Pengaruh Proses Pembuatan Virgin Coconut Oil (VCO) Terhadap Aktivitasnya sebagai Penurun Kadar Glukosa Darah pada Tikus Diabetes Melitus

(1)

TERHADAP AKTIVITASNYA SEBAGAI PENURUN

KADAR GLUKOSA DARAH PADA TIKUS DIABETES MELITUS

DADANG SUPRIATNA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(2)

ABSTRAK

DADANG SUPRIATNA. Pengaruh Proses Pembuatan Virgin Coconut Oil (VCO) terhadap Aktivitasnya sebagai Penurun Kadar Glukosa Darah pada Tikus Diabetes Melitus. Dibimbing oleh MADE ASTAWAN dan DEDDY MUCHTADI.

Minyak murni kelapa (Virgin Coconut Oil-VCO) sudah banyak diproduksi di dalam dan luar negeri dengan berbagai metode proses. Masing-masing metode proses saling mengunggulkan terutama dalam hal kadar asam lauratnya yang terdapat paling banyak di dalam produk VCO. Untuk hal tersebut maka dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh berbagai metode proses pembuatan VCO terhadap aktivitas komponen bioaktifnya yaitu asam lemak jenuh berantai medium atau medium chain fatty acids - MCFA (C8-C12) dalam menurunkan kadar glukosa darah pada tikus diabetes melitus (DM).

Penelitian menggunakan 25 ekor tikus putih Sprague Dawley jantan. Tikus-tikus tersebut dipelihara dan dikelompokkan menjadi Tikus-tikus sehat, dan Tikus-tikus penderita DM. Tikus DM dibuat dengan cara tikus diadaptasikan selama 6 hari kemudian dipuasakan selama satu malam serta selanjutnya diinduksi secara

intraperitoneal dengan larutan aloksan 110 mg per kg berat badan tikus. Dua hari

kemudian kadar glukosa darah tikus tersebut diperiksa, dan yang mempunyai kadar glukosa lebih dari 200 mg/dl menandakan menderita DM.

VCO yang diproses tanpa pemanasan, VCO yang diproses dengan pemanasan terkendali, serta minyak goreng kelapa yang mewakili minyak kelapa yang diproses dengan suhu tinggi dan penggunaan bahan kimiawi, dicekokkan kepada masing-masing 5 ekor tikus penderita DM. Sementara itu sebagai kontrol dibuat juga kelompok kontrol positif yaitu 5 ekor tikus penderita DM dan kelompok kontrol negatif yaitu 5 ekor tikus sehat. Kedua kelompok tersebut tidak dicekok VCO ataupun minyak goreng tapi dicekok air. Tikus-tikus percobaan tersebut diamati selama 28 hari untuk diukur perkembangan berat badannya setiap 2 hari, jumlah konsumsi ransum setiap hari, kadar glukosa darah setiap 4 hari dan kadar kolesterol setelah selesai pengamatan (hari ke 29).

Berdasarkan hasil analisis kimiawi, diketahui bahwa kadar asam-asam lemak pada dua macam VCO dan minyak goreng relatif tidak berbeda. Kadar asam laurat VCO tanpa pemanasan yaitu 51,5%, VCO pemanasan terkendali 51,0% dan minyak goreng 49,8%. Berdasarkan hasil analisis statistik, metode proses pembuatan VCO tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf 5% terhadap nilai kesukaan panelis. Minyak kelapa ataupun VCO berdasarkan analisis statistik, tidak memberikan efek yang berbeda nyata dalam meningkatkan berat badan tikus percobaan. Proses pembuatan VCO dan minyak goreng tidak berpengaruh nyata pada taraf 5% terhadap persen perubahan nilai glukosa darah tikus penderita DM. VCO tanpa pemanasan mempunyai korelasi negatif yang paling erat dan sangat nyata (p < 1%) terhadap penurunan kadar glukosa. VCO tidak berpengaruh pada taraf 5% terhadap kadar total kolesterol, HDL, LDL dan trigliserida serum darah tikus penderita DM.

Kata kunci : minyak murni kelapa, komponen bioaktif asam laurat, diabetes melitus, glukosa darah


(3)

ABSTRACT

DADANG SUPRIATNA. The Effect of Virgin Coconut Oil (VCO) Processing Methods on Theirs Activity as a Blood Glucose Reducer of Rats Suffering from Diabetes Mellitus. Supervised by MADE ASTAWAN and DEDDY MUCHTADI.

Virgin Coconut Oil (VCO) has been produced nationally or internationally in various processing methods. Each of the processing method has claimed its own excellence, especially on its lauric acid content that found highest in VCO product. Based on that point of view, the research was conducted with the objective to study the effect of various processing methods in producing VCO on the bioactive compound of saturated medium chain fatty acids (MCFA, C8-C12) activities in reducing blood glucose of the diabetes mellitus (DM) rats.

On the research used the Sprague Dawley white male rats. The rats were cared and grouped into healthy rats and DM rats. The DM rats achieved by adapting the rats for six days, followed for one night without giving any feeding prior to intraperitoneal way induction by using 110 mg alloxan solution per kg rats’ weight. After two days the content of rats blood glucose were then to be checked. The rats suffered DM if they had glucose content more than 200mg/dL.

VCO produced without applying heat, VCO produced by applying controlled heat, also coconut cooking oil as a coconut oil which applied severe heat and chemically produced, were then given forcibly as medicine to each 5 DM rats. Meanwhile as a control, we made a group of positive control that suffered DM and a negative control as another health group (did not suffer DM). The two groups of control were not given the VCO or coconut cooking oil, but they were given drinking water. Each of the 5 groups of the rats were then observed during 28 days on the developing of the body’s rats weight at every two days, the amount of feed consumed at every day, blood glucose content at every 4 days, and at the end of the observing on the 29th day all of the rats were then terminated to be analyzed of theirs cholesterol level.

Based on chemical analysis it was recognized that the content of fatty acid on two kinds of VCOs and coconut cooking oil is relatively no different. The content of lauric acid on VCO without heating was 51.5%, and on controlled heating VCO was 51.0% while on coconut cooking oil was 49.8%. Method of VCO processing, did not give significantly difference on the panelist preferences. It was statistically measured that either coconut cooking oil or VCO gave no significantly difference impact on the increasing of weight rats being experimented. The method of processing VCO and coconut cooking oil did not have significant impact on level 5% toward the percentage of blood glucose value on rats suffering DM. VCO without heating has tightly negative correlation on reducing glucose content. VCO did not give any impact at level 5% on total cholesterol content, HDL, LDL and triglyceride on rats’ blood serum suffering from DM.

Keywords : virgin coconut oil, lauric acid bioactive compound, diabetes mellitus, blood glucose


(4)

terhadap Aktivitasnya sebagai Penurun Kadar Glukosa Darah pada Tikus Diabetes Melitus. Dibimbing oleh MADE ASTAWAN dan DEDDY MUCHTADI.

Minyak murni kelapa (Virgin Coconut Oil-VCO) sudah banyak diproduksi di dalam dan luar negeri dengan berbagai metode proses. Masing-masing metode proses saling mengunggulkan terutama dalam hal kadar asam lauratnya yang terdapat paling banyak di dalam produk VCO. Untuk hal tersebut maka dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh berbagai metode proses pembuatan VCO terhadap aktivitas komponen bioaktifnya yaitu asam lemak jenuh berantai medium atau medium chain fatty acids - MCFA (C8-C12) dalam menurunkan kadar glukosa darah pada tikus diabetes melitus (DM).

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian terdiri dari VCO, minyak goreng, tikus putih, ransum, dan bahan-bahan kimia. VCO terdiri dari dua macam yaitu VCO proses tanpa panas yang dibeli dari pengusaha VCO di Kedung Badak, Bogor, dan VCO proses panas terkendali yang dibuat penulis sendiri di BBIA. Sementara itu minyak goreng kelapa merk X yang digunakan dibeli dari Giant

Supermarket Bogor. Dalam pelaksanaan penelitian digunakan 25 ekor tikus putih

Sprague Dawley jantan. Tikus-tikus tersebut dipelihara dan dikelompokkan

menjadi tikus sehat, dan tikus penderita DM. Tikus DM dibuat dengan cara tikus diadaptasikan selama 6 hari kemudian dipuasakan selama satu malam serta selanjutnya diinduksi secara intraperitoneal dengan larutan aloksan 110 mg per kg berat badan tikus. Dua hari kemudian kadar glukosa darah tikus tersebut diperiksa, dan yang mempunyai kadar glukosa lebih dari 200 mg/dL menandakan menderita DM.

VCO yang diproses tanpa pemanasan, VCO yang diproses dengan pemanasan terkendali, serta minyak goreng kelapa yang mewakili minyak kelapa yang diproses dengan suhu tinggi dan penggunaan bahan kimiawi, dicekokkan kepada masing-masing 5 ekor tikus penderita DM. Sementara itu sebagai kontrol dibuat juga kelompok kontrol positif yaitu 5 ekor tikus penderita DM dan kelompok kontrol negatif yaitu 5 ekor tikus sehat. Kedua kelompok tersebut tidak dicekok VCO ataupun minyak goreng tapi dicekok air. Dosis cekok VCO A atau VCO B atau minyak goreng kelapa yaitu 0,81 ml per hari untuk BB tikus 200 gram. Dosis tersebut didapat dari faktor konversi 0,018 dari asumsi berat manusia 70 kg kepada tikus 200 gram (Harmita dan Maksum, 2005) dengan dosis VCO untuk manusia sehari 3 kali 1 sendok makan setara total 45 ml per hari. Sementara itu dosis cekok air yang diberikan kepada tikus kelompok kontrol positif dan negatif adalah 1 ml, tidak tergantung dengan berapa berat badan tikus. Tikus-tikus percobaan tersebut diamati selama 28 hari untuk diukur perkembangan berat badannya setiap 2 hari, jumlah konsumsi ransum setiap hari, kadar glukosa darah setiap 4 hari dan kadar kolesterol setelah selesai pengamatan.

Berdasarkan hasil analisis kimiawi, dua jenis VCO yang diproses dengan metode berbeda dan minyak goreng kelapa yang diproses menggunakan panas tinggi dan penggunaan bahan kimiawi, kadar asam-asam lemaknya relatif tidak berbeda. Hal ini mengindikasikan bahwa kerusakan atau berkurangnya jumlah asam-asam lemak pada suatu produk VCO tidak dipengaruhi oleh perbedaan jenis


(5)

pengaruh yang berbeda nyata pada taraf 5 % terhadap nilai kesukaan panelis produk VCO tersebut.

Perlakuan cekok VCO maupun minyak goreng berdasarkan hasil pengamatan selama 28 hari, tidak memberikan efek pertambahan berat badan tikus paling besar dibanding perlakuan lainnya. Kelompok tikus perlakuan VCO A dan VCO B mempunyai rata-rata persen perubahan berat badan yang rendah yaitu 0,91 % dan 1,38 %. Total konsumsi ransum terbanyak berdasarkan hasil penelitian dicapai oleh kelompok tikus kontrol positif yaitu sebanyak 435,27 gram. Namun jumlah konsumsi ransum tersebut tidak berbading lurus dengan bertambahnya berat badan. Perubahan berat badan tikus kelompok positif tidak merupakan yang terbesar. Hal ini terjadi karena tikus kelompok positif yang menderita DM mempunyai gejala klinis banyak makan, namun demikian berat badannya tidak cepat bertambah. Untuk mendapatkan energi penderita DM, tubuhnya tidak dapat memanfaatkan glukosa yang tersedia, sehingga sumber tenaganya memanfaatkan glikogen atau lemak yang ada dalam tubuhnya, sehingga tubuhnya tidak bisa gemuk.

Walaupun perbedaan metode proses pembuatan VCO tidak mempunyai berpengaruh yang berbeda nyata (p > 0,05) terhadap persen perubahan kadar glukosa darah tikus penderita DM, namun selama 28 hari penelitian kedua jenis VCO tersebut dapat menurunkan kadar glukosa darah tikus penderita DM sampai di bawah kadar 200 mg/dl. Minyak goreng kelapa walaupun kadar asam lemaknya relatif sama dengan di VCO, namun selama 28 hari penelitian tidak dapat menurunkan kadar glukosa darah tikus penderita DM sampai ke tingkat di bawah kadar 200 mg/dl. Perubahan kadar rata-rata glukosa awal pengamatan dan akhir pengamatan (hari ke 28) untuk tikus kelompok kontrol positif (tikus DM tanpa cekok VCO ataupun minyak goreng) turun 101,4 mg/dl. Tikus kelompok kontrol negatif (tikus sehat tanpa cekok VCO ataupun minyak goreng) naik 24,8 mg/dl. Tikus kelompok VA (tikus DM cekok VCO proses tanpa panas) turun 185,2 mg/dl. Tikus kelompok VB (tikus DM cekok VCO proses panas terkendali) turun 212,0 mg/dl. Tikus kelompok MG (tikus DM cekok minyak goreng) turun 37,6 mg/dl.

