BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Memasuki alam kedewasaan, seorang laki-laki harus mempersiapkan diri untuk dapat hidup dan menghidupi keluarganya, ia harus mulai bekerja mencari nafkah
dan membina kariernya. Kaum perempuan juga harus mempersiapkan diri untuk berumah tangga. Di Indonesia masih terdapat risiko untuk dianggap “perawan
tua”, kalau belum mendapat pasangan pada umur tiga puluhan. Kalau ia berhasil mendapatkan suami, maka timbul pula problem-problem keluarga dan problem-
problem anak-anaknya. demikian seterusnya problem itu berdatangan. Sarwono 2009.
Pernikahan merupakan suatu hal yang sakral dan titik awal dari sebuah pembentukan keluarga serta peristiwa bersejarah dalam kehidupan manusia.
Pernikahan merupakan hubungan yang intim dan abadi serta menyatukan dua individu untuk menjalani hidup bersama sebagai pasangan suami istri dengan
berbahagia. Dengan keadaan seperti itu seharusnya pernikahan tersebut tidak menjadi hambatan atau kendala bagi tiap orang untuk merasakan kebahagiaan
dalam menghadapi pernikahannya. Nastalia, 2008 Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan untuk menikah
dan melarang keras kepada orang yang tidak mau menikah. Anas bin Malik radliyallahu
anhu berkata,
Rasulullah shallallahu
alaihi wa
sallam memerintahkan kami untuk nikah dan melarang kami membujang dengan
larangan yang keras. Dan beliau bersabda, Nikahilah perempuan yang banyak anak dan penyayang. Karena aku akan berbangga dengan banyaknya umatku di
hadapan para Nabi kelak di hari kiamat. “HR. Ahmad dan di shahihkan oleh Ibnu Hibban” Bayu, 2008.
Setiap orang yang sudah aqil baligh dapat melakukan suatu pernikahan kapanpun ia mau asalkan ia sudah mampu. Orang yang dikatakan mampu adalah
orang yang nantinya dapat memenuhi kebutuhan keluarganya dari segi materi maupun immateri. Oleh karena itu jika seseorang sudah mampu untuk menikah
maka menikahlah. BKKBN Rubrik Remaja, 2006. Disamping itu Rasulullah pernah berkata kepada Ali, Hai Ali, ada tiga perkara yang jangan kamu tunda
pelaksanaannya, yaitu shalat apabila tiba waktunya, jenazah apabila sudah siap penguburannya,
dan wanita
bila menemukan
pria sepadan
yang meminangnya.HR. Ahmad.
Tetapi pernikahan juga menjadi salah satu sumber kecemasan dan akan menjadi hal yang tidak normal apabila tingkatannya tidak sesuai dengan proporsi
ancaman atau menjadi sangat ekstrem Nastalia, 2008. Karena pada hakikatnya suatu pernikahan banyak sekali hal-hal yang muncul dan terjadi pada diri
seseorang, salah satunya suatu kecemasan akan dirasakan oleh seseorang. Mereka memikirkan banyak hal jika mereka menikah, yakni menjadi kepala rumah
tanggaibu rumah tangga yang baik, memberi nafkah lahir dan batin untuk keluarganya, dll.
Banyak sekali orang-orang dewasa yang merasakan cemas dalam menghadapi sebuah pernikahan, adanya hal-hal yang mereka duga-duga jika
dirinya sudah menikah. Fenomena yang terjadi saat ini adalah banyak perempuan dan laki-laki di usia cukup dengan kondisi kehidupan mapan namun masih enggan
untuk menikah karena berbagai sebab. Salah satu diantaranya adalah para wanita lebih memikirkan karir atau berada pada sektor publik. Akhir-akhir ini fenomena
tersebut semakin banyak terjadi, tentunya hal ini terjadi karena dilatarbelakangi oleh banyak hal. Sebagaian besar perempuan merasakan kecemasan dan ketakutan
berlebih hingga kemudian melahirkan berbagai situasi psikologis tanpa arah. Di lain pihak, banyak perempuan yang justru menikmati masa lajangnya. Bagi
mereka hidup melajang merupakan sesuatu yang tidak perlu dikhawatirkan. Perceraian atau ditinggal pasangan bisa jadi alasan yang membuat mereka enggan
untuk menikah. Trauma dengan kegagalan sebuah pernikahan bukan hal yang baru lagi yang bisa mendorong orang untuk enggan membina rumah tangga lagi.
