24
Keanekaragaman jenis makroalga ditentukan pula oleh keanekaragaman habitat substrat. Kestabilan, kekerasan, tekstur permukaan dan porositas substrat
penting artinya
bagi pertumbuhan
yang mendukung
kelimpahannya. Keanekaragaman jenis makroalga di daerah pasang-surut intertidal antara lain
disebabkan pula oleh heterogenitas substratnya. Di tempat-tempat yang memiliki substrat pecahan karang batu mati, karang masif dan pasir yang lebih stabil
mempunyai keanekaragaman alga yang lebih tinggi dibandingkan dengan tempat- tempat yang hanya bersubsrat pasir dan lumpur Atmadja et al. 1996. Stasiun 2
memiliki variasi substrat yang bervariasi, yaitu karang mati dalam jumlah banyak, batu, kerikil, dan pasir berwarna cokelat.
Indeks keseragaman E tertinggi terdapat pada stasiun 3, sebesar 0,186, sedangkan indeks keseragaman E terendah terdapat pada stasiun 1, sebesar
0,158. Indeks keseragaman E ke-3 stasiun penelitian berkisar antara 0,158- 0,186, sehingga tergolong keseragaman tidak merata. Hal ini menunjukkan bahwa
tingkat keseragaman antar spesies rendah, dimana kekayaan individu yang dimiliki masing-masing spesies sangat jauh berbeda.
Menurut Odum 1994, semakin kecil indeks keseragaman E, maka semakin kecil pula keseragaman jenis dalam komunitas, atau dengan kata lain
penyebaran jumlah individu tidak sama dan ada kemungkinan didominasi oleh jenis tertentu.
4.4. Indeks Similaritas IS Makroalga
Hasil penelitian yang telah dilakukan pada masing-masing stasiun penelitian diperoleh Indeks similaritas makroalga, seperti terlihat pada Tabel 5
berikut:
Tabel 5. Indeks Similaritas Makroalga
Stasiun 1
2 3
Stasiun 1 -
30 83,3
Stasiun 2
- -
30
Stasiun 3 -
- -
Tabel 5 menunjukkan indeks similaritas tertinggi diantara seluruh daerah penelitian terdapat pada stasiun 3, dengan nilai 83,3, sedangkan stasiun 2 dan 3
memiliki nilai yang sama, yaitu 30 . Hal ini menunjukkan bahwa spesies
Universitas Sumatera Utara
25
makroalga yang ditemukan pada stasiun 1 dan 3 tergolong mirip apabila dibandingkan dengan spesies makroalga yang ditemukan pada stasiun 2 dan 3.
Hal ini disebabkan oleh letak perairan antara stasiun 1 dan 3 yang tidak begitu jauh bila dibandingkan dengan stasiun 2 yang memungkinkan kondisi faktor
fisika-kimia perairan cenderung sama sehingga spesies yang ditemukan pun cenderung sama.
Menurut Krebs 1985, indeks similaritas digunakan untuk mengetahui seberapa besar kesamaan makroalga yang hidup di luar tempat yang berbeda.
Apabila semakin besar indeks similaritasnya, maka jenis makroalga yang sama pada stasiun yang berbeda semakin banyak. Selanjutnya dijelaskan bahwa
kesamaan makroalga antara dua lokasi yang dibandingkan sangat dipengaruhi oleh kondisi faktor lingkungan yang terdapat pada daerah tersebut.
4.5. Faktor Fisik Kimia Perairan
Berdasarkan pengukuran terhadap faktor fisik kimia perairan, diperoleh nilai faktor fisik kimia seperti terlihat pada Tabel 6 berikut:
Tabel 6. Nilai Faktor Fisik Kimia Perairan Pada 3 Stasiun Penelitian
No. Parameter
Satuan Stasiun
1 2
3
1. Suhu
˚C 30
26 28
2. Salinitas
‰ 27
34 35
3. Intensitas Cahaya
Candella 917x200.000
729x200.000 818x200.000
4. Penetrasi Cahaya
M 1,28
0,97 1,12
5. pH
8 7,2
7,9 6.
Kejenuhan Oksigen
79,68 85,11
83,87 7.
