Perkawinan Beda Agama dalam Perspektif Hukum Positif

22 Selain itu, menikahi perempuan Ahli Kitab akan berbahaya, karena dikhawatirkan kalau-kalau si suami akan terikat hatinya, apalagi setelah mereka memperoleh keturunan anak. 13

C. Perkawinan Beda Agama dalam Perspektif Hukum Positif

Mengenai perkawinan beda agama Undang-undang No. 1 Tahun 1974 pasal 57 tidak mengatur secara jelas dan rinci permasalahan ini. Salah satu yang diatur dalam pasal ini adalah mengenai perkawinan campuran. 1. Perkawinan Beda Agama sebelum UU No. 1 Tahun 1974 Sebelum berlakunya UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan campuran diatur dalam Regeling op Gemengde Huelijken Stbl 1898 No. 158, dinyatakan: ”yang dimaksud dengan perkawinan campuran adalah perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk pada hukum- hukum yang berlainan.” Sedangkan seperti halnya pengertian di atas, yang dimaksud perkawinan beda agama adalah suatu perkawinan yang dilakukan antara seorang pria dan wanita yang tunduk dan patuh kepada agama yang berbeda. 14 Sebelum Indonesia merdeka, Pemerintah Hindia Belanda telah mengumandangkan tentang peraturan perkawinan campuran yang dimuat 13 Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan Masalah Perkawinan, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003, cet. I, h. 289-290. 14 Usman Suparman, Perkawinan Antar Agama dan Problematika Hukum Perkawinan di Indonesia , Serang: Saudara, 1995, cet. I., h. 33. 23 dalam Staats Blad 1898 No. 158. Pemerintah Hindia Belanda membuat peraturan ini dilatar belakangi kondisi pada waktu itu dengan mobilitas perdagangan yang tinggi. Dengan perdagangan yang semakin pesat, membuat interaksi antar berbagai kelompok semakin tinggi juga. Mobilitas kehidupan yang semakin kompleks itu, sehingga berpengaruh terhadap proses asimilasi masyarakat. Akibatnya tak jarang terjadi perkawinan beda agama diantara masyarakat, seperti perkawinan antara Bumi Putra Indonesia dengan orang Tionghoa maupun dengan golongan Eropa. Oleh sebab itu melihat kondisi sedemikian rupa. Pemerintah Hindia Belanda mengundangkan peraturan Staats Blad No. 158 Tahun 1898 dengan penetapan Raja pada tanggal 29 Desember 1898 Nomor 23 tentang perkawinan campuran. Secara lebih tegas Sudargo Gautama menginterpretasikan. ”Perkawinan campuran diartikan semua perkawinan antar orang-orang yang ada di Indonesia di bawah hukum yang berlainan, sebagai perkawinan campuran. Dia menambahkan bahwa GHR tidak membedakan perkawinan antar tempat di satu pihak dan perkawinan antar agama di lain pihak. Dia juga menolak pendapat yang mengatakan GHR hanya berlaku pada perkawinan antar agama.” 15 Sedangkan Wiryono Prodjodikoro berpendapat bahwa perkawinan beda agama masuk dalam perkawinan campuran. Ia berpendapat 15 Sudargo Gautama, Segi-segi Hukum Peraturan Perkawinan Campuran, Bandung: Citra Aditya, 1996, cet. 4., h. 177. 24 berdasarkan yurisprudensi melalui putusan MA RI No. 245 KS?1953 tanggal 16 Februari 1953. ”Dalam hal seorang perempuan beragama Islam akan menikah dengan seorang laki-laki yang beragama Kristen berlakulah peraturan Staats Blad 1898-158 yang dalam pasal 2 menentukan bahwa dalam hal ini harus ada keterangan dari kepala Kantor Urusan Agama KUA di tempat. Dan tidak ada larangan untuk perkawinan itu, kepala KUA ini dianggap selaku pengganti wali mujbir yang termasuk di atas. Sedangkan menurut pasal 7 ayat 2 pemberian keterangan ini boleh ditolak berdasar atas perbedaan agama, kebangsaan ataupun keturunan.” Jika kita melihat kepada kedua pendapat di atas, menurut penulis dalam GHR telah mengatur perkawinan antar tempat, antar agama maupun antar golongan penduduk, seperti halnya orang Eropa dan orang Indonesia yang kedua belah pihak berlainan kewarganegaraan dan agama. 2. Perkawinan Beda Agama Setelah Berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 Dengan berlakunya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka peraturan perundangan sebelumnya seperti GHR dan BW Buergelijk Wetbook, dinyatakan tidak berlaku lagi. Serta dinyatakan tidak berlaku lagi sebagaimana bunyi pasal 66 UU No. 1 Tahun 1974. 