Hasil analisis korelasi Spearman’s rho, terlihat bahwa perlakuan VCO A mempunyai korelasi yang paling erat (-0,929) dalam menurunkan kadar glukosa darah tikus penderita DM selama 28 hari pengamatan dan berbeda sangat nyata (p < 0,01) dengan perlakuan lainnya. Sementara itu tikus kelompok VCO B mempunyai nilai korelasi -0,762 dan berbeda nyata pada taraf 0,05. Hal ini terbukti bahwa walaupun jumlah persentase komponen bioaktif kedua jenis VCO tersebut relatif tidak berbeda namun penggunaan panas dalam proses pembuatan VCO mempunyai pengaruh yang berbeda nyata terhadap aktifitas komponen bioaktif asam-asam lemak VCO dalam menurunkan kadar glukosa darah tikus penderita diabetes. VCO berdasarkan hasil analisis statistik tidak mempunyai pengaruh yang berbeda nyata pada taraf 0,05 terhadap kadar total kolesterol, kadar HDL, kadar LDL dan kadar trigliserida serum darah tikus penderita DM.

Kata kunci : minyak murni kelapa, komponen bioaktif asam laurat, diabetes melitus, glukosa darah


(6)

PENGARUH PROSES PEMBUATAN

VIRGIN COCONUT OIL (VCO)

TERHADAP AKTIVITASNYA SEBAGAI PENURUN

KADAR GLUKOSA DARAH PADA TIKUS DIABETES MELITUS

DADANG SUPRIATNA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi Teknologi Pangan

pada Program Magister Profesi Teknologi Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(7)

Judul Tesis : Pengaruh Proses Pembuatan Virgin Coconut Oil (VCO) Terhadap Aktivitasnya sebagai Penurun Kadar Glukosa Darah pada Tikus Diabetes Melitus

Nama : Dadang Supriatna

NIM : F 252050145

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Made Astawan, MS. Prof. Dr. Ir. Deddy Muchtadi, MS. (Ketua) (Anggota)

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Magister Profesi Teknologi Pangan

Dr. Ir. Lilis Nuraida, MSc. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS.


(8)

(9)

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis yang berjudul : “Pengaruh

Proses Pembuatan Virgin Coconut Oil (VCO) Terhadap Aktivitasnya

sebagai Penurun Kadar Glukosa Darah pada Tikus Diabetes Melitus” adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Tesis ini.

Bogor, Mei 2008

Dadang Supriatna NIM F 252050145


(10)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2008

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau

menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,

penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu

masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam

bentuk apa pun tanpa izin IPB.


(11)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah S.W.T., karena atas berkat rakhmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Karya ilmiah yang dikerjakan mulai bulan Mei sampai dengan Oktober 2007 ini berjudul “Pengaruh Proses Pembuatan Virgin Coconut Oil (VCO) terhadap Aktivitasnya sebagai Penurun Kadar Glukosa Darah pada Tikus Diabetes Melitus”.

Pada kesempatan ini penulis menghaturkan banyak terimakasih kepada : 1. Bpk. Prof. Dr. Ir. Made Astawan, MS. selaku ketua komisi pembimbing dan

Bpk Prof. Dr. Ir. Deddy Muchtadi, MS. sebagai anggota komisi pembimbing atas saran, masukan dan bimbingannya selama penulis mengerjakan karya ilmiah ini.

2. Ibu Ir. Elvira Syamsir, MSi. sebagai Dosen penguji luar komisi pembimbing atas masukannnya.

3. Ibu Drh. Tutik Wresdiyati, Ph.D., dosen pengajar di Fakultas Kedokteran Hewan IPB, atas segala masukan dan bimbingannya selama penulis mengerjakan penelitian.

4. Bapak Ir. Yang Yang Setiawan, MSc., selaku Kepala Balai Besar Industri Agro atas masukan, bimbingan dan izinnya kepada penulis selama melaksanakan pendidikan.

5. Bapak Drs. Kurnia Hanafiah, Apt mantan Kepala Bidang Pengembangan Usaha BBIA dan Bapak Ir. W. Wahyu Widjayadi, MA. Kepala Bidang Pengembangan Jasa Teknik BBIA atas segala dorongan, masukan dan bimbingannya kepada penulis.

6. Pejabat Pembuat Komitmen dan stafnya di DIPA 2005 BBIA atas dukungan dana pendidikan penulis.

7. Bapak Ramlan Ruvendi SE., MM. kepala seksi teknologi informasi BBIA dan Bpk. Ir. Kusman Sadik, MSi. dosen pengajar Program Studi Statistik FMIPA IPB atas diskusi pengolahan statistik data hasil penelitian penulis.


(12)

atas bantuannya, rekan-rekan MPTP 2006 IPB dan rekan-rekan di Bidang PJT khususnya dan BBIA umumnya atas segala dorongannya.

9. Ibu Dr. Ir. Endang Prangdimurti, MS. Manajer Lab Hewan Percobaan Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan IPB atas izin labnya, Bapak Adi Teknisi Lab Hewan Percobaan SEAFAST Center IPB, Ibu Sri Lab Kimia Pangan IPB, Novi, Serina dan Amy mahasiswi S1 FKH IPB atas bantuan dan kerjasamanya selama penulis melaksanakan penelitian.

10.Orang tuaku, Istriku, Anak-anaku, dan adik-adikku yang telah memberikan dorongan dan doa kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini jauh dari sempurna, sehingga pada kesempatan ini juga penulis mengharapkan kritik dan saran membangun demi kesempurnaan karya ilmiah ini. Jauh dalam lubuk hati yang dalam, penulis berharap semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi yang menggunakannya.

Bogor, Mei 2008 Dadang Supriatna


(13)

Penulis dilahirkan di Sumedang Jawa Barat tanggal 4 Maret 1963 sebagai anak tunggal dari ayah Halil (Alm.) dan ibu Juju Juhariah dan mempunyai 4 orang adik dari satu ibu beda ayah. Setelah lulus SMA di SMA N Situraja Sumedang, pendidikan sarjana ditempuh di program studi Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran Bandung, dan lulus pada tahun 1988.

Penulis bekerja sebagai pegawai negeri sipil di Balai Besar Industri Agro (BBIA) Departemen Perindustrian Bogor mulai tahun 1990. Selama bekerja sebagai peneliti di BBIA, penulis berkesempatan untuk mendapatkan pendidikan non gelar di dalam dan luar negeri bidang teknologi pangan yaitu di Cornell

University Ithaca New York State dan di Singapore Polytechnic. Penulis mendapat

juara III pada Workshop Hasil Litbang Unggulan yang diselenggarakan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Industri dan Perdagangan Departemen Perindustrian dan Perdagangan tahun 2004. Untuk hal tersebut, oleh panitia penulis kemudian diberi kesempatan untuk ditugaskan mengunjungi negara Taiwan untuk studi banding bidang litbang industri pangan. Sebagai fungsionalis peneliti, penulis juga sejak tahun 2005 sampai sekarang menjabat sebagai wakil ketua kelompok peneliti di BBIA. Selama menjadi peneliti, penulis telah membuat berbagai karya tulis ilmiah yang diterbitkan di jurnal intern BBIA dan jurnal internasional yaitu “Cocoinfo International”. Selain itu juga penulis sudah menulis buku “Membuat Tahu Sumedang” yang diterbitkan oleh Penebar Swadaya Cimanggis Depok tahun 2005.

Pada tahun 2006 penulis mendapat kesempatan dari BBIA untuk melanjutkan sekolah di program studi Magister Profesi Teknologi Pangan Sekolah Pascasarjana IPB. Pendidikan penulis di program Magister Profesi Teknologi Pangan ini mendapat bantuan dukungan dana dari program DIPA 2005 BBIA.


(14)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL xiii

DAFTAR GAMBAR xiv

DAFTAR LAMPIRAN xv

I. PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang 1

B. Tujuan 4

II. TINJAUAN PUSTAKA 5

A. Kelapa 5

B. Virgin Coconut Oil (VCO) 12

C. Asam Lemak Jenuh Rantai Medium 20

D. Diabetes Melitus 23

E. Peran VCO dalam Membantu Pencegahan Komplikasi Penyakit

27

F. Dislipidemia pada Diabetes 29

G. Insulin 30

H Glukosa Darah 31

I Aloksan 32

J Tikus Sprague Dawley 33

III. METODOLOGI PENELITIAN 35

A. Tempat dan Waktu Penelitian 35

B. Bahan 35

C. Alat 35

D. Metode 35

1. Penelitian Pendahuluan 36

a. Pembuatan VCO dan Minyak Goreng Kelapa 36

b. Analisis Fisikokimiawi dan Mikrobiologis VCO

dan Minyak Goreng Kelapa 39


(15)

2. Penelitian Utama 39 a. Perlakuan untuk Memperoleh Tikus Diabetes 39 b. Pembuatan Ransun Basal dan Ransum Perlakuan 40 c. Pengukuran Jumlah Konsumsi Ransum 42

d. Pengukuran Berat Badan Tikus 42

e. Pengukuran Persen Perubahan Kadar Glukosa

Darah 42

f. Analisis Kolesterol Serum Darah 43

E. Rancangan Penelitian 43

F. Metode Analisis 44

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 57

A. Penelitian Pendahuluan 57

1. Pembuatan VCO dan Minyak Goreng Kelapa 57 2. Karakteristik Fisikokimia dan Mikrobiologis VCO

dan Minyak Goreng

58

3. Uji Kesukaan VCO 63

B. Penelitian Utama 66

1. Induksi Aloksan 65

2. Pembuatan Ransum Basal dan Ransum Perlakuan 67

3. Pengukuran Berat Badan Tikus dan Konsumsi

Ransum 71

4. Pengukuran Persen Perubahan Kadar Glukosa Darah 73 5. Analisis Kolesterol Serum Darah Tikus 78

V. KESIMPULAN DAN SARAN 84

A. Kesimpulan 84

B. Saran 85

DAFTAR PUSTAKA 86


(16)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Luas areal kelapa negara-negara potensi terbesar (x 1000 Ha) 5 2 Produktivitas kelapa Indonesia dan negara-negara lain 8 3 Potensi sentra kelapa Indonesia berdasarkan provinsi, 2003 9

4 Komposisi asam-asam lemak minyak kelapa dan minyak nabati lain (%)

11

5 Kekurangan dan kelebihan berbagai metode pembuatan VCO 17 6 Draft Rancangan Standar Nasional Indonesia 3 Mutu VCO 18

7 Standar Mutu VCO Menurut APCC 19

8 Bobot contoh berdasarkan perkiraan bilangan iod 48 9 Bobot contoh berdasarkan perkiraan nilai peroksida 52

10 Kondisi operasi Gas Kromatografi 54

11 Hasil analisis fisikokimiawi dan mikrobiologis VCO 59

12 Hasil analisis fisikokimiawi dan mikrobiologis minyak goreng 60

13 Titik didih asam-asam lemak jenuh 62

14 Perlakuan induksi aloksan untuk memperoleh tikus menderita

diabetes melitus 66

15 Rangkuman pemberian cekok sebagai ransum perlakuan 67

16 Hasil analisis proksimat kasein 68

17 Hasil perhitungan persentase nutrisi ransum basal 69

18 Contoh perhitungan jumlah keperluan bahan ransum sehari

untuk 40 ekor tikus 69

19 Perubahan berat badan tikus dan total konsumsi ransum selama pengamatan

71

20 Korelasi Spearman’s rho waktu pengamatan dengan penurunan kadar glukosa masing-masing perlakuan 76


(17)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Pohon industri pengolahan kelapa. 10

2

Diagram alir metode proses pembuatan VCO A (VCO tanpa panas), Pengamatan langsung di lokasi IKM VCO Kedung Badak Bogor

