Realisasi Pelaksanaan Nafkah Iddah Dalam Kasus Perceraian Di Pengadilan Agama Jakarta Selatan Tahun 2012

(1)

TAHUN 2012

Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S. Sy)

Oleh : Futichatus Samiah NIM : 1110044100064

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A


(2)

Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Syarat unhrk Memperoleh Gelar Sa{ana Syariah (S.SV).

Oleh:

Futichatus Samiah

NIM:

1110044100064

KONSENTRASI PERADILAN AGAMA

PROGRAM STUDI III]KT]M KELUARGA

FAKULTAS SYARIAII DAI\T IIUKTIM

UNTYERSTTAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAII

JAKARTA

r43s H/ zal4iM Di Bawah Bimbingan

iiffosdian:i. MA. 196906102003122041


(3)

TAHUN 2012, telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan

Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggnl 9 Mei 2014. Slaipsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Sffata 1 (S1) pada Program Studi Hukum Keluarga Konsenfrasi Peradilan Agama.

Jakafia,9 Mei20l4 Mengesahkan

Dekan Fakultas Syariah Dan Hukum

PATIITIA UJIAN

1.

Ketua

Drs.IL Basiq Dialil SH.. MA NIP: 19500306 197603 1 001

'2.

Sekertaris

Hi. Rosdiana. MA.

NIP: 19690610 200312 2 001

Pembimbing

Hi. Rosdiana.

MA-NIP: 19690610 200312 2 001 Penguji I

Dr. H. M. Nurul Irfan. M. As. NIP: 19730808 200312 1 001 Penguji

II

Dra. Hi. Maskufa. M. A.

NIP: 196807A3 D9403 2 002

(..;...

)

3.

4.

s

r. Phil. JM Muslimin,

M.A.


(4)

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 24 April 2014


(5)

KATA PENGANTAR

ِمْيِحَّلا ِنَمْحَّلا ِهَّل ا ِمْسِب

Puji dan syukur tak hentinya penulis panjatkana ke Hadirat Allah SWT yang Maha Pengasih dan Penyayang dengan limpahan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dalam rangka memenuhi persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Syariah pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Shalawat serta salam tak lupa penulis haturkan pula kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat serta umatnya, yang Insya Allah kita termasuk di dalamnya.

Selama proses penulisan skripsi ini penulis sangat menyadari bahwa dalam proses tersebut tidaklah terlepas dari segala bantuan, bimbingan dan motivasi dari berbagai pihak, oleh karenanya pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. H. Amin Suma, SH, MA, MM. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Periode Tahun 2007 sampai Periode Tahun 2014.

2. Dr. Phil. JM Muslimin, M. A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Periode Tahun 2014 sampai Periode Tahun 2017.


(6)

3. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA. Ketua Jurusan Ahwal Syakhsiyyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Hj. Rosdiana, MA. Sekretaris Jurusan Ahwal Syakhsiyyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang sekaligus juga dosen pembimbing skripsi atas waktu, perhatian serta do’a selama proses bimbingan dalam penyelesaian skripsi ini, semoga Ibu senantiasa diberikan nikmat, sehat dan selalu menjadi suri tauladan bagi kami.

5. Para Dosen serta jajaran staf karyawan di Fakultas Syariah dan Hukum, terima kasih atas segala ilmu yang telah diberikan. Semoga menjadi ilmu yang berkah dan manfaat di dunia dan akhirat.

6. Segenap Staf Karyawan Akademik, Perpustakaan Utama UIN dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan kemudahan penulis dalam mencari referensi.

7. Ayahanda Syamsudin dan Ibunda Munipah yang telah merawat dan mendidik penulis dengan penuh kesabaran, cinta dan kasih sayang dan yang selama ini telah mendukung penulis dengan sepenunya hingga sampai sekarang ini.

8. Om H. Apong Syafarudin dan Bulek Hj. Suci Hati yang telah membiayai saya dalam menjalankan perkuliahan di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.


(7)

vi

9. Kakak beserta Istri dan adik tercinta yang selalu memberikan semangat, dukungan dan do’a bagi penulis.

10.Hakim dan Staf Karyawan Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang telah memberikan kemudahan bagi penulis dalam melakukan peniltian.

11.Teman-temanku senasib seperjuanagn Fakultas Syariah dan Hukum angkatan 2010.

12.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, penulis ucapkan terima kasih yang tiada terhingga.

Semoga Allah membalas semua amal baik dengan pahala yang berlipat ganda. Amin

Jakarta, 24 April 2014


(8)

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... i

PENGESAHAN PANITIA UJIAN ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ...iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 10

C. Tujuan Penelitian dan Manfaatnya ... 11

D. Kerangka Teori... 12

E. Metode Penelitian... 15

F. Review StudiTerdahulu ... 19

G. Sistematika Penulisan ... 22

BAB II NAFKAH IDDAH DALAM TEORI A. Pengertian Nafkah dan Dasar Hukumnya ... 23


(9)

E. Nafkah Iddah dalam Undang-Undang Perkawinan dan KHI ... 45 BAB III PROFIL PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN

A. Profil Pengadilan Agama ... 51 B. Struktur Organisasi Pengadilan Agama ... 57 C. Tugas dan Wewenang Absolut Pengadilan ... 60

BAB IV REALISASI PELAKSANAAN NAFKAH IDDAH DALAM KASUS PERCERAIAN

A. Data Perkara Perceraian ... 65 B. Proses Pelaksanaan Pemberian Nafkah Iddah... 69 C. Implementasi Pelaksanaan Putusan Tentang Nafkah Iddah di

Pengadilan Agama Jakarta Selatan ... 74 D. Analisis ... 75

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 80 B. Saran – saran ... 81

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN


(10)

Data Perkara Tahun 2012 Putusan Perkara Cerai Talak


(11)

A. Latar Belakang Masalah

Manusia diciptakan Allah berpasang-pasangan dan kemudian saling mengenal antara satu dengan yang lainnya, begitu pula untuk terjalinnya suatu hubungan dan terjadinya suatu pasangan yang halal baginya yaitu melalui perkawinan yang sah. Oleh karena itu, pengertian perkawinan menurut hukum Islam yang diatur di dalam KHI itu sendiri adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqon ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan Ibadah. Dalam pandangan Islam di samping perkawinan itu sebagai perbuatan ibadah, ia juga merupakan Sunnah Allah dan Rasul Sunnah Allah.1

Hukum Nikah (perkawinan), yaitu hukum yang mengatur hubungan antara manusia dengan sesamanya yang menyangkut penyaluran kebutuhan biologis antar jenis, dan hak serta kewajiban yang berhubungan dengan akibat perkawinan tersebut.

Perkawinan Adalah sunnatullah, hukum alam di dunia.Perkawinan dilakukan oleh manusia, hewan, bahkan oleh tumbuh-tumbuhan,karenanya menurut para Sarjana Ilmu alam mengatakan bahwa segala sesuatu kebanyakan terdiri dari dua pasangan.Ia adalah suatu cara yang dipilih oleh Allah Swt.,

1


(12)

sebagai jalan bagi makhluk-Nya untuk berkembang biak, dan melestarikan hidupnya.2Perkawinan sangat dibutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat guna melangsungkan kehidupan umat manusia serta untuk mempertahankan eksistensi kemanusiaan di muka bumi ini.Ia sangat disenangi oleh setiap pribadi manusia dan merupakan hal yang fitrah bagi setiap makhluk Tuhan. Dengan perkawinan akan tercipta suatu masyarakat kecil dalam bentuk keluarga dan dari sana pula akan lahir beberapa suku dan bangsa.3

Menurut ajaran agama Islam, bahwa nikah atau perkawinan itu dibolehkan bahkan dianjurkan oleh Rasulullah saw. Kepada umat manusia sesuai dengan tabiat alam yang mana antara golongan pria dan golongan wanita itu saling butuh membutuhkan untuk mengadakan ikatan lahir batin sebagai suami isteri yang sah dan terang dalam hukum agama atau undang-undang yang berlaku.Dengan perkawinan dapat mencegah pemuda dari perbuatan jahat dan maksiat.4

Pernikahan bagi umat manusia adalah suatu yang sangat sakral dan mempunyai tujuan yang sakral pula, dan tidak terlepas dari ketentuan-ketentuan yang ditetapkan syari’at agama. Orang yang melangsungkan sebuah pernikahan bukan semata-mata untuk memuaskan nafsu birahi yang bertengger dalam tubuh

2

Tihani dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat kajian Fikih Nikah Lengkap,( Jakarta: Rajawali Pers,2009),h. 8-9.

3

Syaikh Abdul Aziz bin Abdurrahman Al-Musnad Khalid bin Ali Al-Anbari, Perkawinan dan Masalahnya,(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,1993), h. 14.

4

Amir Taat Nasution, Rahasia Perkawinan Dalam Islam Tuntutan Keluarga Bahagia, 1994, Cet. Ke 3.,h.30.


(13)

dan jiwanya, melainkan untuk meraih ketenangan, ketentraman dan sikap saling mengayomi diantara suami isteri dengan dilandasi cinta dan kasih sayang. Di samping itu untuk menjalin tali persaudaraan di antara dua keluarga dari pihak suami dan pihak isteri. Jadi tujuan yang hakiki dalam sebuah pernikahan adalah mewujudkan mahligai rumah tangga yang sakinah yang selalu dihiasi mawaddah dan warahmah.

Kehidupan yang berpasang-pasangan ini mengandung hikmah yang sangat besar manfaatnya bagi kehidupan umat manusia bagi yang mau berpikir dan selalu beretika dengan mengikuti norma dan nilai-nilai sosial yang telah digariskan agama (Islam). Hidup berpasang-pasangan bagi umat manusia harus mengikuti tata cara dan peraturan yang digariskan oleh agama yang disebut dengan pernikahan, bahkan dalam kehidupan bernegara masalah pernikahan ini diatur oleh perundang-undangan negara bersangkutan.5

Islam mengatur keluarga bukan secara garis besar, tetapi sampai terperinci. Yang demikian ini menunjukkan perhatian yang sangat besar terhadap kesejahteraan keluarga.Terbentuknya suatu keluarga yaitu dimulainya dengan adanya perkawinan, karena perkawinan itu sangat dianjurkan oleh Islam bagi yang telah mempunyai kemampuan.6

Salah satu asas perkawinan yang disyari’atkan adalah perkawinan untuk selama-lamanya yang diliputi oleh rasa salingcinta mencintaidan kasih

5

Mohammad Asmawi, Nikah dalam Perbincangan dan Perbedaan,Maret 2004, h.19,34. 6


(14)

sayang.Oleh karena itu agama Islam mengharamkan perkawinan yang tujuannya untuk sementara dalam kurun waktu hanya sekedar untuk melampiaskan hawa nafsu saja.