Kelarutan Oksigen DO
mgL 6
6,8 6,5
8. BOD5
mgL 1,6
1 1,2
9. Kadar Nitrat
mgL 4,6
5,2 5,0
10. Kadar Fosfat
mgL 0,03
0,03 0,03
11. Kuat arus
cms 23
38 27
12. Substrat
Ditemukan karang
mati dalam jumlah
banyak, lumpur
,
pasir berwarna
putih Ditemukan
karang mati
dalam jumlah banyak, pasir
berwarna cokelat
Ditemukan karang
mati dalam jumlah
sangat banyak, lumpur
dan pasir berwarna
putih Keterangan
: Stasiun 1 : Pantai Indah Tureloto Daerah pariwisata, ditemukan aktivitas nelayan
Stasiun 2 : Pantai Turedawela Daerah tanpa aktivitas penduduk, jauh dari pemukiman penduduk, daerah perkebunan kelapa
Stasiun 3 : Pantai Toyolawa Daerah dengan sedikit aktivitas nelayan
Universitas Sumatera Utara
26
4.5.1. Suhu
Hasil pengukuran suhu perairan pada stasiun 1 adalah 30˚C, stasiun 2 sebesar 26˚C dan pada stasiun 3 sebesar 28˚C. Tingginya suhu pada stasiun 1 berbanding
lurus dengan tingginya nilai intensitas cahaya, yaitu sebesar
917x200.000,
dipengaruhi oleh waktu pengambilan sampel yang dilakukan ketika panas terik. Sedangkan rendahnya suhu pada stasiun 2 juga berbanding lurus dengan
rendahnya nilai intensitas cahaya, yaitu sebesar
729x200.000
candella
,
dipengaruhi oleh waktu pengambilan sampel yang dilakukan ketika mendung.
Suhu ekosistem akuatik secara alamiah dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti intensitas cahaya matahari, pertukaran panas antara air dan udara
sekelilingnya dan juga oleh faktor kanopi penutupan oleh vegetasi dari pepohonan yang tumbuh di sekitarnya Barus, 2004.
4.5.2. Salinitas
Hasil pengukuran salinitas pada stasiun 1 adalah 27‰, stasiun 2 adalah 34‰ dan stasiun 3 adalah 35‰. Adanya perbedaan salinitas pada ke 3 stasiun
penelitian disebabkan oleh keberadaan aliran sungai. Rendahnya salinitas pada stasiun 1 disebabkan oleh ditemukannya beberapa aliran sungai kecil yang
menyebabkan adanya pencampuran air laut dengan air tawar, tidak seperti pada stasiun 2 dan 3 dimana tidak ditemukan aliran sungai.
Sebaran salinitas di air laut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan dan aliran sungai Nontji, 1987.
4.5.3. Intensitas Cahaya dan Penetrasi Cahaya
Hasil pengukuran Intensitas cahaya yang tertinggi dari 3 stasiun penelitian adalah pada stasiun 1, yaitu sebesar 917x200.000 candella, dan terendah pada
stasiun 2 yaitu sebesar 729x200.000 candella. Sedangkan penetrasi cahaya yang tertinggi juga ditemukan pada stasiun 1, yaitu sebesar 1,28 m dan terendah pada
stasiun 2, yaitu sebesar 0,97 m. Tingginya intensitas cahaya pada stasiun 1 disebabkan oleh kondisi pengambilan sampel yang berbeda dibandingkan stasiun
lainnya, tepat ketika matahari bersinar sangat terik. Nilai intensitas cahaya ini berbanding lurus dengan tingginya nilai penetrasi cahaya yang kemungkinan
Universitas Sumatera Utara
27
disebabkan oleh kondisi perairan yang jernih. Sedangkan pada stasiun 2, rendahnya intensitas cahaya disebabkan oleh waktu pengambilan sampel yang
cenderung mendung. Selanjutnya Suin 2002 melaporkan bahwa penetrasi cahaya akan berkurang jika kondisi perairannya keruh.
4.5.4. pH
Hasil pengukuran pH pada stasiun 1 sebesar 8, stasiun 2 sebesar 7,2 dan stasiun 3 sebesar 7,9. pH tertinggi ditemukan pada stasiun 1, yaitu sebesar 8,
sedangkan nilai pH terendah adalah pada stasiun 2, yaitu sebesar 7,2. Tingginya pH air pada stasiun 1 disebabkan oleh kandungan kelarutan oksigen. Semakin
meningkat nilai kelarutan oksigen pada suatu perairan, maka nilai pH semakin menurun Barus, 2004. Namun demikian, kisaran pH pada seluruh lokasi
penelitian secara umum masih mendukung kehidupan makroalga. Chapman 1997 menyatakan bahwa hampir seluruh alga menyukai kisaran pH 6,8-9,6
untuk hidup.
