aktivitas, perbuatan manusia adalah ketentuan yang berlaku atas kuasa Allah, karena dalam pengesaan Allah itu manusia telah fana’ dari dirinya
dan dari segala yang lainnya, dengan memandang kepada hakikat wujud dan keesaan Allah. Hilang lenyap perasaan indrawi manusia dan
perbuatannya, sebab yang berlaku hanyalah af’al dan kehendak Allah saja dan eksistensi manusia itu seperti tidak ada.
Dengan demikian pada aspek wahdaniyah af’al
ini, Syaikh‘Abdurrahman Shiddîq tidaklah mengajarkan wahdah al-wujûd
tauhid wujûdi, tapi lebih kepada wahdah al-syuhûd tauhid syuhûdi. Hal ini karena kesatuan af’al yang berasal dari Allah itu hanyalah pada hakikat
dan pada pandangan batin, tanpa mengenyampingkan af’al atau usaha dan ikhtiar manusia. Sebab kewajiban manusia menjalankan syariat.
22
2. Tauhid Asma’
Maqam tauhid al-asma’ merupakan maqam peringkat kedua bagi para ‘arif billah setelah memahami dan menghayati betul-betul pada
maqam peringkat awal, yakni tauhid al-af’al. Kematangan setiap jenjang
maqam tersebut harus dipandang sebagai anugerah Allah kepada mereka yang tekun sebagai salik atau mendapat ilmunya melalui guru, maupun
bagi mereka yang majzub, yaitu mendapatkan ilmunya langsung dari Allah tanpa melalui perantara guru dan latihan-latihan
23
. Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq menyebutkan bahwa segala nama pada hakiktanya bersumber
22
Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, Risalah Amal Ma’rifah., h. 33-36.
23
Ahmadi Isa, Ajaran Tasawuf Muhammad Nafis dalam Perbandingan., h. 133.
pada Allah Swt. Karena segala sesuatu yang wujûd selain Allah Swt adalah khayal imajinasi atau wahm ilusi belaka. Misalnya, bila kita
melihat seorang pemurah, hendaknya kita memandang bahwa sifat pemurah itu adalah kepunyaan Allah SWT semata. Pemurah terdapat pada
seseorang itu, juga pada lainnya, hanya mazhar manifestasi dari nama Tuhan, yaitu al-karim Maha Pemurah.
Adapun dalam kitab ‘amal ma’rifah di sebutkan tauhid asma’ adalah mengesakan Allah SWT pada asma’-Nya, yaitu bahwa engkau
pandang dengan mata hatimu dan mata kepalamu dengan i’tikad yang putus bahwasanya Allah SWT saja wahdaniyah pada asma’-Nya,
maksudnya pada segala nama maka tiada segala-gala di dalam alam ini mempunyai nama pada hakikatnya melainkan dzat-Nya Allah SWT.
24
Adapun segala nama didalam alam ini sekaliannya adalah hanya nama-Nya saja. Sungguhnya tiada yang maujud pada hakikatnya hanyalah
Allah SWT sendiri. Dan wujûd segala alam ini hanya khayal saja dan hanya Allah lah yang memiliki ketetapan nama itu. Maka sebab itulah
semuanya akan kembali.
25
Menurut ‘Abdurrahman Shiddîq, tauhid wahdaniyah al-Asma adalah meyakini dengan pandangan mata hati bahwa tiada sekali-kali yang
ada di alam ini memiliki nama, kecuali pada hakikatnya zat Allah saja, atau yang wujud dan punya nama hanya Allah saja. Segala nama yang ada
24
Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, Risalah Amal Ma’rifah, h. 7
25
. Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, Risalah Amal Ma’rifah, h. 8
☺ .
“Maka ke manapun kamu menghadap disitulah wajah Allah” Bila seseorang sudah musyahadah akan Esanya Allah pada asma’,
maka bila melihat ada orang yang pemurah, dikembalikanlah kepada Allah bahwa hanya Dia Yang Maha Pemurah. Bila melihat orang kaya, Allah
jualah yang Maha Kaya Ghani, demikian seterusnya pada perumpamaan- perumpamaan yang lain.
Himpunan sekalian asma itu ada dua. Pertama jami’, artinya menghimpun sekalian mazhar pada asma, yang diistilahkan dengan:
ةﺪ ﻮ ا ةﺮﺜﻜ ادﻮﻬ .
“Pandang yang banyak pada satu asma, maksudnya sekalian alam ini pada dasarnya dari Allah jua”.
Kedua ma’ani, mecegahkan, yaitu tercegahnya sekalian mazhar mempunyai nama. Terbitnya dari Allah juga, yang diistilahkan dengan:
ﺪ ﻮ ادﻮﻬ ةﺮﺜﻜ ا ة
.
“Pandang yang satu pada yang banyak, yakni permulaannya dan kesudahannya pada Allah jua.”