Pada prinsipnya tujuan perkawinan dalam agama Islam adalah untuk memenuhi petunjuk Allah dalam rangka membentuk keluarga yang sakinah mawaddah warahmah.Sakinahdalam menjalankan hak dan kewajiban anggota keluaraga, mawaddah dalam menciptakan ketenangan lahir batin disebabkan terpenuhinya keutuhan hidup mereka, sehingga timbullah kebahagian kasih sayang antara anggota keluarga.7

Oleh karena itu di dalam menjalani sebuah hubungan ada yang namanya hak dan kewajiban, begitu juga dalam perkawinan diantaranya ialah suami wajib memberi biaya hidup pada isteri dan anak-anaknya yang lebih dikenal dalam istilah fiqih adalah nafkah.Yaitu memenuhi kebutuhan papan, sandang, pangan, dan juga pengobatan.Memberi nafkah kepada isteri hukumnya wajib. Sebagaimana firman Allah dalam (QS: Al-Baqarah:223) permasalahan pemberian nafkah terjadi ketika akad nikah selesai secara sah, hak dan kewajiban antara suami isteri timbul tanpa dapat dihindari.

Islam membina ikatan antara suami dan isteri di atas dasar-dasar yang jelas dan benar serta sesuai prinsip-prinsip agama yang telah dientukan. Allah menjelaskan hal itu dalam firmannya:

7

Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Studi Kritis Perkembanagn Hukum Islam dari Fikih, UU No.1/1974 sampai KHI), (Jakarta: Kencana,2006),Cet. Ke- 3, h.42.


(15)

“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.(QS.(2):228)”.

Dengan merujuk kepada undang-undang yang indah ini, Islam mengukuhkan hubungan antara pasangan suami isteri atas dasar keseimbangan, keharmonisan dan keadilan. Wanita mempunyai hak yang wajib dipikul oleh suaminya menurut tuntutan agama yang suci, sebagai pertimbangan bagi hak suami yang wajib dipikul oleh isterinya menurut agama. Islam tidaklah menetapkan suatu hak kepada pria (suami) sebelum ia menetapkan suatu hak kepada seorang wanita (isteri).

Untuk menyempurnakan keseimbangan ikatan antara suami isteri, Islam telah membuat dan menetapkan hak-hak yang jelas bagi suami atas isterinya. Hanya saja, tuntutan hak bagi suami lebih ringan ketimbang hak isteri atas suaminya.Sebab hak-hak isteri tuntutannya lebih banyak dan lebih luas.

Perempuan adalah mitra laki-laki,laksana soerang mentari dalam megurus keluarga, wakil saat suami tiada, pendidikan anak-anak, dan sekaligus penjaga rahasia-rahasia suami. Dan kaum perempuan mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf (Al-Baqarah[2]:228), berkaitan hak suami dan hak isteri, hak-hak mereka dibagi menjadi dua kategori, hak bersama antara suami dan isteri serta hak antara setiap individu, dalam arti apa yang menjadi hak isteri tidak bisa menjadi hak suami dan begitu juga sebaliknya.


(16)

Dengan demikian, seorang perempuan layak mendapatkan hak istimewa. Bahkan sudah seharusnya kaum perempuan memiliki peran sekaligus pengakuan penting dalam berbagai aspek kehidupan.8

Realitas demikian sama sekali tidak ada hubungannya dengan perbedaan status atau derajat, kedua-duanya juga mempunyai peran yang sangat penting dalam membangun kehidupan yang harmonis di dunia. Fakta juga berbicara bahwa antara keduanya tidak dapat dipisahkan karena keduanya saling melengkapi dan saling menyempurnakan.9

Apabila antara suami dan isteri terjadi salah faham dan tidak menyayangi antara satu sama lain, maka terjadilah talaq. Tidak adanya pergaulan yang baik antara kedua suami isteri akibat talaq, sedang isteri berkewajiban menjalani iddah, adalah antara sebab yang rasional mengapa suami harus dibebankan untuk membiayai nafkah selama si isteri menjalani iddah tersebut.Nafkah iddah wajib diberikan kepada perempuan yang sedang beriddah raj’i dan beriddah hamil.Perempuan yang beriddah raj’i berhak mendapat nafkah bedasarkan firman Allah dalam surah talaq ayat 6. Ayat ini mewajibkan suami untuk menyediakan tempat tinggal kepada istri. Manakala tempat tinggal wajib diberikan, maka memberikan nafkah juga wajib, karena nafkah itu mengikuti wajibnya memberikan tempat tinggal.

8

Abd al-Qadir Manshur, Buku Pintar Fikih Wanita, Cet. Ke-1,h.276. 9


(17)

Islam menetapkan suami memberikan nafkah iddah kepada isterinya selama iddahnya itu berlangsung dengan syarat isteri tidak nusyuz dan tidak ada sebab lain yang akan menyebabkan terhalangnya nafkah berdasarkan kaedah umum yang mengakui bahwa orang yang menjadi milik orang lain diambil manfaatnya, maka nafkahnya menjadi tanggungan orang yang menguasainya.

Demi menegakkan keadilan, kita perlu kepada undang-undang dan tidak diragukan sama sekali bahwa kita telah dikaruniakan dengan undang-undang Islam yang syumul dan universal. Untuk mentadbirnya, maka diwujudkan lembaga pengadilan dan untuk menyelesaikan sengketa umat Islam dalam urusan berkaitan hal ihwal Islam, maka disetiap kasus perceraian dilakukan melalui Pengadilan Agama.

Jika terjadi perceraian, khususnya cerai talak maka suami tidak mencampakkan begitu saja tetapi suami harus memberi nafkah iddah bagi isteri yang ditalak oleh suaminya, karena bagi isteri yang ditalak oleh suaminya masih mendapatkan hak-hak dari mantan suaminya selama berada dalam masa iddah.Karena memberikan nafkah tidak hanya selama perkawinan berlangsung tetapi juga setelah perceraian dan isteri berada dalam masa iddah.

Karena seorang wanita yang sedang ditalak raj’i baik dia hamil maupun tidak dia wajib menjalani masa iddah.Di sisni bukan hanya menjalani iddah tunggu saja tetapi dalam masa iddah mantan siteri berhak mendapatkan nafkah dari mantan suaminya apabila perceraian itu dari suatu perkawinan yang sah.Perceraian itu terjadi karena ditalak oleh suaminya atau oleh hakim karena


(18)

kejahatan suami, atau perceraian itu terjadi karena fasakh dari pihak suami, atau dari pihak isteri tetapi bukan karena suatu maksiat isteri seperti khiyar (fasakh) isteri karena suami tidak mampu memberi nafkah sesudah mereka campur (dukhul).

Dalam hal ini, pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberi biaya penghidupan dan atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas isteri (pasal 41 UU No.1/1974).Dengan demikian, bekas suami mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu yang harus dipenuhi kepada mantan isterinya.Nafkah selama isteri menjalani iddah tersebut, wanita dalam iddah raj’i Ulama sepakat bahwa wanita yang sedang talak raj’i tersebut berhak menerima nafkah lahir sepenuhnya dari mantan suaminya.10

Begitupun yang telah diatur dalam peraturan pemerintah baik undang-undang maupun Instruksi Presiden mengenai masalah nafkah sarana kesehatan isteri telah diatur dalam undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 34 ayat 1 dan instruksi presiden Nomor 1 Tahun 1991 yaitu tentang Kompilasi Hukum Islam pasal 80 ayat 4 huruf b menjelaskan bahwa kewajiban suami terhadap isteri yaitu biaya rumah tangga, biaya perawatan, dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak.

Lazimnya setiap kasus perceraian yang dilakukan melalui pengadilan agama, begitu permohonan cerai diajukan dan dikabulkan oleh pihak pengadilan

10

Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam, Suatu studi Perbandingan dalam Kalangan Ahlus-Sunnah dan Negara-Negara Islam,(Jakarta: PT Bulan Bintang, 1998), h. 375.


(19)

agama maka suami dibebankan membayar nafkah iddah dan nafkah mut’ah atas dirinya selama tiga bulan berturut-turut, maka suami wajib membayar nafkah kepada isteri yng disebut dengan nafkah iddah yang didasarkan atas kemampuan suami sebagai upaya pemenuhan kewajiban yang telah ditetapkan oleh syari’at Islam.

Pemberian mut’ah dan nafkah iddah pasca perceraian sering dijadikan tolak ukur sensitivitas jender hakim dalam penyelesaian perkara perceraian. Namun, sejalan dengan pemahaman baru ini para hakim memberikan penekanan terhadap nafkah iddah tingkat sunnah yang tidak mewajibkan harus dilaksanakan menjadi muakkadah yaitu wajib dilaksanakan seperti halnya sholat jum’at, seperti halnya dalam memberikan mut’ah dan iddah sebagaimana disebutkan dalam KHI. Artinya, ketentuan pemberian mut’ah yang dulunya hanya bersifat non-impratif (ghairu muakkadah), ditingkatkan menjadi semi impratif (muakkadah). Dengan cara itu maka dalam setiap perkara permohonan cerai, suami disyaratkan secara mutlak untuk membayar uang konpensasi ini kepada pihak isteri setelah perceraian terjadi.11

Dalam hal nafkah masa iddah ini, adalah amat penting bagi seorang lelaki untuk memberikan nafkah iddah kepada bekas isterinya agar si isteri tidak ditelantarkan dalam menjalani masa iddahnya. Dari sini maka timbul suatu kekhawatiran yang terkadang muncul akankah suami mempunyai i’tikad baik

11

Arskal Salim, dkk, Demi keadilan dan Kesetaraan Dokumentasi Program Sensitivitas Jender Hakim Agama di Indonesia, 2009, h. 65.