Dan masalah-masalah ini cukup mempengaruhi kondisi kejiwaan manusia. Permasalahan manusia, dewasa ini sangat kompleks dan beragam. Satu
diantaranya adalah kondisi kecemasan. Kondisi kecemasan seseorang bisa menjadi lebih parah apabila dalam pikirannya tidak tertanam kekuatan untuk
mengatasinya. Terkadang, pada diri seseorang yang akan menikah untuk yang pertama kalinya ada suatu rasa tidak siap untuk melaksanakan pernikahan.
Masalah dapat muncul setiap saat. Hal ini membutuhkan kesiapan yang matang untuk menghadapinya. Kemampuan pikir indifidu yang bersifat positif dalam
menghadapi setiap masalah sangat menentukan. Asmarini, 2003 Menurut pendapat Henderson dan Gillespie dalam Fahmi mengatakan
bahwa banyak situasi menekan yang menghambat dan menyebabkan terjadinya
konflik jiwa cemas, diantaranya adalah keadaan ekonomi, gagal dalam kehidupan berkeluarga, gagal dalam bekerjaan dan yang lainnya.
Freud dikutip dalam Fahmi cemas berarti tidak lain dari bentuk lahir dari proses emosi yang bercampur baur, yang terjadi ketika terjadinya frustasi dan
konflik. Cemas seperti proses lainnya juga, ada segi yang disadari dan yang tidak disadari, segi yang disadari dari cemas tersebut tampak dalam rasa takut, ngeri,
rasa lemah, rasa dosa, rasa terancam dan seterusnya. Akan tetapi disamping perasaan-perasaan
tersebut, cemas
mengandung pula
proses-proses yang
kompleks dan bercampur baur, yang banyak bekerja tanpa disadari oleh individu, yang berarti bahwa individu merasa takut tanpa mengetahui factor-faktor yang
mendorongnya kepada keadaan itu. Kemudian Freud dikutip dalam Kuswara, 1991 membagi kecemasan kedalam tiga jenis, yakni: cemas obyektif objective
anxiety, cemas penyakit neurotic anxiety, dan cemas moral moral anxiety. Post dalam Trismiati, 2004 Kecemasan adalah kondisi emosional yang
tidak menyenangkan, yang ditandai oleh perasaan-perasaan subjektif seperti ketegangan, ketakutan, kekhawatiran dan juga ditandai dengan aktifnya sistem
syaraf pusat. Kecemasan seseorang dalam menghadapi pernikahan disebabkan karena mereka takut tidak dapat menafkahi keluargamemenuhi perekonomian
keluarga, takut karena belum bisa membina keluarga dengan baik. Fenomena dalam sebuah buku yang saya temukan terdapat seorang yang
telah cukup usia untuk menikah akan tetapi dirinya takut untuk menikah. Ia seorang pria berusia 38 tahun yang hingga saat ini masih merasa takut dan
khawatir terhadap kemampuannya untuk menyediakan materi dan ekonomi jika
dirinya menikah. Dirinya takut jika dirinya menikah dirinya tidak dapat memenuhi kebutukan ekonomi keluarga, padahal dirinya sudah bekerja dan memiliki posisi
yang baik, dirinya menyadari bahwa seusianya seharusnya sudah menikah dan menjadi seorang bapak. Menurutnya terdapat beberapa hal yang ikut andil yang
mendorong dalam pembentukan ketakutan dan kekhawatiran yang Ia alami, seperti pengalaman yang ia rasakan dalam akhir-akhir ini yakni seorang
kekasihnya yang memiliki kehidupan yang pas-pasan, rekan-rekan kerjanya semasa kuliah yang kebanyakan perempuan karena minimnya ekonomi yang
mereka rasakan mendorong mereka untuk bekerja meski mereka perempuan, ibunya yang terlilit hutang, banyakanya rekan kerjanya sekarang yang di PHK.
