Dasar Hukum Pembagian Harta Bersama Pasca Perceraian

21 keperluan rumah tangga yang menjadi tanggung jawab suami. Namun demikian Islam tetap memberikan kesempatan kepada suami untuk menggunakan dan menikmati harta kekayaan istri dengan syarat ada persetujuan dari istri. Hal ini ditegaskan dalam surat An- Nisa’ 4: 4, berbunyi:                Artinya : ”Berikanlah maskawin mahar kepada wanita yang kamu nikahi sebagai pemberian penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah ambillah pemberian itu sebagai makanan yang sedap lagi baik akibatnya .” QS. An- Nisa’ 4: 4

C. Dasar Hukum Pembagian Harta Bersama Pasca Perceraian

Mulai perkawinan dilangsungkan, secara hukum berlaku kesatuan bulat antara harta kekayaan suami istri. Akan tetapi dalam kehidupan berumah tangga tidak selamanya orang hidup harmonis dan bahagia, dikarenakan kedua belah pihak kurang memahami antara hak dan kewajiban masing-masing sebagai suami istri sebagaimana yang telah diuraikan dalam undang-undang yang telah ada, sehingga seringkali dalam praktiknya terjadi percekcokan yang mengakibatkan perceraian. Sebagaimana perbuatan hukum lainya, perceraian juga akan menimbulkan akibat baik bagi suami maupun bagi istri, juga terhadap anak-anaknya dan harta benda yang mereka miliki. Sehingga sering terjadi sengketa masalah pembagian harta bersama pasca perceraian. 22 Dalam peraturan Perundang-undangan di Indonesia, dasar hukum pembagian harta bersama berdasarkan: 1. Pasal 37 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang berbunyi: ”Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing- masing”. Dalam hal ini yang dimaksud dengan ”hukumnya masing-masing”, adalah hukum agama, hukum adat dan hukum lainya. Contohnya dahulu di Bali azas suami mendapat 23 bagian dan istri mendapat 13 bagian dari harta bersama apabila terjadi perceraian, azas ini disebut ”sasuhun-sarembat”. Sedangkan di Jawa Tengah disebut ”sagendong sapikul”. 8 2. Pasal 96 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam, yang berbunyi: ”Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup terlama”. Yang dimaksud dengan ”separuh harta bersama”, berarti apabila salah satu pasangan meninggal dunia, maka setengah dari harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung menjadi hak pasangan yang hidup terlama sedangkan yang separuhnya lagi dibagikan kepada para ahli waris sehingga menjadi harta waris dari salah satu pasangan yang meninggal. 8 Surojo Wignjodipuro, Pengantar dan Azas-Azas Hukum Adat, Bandung:Alumni, 1973, h.185. 23 3. Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam, yang berbunyi: ”Janda atau Duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.” ”Sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan”, maksudnya adalah setiap pasangan yang telah bercerai baik secara cerai talak atau cerai mati masing-masing berhak mendapatkan separuh bagian dari harta bersama sepanjang mereka tidak membuat perjanjian pranikah atau prenuptial agreement. Henry Lee A Weng mengutip pendapat Gatot Supramono dalam bukunya “Beberapa Segi Hukum dalam Perjanjian Perkawinan”, : Perjanjian perkawinan adalah perjanjian yang dibuat oleh calon suami dengan calon isteri pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, perjanjian mana dilakukan secara tertulis dan disahkan oleh Pegawai Pencatat Nikah dan isinya juga berlaku terhadap pihak ketiga sepanjang diperjanjikan. Perjanjian pranikah bukan hanya menyangkut masalah harta benda akibat perkawinan, melainkan juga meliputi syarat-syaratkeinginan-keinginan yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak sepanjang tidak melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan. 9 Perjanjian pra nikah tidak diperbolehkan bila perjanjian tersebut menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal, contoh: Perjanjian pra nikah yang isinya, jika suami meninggal dan mereka tidak dikaruniai anak, maka warisan mutlak jatuh pada istri. Padahal dalam 9 Henry Lee A weng, Beberapa Segi Hukum dalam Perjanjian Perkawinan, Medan, Rimbow,1990, h.5. 24 Islam, harta suami yang meninggal tanpa dikarunia seorang anak tidak seluruh hartanya jatuh kepada istri, masih ada saudara kandung dari pihak suami ataupun orang tua suami yang masih hidup. Contoh diatas adalah ”Menghalalkan yang haram”. Contoh lainnya : Perjanjian yang isinya, perkawinan dibatasi waktu atau nikah mut’ah kawin kontrak, sedangkan pernikahan tidak boleh diperjanjikan untuk bercerai. Berdasarkan dari beberapa pasal diatas maka dapat dikemukakan bahwa harta bersama suami istri apabila putus dikarenakan perceraian ataupun kematian maka kepada suami istri masing-masing mendapat setengah bagian dari harta bersama.

D. Konsep Harta Bersama dalam Pandangan Hukum Islam