37

3 Diagram alir proses pembuatan VCO metode pengepresan semi basah (Tillekeratne et al, 1998, dimodifikasi) 38 4 Tahapan induksi aloksan untuk memperoleh tikus diabetes 39 5 Foto Pelaksanaan Uji Kesukaan VCO oleh Panelis Semi terlatih 63 6 Rata-rata nilai kesukaan warna, aroma dan rasa VCO 64

7 Foto aloksan dalam kemasan 10 g yang digunakan dalam

penelitian 65

8 Induksi aloksan kepada tikus secara intraperitoneal 66

9 Foto pelaksanaan cekok tikus 67

10 Foto pemberian ransum basal tikus 70

11 Foto pelaksanaan pemeriksaan kadar glukosa dengan alat

Glukometer 73

12 Rata-rata kadar glukosa darah tikus selama pengamatan 74

13 Rata-rata persen perubahan kadar glukosa darah tikus dari kadar

glukosa awal, selama pengamatan 75

14 Pelaksanaan pengambilan darah tikus 80


(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Form Uji Kesukaan 92

2 Kromatogram Asam-Asam Lemak VCO A 93

3 Kromatogram Asam-Asam Lemak VCO B 94

4 Kromatogram Asam-Asam Lemak Minyak Goreng Kelapa 95 5 Data Hasil Uji Kesukaan VCO A dan VCO B 96 6 Analisis Perbandingan Kesukaan Warna VCO 97 7 Analisis Perbandingan Kesukaan Aroma VCO 98 8 Analisis Perbandingan Kesukaan Rasa VCO 99

9 Dosis Pemberian Aloksan 100

10 Contoh Perhitungan Dosis Pemberian Aloksan untuk Membuat

Tikus Menderita Diabetes Melitus 101

11 Dosis Cekok VCO atau Minyak Goreng Kelapa 102

12 Perhitungan Persentase Nutrisi Ransum dan Kebutuhan Bahan

Ransum 103

13 Prosedur Membuat Ransum Basal Tikus Percobaan 104

14 Perkembangan Berat Badan Tikus (gr) Selama Waktu Pengamatan

105

15 Jumlah Ransum yang Dikonsumsi (gr) 106

16 Perkembangan Perubahan Berat Badan Tikus (gr) Selama Waktu Pengamatan

107

17 Perkembangan Persen Perubahan Berat Badan Tikus Selama

Waktu Pengamatan 108

18 Data Pengolahan Statistik Persen Perubahan Berat Badan Tikus 109

19 Kadar Glukosa darah Tikus (mg/dl) 110

20 Nilai Rata-Rata Perubahan Kadar Glukosa Darah dari Kadar Glukosa Awal (mg/dl)

111

21 Nilai Persen Perubahan Kadar Glukosa Darah Tikus dari Kadar

Glukosa Awal 112

22 Analisis Deskriptif dan Analisis Varian dari Rata-Rata Persen

Perubahan Kadar Glukosa 113

23 Korelasi Spearman’s rho antara Waktu Pengamatan dengan Kadar Glukosa masing-masing Perlakuan


(19)

24 Data Analisis Kadar Kolesterol Darah Tikus 115

25 Analisis Statistik Pengaruh Berbagai Perlakuan Terhadap Kadar

Kolesterol Darah Tikus 116

26 Analisis Statistik Pengaruh Berbagai Perlakuan Terhadap Kadar

HDL Serum Darah Tikus 117

27 Analisis Statistik Pengaruh Berbagai Perlakuan Terhadap Kadar

LDL Serum Darah Tikus 118

28 Hasil Analisis Statistik Pengaruh Perlakuan Terhadap Kadar


(20)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Mulai tahun 2000-an sampai sekarang minyak murni kelapa yang lebih populer dikenal dengan Virgin Coconut Oil (VCO) menjadi perhatian hampir semua lapisan masyarakat, baik di lembaga-lembaga penelitian, perguruan tinggi, praktisi maupun masyarakat dari kalangan bawah sampai atas, di dalam dan luar negeri. Bukti empiris di masyarakat dan hasil-hasil penelitian, terhadap nilai guna VCO, telah membangkitkan kembali semangat usaha para petani kelapa yang selama ini tidak pernah mendapatkan nilai lebih dari kelapanya.

VCO merupakan alternatif pengolahan daging buah kelapa yang sangat mempunyai prospek dibandingkan diolah menjadi minyak goreng. Di pasaran dalam dan luar negeri VCO mempunyai nilai jual 10 – 20 kali lipat dari harga jual minyak kelapa. Harga jual yang menarik ini disebabkan banyaknya nilai guna VCO untuk kehidupan manusia, misalnya untuk kesehatan tubuh, industri kosmetika dan Spa. Untuk kesehatan tubuh manusia meliputi kesehatan tubuh bagian luar terutama untuk kulit dan rambut, serta kesehatan bagian dalam tubuh seperti terapi penyembuhan dan pencegahan berbagai gangguan kesehatan.

VCO mengandung squallen, sterol, zat-zat volatile, vitamin E, sehingga dapat digunakan untuk peremajaan kulit yang kering dan mengalami penuaan (Anonim, 2005). Komponen nutrisi VCO yang paling dominan adalah asam laurat yaitu sekitar 45 – 55% dari total asam-asam lemak yang ada di VCO sehingga merupakan sumber asam laurat yang prospektif.

Diungkapkan oleh Enig(1996) bahwa VCO apabila dikonsumsi maka komponen bioaktif asam laurat dapat dimetabolisme menjadi monolaurin yang bersifat efektif membunuh bibit penyakit bentuk virus, bakteri, jamur dan protozoa. Dayrit (2005) menyatakan hasil penelitiannya yang dimulai pada tahun 1998 bahwa VCO dapat menurunkan kadar virus HIV/AIDS di dalam darah penderita. Selanjutnya Rethinam et al (2005) menyatakan bahwa berdasarkan hasil studi di Kerala India dilaporkan juga bahwa VCO tidak


(21)

menyebabkan gangguan jantung. Disebutkan juga oleh Kabara (2000), bahwa asam-asam lemak rantai medium yang ada di minyak kelapa mirip dengan asam-asam lemak dari air susu ibu. Dilaporkan juga bahwa VCO dapat digunakan untuk membantu penyembuhan penyakit-penyakit degeneratif lainnya seperti penyempitan pembuluh darah, diabetes, kanker, kegemukan, stroke dan lain-lain.

Dari berbagai macam penyakit degeneratif, penyakit diabetes

merupakan penyakit yang dapat menyebabkan komplikasi pada penderitanya. Menurut Wibowo (2005) penyakit-penyakit komplikasi akibat diabetes yaitu penyakit gagal ginjal, gangguan jantung, gangguan saluran pencernaan, sumbatan pembuluh darah, pembusukan kaki dan amputasi, kebutaan, disfungsi ereksi, gangguan sensitivitas perabaan (baal), nyeri seluruh tubuh, dan kematian.

Efek pertama VCO dalam membantu pencegahan komplikasi diabetes melitus adalah membantu pengeluaran hormon insulin pada penderita diabetes. Pada kondisi apapun, VCO mudah diabsorbsi. Setelah masuk tubuh, VCO yang mengandung asam laurat dan asam kaprat ternyata mempunyai efek yang sangat potensial dalam menstimulir terjadinya sekresi insulin oleh sel-sel Langerhans pankreas (Garfinkel et al, 1992).

Cukup banyak pengidap diabetes (diabetesi) yang tidak menyadari dirinya terserang penyakit yang lazim disebut kencing manis. Anonim (2006a) menyampaikan bahwa studi populasi yang dilakukan Organisasi Kesehatan Dunia WHO tahun 2005 menemukan, jumlah pengidap diabetes melitus (DM) tipe II di Indonesia mencapai peringkat keempat (yaitu 8,6 juta) setelah India (31,77 juta), Cina (20,8 juta), dan Amerika Serikat (17,7 juta). Disebutkan juga bahwa pada tahun 2006, di Indonesia diperkirakan terdapat sekitar 14 juta diabetesi. Dari jumlah itu, hanya 50 persen yang menyadari dirinya mengidap penyakit tersebut. Disebutkan pula oleh Anonim (2006a) bahwa menurut Federasi Diabetes Internasional (IDF) ada sekitar 177 juta orang di seluruh dunia dijangkiti penyakit diabetes, dan yang terbanyak adalah tipe-2. Sedangkan, WHO menduga data tersebut masih meningkat menjadi 300 juta orang dalam 25 tahun ke depan.


(22)

Pengembangan Pelayanan Keprofesian Ikatan Dokter Indonesia (IDI), menyatakan bahwa para diabetesi menghadapi ancaman komplikasi yang tidak ringan (Anonim, 2006a). Salah satunya adalah problem pada anggota gerak atas dan anggota gerak bawah. Komplikasi pada anggota gerak penderita kencing manis akan mempengaruhi kualitas hidup mereka karena berisiko menyebabkan kecacatan permanen, bahkan kematian. Hal inilah yang seringkali terlambat disadari oleh penderita. Selanjutnya dinyatakan bahwa berbagai penelitian menyebutkan, di seluruh dunia setiap 30 detik terdapat satu kaki penderita kencing manis yang diamputasi. Tanpa amputasi, diperkirakan sekitar 4 persen pengidap diabetes berakhir pada kematian.

Terdapat bermacam-macam teknologi proses pembuatan VCO, mulai dari teknologi “pemancingan” yang dikembangkan UGM, teknologi fermentasi yang dikembangkan LIPI dan instansi lainnya, teknologi enzimatis, teknologi sentrifusi, teknologi pemanasan bertingkat yang dikembangkan Balai Penelitian Tanaman Kelapa dan Palma Lain, Departemen Pertanian, Manado, dan teknologi pengepresan semi basah yang dikembangkan oleh Balai Besar Industri Agro, Departemen Perindustrian, Bogor. Berbagai teknologi proses tersebut masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Ada yang mengunggulkan bahwa teknologi yang tidak menggunakan panas lebih baik, ada juga yang mengunggulkan teknologi mekanis yang lebih baik nilai gizinya, khususnya asam laurat.

Deskripsi minyak dan lemak virgin atau murni menurut Codex (2002) adalah Virgin Fats and Oils means edible vegetable fats and oils obtained by mechanical procedures and the application of heat only. They may have been

purified by washing with water, settling, filtering and centrifuging only.

Berdasarkan definisi atau deskripsi tersebut dapat disimpulkan bahwa VCO boleh dibuat dengan menggunakan panas namun tidak boleh mengalami pemurnian secara kimiawi atau tidak boleh ada penambahan unsur kimiawi dalam prosesnya.

Luas areal dan produksi kelapa Indonesia beberapa tahun ini merupakan yang terbesar di dunia, misalnya pada tahun 2005 luas areal 3.898.418 Ha dan produksi 16.452.000 butir kelapa (APCC, 2006). Potensi


(23)

tersebut harus ditunjang dengan kemampuan pengolahannya, sehingga pasar VCO dunia akan masih berpeluang untuk dikembangkan. Contoh apabila untuk kasus diabetes (Anonim, 2006b), dilaporkan bahwa sebanyak 15,7 juta penduduk Amerika Serikat menderita penyakit diabetes maka diperlukan VCO sebanyak 706,5 ton per hari, dengan asumsi dosis VCO 15 ml, 3 kali sehari per orang. Keperluan VCO ini tetap akan ada, karena tidak hanya untuk membantu penyembuhan penyakit-penyakit degeneratif saja, namun juga untuk stamina sehari-hari.

Untuk mengatasi kontroversi yang berkembang di masyarakat tentang teknologi proses pembuatan VCO antara yang mengunggulkan proses tanpa pemanasan dan yang menggunakan panas minimal, maka diperlukan adanya penelitian. Penelitian yang dilakukan diarahkan untuk mengetahui pengaruh berbagai macam teknologi proses pembuatan VCO terhadap aktifitas komponen bioaktif asam laurat VCO dalam menurunkan kadar glukosa darah.

Dari uraian di atas dapat diambil suatu masalah untuk penelitian, yaitu: • Apakah variasi metode proses pembuatan VCO dapat mempengaruhi

kuantitas komponen bioaktif asam lemak jenuh berantai medium yang terkandung dalam VCO tersebut.

• Apakah variasi metode proses pembuatan VCO mempengaruhi aktivitas komponen bioaktif asam lemak jenuh berantai mediumnya, dalam penurunan kadar glukosa darah tikus diabetes melitus.

B. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pengaruh penggunaan panas dalam proses pembuatan VCO terhadap aktivitas komponen bioaktif asam lemak jenuh berantai medium, dalam penurunan kadar glukosa darah tikus diabetes melitus.


(24)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Kelapa

Indonesia merupakan negara terbesar penghasil kelapa dan terluas areal kelapanya di dunia (APCC, 2006). Produksi kelapa Indonesia pada tahun 2005 sebesar 3.290.477 MT ekuivalen kopra dengan luas areal 3.898.418 Ha. Dari produksi tersebut, kebutuhan konsumsi dalam negeri Indonesia 2.350.604 MT ekuivalen kopra atau 71,44 % dari total produksi dan sisanya 28,56 % diekspor. Potensi kelapa negara-negara di dunia disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Luas areal kelapa negara-negara potensi terbesar ( x 1000 Ha )

Tahun

No Negara 2001 2002 2003 2004 2005

1 Indonesia 3.897 3.885 3.911 3.870 3.898 2 Filipina 3.149 3.182 3.217 3.259 3.243

3 India 1.840 1.892 1.919 1.899 1.935

4 Sri Lanka 442 442 442 395 395

5 Thailand 326 327 328 343 344

6 Tanzania 310 310 310 310 310

7 Papua New Guinea 260 260 260 260 260

8 Brazil 263 263 271 275 281

9 Mexico 171 171 148 148 150

10 Vietnam 165 165 136 133 132

11 Malaysia 159 159 131 131 130

12 Mozambique 90 70 70 70 70

Sumber : APCC, 2006

Indonesia tergabung dalam organisasi negara-negara penghasil kelapa di dunia yaitu Asian and Pacific Coconut Community (APCC). Tabel 1 menunjukkan, untuk beberapa tahun ke depan, Indonesia diperkirakan akan


(25)

terus menjadi negara penghasil kelapa terbesar di dunia. Hal ini antara lain disebabkan oleh adanya kebijakan pemerintah Indonesia yang memasukkan kelapa ke dalam komoditas klaster industri prioritas terpilih untuk dikembangkan (Departemen Perindustrian, 2005). Potensi ini juga ditunjang dengan tanah yang subur dan iklim yang cocok untuk pertumbuhan kelapa dibanding dengan negara pesaing lainnya seperti Filipina. Filipina sebagai pesaing Indonesia mempunyai iklim subtropis, sehingga yang cocok dan baik untuk ditanami kelapa hanyalah daerah bagian selatan Filipina. Di daerah-daerah beriklim subtropis tersebut juga sering terjadi badai topan yang merusak tanaman kelapa.

Seperti terlihat pada Tabel 1, Filipina merupakan negara dengan luas areal kelapa kedua terbesar setelah Indonesia yaitu 3.243.000 Ha pada tahun 2005. Dengan luas areal kelapa tersebut Filipina dapat memproduksi kelapa 2.811.200 MT ekuivalen kopra. Dari produksi sejumlah itu, konsumsi dalam negeri Filipina hanya 468.000 MT equivalen kopra, sehingga nilai total ekspor kelapa serta produk olahannya sebesar $ US 964.606.787. Sementara itu Indonesia dari sektor ekspor kelapa dan produk olahannya hanya mempunyai nilai total ekspor $ US 526.288.000 (APCC, 2006).

Ekspor Filipina terbesar adalah dari minyak kelapa dan kemudian kelapa segar, sementara itu Indonesia ekspor terbesarnya dari minyak kelapa dan kemudian bungkil kopra. Filipina tidak mengekspor kopra namun sudah mampu ekspor 11 macam produk termasuk kelapa segar, dan produk olahan serta turunannya seperti fatty alcohol, fatty acid, methyl ester, alkanolamide. Indonesia hanya mengekspor 7 macam produk kelapa yaitu minyak kelapa, bungkil kopra, desiccated coconut, arang tempurung, kopra, arang aktif dan tempurung kelapa.

Berdasarkan data di atas dan kenyataanya walaupun Indonesia sebagai negara dengan potensi kelapa terbesar di dunia, namun dalam industri pengolahan kelapanya ketinggalan oleh Filipina. Pengolahan kelapa di Indonesia umumnya dalam bentuk minyak kelapa. Namun demikian, industri pengolahan minyak kelapa relatif kurang berkembang apabila hanya diperuntukkan bagi kebutuhan rumah tangga, karena relatif tidak dapat


(26)

bersaing dengan minyak sawit. Dilaporkan juga bahwa beberapa produsen dan pengrajin minyak kelapa sudah tidak beroperasi lagi karena relatif kurang menguntungkan.

Namun demikian, di Indonesia terdapat pengolahan kelapa terpadu terbesar di dunia yaitu di PT. Pulau Sambu Group yang terletak di Kabupaten Indragiri Hilir Propinsi Riau. Berdasarkan hasil survey tim proyek DIPA BBIA (Hanafiah et al, 2006), dilaporkan bahwa Sambu Group terdiri dari PT. Pulau Sambu Guntung, PT. Pulau Sambu Kuala Enok dan PT. Riau Sakti Plantation.

Dari Sambu Group, PT. Pulau Sambu Guntung merupakan perusahaan yang terbanyak memproduksi berbagai produk olahan buah kelapa, seperti

desiccated coconut, coconut cream, coconut milk powder, coconut cream

paste, coconut cream square, minyak kelapa mentah, bungkil kelapa, minyak

murni kelapa (virgin coconut oil), pina colada, mango colada, passion colada,

activade sport drink, Sweetened Coconut Milk dan activated carbon.

Produk-produk tersebut sebagian besar diekspor ke negara-negara di Asia dan Eropa. Produk yang dipasarkan di dalam negeri misalnya coconut cream atau santan awet dalam kemasan aseptis.

Klaster industri pengolahan kelapa di Indonesia masih mempunyai berbagai permasalahan. Permasalahan tersebut misalnya produktivitas kelapa masih relatif rendah seperti terlihat pada Tabel 2, kepemilikan lahan usaha tani sangat sempit rata-rata 0,5 ha per keluarga dengan pola usaha monokultur dan tersebar, pengetahuan petani mengenai budidaya masih terbatas, sebagian besar pohon kelapa sudah tua, serta sebagian besar merupakan perkebunan rakyat. Permasalahan lain yang masih perlu dibenahi adalah penguasaan teknologi pengolahan kelapa masih belum optimal, dan kemampuan sumber daya manusia dalam penguasaan teknologi proses masih kurang, diversifikasi produk dengan nilai tambah tinggi kurang berkembang, serta kurangnya tenaga profesional yang menguasai teknologi dan bisnis produk-produk industri hilir berbasis kelapa.


(27)

Tabel 2 Produktivitas kelapa Indonesia dan negara-negara lain

No Negara Produktivitas kelapa

(butir/hektar/tahun)

1. Indonesia 4.235

2. Philipina 4.334

3. India 6.632

4. Sri Lanka 5.608

5. Thailand 3.500

6. Tanzania 1.492

7. Brazil 13.496

8. Papua New Guinea 3.125

9. Mexico 7.917

10. Vietnam 5.132

11. Malayasia 3.008

12. Vanuatu 3.125

13. Myanmar 10.671

14. China 12.500

Sumber : Diolah dari APCC, 2006

Berdasarkan Tabel 2, produktivitas kelapa Indonesia 4.235 butir kelapa per hektar per tahun masih rendah dibanding negara-negara penghasil kelapa lainnya misalnya Philipina, India, Sri Lanka, Brazil, Mexico, Vietnam, Myanmar dan Cina. Brazil, Cina, Myanmar dan Mexico merupakan negara-negara penghasil kelapa dengan produktivitas tertinggi yaitu masing-masing 13.496, 12.500, 10.671 dan 7.917 butir kelapa per hektar per tahun.

Tabel 3 memperlihatkan daerah-daerah sentra kelapa di Indonesia. Daerah sentra kelapa yang berpotensi mulai dari yang terbesar adalah Propinsi Riau, Jawa Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Timur, Maluku Utara, Lampung, Sumatera Utara, Kalimantan Barat dan lain-lain. Berdasarkan data dari Pemda Propinsi Riau (Rusli, 2006), pembangunan perkebunan kelapa di Propinsi Riau tahun 2005 merupakan prioritas kedua setelah kelapa sawit, dan prioritas ketiga adalah karet. Potensi kelapa di Propinsi Riau sebagian besar atau seluas 81 % berada di kabupaten Indragiri Hilir, kemudian kabupaten Bengkalis seluas 11,39 % dan kabupaten Pelalauan 4,83 %. Perkebunan kelapa di propinsi Riau 90,88 % merupakan perkebunan rakyat dengan jumlah petani sebanyak 279.942 KK, sedangkan 9,12 % merupakan perkebunan besar swasta Nasional.


(28)

Tabel 3 Potensi sentra kelapa Indonesia berdasarkan propinsi, 2005

Area Produksi Propinsi

Ha % MT %

A. Sumatera 1.348.604 34,59 1.111.570 33,78

1. Aceh 114.346 2,93 79.222 2,41

2. Sumatera Utara 138.575 3,55 115.489 3,51 3. Sumatera Barat 91.068 2,34 75.934 2,31

4. Riau 598.776 15,36 510.021 15,50

5. Riau Kepulauan 43.446 1,11 16.630 0,51

6. Jambi 128.951 3,31 134.918 4,10

7. Sumatera Selatan 56.858 1,46 42.752 1,30 8. Bangka Belitung 14.119 0,36 7.253 0,22 9. Lampung 148.786 3,82 122.522 3,72

10.Bengkulu 13.679 0,35 6.829 0,21

B. Jawa 891.896 22,88 736.179 22,37

11.Jawa Barat 180.558 4,63 162.647 4,94

12.Banten 103.665 2,66 52.305 1,59

13.Jawa Tengah 271.444 6,96 209.352 6,36 14.Jawa Timur 292.099 7,49 265.292 8,06 15.D.I. Jogyakarta 44.130 1,13 46.583 1,42

C. Bali 73.030 1,87 75.808 2,30

D. Kalimantan 294.355 7,55 222.888 6,77

16.Kalimantan Barat 112.185 2,88 50.846 1,55 17.Kalimantan Selatan 51.784 1,33 32.986 1,00 18.Kalimantan Tengah 83.846 2,15 94.007 2,86 19.Kalimantan Timur 46.540 1,19 45.049 1,37

E. Sulawesi 730.176 18,73 728.780 22,15

20.Sulawesi Utara 259.535 6,66 247.186 7,51 21.Gorontalo 55.949 1,44 61.412 1,87 22.Sulawesi Tengah 173.840 4,46 196.638 5,98 23.Sulawesi Selatan 190.668 4,89 187.322 5,69 24.Sulawesi Tenggara 50.184 1,29 36.222 1,10

F. Nusa Tenggara 223.090 5,72 119.974 3,65

25.Nusa Tenggara Barat 68.088 1,75 66.170 2,01 26.Nusa Tenggara Timur 155.002 3,98 53.804 1,64

G. Maluku + Papua 337.267 8,65 295.278 8,97

27.Maluku 93.443 2,40 71.805 2,18

28.Maluku Utara 200.922 5,15 208.595 6,34

29.Papua 30.951 0,79 7.546 0,23

30.Irian Jaya Barat 11.951 0,31 7.332 0,22

T O T A L 3.898.418 100 3.290.477 100


(29)

Industri pengolahan kelapa di Indonesia tersebar hampir ke setiap propinsi, mulai dari yang skala kecil, menengah sampai dengan besar, bahkan modern. Pohon kelapa biasa dikatakan sebagai pohon kehidupan atau tree of

life sebab hampir semua bagian pohon kelapa mulai dari akar, batang, buah,

dan daunnya dapat dimanfaatkan untuk kehidupan manusia, seperti terlihat pada Gambar 1. Masing-masing bagian dari pohon kelapa tersebut mempunyai industri pengolahannya.

Gambar 1 Pohon industri pengolahan kelapa.

Seperti terlihat pada Gambar 1, misalnya untuk buah kelapa, mulai dari sabut, tempurung, daging buah dan air kelapa dapat dimanfaatkan untuk industri hilir, baik untuk keperluan rumah tangga, pangan, kosmetik, farmasi dan lain-lain. Daging buah kelapa dapat diolah selanjutnya menjadi virgin

coconut oil (VCO), kopra, minyak kelapa, desiccated coconut, minyak goreng

dan lain-lain. Produk turunan dari minyak kelapa dapat diolah kemudian menjadi sabun, sampho, minyak rambut, gliserin, cat, dan lain-lain.

Air Kelapa Sabut Kelapa Kelapa Muda Kelapa Tua Tempurung Kelapa Buko Segar Daging Buah Kelapa Kue Kelapa Manisan Serutan Kelapa Salad Kelapa Buah Kelapa Insulator Batako Pres Gantungan Bunga

Gumpalan Benang ikat Insulator Isi Jok Kursi Karpet Keset Patung Kecil Penyaring/Filter Air Pewarna Batik Sikat Tali Batako Pres Pewarna Batik Karpet Air Kelapa Kecap Kelapa Cuka Kelapa Pengganti Dekstrosa Sari Kelapa Cuka Kelapa Manisan Serutan Kelapa Daging Buah Segar Minyak yang tidak dapat dimakan Minyak yang dapat dimakan Pelet Kopra Makanan Ternak Bungkil Kelapa Es Krim

Minyak Goreng Minyak Goreng

Bahan Kimia Cat Gliserin Krim Rambut Minyak Mentah Minyak Rambut Sabun Cuci Sabun Mandi Shampo

Cat Gliserin

Krim Rambut Minyak Rambut Shampo VCO Daging Kelapa Parut Kulit Ari Daging Kelapa Ampas Kelapa Rendah Lemak

Kelapa Parut Kering Krim Santan Daun Pucuk Daun Manggar Kelapa Pelepah Kering Batang Kelapa Akar Bingkai Lemari Janur Keranjang Sampah Sapu Lidi Sarang Ketupat Tatakan Tempat Buah Asinan Bonggol/Kelapa Muda/Ubod In Brine Lumpia Jenewer/Gin/ Lambanog Ragi Tuba Gula Tuba Kipas Sandal Tas Tangan Topi Kipas Topi Bahan Obat-obatan Bahan Pewarna/ Bahan Celup Root Beer Bahan Obat-obatan Perabot Bahan Bangunan Genteng Kayu Balok Kayu Gelondongan Papan Kayu Papan Asbak Asesoris Meja Bangku Duduk Santai Binkai Lukisant Cawan Meja Komputer Pemberat Kertas Tempat Buah Tempat Klip Tropi Dan Kreasi Lainnya

Lemak Margarin Permen Susu Iris Susu Kelapa Santan Kelapa Tepung Santan

Bubuk Susu Susu Kocok

Biskuit

Kue Kelapa Kering Makaron Kering

Biskuit Tepung Santan

Margarin

Kue Kelapa Minyak Semi Murni Arang

Celengan Hiasan Dinding

Tepung Batok Kelapa Vas Bunga Bahan Pembersih Bahan Pemurni Bahan Penyerap Katalisator Arang Karbon Aktif Ikat Pinggang Obat Nyamuk Kopra Minyak Goreng VCO

© BBIA

Depperind

Arang Aktif Keranjang Sampah


(30)

Produk utama dari olahan kelapa adalah minyak kelapa. Komposisi kimia minyak kelapa berbeda dengan komposisi kimia sumber minyak lainnya baik yang berasal dari nabati maupun hewani. Keunikan minyak kelapa, yaitu kaya akan kandungan asam-asam lemak jenuh berantai pendek dan berantai menengah. Satu-satunya minyak yang komposisi kimiawinya mirip dengan minyak kelapa adalah minyak biji sawit atau palm kernel oil (PKO). Sebagai perbandingan komposisi asam-asam lemak berbagai sumber minyak nabati dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Komposisi asam-asam lemak minyak kelapa dan minyak nabati lain (%)

Sumber minyak

Kelapa Biji sawit Sawit Jagung Kedelai safflower sunflower

Jenuh :

C6:0 kaproat 0,50 0,30 - - - - -

C8:0 kaprilat 8,00 3,90 - - - - -

C10:0 kaprat 7,00 4,00 - - - - -

C12:0 laurat 48,00 49,60 0,30 - - - 0,50

C14:0 miristat 17,00 16,00 1,10 - 0,10 0,10 0,20

C16:0 palmitat 9,00 8,00 45,20 11,50 10,50 6,50 6,80

C18:0 stearat 2,00 2,40 4,70 2,20 3,20 2,40 4,70

C20:0 arahidat 0,10 0,10 0,20 0,20 0,20 0,20 0,40

Tidak jenuh :

C16:1 palmitoleat 0,10 - - - 0,10

C18:1 oleat 6,00 13,70 38,80 26,60 22,30 13,10 18,60

C18:2 linoleat 2,30 2,00 9,40 58,70 54,50 77,70 68,20

C18:3 linolenat - - 0,30 0,80 8,30 - 0,50

C20:4 arahidonat - - - - 0,90 - -

Total 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00

Persen tidak jenuh 8,40 15,70 48,50 86,10 86,00 90,80 87,40

Sumber : Thampan (1998)

Seperti terlihat pada Tabel 4, minyak kelapa mengandung 92 % asam lemak jenuh, yang tediri dari 48 % asam laurat (C12 : 0), 17 % asam miristat (C14 : 0) dan lain-lain. Berbeda dengan minyak lainnya seperti misalnya minyak jagung, minyak kedelai, minyak safflower dan minyak sunflower yang dominan dengan kandungan asam lemak tidak jenuh. Sehingga dari kondisi ini, minyak kelapa biasa juga dikenal dengan minyak sumber asam laurat. Minyak kelapa kandungan asam-asam lemak jenuhnya tinggi, sehingga minyak kelapa relatif lebih stabil terhadap oksidasi dibanding minyak-minyak tak jenuh.


(31)

B. Virgin Coconut Oil (VCO)

Mulai era tahun 2000-an, baik di negara potensi kelapa seperti halnya di Indonesia, Philippina dan India, bahkan juga di negara-negara yang tidak tumbuh kelapa pun seperti halnya di negara-negara Amerika dan Eropa, produk olahan kelapa ramai dicari orang. Primadona produk olahan kelapa di dunia yang kemungkinan akan terus berjaya sepanjang masa adalah minyak murni kelapa atau dikenal dunia dengan istilah virgin coconut oil atau VCO. Selain itu kelapa juga memegang peranan dalam sumber energi masa depan yang tidak akan habis-habisnya yaitu apabila dibuat produk cocodiesel.

VCO banyak dibuat orang dengan berbagai macam metode pembuatannya. Masing-masing produsen VCO saling mengunggulkan kualitas produknya dengan diantaranya ada yang mengklaim tidak boleh menggunakan panas dan sebagainya. Lebih jelasnya berikut ini disajikan definisi aslinya (dalam bahasa Inggris) dari istilah virgin tersebut.

Deskripsi Virgin Fats/Oils (Codex, 2001 ): Virgin Fats and Oils means edible vegetable fats and oils obtained by mechanical procedures and the application of heat only. They may have been purified by washing with water,

settling, filtering and centrifuging only. Definisi menurut Asian and Pacific

Coconut Community, Coconut oil is derived from the kernel / meal / copra of the coconut (Cocos nucifera L.). Virgin coconut oil is obtained from the fresh and mature kernel of coconut by mechanical or natural means with or without the application of heat, which does not lead to alteration of the oil. Virgin

coconut oil is suitable for human consumption in its natural state (APCC,

2004b). Definisi menurut Rancangan Standar Nasional Indonesia 3 hasil rapat 21 Nopember 2006 di Departemen Perindustrian (BSN, 2006), VCO yaitu minyak yang diperoleh dari daging buah kelapa (Cocos nucifera L) tua yang segar dan diproses dengan diperas dengan atau tanpa penambahan air, tanpa pemanasan atau pemanasan tidak lebih dari 60 oC dan aman dikonsusmsi manusia. Apabila diamati dari definisi-definisi tersebut, maka suatu produk disebut virgin apabila dalam proses pembuatannya tidak menggunakan proses pemurnian secara kimiawi dan tidak secara tersirat menyebutkan tidak boleh menggunakan panas.


(32)

Sementara itu definisi minyak goreng menurut SNI 01 – 3741 – 2002 adalah minyak yang diperoleh dengan cara memurnikan minyak makan nabati. Sementara itu menurut Codex Stan 210 Edible vegetable oils adalah bahan pangan yang utamanya terdiri dari beberapa gliserida asam-asam lemak yang hanya diperoleh dari sumber nabati. Bahan pangan ini bisa juga secara alami mengandung sejumlah kecil lemak-lemak lainnya seperti fosfatida, bahan tidak tersabunkan, dan beberapa asam-asam lemak bebas. Dijelaskan lebih lanjut bahwa minyak kelapa adalah minyak yang diperoleh dari daging buah kelapa (Cocos nucifera L)

Berdasarkan hasil penelitian para ahli di berbagai negara seperti Amerika Serikat, Filipina, India dan lain-lain, VCO mempunyai banyak manfaat dan khasiat untuk kesehatan. Menurut Fife (2001) VCO berkhasiat untuk membantu mengurangi resiko penyakit aterosklerosis, mendukung sistem fungsi kekebalan, membantu mencegah osteoporosis, membantu mengendalikan penyakit diabetes, penyedia sumber energi spontan, membantu menjaga kehalusan kulit, mengurangi resiko kanker, menghancurkan virus-virus membahayakan seperti halnya herpes, hepatitis C dan HIV, mengurangi berat badan, memperbaiki sistem pencernaan dan penyerapan nutrisi, membantu mencegah penuaan dan pengkerutan kulit dan lain-lain.

Berikut ini pengalaman orang-orang yang menggunakan VCO (Sukartin dan Maloedyn, 2005), VCO dapat menurunkan gula darah dan meningkatkan stamina, menyembuhkan penyakit radang tenggorokan, menyembuhkan jari-jari yang sakit dan kaku, tidak meningkatkan kolesterol dan berat badan, menyembuhkan penyakit stroke, menyembuhkan penyakit jantung, menghentikan perdarahan akibat ambeien, menyembuhkan pembengkakan prostat, menyembuhkan penyakit kanker payudara, menyembuhkan bintik merah dan gatal, menyembuhkan penyakit asam urat dan vertigo, menguatkan sistem saraf dan memperbaiki darah, serta meredakan penyakit hepatitis

Sudah dikenal berbagai macam metode pembuatan VCO, misalnya metode fermentasi, enzimatis, pemancingan, pemanasan bertingkat, metode sentrifusi, metode pengepresan semi basah dan lain-lain. Metode fermentasi


(33)

di Indonesia banyak dikembangkan oleh LIPI, IPB dan perguruan tinggi lainnya serta lembaga riset lainnya. Metode pemancingan dikembangkan oleh UGM. Metode pemanasan bertingkat dikembangkan oleh Balai Penelitian Tanaman Kelapa dan Palma Lain, Departemen Pertanian, Manado. Metode pengepresan semi basah dikembangkan oleh Balai Besar Industri Agro, Departemen Perindustrian Bogor. Sementara itu metode pembuatan VCO di Filipina banyak yang mengembangkan teknologi mekanis (Hanafiah et al. 2006),

Proses pembuatan minyak murni dengan cara fermentasi dapat dijelaskan sebagai berikut (Sukartin dan Maloedyn, 2005). Daging buah kelapa segar dibuat santan, santan didiamkan selama 2 – 3 jam, pemisahan santan pekat, santan pekat atau krim dicampur dengan cuka nira perbandingan 2 sendok makan cuka nira untuk 1 liter krim santan yang diaduk sampai merata, didiamkan atau difermentasi selama 10 – 24 jam, pemisahan minyak dari blondo dan air, penyaringan minyak dengan kertas saring dan zeolit, dan pembotolan. Untuk proses fermentasi dapat juga menggunakan ragi roti, atau ragi tape. Disampaikan lebih lanjut bahwa untuk proses pembuatan VCO metode enzimatis, bedanya pada tahap pemeraman krim, krim dicampur dengan enzim pemecah lemak misalnya enzim poligalakturonase, amilase, atau pektinase.

Sementara itu menurut Sukartin dan Maloedyn (2005), tahap-tahap pembuatan minyak murni metode pemancingan hampir sama dengan teknologi fermentasi dan enzimatis. Bedanya setelah didapat krim, krim kemudian ditambah dengan minyak murni yang sudah jadi dengan perbandingan 1 bagian minyak murni dicampur rata dengan 3 bagian krim, campuran tersebut kemudian didiamkan selama 8 jam atau lebih sampai terbentuk 3 lapisan. Lapisan tersebut yaitu minyak, blondo dan air. Tahap selanjutnya sama dengan tahap-tahap pada proses fermentasi atau enzimatis.