(20)

untuk memenuhi kewajibannya memberikan hak-hak isteri seperti yang telah ditentukan oleh Pengadilan Agama.

Oleh karena itu, pada kajian ini penulis tertarik untuk membahas mengenai nafkah iddah dengan judul “ Realisasi Pelaksanaan Nafkah Iddah Dalam Kasus Perceraian Di Pengadilan Agama Jakarta Selatan Tahun 2012”

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Agar pembahasan dalam skripsi ini menjadi lebih fokus, tersusun dengan sistematis dan terarah, maka penulis membatasi lingkup permasalahan dengan melakukan pembatasan masalah sebagai berikut. Penelitian ini akan menginterpretasikan urgensi nafkah dalam masa iddah dari perspektif hak-hak perempuan dalam perkawinan, khususnya hak yang harus diterima oleh isteri selama masa iddah. Dengan melihat implementasi nafkah iddah yang berlaku berdasarkan putusan hakim (yurisprudensi) di Pengadilan Agama Jakarta Selatan pada tahun 2012.

2. Perumusan Masalah

Perumusan masalah dapat diketahui bahwa nafkah masa iddah adalah suatu kewajiban suami untuk memberikan nafkah iddah kepada bekas isterinya, hal ini berdasarkan pada hukum Islam maupun undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan mengikut KHI berdasarakan kepada putusan hakim, isteri berhak mendapatkan nafkah iddah dari bekas suaminya terutama nafkah tempat tinggal


(21)

dan keperluan atas yang lain. Tetapi dalam faktanya masih banyak terjadi diantara istri-istri yang tidak mendapatkan nafkah iddah pasca perceraian.

Oleh karena itu penulis ingin membahas mengenai nafkah iddah. Untuk memperjelas permasalahan skripsi ini, maka penulis merumuskan dengan beberapa pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana prosedur pemberian nafkah iddah di Pengadilan?

2. Bagaimana implementasi pelaksanaan putusan tentang nafkah iddah di Pengadilan Agama Jakarta Selatan?

3. Apa upaya hukum apabila suami lalai melaksanakan nafkah iddah?

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat

Tujuan dari penelitian skripsi ini adalah untuk mendeskripsikan beberapa permasalahan sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui bagaimana prosedur pemberian nafkah iddah yang di terapakan di Pengadilan Agama.

2. Untuk mengetahui bagaimana implementasi pelaksanaan putusan tentang nafkah iddah di Pengadilan Agama Jakarta Selatan

3. Mengetahui upaya hukum Pengadilan Agama apabila suami lalai melaksanakan nafkah iddah terhadapputusan Pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap.

Seterusnya, manfaat yang dapat diambil atau dikutip dari penelitian ini antara lain adalah sebagai berikut:


(22)

1. Dapat mengetahuidan lebih memahami problematika seputar nafkah yang menjadikan tanggung jawab suami dan diberikan kepada isteri dan nafkah iddah yang tidak diberikan oleh suami yang telah diperintahkan tetapi tidak diberikan oleh suami yang sepatutnya diberikan.

2. Dapat mengetahui hukum memberikan nafkah iddah yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an dan sunnah. Manakala dapat menguasai mengenai nafkah iddah dengan lebih mendalam dan kenapa kewajiban nafkah iddah adalah tanggung jawab yang diberikan oleh suami.

3. Dapat menambah wawasan ilmu dalam wilayah kajian yang erat kaitannya dengan program studi Ahwal al-Syakhshiyyah dan menambah literatur kepustakaan.

D. Kerangka Teori

Talak adalah ikrar suami dalam sidang Pengadilan Agama yang mejadi salah satu sebab putusnya perkawinan sebagaimana dimaksud dalam pasal 129,130, dan 131 KHI.Dalam ajaran Islam, talak bagaikan pintu darurat yang merupakan jalan pintas untuk mengatasi kemelut rumah tangga, bila tidak ditemukan jalan lain untuk mengatasinya. Dengan demikian, pada dasarnya, ajaran Islam tidak menyukai terbukanya pintu darurat tersebut.

Untuk menjaga agar pintu darurat itu benar-benar hanya digunakan pada situasi gawat darurat dalam kehidupan suami isteri, maka Al-Qur’an menetapkan, wewenang talak hanya berada pada tangan suami, yang pada umumnya, tidak seemosional seorang isteri dalam berbuat dan menentukan sikap.


(23)

Isteri yang telah bercerai dari suaminya masih mendapatkan hak-hak dari mantan suaminya diantaranya adalah:

1. Isteri yang dicerai dalam bentuk talak raj’i , hak yang diterimanya adalah penuh sebagaimana yang berlaku sebelum dicerai, baik dalam bentuk perbelanjaan untuk pangan, untuk pakaian dan juga tempat tinggal.

2. Isteri yang dicerai dalam bentuk talak ba’in, baik ba’in sughra atau ba’in kubra dan dia sedang hamil. Dalam hal ini ulama sepakat, bahwa dia berhak atas nafaqah dan tempat tinggal.

3. Hak isteri yang ditinggal mati oleh suaminya. Dalam hal isteri dalam keadaan hamil dia berhak atas nafkah dan tempat tinggal, namun bila siteri tidak dalam keadaan hamil ada yang mengatakan disuruh tinggal di rumah suaminya, dan ada juga ulama yang mengatakan berhak atas tempat tinggal, begitupun dalam pasal 152 KHI dan pasal 41 UU No.1 Tahun 1974, yaitu bekas isteri berhak mendapatkan nafkah dari bekas suaminya kecuali nusyuz.12

Jadi pemberian nafkah oleh mantan suami kepada mantan isteri setelah percerian dimaksudkan agar isteri dapat memenuhi semua kebutuhan primernya selama masa iddah tanpa harus melanggar aturan-aturan iddah. Bila suami melalaikan kewajibannya maka akan timbul berbagai permasalahan, misalnya si anak putus sekolah, sehingga anak tersebut menjadi terlantar atau bahkan

12

Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqih Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan,(Jakarta: Kencana,2009),Cet.3,h.322.


(24)

menjadi gelandangan. Sedangkan mantan isterinya sendiri tidak menutup kemungkinanan akan terjerumus ke lembah hitam.13

Undang-undang mengatur bahwa tugas pokok dari badan peradilan adalah menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya. Tugas lain daripada itu dapat diberikan kepadanya berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Putusan atau vonis dari pengadilan perdata memuat perintah dari pengadilan kepada pihak yang kalah untuk melakukan sesuatu atau memberikan sesuatu atau berbuat sesuatu atau melepaskan sesuatu atau menghukum sesuatu tertentu, perintah mana kalau tidak dituruti dengan sukarela dapat diperintahkan untuk dijalankan (di eksekusi) dengan kekerasan atau paksa.Jadi sifat dictumnya putusan adalah condemnatoir atau harus ada di antara bunyi dictumnya itu bersifat condemnatoir.

Dikatakan bersifat condemnatoir adalah artinya menghukum salah satu pihak untuk melaksanakan sesuatu atau untuk menyerahkan sesuatu sebagaimana yang telah disebutkan dalam dictum atau amar putusan.

Suatu putusan atau penetapan dikatakan mempunyai kekuatan mengikat ialah setelah ia in kracht, yaitu setelah habis upaya hukumnya. Tetapi walaupun putusan peradilan agama tersebut sudah in kracht, sepanjang dalam jenis-jenis perkara yang didapat di dalam Undang-undang No.1 tahun 1974 dan peraturan

13

M. Daud Ali, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakrta: PT.Raja Grafindo),Cet.6,h.125.


(25)

pemerintah No.9 tahun 1975, ternyata masih perlu dikukuhkan oleh peradilan umum, bahkan untuk eksekusinya masih memerlukan fiat eksekusi dan bantuan peradilan umum. Fiat eksekusi putusan Peradilan Agama oleh Peradilan Umum adalah tindakan untuk menyatakan bahwa keputusan Peradilan Agama itu dapat dilaksanakan atau dieksekusi.14

Apabila suami melalaikan kewajibannyauntuk membayar nafkah iddahyang sudah diputuskan oleh hakim Pengadilan Agama dan putusan itu sudah berkekuatan hukum tetap, maka isteri dapat mengajukan eksekusi ke Pengadilan Agama untuk menuntut hak-haknya atas nafkah tersebut.

Pengadilan Agama adalah lembaga yang berwenang dalam menyelesaikan perkara perdata termasuk masalah nafkah iddah. Namun untuk menyelesaikan masalah tersebut di atas para pencari keadilan yang selalu agresif mengajukan permasalahannya ke Pengadilan Agama. Bila tidak mendapatkan kejelasan dan kepastian hukum sudah barang tentu pengajuan perkara haruslah sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan oleh Undang-Undang.

E. Metode Penelitian

Untuk memperoleh suatu hasil yang maksimal dari suatu karangan ilmiah, maka metode penelitian yang dijalankan akan memegang peranan yang sangat penting. Hal ini yang sangat mempengaruhi sampai tidaknya isi penulisan

14


(26)

itu kepada tujuan yang ingin dicapai. Metode yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah:

1. Jenis Penelitian dan Pendekatan Penelitian

Pengkajian yang dijalankan adalah berkisar norma hukum positif dan analisis yurisprudensi dari Pengadilan Agama. Maka, penelitian yang penulis lakukan adalah penelitian kualitatif dengan mengaplikasikan pendekatan survey. Metode survey merupakan suatu usaha koleksi data (usaha intventarisasi data) yang menyeluruh atas data yang terdiri daripada peraturan hukum positif termasuk putusan lembaga pengadilan dalam setiap penyelesaian perkara in-concreto.15

2. Sumber Data

a. Data Primer: yaitu data lapangan yang didapat dari sumber pertama selama penelitian berjalan.16 Data ini dikumpulkan melalui wawancara hakim, data laporan tahunan dan analisa mengenai realisasi pelaksanaan pemberian nafkah iddah di Pengadilan Agama Jakarta Selatan.

b. Data Sekunder: yauitu data yang penulis langsung dapatkan dari sumber pertamanya, berupa putusan-putusan hakim (yurisprudensi) yang ada di Pengadilan Agama berhubungan nafkah iddah. Dan juga data yang diperoleh dari kitab, buku-buku dan jurnal yang berkenaan dengan nafkah iddah.

