Faktor Penyebab Biaya Administrasi Pencatatan Pernikahan Menjadi Tinggi (Studi Pada Kantor Urusan Agama Kec. Bumijawa Kab. Tegal Tahun 2009-201

(1)

Skripsi

Diajukan kepada fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh

IMAM ZAKIYUDIN Nim: 1110044100059

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A


(2)

(3)

(4)

(5)

i

Pernikahan merupakan kebutuhan hidup setiap manusia sejak jaman dulu. Memang pada masa awal Islam tidak dikenal adanya pencatatan pernikahan, dan dengan berbagai pertimbangan kemaslahatan muncullah tuntutan pencatatan pernikahan. Apabila terdapat pernikahan tidak dicatatkan maka akan terjadi berbagai masalah kerancuan hukum. Setelah diundangkanya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang pernikahan dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa tiap-tiap pernikahan selain harus dilakukan menurut ketentuan agama juga harus dicatatkan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2004 tentang tarif atas penerimaan negara bukan pajak yang berlaku di Kementrian Agama disebutkan bahwa biaya nikah Rp 30.000,00. Tetapi pada praktiknya biaya tersebut lebih besar dari biaya yang telah ditetapkan oleh pemerintah sebagaimana yang terjadi di Kantor Urusan Agama Kecamatan Bumijawa

Penelitian skripsi ini bertujuan untuk mengetahui Faktor Penyebab Biaya Administrasi Pencatatan Pernikahan menjadi tinggi di wilayah Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Bumijawa Kabupaten Tegal. Adapun data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Kualitatif yaitu melalui wawancara dengan para responden pelaku pernikahan baik pernikahan yang dilaksanakan di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Bumijawa ataupun pelaku pernikahan yang dilaksanakan di rumah (masjid atau mushola) dan para pemegang kebijakan yaitu Kepala Kantor Urusan Agama beserta staf-stafnya.

Adapun data yang digunakan adalah data sekunder yaitu data yang mendukung keterangan atau kelengkapanya untuk dijadikan sebagai bahan, data primer yang diperoleh dari data perpustakaan ataupun koleksi pustaka pribadi penulis yang dilakukan dengan cara studi pustaka. Dari hasil penelitian menunjukan bahwa terkait dengan besaran biaya administrasi pencatatan pernikahan pada realitanya tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan biaya administrasi pencatatan pernikahan terlalu mahal. Kurangnya sosialisasi terkait dengan biaya administrasi pencatatan pernikahan, sehingga membebankan pada pelaku pernikahan. Untuk mengatasi pembengkakan biaya administrasi pencatatan pernikahan perlu adanya kerjasama birokrasi Kantor Urusan Agama Kecamatan Bumijawa dengan Kementrian Agama dalam mensosialisasikan kisaran biaya administrasi pencatatan pernikahan yang ideal dan dapat dijangkau oleh masyarakat yang kurang mampu.


(6)

ii

.دعﺑ ﺍ ، يقﻟﺍ ﻳ ىﻟﺍ هﺍده ع ت هﺑ ﺤصأ هﻟﺍ ى ع ي ﺳر ﻟﺍ

Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang senantiasa memberikan karunia-Nya bagi seluruh umat di dunia dalam memberikan kesehatan, kekuatan dan ketabahan sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dan merampungkan skripsi ini. Dengan rasa yang menjadi satu lelah dan kemalasan, namun semuanya berakhir dengan kelegaan dan keharuan sehingga timbul semangat luar biasa. Tidak lupa salam serta shalawat dihaturkan atas baginda besar Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga para sahabat dan para pengikut mereka sampai hari akhir tiba, (Yaumil Qiyamat).

Penulis menyadari bahwasanya manusia tidak ada yang sempurna dan tidaklah mungkin hidup tanpa bantuan orang lain dan tidaklah mungkin terwujud semua usaha tanpa bantuan sesama. Dengan ini penulis dalam rangka menyelesaikan tugas, dalam kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dr. H. JM. Muslimin, MA., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA., Ketua Jurusan Peradilan Agama dan Ibu Rosdiana, M.Ag., Sekretaris Jurusan Peradilan Agama.


(7)

iii

4. Prof. Dr. H. M. Amin Suma., SH., MA., MM Penguji I dan Dr. H. Mesraini, MA Penguji II.

5. Pimpinan Perpustakaan fakultas Syariah dan Hukum, Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta seluruh staf yang selalu memberikan penulis fasilitas dalam keperluan perkuliahan.

6. H. A. Wakhidin, SHi., Agus Salam, SAg., Umi Hayati., SHi dan seluruh staf Kantor Urusan Agama Kecamatan Bumijawa serta masyarakat di wilayah Kecamatan Bumijawa tempat penulis mengadakan penelitian, mendapatkan data, informasi dan wawancara.

7. Yang tercinta kedua orang tua Ibunda Zahro dan Ayahanda Ust Slamet Toibin, adik-adiku (Puad Hasan, Millata Humaida, Muhammad Gus Fahmi dan Ismi atul Ma’rifah) dan keluarga khususnya mama yang terhebat yang senantiasa selalu ada dalam memberikan doa dan semangatnya. Serta seluruh sahabat seperjuanganku yakni Peradilan Agama angkatan 2010.

8. Prof. Dr. H. Hamdan Yasun Msi., beserta isteri Ibu H. Suwaidah (Almarhum) Bapak H. Masrun Beserta Istri Ibu Chuzmijatun, Bapak Abdul Aziz Insiram, mas Sobirin, Ibu Lisa, Ibu Eni, Mba Tina dan Ibu


(8)

iv

Mahasiswa Tegal (IMT), Keluarga besar PMII Komfaksyahum dan Keluarga Besar Pengurus Lembaga Bantuan Hukum Fakultas Syariah dan Hukum yang selalu mengarahkan dan penulis naungi.

10.Keluarga Besar Gria Hijau (Pa Edi, Pa Arifin, Pa Caca, mas Mukhlis, mas Brian, mas Fiky, mas Khan khan, mas Heri, mas Yanto) yang penulis naungi dalam keadaan susah maupun senang dan penulis berbagi dalam canda tawa.

11.Seluruh sahabatku yang tidak dapat penulis sebutkan dan semua pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung yang tidak mungkin penulis sebutkan namanya satu persatu.

Akhirnya, kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, saya mengucapkan terima kasih banyak atas bantuanya baik yang berupa doa maupun materil yang tidak dapat penulis balas dengan baik, semoga Allah SWT yang akan membalas kebaikan kalian semuanya. Amin

Jakarta, Juli 2014


(9)

v

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

BAB I: PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan Masalah ... 9

C. Perumusan Masalah ... 12

D. Tujuan Penelitian ... 13

E. Manfaat Penelitian ... 13

F. Metode Penelitian... 14

G. Review Studi Terdahulu ... 18

H. Sistematika Penulisan... 20

BAB II: ATURAN PERNIKAHAN DAN PENCATATAN ... 23

A. Pengertian Pernikahan ... 23

B. Rukun dan Syarat Pernikahan ... 30

C. Pencatatan Pernikahan ... 38

D. Lembaga Administrasi Pencatatan Pernikahan ... 42


(10)

vi

B. Kedudukan Kantor Urusan Agama Kecamatan Bumijawa ... 64

C. Tugas dan wewenang Kantor Urusan AgamaKecamatan Bumijawa ... 65

D. Struktur Organisasi Kantor Urusan AgamaKecamatan Bumijawa ... 70

E. Biaya Administrasi Pencatatan Pernikahan di Kantor Urusan Agama Kecamatan Bumijawa ... 71

BAB IV: ANALISA BIAYA PENCATATAN PERNIKAHAN ... 73

A. Tingginya Biaya Administrasi Pencatatan Pernikahan di Kecamatan Bumijawa ... 73

B. Faktor yang menyebabkan Tingginya Biaya Administrasi Pencatatan Pernikahan di Kecamatan Bumijawa ... 78

C. Sosialisasi biaya administrasi pencatatan pernikahan di Kantor Urusan Agama pada masyarakat kecamatan bumijawa ... 81

D. Analisis Penulis ... 86

BAB V: PENUTUP ... 90

A. Kesimpulan ... 90

B. Saran-saran ... 93


(11)

vii

Ketiga : Surat Permohonan Kesediaan menjadi Dosen Pembimbing Skripsi Keempat : Surat blanko bimbingan Skripsi

Kelima :Surat Permohonan data/Wawancara

Keenam : Pedoman wawancara/Instrumen Penelitian

Ketujuh : Hasi wawancara dengan kepala KUA dan Penghulu KUA Kedelapan : Hasil wawancara dengan masyarakat kecamatan bumijawa Kesembilan : Surat Keterangan Penelitian dari Kelurahan Sokatengah Kesepuluh : Surat Keterangan Penelitian dari Kelurahan Jejeg Kesebelas : Surat Keterangan Penelitian dari Kelurahan Cintamanik Keduabelas : Surat Keterangan Penelitian dari Kelurahan Begawat Ketigabelas : Surat Keterangan Penelitian dari Kelurahan Cawitali Keempatbelas : Surat Keterangan Penelitian dari Kelurahan Dukuh Benda Kelimabelas : Surat Keterangan Penelitian dari Kelurahan Guci

Keenambelas : Surat Keterangan Penelitian dari Kelurahan Pagerkasih Ketujuhbelas : Surat Keterangan Penelitian dari Kelurahan Bumijawa

Kedelapanbelas : Surat Keterangan Penelitian dari Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Bumijawa

Kesembilanbelas : Surat Pernyataan wawancara dari Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Bumijawa


(12)

viii

Keduapuluh dua:Peta Wilayah Kecamatan Bumijawa dan Peta Gambar objek Penelitian

Keduapuluh tiga : Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2004 Keduapuluh empat: Foto wawancara bersama responden.


(13)

1

BAB I PENDAHULIAN

A. Latar Belakang Masalah

Allah SWT menciptakan makhluknya berpasang-pasangan. baik itu hewan tumbuhan maupun manusia. Adapun hikmah agar diciptakan oleh Tuhan segala jenis alam atau makhluk itu berpasang-pasangan yang berlainan bentuk dan sifat, adalah agar masing-masing jenis saling butuh membutuhkan, saling memerlukan, sehingga dapat berkembang selanjutnya.1

Dalam kehidupan manusia di dunia ini, yang berlainan jenis kelaminya (laki-laki dan perempuan) secara alamiah mempunyai daya tarik menarik antara satu dengan yang lainya untuk dapat hidup bersama, atau secara logis dapat dikatakan untuk membentuk suatu ikatan lahir dan batin dengan tujuan menciptakan suatu keluarga atau rumah tangga yang rukun, bahagia, sejahtera dan abadi.

