Prinsip-prinsip BNI Hasanah Card di BNI Syariah BNI Hasanah Card Dalam Literatur Syariah Perkembangan Syariah Card

2. Jenis-jenis BNI Hasanah Card

Jenis-jenis BNI Hasanah card terdiri dari tiga jenis kartu, yaitu: a. Syariah Card Classic b. Syariah Card Gold c. Syariah Card Platinum

C. Prinsip-prinsip BNI Hasanah Card di BNI Syariah

Nilai-nilai sharia compliance pada produk BNI Hasanah Card, yaitu: 1. Tidak menimbulkan riba. 2. Tidak digunakan untuk transaksi yang tidak sesuai dengan syariah. 3. Tidak mendorong pengeluaran yang berlebihan israf, dengan cara antara lain menetapkan pagu maksimal pembelanjaan. 4. Pemegang kartu utama harus memiliki kemampuan finansial untuk melunasi pada waktunya. 5. Tidak memberikan fasilitas yang bertentangan dengan syariah. 6. Kartu kredit syariah agar lebih difungsikan sebagai alat pembayaran yang memberikan kemudahan dan kenyamanan dan bukan semata-mata sebagai alat untuk meningkatkan kemampuan konsumsi.

D. BNI Hasanah Card Dalam Literatur Syariah

BNI Syariah menetapkan kriteria dan jenis produk yang dapat dikonsumsi, yaitu yang halal dan baik dan tidak mendorong konsumtif. Dengan cara men-set sistem di host BNI Syariah yang akan menolak transaksi dari merchant yang memiliki Merchant Category Code MCC yang secara jelas dilarang oleh syariah meskipun jumlahnya tebatas yaitu mechant bar, diskotik, toko minuman alkohol, tempat judi, dan personal service provider prostitusi.

E. Pengertian dan Jenis-jenis Akad Muamalah Dalam Sistem Financial

Transaction Card Tabel II.8 Akad Syariah Card Fatwa DSN No. 54DSN-MUIX2006 Ijarah Penerbit kartu issuer card adalah penyedia jasa sistem pembayaran dan pelayanan terhadap pemegang kartu card holder. Atas Ijarah ini, pemegang kartu card holder dikenakan biaya keanggotaan membership fee. Kafalah Penerbit kartu issuer card adalah penjamin kafil bagi pemegang kartu card holder terhadap merchant atas semua kewajiban bayar dayn yang timbul dari transaksi antara pemegang kartu card holder dengan merchant, dan atau penarikan uang tunai selain bank atau ATM bank penerbit kartu. Atas pemberian kafalah, penerbit kartu dapat menerima fee ujrah. Qardh Penerbit kartu issuer card adalah pemberi jaminan muqridh kepada pemegang kartu muqtaridh melalui penarikan tunai dari bankteller atau ATM bank penerbit kartu.