4.5.5. Kejenuhan Oksigen
Hasil pengukuran kejenuhan oksigen tertinggi pada stasiun 2 sebesar 85,11, dan terendah pada stasiun 1, sebesar 79,68. Tingginya kejenuhan oksigen pada
stasiun 1 dapat disebabkan oleh nilai kelarutan oksigen DO pada lokasi ini lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi lainnya.
Menurut Odum 1994, nilai kejenuhan oksigen menggambarkan keadaan oksigen pada suatu perairan. Semakin tinggi nilai kelarutan oksigen maka semakin
besar pula nilai kejenuhannya. Semakin tinggi nilai kejenuhan oksigen maka semakin kecil defisit oksigen yang terdapat pada suatu perairan, demikian pula
sebaliknya.
4.5.6. Oksigen Terlarut Dissolved Oxygen
Hasil pengukuran DO pada stasiun peneitian 1 sebesar 6 mgL, stasiun 2 sebesar 6,8 mgL, dan stasiun 3 sebesar 6,5mgL. Berdasarkan baku mutu air laut
untuk biota yang dikeluarkan oleh Menteri Lingkungan Hidup tahun 2004, bahwa DO perairan untuk mendukung kehidupan biota laut adalah 5 mgL. Hal ini
Universitas Sumatera Utara
28
menunjukkan bahwa DO perairan pantai Kecamatan Lahewa masih bagus untuk kehidupan biota laut, dalam hal ini adalah makroalga. Tingginya nilai DO pada
stasiun 2 kemungkinan disebabkan oleh karena lokasi ini merupakan daerah tanpa aktivitas penduduk, misalnya tidak ditemukan aktifitas pariwisata dan aktivitas
nelayan, tidak seperti pada stasiun penelitian 1 dan 3.
4.5.7. BOD
5
Hasil pengukuran BOD
5
pada 3 lokasi penelitian berkisar antara 1-1,6 mgL. Stasiun dengan nilai BOD
5
tertinggi terdapat pada stasiun 2 dengan nilai 1,6 mgL dan terendah pada stasiun 1 dengan nilai 1 mgL. Tingginya nilai BOD
5
pada stasiun 2 kemungkinan disebabkan oleh nilai kuat arus yang tinggi. Kuat arus
yang tinggi menyebabkan pencampuran massa air dan mengakibatkan kandungan senyawa organik naik ke permukaan sehingga diperlukan jumlah oksigen yang
tinggi untuk menguraikannya. Berdasarkan baku mutu air laut yang dikeluarkan oleh Menteri
Lingkungan Hidup tahun 2004, batas BOD
5
perairan laut untuk mendukung biota laut adalah 20 mgL. Hal ini menunjukkan bahwa hasil pengukuran BOD
5
di perairan pantai di Kecamatan Pantai Lahewa mendukung untuk kehidupan biota
laut. Menurut Wirosarjono 1974, nilai BOD dengan kisaran 0-10 termasuk
dalam kategori pencemaran rendah, nilai 10-20 termasuk dalam kategori pencemaran sedang dan nilai 25 termasuk dalam kategori pencemaran tinggi.
Hasil pengukuran nilai BOD
5
menunjukkan bahwa ke 3 stasiun termasuk dalam kategori pencemaran rendah.
4.5.8. Kadar Nitrat dan Fosfat
Hasil pengukuran kadar nitrat pada stasiun penelitian 1, 2 dan 3 secara berturut- turut adalah 4,6 mgL, 5,2mgL dan 5,0 mgL. Menurut Riani 1994, kandungan
nitrat dalam kadar yang berbeda dibutuhkan oleh setiap jenis alga untuk keperluan pertumbuhannya.
Sedangkan kadar fosfat pada ketiga stasiun penelitian adalah 0,03. Barus 2004 menyatakan, fosfat merupakan unsur hara yang sangat penting dalam
Universitas Sumatera Utara
29
pertukaran energi dari organisme yang sangat dibutuhkan dalam jumlah sedikit mikronutrien, sehingga fosfat berfungsi sebagai faktor pembatas bagi
pertumbuhan organisme. Menurut Aslan 1998, kisaran optimum kandungan fosfat yang sesuai dengan keberadaan makroalga berkisar antara 0,01 mgL–2,0
mgL. Artinya jika kadar fosfat pada suatu perairan melewati batasan optimum akan mengganggu keberadaan makroalga pada suatu perairan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kondisi perairan mendukung pertumbuhan makroalga.
