Sejak dahulu di seluruh dunia telah dikenal adanya reaksi tubuh terhadap bahan atau material yang ada di lingkungan kerja. Dalam Ilmu Kesehatan Kulit
dikenal, pada individu atau pekerja tertentu baik yang berada di negara berkembang maupun di negara maju, dapat mengalami kelainan kulit akibat pekerjaannya.
Penyakit Kulit Akibat Kerja PKAK dikenal secara populer karena berdampak langsung terhadap pekerja yang secara ekonomis masih produktif. Istilah PKAK
dapat diartikan sebagai peradangan kulit yang diakibatkan oleh lingkungan kerja Siregar, 2002.
2.2.2. Epidemiologi Penyakit Kulit Akibat Kerja
Di Amerika Serikat pada tahun 2003 dilaporkan dari 4,4 juta pekerjaan berisiko kecelakaan dan penyakit diperkirakan 6,2 269.500 kasus disebabkan oleh
penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan Taylor, 2008. Dari suatu penelitian epidemiologik di luar negeri mengemukakan, PKAK dapat berdampak pada
hilangnya hari kerja sebesar 25 dari jumlah hari kerja. Secara umum, tampaknya hingga kini kelengkapan data PKAK masih menjadi salah satu tantangan, karena
PKAK seringkali tidak teramati atau tidak teridentifikasi dengan baik akibat banyaknya faktor yang harus dikaji dalam memastikan jenis penyakit Rofiq, 2007.
Data mengenai insidens dan prevalensi penyakit kulit akibat kerja sukar didapat, termasuk dari negara maju, demikian pula di Indonesia. Umumnya pelaporan
tidak lengkap sebagai akibat tidak terdiagnosisnya atau tidak terlaporkannya penyakit tersebut. Hal lain yang menyebabkan terjadinya variasi besar antar negara adalah
karena sistem pelaporan yang dianut berbeda. Laporan insiden dermatitis kontak
Universitas Sumatera Utara
akibat kerja sebanyak 50 kasus per tahun atau 11.9 persen dari seluruh kasus dermatitis kontak yang didiagnosis di Poliklinik Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
FKUI-RSUPN dr Cipto Mangunkusumo Jakarta Suryani, 2008.
2.2.3. Bentuk Penyakit Kulit Akibat Kerja
Terjadinya PKAK dipengaruhi oleh jenis PKAK dan faktor individual pekerja, seperti kekeringan kulit, keringat, pigmentasi, integritas epidermis, penyakit
kulit yang sudah ada, faktor lingkungan seperti suhu, kelembaban dan gesekan Suhariyanto, 2007.
Dermatitis kontak merupakan kasus yang paling banyak dilaporkan dan merupakan lebih dari 85 dari Penyakit Kulit Akibat Kerja, berupa dermatitis kontak
alergi dan dermatitis kontak iritan. Kasus lain seperti miliaria, folikulitis, dermatosis fiberglas dan urtikaria kontak. Di samping itu terdapat kasus-kasus yang sangat
jarang dilaporkan seperti kerusakan pigmen dan keganasan kulit Taylor, 2008. Secara tidak disadari, sebenarnya di lingkungan kerja kita mungkin ada bahan,
barang atau unsur yang dapat bersifat melukai kulit, mengiritasi kulit, menyebabkan alergi kulit, menyebabkan infeksi kulit, maupun menyebabkan perubahan pigmen
kulit jika menempel pada kulit. Bahkan, masih ada bahan atau unsur yang bersifat memicu terjadinya keganasan pada kulit Sood, 2008.
Dermatitis
Di dalam Ilmu Kesehatan Kulit, istilah eksematosa sama dengan dermatitis. Pengertian dermatitis adalah peradangan kulit yang ditandai oleh rasa gatal, dapat
berupa penebalanbintil kemerahan, multipel mengelompok atau tersebar, kadang
Universitas Sumatera Utara
bersisik, berair dan lainnya Rofiq, 2007. Akibat permukaan kulit terkena bahan atau unsur-unsur yang ada di lingkungannya faktor eksogen. Namun demikian, untuk
terjadinya suatu jenis dermatitis atau beratnya gejala dermatitis, kadang-kadang dipengaruhi pula oleh faktor kerentanan kulit seseorang atau faktor endogen Taylor,
2008. Bahan-bahan kimia yang berpengaruh untuk terjadinya Dermatitis adalah
Arsen, Merkuri, Garam kromium, Resin venil dan akrilik, Dikromat, Heksaklorofen, Parafenildiamin, Cobalt dan Nickel Suhariyanto, 2007. Dermatitis kontak adalah
reaksi peradangan kulit yang terjadi akibat kulit kontak langsung dengan bahan yang bertindak sebagai alergen maupun iritan. Bahan tersebut kontak dengan kulit sering
ditemukan dalam kehidupan senari-hari misalnya detergen, kosmetik, logam, karet tekstil, obat, bahkan bahan-bahan yang dijumpai dalam lingkungan pekerjaannya
Sukanto, 2008. Dikenal dua macam jenis dermatitis kontak yaitu dermatitis kontak iritan yang timbul melalui mekanisme non imunologik dan dermatitis kontak alergik
yang diakibatkan mekanisme imunologik yang spesifik. Menurut Gell dan Coombs dermatitis kontak alergik adalah reaksi
hipersensitifitas tipe lambat tipe IV yang diperantai sel, akibat antigen spesifik yang menembus lapisan epidermis kulit. Antigen bersama dengan mediator protein akan
menuju ke dermis, di mana sel limfosit T menjadi tersensitisasi. Pada pemaparan selanjutnya dari antigen akan timbul reaksi alergi.
Dermatitis kontak merupakan 50 dari semua PKAK, terbanyak bersifat non- alergi atau iritan. Sekitar 90.000 jenis bahan sudah diketahui dapat menimbulkan
Universitas Sumatera Utara
dermatitis. Dermatitis kontak iritan
Dermatitis kontak alergi
merupakan jenis PKAK yang paling sering terjadi di antara para pekerja, dibandingkan dengan Dermatitis Kontak Alergika Odom,
2000.
Dermatitis kontak alergi DKA merupakan reaksi inflamasi kulit yang berhubungan dengan proses imunologik pada kulit yang terpapar dengan bahan
alergen. Berbeda dengan dermatitis kontak iritan, reaksi inflamasi yang timbul melalui proses imunologik setelah melalui beberapa kali paparan Rofiq, 2007.
Seseorang umumnya tidak terjadi reaksi pada paparan awal dengan bahan alergen, setelah paparan berulang seseorang menjadi tersensitisasi dengan bahan alergen.
Seorang pasien akan mendapat kepekaan hipersensitivitas terhadap suatu bahan fase sensitisasi dalam waktu 10-14 hari. Pemaparan berikutnya fase elisitasi dalam
waktu 12-48 jam. Fitzpatrick, 2008 Sering seseorang mengatakan sudah berbulan- bulan saya bekerja seperti ini tidak menyebabkan kelainan pada kulit saya Taylor,
2008. Bahan alergen yang berbeda mempunyai potensial sensitisasi yang berbeda
dan juga pada kerentanan setiap individu oleh bahan alergen. DKA merupakan reaksi hipersensitivitas tipe IV di mana mediator kimiawi yang keluar akan menyebabkan
dermatitis. Dermatitis yang terjadi bisa akut, sub-akut atau kronis tergantung sensitivitas para pekerja. Alergi pada bahan yang spesifik umumnya akan selamanya
terjadi pada para pekerja Baratawidjaja, 2002. Berbeda dengan pekerja dengan dermatitis kontak iritan, pekerja dengan DKA memerlukan pemindahan tempat kerja,
Universitas Sumatera Utara
sehingga sangat penting untuk membedakan dermatitis kontak iritan dan dermatitis kontak alergi. Seseorang dengan kecurigaan bahan alergen tertentu dianjurkan untuk
menghindari bahan tersebut selamanya Rofiq, 2007.
Dermatitis kontak iritan
Dermatitis kontak iritan DKI merupakan kelainan sebagai akibat pajanan dengan bahan toksik non-spesifik yang merusak epidermis dan atau dermis.