Pembuatan VCO metode pemanasan bertingkat dapat diuraikan seperti berikut ini (Rindengan dan Hengky, 2005). Daging kelapa segar dibuat santan, pemisahan santan kental atau bagian krim dari bagian air, pemanasan krim,


(34)

pemisahan minyak dari blondo mentah, pemanasan minyak yang dihasilkan dari pemanasan krim, dan penyaringan minyak serta pembotolan.

Metode pengepresan semi basah atau teknologi intermediate moisture

content atau IMC yang dikembangkan di Balai Besar Industri Agro (BBIA)

didasarkan atas hasil penelitian pertama kali yang dilakukan oleh Natural

Resources Institute (NRI) Inggris yang mengekstrak minyak menggunakan

tekanan rendah (525 psig) pada kondisi kadar air bahan baku daging kelapa sekitar 11 sampai dengan 15 % (NRI, 1998). Pada kondisi kadar air tersebut kemudian daging kelapa dipres menggunakan tekanan rendah (525 psig) untuk mendapatkan minyaknya. Dilaporkan bahwa teknik pelaksanaan yang dilakukan untuk mencapai kondisi kadar air tersebut (yang disebut kemudian dengan nama kondisi semi basah atau intermediate moisture content) dengan dua cara yaitu mencampur daging kelapa segar parut dengan daging kelapa parut kering pada perbandingan tertentu atau dengan cara mengeringkan langsung daging kelapa parut segar kemudian dites tingkat kekeringannya dengan metode squeeze test.

Tes tingkat kekeringan metode squeeze test dilakukan dengan cara peremasan daging buah kelapa parut menggunakan tangan pada waktu tertentu pada saat proses pengeringan. Pada tes tingkat kekeringan tersebut terjadi tiga kemungkinan. Pertama apabila keluar cairan putih di antara sela-sela jari, berarti tingkat kekeringan belum cukup atau masih basah dan proses pengeringan harus dilanjutkan lagi, kedua apabila tidak keluar sama sekali cairan berarti bahan terlalu kering untuk dipres dan ketiga apabila keluar cairan bening berarti proses pengeringan tersebut sudah cukup untuk selanjutnya dilakukan proses pengepresan.

Alat pengepres yang digunakan NRI untuk mengekstrak minyak metode pengepresan semi basah adalah alat pres tipe bridge press atau spindle

press. Tipe alat pres tersebut dirancang menggunakan tekanan rendah yaitu

sekitar 525 psig (Tillekeratne et al, 1998). Lebih lanjut dilaporkan bahwa pada tekanan tersebut dengan kondisi kadar air bahan sekitar 12 % dapat mengekstrak minyak sebesar 61 %. Dalam penelitian yang dilakukan di BBIA (Supriatna et al., 2000) digunakan alat pres tipe yang sama dengan sedikit


(35)

menggunakan pengembangan atau perbaikan dalam bentuk wadah produk yang akan dipres dan dilengkapi dengan dongkrak dari bagian bawah alat pres tersebut.

Metode pengepresan semi basah dibanding teknologi lain mempunyai beberapa kelebihan yaitu :

• Peralatan dapat dibuat di dalam negeri secara lokal dengan harga relatif murah.

• Keseluruhan proses dapat selesai dalam waktu sehari, dan minyak yang dihasilkan berkualitas baik tanpa perlu melalui proses pemurnian kimiawi. • Minyak yang dihasilkan jernih tidak berwarna, sehingga akan lebih bagus

kalau digunakan sebagai bahan baku kosmetik, farmasi serta untuk lulur dan pijat di “Spa” atau salon-salon kecantikan.

• Ampas sisa pengepresan merupakan kelapa parut kering berlemak rendah sebagai bahan baku pembuatan kue serta dapat digunakan juga untuk bahan makanan ternak

Untuk lebih meningkatkan kualitas produk, minyak hasil proses pengepresan dalam penelitian kemudian dilakukan proses penjernihan menggunakan arang aktif, pengurangan aroma kelapa dengan pencucian menggunakan air hangat, dekantasi, penyaringan dan pemanasan vacuum untuk mengurangi kadar airnya, serta ditambahkan antioksidan alami yaitu

tocoferol untuk memperpanjang daya tahan simpannya. Antioksidan alami

yang ditambahkan yaitu tocoferol atau vitamin E juga akan berguna untuk menambah fungsi VCO untuk peremajaan kulit dan pemeliharaan rambut.

Metode-metode pembuatan VCO tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Pada Tabel 5 disajikan kekurangan dan kelebihan berbagai macam metode pengolahan VCO (Supriatna et al., 2006). Idealnya waktu proses pembuatan VCO lebih cepat, VCO yang dihasilkan akan lebih bagus kualitasnya. Seperti terlihat pada Tabel 5, waktu proses masing-masing metode bervariasi sehingga akan menghasilkan VCO dengan kualitas berbeda. Waktu proses lebih lama akan menghasilkan VCO yang beraroma asam dan cenderung tengik.


(36)

Tabel 5 Kekurangan dan kelebihan berbagai metode pembuatan VCO

No Metode Proses Investasi Penggunaan Panas

Total Waktu Proses (Jam)* 1 Pemanasan bertingkat Relatif murah Panas 10 – 12 2 Pemancingan Relatif murah Tanpa panas 10 – 24 3 Fermentasi Relatif murah Tanpa panas 12 – 36 4 Enzimatis Relatif mahal Tanpa panas 14 - 18 5 Sentrifusi Relatif mahal Tanpa panas 7 – 8 6 Pengepresan Semi

Basah Relatif mahal

Panas

minimal 8 – 10

* Keterangan : Lama proses dari jumlah kapasitas batch yang sama

Sementara itu menurut APCC (2004a), metode proses pembuatan VCO diantaranya yaitu metode Fresh-Dry and Wet Miling Route, metode

Fresh-Dry and Desiccated Coconut Route, Fresh-Dry and Grated Nut Route,

metode Low Pressure Extraction, metode Modified Natural Fermentation,

metode Single-Double Stage Centrifuge, dan metode Bawalan-Masa.

Dari berbagai macam metode proses tersebut dalam penggunaannya harus diperhitungkan kelayakan investasinya. Nilai investasi peralatan dan mesin yang tinggi harus diimbangi dengan adanya jaminan kualitas yang lebih bagus.

Standar Nasional Indonesia untuk VCO masih dalam tahap proses untuk ditetapkan. Tabel 6, merupakan rancangan SNI untuk VCO hasil pertemuan 21 Nopember 2006 di Departemen Perindustrian.


(37)

Tabel 6 Draft Rancangan Standar Nasional Indonesia 3 Mutu VCO

Sumber : BSN (2006)

Sementara itu standar mutu VCO yang dikeluarkan APCC sudah ditetapkan pada waktu kegiatan APCC session di Kiribati pada tahun 2004. Standar mutu VCO yang ditetapkan APCC dapat dilihat pada Tabel 7. Seperti terlihat pada Tabel 6 dan Tabel 7, standar mutu VCO relatif tidak begitu berbeda antara RSNI dan APCC. Prakteknya standar yang dipergunakan di lapangan umumnya mengacu juga pada standar yang dikeluarkan oleh calon konsumen atau negara tujuan ekspor.

No Kriteria Uji Satuan Persyaratan

1. Keadaan :

1.1. Bau - Khas kelapa segar,

tidak tengik

1.2. Rasa - Normal, khas

minyak kelapa

1.3. Warna - Tidak berwarna

hingga kuning pucat 2. Air dan senyawa yang menguap % Maks 0,2

3. Bilangan Iod g Iod/100 g contoh

4,1 – 11,0

4. Asam Lemak Bebas % Maks 0,2

5. Bilangan Peroksida mg ek/kg Maks 2,0 6. Asam Lemak :

6.1. Asam Kaproat (C 6 : 0) % Tidak terdeteksi – 0,7 6.2. Asam Kaprilat (C 8 : 0 % 4,6 – 10,0

6.3. Asam Kaprat (C 10 : 0) % 5,0 – 8,0 6.4. Asam Laurat (C 12 : 0) % 45,1 – 53,2 6.5. Asam Miristat (C 14 : 0) % 16,8 – 21,0 6.6. Asam Palmitat (C 16 : 0) % 7,5 – 10,2 6.7. Asam Stearat (C 18 : 0) % 2,0 – 4,0 6.8. Asam Oleat (C 18 : 1) % 5,0 – 10,0 6.9. Asam Linoleat (C 18 : 2) % 1,0 – 2,5

6.10. Asam Linolenat (C 18 : 3) % Tidak terdeteksi – 0,2 7. Cemaran Mikroba :

7.1. Angka Lempeng Total koloni/ml Maks. 10 8. Cemaran Logam :

8.1. Timbal (Pb) mg/kg Maks. 0,1 8.2. Tembaga (Cu) mg/kg Maks. 0,4 8.3. Besi (Fe) mg/kg Maks. 5,0 8.4. Cadmium (Cd) mg/kg Maks. 0,1 9. Cemaran Arsen (As) mg/kg Maks. 0,1


(38)

Tabel 7 Standar Mutu VCO Menurut APCC

Sumber : APCC, (2004b)

Tersedianya standar mutu, baik internasional yaitu dari APCC maupun nasional, akan menjadi patokan para produsen VCO. VCO yang memenuhi standar akan terus berkembang di pasaran, sementara itu VCO yang tidak memenuhi standar tidak akan berkembang.

No Standar APCC

A Identity Characteristic

1. • Relative Density 0.915 – 0.920

2. • Refractive Index at 40oC 1.4480 – 1.4492

3. • Moisture % wt. max 0.1 – 0.5

4. • Insoluble impurities per cent by mass max. 0.05

5. • Saponification Value 250 – 260

6. • Iodine Value 4.1 – 11.0

7. • Unsaponifiable matter % by mass max. 0.2 – 0.5

8. • Specific gravity at 30 deg./30 deg.C 0.915 – 0.920

9. • Acid Value max. 0.5

10. • Poleske Value min. 13

B GLC Ranges of Fatty Acid Composition (%)

1. • C 6 : 0 0.4 – 0.6

2. • C 8 : 0 5.0 – 10.0

3. • C 10 : 0 (Capric acid) 4.5 – 8.0 4. • C 12 : 0 (Lauric acid) 43.0 – 53.0 5. • C 14 : 0 (Miristic acid) 16.0 – 21.0 6. • C 16 : 0 (Palmitic acid) 7.5 – 10.0 7. • C 18 : 0 (Stearic acid) 2.0 – 4.0 8. • C 18 : 1 (Oleic acid) 5.0 – 10.0 9. • C 18 : 2 (Linoleic acid) 1.0 – 2.5 10. • C 18 : 3 – C 24 : 1 (Linolenic acid) < 0.5 C Quality Characteristics

1. • Colour Water clean

2. • Free Fatty Acid ≤ 0.5 %

3. • Peroxide Value 3 meq/kg oil

4. • Total Plate Count < 10 cfu

D Odour and Taste Free from foreign and

rancid odour and taste

E Contaminats

1. • Matter volatile at 105 oC 0.2 %

2. • Iron (Fe) 5 mg/kg

3. • Copper 0.4 mg/kg

4. • Lead 0.1 mg/kg


(39)

C. Asam Lemak Jenuh Rantai Medium

Berdasarkan struktur kimianya, lemak terdiri dari lemak jenuh dan lemak tidak jenuh. Lemak jenuh adalah suatu jenis lemak dimana antara atom karbon penyusunnya tidak ada ikatan rangkap, sedangkan lemak tidak jenuh adalah apabila diantara atom karbon penyusunnya terdapat satu atau lebih ikatan rangkap. Lemak jenuh biasanya bersumber atau berasal dari hewani misalnya daging, susu, telur dan lain-lain. Sedangkan lemak tidak jenuh biasanya sumbernya adalah nabati misalnya minyak jagung, kedelai, kanola, bunga matahari dan lain-lain. Namun demikian sumber lemak jenuh pun biasa juga didapat dari minyak kelapa dan minyak biji sawit. Dinyatakan oleh Thampan (1998), bahwa lemak jenuh kelapa 91,6 %, biji sawit 84,3%, sawit 41,5%, jagung 13,9 %, kedelai 14 %, safflower 9,2 % dan sunflower 12,6 %. Lebih lanjut dinyatakan bahwa lemak jenuh minyak kelapa didominasi oleh lemak jenuh berantai medium sekitar 63 – 67 % dari total asam-asam lemak atau sekitar 69 – 72 % dari total asam lemak jenuh. Dilaporkan juga bahwa minyak kelapa kadang-kadang disebut sebagai asam laurat, sebab sekitar 49-52 % dari asam-asam lemak adalah asam laurat.