Hal ini bukanlah merupakan suatu keharusan, agar orang berpendapat atau menitikberatkan kepada persetubuhan belaka, walaupun hal persetubuhan adalah faktor yang juga penting sebagai penunjang atau pendorong dalam rangka merealisir keinginan dapat hidup bersama, baik untuk mendapatkan keturunan,

1

Amir Taat Nasution, Rahasia Perkawinan Dalam Islam, (Jakarta: Ilmu Jaya, 1994) Cet., Ke-3, h. 1. Lihat Juga Moh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), Cet.,Ke-1, h. 31.


(14)

maupun sekedar memenuhi kebutuhan biologis atau keinginan hawa nafsu belaka.2

Suatu perkawinan mempunyai arti dan kedudukan yang sangat penting dalam tata kehidupan manusia. Sebab dengan perkawinan, dapat dibentuk ikatan hubungan pergaulan antara dua insan yang berlainan jenis secara resmi dalam suatu ikatan suami istri menjadi satu keluarga.3

Sudah menjadi kodrat alam, bahwa dua manusia dengan jenis kelamin yang berlainan yaitu seorang perempuan dan seorang laki-laki, diantara keduanya ada daya yang saling menarik satu sama lain untuk hidup bersama dalam ikatan perkawinan sebagai salah satu tujuan yaitu meneruskan keturunan.4

Pencatatan pernikahan atau pembuatan akta penikahan, secara syariat, bukanlah rukun atau syarat yang menentukan sahnya pernikahan. Namun adanya bukti otentik yang tertulis dapat menjadi salah satu alatmemperkuat komitmen yang dibangun oleh pasangan suami istri tersebut. Walaupun memperkuat komitmen tidak terbatas pada aktanya, karena akta sendiri bisa dibatalkan melalui gugatan perceraian.5

Pencatatan perkawinan adalah suatu pencatatan yang dilakukan oleh pejabat negara terhadap peristiwa perkawinan.6 Adapun yang berhak mencatatkan

2

Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Asas-Asas Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), h.1.

3

Muhammad Nabil Kazim, Buku Pintar Nikah : Strategi Jitu Menuju Pernikahan Sukses, (Solo: Samudra, 2007), h. 24.

4

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Bandung: Sumur Bandung, 1960), h. 7.

5

Departemen Agama RI, HimpunanPeraturan Perundang-undangan dalam Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Ditjen Pembinaan Pelembaaan Agama Islam, 2001), h. 132.


(15)

perkawinan adalah pembantu pegawai pencatat nikah (PPPN) yang berkedudukan disetiap desa atau pegawai pencatat nikah yang berkedudukan di setiap kecamatan yang berada di bawah struktur Kantor Urusan Agama (KUA).7

Pencatatan perkawinan bertujuan untuk menjadikan peristiwa perkawinan itu menjadi jelas, baik bagi yang bersangkutan maupun bagi orang lain dan masyarakat, karena dapat dibaca dalam suatu surat yang bersifat resmi dan termuat pula dalam suatu daftar yang khusus disediakan untuk itu, sehingga sewaktu-waktu dapat digunakan di manapun, terutama sebagai alat bukti tertulis yang otentik. Dengan adanya surat bukti itu, dapatlah dibenarkan atau dicegah suatu perbuatan yang lain.8

Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah, yang masing-masing suami istri mendapat salinannya, apabila terjadi perselisihan atau percekcokan di antara mereka, atau salah satu tidak bertanggung jawab, maka yang lain dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh hak masing-masing.9

Meskipun perkawinan yang tidak dicatat adalah sah, baik menurut pandangan agama maupun adat istiadat, namun di mata hukum tidak memiliki kekuatan hukum karena:

6

Muhammad Zain dan Mukhtar Alshodiq, Membangun Keluarga Humanis (Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam yang Kontroversial itu), (Jakarta: Graha Cipta, 2005) Cet., Ke-1, h. 38.

7

Muhammad Zain dan Mukhtar Alshodiq, Membangun Keluarga Humanis (Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam yang Kontroversial itu), h. 38.

8

K Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1978), Cet., Ke-4. h. 17.

9

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2003), Cet., Ke-6. h. 107.


(16)

a. Posisi mereka sangat lemah di depan hukum. Bagi istri, tidak dianggap sebagi istri, karena tidak memiliki akta nikah. ia juga tidak berhak atas nafkah dan waris jika terjadi perceraian atau suaminya meninggal. Tragisnya anak yang dilahirkan juga dianggap tidak sah. b. Menurut QS Al-Baqarah ayat 282 memerintahkan kita untuk

mencatatkan utang piutang. Bagaimana dengan perkawinan yang jauh lebih penting dari utang-piutang.

c. Pada masa Nabi Muhammad, masyarakat masih banyak yang ummy (tidak melek huruf), sehingga kesaksian dan sumpah masih diterima sebagai alat bukti hukum di pengadilan. Sekarang kondisinya berbeda, alat bukti tertulis lebih kuat dari sekedar kesaksian dan sumpah. karena itu, pencatatan nikah menjadi sangat penting.10

Pencatatan nikah sangat penting dilaksanakan oleh pasangan mempelai, sebab buku nikah yang mereka peroleh merupakan bukti otentik tentang keabsahan pernikahan itu baik secara agama maupun negara. Dengan buku nikah itu, mereka dapat membuktikan pula keturunan sah yang dihasilkan dari perkawinan tersebut dan memperoleh hak-haknya sebagai ahli waris.11

Pentingnya sebuah pencatatan dalam suatu masalah yang berkaitan dengan individual yang lain atau dalam masalah mu’amalah, Islam sebagai agama yang

10

Muhammad Zain dan Mukhtar Alshodiq, Membangun Keluarga Humanis, (Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam yang Kontroversial itu), h. 39-40.

11

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakata: Kencana, 2006), h. xx.


(17)

sempurna telah terlebih dahulu memerintahkan kepada para pemeluknya untuk mencatatkan setiap peristiwa yang berkenaan dengan individu yang lain.

Kehidupan modern yang sangat kompleks seperti ini menuntut adanya ketertiban dalam berbagai hal, antara lain masalah pencatatan perkawinan, apabila hal ini tidak mendapat perhatian. Kemungkinan besar akan timbul kekacauan dalam kehidupan masyarakat, mengingat jumlah manusia sudah sangat banyak dan permasalahan hiduppun sudah sangat kompleks.12

Pelaksanaan pencatatan suatu perkawinan, telah diatur sebagaimana dinyatakan dalam PP. No. 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan UU. No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, di mana pasal 2 nya berbunyi:

a. Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, dilakukan oleh pegawai pencatatan sebagaimana dimaksud dalam UU No. 32 tahun 1954 tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk.

b. Pencatatan perkawinan dan mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaanya itu selain agama Islam, dilakukan oleh pegawai pencatatan perkawinan pada kantor catatan sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan.

c. Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus berlaku bagi tatacara pencatatan perkawinan berdasarkan berbagai peraturan yang berlaku, tatacara pencatatan perkawinan dilakukan sebagaimana

12


(18)

ditentukan dalam pasal 3 sampai dengan pasal 9 peraturan pemerintah ini.

Selanjutnya pada penjelasan atas PP. No. 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan UU. No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, dijelaskan bahwa pencatatan perkawinan dilakukan hanya oleh dua instansi, yakni pegawai pencatat nikah, talak, rujuk dan kantor catatan sipil atau instansi pejabat yang membantunya.13

Pada saat melangsungkan perkawinan, suami istri mendaftarkan dan mencatatkan perkawinan tersebut pada lembaga resmi pemerintahan yaitu ke Kantor Urusan Agama (KUA) bagi warga negara yang beragama Islam dan ke Kantor Catatan Sipil bagi warga negara yang selain beragama Islam,14 maka akibat yang ditimbulkan dari perceraian itu tidak menimbulkan masalah yang rumit untuk saling mendapatkan hak-haknya setelah menikah maupun ketika terjadi perceraian karena bisa dibuktikan dengan adanya akta nikah yang mereka miliki sebagai bukti bahwasanya mereka telah melangsungkan perkawinan dan pernah membina rumah tangga, Hal itu menunjukan betapa urgenya masalah pencatatan nikah dan akta nikah, karena dengan adanya akta nikah, perkawinan yang dilangsungkan oleh pipihak yang bersangkutan akan terjamin hak-haknya sebagai suami istri.

13

Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Asas-Asas Hukum Perkawinan di Indonesia, h. 22-23.

14

Pasal 2 peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: UI Press, 1986), Cet., Ke-5, h. 175.


(19)

Selain itu, dengan adanya bukti pencatatan perkawinan, perkawinan yang dilangsungkan oleh seseorang akan mempunyai kekuatan yuridis. Sebagaimana disebutkan pada pasal 7 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam (KHI), perkawinan

”hanya” dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat

Nikah. Dengan demikian, mencatatkan perkawinan adalah merupakan kewajiban bagi mereka yang akan melangsungkan perkawinan.15

Dalam praktik realita yang terjadi sekarang ini, pencatatan pernikahan yang terjadi di pedesaan khususnya di Kecamatan Bumijawa begitu beragam Tarif administrasi pencatatan pernikahan bagi mereka yang ingin dicatatkan pernikahanya sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh negara melalui lembaga yang ditunjuk untuk menangani masalah administrasi pencatatan pernikahan yaitu Kantor Urusan Agama (KUA), Tarif tersebut berkisar antara Rp 500.000,- sampai Rp 600.000,- sedang tarif yang ditetapkan pemerintah untuk mengurus administrasi pencatatan pernikahan guna memperoleh bukti yang otentik berupa akta nikah yang dikeluarkan pihak Kantor Urusan Agama hanya sebesar Rp 30.000,- Mengapa bisa terjadi demikian padahal lembaga pemerintah seharusnya bekerja sesuai dengan peraturan undang-undang dan peraturan pemerintah yang berlaku. Hal ini dapat dimungkinkan dalam masalah proses administrasi pencatatan pernikahan dalam instansi terkait telah terjadi adanya penguatan-penguatan liar yang sudah sangat jelas telah melanggar hukum.

Tingginnya biaya administrasi pencatatan pernikahan yang marak belakangan ini jelas-jelas sangat memberatkan warga pedesaan masyarakat

15

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Akademika Presindo, 1995), Cet., Ke-2, h. 15.