1. Akad Ijarah

Pengertian Ijarah Ijarah berasal dari kata al-ajru yang arti menurut bahasanya ialah al- ‘iwadl yang arti dalam bahasa Indonesianya ialah ganti dan upah. Ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan membership milkiyyah atas barang itu sendiri. 5 Sedangkan menurut istilah, para ulama berbeda-beda mendefinisikan ijarah, a. Menurut Hanafiyah bahwa ijarah ialah: ع جْأ ْ ْ ْيع ْ ْ ْ ْ ْع عفْ ْي ْ ْيفي ْع “Akad untuk membolehkan pemilikan manfaat yang diketahui dan disengaja dari suatu zat yang disewa dengan imbalan.” 6 5 Muhammad Rawas Qal’aji, Mu’jam Lughat al-Fuqaha Beirut: Darun Nafs, 1985; Ahmad asy-Syarbasyi, Al- Mu’jam al-Iqtisad al-Islami, Beirut: Dar Alamil Kutub, 1987; dan Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Beirut: Darul Kitab al-Arabi, 1987, cet. ke-8, vol. III, hlm. 183. 6 Lihat, Fiqih ‘ala Madzahib al-Arba’ah, hlm. 94. b. Menurut Malikiyah bahwa ijarah ialah: ْ ْ ْ ْع ْي أْ عفْ ْي ع ق ع ي ْ “Nama bagi akad-akad untuk kemanfaatan yang bersifat manusiawi dan untuk sebagian yang dapat dipindahkan .” 7 c. Menurut Syaikh Syihab al-Din dan Syaikh Umairah bahwa yang dimaksud dengan ijarah ialah: عْ عْ ع ح إْ ْ ْ ق ْ ْ ْ ْع عفْ ْي ع ْع “Akad atas manfaat yang diketahui dan disengaja untuk memberi dan membolehkan dengan imbalan yang diketahui ketika itu.” d. Menurut Muhammad al-Syarbini al-Khatib bahwa yang dimaksud dengan ijarah ialah: ْ ش ع عفْ ْي ْ “Pemilikan manfaat dengan adanya imbalan dan syarat-syarat.” e. Menurut Sayyid Sabiq bahwa ijarah ialah suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian. f. Menurut Hasbi ash-Shiddiqie bahwa ijarah ialah: ي ف ع ْي ْ ْيأ ْ ْح ءْيش عفْ ْي ع عْ ْ ْ ْعْ عف ْ عْي 7 Ibid., hlm. 97. “Akad yang obyeknya ialah penukaran manfaat untuk masa tertentu, yaitu pemilikan manfaat dengan imbalan, sama dengan menjual manfaat.” 8 g. Menurut Idris Ahmad bahwa upah artinya mengambil manfaat tenaga orang lain dengan jalan memberi ganti menurut syarat-syarat tertentu. Berdasarkan definisi-definisi di atas, kiranya dapat dipahami bahwa ijarah adalah menukar sesuatu dengan ada imbalannya, diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti sewa-menyewa dan upah-mengupah. Sewa-menyewa adalah: عف ْ عْي “Menjual manfaat” Dan upah-mengupah adalah: ْ عْي “Menjual tenaga atau kekuatan” Dasar Hukum Ijarah a. Al-Qur’an Firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah ayat 233: 8 Lihat, Peng. Fiqh Muamalah, hlm. 85-86. ْ ْي ء ْ ْ إ ْ ْي ع ج ف ْ ْ أ ْ ع ْ ْ ْ أ ْ ْ أ ْ إ ْي ْ ْع ه أ ْ ْع ه ْ فْ ْع ْ . Artinya: “Dan, jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, tidak dosa bagimu apabila bagimu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertaqwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” Firman Allah SWT dalam QS. Al-Thalaq ayat 6: ْ جأ ْ ْأف ْ ْع ْ أ ْ إف Artinya: “Jika mereka telah menyusukan anakmu, maka berilah upah mereka.” b. Al-Hadits ْجأ ح ْ ْع ْ ْح . ي Diriwayatkan dari ibnu Abbas bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Berbekamlah kamu, kemudian berikanlah olehmu upahnya kepada tukang bekam itu.” HR. Bukhari dan Muslim ق ْي ع ه ي ص ه ْ أ ع ْ ع : ْ أ ْق ْيجأْ ْ طْعأ ق ع ّ ي . ج Dari ibnu Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Berikanlah upah pekerja sebelum keringatn ya kering.” HR. Ibnu Majah c. Ijma Semua umat bersepakat, tak ada seorang ulama pun yang membatah kesepakatan ijma ini, sekalipun ada beberapa orang di antara mereka yang berbeda pendapat, akan tetapi hal itu tidak dianggap penting. 