Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Berbicara tentang perkawinan erat hubungannya dengan kehidupan manusia itu sendiri, karena perkawinan itu merupakan proses untuk menjalani hidup berkeluarga bagi setiap orang yang menghendaki adanya keseimbangan lahir dan bathin selaras antara rohani dan jasmani. Demikian juga kebutuhan hidup dalam perkawinan itu memerlukan harta benda kekayaan untuk dipergunakan baik oleh suami maupun istri untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari bagi keluarga. Kekayaan inilah yang disebut: ”Harta Perkawinan”, ”Benda Perkawinan”, ”Harta Keluarga”, ataupun ”Harta Benda Keluarga”. 1 Setiap perkawinan tidak terlepas dari adanya harta benda baik yangdiperoleh sebelum perkawinan, pada saat perkawinan berlangsung maupunyang diperoleh selama suami dan istri dalam ikatan perkawinan. Menurut perundang-undangan di Indonesia, ketentuan harta sudah diatur dalam Undang- undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974. Dalam Undang-undang tersebut dijelaskan bahwa harta dalam perkawinan di bagi kepada 2 jenis, yaitu: harta bersama dan harta bawaan. Yang dimaksud dengan harta bersama adalah harta pencaharian yang diperoleh selama suami dan istri diikat dalam perkawinan dan 1 Surojo Wignodipuro, Pengantar dan Azas-azas Hukum Adat, Jakarta : Gunung Agung, 1982, hal.149 2 harta tersebut tidak diperoleh melalui warisan, hadiah dan hibah.Suami dan istri dapat berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu atas harta tersebut berdasarkan persetujuan kedua belah pihak. Mulai perkawinan dilangsungkan, secara hukum berlaku kesatuan bulat antara harta kekayaan suami istri. Adapun terkait dengan status harta yang sudah dimiliki sebelum menikah, mahar, warisan, hadiah dan hibah disebut sebagai harta bawaan dari masing-masing suami istri. Harta bawaan tersebut berada dibawah penguasaan masing-masing suami istri sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Persatuan kekayaan melalui konsep harta bersama itu berlaku sepanjang perkawinan dilaksanakan dan tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan suatu persetujuan antara suami dan istri. 2 Jika bermaksud mengadakan penyimpangan dari ketentuan harta bersama sebagaimana diatur dalam Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, suami istri harus menempuh jalan dengan perjanjian kawin Prenuptial Agreement. Perjanjian tesebut diatas, haruslah dilaksanakan sebelum perkawinan dilangsungkan, dan dibuat dalam bentuk akta autentik dihadapan Pejabat yang berwenang, yaituPegawai Pencatat Nikah. Hal ini diatur dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 47 ayat 1. Akta autentik tersebut sangat penting, karena dapat dijadikan bukti dalam persidangan pengadilan apabila terjadi sengketa tentang harta bawaan masing-masing suami istri. 2 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2008, Ed. 1, cet.2, hal. 104 3 Di dalam kehidupan berumah tangga tidak selamanya orang hidup harmonis dan bahagia, dikarenakan kedua belah pihak kurang memahami antara hak dan kewajiban masing-masing sebagai suami istri sebagaimana yang telah diuraikan dalam Undang-undang yang telah ada, sehingga seringkali dalam praktiknya terjadi percekcokan yang mengakibatkan perceraian. Apabila perkawinan putus karena perceraian dan tidak adanya perjanjian perkawinan Prenuptial Agreement yang dibuat sebelum perkawinan, maka harta bersama tersebut diatur menurut hukum masing-masing. 3 Dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam KHI, Kitab Undang-undang Hukum Perdata KUHPer, dan sejalan dengan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 9 Desember 1959 Nomor 424.KSIP1959, yang mengemukakan bahwa harta bersama suami istri apabila terjadi putusnya perkawinan baik karena kematian atau perceraian maka kepada suami istri tersebut masing-masing mendapat setengah bagian dari harta yang mereka peroleh selama perkawinan berlangsung. Dalam praktik peradilannya, hal tersebut tidaklah mudah dan sederhana. Beberapa hal tidak sejalan dengan perkembangan hukum dan kondisi sosial yang telah berubah dalam masyarakat sesuai dengan perkembangan kemajuan zaman. Perubahan dalam kehidupan masyarakat terjadi dalam berbagai bentuk, baik dalam bidang komunikasi, informasi dan hal-hal yang menyangkut dengan sosial 3 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2008, Ed. 1, cet.2, hal. 105 4 budaya, seperti pihak istri bekerja tidak hanya sebatas menjadi ibu rumah tangga, dengan kata lain pihak suami tidak berpartisipasi dalam membangun ekonomi rumah tangga atau suami istri yang sama-sama berpartisipasi dalam membangun ekonomi rumah tangga. Yang kesemuanya itu sangat mempengaruhi tentang perolehan harta bersama dan juga pembagian harta bersama apabila terjadi perceraian. Oleh karena itu perlu adanya pertimbangan khusus tentang partisipasi dari pihak istri atau partisipasi dari kedua belah pihak dalam mewujudkan harta bersama keluarga, sehingga bagian yang menetapkan setengah dari harta bersama untuk istri dan untuk suami perlu dilenturkan lagi. Berdasarkan hal-hal tersebut penulis ingin meninjau lebih jauh bagaimana hakim Pengadilan Agama menerapkan pembagian harta bersama tersebut. Apakah hakim Pengadilan Agama memang menerapkan ketentuan bahwa setengah dari harta bersama untuk istri dan untuk suami?. Ataukah hakim Pengadilan Agama telah melenturkan aturan tersebut?. Dalam hal ini Peneliti akan memfokuskan penelitian pada putusan hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan, dengan judul: “PENYELESAIAN GUGATAN HARTA BERSAMA PASCA PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN”.

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah