Pernikahan .1 Kecemasan Menghadapi Pernikahan Jenis Kelamin, Usia, Pendidikan Terakhir, Status Bekerja, dan Suku Bangsa

2.2 Pernikahan 2.2.1 Pengertian Pernikahan Pernikahan adalah memberikan keintiman, komitmen, persahabatan, afeksi, pemuasan seksual, dan kesempatan untuk pertumbuhan emosional, juga sebagai sumber identitas dan harga diri Gardiner Kosmitzky, dalam Papalia, 2009. Pernikahan merupakan komitmen public, dan pasangan yang membuat komitmen demikian menaruh rasa percaya terhadap ikatan tersebut. Papalia, 2009 Anwar 1991 berpendapat bahwa pernikahan menurut bahasa adalah berkumpul dan menurut istilah adalah aqad yang menghalalkan persetubuhan. Kemudian menurut UU no.1 tahun 1974 tentang perkawinan mengartikan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhan Yang Maha Esa.

2.3 Kecemasan Menghadapi Pernikahan

Ketakutan terhadap hal-hal yang belum tentu terjadi, dimana seseorang takut akan adanya kegagalan dalam berkeluarga, ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri, dan takut akan kegagalan membentuk keluarga yang bahagia. Takut tidak bisa menjadi kepala rumah tangga dan ibu rumah tangga. Bagi pria takut tidak mampu untuk menafkahi keluarganya. Kekhawatiran yang dialami oleh individu ketika menghadapi masa dimana dirinya dianjurkan untuk melangkah ke jenjang pernikahan yang mengharuskan dirinya untuk menjalin suatu ikatan dengan lawan jenisnya untuk hidup bersama. Akan tetapi dalam hal ini individu merasa dirinya belum siap untuk hal tersebut. 2.4 Religiusitas 2.4.1 Pengertian Religiusitas Religiusitas memiliki peranan dalam penyesuaian diri. Penelitian oleh Bergins, Masters dan Richards dalam, Astuti, 1999 yang hasilnya bahwa individu yang religius dalam arti benar-benar menginternalisasikan kepercayaan-kepercayaan agama mereka dan hidup dengan aturan agama itu secara tulus dan ikhlas, dapat menyesuaikan diri dengan baik dan jarang mengalami kecemasan. Sari, 2008 Religiusitas didefinisikan sebagai manifestasi seberapa jauh individu menganut agama, meyakini, menghayati, memahami, dan mengamalkan agama yang dianutnya dalam kehidupan sehari-hari dari semua aspek agama. Ancok, 2005 Gazalba 1987 dalam Ghufron, 2010 mengatakan religiusitas berasal dari kata religi dalam bahasa latin religio yang akar katanya adalah religure yang berarti mengikat. Ini mengandung makna bahwa religi atau agama pada umumnya memiliki aturan-aturan dan kewajiban-kewajiban yang harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh pemeluknya. Anshori 1980 dalam Ghufron, 2011 mengatakan bahwa religiusitas menunjuk pada aspek religi yang telah dihayati oleh seseorang dalam hati. Pendapat tersebut senada dengan Dister Subandi, 1988 yang dikutip dalam Ghufron, 2011 mengartikan bahwa religiusitas sebagai keberagamaan karena adanya internalisasi agama ke dalam diri seseorang. Mons 1989 dalam Ghufron, 2011 mengartikan keberagamaan sebagai keterdekatan yang lebih tinggi dari manusia kepada Yang Maha Kuasa yang memberikan perasaan aman. Menurut Nasution dalam Arifin, 2008 secara definitive agama adalah kepercayaan pada suatu kekuatan ghaib yang menimbulkan cara hidup tertentu. Kemudian Harun Nasution merunut pengertian agama berdasarkan asal kata, yaitu al-din, religi relegere, religare, dan agama. Al-din Semit berarti undang- undang atau hukum. Kemudian dalam bahasa arab, kata ini mengandung arti menguasai, mendudukkan, patuh, utang, balasan, dan kebiasaan. Adapaun dari kata religi Latin atau relegere berarti mengumpulkan dan membaca. Kemudian, religare berarti mengikat. Adapun kata agama terdiri dari a = tak, gam = pergi mengandung arti tak pergi, tetap di tempat atau diwarisi turun temurun. Arifin, 2008. Menurut Thouless 1995 religious adalah sikapcara penyesuaian diri terhadap dunia yang mencakup acuan yang menunjukan lingkungan yang lebih luas dari pada lingkungan dunia fisik yang terkait ruang dan waktu. Definisi lainnya, seperti yang dikutip oleh Pargemen dalam Rakhmat 2005. Agama telah didefinisikan sebagai: perasaan, tindakan dan pengalaman individu-individu dalam kesepiannya, sepanjang mereka melihat dirinya berhadapan dalam hubungan dengan apa yang dianggapnya sebagai Tuhan. Menurut Glock Stark dalam Ancok, 2004, religious adalah symbol system keyakinan, system nilai, dan system perilaku yang terlembagakan, yang semuanya itu berpusat pada persoalan-persoalan yang dihayati sebagai yang paling maknawi ultimate meaning. Kemudian Glock Stark juga berpendapat, ada lima macam dimensi keberagamaan, yaitu dimensi keyakinan ideologis, dimensi peribadatan atau praktek agama ritualistik, dimensi penghayatan eksperiensial, dimensi pengamalan konsekuensial, dimensi pengetahuan agama intelektual. Menurut Fetzer 1999 definisi religiusitas adalah seberapa kuat individu penganut agama merasakan pengalaman beragama sehari-hari daily spiritual experience, mengalami kebermaknaan hidup dengan beragama religion meaning, mengekspresikan keagamaan sebagai sebuah nilai value, meyakini ajaran agamnya belief, memaafkan forgiveness, melakukan praktek beragama ibadah secara menyendiri private religious practice, menggunakan agama sebagai coping religiousspiritual coping, mendapat dukungan penganut sesama agama religious support, mengalami sejarah keberagamaan religiousspiritual history, komitmen beragama commitment, mengikuti organisasikegiatan keagamaan organizational religiusness dan meyakini pilihan agamanya religious preference. Dewey 2001 memberikan definisi agama secara substantif yaitu, pengakuan menusia terhadap kekuatan yang lebih tinggi dan tidak tampak yang mengawasi nasib manusia dan berhak atas kepatuhan, hormat, dan pujian. Smith dalam Raiya 2006 berpendapat bahwa kata religio yang disebut sesuatu yang sedang dilakukan, atau salah satu pikiran yang paling dalam, atau yang melanggar komitmen, menuntut ketaatan atau mengancam bencana dan menawarkan hadiah atau mengikat dalam komunitas seseorang. Sikap keagamaan merupakan suatu keadaan yang ada dalam diri seseorang yang mendorongnya untuk bertingkah laku sesuai dengan ketaatannya pada agama yang dianutnya. Sururin, 2004 Dari pemaparan para ahli tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa religiusitas merupakan suatu pernilaian, pemahaman, praktek dalam kehidupan sehari-hari individu tentang keberagamaan yang di anutnya.