9 Rukun dan Syarat Ijarah Menurut ulama Hanafiyah, rukun ijarah hanya satu, yaitu ijab ungkapan menyewakan dan qabul persetujuan terhadap sewa-menyewa. Akan tetapi, Jumhur Ulama menyatakan bahwa rukun ijarah itu ada 4, yaitu: a. Mu’jir dan Musta’jir, yaitu orang-orang yang melakukan akad sewa-menyewa disyaratkan baligh, berakal, cakap melakukan tasharruf mengendalikan harta, dan saling meridhai. Mu’jir adalah orang yang memberikan upah dan yang menyewakan, musta’jir adalah orang yang menerima upah untuk melakukan sesuatu dan orang yang menyewa sesuatu. 9 Lihat, Fiqh al-Sunnah, hlm. 18. b. Shighat Ijab Qabul antara mu’jir dan musta’jir. c. Ujrah imbalan, disyaratkan diketahui jumlahnya oleh kedua belah pihak. d. Barang yang disewakan hendaklah dapat dimanfaatkan kegunaannya. Prinsip Ijarah Transaksi ijarah dilandasi adanya perpindahan manfaat. Jadi, pada dasarnya prinsip ijarah sama saja dengan prinsip jual beli, tetapi perbedaannya terletak pada objek transaksinya. Bila pada jual beli transaksinya adalah barang, pada ijarah objek transaksinya adalah jasa. Menyewakan jasa Bank Nasabah Bayar cicilan Pada akhir masa sewa, bank dapat saja menjual barang yang disewakan kepada nasabah. Karena itu, pada perbankan syariah dikenal IMBT Ijarah Muntahiyah Bit Tamlik, yaitu sewa yang diikuti dengan berpindahnya kepemilikan. Harga sewa dan harga jual disepakati pada awal perjanjian. Pembatalan dan Berakhirnya Ijarah a. Terjadinya cacat pada barang sewaan yang kejadian itu terjadi pada tangan penyewa. b. Rusaknya barang yang disewakan. c. Terpenuhinya manfaat yang diakadkan, berakhirnya masa yang telah ditentukan. d. Menurut Hanafiyah, boleh fasakh ijarah dari salah satu pihak, seperti yang menyewa toko untuk dagang, kemudian dagangannya ada yang mencuri, maka ia dibolehkan memfasakhkan sewaan itu. Pembayaran Sewa Jika menyewa barang, maka uang sewaan dibayar ketika akad sewa, kecuali bila dalam akad ditentukan lain, manfaat barang yang diijarahkan mengalir selama penyewaan berlangsung. Pengembalian Sewaan Jika ijarah telah berakhir, penyewa berkewajiban mengembalikan barang sewaan, jika barang itu dapat dipindahkan, ia wajib menyerahkannya kepada pemiliknya, dan jika bentuk barang sewaan adalah benda tetap ’iqar, ia wajib menyerahkan kembali dalam keadaan kosong, jika barang sewaan itu tanah, ia wajib menyerahkan kepada pemiliknya dalam keadaan kosong dari tanaman, kecuali bila ada kesulitan untuk menghilangkannya. Madzhab Hanbali berpendapat bahwa ketika ijarah telah berakhir, penyewa harus melepaskan barang sewaan dan tidak ada kemestian mengembalikan untuk menyerahterimakan, seperti barang titipan.