15

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h.70.

16


(27)

3. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data, penulis menggunakan beberapa teknik pengumpulan data, yaitu:

a. Observasi, yaitu untuk mendapatkan data tentang putusan perkara di Pengadilan Agama.

b. Dokumentasi, yaitu dengan mempelajari hasil laporan data perkara Tahun 2012 yang terkait dengan cerai talak yang di dalam putusannya ditetapakan pembayaran nafkah iddah.

c. Wawancara, yaitu dalam pengumpulan data melalui wawancara , peneliti melakukan wawancara mendalam (depth interview) dengan pedoman wawancara.17 Pedoman wawancara digunakan oleh peneliti agar dapat mengarahkan dan memudahkan dalam mengingat pokok-pokok permasalahan yang di wawancarakan dengan interview. Dengan begitu kegiatan wawancara bisa terfokus pada pokok permasalahan sehingga berbagai hal yang kemungkinan terlupakan akan dapat diminimalisasi. Instrument yang digunakan penulis adalah alat perekam untuk merekam selama wawancara berlansung. “wawancara” merupakan suatu kegiatan

17

Masri singaribun dan sofian effendi (ed), metode penelitian survey, (Jakarta: LP3S,1989),h.10.


(28)

dalam proses memperoleh keterangan yang dilakukan dengan cara tanya jawab lisan antara dua orang atau lebih secara langsung 18

Dalam penelitian ini, wawancara diarahkan kepada sumber data informan (interview) yang di asumsikan memiliki keterikatan langsung yaitu dengan perjalanan obyek penelitian yakni hakim yang menyidangkan dan memutuskan perkara tersebut.

4. Teknik Analisis Data

Dalam suatu analisis, penulis menggunakan metode deskriptif kualitatif. Teknik analisis deskriptif digunakan untuk menuturkan, menafsirkan, serta menguraikan data yang bersifat kuantitatif yang diperoleh dari hasil wawancara secara langsungmelalui hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan.

Penulis kemudian mendeduksi data dengan cara merangkum, mengidentifikasikan dan mengolah semua data dengan memfokuskan permasalahan sebatas pokok permasalahan yang diteliti. Kesimpulan seterusnya dibuat dengan mengaplikasikan metode yuridis normatif yaitu suatu metode yang menggambarkan permasalahan yang dikaji berdasarkan norma hukum yang berlaku. Diharapkan data atau bahan yang diperoleh menjadi lengkap sehingga pokok permasalahan dapat dianalisa dan disusun dengan jelas, lengkap dan sistematis.

18

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), Cet ke-3, h. 193-196.


(29)

5. Teknik Penulisan

Dalam penyusunan secara teknik penulisan sesuai berpedoman pada prinsip-prinsip yang diatur dan dibukukan dalam Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah 2012.

F. Review Studi Terdahulu

Beberapa penelitian yang penulis temukan yang membahas tentang kajian yang terkait dengan penelitian ini antara lain adalah:

No Identitas Penulis Keterangan Perbedaan

1. Fazrul Lizan/ 2008, Problematika

Perceraian dan Pengaruhnya

Terhadap Nafkah dalam Masa Iddah dan Biaya Anak Studi di Mahkamah Syariah Kuching Sarawak dari tahun 1999-2007.

Penelitian yangmana untuk memahami nafkah iddah dan biaya anak menurut Syariat. Selain itu sebab yang menyebabkan wajib membayar nafkah iddah, dan apa prosedur Mahkamah dalam Hal Perceraian, nafkah iddah dan biaya anak. Dan mengetahui efektifitas penerapan Ordinan Undang-undang Keluarga Islam Sarawak dalam mengatur

Manakala perbedaan ini adalah penulis tidak membahas atau tidak yang terkait mengenai biaya anak selepas perceraian. Selain itu penelitian tertumpu pada undang-undang

perkawinan di Indonesia. Yaitu terkait pemberian nafkah iddah dan bagiamana realisasi


(30)

urusan yang terkait. Penulis menceritakan sekilas mengenai Negeri Sarawak. Dan sebab perceraian, jenis perceraian, dan mengkaji perceraian pada masyarakat Kuching dan alasan yang timbul dari perceraian dan pengaruh terhadap nafkah.

pelaksanaannya di Pengadailan Agama Jakarta Selatan.

2. Hanif Baguz Azhar/ 2008, Nafkah Iddah Bagi Mantan Isteri Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Analisis Putusan Perkara Nomor 1038/ Pdt.G/2008/ PA JT).

Penelitian yangmana untuk memahami nafkah iddah atas korban kekerasan dalam rumah tangga, dan apa prosedur Mahkamah dalam hal kekerasan. Dan mengetahui efektifitas penerapan Undang-undang dalam mengatur urusan terkait.

Perbedaan dengan yang penulis bahas adalah penulis tidak membahas kekerasan dalam rumah tangga karena penulis membahas mengenai isteri yang dicerai dan bagaimana keterkaitan hak-hak isteri yang dicerikan oleh suaminya. Dan hak apa sajakah yang harus dia dapatkan selama menjalani masa


(31)

iddah yang bersesuaian dengan undang-undang maupunhukum Islam. 3. Abrokhul Isnani/2012,

Pemberian Nafkah Iddah Terhadap Isteri Nusyuz (Studi Analisis Terhadap Perkara Nomor: 96/Pdt.G/2009/PA Depok).

Skripsi yang penulis buat itu membahas mengenai nafkah iddah akibat isteri nusyuz, dan

akan memperdalam

permasalahan nafkah iddah yang disebabkan karena isteri nusyuz. Karena dalam fiqih dan juga KHI pasal 149 poin b, bekas suami wajib memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isteri kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak bain atau nusyuz.

Berbeda dengan yang dibahas oleh penulis, yaitu penulis tidak membahas mengenai pemberian nafkah iddah akibat isteri yang nusyuz, tetapi penulis di sini membahas mengenai pemberian nafkah iddah terhadap isteri yang dialak raj’i dan kepatuhan suami terhadap aturan hukum Islam maupun undang-undang perkawinan yang diberlakukan dalam putusan Pengadilan.


(32)

G. Sistematika Penulisan

Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai materi yang menjadi pokok penulisan dan memudahkan para pemabaca dalam memahami tata aturan penulisan, maka penulis menyusun sistematika penulisan seperti berikut: BAB I: Pada permulaan bab ini penulis mengetengahkan gambaran pendahuluan yang memuatkan latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, riview studi terdahulu dan sistematika penulisan.

BAB II: Dalam bab ini penulis menguraikan teori tentang nafkah iddah mengenai hak-hak perempuan dalam perkawinan, perceraian dalam perkawinan, macam-macam iddah dan hikmah iddah, hak-hak perempuan dalam iddah dan iddah dalam Undang-undang perkawinan.

BAB III: Bab seterusnya ini penulis membahas tentang latar belakang Peradilan Agama, kewenangannya, dan bagaimana kompetensi absolut Pengadilan Agama Jakarta Selatan.

BAB IV: Pada bab ini pembahasan mengenai aplikasi nafkah iddah di Pengadilan Agama Jakarta Selatan tentang deskripsi kasus cerai, data perkara, proses pelaksanaan nafkah iddah dan analisis yurisprudensi implementasi nafkah iddah. BAB V: Merupakan bab yang terakhir dari penulisan ini meliputi kesimpulan dari pembahasan, serta beberapa saran-saran berdasarkan hasil analisis dari penelitian ini yang diharapkan dapat dijadikan bahan masukan pada pihak-pihak terkait.


(33)

A. Pengertian Nafkah dan Dasar Hukumnya

Nafkah secara bahasa, an-nafaqat adalah bentuk jamak dari kata nafaqah kata kerja yang dibendakan (mashdar) al-infaq, yaitu memberikan sesuatu secara baik demi mengharap ridho Tuhan. Sedangkan menurut istilah nafkah adalah kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan istri dalam meneyediakan makanan, tempat tinggal, pakaian dan obat-obatan.1 Dalam kamus bahasa Indonesia nafkah juga diartikan dengan“ bekal hidup sehari-hari atau belanja untuk memelihara kehidupan”.2

Kata nafaqah yang berasaldarikata

نا

dalam bahasa Arab secara etimologi mengandung arti

:

ص ن

yang berarti berkurang. Juga berarti

ف

ب

yang berarti hilang atau pergi. Bila seseorang dikatakan memberiakan nafaqah membuat harta yang dimiliknya menjadi sedikit karena telah dilenyapkan atau dipergikannya untuk kepentingan orang lain. Bila kata ini dihubungkan dengan perkawinan mengandung arti:“ sesuatu yang dikeluarkannya dari hartanya untuk kepentingan istrinya sehingga menyebabkan hartanya menjadi berkurang”. Dengan demikian, nafaqah istri

1 Wahbah Zuhaili,Fiqih Imam Syafi’i, ( Jakarta: almahira, 2010) , h. 41. 2

Tim PenyusunKamusPusatBahasa, KamusUmumBahasa Indonesia, ( Jakarta: BalaiPustaka, 2002), Cet. Ke- 1, h. 267.


