Maarif jadi raja penerbit Islam di
Indonesia pada eranya, sampai-sampai mereka mampu mengekspor kitab al- Quran dan kitab-kitab berbahasa Arab ke Afrika Timur.
9
Selanjutnya adalah Penerbit Bulan Bintang. Penerbit ini didirikan di daerah Kwitang, Jakarta, pada tahun 1951 oleh Teungku Haji Amelz Abdul
Manaf El-Zamzami. Berbeda dengan Penerbit al-Maarif, dan ini diakui juga
9
Lihat “Perginya seorang penjaga benteng”, Majalah Tempo
edisi 13 Maret 1982, dibaca dan diunduh dari
Tempo Online. 29 Maret 2012.
46
oleh H.M. Baharthah pendiri dan pemiliknya,
10
Penerbit Bulan Bintang sedari awal memang berkomitmen untuk menerbitkan buku-buku Islam “berkwaliteit”
dalam arti berisi pembahasan pemikiran dan perenungan tentang Islam yang mendalam dan tidak bisa diakses secara luas oleh masyarakat umum.
Beberapa nama tokoh dan pemikir Islam Indonesia menjadi kondang lewat- karya mereka yang diterbitkan oleh Penerbit Bulan Bintang seperti Prof Dr
Teungku M Hasbi Ash-Shiddiegy, KH Moenawar Chalil, Prof Dr Hamka, Mohammad Natsir, Mohamad Roem, M Yunan Nasution, Prof A Hasjmy, Prof
Dr HM Rasjidi, Prof Dr Harun Nasution, Prof Dr Zakiah Darajat, dan lainnya.
11
Di masa keemasannya sekitar tahun 19771978, Penerbit Bulan Bintang mampu menerbitkan 120 judul buku per tahun, atau rata-rata 10 judul perbulan.
Produktivitas ini relatif masih bertahan sampai tahun 1980-an meski sudah menunjukkan penurunan karena tiap bulan hanya bisa memproduksi 3 sampai
5 judul buku. Memasuki tahun 1990-an, jumlah dan oplah terbitan Bulan Bintang seolah terjun bebas. Hal ini selain disebabkan persaingan yang makin
ketat dengan penerbit-penerbit Islam baru yang berdiri tahun 1980-an, juga dikarenakan persoalan manajemen. Di antara persoalan itu adalah
dibatalkannya kontrak penerbitan puluhan judul buku karya Prof. Dr. Teungku M. Hasbi Ash-Shiddiqie oleh pihak ahli waris yang lebih memilih penerbit lain.
Padahal seperti yang dikatakan Abdullah Fakih, yang dikutip Dwi Hardiyanto, ”buku karya Prof Hasbi memang laku dipasaran, sehingga rata-rata dicetak
ulang hingga 10 edisi. Setiap edisi dicetak 10.000 eksemplar.”
12
Jika penerbit Bulan Bintang dan al-Maarif dibandingkan, dengan jelas akan terlihat orientasi pembaca yang disasar oleh masing-masing penerbit.
10
Lihat “Perginya seorang penjaga benteng”, Majalah Tempo
edisi 13 Maret 1982, dibaca dan diunduh dari
Tempo Online. 29 Maret 2012.
11
Dwi Haryanto, “Penerbit Bulan Bintang, Riwayatmu Kini”, dalam blog Dwi Hardianto:Note a Journalist
who Tried to be Consistent and Inner Voice, diakses dan diunduh 29 Maret 2012.
12
Dwi Haryanto, “Penerbit Bulan Bintang, Riwayatmu Kini”, dalam blog Dwi Hardianto:Note a Journalist
who Tried to be Consistent and Inner Voice, diakses dan diunduh 29 Maret 2012.
47
Penerbit al-Maarif sejak awal didirikan berkomitmen menyediakan bahan bacaan agama Islam, mulai kitab al-Quran sampai tuntunan penyelenggaraan
jenazah atau kisah-kisah Nabi, dengan harga murah. Dengan sendirinya, pembaca yang disasar sebenarnya adalah “kelas bawah.” Ini buktikan oleh
sebuah liputan Majalah Tempo
edisi 08 Oktober 1977 bertajuk “Buku Agama Seharga Kerupuk.”
13
Sementara Penerbit Bulan Bintang sedari awal didirikan memang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Islam akan bahan bacaan
yang “berat-berat.” Ali Audah, seorang sastrawan dan penerjemah karya-karya Muhammad Iqbal ke bahasa Indonesia, menyebut penerbitan Bulan Bintang
diperuntukkan bagi golongan menengah ke atas. Berbeda dengan buku Al- Maarif yang mayoritasnya ditujukan bagi ‘golongan bawah’-dan murah.”
14
2. Buku sebagai Komoditas Intelektual yang Menguntungkan Era 1980-an sampai menjelang 2000-an
Memasuki era 1980-an penerbitan buku-buku Islam populer memasuki masa kejayaannya. Dua faktor penting yang mendorong pesatnya penerbitan
buku di era ini adalah politik dan sosial. Kedua faktor ini sama-sama meningkatkan produksi buku Islam baik dari segi kuantitas maupun kualitas.
Pemerintahan Orde Baru yang berkuasa sejak akhir 1960-an selalu menaruh kekhawatiran bangkitnya kekuatan-kekuatan masyarakat Islam secara
politik. Kekhawatiran ini mendorong rezim untuk membungkam aspirasi dan ekspresi politik umat Islam. Di sisi lain, usaha pembangunan yang dijalankan
rezim Orde Baru selama dasawarsa 1970-an, terutama di bidang ekonomi yang morat-marit akibat gonjang-ganjing politik era 1960-an dan di bidang
13
“Baharthah […] menyatakan bahwa cita-citanya sedari muda ialah: menerbitkan buku yang benar-benar bisa dijangkau rakyat, ‘yang tidak lebih mahal dari harga sebuah kerupuk.’” Lihat “Buku Agama Seharga
Kerupuk,” dalam Majalah Tempo
edisi 08 Oktober 1977, diakses dan diunduh dari Tempo online 29 Maret 2012.
14
Lihat “Perginya seorang penjaga benteng”, Majalah Tempo
edisi 13 Maret 1982, dibaca dan diunduh dari
Tempo Online. 29 Maret 2012.
48
pendidikan, telah menciptakan perubahan sosial yang cukup mendasar di tengah masyarakat. Pembangunan di kedua bidang ini kemudian menghasilkan
segmen masyarakat Islam yang sudah berhasil “naik kelas,” bukan lagi “santri ndeso
yang kolot.” Umumnya segmen masyarakat ini memperoleh penghasilan utama bukan dari pertanian di desa dan, yang terpenting, sudah melek huruf
dan informasi. Represi rezim Orde Baru atas aspirasi dan ekspresi politik umat Islam di
satu sisi dan penggemblengan mereka di bidang ekonomi dan pendidikan di era 1970-an dapat dilihat dari kenyataan bahwa mayoritas buku-buku Islam
yang membanjiri pasaran waktu itu, terutama yang dipasok oleh Penerbit al- Maarif, lebih berorientasi pada teks-teks kanonik-normatif. Selain Penerbit al-
Maarif, masih banyak penerbit lain yang juga mengikuti jalur yang sama, seperti Penerbit Thoha Putra Semarang, Menara Kudus di Surabaya. Walau pun buku-
buku “berat” tentang Islam, bahkan yang membahas isu-isu sensitif secara politik seperti kajian karya M. Natsir, Syafruddin Prawiranegara, Nurcholis
Madjid dan sebagainya, memang diterbitkan oleh penerbit-penerbit seperti Penerbit Bulan Bintang atau Pustaka Panjimas, namun penerbitannya tidak
mewabah. Secara sederhana, tanda dari mewabahnya penerbitan buku-buku pemikiran yang “serius” dan “berat” ini adalah banyaknya penerbit yang
mengkhususkan diri mengusung tema-tema berat. Wabah itulah yang kemudian merebak di tahun 1980-an, dan tanda
awalnya adalah dengan didirikannya Penerbit Mizan pada tahun 1983 di Bandung oleh tiga orang mantan dewan redaksi jurnal
Pustaka Salman ITB
15
–
15
Jurnal Pustaka Salman ITB adalah unit kegiatan para aktivis Masjid Salman ITB. Selain penerbit Mizan
yang lahir dari mantan aktivis masjid, terdapat dua penerbit lain yang tak kalah kondangnya sebagai penerbit buku Islam di tahun 1980-an, yaitu penerbit Pustaka dan Pustaka Hidayah. Penerbit Pustaka
terkenal dengan terjemahan karya-karya Fazlur Rahman, seorang pemikir Islam kelahiran Pakistan dan jadi guru beberapa tokoh Muslim Indonesia sekarang di Universitas Chicago, di antaranya Nurcholis
Madjid, M. Amien Rais, dan M. Syafi’i Ma’arif. Penerbit ini juga menerbitkan edisi terjemahan
Orientalism- nya Edward Said 1982.