4.5.9. Kuat Arus
Hasil pengukuran kecepatan arus pada stasiun penelitian 1 sebesar 23 cms, stasiun 2 sebesar 38 cms dan stasiun 3 sebesar 27 cms. Menurut
Marianingsih et al. 2013, kuat arus ideal untuk pertumbuhan makroalga adalah sebesar 20-40 ms. Jadi, kecepatan kuat arus di perairan pantai di Kecamatan
Lahewa mendukung pertumbuhan dan penyebaran makroalga.
4.5.10. Substrat
Parameter fisik yang diamati dalam penelitian ini adalah substrat. Jenis substrat pada ketiga stasiun penelitian relatif sama. Pada stasiun penelitian 1 ditemukan
karang mati dalam jumlah banyak, campuran lumpur dan pasir berwarna putih. Pada stasiun penelitian 2 ditemukan karang mati dalam jumlah banyak, kerikil dan
pasir berwarna coklat. Pada stasiun penelitian 3 substrat berupa karang mati dalam jumlah sangat banyak, campuran lumpur dan pasir berwarna putih. Kehadiran
makroalga alami sangat ditentukan oleh habitatnya, terutama tipe substrat tempat menempel atau melekat. Bold 1985 menyatakan bahwa makrolaga hidup sebagai
makrobentos dengan melekatkan diri pada substrat yang bervariasi seperti batu- batuan, karang, pasir, dan lumpur. Dengan demikian, substrat-substrat yang
terdapat pada masing-masing stasiun sesuai untuk tempat hidup makroalga.
4.6. Analisis Korelasi
Nilai korelasi yang diperoleh antara parameter fisik kimia perairan dengan Indeks Keragaman makroalga dengan metode komputerisasi SPSS ver.16.00
dapat dilihat pada Tabel 7:
Universitas Sumatera Utara
30
Tabel 7. Nilai korelasi yang diperoleh antara parameter fisik kimia perairan dengan Indeks Keragaman makroalga
Parameter Fisik-Kimia H
Suhu -0.914
Salinitas +0.491
DO +0.846
BOD
5
-0.820 pH
-1000 Penetrasi cahaya
- 0.906
Kejenuhan Oksigen +0.750
Nitrat +0.820
Fosfat -0.104
Intensitas cahaya -0.901
Kuat arus +0.988
Keterangan :- = korelasi negatif berlawanan += korelasi positif searah
Hasil analisis yang didapat menunjukkan bahwa faktor fisik kimia yang berkorelasi sangat kuat terhadap keragaman makroalga adalah suhu, DO, BOD
5
, pH, penetrasi cahaya, nitrat, intensitas cahaya dan kuat arus.
Penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa suhu dan keanekaragaman memiliki korelasi tidak searah. Meskipun suhu mampu
mempercepat metabolisme makroalga, namun jika melebihi batas optimum mampu mengganggu pertumbuhan dan distribusi makroalga. Menurut Suin
2002, berubahnya suhu suatu badan air besar pengaruhnya terhadap komunitas akuatik. Dawes 2006 menyatakan suhu normal untuk pertumbuhan makroalga
adalah 25–35˚C. Suhu optimum yang sesuai untuk pertumbuhan makroalga di perairan laut tropis adalah 25 ̊C. Terdapat beberapa jenis makroalga memiliki
suhu optimum yang lebih tinggi atau lebih rendah dari kisaran tersebut. Hasil korelasi DO dan keanekaragaman makroalga menunjukkan bahwa
semakin tinggi nilai DO maka semakin tinggi indeks keragaman. Menurut Simanjuntak 2009, Dissolved Oxygen DO digunakan untuk respirasi.
Penurunan kadar oksigen terlarut dalam jumlah yang sedang akan menurunkan kegiatan fisiologis mahluk hidup dalam air. Demikian pula sebaliknya, semakin
Universitas Sumatera Utara
31
meningkat kadar oksigen terlarut dalam jumlah sedang dalam air, maka akan meningkat pula kegiatan fisiologisnya.
Penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa semakin rendah nilai BOD
5
maka semakin bertambah nilai keanekaragaman. Menurut Nybakken 1992, kekeruhan perairan sangat dipengaruhi oleh proses sedimentasi zat- zat
yang terdiri atas lumpur serta jasad-jasad renik terutama yang disebabkan oleh kikisan tanah atau erosi yang terbawa ke dalam badan air. Masuknya zat-zat
tersuspensi ini ke dalam perairan dapat menimbulkan kekeruhan air. Hal ini menyebabkan menurunnya produktivitas primer perairan.