2.4.2 Aspek-aspek Religiusitas

Menurut Raiya 2006, menjelaskan bahwa terdapa delapan aspek religiusitas, yaitu: 1. Islamic Religious Conversion, Pargamant 1997 dalam Raiya, 2006 mengusulkan definisi konversi agama: Dalam rangka untuk menciptakan kehidupan, individu tentu saja mengalami perubahan dramatis, perubahan di mana diri menjadi diidentifikasi dengan suci hal. 248. Fitur utama dari proses ini adalah bahwa pengakuan itu sendiri adalah terbatas dan penggabungan suci itu sendiri Mahoney Pargaamant 2004, dalam Raiya 2006. 2. Islamic Dimensions dan Islamic Religious Struggle adalah dimensi keyakinan, dimensi praktek, dimensi etika melakukan atau tidak, etika jangan melakukan, pertahananperjuangan agama ketika menghadapi kesulitan, keraguan, dan konflik yang individu alami. 3. Islamic Positive Religious Coping, Pargament dkk. 2000 dalam Raiya, 2006, metode yang positif dari agama mencerminkan hubungan rasa aman dengan Allah, suatu keyakinan bahwa ada makna yang lebih besar untuk ditemukan, dan rasa keterhubungan spiritual dengan orang lain 4. Islamic Negative Religious Coping, Menurut Pargament dkk 2000dalam Raiya, 2006, pola negatif agama coping melibatkan ekspresi kurang aman dengan Allah, pandangan lemah dan tak menyenangkan dari dunia dan perjuangan agama untuk menemukan dan melestarikan penting dalam hidup. Pola coping diukur menggunakan bentuk pendek terhadap subskala agama Islam negatif. 5. Islamic Religious Internalization-Identification, menurut Ryan dkk.1993 dalam Raiya, 2006, mengidentifikasi keagamaan merupakan adopsi dari keyakinan agama sebagai nilai-nilai pribadi. 6. Islamic Religious Internalization-Introjection, perilaku didorong oleh tujuan lain, cemas merasa bersalah, dan kehilangan harga diri. Ryan dkk.1993 dalam Raiya, 2006.