(34)

berarti pemberian yang wajib dilakukan oleh suami terhadap istrinya dalam masa perkawinannya.3

Secara terminologi, Sayyid Sabiq dalam bukunya fiqh As-Sunnah menyebutkan nafkah merupakan hak istri dan anak-anak untuk mendapatkan makanan, pakian, dan kediaman serta beberapa kebutuhan pokok lainnya dan pengobatan, bahkan sekalipun si istri adalah seorang wanita yang kaya. Ada pula ulama yang yang berpendapat bahwa nafkah adalah hak istri yang merupakan kewajiban suami semenjak adanya hubungan atau ikatan untuk hidup bersama, yaitu pemberian nafkah dengan adil kepada istri menurut adat kebiasaan dan lingkungan masyarakat di mana istri tinggal.4

Nafaqah adalah kewajiban suami yang harus dipikulnya terhadap istrinya. Nafaqah merupakan kebutuhan pokok bagi kehidupan suatu keluarga; tidak nyaman kehidupan keluarga tanpa ketiga hal tersebut. Hal yang telah disepakati oleh ulama kebutuhan pokok yang wajib dipenuhi suami sebagai nafaqah adalah pangan, sandang dan papan. Ulama sepakat tentang kewajiban suami untuk memberi nafkah kepada istrinya berdasarkan dalil-dalil Al-Qur’an, mereka berbeda dalam menetapkan kapan secara hukum dimulai kewajiban nafaqah itu. Beda pendapat itu bermula dari beda pendapat mereka dalam hal apakah nafaqah itu diwajibkan karena semata melihat

3

Amir Syarifudun, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan , ( Jakarta: Kencana,2009 ), Cet.Ke-3 , h.165.

4

A. Rahman I DJI, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah ( Syariah), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), Cet. Ke-1, h. 267.


(35)

kepada akad nikah atau melihat kepada kehidupan suami istri yang memerlukan nafkah itu.

Jumhur ulama termasuk ulama Syi’ah Imamiyah berpendapat bahwa nafaqah itu mulai diwajibkan semenjak dimulainya kehidupan rumah tangga, yaitu semenjak suami telah bergaul dengan istrinya, dalam arti istilah telah memberikan kemungkinan kepada suaminya untuk menggaulinya, yang dalam fiqih disebut dengan tamkin. Dengan semata terjadinya akad nikah belum ada kewajiban membayar nafkah. Berdasarakan pendapat ini bila setelah berlangsungnya akad nikah istri belum melakukan tamkin, karena keadaannnya ia belum berhak menerima nafaqah. ( al- Thusiy, V: 11)

Golongan Zahiriyah berpendapat bahwa bagi mereka kewajiban nafaqah dimulai semenjak akad nikah, bukan dari tamkin, baik istri yang telah melangsungkan akad nikah itu memberi kesempatan kepada suaminya untuk digauli atau tidak, sudah dewasa atau masih kecil. ( Ibnu Hazmin: 249)

Dasar pemikiran golongan ini ialah ayat-ayat Al-Qur’an maupun hadis Nabi yang mewajibkan suami membayar nafkah tidak menetapkan waktu. Dengan begitu bila seseorang telah menjadi suami, yaitu dengan berlangsungnya akad nikah, maka ia telah wajib membayar nafaqah tanpa melihat kepada keadaan istri. Inilah tuntutan zahir dari dalil yang mewajibkan nafaqah.5

5

Amir Syarifudun, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan , ( Jakarta: Kencana,2009 ), Cet.Ke-3, h. 168.


(36)

Dalam Kompilasi Hukum Islam permasalahan nafkah terjadi ketika akad selesai secara sah. Pelaksanaan pemberian nafkah kepada isteri dimulai sejak ditetapkannya sebuah perkawinan. Setelah itu, suami berkewajiban secara penuh kepada isteri dalam hal pemberian nafkah kepada isteri secara langsung.

Dalam pasal 23 angka (1), dapat dimaknai bahwa nafkah adalah kewajiban bagi suami.“ Setiap orang memperoleh nafkah dari hartanya sendiri, akan tetapi nafkah isteri adalah tanggungjawab suami”. Makna lain dari pasal 115 ini adalah bahwa siapa saja boleh hidup dengan nafkahnya sendiri selama ia memiliki harta kekayaan tersebut. Perubahan terjadi ketika seseorang menikah, sebagai suami, ia bertanggungjawab baik kepada dirinya sendiri dan kepada istrinya. Sebaliknya, isteri tidak perlu “ repot-repot” mencari nafkah.6

Dalam menjalani sebuah hubungan ada yang namanya hak dan kewajiban, begitu juga dengan perkawinan, suami isteri mempunyai hak dan kewajiban, salah satu diantaranya ialah suami wajib memberi biaya hidup pada isterinya yang lebih dikenal dalm istilah fiqih disebut dengan nafkah. Memberi nafkah kepada isteri hukumnya wajib.

Kewajiban memberikan nafakah oleh suami kepada isterinya yang berlaku dalam fiqih didasarkan kepada prinsip pemisahan harta antara suami

6

Dedi Supriyadi, Mustofa,Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam, November 2009, h.53.


(37)

dan isteri. Prinsip ini mengikuti alur pikir bahwa suami itu adalah pencari rezeki; rezeki yang telah diperolehnya itu menjadi haknya secara penuh dan untuk selanjutnya suami berkedudukan sebagai pemberi nafaqah. Sebaliknya istri bukan pencari rezeki dan untuk memenuhi keperluannyaia berkedudukan sebagai penerima nafaqah.7

Dari pengertian-pengertian yang telah dikemukakan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa nafkah adalah sesuatu yang diberikan suami terhadap istri untuk mencukupi kebutuhannya yang berupa pakian, makanan, tempat tinggal dan sebagainya menurut kadar kemampuan suami setelah adanya ikatan perkawinan yang sah.

Kewajiban suami memberikan nafkah terhadap istri ini tidak memandang status sosial suami baik dia seorang yang kaya maupun miskin, ataupun sebaliknya. Nafkah adalah persoalan yang sangat berat dan harus ditanggung oleh laki-laki sebagai suami.8

Dasar Hukum Nafkah:

Hukum membayar nafaqah untuk isteri, baik dalam bentuk perbelanjaan, pakaian adalah wajib. Kewajiban itu buakan disebabkan oleh karena isteri membutuhkanya bagi kehidupan rumah tangga, tetapi kewajiban yang timbul dengan sendirinya tanpa melihat kepada keadaan isteri. Bahkan

7

Amir Syarifudun, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan , ( Jakarta: Kencana,2009 ), Cet.Ke-3, h. 165.

8

Fuad Kauman dan Nipan, Membimbing Istri Mendampingi Suami, ( Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1998 ), h. 81.


(38)

diantara ulama Syi’ah menetapkan bahwa meskipun isteri orang kaya dan tidak memerlukan bantuan biasa dari suami, namun suami tetap wajib membayar nafaqah. ( Mughniyah: 207 ). Dasar kewajibannya terdapat dalam Al- Qur’an maupun dalam hadist Nabi.

Di antara ayat Al-Qur’an yang menyatakan kewajiban perbelanjaan terdapat dalam surat Al-Baqarah (2) ayat 233:

                                                                                                 

“Kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan” .(Q.S. Al-Baqarah :223)

Di antara ayat yang mewajibkan perumahan adalah surat at-Thalaq (65) ayat 6:


(39)

                                                              

“Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya”.

Adapun dalam bentuk sunnah terdapat dalam beberapa hadis Nabi, di antaranya hadis Nabi yang berasal dari Abu hurairah menurut riwayat Muslim:9

مع ا نم ف ا س م اعط مم م س ع ه ا ص ه ا س

ط ام ا ا

Rasul Allah SAW. Bersabda: hak anak-anak untuk mendapatkanmakanan dan pakaian, dan tidak dibebani untuk berbuat kecuali yang mampun ia perbuat.

                          

“ Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”. (QS An-Nissa’ : 34).

9

Ahmad Ibn Hambal, Musnad Ahmad, ( Beirut: Muassah al-Risalah, 1421 H/ 2001 M), Cet. Ke-1, Juz 12, h. 324.


(40)

B. Perceraian dalam Perkawinan

Perceraian atau yang dalam bahasa Arabnya “ talak” yang artinya melepaskan, membebaskan atau meninggalkan. Menurut istilah perceraian adalah: melepas tali perkawinan pada waktu sekarang atau pada waktu yang akan datang, dari kata yang memberi pengertian talak secara tegas atau berupa petunjuk yang diucapkan oleh seorang suami atau orang yang mewakilinya. Akad nikah akan putus seketika apabila terjadi talak baindan pada saat yang akan datang apabila terjadi talak raj’i.

Secara singkat, perceraian didefinisikansebagai melepas tali perkawinan dengan kata talak atau kata yang sepadan artinya dengan talak.

Kedua pengertian di atas berbeda ungkapannya, akan tetapi mengandung maksud yang sama yakni melepaskan ikatan perkawinan dengan kata talak. Perceraian dalam hukum positif ialah: suatu keadaan di mana antara seorang suami dan seorang istri telah terjadi ketidakcocokan batin yang berakibat pada putusnya suatu perkawinan, melalui putusan pengadilan setelah tidak berhasil didamaikan.10

Prinsip perkawinan Islam adalah di mana sebuah perkawinan harus bias dipertahankan agar tidak terjadi subuah perceraian, oleh sebab itu segala bentuk persekutuan tersebut dapat terus berlangsung. Namun apabila harapan dan kasih sayang sudah tidak ada lagi dan perkawinan menjadi sesuatu yang

10

Yayan Sopyan, Islam Negara Transformai Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum Nasional, ( Jakarta: PT. Semesta Rakyat Merdeka, 2012), Cet. Ke-2, h. 173-174.


(41)

membahayakan sasaran hukum demi kepentingan mereka dan kepentingan masyarakat, maka perpisahan antara suami dan istri boleh dilakukan.11

Jadi talak adalah menghilangkan ikatan perkawinan sehingga setelah hilangnya ikatan perkawinan itu istri tidak lagi halal bagi suaminya.

Pengertian talak dalam pasal 114 ini dijelaskan KHI dalam pasal 117, bahwa talak adalah ikrar suami di dalam siding pengadilan agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan dengan cara sebagaimana dimaksud dalam pasal 129, 130, dan 131.12

Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi talak yang diucapkan di depan pengadilan setelah pengadilan mengizinkan suami mengikrarkannya melalui penetapan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap (in cracht).

