Perkawinan Beda Agama dalam Perspektif Fikih Klasik

18 isteri sama akibatnya dengan meninggalkannya karena ada halangan seperti terkena penyakit menular yang susah disembuhkan, atau adanya cacat serius yang menimpa salah satu pasangan suami - isteri sebelum akad perkawinan. Semuanya dapat membatalkan perkawinan. Adapun keturunan atau pengembangbiakan adalah kewajiban yang sangat ditekankan kepada segenap kaum muslimin. Karena itu, Islam mengaharamkan penggunaan alat-alat yang dapat mencegah kehamilan. Sebab tindakan itu sama halnya dengan menghambat pengembangbiakan. 7 Karena tujuan pernikahan tidak lain agar manusia dapat melanjutkan keturunan, guna mewujudkan rumah tangga yang mawaddah warrahmah cinta dan kasih sayang dalam kehidupan keluarga. 8

B. Perkawinan Beda Agama dalam Perspektif Fikih Klasik

Perspektif Fiqh adalah sudut atau cara pandang fiqh terhadap perkawinan beda agama. Perkawinan beda agama yang dimaksudkan di sini adalah perkawinan antara seseorang yang beragama Islam muslim, muslimah dengan non-muslim. Non Muslim orang yang tidak beragama Islam secara garis besar dikelompokan ke dalam musyrik dan Ahli Kitab. Dalam Islam mereka yang disebut musyrik adalah penyembah berhala dan mengimani tuhan lain di samping Allah. Sedangkan yang dimaksud dengan para Ahli-Kitab adalah mereka yang menganut agama samâwi. 7 Al-Thahir Al-Hadad, Wanita dalam Syari’at Masyarakat, h. 72. 8 Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, h. 3. 19 Dalam al-Qur’ân yang dimaksud dengan Ahli – Kitab adalah pemeluk agama Yahudi dan Nasrani. Ada beberapa golongan yang berpendapat tentang kedudukan bentuk hukum perkawinan tersebut. 9 1. Golongan Pertama Termasuk kalangan Jumhur Ulama berpendapat bahwa perkawinan laki- laki muslim dengan perempuan kitabiyah pada dasarnya adalah boleh sah, halal. sedang selain Yahudi dan Nasrani, hukumnya haram. Hal ini berdasarkan pada firman Allah dalam QS. Al-Maidâh 5 : 5 : ﻰ ﻌ ﷲا لﺎ : و ْﻟا ﻤ ْ ﺼ ﻦ ْﻟا ﻤ ْﺆ و ْﻟا ﻤ ْ ﺼ ﻦ ﱠﻟا ﺬْﻳ ﻦ ا ْو ْﻮ ْﻟا ا ﻜﺘ ْﻦ ْ ﻜ ْﻢ ا ذ ا ْﻴﺘ ﻤ ْﻮ ه ﱠﻦ ا ﺟ ْﻮ ر ه ﱠﻦ ْ ﺼ ْﻴ ﻦ ﻏ ْﻴ ﺮ ﺴ ﺎ ْﻴ ﻦ و ﻻ ﱠﺘ ﺬ ْي ا ْﺧ ﺪا ن ةﺪﺋ ﻤﻟا : Artinya: Allah SWT berfirman: ”Dan dihalalkan bagi kamu mengawini perempuan-perempuan terhormat dari orang-orang yang diberi Kitab Ahli Kitab sebelum kamu, apabila kamu telah memberikan kepada mereka itu maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berlaku serong berzina, dan tidak pula kamu menjadikan mereka gundik-gundik ...” QS. Al- Maidâh 5 : 5. Menurut mereka dari ayat tersebut dapat ditarik dua argumen. Pertama, ayat ini dengan tegas membolehkan orang muslim memakan makanan orang ahli kitab kecuali jenis yang diharamkan dan membolehkan menikahi wanita-wanita Ahli Kitab yang muhsânât. Kedua, dari sisi kronologisnya ayat ini termasuk rangkaian ayat-ayat madaniah, yang turunnya sesudah hijrah. Hal ini memperkuat penunjukan ayat ini terhadap hukum. 9 Maria Ulfah Anshor, Tafsir Ulang Perkawinan Lintas Agama, h. 39-41. 