(20)

Kecamatan Bumijawa yang kehidupan ekonominya pas-pasan apalagi sebagian besar mereka bermata pencaharian seorang buruh tani dan buruh pemetik daun teh di perkebunan. Apabila mereka ingin mencatatkan pernikahanya di Kantor Urusan Agama (KUA) di wilayah tempat mereka tinggal khususnya di Kecamatan Bumijawa. Masalah ini akan berdampak terhadap keengganan masyarakat untuk mencatatakan pernikahanya pada lembaga yang ditunjuk pemerintah yaitu Kantor Urusan Agama (KUA) dan bisa beralih untuk melaksanakan pernikahanya secara sirri karena dipandang lebih murah, padahal sudah dapat diketahui resikonya jika sebuah pasangan melangsungkan pernikahan secara sirri, maka pernikahan mereka selain tidak di akui oleh negara, juga mengakibatkan kerancuan hukum.

Penulis mengamati tingginnya biaya proses administrasi pencatatan pernikahan di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Bumijawa amat sangat membebani warga desa masyarakat khususnya di daerah pedesaan Kecamatan Bumijawa yang notabenya sebesar 80% masyarakat di Kecamatan Bumijawa bermata pencaharian seorang buruh petani dan buruh di perkebunan pemetik daun teh. Sebagian masyarakat yang tingkat pekerjaanya sebagai buruh kehidupanya pas-pasan dan amat sangat keberatan dengan tarif biaya administrasi pencatatan pernikahan yang sangat mahal.

Melalui berbagai wawancara yang penulis lakukan yang kebetulan penulis berdomisili tepatnya di desa Sokatengah Krajan Kecamatan Bumijawa terhadap masyarakat khususnya pada daerah pedesaan Kecamatan Bumijawa. Bahwa dengan adanya biaya administrasi pencatatan pernikahan yang mahal seakan masyarakat dihadapkan pada masalah yang cukup rumit yang terjadi sehingga


(21)

berdampak pada pernikahan yang tidak dicatatkan seperti pernikahan sirri dan pernikahan dibawah tangan.

Berdasarkan uraian di atas, penulis membatasi skripsi ini dengan mengkaji mengapa biaya administrasi pencatatan pernikahan di Kantor Urusan Agama Kecamatan bumijawa sangat mahal. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa di daerah pedesaan khususnya di Kecamatan Bumijawa yang mayoritas warganya bekerja sebagai buruh petani, buruh di perkebunan sayuran dan buruh di perkebunan sebagai pemetik daun teh biaya administrasi pencatatan pernikahan sangat mahal dan membebani masyarakat. Agar lebih terarah materi yang akan penulis paparkan, maka dalam skripsi ini penulis merumuskan dengan judul,

“Faktor Penyebab Biaya Administrasi Pencatatan Pernikahan Menjadi Tinggi (Studi Pada Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Bumijawa Kabupaten Tegal Tahun 2009-2013 )”.

B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah a. Identifikasi Masalah

Pencatatan perkawinan adalah kegiatan menulis yang dilakukan oleh seseorang mengenai suatu peristiwa yang terjadi.16 Menurut undang-undang perkawinan No. 1 tahun 1974 pada pasal 2, bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut masing-masing agama dan kepercayaan itu.

Undang Undang perkawinan No. 1 tahun 1974 pasal 2 ayat (2) menentukan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan

16


(22)

undangan yang berlaku.17Walaupun demikian, pencatatan bukanlah sesuatu hal yang menentukan sah atau tidak sahnya suatu perkawinan. Perkawinan adalah sah jika telah dilakukan menurut ketentuan agamanya masing-masing, walaupun tidak atau belum didaftar. Dalam Surat Keputusan Mahkamah Islam Tinggi, pada tahun 1953 No. 23/19 menegaskan bahwa bila rukun nikah telah lengkap, tetapi tidak didaftar, maka nikah tersebut adalah sah, sedangkan yang bersangkutan dikenakan denda karena tidak didaftarkanya nikah tersebut.18

Menurut pasal 11 bahwa perkawinan dianggap telah tercatat secara resmi apabila akta perkawinan telah ditandatangani oleh kedua mempelai, dua orang saksi, pegawai pencatat dan khusus untuk yang beragama Islam, juga wali nikah atau yang mewakilinya.19Sedangkan sahnya perkawinan menurut UU No. 1 tahun 1974 pasal 2 berbunyi bahwa: Pertama, perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu. Kedua, tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku20. Adapun Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban dalam masyarakat.21

17

Djoko Prakoso dan I Ketu Murtika, Azas-azas Hukum Perkawinan di Indonesia, h. 22. 18

Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia Berlaku Bagi Umat Islam, (Jakarta: UI Press, 1986), Cet., Ke-5. h. 71.

19

K Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1978), Cet., Ke-5. h. 20.

20

Djoko Prakoso dan I Ketu Murtika, Azas-azas Hukum Perkawinan di Indonesia, Ke-1. h. 20.

21


(23)

Dalam pembentukan administrasi pencatatan perkawinan yang sesuai dengan peraturan dan kenyataanya tidaklah mudah. Untuk melaksanakan pencatatan, pasal 2 peraturan pelaksanaan menyatakan bahwa bagi yang bragama Islam dilakukan oleh pegawai pencatat sebagai dimaksud dalam undang-undang nomor 32 tahun 1954 tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk, sedangkan bagi mereka yang tidak beragama Islam, dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan pada kantor catatan sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan.22

Kantor Urusan Agama (KUA) merupakan lembaga pemerintah yang diberi kewenangan dan tugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat terkait dengan masalah-masalah keagamaan. Lembaga ini diselenggarakan di setiap kecamatan di Indonesia.23

Adapun tugas pokok Kantor Urusan Agama (KUA) adalah menyelenggarakan statistik dan dokumentasi, menyelenggarakan surat menyurat, pengurusan surat, kearsipan, rumah tangga Kantor Urusan Agama Kecamatan, melaksanakan pencatatan nikah dan rujuk. Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya kepala Kantor Urusan Agama kecamatan Bumijawa dibantu oleh staf penghulu atau pelaksana tata usaha, keuangan, administrasi nikah dan rujuk, administrasi pernikahan dan badan penasehat pembinaan pelestarian perkawinan (BP4).

22

K Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, h. 17. 23

Alimin dan Euis Nurlaelawati, Potret Administrasi Perkawinan di Indonesia, (Ciputat: Ornit Publishing, 2013), Cet., Ke-1. h. 40.


(24)

b. Pembatasan Masalah

Agar dalam penelitian ini tidak menyimpang dari judul yang telah dibuat, maka penulis perlu melakukan pembatasan ini untuk mempermudah permasalahan dan mempersempit ruang lingkup yang dalam hal ini penulis akan membahas Tingginya Biaya Administrasi Pencatatan Pernikahan (Studi Pada Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Bumijawa Kabupaten Tegal Tahun 2009-2013).

C. Rumusan Masalah

Menurut Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2004 tentang tarif atas penerimaan negara bukan pajak yang berlaku di Kementrian Agama disebutkan bahwa biaya nikah Rp 30.000,00. Tetapi pada praktiknya biaya tersebut lebih besar dari biaya yang telah ditetapkan oleh pemerintah sebagaimana yang terjadi di Kantor Urusan Agama Kecamatan Bumijawa. Bahkan pernikahan yang dilaksanakan di Kantor Urusan Agama Kecamatan Bumijawa dikenai tarif biaya administrasi pencatatan pernikahan lebih besar dari biaya yang sebenarnya.

Berdasarkan rumusan tersebut di atas penulis rinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:

1. Mengapa biaya administrasi pencatatan pernikahan di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Bumijawa tinggi?

2. Apa faktor yang menyebabkan tingginya pencatatan pernikahan di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Bumijawa?

3. Apakah sosialisasi biaya administrasi pencatatan pernikahan Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Bumijawa terhadap masyarakat Kecamatan Bumijawa telah di lakukan?


(25)

D. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan latar belakang masalah dan rumusan yang telah disebutkan di atas maka tujuan sebuah penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui Mengapa biaya administrasi pencatatan pernikahan di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Bumijawa tinggi.

2. Untuk mengetahui apa faktor yang menyebabkan tingginya pencatatan pernikahan di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Bumijawa. 3. Untuk mengetahui apakah sosialisasi biaya administrasi pencatatan

pernikahan Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Bumijawa terhadap masyarakat Kecamatan Bumijawa telah di lakukan.

E. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi kontribusi pemikiran bagi kalangan masyarakat Islam terkait dengan Administrasi Pencatatan Pernikahan yang terjadi di Kantor Urusan Agama Kecamatan Bumijawa.

Adapun manfaat penelitian dalam pelaksanaan penelitian ini adalah: a. Bagi Kalangan KUA

Untuk memenuhi kewajiban dan tuntutan sebagai pelaksana bimbingan dan penyuluhan serta memberikan bimbingan konsultasi hukum kepada masyarakat terkait dengan Adimistrasi Pencatatan Perkawinan. b. Bagi Kalangan Akademisi

Penelitian ini diharapkan bermanfaat menambah wawasan dan pengtahuan dalam ilmu.


(26)

d. Bagi masyarakat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih pemikiran yang bermanfaat dalam praktik adminstrasi pencatatan pernikahan yang terjadi di masyarakat.

e. Bagi Pemerintah

Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan pemerintah dan menentukan kebijakan yang berkaitan dengan permasalahan Administrasi Pencatatan Pernikahan.

f. Bagi Peneliti

Dapat menambah pengetahuan dan wawasan sehingga dapat dilakukan penelitian lanjutan.

F. Metode Penelitian

Penelitian berhubungan dengan usaha untuk mengetahui sesuatu yang dipahami sebagai ilmu tentang metode penelitian. Metode sendiri berarti tata cara, yang di dalam penelitian meliputi, antara lain, tata cara atau prosedur untuk memilih topik dan judul penelitian, melakukan identifikasi dan merumuskan masalah pokok penelitian, pengumpulan, pengolahan, dan analisis data, pembahasan hasil analisis data, serta tata cara atau prosedur untuk melakukan penelitian, pelaksanaan penelitian, pembuatan dan penyampaian laporan hasil penelitian.24

24

Tommy Hendra Purwaka, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Atmajaya, 2007), h 8.