Pengukuran pH di lapangan menunjukkan bahwa semakin tinggi pH, semakin rendah indeks keanekaragaman. Kondisi pH perairan yang semakin
tinggi dapat mengganggu pertumbuhan dan distribusi makroalga. Menurut Gunawan 2012, berdasarkan nilai rerata laju pertumbuhan spesifik, pertumbuhan
makroalga paling baik terjadi pada kondisi pH 9. Hal tersebut sesuai dengan kisaran pH optimum untuk pertumbuhan alga yaitu pH 7–9. Kondisi pH asam
dalam sel dapat mengakibatkan gangguan pada proses biokimia sel yang selanjutnya mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan makroalga tersebut.
Penelitian yang telah dilakukan menunjukkan hasil semakin tinggi penetrasi cahaya,
,
semakin berkurang indeks keanekaragaman. Penetrasi cahaya akan berkurang jika kondisi perairannya keruh, dan akan bertambah jika kondisi
perairannya jernih. Nybakken 2002 menjelaskan bahwa kedalaman yang lebih dangkal mengakibatkan cahaya matahari yang masuk ke perairan lebih tinggi
dibandingkan dengan daerah yang memiliki kedalaman yang cukup dalam Suin, 2002. Menurut Sastrawijaya 2001, cahaya matahari tidak dapat menembus
dasar perairan jika konsentrasi bahan tersuspensi atau zat terlarut tinggi. Berkurangnya cahaya matahari yang masuk pada suatu perairan disebabkan
karena banyaknya faktor, antara lain adanya bahan yang tidak larut seperti debu, tanah liat maupun mikroorganisme air yang mengakibatkan air menjadi keruh.
Korelasi kadar nitrat terhadap keanekaragaman makroalga menunjukkan hasil; semakin tinggi kadar nitrat maka semakin tinggi indeks keanekaragaman.
Ketersediaan nitrat yang cukup di perairan mampu meningkatkan metabolisme makroalga. Menurut Effendie 2003, nitrat NO3 adalah bentuk senyawa
Universitas Sumatera Utara
32
nitrogen yang merupakan senyawa yang stabil. Kadar nitrat dan fosfat mempengaruhi stadia reproduksi alga bila zat hara tersebut melimpah di perairan.
Hasil korelasi intensitas cahaya terhadap keanekaragaman menunjukkan bahwa semakin tinggi intensitas cahaya, maka semakin rendah indeks
keanekaragaman. Menurut Kawaroe et al. 2010, intensitas cahaya memegang peranan yang penting dalam pertumbuhan organisme air. Cahaya dibutuhkan
sebagai energi untuk melakukan fotosintesis. Namun intensitas cahaya yang diperlukan alga untuk tumbuh secara maksimum berbeda-beda. Misalnya pada
alga hijau biru yang akan melimpah pada intensitas cahaya rendah dan suhu tinggi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa korelasi antara kuat arus dan keanekaragaman makroalga berbanding searah. Semakin tinggi kuat arus, maka
semakin tinggi indeks keanekaragaman, dan sebaliknya. Kuat arus berperan penting dalam pertumbuhan dan penyebaran makroalga di perairan. Kecepatan
arus air menyebabkan pencampuran massa air yang dapat menghantar zat-zat makanan serta nutrien yang sangat diperlukan oleh makroalga dalam
melangsungkan hidupnya Aslan, 1998.
Universitas Sumatera Utara
33
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Dari penelitian yang telah dilakukan terhadap keragaman makroalga di pesisir perairan pantai Kecamatan Lahewa, Kabupaten Nias Utara diperoleh
kesimpulan sebagai berikut: a.
Makroalga yang ditemukan 17 spesies, terdiri dari 3 kelas, 10 ordo dan 11 famili.
b. Spesies yang memiliki Nilai Kerapatan K, Kerapatan Relatif KR dan
Frekuensi Kehadiran FK Makroalga tertinggi diantara seluruh stasiun penelitian adalah spesies Halimeda opuntia.
c. Keanekaragaman jenis makroalga tergolong sedang dan keseragaman jenis
tergolong keseragaman tidak merata. d.
Indeks similaritas tertinggi terdapat antara stasiun 1 dan 3 e.
Suhu, DO, BOD
5
, pH, penetrasi cahaya, nitrat, intensitas cahaya dan kuat arus berpengaruh sangat kuat terhadap keanekaragaman makroalga.
5.2. Saran
Sebaiknya perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui potensi makroalga yang ditemukan berkaitan dengan kegiatan budidaya sumber
daya perairan laut.
Universitas Sumatera Utara