Peranan minyak jenuh di perdagangan tingkat dunia pernah mengalami kemerosotan bahkan menjadikan suatu momok yang menakutkan untuk kesehatan konsumen. Hal tersebut sengaja dikondisikan oleh negara-negara penghasil minyak jagung ataupun minyak kedelai sebagai kampanye negatif karena di negaranya tidak tumbuh kelapa. Minyak kelapa dan minyak sawit yang disebut tropical oil oleh American Soybean Association didiskreditkan bahwa mengandung banyak lemak jenuh yang dapat menimbulkan penyakit penyempitan pembuluh darah ataupun penyakit jantung. Sehingga penduduk khususnya di Amerika Serikat dan umumnya dunia diarahkan untuk menggunakan minyak kacang kedelai ataupun minyak jagung dan tidak boleh menggunakan minyak kelapa ataupun sawit.

Minyak jagung ataupun minyak kedelai termasuk sumber atau didominasi lemak tidak jenuh yang tidak stabil terhadap oksidasi dan ketengikan. Supaya stabil minyak tersebut dihidrogenasi parsial sehingga membentuk transfat. Pihak yang diuntungkan dalam perang dagang tersebut


(40)

adalah industri minyak kedelai dan minyak jagung, sementara itu penduduk Amerika sendiri menjadi korban munculnya berbagai macam penyakit degeneratif akibat transfat misalnya penyakit jantung, penyempitan pembuluh darah, diabetes, obesitas dan lain-lain.

Penelitian yang dilakukan terhadap penduduk Pulau Pukapuka dan Pulau Tokealu di daerah Pasifik yang sudah bertahun-tahun kebiasaan dalam menu dietnya banyak mengkonsumsi kelapa, penduduknya tidak pernah mengalami berbagai penyakit degeneratif. Namun setelah penduduknya berpindah ke Selandia Baru, mereka mengubah pola makannya dengan menerapkan pola makan ala Barat, sehingga kemudian penyakit-penyakit degeneratif ditemukan pada penduduk tersebut (Fife, 2001).

Faktanya kelebihan lemak jenuh dari pada minyak tidak jenuh adalah minyak jenuh tidak mempunyai satu atom hidrogen yang hilang ataupun tidak mempunyai ikatan rangkap. Hal tersebut berarti minyak atau lemak tidak jenuh lebih mudah terserang oksidasi ataupun mudah terbentuk radikal bebas, sementara itu lemak jenuh lebih stabil dan tidak terbentuk radikal bebas. Namun demikian, lemak jenuh yang berasal dari hewani umumnya juga dapat menimbulkan berbagai penyakit, misalnya kolesterol, penyempitan pembuluh darah, jantung dan lai-lain. Namun juga tidak semua lemak jenuh dapat menimbulkan penyakit yang tidak diinginkan tersebut.

Baik lemak jenuh maupun tidak jenuh tersusun atas beberapa asam lemaknya. Tergantung dari panjang dan pendeknya rantai atom karbon, asam-asam lemak tersebut ada yang berantai pendek, medium dan panjang. Menurut Kabara (2000) bahwa lemak jenuh terdiri dari lemak jenuh berantai pendek atau short chain fatty acid - SCFA atau short chain trigliseride-SCT yaitu yang mempunyai atom karbon 2 sampai dengan 6 (C2 – C6), lemak jenuh berantai medium atau medium chain fatty acid - MCFA atau medium

chain trigliseride-MCT (C8 – C12), dan lemak jenuh berantai panjang atau

long chain fatty acid - LCFA atau long chain trigliseride-LCT (14-24).

Sementara itu Enig (2000), menggolongkan asam-asam lemak jenuh menjadi SCFA yaitu asam propanoat (C3), asam butirat (C4) dan asam kaproat (C6); MCFA yaitu asam kaprilat (C8), asam kaprat (C10) dan asam laurat (C12):


(41)

serta LCFA yaitu asam miristat (C14), asam palmitat (C16), asam stearat (C18), asam arahidat (C20), asam behenat (C22) dan asam lignoserat (C24).

Beberapa hasil penelitian tentang MCT sudah dipublikasikan di berbagai jurnal di seluruh dunia. Beberapa contoh hasil penelitian tentang MCT dapat diuraikan seperti berikut ini. Hasil penelitian Johnson et al (1990) menyebutkan bahwa MCT dipergunakan atau dicerna dan didistribusikan lebih cepat dan lebih lengkap dibanding LCT sehingga MCT tidak disimpan dalam bentuk lemak di tubuh. Dinyatakan oleh Fife (2001) bahwa karena MCT mempunyai berat molekul lebih kecil dibanding dengan LCT sehingga MCT hanya memerlukan sedikit energi dan sedikit enzim untuk memecahkan MCT tersebut untuk dapat dicerna. Thampan (1998) menyatakan bahwa oleh karena MCT mudah dipecahkan selama pencernaan, maka enzim-enzim pankreatik untuk mencerna lemak tidak diperlukan sebagai yang utama, sehingga sedikit mengurangi ketegangan pankreas dan sistem pencernaan

Lebih jauh Johnson et al (1990) menyatakan bahwa dengan dosis yang sama pasien akan menerima energi lebih cepat dan lebih banyak dari MCT daripada dari LCT. Disebutkan juga bahwa kecepatan metabolisme MCT dapat berubah dengan mencampur dosis dengan LCT, sehingga disarankan menjadi pengatur metabolisme MCT yang potensial dengan mengatur perbandingan MCT dan LCT dalam dosis. Dengan demikian terapi dapat dibuat atau dipesan untuk memenuhi keperluan khusus pasien untuk energi yang segera akan digunakan, kebutuhan asam-asam lemak esensial dan memelihara berat badan.

Hasil penelitian Bach dan Babayan (1982) juga menyatakan bahwa produk MCT dihidrolisis dan diserap ke dalam sel-sel usus secepat glukosa dan dibawa secara langsung ke hati untuk kemudian secepatnya dioksidasi menjadi energi. Sebaliknya LCT dicerna secara lambat dan hasil proses pencernaan ditransportasi ke hati melalui limphatik dan sirkulasi sistemik. Konsekuensinya LCT didistribusikan secara sistematik ke semua bagian perangkat pencernaan sebelum mencapai hati. Sehingga LCT lebih mudah disimpan menjadi lemak dalam jaringan peripheral dibanding dengan SCT atau MCT.


(42)

Pengenalan aktivitas anti mikrobial dari monogliserida asam laurat (monolaurin) telah dilaporkan sejak tahun 1966 (Rethinam et al, 2005). Selanjutnya dinyatakan bahwa monolaurin dapat menghancurkan protozoa

(Giardia lamblia), jamur (Aspergillus niger dan Candida utilis), ragi

(Saccharomyces cerevisiae) dan berbagai bakteri patogen termasuk Listeria

monocytogenes, Staphylococcus aureus, Streptococcus agacitiae, Vibrio

paranchaemolyticus dan Heliobacter pylori. Dilaporkan Issac dan Thormar

(1992) dan Issac et al (1992) bahwa asam lemak rantai medium (MCT/MCFA) dan turunannya beraktivitas dengan cara mengganggu membran lemak dari organisme.

Rethinam et al (2005) menyampaikan bahwa asam laurat yang merupakan bagian terbesar dari MCT minyak kelapa digunakan dalam tubuh untuk melawan penyakit yang sama seperti yang dilakukan oleh turunan asam lemak monolaurin yang tubuh bayi dapatkan dari asam laurat yang diperoleh dari ASI. Dilaporkan juga selanjutnya oleh Kabara (1978, 1985) dan Enig (1996, 2001) bahwa monogliserida monolaurin adalah senyawa yang dapat menjaga bayi dari infeksi virus, bakteri, atau protozoa.

Thampan (1998) menyatakan bahwa penyerapan kalsium dan magnesium juga asam-asam amino meningkat ketika bayi diberikan makanan asupan yang mengandung minyak kelapa. Minyak kelapa telah digunakan untuk meningkatkan penyerapan dan penyimpanan kalsium dan magnesium pada penderita defisiensi mineral tersebut. Hal ini khususnya terjadi pada penderita penyakit ricket yang melibatkan defisiensi vitamin D dan demineralisasi tulang. Sehingga lebih lanjut dinyatakan oleh Thampan (1998) bahwa minyak kelapa yang mempunyai MCFA tinggi tersebut dapat sangat berguna untuk penderita osteoporosis dalam membantu mempertinggi penyerapan mineral.

D. Diabetes Melitus

Diabetes mellitus merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan terjadinya defisiensi insulin absolut atau relatif, dan gangguan fungsi insulin (WHO, 1980). Diabetes mellitus adalah salah satu jenis penyakit dari


(43)

kelompok penyakit gangguan metabolik yang ditandai oleh peningkatan kadar glukosa darah (hyperglycemia) (ADA, 2004). Penyakit ini disebabkan oleh gangguan sekresi insulin sehingga kadar insulin rendah, aktivitas metabolik insulin yang rendah, atau keduanya.

Pada klasifikasi terbaru, ADA (2004) mengelompokan diabetes mellitus ke dalam empat tipe, yaitu diabetes melitus tipe-1, diabetes melitus tipe-2, diabetes melitus jenis lain, dan diabetes melitus saat hamil. Diabetes melitus tipe-1 atau yang telah dikenal sebagai IDDM (Insulin-Dependent

Diabetes Mellitus) disebabkan oleh kerusakan sel β pancreas akibat adanya

mekanisme autoimun pada tubuh penderita. Penderita diabetes tipe-1 membutuhkan insulin eksogen untuk mempertahankan hidupnya dan memiliki resiko tinggi terhadap terjadinya ketoasidosis. Diabetes tipe-2 atau yang telah umum dikenal NIDDM (Non Insulin-Dependent Diabetes Mellitus) disebabkan oleh penurunan sensitivitas insulin atau sekresi insulin. Tipe-2 ini umumnya terjadi pada manusia usia dewasa yang mengalami obesitas sehingga meningkatkan gejala resistensi insulin. Melalui pengurangan berat badan atau pengobatan hiperglekimia secara farmakologis, gejala resistensi insulin dapat diperbaiki. Penderita diabetes tipe-2 dapat memerlukan insulin eksogen namun tidak tergantung pada insulin eksogen seumur hidup.

Diabetes Melitus disingkat DM merupakan gangguan metabolisme yang kronis dan dapat terjadi secara bawaan yang berhubungan dengan ketidakmampuan sel tubuh untuk mengambil glukosa dari aliran darah ke dalam sel (Votey, 2001). Schersten dan Per (1983) mendefinisikan DM sebagai suatu tingkat kronis peningkatan kadar glukosa darah karena adanya gangguan penggunaan glukosa. Kedua hal tersebut terjadi karena kekurangan insulin, gangguan fungsi insulin, atau peningkatan faktor yang memiliki fungsi berlawanan dengan insulin, sehingga pada akhirnya akan menimbulkan gangguan pada metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein (Schersten dan Per, 1983).

Penggolongan DM menurut World Health Organization (1980) dibedakan berdasarkan pada tingkat gangguan penggunaan glukosa yang


(44)

kemudian dibedakan pada kategori klinis dan statistik. Klasifikasi DM menurut WHO (1980) adalah sebagai berikut ini :

Penggolongan Klinis

1. Diabetes Mellitus

a. Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) b. Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) c. Diabetes mellitus yang berkaitan dengan nutrisi

d. Tipe lain yang berhubungan dengan keadaan tertentu atau sindrom tertentu : (1) Penyakit pankreas, (2) Penyakit hormonal, (3) Keadaan yang disebabkan oleh obat atau zat kimiawi, (4) Gangguan reseptor insulin, (5) Sindrom genetik tertentu, dan lain-lain

2. Gangguan Toleransi Glukosa a. Tidak gemuk

b. Gemuk

c. Gangguan toleransi glukosa yang berhubungan dengan keadaan atau sindrom tertentu

3. Diabetes Gestational (pada kehamilan)

Penggolongan dengan Resiko Statistik Tinggi

Penggolongan ini berdasarkan kepada penderita dengan toleransi glukosa normal tetapi memiliki resiko untuk menjadi diabetes. Penggolongan tersebut terdiri dari :

a. Gangguan toleransi glukosa abnormal sebelumnya b. Potensial bertoleransi glukosa abnormal

Menurut WHO (1980), DM tipe 1 (IDDM) merupakan gangguan yang terjadi karena adanya defisiensi absolut insulin atau akibat virus Mumps, Coxsakie B, virus Sitomegali, dan infeksius mononukleus yang diikuti proses

autoimmune. Pada tipe ini ditemukan dua macam bentuk, yaitu

immune-mediated diabetes melitus yang merupakan hasil dari proses autoimmune

dimana antibodi tubuh menyerang dan menghancurkan sel beta pankreas, dan bentuk idiopatik dimana penyebab pastinya belum diketahui.