(27)

Tujuan suatu penelitian adalah untuk memecahkan atau menemukan jawaban terhadap suatu masalah25. Suatu tujuan penelitian harus dinyatakan dengan jelas dan ringkas. Tujuan penelitian seyogyanya dirumuskan sebagai kalimat pertanyaan yang konkret dan jelas tentang apa yang akan diuji.26

Untuk penelitian skripsi ini, penulis menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan deduktif analisis, yakni suatu metode dalam penelitian sekelompok manusia, suatu objek, suatu kondisi, suatu pemikiran pada masa sekarang27. Tujuan dari deskripsi ini adalah untuk membuat gambaran secara sistematis, faktual dan akurat tentang fenomena yang diselidiki.

1. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, maka teknik yang digunakan dalam mengumpulkan data adalah wawancara. Adapun Jenis wawancara yang digunakan adalah wawancara bebas, Hal tersebut agar dalam penelitian didapatkan hasil yang alami dan mendalam, tetapi tetap memakai pedoman sebagai petunjuk wawancara untuk menjadikan wawancara lebih teratur dan terarah. Wawancara dilakukan agar penelitian ini mendapatkan data yang benar-benar akurat dan dapat dipertanggungjawabkan.

Adapun teknik pengumpulan data yang penulis gunakan adalah sebagai berikut:

25

Syamsir Syam dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Sosial (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), h. 132.

26

Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), h. 109.

27


(28)

1. Penelitian kepustakaan yaitu dengan membaca literatur-literatur yang ada di perpustakaan yang ada hubunganya dengan pencatatan pernikahan. 2. Penelitian lapangan, peneliti langsung terjun ke lapangan untuk

memperoleh data-data yang berkaitan dengan pokok permasalahan. Adapun data-data lapangan diperoleh melalui wawancara dilakukan dengan pihak Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Bumijawa diantaranya adalah Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Bumijawa, Penghulu, Pegawai Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Bumijawa dan warga masyarakat khususnya pada daerah pedesaan Kecamatan Bumijawa yang bersangkutan. Dengan metode wawancara ini diharapkan penulis dapat mengetahui secara mendalam prosedur ataupun birokrasi suatu pencatatan pernikahan yang berlaku pada Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Bumijawa.

Selain itu, pada penelitian ini penulis juga menggunakan teknik studi dokumenter dan studi pustaka untuk mendapatkan data yang lebih lengkap. Teknik ini sangat penting dilakukan, karena beberapa bahan materi terdapat dalam dokumen, jurnal ataupun buku-buku yang terkait dengan penulisan skripsi.

2. Jenis dan Instrumen Pengumpulan Data

Terkait dengan penelitian ini menggunakan metode dan pendekatan kualitatif, maka data yang digunakan adalah wawancara. Data kualitatif memerlukan data-data yang diperoleh dari hasil wawancara lapangan kepada pihak-pihak yang terkait dengan permasalahan yang sudah ditentukan, data yang diperoleh dari hasil wawancara, serta data statistik pencatatan pernikahan di


(29)

Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Bumijawa yang merupakan data primer yang nantinya diolah dan dianalisa secara deskriptif. Dalam metode wawancara ini maka instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah sebagai berikut:

a. Pedoman Wawancara, yaitu berlaku sebagai pegangan peneliti dalam melakukan proses wawancara agar tidak menyimpang dari tujuan penelitian.

b. Alat Perekam, yaitu, dengan alat peneliti ini akan mudah melakukan wawancara, hasil rekaman tersebut dianalisis secara deskriptif.

Kemudian terkait dengan data primer, data skunder yang diperoleh dari buku, dokumen, arsip atau jurnal, yang kesemuanya adalah sebagai pelengkap dalam suatu landasan teoritis.

3. Analisis Data

Setelah seluruhnya data yang diperoleh dari hasil wawancara, maka data tersebut akan dianalisa secara konten analogis, yang mana seluruh hasil wawancara itu akan dianalisa dan disimpulkan sehingga jawaban dalam penelitian ini dapat diketahui. Konten analogis, merupakan teknik penelitian untuk membuat inferensi yang dapat ditiru dan sahih data yang memperhatikan konteksnya dan analisa seperti ini berhubungan erat dengan komunikasi atau isi komunikasi.

Data yang telah diperoleh dari buku-buku, artikel-artikel, maupun tulisan karya ilmiah kemudian diklasifikasikan untuk dimasukan ke masing-masing variabel dan kemudian diinterpretasikan. Begitu pula data yang diperoleh dari


(30)

hasil lapangan maka setiap poin pertanyaan dan jawaban dari wawancara dimasukan kevariabel yang tepat untuk dapat diinterpretasikan.

4. Teknik Penulisan Skripsi

Dalam penulisan skripsi ini, penulis berpedoman pada buku pedoman skripsi fakultas Syariah dan hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.28

G. Review Studi Terdahulu

Dalam review studi terdahulu penulis meringkas skripsi yang ada kaitanya dengan pencatatan administrsi nikah diataranya adalah:

No Identitas Penulis Judul Perbedaan

1 Nurria Ningsih Pencatatan Perkawinan

Menurut UU No. 1 Tahun 1974 dan relevansinya

dengan keadaan

masyarakat

Penelitian ini tidak hanya dilakukan pada masyarakat

2 A. Syaadzali Mahalnya Biaya

Pernikahan sebagai pemicu Nikah di Bawah Tangan (Studi kasus di KUA kec. Benda tangerang).

skripsi ini mengulas

mahalnya biaya

pernikahan sebagai faktor seseorang melakukan nikah di bawah tangan.

28

Fakultas Syariah dan Hukum, Buku Pedoman Penulisan Skripsi, (Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum, 2007), Cet., Ke-1.


(31)

3 Salman al-Farouqi Efektifitas Pelaksanaan KMA No. 477 Tahun 2004 tentang pencatatan nikah

Dalam melakukan penelitian tidak hanya berpedoman pada KMA N0. 477 Tahun 2004

4 Teguh Pribadi Tinjauan Yuridis Tehadap Pencatatan Perkawinan (Studi KUA malingping, Banten)

Menyoroti

bagaimana KUA

memandang pentingnya pelaksanaan pencatatan perkawinan.

5 Asyhari Pandangan Tokoh

Masyarkat kecamatan

paciran terhadap pencatatn perkawinan

Tidak hanya meneliti

dari pandangan

tokoh masyarakat tetapi juga dari berbagai pihak yang dalam dimasyarakat. 6 Isti Astuti Safitri Evektifitas Pencatatan

Perkawinan pada KUA Kecamatan Bekasi Utara

Tidak hanya

menyoroti Efektifitas pencatatan saja tetapi juga dari berbagai pihak yang


(32)

dalam Kantor

Urusan Agama

maupun dimasyarakat. 7 Siti Nurhairunisa

Adini

Urgenitas Pelaksanaan Pencatatan Nikah (Studi Kasus KUA Kecamatan Larangan)

Tidak hanya

menyoroti hambatan dari pelaksanaan pencatatan nikah

tetapi juga

menyoroti

dampak-dampak dari

perkawinan yang tidak di catatkan

8 Ima Mayasari Akibat Hukum Perkawinan

Yang tidak di catat di

KUA. (Studi kasus

perkawinan di bawah tangan di kec. Diwek. Kab. Jombang)

Hanya meneliti

akibat hukum yang akan di dapat apabila perkawinan tidak di catat di KUA.

H. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini, untuk lebih mudah memahami isi skripsi, maka penulis membagi isi skripsi ini ke dalam lima bab, tiap bab yang di


(33)

dalamnya terdiri dari beberapa sub bab. Adapun sistematika penulisanya adalah sebagai berikut:

BAB I: PENDAHULUAN

Merupakan bab pendahuluan yang memuat latar belakang masalah, identifikasi, pembatasan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, metode penelitian, review studi terdahulu dan sistematika penulisan.

BAB II: ATURAN PERNIKAHAN DAN PENCATATAN

Dalam bab ini menerangkan pengertian pernikahan, rukun dan syarat pernikahan, Pencatatan Pernikahan, Lembaga administrasi pencatatan pernikahan serta Biaya pencatatan pernikahan menurut undang-undang.

BAB III: KANTOR URUSAN AGAMA DI WILAYAH KECAMATAN BUMIJAWA

Dalam bab ini menerangkan geografis wilayah Kantor Urusan Agama, kedudukan kantor urusan agama, tugas dan wewenang kantor urusan agama, struktur organisasi kantor urusan agama dan biaya administarasi pencatatan pernikahan di Kantor Urusan Agama Kecamatan Bumijawa. .

BAB IV: ANALISA BIAYA PENCATATAN PERNIKAHAN

Dalam bab ini menerangkan tingginya biaya administrasi pencatatan pernikahan, apa faktor yang mengakibatkan tingginya biaya, dan sosialisasi biaya Kantor Urusan Agama pada masyarakat.


(34)

BAB V: PENUTUP

Merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran terkait kajian yang dimaksud dari awal sampai akhir pembahasan serta lampiran-lampiran.


(35)

23

A. Pengertian Pernikahan

Pernikahan merupakan sunnatullah yang umum dan berlaku bagi semua makhluk-Nya, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. Ia adalah suatu cara yang dipilih oleh Allah Swt., sebagai jalan bagi makhluk-Nya untuk berkembang biak, dan melestarikan hidupnya.1

Kata “pernikahan” berasal dari kata “Nikah” atau “Zawaj” yang dari

bahasa arab dilihat secara bahasa berarti berkumpul dan mendidih atau dengan

ungkapan lain bermakna “Akad dan bersetubuh” yang secara syarat berarti akad pernikahan.

Akad nikah yang telah dilakukan akan memberikan status kepemilikan bagi kedua belah pihak (suami-istri), dimana status kepemilikan akibat akad tersebut bagi si lelaki (suami) berhak memperoleh kenikmatan biologis dan segala yang terkait itu secara sendirian tanpa dicampuri atau diikuti oleh lainya dengan

ilmu fiqih disebut “milku al-intifa” yakni hak memiliki penggunaan atau pemakaian terhadap suatu benda (istri), yang digunakan untuk dirinya sendiri.2

Nikah (kawin) menurut arti asli ialah hubungan seksual tatapi menurut arti majazi (mathaporic) atau arti hukum ialah aqad (perjanjian) yang menjadikan

1

Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009), h. 6.

2

Ahmad Sudirman Abas. Pengantar Pernikahan: Analisis Perbandingan antar Mazhab (Jakarta: PT Prima Heza Lestari, 2006), h. 1.