7. Islamic Religious Exclusivism, menurut Pargamant 1997 dalam Raiya,

2006, eksklusivisme agama mencerminkan asumsi bahwa ada realitas mutlak dan cara tunggal untuk melakukan pendekatan.

2.4.3 Ciri-Ciri Sikap Keberagamaan Pada Masa Dewasa

Menurut jalaludin dalam Sururin, 2004, sejalan dengan tingkat perkembangan usianya, sikap keberagamaan pada orang dewasa mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: 1. Menerima kebenaran agama berdasarkan pertimbangan pemikiran matang, bukan sekedar ikut-ikutan. 2. Cenderung bersifat realis, sehingga norma-norma agama lebih banyak diaplikasikan dalam sikap dan tingkah laku. 3. Bersikap positif terhadap ajaran dan norma-norma agama dan berusaha untuk mempelajari dan memperdalam pemahaman keagamaan. 4. Tingkat ketaatan beragama didasarkan atas pertimbangan dan tanggung jawab diri hingga sikap keberagamaan merupakan realisasi dari sikap hidup. 5. Bersikap lebih terbuka dan wawasan yang lebih luas 6. Bersikap lebih kritis terhadap materi ajaran agama sehingga kemantapan beragama selain didasarkan atas pertimbangan pikiran, juga didasarkan atas pertimabangan hati nurani. 7. Sikap keberagamaan cenderung mengarah kepada tipe-tipe kebribadian masing-masing, sehingga terlihat adanya pengaruh kepribadian dalam menerima, memahami serta melaksanakan ajaran agama yang diyakininya. 8. Terlihat adanya hubungan antara sikap keberagamaan dengan kehidupan sosial, sehingga perhatian terhadap kepentingan organisasi sosial keagamaan sudah berkembang.

2.5 Dewasa

2.5.2 Definisi Dewasa

Masa dewasa kendati yang sah yang menandai awal masa dewasa dapat dengan mudah ditentukan, lebih sukar untuk menunjukkan permulaannya secara psikologis. Masa dewasa membawa serta tingkat kedewasaankematangan tertentu yang tidak selalu merupakan dampak pencapaian usia tertentu. Pada masa dewasa belajar menerima tanggung jawab atas tindakan kita, mengambil keputusan sendiri dan belajar dari kesalahan kita. Andrew, 1996 Istilah adult berasal dari kata kerja Latin, seperti juga istilah adolescene- adolescere- yang berarti ”tumbuh menjadi kedewasaan”. Akan tetapi, kata adult berasal dari bentuk lampau partisipel dari kata kerja adultus yang berarti “telah tumbuh menjadi kekuatan dan ukuran yang sempurna”. Atau “telah menjadi dewasa”. Oleh karena itu orang dewasa adalah individu yang telah menyelesaikan pertumbuhannya dan siap menerima kedudukan dalam masyarakat bersama dengan orang dewasa lainnya. Harlock, 1980 Dewasa adulthood bisa mengandung banyak arti. Tergantung dari sudut pandangnya, bahkan bisa saling bertentangan. Di Jepang, misalnya, dimana usia harapan hidupnya mencapai 72 tahun, seseorang yang berusia 69 tahun masih diangap usia pertengahan, sedangkan di Indonesia yang usia harapan hidupnya 62 tahun, orang tersebut sudah di anggap manusia lansia lanjut usia. Sarwono, 2009. Selama masa awal kedewasaan, seseorang mengikat diri pada suatu pekerjaan dan banyak yang menikah atau membentuk jenis hubungan intim lain. Keintiman berarti masa suatu kemampuan memperhatikan orang lain dan membagi pengalaman dengan mereka. Orang yang tidak dapat menjalin hubungan mesra karena mereka takut disakiti atau tidak mampu berbagi menanggung akibat diisolasikan. Studi menunjukkan bahwa hubungan intim dengan pasangan yang penuh dorongan secara nyata mendukung kesehatan emosi dan fisik seseorang. Atkinson, 1999