2. Akad Kafalah

Pengertian Kafalah menurut bahasa berarti al-Dhaman jaminan, hamalah beban, dan za’amah tanggungan. Sedangkan menurut istilah yang dimaksud dengan kafalah atau al-Dhaman sebagaimana dijelaskan oleh para ulama adalah sebagai berikut: a. Menururt Madzhab Hanafi bahwa kafalah memiliki dua pengertian yang pertama arti kafalah ialah: ْيعْ أ ْي ْ أ ْف ط ْ ْيف ي إ “Menggabungkan dzimah kepada dzimah yang lain ke dalam penagihan, dengan jiwa, utang atau zat benda.” Pengertian kafalah yang kedua ialah: ْي ْصأ ْيف ْي إ “Menggabungkan dzimah kepada dzimah yang lain dalam pokok asal utang.” 10 b. Menururt Madzhab Maliki bahwa kafalah ialah: ْغش ء ْ ْ ْ ع ّح ْ ح ص غْشي ْ أ ف ْ ي ْ ْ أءْيش ْي ع ف 10 Abdurrahman Al-Jaziri, Al- Fiqh ‘ala Madzahib al-‘Arba’ah, hlm. 221. “Orang yang mempunyai hak mengerjakan tanggungan pemberi beban serta bebannya sendiri yang disatukan, baik menanggung pekerjaan yang sesuai sama maupun pekerjaan yang berbeda.” 11 c. Menururt Madzhab Hanbali bahwa yang dimaksud dengan kafalah adalah: ْي ع ْ ْحإ ْ ْ أ ْ ْ ْ ْي ع ئ ع ْيغ ْ ْي ع ج ْ ْ ّح ْ ح ي ّح “Iltizam sesuatu yang diwajibkan kepada orang lain serta kekekalan benda tersebut yang dibebankan atau iltizam orang yang mempunyai hak menghadirkan dua harta pemiliknya kepada orang yang mempunyai hak.” 12 d. Menurut Madzhab Syafi’i bahwa yang dimaksud dengan kafalah ialah: ْحإ ْ أ ْ ْ ْيع ْحإ ْ أ ْيغ ْ ْيف ث ّح ْ ْي ْي ْع ْ ح ّح ْ ي ْ “Akad yang menetapkan iltizam hak yang tetap pada tanggungan beban yang lain atau menghadirkan zat beban yang dibebankan atau menghadirkan badan oleh orang yang berhak menghadirkannya.” 13 11 Ibid., hlm. 223. 12 Ibid., hlm. 224. 13 Ibid., hlm. 225. Berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh Madzhab Syafi’i di atas bahwa kafalah terdiri atas tiga pengertian, yaitu: al-Kafalah al-Dayn, al- Kafalah al- ‘Ain, dan al-Kafalah al-Abdan. e. Menurut Sayyid Sabiq yang dimaksud dengan kafalah ialah proses penggabungan tanggungan kafil menjadi beban ashil dalam tuntutan dengan benda materi yang sama, baik utang, barang maupun pekerjaan. f. Menurut Imam Taqiy al-Din 14 bahwa yang dimaksud dengan kafalah adalah: ْي إ “Mengumpulkan satu beban kepada beban lain.” g. Menurut Hasbi ash-Shiddiqie bahwa yang dimaksud dengan kafalah ialah: ط ْ ْيف ْي إ “Menggabungkan dzimah kepada dzimah lain dalam penagihan. ”1984:86 Dasar Hukum Kafalah a. Al-Qur’an Firman Allah SWT dalam QS. Yusuf ayat 72: ْيع أ ْيع ْ ح ء ج ْ ْ ع ص ْف ْ ق . Artinya: 14 Abi Bakar ibn Muhammad al-Taqiy al-Din, Kifayat al-akhyar, Bandung: PT. Al- Ma’arif, t.t. , hlm. 276 “Penyeru-penyeru itu berseru, ‘Kami kehilangan piala raja dan barang siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh makanan 9seberat beban unta dan aku menjamin terhadapnya.” b. Al-Hadits ي أ ْي ع ه ي ص ي أ ... ق ْ ق ْيش ْ ف ْي ع ص قْ أ ق ْ ح ص ْي ع ْ ص ق ْي ث ث ْ ق ْي ْي ع ْ ف ْي ع ي ف ْي ي ع ه ْ ي . ي “Telah dihadapkan kepada Rasulullah SAW. mayat seorang laki-laki untuk dishalatkan... Rasulullah SAW bertanya, ‘Apakah dia mempunyai warisan?’ Para sahabat menjawab, ‘tidak.’ Rasulullah bertanya lagi, ‘Apakah d ia mempunyai utang?’ Sahabat menjawab, ‘Ya, sejumlah tiga dinar.’ Rasulullah pun menyuruh para sahabat untuk menshalatkannya, tetapi beliau sendiri tidak. Abu Qatadah lalu berkata, ‘Saya menjamin utangnya, Ya Rasulullah.’ Maka Rasulullah pun menshalatkan mayat tersebut. HR. Bukhari No. 2127, Kitab al-Hawalah ح ْيف ف . ي ي “Tidak ada kafalah dalam had.” HR. Baihaqi Rukun dan Syarat Kafalah a. Dhamin, kafil atau za’im, yaitu orang yang menjamin di mana ia disyaratkan sudah baligh, berakal, tidak dicegah membelanjakan hartanya mahjur dan dilakukan dengan kehendak sendiri. b. Madmun lahu atau makful lahu, yaitu orang yang berpiutang disyaratkan dikenal oleh penjamin. c. Madmun ‘anhu atau makful ‘anhu, yaitu orang yang berutang. d. Madmun bihi atau makful bihi, yaitu utang, barang atau orang, disyaratkan dapat diketahui dan tetap keadaannya, baik sudah tetap atau akan tetap keadaannya. e. Lafadz, disyaratkan keadaan lafadz itu berarti menjamin, tidak digantungkan kepada sesuatu dan tidak berarti sementara. Macam-macam Kafalah a. Kafalah bi al-Wajhi kafalah jiwa, yaitu adanya keharusan pada pihak penjamin al-Kafil, al-Dhamin, al- Za’im untuk menghadirkan orang yang ia tanggung kepada yang ia janjikan tanggungan makful lah b. Kafalah bi al-Mal kafalah harta, yaitu kewajiban yang harus ditunaikan oleh dhamin atau kafil dengan pembayaran pemenuhan berupa harta. 1. Kafalah bi al-dayn kafalah utang, yaitu kewajiban membayar utang yang menjadi beban orang lain. Dalam kafalah utang disyaratkan sebagai berikut: a Hendaknya nilai barang tersebut tetap pada waktu terjadinya transaksi jaminan, seperti utang qiradh, upah dan mahar. b Hendaknya barang yang dijamin diketahui menurut madzhab Syafi’i dan Ibnu Hazm bahwa seseorang tidak sah menjamin barang yang tidak diketahui, sebab perbuatan itu disebut gharar, sementara Abu Hanifah, Malik, dan Ahmad berpendapat bahwa seseorang boleh menjamin sesuatu yang tidak diketahui. 2. Kafalah dengan penyerahan benda, yaitu kewajiban menyerahkan benda- benda tertentu yang ada di tangan orang lain, seperti mengembalikan barang yang dighasab dan menyerahkan barang jualan kepada pembeli. 3. Kafalah dengan ‘aib, yaitu barang yang didapati berupa harta terjual dan mendapat bahaya cacat, karena waktu yang terlalu lama atau karena hal- hal lainnya, maka ia pembawa barang sebagai jaminan untuk hak pembeli pada penjual, seperti jika terbukti barang yang dijual adalah milik orang lain atau barang tersebut adalah barang gadai. Pembayaran Dhamin Apabila orang yang menjamin dhamin memenuhi kewajibannya dengan membayar utang orang yang ia jamin, ia boleh meminta kembali kepada madmun ‘anhu apabila pembayaran itu atas izinnya, dalam hal ini para ulama bersepakat, namun mereka berbeda pendapat apabila penjamin membayar atau menunaikan beban orang yang ia jamin tanpa izin orang yang dijamin bebannya, menurut Syafi’í dan Abu Hanifah bahwa membayar utang orang yang dijamin tanpa izin darinya adalah sunnah, dhamin tidak punya hak untuk minta ganti rugi kepada orang yang ia jamin madmun ‘anhu, menurut madzhab Maliki bahwa dhamin berhak menagih kembali kepada madmun ‘anhu. Ibnu hazm berpendapat bahwa dhamin tidak berhak menagih kembali kepada madmun ‘anhu atas apa yang telah ia bayarkan, baik dengan izin madmun ‘anhu maupun tidak. 15 Apabila madmun ’anhu orang yang ditanggung tidak ada, kafil dhamin berkewajiban menjamin dan tidak dapat mengelak dari tuntutan, kecuali dengan membayar atau orang yang mengutangkan menyatakan bebas untuk kafil dari utang makful lah orang yang mengutangkan adalah memfasakhkan akad kafalah, sekalipun makful ‘anhu dan kafil tidak rela.