(36)

halal hubungan seksual sebagai suami istri antara seorang pria dengan seorang wanita.3

Secara etimologis perkawinan dalam bahasa Arab berarti nikah atau zawaj. Kedua kata ini yang terpakai dalam kehidupan sehari-hari orang Arab dan banyak terdapat dalam Al-Qur’an dan hadits Nabi. Al-Nikah mempunyai arti Al-Wath’i, Al-Dhommu, Al-Tadakhul, al-Jam’u atau ibarat ‘an al-wath wa al-aqd yang berarti bersetubuh, hubungan badan, berkumpul, jima; dan akad.

Secara terminologis perkawinan yaitu akad yang membolehkan terjadinya

istimta’ (persetubuhan) dengan seorang wanita, selama seorang wanita tersebut

bukan dengan wanita yang diharamkan baik dengan sebab keturunan atau sebab susuan.4

Nikah menurut Islam adalah nikah yang sesuai dengan ketentuan ditetapkan Allah S.w.t. secara lengkap dengan rukun dan syaratnya, tidak ada penghalang yang menghalangi keabsahanya, tidak ada unsur penipuan dari kedua belah pihak baik suami maupun isteri atau salah satunya, serta niat kedua mempelai sejalan dengan tuntunan syariat Islam.5

Apabila ditinjau dari segi hukum Islam bahwa pernikahan atau perkawinan adalah suatu akad suci dan lurus antara laki-laki dan perempuan yang menjadi sebab sahnya status sebagai suami isteri dan dihalalkannya hubungan seksual

3

M. Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Dari Segi Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Ind Hillco, 1990), Cet., Ke-2. h. 1.

4

Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011), h. 4.

5

Shaleh bin Abdul Aziz, Nikah Dengan Niat Talak?, (Surabaya: Pustaka Progresif, 2004), Cet., Ke-1. h. 7.


(37)

dengan tujuan mencapai keluarga sakinah, penuh kasih sayang, kebaikan dan saling menyantuni. Di dalam hukum Islam perkawinan memiliki dalil naqli yaitu:

               

Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi. (Qs-Annisa ayat [3]).6

Dalam bahasa indonesia kata perkawinan berasal dari kata “kawin” yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh.7Perkawinan mengandung arti perihal (urusan dan sebagainya) kawin, pernikahan, pertemuan hewan jantan dan betina secara seksual.8Dalam Al-Qur’an dan hadits Rasulullah SAW, pernikahan disebut dengan An-Nikah dan Az-Ziwaj az-zawaj, yang artinya berkumpul atau menindas dan saling memasukan. Kata Nikah yang terdapat dalam surat Al-Baqarah (2) ayat : 230, yang berbunyi:

                   6

A. Munir dan Sudarsono, Dasar-Dasar Agama Islam, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2013), Cet., Ke-3. h. 261-262.

7

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Nikah, (Jakarta: PT Ictiar Baru Van Hoeve, 1994), Cet., Ke-2. h. 32.

8

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), Cet., Ke-3. h. 518.


(38)

Artinya: Maka jika suami menolaknya (sesudah talak dua kali), maka perempuan tidak boleh dinikahinya hingga perempuan itu kawin dengan laki-laki lain. (Qs. Al-Baqarah [2] : 230).9

           

Artinya: Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengigat akan kebesaran Allah. (Qs Al-Dzariyat [51] : 49).10

Ketentuan-ketentuan ini telah dituangkan di dalam firman Allah Swt antara lain berbunyi:

                     

Artinya: Dan dialah Tuhan yang membentangkan bumi dan menjadikan gunung-gunung dan sungai-sungai padanya. dan menjadikan padanya semua buah-buahan berpasang-pasangan. (Qs. Ar-Ra’ad : [3]).11

Allah berfirman dalam kitab-Nya:

                           9

Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Prenada Mulia, 2007), Cet., Ke-2. h. 36.

10

Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, h. 9. 11

Abdul Qadir Djaelani, Keluarga Sakinah, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1995), Cet., Ke-1. h. 41.


(39)

Artinya: Dan kawinilah orang yang sendirian diantara kamu dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang elaki dan hamba-hamba sahayamuyang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan mampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (Qs. Al-Nuur: [32]).12

Arti Nikah menurut para Ahli Ushul, sebagai berikut: a. Ulama Syafi’iyah, berpendapat:

Kata nikah, menurut arti sebenarnya (hakiki) berarti “akad”, dan dalam

arti tidak sebenarnya (majazi) arti nikah berarti “bersetubuh” dengan

lawan jenis.

b. Ulama Hanafiyah, berpendapat:

Kata nikah, menurut arti sebenarnya (hakiki) berarti “bersetubuh”, dan

dalam arti tidak sebenarnya (majazi) arti nikah berarti “akad” yang menghalalkan hubungan kelamin antara pria dan wanita. Pendapat ini

sebaliknya dari pendapat ulama syafi’iyah.

c. Ulama Hanabilah, Abu Qasim al-Zajjad, Imam Yahya, Ibnu Hazm, berpendapat: bahwa kata nikah untuk dua kemungkinan tersebut yang disebutkan dalam arti sebenarnya sebagaimana terdapat dalam kedua pendapat di atas yang disebutkan sebelumnya, mengandung dua unsur sekaligus,13yaitu kata nikah sebagai “Akad” dan “Bersetubuh”.14

12

Mona Eliza, Pelanggaran Terhadap UU Perkawinan dan Akibat Hukumnya, (Ciputat: Adelina Bersaudara, 2009), Cet., Ke-1. h. 11-12.

13


(40)

Adapun menurut Ahli Fiqh, nikah pada hakikatnya adalah akad yang diatur oleh agama untuk memberikan kepada pria hak memiliki dan menikmati faraj dan atau seluruh tubuh wanita itu dan membentuk rumah tangga.15

Menurut para sarjan hukum ada beberapa pengertian perkawinan, sebagai berikut:

a. Scholten yang dikutip oleh R. Soetojo Prawiro Hamidjojo mengemukakan: Arti perkawinan adalah hubungan suatu hukum antara seorang pria dan seorang wanita untuk hidup bersma dengan kekal yang diakui oleh negara.

b. Subekti, mengemukakan: Arti perkawinan adalah suatu pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama.

c. Wirjono Prodjodikoro, mengemukakan: Arti perkawinan adalah suatu hidup bersama dari seorang laki-laki dan seorang perempuan yang memenuhi syarat-syarat yang termasuk dalam perturan tersebut baik agama maupun aturan Hukum negara.16

Dari pengertian perkawinan diatas, dapat disimpulkan beberapa unsur-unsur dari suatu perkawinan yaitu sebagai berikut:

a. Adanya suatu hubungan hukum;

14

Chuzaimah Tahido yango dan Hafiz Anshary, Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: LSIK, 1994), Cet., Ke-1. h. 53.

15

Chuzaimah Tahido yango dan Hafiz Anshary, Problematika Hukum Islam Kontemporer, h. 54.

16

Eoh, O.S., Perkawinan Antar Agama Dalam Teori dan Praktek, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), Cet., Ke-2. h. 27-28.


(41)

b. Adanya seorang pria dan wanita;

c. Untuk membentuk keluarga (rumah tangga);

d. Dilakukan menurut undang-undang dan menurut hukum yang beraku. Abu Yahya Zakariya Al-Anshary, memberikan arti “Nikah” menurut istilah syara ialah akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan seksual dengan lafadz nikah atau dengan kata-kata yang semakna denganya.17

Dalam Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974 Bab I Pasal 1 disebutkan

bahwa: “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.18

Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), seperti yang terdapat pada pasal dinyatakan bahwa perkawinan dalam hukum Islam adalah akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakanya merupakan ibadah.19Dan dijelaskan pula dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) tujuan perkawinan adalah untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.20

17

Abu Yahya Zakariya Al-Anshary, Fath al-Wahhab, (Singapura: Su Laiman Mar’iy, T.,t.p), h. 30.

18

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdatata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No 1 Tahun 1974 Sampai KHI, (Jakarta: Prenada Media Group, 2004), Cet., Ke-3. h. 43. Lihat juga, Djoko Prakoso dan I ketut Murtika, Azaz-azaz Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), Cet., Ke-1. h. 3.

19

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Prkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No 1 Tahun 1974 Sampai KHI, h. 43.

20

Depag RI, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Depag RI, 2004), h. 128.


(42)

Sedangkan pernikahan didefinisikan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri, dengan tujuan untuk membentuk keluarga sakinah (rumah tangga) yang bahagia dan kekal.21

B. Rukun dan Syarat Pernikahan

Syarat sah dan tidaknya suatu perkawinan ditentukan oleh terpenuhinya atau tidak semua rukun dan syarat perkawinan. Syarat dan rukun dalam sebuah hukum fikih merupakan hasil ijtihad ulama yang diformulasikan dari dalil-dalil (nash) serta kondisi objektif masyarakat setempat.

Rukun berasal dari kata (rakana, yarkunu, ruknan, rukunan yang artinya tiang, sandaran, atau unsur). Yaitu suatu unsur yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari suatu perbuatan atau lembaga yang menentukan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dan ada atau tidak adanya sesuatu tersebut.22

Syarat yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkain pekerjaan itu, seperti menutup aurat untuk shalat atau menurut Islam calon pengantin laki-laki atau perempuan itu harus beragama Islam. Sah yaitu sesuatu pekerjaan (ibadah) yang memenuhi rukun dan syarat.23

Dalam Islam pernikahan tidaklah semata-mata sebagai hubungan atau kontrak keperdataan biasa, akan tetapi mempunyai nilai ibadah dan dalam

21Ma’ruf Amin,

Fatwa-Fatwa masalah Pernikahan dan Keluarga, (Jakarta: Elsas, 2008), h. 3.

22

Dahlan Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ikrar Mandiri Abadi, 2000), Cet., Ke-4. h. 1510.

23

Chuzaimah Tahido yango dan Hafiz Anshary, Problematika Hukum Islam Kontemporer, h. 12.


(43)

Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 ditegaskan bahwa pernikahan merupakan akad yang sangat kuat, hal tersebut dilakuakan untuk mentaati perintah Allah Swt, dan dengan melaksanakanya merupakan suatu nilai ibadah kepada Allah Swt.24

Para ulama berbeda pandangan tentang penentuan rukun dan syarat nikah. Menurut Hanafiyah, rukun nikah hanya terdiri dari ijab dan kabul saja. Bagi

Syafi’iyah, rukun perkawinan terdiri dari calon suami isteri, wali, dua orang saksi,

dan sighat (ijab kabul). Sedangkan menurut Malikiyah berpendapat bahwa yang termasuk rukun nikah adalah wali, mahar calon suami isteri dan sighat.

