Patofisiologi konstipasi fungsional pada anak berhubungan dengan kebiasaan anak menahan defekasi akibat pengalaman nyeri pada defekasi sebelumnya, biasanya
disertai fisura ani. Pengalaman nyeri berhajat ini menimbulkan penahanan tinja ketika ada hasrat untuk defekasi. Kebiasaan menahan tinja yang berulang akan mereggangkan
rektum dan kolon sigmoid yang menampung tinja berikutnya. Tinja yang berada di kolon akan terus mengalami reabsorbsi air dan elektrolit dan membentuk skibala,
seluruh proses akan berulang dengan sendirinya, yaitu tinja menjadi keras dan besar sehingga lebih sulit dikeluarkan melalui kanal anus, dan menimbulkan rasa sakit
kemudian terjadi retensi tinja selanjutnya. Lingkaran setan terus berlangsung : tinja keras - nyeri waktu berhajat - retensi tinja - tinja makin banyak - reabsorbsi air - tinja
makin keras dan makin besar - nyeri waktu berhajat - dan seterusnya. Tabel 2.4. Frekuensi normal defekasi pada bayi dan anak.
1
Umur
1,17,19
Defekasiminggu Defekasihari
0-3 bulan : ASI 0-3 bulan : formula
6-12 ulan
1-3 Tahun 3 tahun
5-40 5-28
5-28 4-21
3-14 2.9
2.0 1.8
1.4 1.0
2.4. Gejala Klinis
Beberapa gejala klinis konstipasi fungsional dapat ditentukan oleh dua atau lebih gejala Kriteria Diagnostik Rome II di bawah ini, paling sedikit 12 minggu, boleh tidak
berurutan selama satu tahun yaitu:
20-24
1. Rasa sakit 25 defekasi. 2. Tinja keras atau bulatan-bulatan kecil 25 defekasi 3. Rasa tidak puas setelah defekasi 25
defekasi. 4. Rasa ada sumbatan atau ganjalan di anorektal 25 defekasi 5.
Universitas Sumatera Utara
Manuver manual untuk melancarkan defekasi 25 defekasi misalnya, evakuasi digital, meningkatkan tekanan otot rongga panggul dan atau 6. Frekuensi defekasi 3
kali per minggu.
2.5. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan rektal yang harus dilakukan adalah menilai tonus sphingter ani dan mendeteksi apakah ada lesi stenosis, obstruksi, atau hemoroid. Pemeriksaan rektal pada
konstipasi fungsional dapat diraba berupa massa tinja yang besar di bawah sphingter ani. Ada beberapa temuan konsisten yang harus diperhatikan dalam menegakkan konstipasi
fungsional seperti pada Tabel 2.5.
17,25
Tabel 2.5. Temuan konsisten pada konstipasi fungsional.
17
Temuan konsisten pada konstipasi fungsional
Riwayat Pasase feses paling sedikit 48 jam setelah kelahiran
Tinja keras, tinja besar Enkopresis gerakan usus yang tidak disengaja
Nyeri dan tidak nyaman saat defekasi, pemutusan tinja Darah pada tinja, fisura periannal
Penurunan nafsu makan Diet rendah serat atau cairan, dan tinggi produk susu yang dikonsumsi
Menghindari dari toilet Pemeriksaan fisik
Distensi ringan pada abdomen ; palpasi dijumpai massa feses pada kuadran bawah kiri
Anus normal ; tonus sphingter anus normal Rektum penuh dengan tinja ; rektum distensi
Ditemukan kedutan anus dan reflek kremaster
Universitas Sumatera Utara
2.6. Pemeriksaan Penunjang
Jika pada pemeriksaan rektal dijumpai tahanan tinja, maka tidak diperlukan konfirmasi pencitraan. Jika pemeriksaan rektal tidak mungkin dilakukan atau terlalu
traumatis bagi anak, maka pemeriksaan foto polos abdomen dapat menunjukkan suatu impaksi tinja yang prediksinya lebih tepat dari pada pemeriksaan rektal. Apabila
dijumpai tinja pada rektum maka barium enema tidak berguna. Komputerisasi tomografi tidak ada indikasi pada kasus ini. Pada anak-anak yang jarang buang air besar dan tidak
dijumpai adanya tanda-tanda sembelit maka waktu transit kolon dapat dinilai dengan dijumpai marker radioopak.
Ada beberapa pemeriksaan penunjang lain untuk mendiagnosa konstipasi diantaranya pemeriksaan colorectal transit study yaitu merupakan pemeriksaan yang
dilakukan pada penderita dengan konstipasi kronis untuk melihat seberapa baik makanan bergerak melalui usus besar, pemeriksaan anorectal function test digunakan untuk
mendeteksi kelainan fungsional pada anus dan rektum, anorectal manometry digunakan untuk mengevaluasi otot sphingter anal dengan memasukkan kateter atau ballon ke
dalam usus, dan ditarik perlahan-lahan melalu spingter anal sehingga dapat dinilai kontraksi otot, defecography merupakan X-ray anorektal untuk mengidentifikasi
kelainan anorektal dan mengevaluasi kontraksi dan relaksasi otot rektal, barium enema digunakan untuk melihat adanya dugaan obstruksi distal berupa hirscprung dan obstruksi
usus, selanjutnya dapat dilakukan pemeriksaan sigmoidoscopy atau colonoscopy, pada sigmoidoscopy perlu dinilai keadaan rektum, sigmoid dan colon, sedangkan pada
colonoscopy dilakukan pemeriksaan keadaan rektum dan kolon.
17
22,23
Universitas Sumatera Utara
2.7. Faktor-faktor yang mempengaruhi konstipasi