20 2. Golongan Kedua Golongan ini berpendapat bahwa menikahi wanita non muslim haram hukumnya. Golongan ini dianut oleh Ibnû Umâr dan Syi’âh Imâmiâh. Mereka berdasarkan kepada QS. Al-Bâqârâh 2 : 221: ﻰ ﻌ ﷲا لﺎ : ﱠﻦ ْﺆﻳ ﻰّﺘﺣ آﺮْﺸﻤْﻟا اﻮ ﻜْ ﻻو ﻰ ﺔ ْﺆ ﺔ ﻻو ﱠو ﺔآﺮْﺸ ْﻦ ﺮْﻴﺧ ْﻢﻜْﺘ ﺠْﻋا ْﻮﻟ ج ﻰّﺘﺣ ﻦْﻴآﺮْﺸﻤْﻟا اﻮ ﻜْ ﻻو اْﻮ ْﺆﻳ ﻰ ْﻢﻜ ﺠْﻋا ْﻮﻟﱠو كﺮْﺸ ْﻦ ﺮْﻴﺧ ﻦ ْﺆ ﺪْﻌﻟو .. . ةﺮ ﻟا ٢ : ٢٢ Artinya : Allah SWT berfirman: ”Dan Janganlah kamu mengawini wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu’min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik dengan wanita-wanita mu’min sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu’min lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu”. QS. Al-Bâqârâh 2 : 221. Kedua, QS. Al-Mumtâhânâh 60:10: ﻰ ﻌ ﷲا لﺎ : ﺎ ْن ﻋ ْﻤﺘ ﻤ ْﻮ ه ﱠﻦ ْﺆ ﻼ ْﺮ ﺟ ﻌ ْﻮ ه ﱠﻦ ا ﻟ ْﻟا ﻰ ﻜﱠ رﺎ ﻰ ﻻ ه ﱠﻦ ﺣ ﱞ ﱠﻟ ﻬ ْﻢ و ﻻ ه ْﻢ ﻳ ْﻮ ن ﻟ ﻬ ﱠﻦ ... ﻟا ﺔ ﺘﻤﻤ : Artinya : Allah SWT berfirman: ”Apabila kamu mengetahui bahwa mereka benar-benar wanita mukmin muslim, maka janganlah kamu mengembalikan mereka kepada suaminya yang non muslim, karena mereka wanita muslimah itu tidak halal menjadi isteri bagi mereka yang bukan muslim, sedang mereka yang bukan muslim pun tidak halal menjadi suami bagi mereka wanita muslimah”. QS. Al-Mumtâhânâh 60:10. Bagi golongan ini, kedua ayat di atas melarang kaum mu’mînîn menikah dengan perempuan musyrik. 10 Ibnû Hâzâm berkata : Haram hukumnya wanita 10 Basiq Djalil, Pernikahan Lintas Agama dalam Perspektif Fiqh dan Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Qalbun Salim, 2005, cet. I, h. 129-133. 21 musyrikah dikawini oleh laki-laki muslim. Dan orang kafir tidak boleh memiliki budak laki-laki. Beragama Islam atau budak-budak wanita muslimah. 11 Ibnû Umâr mengatakan, ketika ditanya tentang hukum mengawini perempuan kitabiyah, yakni Nasrani dan Yahudi. ”Allah telah mengharamkan mengawini perempuan musyrik atas orang mukmin dan saya tidak mengetahui kemusyrikan yang lebih besar daripada kemusyrikan seseorang ialah mengatakan bahwa Tuhannya adalah Isa, padahal ia adalah salah seorang dari hamba Allah.” Ayat di atas jelas melarang umat Islam mengawini perempuan-perempuan kafir. Ahli-Kitab menurut mereka termasuk golongan orang kafir musyrik, karena orang Yahudi mempertuhankan ’Uzair dan orang Nasrani mempertuhankan Isa Ibnû Maryâm, sedangkan dosa syirik tidak diampuni oleh Allah jika mereka tidak bertaubat kepadaNya sebelum mereka mati seperti yang disebutkan dalam QS. An- Nisa4 : 46 . 12 3. Golongan Ketiga Golongan ketiga dalam hal ini tampaknya mencoba bersifat moderat. Golongan ini berpendapat bahwa menikahi wanita Ahli Kitab hukum asalnya halal, namun situasi dan kondisi menghendaki ketentuan lain tampaknya ini terkait dengan politik, Ibrahim Hosen menyebutnya dengan kalimat sighot tidak menghendaki. 11 Abdul Mutaal Muhammad al-Jabary, Perkawinan Campuran Menurut Pandangan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1996, h. 7. 12 Maria Ulfah Anshor, Tafsir Ulang Perkawinan Lintas Agama, h. 43-44. 22 Selain itu, menikahi perempuan Ahli Kitab akan berbahaya, karena dikhawatirkan kalau-kalau si suami akan terikat hatinya, apalagi setelah mereka memperoleh keturunan anak. 13

C. Perkawinan Beda Agama dalam Perspektif Hukum Positif