Kebijakan Inggris Terhadap Palestina

30 Nasional Yahudi tinggal tunggu untuk dihapus saja. Keyakinan tersebut mungkin telah mendorong pecahnya tindakan kekerasan orang Arab Palestina terhadap orang-orang Yahudi di Jerusalem pada beberapa bulan di awal tahun 1920. Selama kerusuhan rasial itu, Sir Donald Storrs, Gubernur Palestina saat itu, tidak mengirimkan tentara keamanan dan tidak mengizinkan kaum Yahudi mengorganisasi pertahanan mereka sendiri. Tetapi kerusuhan rasial itu menumbuhkan kembali simpati kalangan pemerintah Inggris terhadap zionisme. Pemerintah Inggris juga meneguhkan kembali komitmennya, sebagaimana dinyatakan dalam Deklarasi Balfour: Departemen Luar Negeri 2 November 1917 Lord Rothschild yang terhormat, Saya sangat senang dalam menyampaikan kepada Anda, atas nama Pemerintahan Sri Baginda, pernyataan simpati terhadap aspirasi Zionis Yahudi yang telah diajukan kepada dan disetujui oleh Kabinet. Pemerintahan Sri Baginda memandang positif pendirian di Palestina tanah air untuk orang Yahudi, dan akan menggunakan usaha keras terbaik mereka untuk memudahkan tercapainya tujuan ini, karena jelas dipahami bahwa tidak ada suatupun yang boleh dilakukan yang dapat merugikan hak-hak penduduk dan keagamaan dari komunitas-komunitas non-Yahudi yang ada di Palestina, ataupun hak-hak dan status politis yang dimiliki orang Yahudi di negara-negara lainnya . 31 Saya sangat berterima kasih jika Anda dapat menyampaikan deklarasi ini untuk diketahui oleh Federasi Zionis. Salam, Arthur James Balfour yang sebelumnya telah menunjukan tanda-tanda akan ditinggalkan. Pada saat itu Inggris secara remi mendukung Rumah Nasional bagi orang-orang Yahudi, tetapi tidak mendukung negara Yahudi. Pada titik ini Inggris tetap setia pada Deklarasi Balfour selama beberapa tahun, sehingga kaum Yahudi secara relative hidup damai sebelum mulai membangun Rumah Nasional mereka. Selama tahun 1930-an, Inggris tetap dingin terhadap Zionisme. Masa itu adalah saat ketika Inggris memegang prinsip penyelesaian konflik dengan cara- cara damai yang memang disengaja karena pemerintah berusaha untuk mengenyahkan kemungkinan yang cukup mengerikan akan terjadinya perang dunia. Inggris berfikir bahwa jika tanah air bagi orang-orang Yahudi yang menyebabkan semua masalah itu, maka gagasan tersebut pasti tidak dapat berjalan dan karena itu harus ditinggalkan. Pada tahun 1937 muncul pemberontakan Arab Palestina terhadap penguasa Mandat Inggris. Pemberontakan ini mendorong Inggris mengubah kebijakan yang memperlonggar eksodus bangsa Yahudi dari berbagai belahan dunia, terutama dari Eropa, ke Palestina. Pada tanggal 17 Mei 1939 Inggris mengumumkan Naskah Putih yang berisi prinsip-prinsip baru tentang Palestina. Kebalikan dari kebijakan lama, pemerintah mengusulkan pendirian, dalam 32 sepuluh tahun, Negara Palestina Merdeka yang dihubungkan dengan Inggris oleh suatu perjanjian khusus. Ketentuannya yang terpenting adalah mengenai imigrasi dan transfer tanah. Pada kedua hal ini, Inggris sebenarnya mengabulkan tuntutan orang-orang Arab, yaitu para imigran dibatasi hingga 75.000 orang untuk lima tahu berikutnya, dan setelah itu dihentikan sama sekali. Sementara itu Palestina akan dibagi ke dalam tiga zona: pertama, zona yang memperbolehkan transfer tanah dari golongan Arab ke Yahudi. Kedua, zona yang membatasi tindakan itu. Dan ketiga, zona yang melarang sama sekali adanya transfer