Perkara cerai talak merupakan jenis perkara permohonan yang diajukan suami. Seorang suami yang kawinsecara Islam ( di Kantor Urusan Agama atau KUA) yang akan menceraikan istrinya mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk mengadakan siding guna menyaksikan ikrar talak.13

Talak adalah suatu sistem perceraian perkawinan yang dilakukan karena ada faktor yang memerlukan atau karena darurat. Wewenang untuk menjatuhkan talak berada di tangan suami, demikian ketetapan syari’at. Al

11

Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), h. 145. 12

Tihami, Fiqih Munakahat, ( Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2010), h. 249. 13

Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Pengadilan Agama, ( Jakarta: Kencana, 2005), Cet. Ke- 3, h. 17.


(42)

Qur’an menegaskan: “ Kaum laki-laki adalah pemimpin (pengayom bagikaum wanita, karena beberapa hal, Allah Taala telah member kelebihan kepada sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita) dan lagi karena laki-laki memberi nafkah dari harta kekayaannya sendiri”. Agaknya karena adanya tugas-tugas jaminan pengayoman dan nafkah isteri atas pundak suami maka diletakkan wewenang talak itu di tangannya. Dengan pengorbanan tenaga dan harta yang sudah diberikan untuk mengayomi keluarganya, diharapkan seorang suami tidak akan mudah menjatuhkan talak kepada isterinya, tetapi hendaklah sesudah itu pikirkan sejauh mungkin kemaslahatan kedua belah pihak.14

Oleh karena itu, ditetapkan syari’at yang dapat melepaskan ikatan perkawinan, untuk menghilangkan kerusakan dari perkawinan ini.

Talak disyariatkan dengan Al-kitab, sunah, dan ijma’, berdasarakan sunnah adalah sabda Rasulullah Saw.15

ع

با ن

ن

م س ع هاا ص ّ ا أ : ا , اّع

ا س ا : ا ف , ج

ّأ

, مأ ج س ّا ,ه

س عصف : ا ,ا ب ب

ها

ّع

م حأ ابام , ا اا أا : ا ف , ّ م ا م س ع ها ص

م , مأ

,ام ب

ّأ

نم اط ا امنا

اس اب خ أ

.

“ Diriwayatkan dari Ibn Abbas, seorang laki-laki mendatangi Nabi untuk bertanya kepadanya, “Wahai Rasulullah, majikanku menikahi budak perempuannya, ia ingin merusak hubungan ku dengannya”, kemudian Nabi naik mimbar dan berkata, “Wahai para sahabatku, kejadian yang dilakukan

14

Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), Cet. Ke- 2,h. 252. 15

Muhammad Bin Yazid, Sunan Ibn Majah, (Beirut: Dar Ihya Al- Kutub Al-„Arabiyyah, t.th), Juz. 1, h. 672.


(43)

majikan tersebut tidak benar, karena budak perempuan itu belum ditalak oleh suaminya”.

ضئ اح

أ ما ط ام ع ا ا ض مع نبا ّا : عفان نع

سف

ح ا م م ا عج ّأ م أف م س ع اا ص ّ ا مع أ

ف .ا سم ّأ ّ ا ط م ط ح ا م م , خ أ ض ح ض ح

ا مأ اة ع ا

.ء اس ا ا ط ّأ ا

“Nafi’ meriwayatkan bahwa Ibnu Umar r.a. menalak istrinya yang sedang haid, lalu Ibnu Umar bertanya kepada Nabi Saw. Maka, beliau memerintahkan agar Ibnu Umar merujuk istrinya kembali, lalu menangguhkannya sampai istrinya haid lagi. Setelah itu agar dia menangguhkannya lagi sampai istrinya suci barulah ia menalak istrinya sebelum menggaulinya. Itulah iddah yang telah ditetapkan oleh Allah dalam menceraikan istrinya”. 16

untuk sahnya talak suami yang menjatuhkan talak diisyaratakan: 1. Berakal

2. Baligh

3. Atas kemauan sendiri.17

C. Pengertian Iddah dan Dasar Hukumnya

Arti dari iddah itu sendiri adalah bahasa Arab yang berasal dari akar kata adda –ya’uddu –„idatan dan jamaknya adalah„idad yang secara arti kata (etimologi) berarti: “menghitung” atau “hitungan”. Kata ini digunakan untuk

16

Ahmad Bin Hambal,Musnad Ahmad, (Beirut: Muassah Al-Risalah, 2001), Cet. Ke- 1, h. 231.

17


(44)

maksud iddah karena dalam masa itu si perempuan yang ber-iddah menunggu berlalunya waktu.

Dalam kitab fiqih ditemukan definisi iddah itu yang pendek dan sederhana dianataranya adalah: رمة أ رم ا ار ف صرب ر atau masa tunngu yang dilalui oleh seorang perempuan.18

Iddah merupakan nama untuk masa bagi perempuan untuk menunggu setelah putusnya perkawinan, dan iddah itu adakalanya dengan melahirkan, adakalanya dengan masa beberapa bulan dan adakalanya beberapa quru’.

Tidak ada keraguan lagi bahwa perempuan yang menjalani iddah itu ada dua macam, perempuan yang ditinggal mati suaminya dan perempuan yang tidak ditinggal mati suaminya ( cerai talak ).

Perempuan yang ditinggal mati suaminya adakalanya hamil dan adakalanya tidak. Kalau ia hamil maka iddahnya sampai melahirkan kandungannya. Sedangkan iddah perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya iddahnya tidak berbeda antara perempuan yang masih kecil dengan perempuan yang sudah dewasa, dan antara perempuan ynag beriddah quru’ dengan yang tidak beriddahquru’.

Iddah wafat ( ditinggal mati oleh suaminya ) adalah khusus untuk nikah yang sah. Seandainya perempuan yang menikah dengan nikah yang rusak atau tidak sah, lalu suaminya meninggal dunia sebelum perstubuhan,

18

Amir Syarifudun, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan , ( Jakarta: Kencana,2009 ), Cet.Ke-3, h.303.


(45)

maka tidak ada iddah. Kalau sesudah persetubuhan lalu suaminya meninggal dunia atau keduanya bercerai, maka si isteri wajib menjalani iddah seperti iddahnya perempuan yang disetubuhi secara syubhat.19 Perempuan yang sudah digauli suaminya, tidak dalam keadaan hamil dansudah berhenti masa haidnya. Iddah-nya adalah tiga bulan. Dasar perhitungnnya tiga bulan itu adalah firman Allah dalam surat at –Thalaq (65) ayat 1.

Adapun bentuk dan cara iddah ada tiga macam:

a) Iddah dengan cara menyelesaikanquru’ yaitu antara haid dan suci. b) Iddah dengan kelahiran anak.

c) Iddah dengan perhitungan bulan.20

Iddah telah dikenal pada masa jahiliyah. Mereka tidak menginginkan dan meninggalkan iddah, ketika Islam dating ditetapkanlah iddah karena di dalamnya mengandung kemaslahatan.

Ulama telah sepakat atas kewajiban iddah berdasarkan firman Allah SWT: (Q.S. Al-Baqarah [2]: 228).21

19

Al-Imam Taqiyuddin Abu Bakar Al Husain, Kifayatul Akhyar, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1997 ), Cet. Ke- 2, h. 571-573.

20

Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakrta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), Cet. Ke-1, h. 309.

21


(46)

                                                                              

“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh mereka Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.

Para ulama mendefinisikan „iddah sebagai nama waktu untuk menanti kesucian seorang istri yang ditinggal mati atau dicerikan oleh suaminya, yang sebelum habis masa itu dilarang untuk dinikahkan.

Menurut Sayuti Thalib, pengertian kata „iddah dapat dilihat dari dua sudut pandang:

Pertama, dilihat dari segi kemungkinan keutuhan perkawinan yang telah ada, suami dapat rujuk kepada istrinya. Dengan demikian, kata „iddah dimaksudkan sebagai suatu istilah hukum yang mempunyai arti tenggang waktu sesudah jatuh talak, dalam waktu mana pihak suami dapat rujuk kepada istrinya.

Kedua, dengan demikian dilihat dari segi istri, masa „iddah itu akan berarti sebagai suatu tenggang waktu dalam waktu mana istri belum dapat melangsungkan perkawinan dengan pihak laki-laki lain.


(47)

Seorang wanita yang telah dicerai oleh suaminya, dilarang melakukan perkawinan dengan laki-laki lain selama masa yang ditentukan oleh syari’at. Masa yang ditentukan oleh syari’at ini dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada suami dan istri untuk berfikir, apakah perkawinan tersebut masih dapat dilanjutkan dengan cara ruju’ (kembali), jika perceraian itu terjadi pada talak raj’i (talak satu dan dua), atau perceraian itu lebih baik bagi keduanya.

Di samping itu masa tunggu itu berguna untuk mengetahui apakah rahim si istri tersebut berisi janin atau tidak sehingga apabila wanita tersebut hamil segera diketahui nasabnya.22

Penting di catat, masa „iddah ini hanya berlaku bagi istri yang telah di dukhul. Sedangkan bagi istri yang belum di dukhul (qabla al-dukhul) dan putusnya bukan karena kematian suami maka tidak berlaku baginya masa „iddah.

Jadi iddah mengandung arti masa menunggu bagi wanita untuk melakukan perkawinan setelah terjadinya perceraian dengan suaminya, baik

22

Di kalangan Ulama terdapat perbedaan pendapat menyangkut „iddah wanita yang bercerai akibat pernikhan yang fasid, wat’i syubhat atau zina. Bagi golongan zahiriyah, tidak ada „iddah bagi

wanita yang dicerai karena nikah fasid walaupun telah terjadi dukhul. Golongan lainnya tetap mewajibkan „iddah. Perbedaan kembali muncul bagi wanita yang dizinahi. Bagi Syafi’iyyah dan Hanafiah tidak mewajibkannya. Sedangkan Malik dan Ahmad tetap mewajibkannya. Padahal jika maksud „iddah untuk melihat kebersihan rahim, makawanita yang dizinahi juga mesti ber’iddat.


(48)

cerai hidup maupun maupun cerai mati, dengan tujuan untuk mengetahui keadaan rahimnyaatauuntukberfikirbagisuami. 23

DasarHukumIddah                             

“ Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh mereka Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya”. (QS. Al-Baqarah [2]: 228).