Jadi dalam wahdaniyat al-asma ini, muslim melihat segala yang di alam ini dari Allah juga berasalnya dan kepada Allah pula kembalinya.
26
Ajaran ini menurut penulis boleh jadi asal muasalnya berupa pandangan serba Tuhan Panteisme. Menurut Harun Nasution, Panteisme
berarti seluruhnya Tuhan, bahwa seluruh kosmos ini Tuhan. Semua yang ada dalam keseluruhannya ialah Tuhan dan Tuhan ialah semua yang ada
dalam keseluruhannya. Benda-benda yang ditangkap oleh pancaindra adalah bagian dari Tuhan. Tuhan adalah immanent, berada dalam alam,
bukan di luar. Karena seluruh kosmos ini satu, maka Tuhan dalam Panteisme juga satu, hanya menurut Panteisme Tuhan mempunyai bagian-
bagian. Alam yang dilihat oleh panca indra hanya ilusi atau khayal saja, yang hak dan yang ada itu hanya Tuhan.
Dilihat dari pengertian Panteisme di atas, maka nampak bahwa wahdaniyah
al-Asma yang diajarkan oleh ‘Abdurrahman Shiddîq memang agak identik. Namun, wahdaniyah al-Asma yang diajarkan ini juga hanya
ada dalam penyaksian batin syuhûdi, sehingga beliau mengajarkan syuhûd al-katsrah fi al-wahdah
dan syuhûd al-wahdkah fi al-katsrah. Pendapat ini agaknya dipengaruhi oleh beberapa pendapat, diantaranya
Abu Bakar al-Syibli dan Imam al-Ghazali. Al-Syibli pernah mengatakan, “Aku tidak pernah melihat sesuatu
terkecuali Tuhan”. Sufi yang menganut pendapat demikian akan mengalami penghayatan wahdah al-syuhûd dan tenggelam dalam mabuk
26
Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, Risalah Amal Ma’rifah, h. 9
cinta rapture to love kepada Allah. Apa saja yang dipandangnya tampak sebagai Tuhan. Sementara dalam pandangan al-Ghazali wahdaniyah al-
Asma ini berada dalam tingkatan tauhid martabat ketiga. Menurut al-
Ghazali, pada martabat ini seseorang melihat segala yang banyak dalam alam ini pada hakikatnya terbit dari yang satu yaitu Allah. Tauhid tingkat
ini juga disebut tauhid ahl al-kasyf atau tauhid martabat muqarrabin, sebab seorang sufi melakukan musyahadahnya dengan jalan kasyf. Orang yang
mencapai tauhid ini mampu menyaksikan keesaan Tuhan dengan kasyf melalui perantaraan nur al-Haqq.
27
Dengan demikian, ajaran tauhid al-Asma yang dikemukakan oleh ‘Abdurrahman Shiddîq boleh jadi mengacu kepada pendapat al-Syibli dan
al-Ghazali, yaitu wahdah al-syuhûd. Walaupun ada kemiripan dengan Panteisme, kemungkinan itu hanya faktor kebetulan saja, sebab
‘Abdurrahman Shiddîq tidak mencantumkan pendapat para filosof di luar Islam sebagai acuan pendapatnya. Tauhid al-Asma’ ini juga bertujuan
untuk memantapkan tauhid itu sendiri serta mencegah dari mengagumi sesuatu yang lain di luar Allah. Misalnya ketika melihat orang yang kaya
ia tidak akan silau, sebab hanya Allah yang Maha Kaya dan Allah pulalah yang memberikan kekayaan pada orang tersebut.
Pada sisi lain, orang yang sampai pada tauhid al-Asma‘ ini tidak lagi mementingkan harta benda dunia dengan berbagai nama ini dan tidak
27
Ahmadi Isa, Ajaran Tasawuf Muhammad Nafis dalam Perbandingan, h. 133
pula risau atau iri dengan orang yang memilikinya, sebab semuanya telah mampu dikembalikannya kepada Asma’-Nya Allah.
Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan oleh penulis bahwa ajaran Tasawuf Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq tentang Tauhid al-Asma’ sebagai
berikut : semua nama itu kembali kepada asma’ Allah. Maksudnya segala yang bernama di alam semesta ini semuanya berwujûd dari asma’ Allah.
Semua nama itu memerlukan wujûd yang hakiki hanya satu, yaitu wujûd Allah, maka sebagai konsekuensi logisnya hakikat asma’ pun hanya satu,
yakni asma’ Allah. Dalam hubungan ini tampaknya ajaran tasawuf Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq sama dengan ajaran wahdah alwujûd. Tetapi ia
menolak paham ittihad dan hulul, tampaknya dia sependapat dengan al- Ghazali atau aliran Tasawuf Sunni.
3. Tauhid Sifah