Ricketsia Sebagai Penyebab Demam Akut di Indonesia Ringkasan

Gambar 1. Penyebab demam akut berdasarkan penelitian VS berdasarkan

diagnosis RS

Secara klinis tanda dan gejala dari penyakit Rickettsia sulit dibedakan dari gejala penyakit infeksi lainnya. Disamping demam, lebih dari 50% mengeluhkan sakit kepala dan mual Secara klinis tanda dan gejala dari penyakit Rickettsia sulit dibedakan dari gejala penyakit infeksi lainnya. Disamping demam, lebih dari 50% mengeluhkan sakit kepala dan mual

Ketidaksesuaian diagnosis ini dapat berujung kepada ketidaktepatan akan pengobatan yang diberikan. Antibiotik golongan tetrasiklin, terutama doksisiklin merupakan terapi pengobatan terpilih untuk kasus rickettsia. Dengan dosis 200 mg per hari untuk orang dewasa dan 2.2 mg/kgBB untuk anak, golongan tetrasiklin dapat menurunkan demam setelah 48 jam setelah pemberian, jika diberikan pada 5 hari pertama sakit. Kasus Rickettsia yang ditemukan pada penelitian ini sebagian besar sukses diterapi dengan antibiotika golongan lain seperti penisilin, cephalosporin, aminoglikosida, eritromisin maupun sulfonamida. Namun demikian pada beberapa kasus pemberian antibiotika yang kurang tepat dapat memperberat kasus rickettsia dan menjadikannya fatal. Kasus di India dimana seorang pasien datang dengan manifestasi sepsis dan sindrom disfungsi multi organ kemudian tidak diterapi dengan doksisiklin secara benar, berakibat pada kematian. Sementara kasus rickettsia berat serupa yang diterapi dengan doksisiklin mengalami perbaikan secara klinis. Pada penelitian AFIRE juga terdapat satu kasus rickettsia berat dengan manifestasi sepsis dimana diagnosis awal adalah pneumonia kemudian mendapatkan terapi ciprofloksasin dan pada akhirnnya meninggal dunia.

N = 78

Gambar 3. Proporsi gejala yang ditemukan pada Rickettsiosis

Konteks kebijakan terkait Ketersediaan buku panduan manajemen kasus Rickettsiosis

Walaupun telah ditemukan kasus Rickettsiosis di Indonesia, baik pemerintah maupun organisasi profesi belum memahami sepenuhnya mengenai penyakit ini. Terbukti dengan ketiadaan buku pedoman atau buku panduan mengenai tatalaksana Rickettsiosis yang disusun oleh pemerintah maupun organisasi profesi. Di Fakultas Kedokteran sendiri, Rickettsiosis bukan merupakan kasus yang dititik beratkan pada mata kuliah Ilmu Penyakit Dalam. Kasus seperti Infeksi Dengue, salmonella, leptospira, dan chikungunya masih merupakan kasus infeksi tropis yang menjadi perhatian utama. Pada profil kesehatan yang diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan, Penyakit Rickettsia juga tidak disertakan dalam pelaporan.

Ketersediaan alat diagnostik Rickettsiosis

Dikarenakan kurangnya perhatian pemerintah maupun profesi terhadap penyakit Rickettsia, selama ini di RS juga tidak tersedia sarana untuk mendiagnosis kasus Rickettsiosis. Laporan kasus penyakit Rickettsia ini kebanyakan berasal dari hasil penelitian maupun survei.

Beberapa penyakit infeksi seperti Infeksi Dengue dan Salmonella telah dapat didiagnosis dengan alat uji diagnostik cepat. Namun untuk penyakit Rickettsia, sampai saat ini belum ditemukan. Tetapi alat uji diagnostik cepat yang sudah tersedia untuk beberapa penyakit Beberapa penyakit infeksi seperti Infeksi Dengue dan Salmonella telah dapat didiagnosis dengan alat uji diagnostik cepat. Namun untuk penyakit Rickettsia, sampai saat ini belum ditemukan. Tetapi alat uji diagnostik cepat yang sudah tersedia untuk beberapa penyakit

Ketersediaan Doksisiklin sebagai terapi Rickettsia

Jika diagnosis rickettsia dapat ditegakkan, maka penatalaksanaan kasus rickettsia perlu mendapat perhatian, terutama pada pasien yang datang dengan manifestasi klinis yang berat. Jika penyebab demam seperti infeksi dengue maupun salmonella dapat disingkirkan, maka rickettsiosis perlu dipikirkan sebagai salah satu penyebab demam akut. Namun demikian, hasil positif dari alat uji diagnostik cepat untuk infeksi dengue dan salmonella belum tentu benar, karena masih memungkinkan hasil positif palsu. Jika pengobatan antibiotik tidak responsif, pikirkan kemungkinan diagnosis lainnya. Kapsul doksisiklin 100 mg sebagai obat terpilih untuk pengobatan rickettsia telah tercantum dalam formularium nasional (Fornas). Namun demikian sediaan untuk anak yang biasanya berupa suspensi, belum tercantum didalamnya, begitu juga dengan sediaan intravena yang diperlukan dalam kondisi berat.