Diantara hadist Nabi yang menyuruh menjalani masa iddah tersebut adalah apa yang disampaikan oleh Aisyah menurut riwayat Ibnu Majjah dengan sanad yang kuat yang berbunyi:24

ض ح ا ب ع ّ أ ب م س ع ه ا ص ّ ا م ا

“ Nabi SAW. Menyuruh barairah untuk beriddah selama tiga kali haid”.

D. Macam - Macam Iddah dan Hikmahnya

Pertama: iddah perempuan yang kematian suaminya, baik telah digauli atau belum. Iddahnya adalah empat bulan sepuluh hari, yang dimaksud dengan perempuan yang kematian suami di sini adalah perempuan yang suaminya meninggal dan dia masih dalam masa haid. Untuk memastikan dia

23

Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih UU No 1/1974 sampai KHI, (Jakarta: kencana, 2006), Cet. Ke- 3, h. 241.

24

Muhammad Amin Suma, Hukum Kelurga Islam di Dunia Islam, (Jakrta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), h.304.


(49)

masih dalam haid, Imam Malik mempersyaratkan untuk kesempurnaan iddah tersebut ialah perempuan itu telah berhaid selama satu kali dalam masa itu kalau dia belum haid dalam masa itu berada dalam keraguan tentang kemungkinan hamil.                                               

“Orang-orang yang meninggaldi antaramu dan meninggalkan istri hendak nyadia menjalani masa iddah selama empat bulan sepuluh hari. Bila telah sampai waktu yang ditentukan boleh dia berbuat terhadap dirinya dengan cara yang baik. Allah Maha Tahu terhadapapa yang merekalakukan”. (Al- Baqarah [2]: 234)

Kedua: Perempuan yang belum digauli oleh suaminya, tidak ada iddah yang harus dijalaninya.

                                      

“ Hai orang-orang yang beriman bila kamu menikahi peremupan-perempuan yang beriman kemudian kamu menceraikannya sebelum kamu menggaulinya, maka tidak ada kewajiban baginya untuk beriddah terhadapmu”.(Al-Ahzab [33]: 49)

Ketiga: iddah perempuan yang sedang hamil ialah sampai melahirkan anaknya.                                                 

“Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. dan perempuan-perempuan yang


(50)

hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.“ (Ath –Thalaq [65] :4).

Bila perempuan yang hamil itu adalah kematian suami, menjadi perbincangan di kalangan ulama, baik ditinggal mati oleh suaminya atau ditalak sedang hamil, kemudian suaminya meninggal, karena di satu sisi dia adalah sedang hamil dan karena itu dia mengikuti petunjuk ayat 4 surat at- Thalaq.25

Terkait dengan Pasal 135 ayat (2) KHI yang meneyebutkan bahwa Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya. Jika kondisi hamil seperti yang dimaksud dalam pasal ini dikait-kaitkan dengan masalah iddah bagi wanita hamil yang disebutkan dalam surah Ath-Thalaq (65) ayat 4 yang sudah dijelaskan di atas, bahwa wanita-wanita hamil masa iddah mereka hingga mereka melahirkan, maka sama sekali tidak tepat. Sebab kewajiban iddah itu sebagai sebuah kenikmatan agama yang hikmahnya, antara lain untuk menjaga kemurnian nasab. Karena tujuan iddah jelas seperti ini, maka dalam kasus hamil di luar nikah, sama sekali tidak tepat jika tetap menggunakan ayat ini sebagai dalil dalam melarang wanita hamil akibat zina untuk menikah dalam kondisi hamil. Dengan kata lain, wanita hamil yang

25

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, ( Jakarta: Kencana, 2009), h. 310.


(51)

dilarang menikah hingga melahirkan anaknya sebagimana pesan ayat di atas adalah jika hamilnya akibat pernikahan yang sah. Akan tetapi jika hamil bukan karena menikah, melainkan karena berzina, tetap menggunakan ayat ini sebagai dalil hukum, maka sama saja yang bersangkutan tidak menghormati Al-Qur’an. Sebab Al-Qur’an tidak pernah merestui seorang wanita untuk hamil sebelum ia menikah. Tidak ada satu ayat pun yang membolehkan hamil dulu sebelum nikah.

Status anak menurut Undang-undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Bahwa dalam hukum Islam, nasab menjadi sebuah masalah yang sangat penting dan dikaji dalam kaitannya terhadap masalah pernikahan, kewajiban memberi nafkah, kewarisan, perwalian hubungan ke-mahram-an, dan lain-lain. Nasab atau hubungan kekerabatan antara seorang anak dan ayah hanya dapat terbentuk melalui tiga cara, yaitu melalui pernikahan yang sah, pernikahan yang fasid, dan melalui hubungan badan secara syubhat. Nasab anak kepada ayah kandungnya, pada umunya terbentuk melalui pernikahan yang sah.

Sedangkan pernikahan fasid adalah pernikahan yang dilangsungkan dalam keadaan kekurangan syarat. Walaupun status nikah fasid jelas tidak sama dengan nikah yang dilaksanakan secara sah, namun dalam hal nasab para ulama fiqih sepakat bahwa penetapan nasab anak yang lahir dalam pernikahan fasid sama dengan penetapan nasab anak dalam pernikahan yang sah. Tetapi dalam hal anak yang lahir setelah pasangan suami istri melakukan


(52)

hubungan badan, dan bercerai, baik melalui hakim maupun tidak, dan anak itu lahir sebelum masa masa maksimal kehamilan, maka anak itu dinasabkan kepada suami wanita tersebut. Akan tetapi apabila kelahiran anak itu melebihi masa maksimal kehamilan, maka anak itu tidak bisa dinasabkan kepada suami wanita itu.

Hubungan badan secara syubhat adalah persetubuhan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan di luar akad nikah, baik nikah secara sah maupun nikah fasid, tetapi tidak bisa disebut sebagai zina yang dilarang syariat dan hukumnya tidak terang dan tidak jelas apakah haram mutlak ataukah halal mutlak. Syubhat yang berkaitan dengan perbuatan adalah syubhat bagi orang yang tidak mengetahui kehalalan atau keharaman suatu perbuatan. Seperti halnya dalam kasus hubungan badan dengan mantan istrinya ternyata ia sedang menjalani iddah dari talak tiga. Dalam hal ini, kehalalan hubungan badan diantara mereka sebenarnya sudah tidak ada lagi, karena telah batal disebabkan talak. Akan tetapi, adanya kewajiban suami memberi nafkah dan keharaman mantan istri melakukan perkawinan dengan orang lain masih tetap ada, apalagi suami masih memungkinkan tinggal bersama satu rumah dengan wanita tersebut. Hal inilah yang menimbulkan syubhat pada perbuatan itu. Di satu sisi tidak halal melakukan kontak seksual,


(53)

di sisi lain masih ada kewajiban yang dipikul oleh mantan suami berupa kewajiban memberikan nafkah iddah.26

Keempat: perempuan yang telah bergaul dengan suaminya dan menjalani masa haid. Iddahnya adalah tiga kali quru’, adapun dasar hukumnya adalah firman Allah dalam surat al- Baqarah (2) ayat 228:











“ Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’”.

Kelima: perempuan yang sudah digauli suaminya, tidak dalam keadaan hamil dan sudah behenti masa haidnya. Iddahnya adalah tiga bulan. Dasar perhitungannnya tiga bulan itu adalah firman Allah dalam surat at-Thalaq (65) ayat 1

ن ع ن

طفءاس ا م طا ا

Bila kamu menthalaqseorang isteri, thalaqlah dia di waktu iddahnya”.27

Hikmah Iddah:

Adapun hikmah yang dapat diambil dari ketentuan iddah itu adalah agar suami yang telah menceraikan isterinya itu berpikir kembali dan menyadari tindakan itu tidak baik dan menyesal atas tindakannya itu. Dengan

26

M. Nurul Irfan, Nasab dan Status Anak dalam Hukum Islam, ( Jakarta: Amzah, 2013), Ed. Ke-2, h. 67-129.

27

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, ( Jakarta: Kencana, 2009), h. 310-317


(54)

adanya iddah dia dapat menjalin kembali hidup perkawinan tanpa harus mengadakan akad baru.

Hikmah disyariatkannya „iddah juga diantaranya

1. Untuk mengetahui secara pasti kondisi rahim perempuan, sehingga tidak terjadi percampuran nasab janin yang ada dalam rahimnya. 2. Menjunjung tinggi nilai pernikahan. Hal itu tidak mungkin terjadi

kecuali dengan melibatkan banyak orang dan tidak akan hancur kecuali dengan menunggu pada masa yang cukup lama. Jika tidak diatur demikian, tentunya sebuah pernikahan tidak ubahnya dengan permainan anak-anak. Di mana, mereka menyusun sebuah permainan, lantas merusaknya.

3. Kemaslahatan yang didapat dari pernikahan tidak akan terwujud sebelum pasangan suami isteri menjalani hidup berumah tangga dalam masa yang lama. Jika terjadi sesuatu yang mengharuskan untuk bercerai, tetap hadits harus ada upaya untuk tetap menjaga ikatan pernikahan yang mulia ini dan mesti diberi waktu untuk berfikir kembali dan mempetimbangkan kerugian yang akan dialaminya jika terjadi perceraian.28

28


(55)

E. Nafkah Iddah dalam Undang-Undang Perkawinan dan KHI

Nafkah iddah adalah Nafkah yang diberikan suami pada waktu masa iddah atau pemberian biaya penghidupan yang diberikan oleh suami selama tiga bulan sepuluh hari berturut-turut kepada isteri yang diceraikan yang didasarkan atas kemampuan suami sebagai upaya pemenuhan kewajiban yang telah ditetapkan oleh syari’at Islam maupun keputusan Pengadilan Agama.

Berdasarkan Undang- undang No.1 tahun 1974 pasal 4 (sub c) yang berbunyi “ Pengadilan Agama dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan atau menentukan suatu kewajiban bagi isteri”. Hal ini juga dipertegas dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 81 ayat (1 dan 2)danpasal 194 huruf (a) dan (b).