49
Haidar Bagir, Zainal Abidin Shahab, Ali Abdullah Assegaf ketiganya keturunan Arab, dan yang disebut terakhir pernah berpengalaman sebagai staf redaksi
Penerbit al-Maarif. Buku pertama penerbit Mizan adalah
Dialog Sunnah- Syiah: Surat Menyurat antara Syeikh al-Bisyri al-Maliki dan Sayyid
Syarafuddin al-Musawi
karya Sayyid Syarafuddin al-Musawi, yang merupakan terjemahan dari kitab berbahasa Arab.
16
Dalam perkembangannya sampai sekarang, Penerbit Mizan mengembangkan diri menjadi berbagai lini
penerbit imprint
seperti Khazanah buku referensi serius, Kronika buku umum, Qanita buku tentang kewanitaan, Kaifa buku
how to , al-Hikmah
buku esoterik, DAR Mizan buku remaja dan anak-anak, Teraju, Mizan Learning Centre. Karena penerbit ini dalam perkembangannya juga memiliki
perusahaan distribusi buku sendiri, maka ada beberapa penerbit yang memasarkan buku mereka dengan bendera Mizan, seperti buku-buku karya
Komunitas Lingkar Pena dan Bentang Budaya Yogyakarta setelah diakuisisi Mizan pada tahun 2006. Tidak hanya itu, perkembangan usahanya juga
merambah pada pengembangan software dan konten Islami serta production
house yang memproduksi film
Laskar Pelangi, Sang Pemimpi,
dan
Emak Ingin Naik Haji.
17
Penerbit Mizan layak mendapat catatan sendiri terkait dengan perkembangan pesat dunia perbukuan Islam era 1980-an setidaknya karena
tiga hal yang dicermati dan dimanfaatkannya sebagai peluang: perubahan kultural dalam konteks kehidupan sosial-ekonomi masyarakat, pluralisme
wacana, dan kreativitas keredaksian.
16
Abdul Munip, Transmisi Pengetahuan Timur Tengah ke Indonesia: Studi tentang Penerjemahan Buku
Berbahasa Arab di Indonesia 1950-2004, Yogyakarta: Bidang Akademik UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,
hlm. 187.
17
Lihat Gatra
Edisi 11 September 2011, hlm. 93.
50
Perubahan kultural yang terjadi akibat represi rezim Orde Baru terhadap aspirasi dan ekspresi masyarakat Islam secara politik dan pembangunan di
bidang ekonomi dan pendidikan seperti yang telah di singgung di atas menghasilkan segmen masyarakat yang disebut oleh Haidar Bagir –pendiri
sekaligus direktur Penerbit Mizan– sebagai “kelas menengah baru Muslim. Anggota-anggotanya memiliki ciri-ciri kelas menengah pada umumnya --
terpelajar, berpendapatan cukup, dan memiliki kesadaran sosial-politik yang tinggi-- hanya saja yang ini diikat oleh kesamaan agama.”