3. Akad Qardh

Pengertian Qardh adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali atau dengan kata lain meminjamkan tanpa mengharapkan imbalan. Dalam literatur fiqih klasik, qardh dikategorikan dalam aqd tathawwui atau akad saling membantu dan bukan transaksi komersial. 16 Dasar Hukum 15 Sayyid, Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Dar al-Fiqr, 1977, hlm. 164. 16 Ahmad Asy-Syarbasi, Al- Mu’jam al-Iqtisad al-Islami, Beirut: Dar Alamil kutub, 1987; Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Beirut: Darul Kitab al-Arabi, 1987, cetakan ke-8, vol. III, hlm. 163. Transaksi qardh diperbolehkan oleh para ulama berdasarkan Hadits Riwayat Ibnu Majah dan ijma ulama. Sungguhpun demikian, Allah SWT mengajarkan kepada kita agar mem injamkan sesuatu bagi “agama Allah”. a. Al-Qur’an Firman Allah SWT dalam QS. Al-Hadiid ayat 11: ْي ْجأ فع يف ح ْ ق ه ْي ْي ْ ي ح Artinya: “Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, Allah akan melipatgandakan balasan pinjaman itu untuknya dan dia akan memperoleh pahala yang banyak.” Yang menjadi landasan dalil dalam ayat ini adalah kita diseru untuk “meminjamkan kepada Allah SWT”, artinya untuk membelanjakan harta di jalan Allah SWT. Selaras dengan meminjamkan kepada Allah SWT, kita juga diseru untuk “meminjamkan kepada sesama manusia”, sebagai bagian dari kehidupan bermasyarakat civil society. b. Al-Hadits ْ ْي ْ ْ ق ْي ع ه ي ص ي أ ْ عْ ْ ع ق إ ْي ْ ق Ibnu Mas’ud meriwayatkan bahwa Nabi SAW. Berkata, “bukanlah seorang Muslim mereka yang meminjamkan muslim lainnya dua kali kecuali yang satunya adalah senilai sedekah”. HR. Ibnu Majah No. 2421, Kitab Al-Ahkam; Ibnu Hibban dan Baihaqi ق ْ أ ْ ع : ي ْ أ ْي ْيأ ْي ع ه ي ص ه ْ ق ي ْ ف شع ي ث ْ ْ ثْ أ ْشع ق ْ ْ ْ ْي ع ْي ْع أْ ي ئ أ ق ق ْفأ ْ ْ ْي ْج ج ح ْ إ ْ ْ ي ْ ْ ْ Anas bin Malik berkata bahwa Rasulullah berkata, “Aku melihat pada waktu malam di- isra’-kan, pada pintu syurga tertulis: sedekah dibalas sepuluh kali lipat dan qardh delapan belas kali. Aku bertanya, ‘Wahai Jibril, mengapa qardh lebih utama dari sedekah?’ Ia menjawab, ‘Karena peminta-minta sesuatu dan Ia punya, sedangkan yang meminjam tidak akan meminjam kecuali karena keperluan.”. HR. Ibnu Majah No. 2422, Kitab Al-Ahkam, dan Baihaqi c. Ijma Para ulama telah menyepakati bahwa al-qardh boleh dilakukan. Kesepakatan ulama ini didasari tabiat manusia yang tidak bisa hidup tanpa pertolongan dan bantuan saudaranya. Tidak ada seorang pun yang memiliki segala barang yang ia butuhkan. Oleh karena itu, pinjam-meminjam sudah menjadi satu bagian dari kehidupan di dunia ini. Islam adalah agama yang sangat memperhatikan segenap kebutuhan umatnya. Manfaat Qardh: a. Memungkinkan nasabah yang sedang dalam kesulitan mendesak untuk mendapat talangan jangka pendek. b. Al-Qardh al-Hasan juga merupakan salah satu ciri pembeda antara bank syariah dan bank konvensional yang di dalamnya terkandung misi sosial, di samping misi komersial. c. Adanya misi sosial-kemasyarakatan ini akan meningkatkan citra baik dan meningkatkan loyalitas masyarakat terhadap bank syariah. Rukun dan Syarat Qardh Ulama Hanafiyah mengatakan bahwa rukun qardh itu hanya satu, yaitu ijab pernyataan yang meminjamkan dari pihak yang meminjamkan. Akan tetapi, menurut Zufar ibn Huzail 728-774 M, pakar fiqh Hanafi, dalam aqad ini diperlukan qabul. Adapun menurut jumhur ulama ada empat, yaitu: a. Orang yang meminjamkan haruslah orang yang telah berakal dan cakap bertindak hukum. b. Orang yang meminjam peminjam haruslah orang yang telah berakal dan cakap bertindak hukum. c. Barang yang dipinjamkan itu bukan jenis barang yang apabila dimanfaatkan akan habis atau musnah, dan barang yang dipinjamkan itu harus secara langsung dapat dikuasai oleh peminjam. Manfaat barang yang dipinjam itu termasuk manfaat yang mubah dibolehkan syara’. d. lafal peminjam. F. Pihak-pihak Yang Terkait Dalam Syariah Card Pihak-pihak yang terkait dalam syariah card, yaitu: 1. Penerbit kartu issuer bank 2. Pemegang kartu card holder 3. Penerima kartu merchant 4. Acquirer, seperti bank perantara antara bank penerbit kartu issuer card dan pemegang kartu card holder