tanah itu. Naskah Putih ini, sekalipun belum memuaskan pihak Arab, namun telah mencatat kemenangan cukup berarti bagi mereka. Pada saat yang sama Zionis merasa sangat terganggu dengan munculnya kebijakan itu. Mereka menganggap kebijakan itu telah menyalahi Deklarasi Balfour. Zionis Yahudi kemudian menuntut Inggris agar mencabut kembali kebijakan itu. 26 Inggris tetap menentang Zionisme dan bertekad untuk menjaga hak-hak orang Palestina hingga akhir pemerintahan mandat mereka. Bahkan setelah terungkapnya fakta yang mengerikan tentang Holokaos Nazi, Inggris tetap menentang imigrasi kaum Yahudi. Tuntutan publik dari Presiden Harry S. Turman pada tahun 1946 untuk segera memberikan izin bagi 100.000 pengungsi Yahudi ke Palestina ditolak oleh Inggris. Pada 29 Juni tahun itu pemerintah Inggris memerintahkan penangkapan beberapa pemimpin Yahudi. Karena ditekan oleh Yahudi di Palestina, sekretaris Luar Negeri Ernest Bevin mengumumkan niat 26 Tiar Anwar Bachtiar. Hamas kenapa dibenci Israel?, Jakarta: Hikmah PT Mizan Publika, 2009, hal. 48-49 33 Inggris untuk mengembalikan mandatnya di Palestina kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 18 Februari 1947. Mandat Inggris berakhir pada tanggal 15 Mei 1948, sehari setelah Ben Gurion memproklamasikan Negara Israel, dengan dukungan dari PBB. 27 Pemerintahan Inggris dengan secara intensif melucuti senjata rakyat Palestina. Namun pada kesempatan lain, pemerintah Inggris menutup mata pada pihak Israel, bahkan menggalakkan pemilikan senjata secara rahasia, mempersenjatai mereka, dan membentuk milisi serta melatih mereka. Hingga pada saat pecahnya perang 1948, jumlah pasukan bersenjata Israel sudah mencapai 70.000 tentara. Jumlah ini tiga kali lipat dari jumlah tentara Arab yang ikut bagian dalam kancah perang 1948. 28 Inggris menjalankan mandatnya di Palestina dan daerah di sebelah Timurnya. Karena kewajiban yang dibebankan Deklarasi Balfour dan yang diulangi dalam mandat, mengharuskan Inggris untuk menfasilitasi pembentukan negara nasional bagi Yahudi, maka Inggris memerintah langsung Palestina. Dari titik awal pemerintahan Inggris, jelas akan sulit untuk menciptakan struktur pemerintahan lokal apapun yang akan menampung kepentingan-kepentingan penduduk Arab Palestina asli maupun kepentingan-kepentingan Zionis itu. Bagi Zionis yang terpenting adalah membuka terus pintu masuk untuk imigrasi, dan ini termasuk mempertahankan kendali langsung Inggris sampai komunitas Yahudi menjadi cukup besar dan telah mengamankan kendali yang memadai atas sumber 27 Karen Armstrong. Perang Suci: Dari Perang Salib Hingga Perang Teluk, Jakarta: Serambi, 2004. Hal. 167-170 28 Muhsin Muhammad Shaleh. Op. Cit. hal. 46-48 34 ekonomi negeri ini sehingga mampu mengurus kepentingan-kepentingannya sendiri. Bagi orang Arab Palestina yang terpenting adalah mencegah imigrasi Yahudi agar tidak membahayakan hak untuk menentukan pemerintahan sendiri, dan bahkan eksistensi komunitas Arab. Terperangkap diantara dua tekanan itu, kebijakan pemerintah Inggris adalah tetap memegang kendali langsung, mengizinkan imigrasi dalam batasan-batasan, menyokong seluruh kepentingan ekonomi komunitas Yahudi, dan meyakinkan bangsa Arab Palestina dari waktu ke waktu apa yang akan terjadi tidak akan mengarah kepada pendudukan atas mereka. Kebijakan ini lebih berat memihak kepada kepentingan Zionis dari pada bangsa Arab Palestina.