(45)

Dinyatakan lebih lanjut oleh WHO (1980) bahwa DM tipe 2 (NIDDM) dapat terjadi karena resistensi insulin, yaitu kondisi dimana tubuh gagal untuk membuat insulin yang cukup atau gagal untuk mempergunakan insulin walaupun jumlah insulin dalam tubuh normal atau bahkan melebihi normal, yang dikombinasikan dengan defisiensi relatif insulin. DM tipe 2 seringkali dapat dikontrol dengan mengurangi berat badan, meningkatkan kualitas nutrisi tertentu, dan latihan yang benar (Milwicki, 2002).

Secara sederhana menurut WHO (1980) dapat dikatakan bahwa DM disebabkan oleh defisiensi insulin, baik absolut maupun relatif di dalam tubuh. Insulin merupakan suatu hormon protein yang berinteraksi dengan reseptor sel organ targetnya untuk meningkatkan permeabilitas sel terhadap glukosa, sehingga glukosa dapat masuk ke dalam sel-sel otot dan disimpan sebagai glikogen serta masuk ke dalam sel jaringan lemak disimpan sebagai trigliserida.

Kekurangan insulin menyebabkan glukosa dalam darah tidak dapat masuk ke dalam sel, sehingga terjadi peningkatan kadar glukosa di dalam pembuluh darah (hiperglikemia). Milwicki (2002) menyebutkan bahwa umumnnya peningkatan kadar glukosa darah pada penderita DM tipe 1 lebih tinggi (400 mg/dl) dari pada penderita DM tipe 2 (150-300 mg/dl). Bila kadar glukosa darah telah melebihi ambang batas ginjal (180 mg/dl), maka glukosa tidak dapat lagi diserap oleh ginjal dan akan dikeluarkan melalui urine (glukosuria). Glukosa merupakan zat yang bersifat hidrofilik (larut dalam air) sehingga peningkatan glukosa darah dapat meningkatkan osmotic diuresis dari sel sekitarnya dan akhirnya terjadi dehidrasi intraseluler diikuti dengan

polyuria.

Glukosa di dalam tubuh dapat digunakan bila glukosa dapat masuk ke dalam sel dan dioksidasi. Glukosa yang tidak dapat masuk ke dalam sel mengakibatkan penggunaan glukosa sebagai energi terhambat dan sel menjadi kekurangan energi. Apabila hal ini terjadi, tubuh akan berusaha mencari energi dari sumber lain yaitu, oksidasi lemak pada jaringan lemak, dan katabolisme protein (Milne, 1989).


(46)

Dinyatakan lebih lanjut oleh Milne (1989), bahwa oksidasi lemak menghasilkan energi disertai badan keton. Peningkatan badan keton (asam asetoasetat, aseton, dan asam hidrolisis butirat) dalam tubuh dapat menyebabkan adanya ketosis, ketonemia. Badan keton yang terbentuk akan mengikat ion natrium sehingga kadar ion hidrogen meningkat dan terjadi gangguan keseimbangan elektrolit, asidosis dan diikuti koma serta kematian.

E. Peran VCO dalam Membantu Pencegahan Komplikasi Penyakit

Efek pertama VCO dalam membantu pencegahan komplikasi diabetes melitus adalah membantu mensuplai energi kepada sel (sebab minyak kelapa dapat dengan mudah diserap tanpa bantuan enzim lipase) sehingga akan meningkatkan sekresi insulin dan penggunaan glukosa darah. Setelah masuk tubuh, VCO yang mengandung lauric acid dan capric acid ternyata mempunyai efek yang sangat potensial dalam menstimulir terjadinya sekresi insulin oleh sel-sel Langerhans pankreas (Garfinkel et al., 1992).

Lemak polyunsaturated berdasarkan hasil penelitian Ginsberg et al (1982) akan bergabung dengan dinding sel (lipid bilayer membrane) dan menggabung dalam struktur sel. Sel ini kemudian tenyata berkurang kemampuannya untuk mengikat insulin, sehingga kemampuan sel untuk mengambil glukosa juga menurun. Akibatnya glukosa dalam darah tetap tinggi. Biasanya pengobatan pada penderita diabetes memang telah diberikan nasehat untuk mengurangi konsumsi minyak, terutama minyak atau lemak lain yang bersifat polyunsaturated, monounsaturated yang berasal dari minyak kedelai, jagung dan lain-lain, serta minyak atau lemak hewani yang bersifat

saturated fat dengan rantai panjang (long chain saturated fatty acid =

LCSFA). Dengan mengurangi lemak tersebut, pada hewan percobaan memang langsung terjadi perbaikan dari penyakit diabetes tipe II yang dibuat di laboratorium. Bahkan berbagai studi pada manusia, konsumsi rendah lemak juga akan membantu memperbaiki kadar kimiawi darah dan sekaligus membantu mengkontrol penyakit diabetes itu sendiri (Parekh et al, 1998 dan Barnard et al, 1983)

Nanji (1995) menyatakan bahwa, tubuh yang mendapat makanan sehari-hari yang diperkaya dengan lemak jenuh atau saturated fatty acid akan


(1)

115

Lampiran 23. Korelasi Spearman’s rho antara waktu pengamatan dengan nilai glukosa masing-masing perlakuan

Nonparametric Correlations

Correlations

1,000 -,786* ,857** -,929** -,762* -,524

. ,021 ,007 ,001 ,028 ,183

8 8 8 8 8 8

-,786* 1,000 -,571 ,714* ,833* ,286

,021 . ,139 ,047 ,010 ,493

8 8 8 8 8 8

,857** -,571 1,000 -,714* -,429 -,238

,007 ,139 . ,047 ,289 ,570

8 8 8 8 8 8

-,929** ,714* -,714* 1,000 ,738* ,619

,001 ,047 ,047 . ,037 ,102

8 8 8 8 8 8

-,762* ,833* -,429 ,738* 1,000 ,262

,028 ,010 ,289 ,037 . ,531

8 8 8 8 8 8

-,524 ,286 -,238 ,619 ,262 1,000

,183 ,493 ,570 ,102 ,531 .

8 8 8 8 8 8

Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N EmpatHariKe K+ K-VCO A VCO B MG Spearman's rho

EmpatHariKe K+ K- VCO A VCO B MG

Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). *.

Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). **.


(2)

1

K+1

52

30

10

62

2

K+2

84

52

*

*

3

K+3

82

48

11

115

4

K+4

81

43

12

131

5

K+5

83

43

11

146

Rata-rata

76.4

43.2

11.0

90.8

1

K-1

64

38

15

56

2

K-2

55

31

15

43

3

K-3

55

37

10

41

4

K-4

68

41

12

73

5

K-5

89

41

16

160

Rata-rata

66.2

37.6

13.6

74.6

1

VA1

64

32

18

72

2

VA2

69

32

20

86

3

VA3

69

35

11

117

4

VA4

58

34

10

72

5

VA5

80

49

14

83

Rata-rata

68.0

36.4

14.6

86.0

1

VB1

71

41

16

68

2

VB2

58

27

16

77

3

VB3

71

39

16

82

4

VB4

72

42

20

49

5

VB5

108

59

29

102

Rata-rata

76.0

41.6

19.4

75.6

1

MG1

67

42

10

74

2

MG2

71

43

12

80

3

MG3

81

46

18

84

4

MG4

86

43

32

57

5

MG5

80

41

27

58

Rata-rata

77.0

43.0

19.8

70.6

Keterangan : Analisis dilakukan di Kimia Farma, Jl. Juanda Bogor

* tidak dapat dihitung karena trigliserida > 300 mg/dl

No

Total

HDL

LDL

Trigliserida

Kolesterol

Kode


(3)

117

Lampiran 25. Analisis Statistik Pengaruh Berbagai Perlakuan Terhadap

Kadar Kolesterol Darah Tikus

Descriptives Kolesterol

95% Confidence Interval for Mean

N Mean

Std. Deviation

Std. Error

Lower Bound

Upper

Bound Minimum Maximum

Kontrol

Negatif 5 66,2000 13,95349 6,24019 48,8744 83,5256 55,00 89,00

Kontrol

Positif 5 76,4000 13,68576 6,12046 59,4069 93,3931 52,00 84,00

VA 5 68,0000 8,09321 3,61939 57,9510 78,0490 58,00 80,00

VB 5 76,0000 18,80160 8,40833 52,6547 99,3453 58,00 108,00

MG 5 77,0000 7,77817 3,47851 67,3421 86,6579 67,00 86,00

Total 25 72,7200 12,88255 2,57651 67,4023 78,0377 52,00 108,00

ANOVA Kolesterol

Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 537,040 4 134,260 ,779 ,552

Within Groups 3446,000 20 172,300


(4)

Lampiran 26. Analisis Statistik Pengaruh Berbagai Perlakuan Terhadap

Kadar HDL Serum Darah Tikus.

Descriptives HDL

95% Confidence Interval for Mean

N Mean

Std. Deviation

Std. Error

Lower Bound

Upper

Bound Minimum Maximum

Kontrol

Negatif 5 37,6000 4,09878 1,83303 32,5107 42,6893 31,00 41,00

Kontrol

Positif 5 43,2000 8,28855 3,70675 32,9084 53,4916 30,00 52,00

VA 5 36,4000 7,16240 3,20312 27,5067 45,2933 32,00 49,00

VB 5 41,6000 11,43678 5,11468 27,3994 55,8006 27,00 59,00

MG 5 43,0000 1,87083 ,83666 40,6771 45,3229 41,00 46,00

Total 25 40,3600 7,31369 1,46274 37,3411 43,3789 27,00 59,00

ANOVA HDL

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 199,360 4 49,840 ,919 ,472

Within Groups 1084,400 20 54,220


(5)

119

Lampiran 27. Analisis Statistik Pengaruh Berbagai Perlakuan Terhadap

Kadar LDL Serum Darah Tikus

Descriptives LDL

95% Confidence Interval for Mean N Mean

Std. Deviation

Std.

Error Lower Bound

Upper

Bound Minimum Maximum Kontrol + 4 11.0000 .81650 .40825 9.7008 12.2992 10.00 12.00 Kontrol - 5 13.6000 2.50998 1.12250 10.4834 16.7166 10.00 16.00 VCO A 5 14.6000 4.33590 1.93907 9.2163 19.9837 10.00 20.00 VCO B 5 19.4000 5.63915 2.52190 12.3981 26.4019 16.00 29.00 Minyak

Goreng 5 19.8000 9.49737 4.24735 8.0075 31.5925 10.00 32.00 Total 24 15.8750 6.10995 1.24719 13.2950 18.4550 10.00 32.00

ANOVA LDL

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 268.225 4 67.056 2.158 .113

Within Groups 590.400 19 31.074


(6)

Lampiran 28.

Hasil Analisis Statistik Pengaruh Perlakuan Terhadap Kadar

Trigliserida Serum Darah Tikus

.

Descriptives Trigliserida

95% Confidence Interval for Mean

N Mean

Std. Deviation

Std.

Error Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum K+ 5 153.6000 95.10152 42.53069 35.5159 271.6841 62.00 314.00 K- 5 74.6000 49.41963 22.10113 13.2374 135.9626 41.00 160.00 VA 5 86.0000 18.45264 8.25227 63.0880 108.9120 72.00 117.00 VB 5 75.6000 19.39845 8.67525 51.5136 99.6864 49.00 102.00 MG 5 70.6000 12.48199 5.58211 55.1016 86.0984 57.00 84.00 Total 25 92.0800 55.42932 11.08586 69.1999 114.9601 41.00 314.00

ANOVA Trigliserida

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 24301.040 4 6075.260 2.458 .079

Within Groups 49436.800 20 2471.840