Sementara yang dipakai oleh penduduk Indonesia yang mayoritas penduduk

mazhab Syafi’i. Yang menjadi rukun Perkawinan bagi Imam Syafi’i, menurut Peunoh Daly dan Ahmad Rofiq ada lima.25

Dan dalam Bab IV diatur tentang rukun dan syarat Perkawinan sekalipun tidak tegas pembedaanya satu dengan yang lain. Pasal 14 menyebutkan apa yang biasa dalam kitab fiqh disebut dengan rukun nikah. dikatakan bahwa untuk melaksanakan Perkawinan harus ada.26

a. Calon Suami.

Dengan syarat: hendaklah calon suami bukanlah mahrom bagi calon isteri, calon suami haruslah ditentukan orangnya secara jelas dan

24

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, h. 69. 25

Yayan Sopyan, Islam Negara Tranformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum Nasional, h. 125.

26

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, h. 69. Lihat Juga Luthfi Surkalam, Kawin Kontrak Dalam Hukum Nasional Kita, (Pamulang: CV Pamulang, 2005), Cet., Ke-1. h. 5.


(44)

calon suami dalam keadaan boleh dikawin, artinya tidak dalam keadaan ihram haji atau umrah.

b. Calon Isteri.

Dengan syarat: Tidak terdapatnya hal-hal yang dapat menghalangi Perkawinan terhadap calon istri berkaitan dengan halangan Perkawinan yang bersifat selamanya maupun temporer dan calon istri masih dalam peminangan orang lain, calon istri haruslah ditentukan orangnya secara jelas dan calon istri tidak dalam keadaan ihrom haji dan umrah.

Pada Kompilasi Hukum Islam, syarat-syarat yang berkaitan dengan calon mempelai (suami-isteri) diatur pada pasal 15 hingga 18. Pada pasal 15 nya, ada syarat tambahan mengenai calon suami, yakni minimal 19 tahun, sedangkan calon isteri minimal 19 tahun. Sedangkan pada pasal 16 dan 17 mensyaratkan adanya persetujuan dari kedua belah pihak untuk berlangsungnya Perkawinan.27

c. Wali Nikah.

Dengan syarat: Beragama Islam, baligh, berakal, tidak terganggu pendengaranya, bukan orang yang sedang pailit, tidak dalam keadaan haji dan umrah.

d. Dua Orang Saksi.

Dengan syarat: Muslim, balig, berakal, merdeka, laki-laki, adil, Pendengaran dan penglihatanya sempurna, Memahami bahasa yang

27

Luthfi Surkalam, Kawin Kontrak Dalam Hukum Nasional Kita, (Pamulang: CV Pamulang, 2005), Cet., Ke-1. h. 5.


(45)

diucapkan ijab qabul, Tidak sedang mengerjakan ihram haji atau umrah.28

e. Ijab dan Kabul.

Lafadz ijab dan kabul yang merupakan ikrar yang menyatakan kerelaan dan keinginan dari masing-masing dalam ikatan rumah tangga. Syarat-syarat Ijab dan kabul: adanya pernyataan mengawinkan dari wali, adanya pernyataan mengawinkan dari suami, memakai kata-kata nikah tazwij atau terjemahan dari kedua kata tersebut, antara Ijab dan kabul bersambung jelas maksudnya, orang yang berkaitan dengan Ijab kabul tidak dalam Ihram, haji, umrah dan majelis Ijab kabul itu harus dihadiri minimal 4 orang calon suami atau wakilnya, wali dan dua orang saksi.29

Kaitanya pada bidang Perkawinan adalah bahwa rukun perkawinan merupakan sebagian dari hakikat Perkawinan, seperti keharusan atau kewajiban ada kedua calon mempelai baik laki-laki dan perempuan, wali, ijab-kabul serta dua orang saksi.30

Dalam melangsungkan dan mengurus adminstrasi pernikahan di Kantor Urusan Agama mengacu kepada aturan hukum yakni berdasarkan Undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang pelaksanaan Peradilan Agama ayat (4), dan hal-hal yang

28 Asrorun Ni’an Sholeh,

Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, (Jakarta: Elsas, 2008), Cet., Ke-2. h. 31-32.

29

Yayan Sopyan, Islam Negara Tranformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum Nasional, h. 126.

30

Slamet Abidin dan Aminudin, Fiqh Munakahat, (Jakarta: CV. Pustaka Setia, 1999), h. 24.


(46)

berkenaan dengan perkawinan dapat diatur di Peradilan Agama pada pasal 1 ayat (1) yang menegaskan bahwa Peradilan Agama adalah Peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam.31

Pada tanggal 2 Januari 1974 telah disahkan oleh presiden R.I. suatu Undang-undang Perkawinan Nasional, yaitu Undang-undang No. 1 tahun 1974 dengan peraturan pelaksanaanya PP. I No. 9 tahun 1975. Maka terhadap segenap warga negara Indonesia yang ingin melangsungkan suatu Perkawinan berlakulah Perkawinan yang telah diatur dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 dengan pelaksanaanya PP. No. 9 tahun 1975.32

Setelah ditetapkanya Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, maka dasar berlakunya hukum Islam di bidang Perkawinan, talak dan rujuk tentulah Undang-undang No. 1 tahun 1974, ini terutama pasal 2 ayat (1) dan pasal 2 ayat (2) yang menetapkan sebagai berikut:

Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu. Tiap-tiap Perkawinan dicatat menurut peraturan-peraturan, perundang-undangan yang berlaku.33

Sahnya suatu Perkawinan itu ditetapkan oleh ketentuan agama dan kepercayaan mereka yang melakukan Perkawinan, berarti apabila suatu Perkawinan yang dilakuakan bertentangan dengan ketentuan agama dan

31

Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia: Gemuruhnya Politik Hukum (Hukum Islam, Hukum Barat dan Hukum Adat), (Jakarta: Kencana, 2006), Cet., Ke-1. h. 185.

32

Djoko Prakoso dan I ketut Murtika, Azaz-azaz Hukum Perkawinan di Indonesia,h. 15. 33

M. Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Dari Segi Hukum Perkawinan Islam, h. 48-49.


(47)

kepercayaanya, dengan sendirinya menurut hukum Perkawinan belum sah dan tidak mampunyai akibat hukum sebagai ikatan perkawinan.34

Adapun syarat merupakan sesuatu hal yang mesti harus dijalani dalam Perkawinan. apabila syarat tidak dipenuhi maka bisa menimbulkan pencegahan terhadap Perkawinan, yakni keterangan terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 60 ayat 1 yaitu pencegahan Perkawinan bertujuan untuk menghindari suatu Perkawinan yang dilarang hukum Islam dan peraturan perundang-undangan. Dan pada ayat 2 yaitu pencegahan Perkawinan dapat dilakukan bila calon suami atau isteri yang akan melangsungkan Perkawinan tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan Perkawinan menurut hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan.35

Menurut ulama Hanafi’yah, mengatakan bahwa sebagian syarat-syarat pernikahan yakni berkaitan atau berhubungan dengan:

a. Akad, serta sebagian yang lainya berkaitan dengan saksi.36

1. Shihot, yaitu ibarat Ijab qabul, dengan syarat sebagai berikut:

a. Menggunakan lafad tertentu, baik dalam lafaz sarih. Misalnya

Tazwij atau Nikah.

b. Ijab-qabul dilakuakan didalam satu majelis;

c. Sighat didengar oleh orang-orang yang menyaksikan; d. Ijab-qabul tidak berbeda maksud dan tujuan;

34

Djoko Prakoso dan I ketut Murtika, Azaz-azaz Hukum Perkawinan di Indonesia, h. 20. 35

Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam: Hukum Perkawina: Hukum Kewarisan, Hukum Perwakafan, (Bandung: Nuansa Aulia, 2008), h. 19.

36


(48)

e. Lafaz sighat tidak disebutkan untuk waktu tertentu.

2. Akad, dapat dilaksanakan dengan syarat-syarat apabila kedua calon pengantin berakal, baligh dan merdeka.

3. Saksi, harus terdiri atas dua orang. Maka tidak sah apabila akad nikah hanya disaksikan oleh satu orang saksi. Dan syarat-syaratnya dalah:

a. Berakal; b. Baligh; c. Merdeka; d. Islam;

e. Kedua orang saksi mendengar.37

b. Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan syarat-syarat perkawinan disebutkan dalam pasal 6 sebagai berikut:

1. Perkawinan harus didasarkan pada persetujuan kedua calon mempelai. 2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur

21 tahun harus mendapat ijin orang tua.

3. Dalam hal orang tua yang telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya maka ijin yang dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.

4. Dalam hal orang tua telah meninggal dunia atu dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka ijin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah

37


(49)

dalam garis keturunan keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.

5. Dalam hal ada perbedaan antara orang-orang yan disebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dalam memberikan ijin setelah leboh dahulu mendengat orang-orang tersebut dalam ayat dan pasal ini.

6. Ketentuan tersebut ayat (1) sampai ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.38

Syarat pernikahan secara global ada lima macam yaitu:

a. Ketentuan adanya masing-masing pasangan. Karena nikah merupakan

aqd yang dilakukan secara timbal balik. b. Keridhaan masing-masing pasangan.

c. Wali. Pernikahan tanpa wali tidak dianggap sah. Sedang syarat wali ada tujuh yaitu: merdeka, laki-laki, adanya kesamaan agama antara wali dengan orang yang di wali, baligh, berakal, adil dan benar.

d. Kesaksian. Pernikahan tidak dapat dilaksanakan kecuali ada dua orang saksi.

e. Masing-masing pasangan terbebas dari larangan untuk melaksanakan pernikahan karena suatu sebab atau karena masih ada keturunan.39

38

Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam: Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Perwakafan, h. 81.


(50)

Rukun dan syarat Perkawinan tersebut di atas wajib dipenuhi, apabila tidak terpenuhi maka Perkawinan yang dilangsungkan tidak sah. Disebutkan dalam Kitab al-Fiqh’ala al-Mazahib al-Arbaah: Nikah Fasid yaitu nikah yang tidak memenuhi syarat-syaratnya, sedang nikah batil adalah nikah yang tidak memenuhi rukunya. Dan hukum nikah fasid dan nikah batil adalah sama yaitu tidak sah.40

C. Pencatatan Pernikahan

Pada mulanya, syariat Islam baik dalam al-Qur’an maupun hadis tidak mengatur secara konkret tentang pencatatan Perkawinan dan akta nikah sebagai alat bukti. Ini berbeda dengan ayat muamalah (mudayanahy) yang dalam situasi tertentu diperintahkan untuk mencatatkannya.41

Pencatatan pernikahan dapat dijadikan sebagai alat bukti yang otentik agar seseorang mendapatkan kepastian hukum. Hal ini sejalan dengan ajaran Islam sebagaimana firman Allah yang termaktub dalam surat Al-Baqarah ayat 282:

              

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah (seperti berjual beli, hutang piutang, atau sewa menyewa dan sebagainya) tidak secara

39

Syaikh Humaidhy bin Abdul Aziz bin Muhammad, Kawin Campur Dalam Syariat Islam, (Jakarta: Pustka Al-Kautsar, 1993), Cet., Ke-3. h. 16.