C. Konflik Arab Yahudi di Palestina

Konflik Arab-Yahudi sebetulnya sudah dimulai sejak eksodus besar- besaran bangsa Yahudi ke Palestina pasca Deklarasi Balfour tahun 1917. Konflik ini semakin menggila setelah terbit resolusi Majlis Umum PBB tentang pembagian wilayah palestina November 1947. Konflik pada tahun itu berubah menjadi pertempuran yang menelan korban lebih dari 2.500 korban jiwa rakyat Palestina. 29 Konflik-konflik yang terjadi sebelum tahun 1947 lebih banyak berupa ketegangan-ketegangan diplomatik dan protes-protes keras antara bangsa Arab Palestina yang merasa tanah mereka direbut dengan bangsa Yahudi yang begitu 29 Garry M. Burge. Op. cit. hal. 47 35 ambisius ingin menguasai Palestina. Protes-protes biasanya diwujudkan dalam bentuk kerusuhan-kerusuhan. Antara tahun 1880-1919 ketegangan juga terjadi antara penguasa Turki Utsmani dengan pihak Sekutu Eropa yang dimotori oleh Inggris. Tahun 1920 terjadi kerusuhan di Palestina, tahun 1921 terjadi di Jaffa. Kerusuhan-kerusuhan itu kemudian mendorong pihak Sekutu Eropa untuk memberikan mandat kepada Inggris setelah runtuhnya Turki Utsmani yang secara de jure menguasai Palestina pada 1924 untuk meredam kerusuhan-kerusuhan itu. Namun, kerusuhan- kerusuhan tetap saja terjadi. Pada 1929 terjadi lagi kerusuhan, kemudian antara tahun 1936-1939, dan terakhir tahun 1946. Pada 4 April 1920 terjadi lagi pertikaian antara Arab dan Yahudi. Massa Arab berpencar dan menyerbu kompleks pemukiman Yahudi. Polisi Arab berpihak kepada perusuh, pasukan Inggris tidak keluar untuk menghentikan kekerasan itu, dan orang-orang Yahudi dilarang untuk mengorganisir pertahanan mereka sendiri. Sebagian besar korban adalah Yahudi. Sebanyak 90 orang terbunuh dan 244 orang mengalami luka-luka. Ketegangan terus berkembang di kedua belah pihak, kekerasan terjadi di seluruh Palestina. Pada akhir Agustus 1920, 133 orang Yahudi terbunuh dan 339 cedera. Polisi Inggris telah menewaskan 110 orang Arab, dan 6 orang tewas dalam serangan balasan Yahudi ke Tel Aviv. Pada musim panas 1929, terjadi konfrontasi berdarah pertama antara bangsa Arab Palestina dengan para imigran Zionis. Kaum Zionis dan pasukan Inggris menyerang bangsa Palestina dan menewaskan sekitar 531 orang. Banyak 36 di antaranya terluka atau dipenjara seumur hidup. Sejak akhir 1920 hingga 1935 pemberontakan bersenjata oleh Syeikh Izzudin al Qassam, pemimpin Arab pertama di Palestina yang menyerukan perlawanan bersenjata melawan para kolonialis dan penguasa asing. Pada tahun 1935 al Qassam menghimpun 800 pasukan bersenjata ke Haifa dan bergerak ke perbukitan di Tepi Barat, sebagai upaya untuk mengenyahkan kekuatan Inggris dan memerdekakan Palestina. Mereka berkonfrontasi dengan pasukan Inggris dan Zionis dalam sebuah pertempuran tak seimbang, dimana al Qassam beserta beberapa pengikutnya terbunuh dan sebagian yang lain banyak yang menjadi tawanan. Abdul Qadir Husaini mengambil alih kepemimpinan perjuangan Palestina pada tahun 1937, namun ia pun terbunuh bersama beberapa pengikutnya setelah terlibat dengan banyak pertempuran. Pada tahun 1940, Hasan Salameh memikul tanggung jawab untuk memimpin perang gerilya melawan kekuatan persekutuan Inggris-Zionis, namun pada akhirnya ia pun terbunuh. 30 Kekecewaan orang-orang Arab mencapai puncaknya menjadi pembangkangan sipil secara terang-terangan. Kemudian terjadilah pemberontakan Arab melawan Inggris dari 1936 hingga 1938, yang selama masa-masa itu Palestina sangat menderita. Kerumunan orang-orang Arab dengan marah meledakan sebuah bom di sekolah agama Yahudi yang membunuh 9 orang anak dan 46 Yahudi tewas dalam serangan lainnya. 30 Imam Khomeini. Palestina Dalam Pandangan Imam Khomeini, Jakarta: Pustaka Zahra, 2004. hal. 14