1. Suami wajib menyediakan tempat tinggal bagi isteri dan anak-anaknya atau bekas isterinya yang masih dalam iddah.

2. Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk istri selama dalam ikatan perkawinan, atau dalam iddah talak atau iddah wafat.29

ا س ا عج ا عم

ّ ّأ اا

ا ّ د س ا نئاّ

ام اح

Artinya: “Perempuan yang beriddah raj’i berhak mendapat tempat tinggal dan belanja, sedangkan perempuan yang beriddah bainberhak mendapat tempat tinggal tanpa belanja, kecuali jika ia hamil”.

29


(56)

Perempuan yang menjalani iddah itu bermaacam-macam. Diantaranya adalah perempuan yang menjalani iddah raj’i, ia berhak mendapat belanja dan tempat tinggal menurut Ijmak Ulama.

Al- Daruqutni meriwayatkan hadist yang berhubungan dengan Fatimah binti Qais ketika ia ditalak tiga oleh suaminya. Rasulullah SAW tidak memberi hak tempat tinggal dan belanja untuk Fatimah binti Qais. Rasulullah SAW bersabda:30

ا

نم

ا ا

س ا

م

ن

م

) ئاس ا ا ( عج ا

Artinya: “ Belanja dan tempat tinggal hanya untuk perempuan yang berhak rujuk.” (H.R. An-Nasa’i).

Seorang perempuan yang dalam masa iddahnya talak bain dan dia dalam keadaan hamil maka dia berhak juga menerima nafkah belanja, pakaian dan tempat tinggal dari mantan suaminya sampai anaknya lahir. Ini berlandaskan dari firman Allah Swt:

ن مح نعض ح ن عا ن أف مح ا أ ن ّا

Jika mereka (janda yang dicerai) dalam keadaan hamil, maka berinafkahlah mereka olehmu sampai mereka melahirkan kandungannya.” (QS. Ath- Thalaq [65]: 6)

Sedangkan perempuan yang dalam masa iddah talak bain dan dalam keadaan tidak hamil, menurut Syafi’i, Hambali dan Maliki, tidak berhak mendapatkan nafkah belanja, pakaian dan tempat tinggal.

30


(57)

Sedangkan pendapat Hanafi, perempuan itu berhak juga menerima nafkah belanja, pakain dan tempat tinggal dengan berlandaskan pada firman Allah Swt:

م ج نم م س ح نم ن س ا

Tempatkanlah mereka di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu.” (QS. At- Thalaq: 6).

Ayat ini menunjukkan bahwa perempuan yang dalam masa iddah baik karena talak raj’i dan talak bain, semuanya berhak menerima fasilitas nafkah belanja, pakaian dan tempat tinggal dari mantan suaminya, tetapi menurut Syafi’i, ayat ini khusus untuk perempuan yang dalam masa iddah talak raj’i.31

م ا ءاف عج ا ع ن ا ام ا ج ع ة أ م ن س ا

اامنا ظ ف

ن

) محأ ا ( ن س ا ن اف عج ا ع

Dan dalam lafal lain (dikatakan): “ Sesungguhnya nafkah dan tempat tinggal itu bagi perempuan yang selagi suaminya masih mempunyai hak ruju’ kepadanya tetapi apabila suaminya tidak lagi mempunyai hak ruju’ kepadanya, maka tidak ada (hak) nafkah dan tidak juga tempat tinggal baginya”. (HR. Ahmad). 32

Adapun perempuan yang dijatuhi talak tiga, para ulama berbeda pendapat. Menurut Abu Hanifah, dia masih memiliki hak untuk mendapatkan nafkah dan tempat tinggal sebagaimana perempuan ( isteri ) yang ditalak raj’i, karena dia wajib menghabiskan masa iddah di rumah suaminya, sehingga

31

Mohammd Asmawi, Nikah dalam Perbincangan dan Perbedaan, Maret 2004, h. 273 32


(58)

seakan-akan dia di tahan agar tetap bersama suaminya. Oleh sebab itu, dia wajib memperoleh nafkah. Nafkah ini dianggap sebagai hutang dan terhitung sejak talak di jatuhkan. Kewajiban untuk memberi nafkah isteri tidak hilang hanya dengan keridhaan isterinya atau keputusan pihak pengadilan. Suami dinyatakan bebas dari hutangnya ( kewajiban memberi nafkah isteri ) jika sudah menunaikan kewajibannya atau isteri telah menyatakan bebas.33

Kalau perceraian tersebut karena ada cacat atau karena tertipu, maka si perempuan tidak berhak mendapatkan tempat tinggal. Tapi kalau perceraian tersebut karena ada hubungan penyusuan atau mushaharah (hubungan keluarga akibat perkawinan), maka si perempuan akan berhak mendapat tempat tinggal, menurut pendapat yang sahih, karena sebab yang menghalangi belum ada pada saat akad dan tidak boleh dijadikan sandaran. Sedangkan perempuan yang dili’an berhak mendapat tempat tinggal dengan pasti seperti perempuan yang ditalak tiga.

Jadi menurut semua mazhab, si perempuan wajib mendapat tempat tinggal apabila terjadi pembatalan nikah (fasakh) baik karena murtad ( keluar dari Islam ) atau karena masuk Islam, atau karena ada hubungan penyusuan, atau karena ada cacat, dan sebagianya.34

33

Sayyid Syabiq, Fikih Sunnah, ( Jakarta: Cakrawala Publishing, 2009 ), Cet. Ke-1, h. 136-137.

34


(1)

(2)

(3)

PEDOMAN WAWANCARA

Nama : Dra. Hj. Ida Nursa’adah, S.H. M. H.

Jabatan : Hakim

Nama Instansi : Pengadilan Agama Jakarta Selatan

Hari / Tanggal : Jum’at/ 28 Maret 2014

1. Bagaiaman prosedur pemberian nafkah iddah di Pengadilan Agama Jakarta Selatan?

Jawab: Pemberian nafkah iddah di Pengadilan Agama yaitu prosedurnya diupayakan sebisa mungkin untuk dilaksanakan di Pengadilan Agama saat sidang pembacaan ikrar talak di hadapan Majelis Hakim, tetapi tidak menutup kemungkinan ada juga yang dilaksanakan atau dibayarkan di luar Pengadilan Agama setelah adanya putusan Pengadilan.

2. Bagaimana implementasi pelaksanaan putusan tentang nafkah iddah di Pengadilan Agama Jakarta Selatan?


(4)

Jawab: Terkait dengan implementasi pelaksanaan putusan tentang nafkah iddah yaitu hampir semua telah dilaksanakan atau dibayarkan di Pengadilan Agama saat sidang ikrar talak di hadapan Majelis Hakim.

3. Apa upaya hokum apabila suami lalai melaksanakan tentang nafkah iddah? Jawab: Eksekusi, mantan istri mengajukan permohonan pelaksanaan isi putusan, akan tetapi kebanyakannya telah dilaksanakan secara sukarela.

4. Apakah dalam setiap perkara cerai talak suami selalu dibebani nafkah iddah? Jawab: Tidak semua kasus perceraian, yang diajukan oleh suami (cerai talak) yang mewajibkan suami memberikan nafkah iddah kepada istri yang diceraiakannya itu dibebani nafkah iddah karena adakalanya perkara itu tidak dihadiri oleh istri (verstek), dan istri merelakan untuk melepaskan hak-haknya.

5. Menurut ibu apakah nafkah iddah itu adalah suatu hal yang harus dipenuhi atau tidak?

Jawab: Ya, karena nafkah iddah itu adalah suatu hal yang harus dipenuhi, karena dalam Al-Qur’an Surah At-Thalaq Ayat6 dan Pasal 41 huruf (c) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo Pasal 81 ayat 1 dan 2 dan Pasal 149 huruf (a) dan (b) Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi bahwa Pengadilan


(5)

Agama secara ex officio dapat menetapkan kewajiban nafkah iddah atas suami untuk istrinya, sepanjang istrinya tidak terbukti berbuat nusyuz.

6. Apa upaya mantan istri supaya putusan itu dilaksanakan oleh mantan suami? Jawab: Jika mantan suami tidak melaksan akan putusan Pengadilan Agama memberikan nafkah iddah yang sudah diputuskan oleh Pengadilan Agama maka istri bisa mengajukan permohonan eksekusi tuntutan nafkah iddah.

7. Apakah pemberian nafkah iddah yang dilakukan di luar Pengadilan Agama bisa menjamin untuk diterimanya hak-hak istri yang telah diceraikan?

Jawab: Istri yang diceraiakan akan tetap mendapatkan hak-haknya sebagai jaminan jika suami tidak ingkar. Oleh karena itu pelaksanaan nafkah iddah diupayakan di depan Majelis Hakim kecuali suami tidak keberatan.

8. Apa langkah yang diambil oleh hakim untuk menjamin diterimanya hak nafkah iddah yang dilaksanakan di Pengadilan Agama saat pembacaan ikrar talak?

Jawab: Apabila dari pihak istri tidak datang saat pembacaan ikrar talak maka uang iddah tersebut dititipakan di Pengadilan Agama yang disebut dengan titipan pihak ke tiga. Itulah jaminan dari Pengadilan Agama.


(6)

9. Langkah apa yang di ambil oleh hakim atau Pengadilan Agama ketika ada seorang suami yang tidak membayar nafkah iddah kepada istri yang diceraikannya?

Jawab: Majelis Hakim sudah lepas sampai dengan adanya pembacaan ikrar talak, jadi ketika ada suami tidak membayar nafkah iddah kepada mantan istrinya itu sudah bukan kewenangan Pengadilan Agama lagi.

10.Bagaimana proses pelaksanaan pemberian nafkah iddah dalam kasus perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Selatan?

Jawab: Setelah pengucapan ikrar langsung diberikan pada saat pembacaan ikrar talak, tetapi sebelum pembacaan ikrar talak pemohon dikasih tahu terlebih dahulu atau diberi waktu 14 hari untuk membawa uang pada saat talak dijatuhkan.

11.Apakahada upaya hukum bagi pelanggaran terhadap pemberian nafkah iddah yang sudah ditentukan?

Jawab: Tidak ada upaya hukum apapun, baik itu dari hukum pidana maupun hukum lainnya.