G. Perkembangan Syariah Card

Pada Tahun 1996, AmBank Berhad di Malaysia meluncurkan syariah card yang menggunakan istilah al-Taslif Credit Card dengan skema bai ’ bitsaman ajil. Ternyata skema tersebut dianggap kurang sukses, lalu deganti dengan skema bai ’ al- inah. AmBank Berhad merupakan pelopor produsen syariah card di Asia bahkan di dunia. Al-Taslif Credit Card yang diluncurkan AmBank Berhad dengan al-Taslif Credit Card yang diluncurkan AmBank Berhad dengan skema bai’al-inah dinilai sukses. Dengan melihat kesuksesan AmBank Berhad dengan al-Taslif Credit Card- nya. Pada Tahun 2002 ABC Arab Banking Corporation Islamic Bank Timur Tengah meluncurkan kartu syariah dengan nama al-Buroq dengan menggunakan skema bai ’ bitsaman ajil. Selanjutnya, pada pertengahan Tahun 2002, Bank Islam Malaysia Berhad BIMB meluncurkan kartu syariah dengan nama Bank Islam Card BIC dengan menggunakan skema qard wal bai al-inah. 45

BAB III PROFIL UNIT USAHA SYARIAH PT. BNI PERSERO, TBK

A. Sejarah BNI Syariah

Bank negara Indonesia BNI berdiri sejak tanggal 5 Juli 1946, BNI merupakan bank pertama yang didirikan dan dimiliki oleh pemerintah Indonesia. Di tahun yang sama tepatnya tanggal 30 Oktober, BNI mulai mengedarkan alat pembayaran resmi pertama yang dikeluarkan pemerintah Indonesia yakni ORI Oeang Republik Indonesia. Hingga kini kedua hari bersejarah tersebut ditetapkan sebagai Hari Bank Nasional dan Hari Keuangan Nasional. Perubahan demi perubahan mewarnai perjalanan BNI. Perubahan status BNI menjadi bank komersial milik pemerintah tahun 1955 melandasi pelayanan yang lebih baik dan luas bagi sektor usaha nasional. Sejalan dengan keputusan penggunaan tahun pendirian sebagai bagian dari identitas perusahaan, nama Bank Negara Indonesia 1946 resmi digunakan sejak tahun 1968. Pada tahun 1988, nama panggilan yang lebih mudah diingat “Bank BNI” ditetapkan bersamaan dengan perubahan identitas. Pada tahun 1992, status hukum dan nama BNI berubah menjadi PT. Bank Negara Indonesia Persero. Sedangkan perubahan menjadi perusahaan publik diwujudkan melalui penawaran saham perdana di pasar modal pada tahun 1996.