Umumnya setiap orang dapat terkena, bergantung pada kapasitas toleransi kulitnya. Penyakit tersebut mempunyai pola monofasik, yaitu kerusakan diikuti dengan
penyembuhan Taylor, 2008. Berbeda dengan DKA, perubahan kulit pada DKI dapat terjadi dalam
beberapa menit atau beberapa jam setelah kontak dengan bahan iritan Trihapsoro, 2002. DKI dapat terjadi melalui dua jalur: efek langsung iritan terhadap keratinosit
dan kerusakan sawar kulit. Efek langsung iritan pada keratinosit, pada DKI akut, penetrasi iritan melewati sawar kulit akan merusak keratinosit dan merangsang
pengeluaran mediator inflamasi diikuti dengan aktivasi sel T. Selanjutnya terjadi akumulasi sel T dengan aktivasi tidak lagi bergantung pada penyebab. Hal tersebut
dapat menerangkan kesamaan jenis infiltrat dan sitokin yang berperan antara DKI dan DKA. Peradangan hanya merupakan salah satu aspek sindrom DKI. Apabila terjadi
pajanan dengan konsentrasi suboptimal maka reaksi yang terjadi langsung kronik Baratawidjaja, 2004.
Stratum korneum atau kulit ari merupakan sawar kuli yang sangat efektif terhadap berbagai bahan iritan karena pembaharuan sel terjadi secara
Universitas Sumatera Utara
berkesinambungan dan proses penyembuhan berlangsung cepat. Apabila waktu pajanan lebih pendek daripada waktu penyembuhan, sehingga sel-sel keratinosit tidak
sempat sembuh, maka akan terjadi gejala klinis DKI kumulatif Taylor, 2008. Kerusakan sawar lipid berhubungan dengan kehilangan daya kohesi antar korneosit
dan deskuamasi diikuti dengan peningkatan trans-epidermal water loss TEWL. Hal tersebut merupakan rangsangan untuk memacu sintesis lipid, proliferasi keratinosit
dan hiperkeratosis sewaktu transient sehingga dapat terbentuk sawar kulit dalam keadaan baru Taylor, 2008.
2.2.4. Bentuk Lain dari Kelainan Kulit yang Diinduksi Lingkungan Dermatitis kontak fototoksik dan fotoalergik
Bahan fototoksik sebagai bahan yang diserap sinar ultraviolet dan menyebabkan reaksi inflamasi pada kulit. Sebagai contoh bahan yang bersifat
fototoksik termasuk obat-obatan yaitu golongan fenotiazin dan tetrasiklin, bahan industri kimia seperti tars dan golongan resin. Dermatitis fototoksik tidak melalui
proses imunologik, berhubungan dengan kadardosis Bahan fototoksik mempunyai kecendrungan mengenai semua individu yang terpapar Taylor, 2008. Dermatitis
kontak fotoalergi, seperti halnya dermatitis kontak alergi melalui proses imunologi. Alergen hanya menjadi aktif bila ada sinar ultraviolet. Contoh dari fotoalergen ialah
obat-obatan, parfum, krim pelindung matahari dan antiseptik Rofiq, 2007.
Urtikaria kontak
Urtikaria kontak merupakan reaksi segera berupa wheal dan flare bengkak dan rasa terbakar pada kulit setelah terkena kontaktan. Tidak seperti dermatitis
Universitas Sumatera Utara
kontak, di mana cenderung meluas beberapa hari setelah kontak kulit. Urtikaria kontak meluas dengan segera setelah kulit kontak dengan kontaktan. Manifestasi
klinisnya biasanya berupa terjadinya erupsi urtikaria segera dalam waktu 30 menit setelah kontak dan pada waktu yang lama menjadi dermatitis Kaplan, 2008.
Penyebab terjadinya urtikaria kontak meliputi bahan makanan seperti daging, telur, seafood dan sayuran, bulu dan sekresi dari hewan seperti ulat dan artropoda
yang lainnya, tumbuhan dan bumbu-bumbu seperti rumput laut, thyme dan cabai rawit, parfum dan bahan penyedap seperti balsam dari Peru dan minyak kayu manis,
beberapa jenis obat-obatan seperti antibiotik, logam, bahan pengawet seperti formalin dan asam benzoat, dan karet lateks sarung tangan Kaplan, 2008.
2.2.5. Bentuk Lain Penyakit Kulit Akibat Kerja