2.5.3 Masalah-Masalah Masa Dewasa

Banyak masalah yang dihadapi oleh orang dewasa, Andrew, 1996 yakni: 1. Pekerjaan Menekankan kebutuhan manusia untuk menemukan maksud dan makna dalam kehidupan dan tentunya pekerjaan memberikan situasi dimana orang dewasa mungkin dapat berharap menemukan suatu maksud dan keberhasilan seperti itu. Akan tetapi pekerjaan masih menimbulkan banyak masalah. Sebagian besar masalah ini timbul karena sifat pekerjaan yang harus kompetitif. 2. Pendekatan dan Pernikahan Orang dewasa dihadapkan pada sebuah pernikahan, beberapa orang menikah dengan gambaran ideal tentang pasangannya yang amat kecil hubungannya dengan orang yang sebenarnya. Bentuk ikatan semacam ini kemungkinan tidak akan membuahkan pernikahan yang sukses karena tidak ada pria atau wanita yang dapat menjalani kehidupan tersebut dan memperoleh kebahagiaan dengan suami istri yang tidak mampu mengemban tanggung jawab dari hidup pernikahan. 3. Menjadi Orang Tua Bila keberhasilan pernikahan menunjukkan salah satu tanda utama dari kedewasan, mungkin benar bila kita mengatakan bahwa penyesuaian diri terhadap fungsi sebagai orang tua bahkan lebih penting lagi. 4. Kehilangan Orang-Orang yang Disayang Banyak ayah-ibu muda usia masih mempunyai orang tua sendiri dan akhirnya kehilangan orang tua sendirilah yang kemudian menimbulkan situasi menekan jiwa yang harus dihadapi oleh semua oran dewasa. 5. Proses Menjadi Manula Tahap lanjut dari kehidupan orang dewasa, masa separuh baya, yang menimbulkan masalah-masalah baru yang menuntut penyesuaian diri lagi dari pria maupun wanita.

2.5.4 Pembagian Masa Dewasa

1. Masa Dewasa Dini Masa dewasa dini dimulai pada umur 18 tahun sampai kira-kira umur 40 tahun, saat perubahan-perubahan fisik dan psikologis yang menyertai berkurangnya kemampuan reproduksi. Harlock, 1980 Masa dewasa dini merupakan periode penyesuaian diri terhadap pola-pola kehidupan baru dan harapan-harapan. Orang dewasa muda diharapkan memainkan peran baru, seperti peran suamiistri, orang tua, dan pencari nafkah, dan mengembangkan sikap-sikap baru, keinginan-keinginan dan nilai-nilai baru sesuai dengan tugas-tugas baru ini. Dimana dewasa dini tersebut memiliki cirri-ciri sebagai berikut; Harlock, 1980  Masa pengaturan  Usia reproduksi  Masa bermasalah  Masa ketegangan emosional  Masa keterasingan sosial  Masa komitmen  Masa ketergantungan  Masa perubahan nilai  Masa Penyesuaian diri dengan cara hidup baru  Masa kreatif 2. Masa Dewasa Madya Masa dewasa madya masa dimulai pada umur 40 tahun sampai pada umur 60 tahun, yakni saat baik menurunnya kemampuan fisik an psikologis yang jelas Nampak pada setiap orang 3. Masa Dewasa Lanjut Usia Lanjut Masa dewasa lanjut-senescence, atau usia lanjut dimulai pada umur 60 tahun sampai kematian. Pada waktu ini baik kemampuan fisik maupun psikologis cepat menurun, tetapi teknik pengobatan modern, serta upaya dalam hal berpakaian dan dandanan, memungkinkan pria dan wanita berpenampilan, bertindak, dan berperasaan seperti kala mereka masih lebih muda.

2.6 Jenis Kelamin, Usia, Pendidikan Terakhir, Status Bekerja, dan Suku Bangsa

Jenis kelamin adalah kelas atau kelompok yang terbentuk dalam suatu spesies sebagai sarana atau sebagai akibat digunakannya proses reproduksi seksual untuk mempertahankan keberlangsungan spesies itu. Jenis kelamin merupakan suatu akibat dari dimorfisme seksual, yang pada manusia dikenal menjadi laki-laki dan perempuan. Usia adalah satuan waktu yang mengukur waktu keberadaan suatu benda atau makhluk, baik yang hidup maupun yang mati. Umur diukur dari lahir sampai masa kini atau dari kejadian bermula sampai masa yang sedang dijalani. Semakin dewasa manusia, semakin mudah individu tersebut memiliki sikap toleransi dan menyikapi suatu keadaan. Pendidikan terakhirtingkat pendidikan individu sangat penting untuk diperhatikan karena tingkat pendidikan yang dimiliki seseorang akan mempengaruhi pola pikir, sikap dan tingkah laku mereka. Suku bangsa adalah suatu golongan manusia yang anggota-anggotanya mengidentifikasikan dirinya dengan sesamanya, biasanya berdasarkan garis keturunan yang dianggap sama. Anggota suatu suku bangsa pada umumnya ditentukan menurut garis keturunan ayah, ibu, atau menurut keduanya.

2.7 Kerangka Berfikir