Rekomendasi kebijakan

1. Meningkatkan kewaspadaan pihak terkait baik program maupun klinisi terhadap penyakit Rickettsia melalui seminar dan workshop. 2. Organisasi profesi dan pemerintah dapat bekerjasama membuat suatu buku pedoman atau buku panduan mengenai penatalaksanaan penyakit Rickettsia. 3. Pemerintah menyediakan sarana untuk mendeteksi penyakit Rickettsia melalui penguatan laboratorium di RS rujukan. 4. Organisasi profesi dan pemerintah mendukung penelitian dalam menemukan algoritma dan alat uji diagnostik cepat untuk mendeteksi penyakit Rickettsia. 5. Pemerintah melalui kementerian kesehatan memperkuat peran sumber daya kesehatan di fasilitas kesehatan dasar dan rujukan untuk mengembangkan usaha promotive dan preventif terkait dengan kasus Rickettsiosis. 6. Pemerintah melalui Kementerian kesehatan memasukkan doksisiklin sediaan anak dan intra vena sebagai obat terpilih dari rickettsia ke dalam formularium nasional.

Rujukan

1. Raoult D, Roux V. Rickettsioses as paradigms of new or emerging infectious diseases. Clinical microbiology reviews 1997; 10(4): 694-719.

2. Centers for Disease Control and Prevention. Infectious Diseases Related to Travel. CDC Health Information for International Travel 2016. New York: Oxford University Press; 2016.

3. Faccini-Martinez AA, Garcia-Alvarez L, Hidalgo M, Oteo JA. Syndromic classification of rickettsioses: an approach for clinical practice. International journal of infectious diseases : IJID : official publication of the International Society for Infectious Diseases 2014; 28: 126-39.

4. Olano JP. Rickettsial infections. Annals of the New York Academy of Sciences 2005; 1063: 187-96.

5. Ibrahim IN, Okabayashi T, Ristiyanto, et al. Serosurvey of wild rodents for Rickettsioses (spotted fever, murine typhus and Q fever) in Java Island, Indonesia. European journal of epidemiology 1999; 15(1): 89-93.

6. Jiang J, Soeatmadji DW, Henry KM, Ratiwayanto S, Bangs MJ, Richards AL. Rickettsia felis in Xenopsylla cheopis, Java, Indonesia. Emerging infectious diseases 2006; 12(8): 1281-3.

7. Barbara KA, Farzeli A, Ibrahim IN, et al. Rickettsial infections of fleas collected from small mammals on four islands in Indonesia. Journal of medical entomology 2010; 47(6): 1173-8.

8. Widjaja S, Williams M, Winoto I, et al. Geographical Assessment of Rickettsioses in Indonesia. Vector borne and zoonotic diseases 2016; 16(1): 20-5.

9. Kato H, Yanagisawa N, Sekiya N, Suganuma A, Imamura A, Ajisawa A. [Murine typhus in a Japanese traveler returning from Indonesia: a case report]. Kansenshogaku zasshi The Journal of the Japanese Association for Infectious Diseases 2014; 88(2): 166-70.

10. Parola P, Vogelaers D, Roure C, Janbon F, Raoult D. Murine typhus in travelers returning from Indonesia. Emerging infectious diseases 1998; 4(4): 677-80.

11. Stockdale AJ, Weekes MP, Kiely B, Lever AM. Case report: Severe typhus group rickettsiosis complicated by pulmonary edema in a returning traveler from Indonesia. The American journal of tropical medicine and hygiene 2011; 85(6): 1121-3.

12. Capeding MR, Chua MN, Hadinegoro SR, et al. Dengue and other common causes of acute febrile illness in Asia: an active surveillance study in children. PLoS neglected tropical diseases 2013; 7(7): e2331.

13. Punjabi NH, Taylor WR, Murphy GS, et al. Etiology of acute, non-malaria, febrile illnesses in Jayapura, northeastern Papua, Indonesia. The American journal of tropical medicine and hygiene 2012; 86(1): 46-51.

14. Gasem MH, Wagenaar JF, Goris MG, et al. Murine typhus and leptospirosis as causes of acute undifferentiated fever, Indonesia. Emerging infectious diseases 2009; 15(6): 975-7.

15. Jiang J, Chan TC, Temenak JJ, Dasch GA, Ching WM, Richards AL. Development of a quantitative real-time polymerase chain reaction assay specific for Orientia tsutsugamushi. American Journal of Tropical Medicine and Hygiene 2004; 70(4): 351-6.

16. Suharti C, van Gorp EC, Dolmans WM, et al. Hanta virus infection during dengue virus infection outbreak in Indonesia. Acta Med Indones 2009; 41(2): 75-80.

17. Peters TR, Edwards KM, Standaert SM. Severe ehrlichiosis in an adolescent taking trimethoprim-sulfamethoxazole. Pediatr Infect Dis J 2000;19:170--2.

18. Brantley RK. Trimethoprim-sulfamethoxazole and fulminant ehrlichiosis [Letter]. Pediatr Infect Dis J 2001;20:231.

19. Joshi HS, Thomas M, Warrier A, Kumar S. Gangrene in cases of spotted fever: a report of three cases. BMJ Case Reports. 2012;2012:bcr2012007295. doi:10.1136/bcr-2012-007295.

20. McBride WJH, Hanson JP, Miller R, Wenck D. Severe Spotted Fever Group Rickettsiosis, Australia. Emerging Infectious Diseases. 2007;13(11):1742- 1744. doi:10.3201/eid1311.070099.

Acute Fever Requiring Hospitalization (AFIRE) Study