Dari semua itu dalapat disimpulkan bahwa pria terebut ketakutan dan khawatir dirinya tidak dapat memenuhi perekonomian keluarganya kelak jika sudah
menikah.Budiman, 1999 Fakta yang penulis lihat bahwa hidup membujang melajang terasa
semakin marak terjadi. Terlebih di sebuah perkotaan, seakan tak ada masalah dalam kehidupan mereka. Begitu santai menapaki kehidupan dunia yang semakin
terasa keras. Banyak sekali orang-orang dewasa yang merasa keberatan jika mereka meninggalkan masa lajang, mereka beranggapan bahwa separuh
kebebasannya akan tersita karenanya. Pada tahun 2003, Sekitar 75 dari perempuan usia 20 hingga 40 dan 80
laki-laki usia tersebut tidak menikah, disbanding dengan 36 dan 55 pada tahun 1970. Bahkan diantara mereka yang berusia 30 hingga 34 sebanyak 23
perempuan dan 33 laki-laki belum menikah hingga tahun 2003. Fields, 2004 dikutip dalam Papalia, 2009.
Terdapat seseorang yang dewasa yang tetap memilih untuk melajang karena mereka belum menemukan pasangan yang tepat, dan yang lain melajang
karena memilih. Makin banyak perempuan sekarang menunjang diri sendir, dan terdapat lebih sedikit dorongan untuk menikah. Bebrapa orang ingin tetap bebas
mengambil resiko, bereksperimen, dan melakukan berbagai perubahan, mengejar karier, melanjutkan pendidikan mereka, lebih merasa bahwa menyendiri itu
menyenangkan, dan ada juga yang menunda pernikahan atau menghindari pernikahan karena takut bahwa bahwa pernikahan akan berakhir dengan
perceraian. Papalia, 2009 Apapun alasannya, menunda pernikahan sampai umur tua tak diharapkan,
selain tentunya tidak disukai oleh agama. Sebaliknya, mempercepat pernikahan sangat dianjurkan, sebagaimana tersirat dalam ayat, Dan nikahkanlah orang-
orang yang bersendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak menikah dari hambar-hamba sahayamu, laki-laki maupun perempuan. Jika mereka miskin,
Allah yang akan memampukan mereka dengan karuniaNya, dan Allah Maha Luas Pemberian lagi Maha Mengetahui. QS. An-Nur : 32.
Dalam penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Suwanti 2003 yang berjudul “Hubungan antara Kematangan Emosi Dan Tingkat Religiusitas Dengan
Kecemasan Dalam Menghadapi Pernikahan “ menghasilkan bahwa Peranan atau sumbangan efektif kematangan emosi terhadap kecemasan dalam menghadapi
pernikahan = 23,594 sedangkan peranan atau sumbangan efektif tingkat
religiusitas terhadap kecemasan dalam menghadapi pernikahan = 25,595. Total sumbangan efektif = 49,2 ditunjukkan oleh R
2
= 0,492. Yang artinya ada hubungan yang sangat signifikan antara kematangan emosi dan tingkat religiusitas
dengan kecemasan dalam menghadapi pernikahan. Seseorang yang kurang membekali dirinya dengan pengetahuan agama,
bimbingan dan arahan keagaman dalam kehidupannya, maka kondisi seperti ini akan menjadi salah satu pemicu berkembangnya perilaku seseorang yang semakin
meningkat dan akan berdampak pada sikap dan perbuatannya, serta lebih memudahkan seseorang untuk melakukan perbuatan yang dilarang oleh agama.
Menurut Wulff dalam Raiya, 2006 religion berasal dari bahasa Latin religio, beberapa ahli mengatakan awalnya digunakan untuk menunjuk lebih dari
kekuatan manusia, yang membutuhkan seseorang untuk merespon dengan cara tertentu untuk menghindari beberapa konsekuensi yang mengkhawatirkan.
Religiusitas adalah seberapa jauh pengetahuan, seberapa kokoh keyakinan, seberapa pelaksanaan ibadah dan akidah, dan seberapa dalam penghayatan atas
agama yang dianutnya. Nashori Muchtar, 2002 Religiusitas memiliki peranan dalam penyesuaian diri. Penelitian oleh
Bergins, Masters dan Richards dalam, Astuti, 1999 yang hasilnya bahwa individu
yang religius
dalam arti
benar-benar menginternalisasikan
kepercayaankepercayaan agama mereka dan hidup dengan aturan agama itu secara tulus dan ikhlas, dapat menyesuaikan diri dengan baik dan jarang mengalami
kecemasan. Sari, 2008
Oleh karena itulah penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Pengaruh Religiusitas Terhadap Kecemasan Menghadapi Pernikahan Pada Orang
Dewasa yang Melajang”
1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah 1.2.1