40

Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, h. 72. 41

Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), Cet., Ke-6. h. 107.


(51)

tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskanya. (Qs.Al- Baqarah : [282]).

Ayat tersebut menjelaskan tentang pencatatan secara tertulis dalam segala bentuk urusan muamalah, seperti perdagangan, hutang piutang dan sebagainya.42

Pencatatan pernikahan adalah pendataan administrasi perkawinan yang ditandatangani oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) dengan tujuan untuk menciptakan ketertiban perkawinan dalam masyarakat, baik pelaksanaan perkawinan berdasarkan hukum Islam maupun perkawinan yang dilaksanakan oleh masyarakat yang tidak berdasarkan hukum Islam.43

Pencatatan pernikahan adalah suatu pencatatan yang dilakukan oleh pejabat negara terhadap peristiwa Perkawinan. Dalam hal ini pegawai pencatat nikah yang melangsungkan pencatatan, ketika akan melangsungkan akad Perkawinan antara calon suami dan calon isteri.44

Pencatatan adalah suatu administrasi negara dalam rangka menciptakan ketertiban dan kesejahteraan warga negaranya. Mencatat artinya memasukan perkawinan itu dalam buku akta nikah kepada masing-masing suami isteri. Kutipan akta nikah itu sebagai bukti otentik yang dilakukan oleh pegawai pencatat nikah, talak dan rujuk. Juga oleh pegawai pencatat perkawinan pada Kantor

42

Happy Susanto, Nikah Sirri Apa Untungnya?, (Jakarta: Visimedia, 2007), h. 57. 43

Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 26. 44


(52)

Catatan Sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-undangan yang berlaku mengenai pencatatan perkawinan.45

Yang dimaksud dengan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) adalah pegawai pencatat Perkawinan dan perceraian pada KUA kecamatan bagi umat Islam dan catatan sipil bagi nonmuslim.46Pencatatan Perkawinan adalah suatu yang dilakukan oleh pejabat Negara terhadap peristiwa Perkawinan.47Dalam Kompilasi Hukum Islam pada pasal 6 ayat 1 mengulangi pengertian pencatatan dimaksud dalam artian setiap Perkawinan “harus” dilangsungkan dihadapan dan dibawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.48

Dengan demikian, maka pengertian pencatatan adalah kegiatan menulis yang dilakukan oleh pejabat atau seseorang yang ditunjuk oleh pemerintah mengenai suatu peristiwa yang terjadi. Sedangkan pengertian Perkawinan dalam Ensiklopedi Indonesia adalah akad yang menghalalkan pergaulan antara seorang laki-laki dan perempuan yang keduanya bukan muhrim dan dilakukan dengan ijab kabul.49

Pencatatan Perkawinan dimulai sejak pemberitahuan kehendak melangsungkan Perkawinan dan berahir sesaat sesudah dilangsungkan

45

Arso Sostroatmodjo dan Awasit Aulawi, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), h. 55-56.

46

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), Cet. Ke-1. h. 14.

47

Muhammad Zain & Mukhtar Alshadiq, Membangun Keluarga Harmonis, h. 36. 48

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: CV. Akademika Presindo, 2007), Cet., Ke-5. h. 68.

49


(53)

Perkawinan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu, yaitu pada saat akta perkawinan selesai ditandatangani oleh kedua mempelai, kedua saksi dan pegawai pencatat yang menghadiri Perkawinan (dan wali nikah bagi yang beragama Islam). Dengan penandatanganan akta Perkawinan, maka Perkawinan telah tercatat secara resmi.50Pencatatan Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban Perkawinan dalam masyarakat.51

Pencatatan Perkawinan dalam pelaksanaanya diatur dengan PP No. 9 Tahun 1975 dan Peraturan Menteri Agama No. 3 dan 4 Tahun 1975. Bab II Pasal 2 ayat (1) PP No. 9 Tahun 1975, Pencatatan Perkawinan dari mereka yang melangsungkannya menurut Agama Islam dilakukan oleh pegawai Pencatat, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang No. 32 Tahun 1954, tentang pencatatan Nikah Talaq dan Rujuk.52

Selanjutnya pada penjelasan atas PP. No. 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, dijelaskan bahwa Pencatatan Perkawinan dilakukan hanya oleh dua instansi, yakni Pegawai Pencatat Nikah, Talak dan Rujuk dan Kantor Catatan Sipil atau instansi atau pejabat yang membantunya.

Adapun tentang cara melakukan pencatatan tersebut telah diatur dalam pasal 3 sampai dengan pasal 9 dan juga pasal 11 peraturan pelaksanaan yang

50

Asmin, Status Perkawinan Antar Agama ditinjau dari Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, (Jakarta: PT. Dian Rakyat, 1986), Cet., Ke-1. h. 25.

51

Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, h. 107. 52

M. Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Dari Segi Hukum Perkawinan Islam, h. 131.


(54)

meliputi tahap-tahap: pemberitahuan, penelitian, pengumuman dan saat pencatatan.53

Undang-undang Perkawinan menempatkan pencatatan suatu Perkawinan pada tempat yang penting sebagai pembuktian telah diadakanya Perkawinan. Hal tersebut diminta oleh pasal 2 ayat 2 Undang-undang Perkawinan yang berbunyi tiap-tiap Perkawinan dicatat menurut praturan perundang-undangan yang berlaku.54

Pencatatan Nikah bertujuan untuk mewujudkan ketertiban Perkawinan dalam masyarakat. Ini merupakan suatu upaya yang diatur melalui perundang-undangan untuk melindungi martabat dan kesucian Perkawinan dan khususnya bagi perempuan dalam kehidupan rumah tangga. Melalui pencatatan nikah yang dibuktikan oleh akta, apabila terjadi perselisihan diantara suami isteri maka salah satu diantaranya dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh hak masing-masing.55

D. Lembaga Administrasi Pencatatan Pernikahan

Lembaga yang resmi menangani pencatatan pernikahan di Indonesia adalah Kantor Urusan Agama (KUA). Kantor Urusan Agama (KUA) merupakan institusi yang secara langsung bersentuhan dengan masyarakat di tingkat kecamatan yang berada di bawah naungan Kementrian Agama RI.56

53

Djoko Prakoso dan I ketut Murtika, Azaz-azaz Hukum Perkawinan di Indonesia, h. 23. 54

Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Inonesia, (Jakarta: UI-Press, 1974), Cet., Ke-4. h. 71.

55

Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, h. 107. 56

Departemen Agama RI, Profil Kantor Urusan Agama Kecamatan Teladan 2002 & 2003, (Jakarta: Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, 2003), h.81.


(55)

Kantor Urusan Agama (KUA) merupakan unit kerja terdepan sekaligus sebagai ujung tombak Kementrian Agama yang secara langsung membina dan memberikan pelayanan kepada masyarakat di tingkat kecamatan. Hal ini merupakan implementasi dari KMA 517 tahun 2001 tentang penataan organisasi Kantor Urusan Agama kecamatan.57

Kantor Urusan Agama (KUA) merupakan lembaga pemerintah yang diberi kewenangan dan tugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat terkait dengan masalah-masalah keagamaan. Lembaga ini diselenggarakan di setiap kecamatan di Indonesia.58

Karena itu, aparat KUA dituntut memiliki kemampuan yang tertinggi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.59Sebagai fungsionaris hukum, mereka memiliki wewenang dan tanggung jawab atas penerapan KHI, sehingga kesatuan hukum dan kepastian penyelesaian permasalahan-permasalahan hukum di kalangan umat Islam Indonesia bisa di capai. Para pegawai Kantor Urusan Agama (KUA), sebagaimana para pegawai Kantor Catatan Sipil (KCP), diharuskan juga merujuk pada aturan pengelolaan administrasi masyarakat terkait dengan beberapa tindakan hukum, seperti pernikahan, perceraian dan rujuk. Prosedur yang di tetapkan menurut UU No. 1/1994 dan Kompilasi Hukum Islam

57

Departemen Agama RI, Profil Kantor Urusan Agama Kecamatan Teladan 2002 & 2003, h. 5.

58

Alimin dan Euis Nurlaelawati, Potret Administrasi Perkawinan di Indonesia,h. 40. 59

Departemen Agama RI, Profil Kantor Urusan Agama Kecamatan Teladan 2002 & 2003, h. 5.


(56)

harus di tegakan demi terwujudnya sistem administrasi keperdataan yang baik dan transparan.60

Adapun tugas Kantor Urusan Agama sebagaimana berdasarkan peraturan menteri Agam RI No. 2 tahun 1990 pasal 2 ayat (1) adalah tugasnya mengawasi atau mencatat nikah, talak dan rujuk (NTCR) serta mendaftarkan cerai talak dan cerai gugat di bantu oleh pegawai Kantor Urusan Agama Kecamatan.

Mengenai tugas Kantor Urusan Agama Kecamatan Juga tertulis dalam Undang-undang No. 2 tahun 1946 pasal (2) yang berhak melakukan pencatatan dan pengawasan atas nikah dan pemberitahuan tentang talak dan rujuk hanya pegawai yang diangkat oleh Menteri Agama atau pegawai yang di tunjuk untuk itu.61

Dalam pelaksanaan Pencatatan Perkawinan, pegawai pencatat nikah tidak selamanya dapat melaksanakan tugas dan fungsinya secara sempurna, sesuai dengan apa yang telah direncanakan sebelumnya. Beberapa hambatan ada saja yang menghalangi berpengaruh pada keberhasilan program pelaksanaan pencatatan nikah itu sendiri.

Padahal akta nikah itu sangat diperlukan sekali adanya oleh mereka yang bersangkutan untuk kepentingan pembuktian yang sewaktu-waktu dapat diperlukan.62

60

Alimin dan Euis Nurlaelawati, Potret Administrasi Perkawinan di Indonesia, h. x. 61

Wawancara Pribadi secara lisan dan tertulis dengan kepala KUA Kecamatan Bumijawa H. A Wakhidin. Bumijawa, 21 Januari 2014.