16 16 Bunyi pasal : “untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang- undang ini ketentuan- ketentuan yang diatur dalam kitab Undang-undang hukum perdata BW, HOCI, GHR dan peraturan– peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini dinyatakan tidak berlaku”. 25 Serta dengan berlakukanya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 pencatatan perkawinan campuran didasarkan pada Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan peraturan pelaksanaannya Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam pasal 2 PP Tahun 1975 menjelaskan bahwa instansi pencatatan perkawinan di Indonesia hanya ada dua, yaitu pegawai pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang No. 22 Tahun 1946 Jo Undang-undang No. 22 Tahun 1954 yang dalam hal ini kantor urusan agama kecamatan dan yang kedua pegawai pencatat pada kantor catatan sipil. Perkawinan campuran yang dilakukan menurut agama Islam, pencatatannya harus dilakukan oleh pegawai pencatat nikah pada kantor urusan agama, sedang perkawinan campuran yang dilakukan tidak menurut agama Islam pencatatannya dilakukan oleh pegawai pencatat pada pencatatan sipil. Dengan demikian dua orang warganegara yang berbeda, jika mereka hendak melakukan perkawinan menurut agama Islam maka pencatatannya dilakukan di kantor urusan agama kecamatan. Akan tetapi jika mereka melangsungkan perkawinan bukan menurut agama Islam maka pencatatannya dilakukan oleh kantor catatan sipil. 17 17 Basiq Djalil, Pernikahan Lintas Agama dalam Perspektif Fiqh dan Kompilasi Hukum Islam, h. 152-155. 26 Namun tidak semua ahli hukum sependapat dengan uraian di atas. Beberapa ahli hukum menilai UU No. 1 Tahun 1974 tidak secara jelas mengatur perkawinan beda agama maka keabsahan perkawinan beda agama tetap dikembalikan kepada ketentuan GHR, walaupun perkawinan ini tidak sesuai dengan ajaran agama masing-masing pihak. Dan perkawinan beda agama mempunyai keabsahaan seperti halnya perkawinan campuran. Jika kita mengacu pada ketentuan pasal 66 UU No. 1 Tahun 1974, jelas dinyatakan ketentuan dalam GHR Stb.1898158 tidak dapat diberlakukan lagi karena di samping ketentuannya telah terdapat dalam UU No. 1 Tahun 1974, GHR juga berbeda asas pedoman dengan undang-undang ini. Yaitu asas keseimbangan hukum antara suami isteri yang dianut dalam UU No. 1 Tahun 1974. 18 Selanjutnya menurut Kompilasi Hukum Islam KHI, mengenai perkawinan beda agama menempatkan pada larangan perkawinan. Yang menyangkut nikah lintas agama ada dua pasal yakni psal 40 c dan pasal 44. dalam pasal 40 c menyatakan ”Dilarang melangsungkan perkawinan antara wanita yang tidak beragama Islam”. Sedang pasal 44 menyatakan : ”seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam”. Kedua pasal tersebut sejalan yakni melarang orang 18 Asmin, Status Perkawinan antar Agama, Jakarta: PT Dian Rakyat, 1986, h. 68. 27 Islam kawin dengan orang yang bukan Islam, tanpa membedakan laki atau perempuan dan tanpa mengklasifikasikan antara musyrik dan kitabiyah. Dalam hal ini Kompilasi Hukum Islam KHI berbeda dengan pendapat Jumhur yang menghalalkan orang Islam kawin dengan wanita kitabiyah. Di dalam Kompilasi Hukum Islam KHI terlihat sangat menonjolkan kaidah Syaddu Al-Dzari’ah menutup peluang. Kaitannya adalah sesuatu hal yang dibolehkan atau dihalalkan, di mana terdapat resiko tinggi karena dapat menimbulkan kerusakan yang fatal. Sikap Kompilasi Hukum Islam KHI ini lebih kepada kehati-hatian sungguhpun halalnya mengawini kitabiyah itu diakui oleh Jumhur dan sebagian para sahabat. Tampaknya ulama Indonesia melalui Kompilasi Hukum Islam KHI sepaham dengan kelompok yang melarang mengawini kitabiyah, hal itu tidak berarti tidak sejalan dengan Qur’an tetapi memperhatikan kemaslahatan sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia. 19 Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa UU No. 1 Tahun 1974 benar-benar telah menutup perkawinan beda agama diberlakukan di Indonesia sesuai dengan penjelasan pasal 2 ayat 1. Sehingga hukum Indonesia untuk sekarang ini tidak mengakui keabsahan perkawinan beda agama sebagai salah satu perkawinan yang diakui di Indonesia. 19 Basiq Djalil, Pernikahan Lintas Agama dalam Perspektif Fiqh dan Kompilasi Hukum Islam, h. 145-147.

BAB III DESKRIPSI KOMPILASI HUKUM ISLAM KHI