18
Salah satu bentuk perubahan kultural yang dialami oleh segmen masyarakat Muslim ini adalah
meningkatnya kebutuhan akan pilihan-pilihan wacana yang akan menunjukkan identitas mereka sebagai Muslim namun tetap sesuai dengan ciri-ciri mereka
sebagai “kelas menengah” seperti yang dinyatakan Bagir tadi. Jika kebutuhan ini memang akan dipenuhi, maka konsekuensinya adalah terjadinya apa yang
disebut Azyumardi Azra dengan “pluralisme wacana.” Besarnya kebutuhan akan buku-buku Islam di satu pihak dan kenyataan
sulitnya memperoleh naskah-naskah asli karangan penulis asli Indonesia mengharuskan dilakukannya penggalian sumber-sumber naskah dari bahasa
asing, terutama Arab dan Inggris. Usaha penggalian sumber-sumber naskah bahasa asing ini, yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia,
mengakibatkan makin banyaknya altermatif wacana yang diperkenalkan kepada pembaca untuk memenuhi kebutuhan mereka.
19
Sebagai contoh, meski sebuah buku memang berbicara tentang hadits secara umum, namun karena
pengarangnya terkenal sebagai ulama dari salah satu aliran Islam yang tidak jamak di Indonesia, buku itu akan mengundang keingintahuan lebih jauh dari
18
Haidar Bagir, “Kebangkitan Industri Kreatif Muslim,” dalam Gatra,
edisi 11 September 2011.
19
Azyumardi Azra, “Perbukuan Islam dan Intelektualisme Baru”, dalam Ruh Islam dalam Budaya Bangsa:
Agama dan Problema Masa Kini, Jakarta: Yayasan Festival Istiqlal, 1996, hlm. 278-279.
51
pembaca tentang aliran Islam tersebut, dan oleh karena itu menambah permintaan jenis wacana lain.
Di dapur redaksi, kedua hal tadi diramu dan diolah secara kreatif sehingga bisa menghasilkan buku dengan kandungan dan tampilan yang
berbeda dari buku-buku Islam terbitan di era sebelumnya. Kreativitas awak redaksi ini tentunya dibarengi dengan penguasaan mereka akan
perkembangan teknologi dan informasi paling mutakhir. Tiga hal di ataslah yang membuat generasi penerbit di era 1980-an,
sebagaimana yang dirintis penerbit Mizan, berbeda dan pelan-pelan menggeser dominasi penerbit generasi sebelumnya. Penerbit generasi lama
yang tetap ingin bertahan harus belajar pada yang lebih muda, dan oleh karena itu tidak lagi berada di depan. Inilah yang dialami oleh Penerbit al-Maarif,
Penerbit Bulan Bintang, Penerbit Pustaka Panjimas, Budaja Djaja, dan sebagainya di paruh terakhir 1980-an sampai seterusnya.
Apa yang dirintis oleh penerbit Mizan kemudian diikuti oleh penerbit- penerbit lain dengan kekhasan label masing-masing.
20
Untuk menyebut beberapa di antaranya yang besar dan sampai saat ini masih bertahan: 1
Penerbit Pustaka yang didirikan tahun 1985-an di Jakarta. Para pendiri awalnya adalah Ammar Haryono, Tohiruddin Lubis, Noeman dan Anas Mahyuddin.
Buku yang diterbitkan pertama kali adalah buku
Kuliah Tauhid
karya Dr. Immaduddin Abdurrahim. 2 Media Dakwah adalah toko buku sekaligus
penerbit yang berada di bawah Dewan Dakwah Islamiyah, ormas dakwah yang didirikan H.M. Natsir. Toko buku Media Dakwah berubah menjadi penerbit
tahun 1985 saat dia menerbitkan majalah Media Dakwah. Penerbit ini memiliki visi Menggapai berkah mencapai ukhuwah, sedangkan misinya
20
Abdul Munip, Transmisi Pengetahuan Timur Tengah ke Indonesia: Studi tentang Penerjemahan Buku
Berbahasa Arab di Indonesia 1950-2004, Yogyakarta: Bidang Akademik UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,
hlm. 35.
52