62


(57)

Masalah ketentuan untuk melakukan pencatatan Perkawinan sangat tegas dinyatakan dalam pasal 2 ayat 2 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. selain mengikuti hukum dari agama dan kepercayaanya, Perkawinan yang dilakukan juga harus dicatatkan kepada petugas atau pejabat pencatat Perkawinan untuk mendapatkan pengesahan dari negara.63

Pencatatan Perkawinan yang tercantum dalam pasal 2 ayat 2 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sangat tepat diterapkan di tegah-tengah masyarakat. hal ini dengan semakin berkembangnya kehidupan masyarakat, maka segala sesuatu yang dilakukan harus memerlukan suatu kepastian hukum.64

Hukum keluarga baru yang berlaku di negara masing-masing memberlakukan pencatatan ini, kendati bukan merupakan rukun nikah, tetapi dianggap sangat penting untuk pembuktian pernikahan yang sah yang dilakukan oleh seseorang. Selain dari Perkawinan itu sendiri harus di catat, surat-surat (keterangan, formulir yang telah diisi dan ditandatangani oleh para pihak) harus disimpan, didokumentasikan untuk kepentingan pembuktian kalau timbul keraguan atau masalah di kemudian hari.65

Menurut Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 2 ayat 1 dan 2 Kompilasi Hukum Islam pasal 5 dan 6, maka dapat diketahui bahwa tujuan dari pencatatan nikah adalah:

63

Happy Susanto, Nikah Sirri Apa Untungnya?, h. 65. 64

Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 26. 65

Departemen Agama, Analisa Faktor-Faktor Terjadinya Perceraian, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pelembagaan Agama Islam, 1997), h. 13.


(58)

1. Untuk mendapatkan kepastian hukum, karena jika suatu perkawinan tidak di catat, maka dampaknya di belakang hari jika sekiranya terjadi perselisihan yang pada akhirnya berbuntut pada perceraian, karena pencatatan merupakan sebuah bukti yang otentik dan tertulis yang dapat menolong seseorang dari kehancuran rumah tangga.

2. Untuk menjamin ketertiban perkawinan, karena dengan adanya pencatatan nikah, maka kita dapat mengetahui bagaimana status seseorang apakah telah menikah atau belum dengan memperlihatkan identitas seperti KTP atau akta Nikah.

3. Untuk melindngi hak-hak wanita, agar kaum laki-laki tidak semena-mena terhadap kaum wanita yang dengan seenaknya memperlakukan kehendaknya seenak hatinya.66

Lembaga pencatatan perkawinan meskipun bersifat administratif, substansinya bertujuan untuk mewujudkan ketertiban hukum, ia mempunyai cakupan manfaat yang sangat besar bagi kepentingan dan kelangsungan suatu perkawinan.

Menurut hemat penulis sekurang-kurangnya ada dua manfaat utama dari pencatatan Perkawinan ini yaitu.

Pertama: yang bersifat prefentif, yaitu untuk menanggulangi agar tidak terjadi kekurangan atau penyimpangan hukum dan syarat Perkawinan, baik menurut hukum agama maupun menurut peraturan perundang-undangan.

66

Depag RI, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Depag RI, 2004), 69-71.


(59)

Kedua: yang bersifat represif, yaitu untuk memelihara ketertiban hukum dan menghindari terjadinya pemalsuan atau penyimpangan hukum, karena kesadaran masyarakat yang menjadi subjek hukum masih sangat rendah.

Dengan demikian dapat di simpulkan bahwa pencatatan Perkawinan itu adalah sesuatu yang sangat penting artinya bagi tertib hukum dan tertib hidup masyarakat.67

E. Biaya Pencatatan Pernikahan Menurut Undang-undang

Alqur’an dan Alhadis tidak mengatur secara rinci mengenai pencatatan perkawinan. Namun dirasakan masyarakat mengenai pentingnya hal itu, sehingga diatur melalui perundang-undangan, baik Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 maupun melalui Kompilasi Hukum Islam.68

Pada masa Nabi Muhammad S.A.W, pernikahan tidak dicatatkan karena masyarakat masih banyak yang ummy (tidak melek huruf), sehingga kesaksian dan sumpah masih diterima sebagai alat bukti hukum di pengadilan. Sekarang kondisinya berbeda, alat bukti tertulis lebih kuat dari sekedar kesaksian dan sumpah, karena itu, pencatatan nikah menjadi sangat penting.69

Dalam al-Qur’an, dan sunnah maupun pendapat ulama dalam kitab-kitab fikih klasik, secara eksplisit tidak di dapatkan ketentuan dari hukum pencatatan

67

Mona Eliza, Pelanggaran Terhadap UU Perkawinan dan Akibat Hukumnya, (Ciputat: Adelina Bersaudara, 2009), Cet., Ke-1. h. 35-36.

68

Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 26. 69

Muhammad Zain dan Mukhtar Alshodiq, Membangun Keluarga Humanis, (Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam yang Kontroversial itu, h. 40.


(60)

Perkawinan. Tetapi ada beberapa faktor yang menjadi penyebab Perkawinan tidak di catat pada masa dahulu.

1. Budaya tulis-baca, khususnya di kalangan orang Arab jahiliyah masih jarang. Oleh karena itu, orang arab mengandalkan pada ingatan (hafalan) ketimbang tulisan.

2. Perkawinan bukan syariat baru dalam Islam. Ia merupakan syariat nabi-nabi terdahulu yang secara terus menerus diturunkan. Ketika Islam datang, Islam secara perlahan-lahan membenahi hal-hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Namun hal-hal yang bersesuaian masih tetap di pelihara dan di pertahankan.

3. Pada masyarakat jaman dahulu, nilai-nilai kejujuran dan ketulusan dalam menjalankan kehidupan masih kuat. Sikap saling percaya dan tidak saling mencurigai menjadi fundamen kehidupann masyarakat. Ketika terjadi akad Perkawinan yang disaksikan oleh dua orang saksi dan para handai taulan, serta masyarakat sekitar sudah cukup membuktikan bahwa pasangan suami istri itu telah melakukan Perkawinan yang sah, oleh karena itu tidak bisa dianggap pasangan kumpul kebo.

4. Problematika hidup pada jaman dahulu masih sederhana, belum sekompleks dan serumit jaman sekarang ini. Jaman semakin maju, persaingan semakin ketat, rasa makin percaya kepada manusia semakin luntur, ketakutan untuk ditipu dan dizalimi oleh orang lain, atau keraguan atas kejujuran orang lain mulai bangkit, sehingga tuntutan


(61)

atas legalitas hukum secara tertulis menjadi hal yang niscaya. Tanpa adanya legalitas hukum dengan pencatatan resmi, suatu kepemilikan dianggap tidak sempurna.

Situasi, kondisi dan kebutuhan jaman sudah berubah. Apa yang dahulu tidak penting, sekarang menjadi penting, apa dahulu sia-sia, mungkin sekarang menjadi suatu yang bermanfaat. Kalau jaman dahulu pencatatan Perkawinan tidak terlalu penting untuk diadakan, karena kondisi sosiologisnya memungkinkan, namun, ketika jaman sudah berubah, justru pencatatan Perkawinan merupakan hal yang penting yang harus dilakukan.70

Biaya Pencatatan Perkawinan berdasarkan tarif resmi pemerintah relatif murah, dan dapat terjangkau oleh masyarakat. Biaya yang dikenakan untuk Pencatatan Perkawinan diatur dalam peraturan perundang-undangan. Berdasarkan surat persetujuan Gubernur DKI Jakarta No 1634/087.415 tanggal 6 Mei 1991 dan Nomor 3371/089.7 tanggal 20 oktober 1994 dan SK KAKANWIL DEPAG DKI Jakarta No WJ/2/1092/KPTS/94 tgl 7 Nov/1994 adalah bila perkawinan dilaksanakan di KUA (Balai Nikah) maka biaya yang dikenakan sebesar Rp 35.000,. sedangkan biaya perkawinan apabila di luar Balai Nikah (bedolan), dikenakan biaya sebesar Rp 55. 000,. Sedangkan biaya rujuk Rp 35.000,.

Bahkan bagi masyarakat yang kurang mampu dapat mengajukan permohonan untuk tidak dibebani biaya. Namun kenyataanya di lapangan tidak demikian, biaya Pencatatan Perkawinan baik yang dilaksanakan di Kantor Urusan

70

Yayan Sopyan, Islam Negara Tranformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum Nasional, (Jakarta: RM Books, 2014), Cet., Ke-2. h. 129-130.


(62)

Agama maupun diluar Kantor Urusan Agama (bedolan, rumah dan masjid) telah melampaui biaya yang telah di tentukan.71

Berdasarkan peraturan pemerintah No. 51 tahun 2001 biaya pencatatan nikah di Kantor Urusan Agama Kecamatan sebesar Rp 30.000,- dibayarkan kepada bendaharawan khusus atau kepala Kantor Urusan Agama. Apabila Pernikahan dilakukan diluar Kantor Urusan Agama maka biaya pencatatan nikah ditambah sebesar Rp 50.000,- menjadi Rp 80.000,- dibayarkan langsung kepada PPN/Pembantu PPN yang menghadiri akad nikah di luar Kantor Urusan Agama.72 Menurut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 Tahun 2004 tentang tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku di Kementrian Agama biaya pencatatan Nikah dan Rujuk di Kantor Urusan Agama (KUA) per peristiwa adalah sebesar Rp 30 Ribu.73

Pencatatan Perkawinan dalam bentuk akta nikah sangat diperlukan di dunia modern seperti sekarang ini, seseorang yang menikah tanpa dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) atau tidak mempunyai akta nikah, maka nikahnya tidak sah menurut undang-undang yang berlaku di suatu negara. Hal tersebut sesuai dengan kaidah Fiqhiyyah yang berbunyi:74

دسافملا ؤرد دقم

حلاصما ب ج ى ع

71

Yayan Sopyan, Islam Negara Tranformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum Nasional, h.138-139.

72

Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, h. 26. 73Anni Athi’ah,

Mahalnya Biaya Pencatatan Nikah, diakses pada tanggal 23 Desember 2013. dari http://jatim1.kemenag.go.id/file/dokumen/304lensut5.pdf 23-12-2013

74


(1)

Kantor Urusan Agama Kecamatan Bumijawa


(2)

Bersama Penghulu KUA Kecamatan Bumijawa Agus Salam S.Ag


(3)

(4)

(5)

(6)