Efektivitas selenium terhadap pengobatan konstipasi fungsional pada anak
TESIS
EFEKTIVITAS SELENIUM PADA KONSTIPASI FUNGSIONAL ANAK
MARLINA TANJUNG 097103003 / IKA
PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK - SPESIALIS ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2013
(2)
EFEKTIVITAS SELENIUM PADA KONSTIPASI ANAK
TESIS
Untuk Memperoleh Gelar Magister Kedokteran Klinik (Anak) Dalam Program Magister Kedokteran Klinik
Konsentrasi Kesehatan Anak
Pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
MARLINA TANJUNG 097103003 / IKA
PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK - SPESIALIS ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2013
(3)
Judul Penelitian : Efektivitas selenium terhadap pengobatan konstipasi fungsional pada anak
Nama Mahasiswa : Marlina Tanjung
Nomor Induk Mahasiswa : 097103003
Program Magister : Magister Kedokteran Klinik
Konsentrasi : Ilmu Kesehatan Anak
Menyetujui Komisi Pembimbing
Ketua
dr. Supriatmo, SpA(K)
Anggota
dr. Hj. Melda Deliana, SpA(K)
Ketua Program Studi Ketua TKP-PPDS
(4)
Judul Penelitian : Efektivitas selenium pada konstipasi anak
Nama Mahasiswa : Marlina Tanjung
Nomor Induk Mahasiswa : 097103003
Program Magister : Magister Kedokteran Klinik
Konsentrasi : Ilmu Kesehatan Anak
Menyetujui Komisi Pembimbing
Ketua
dr. Supriatmo, SpA(K)
Anggota
dr. Hj. Melda Deliana, SpA(K)
Ketua Program Studi Ketua TKP-PPDS
(5)
Tanggal lulus : 22 Agustus 2013
Telah diuji pada
Tanggal: 22 Agustus 2013
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua: Dr. Supriatmo, SpA(K) ………
Anggota: 1. Dr. Hj. Melda Deliana, SpA(K) ………
2. Prof. Dr. H. Aznan Lelo, Ph.D, SpFK ………
3. Prof. Dr. H. Munar Lubis, SpA(K) ………
(6)
UCAPAN TERIMA KASIH
Assalamualaikum Wr. Wb.
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya serta telah memberikan kesempatan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.
Tesis ini dibuat untuk memenuhi persyaratan dan merupakan tugas akhir pendidikan magister Kedokteran Klinik Konsentrasi Ilmu Kesehatan Anak di FK-USU / RSUP H. Adam Malik Medan.
Penulis menyadari penelitian dan penulisan tesis ini masih jauh dari kesempurnaan sebagaimana yang diharapkan, oleh sebab itu dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan masukan yang berharga dari semua pihak di masa yang akan datang.
Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyatakan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Pembimbing utama Dr. Supriatmo,SpA(K), Prof. dr. Atan Baas Sinuhaji, SpA(K), dan Dr. Hj. Melda Deliana, SpA(K) yang telah memberikan bimbingan, bantuan serta saran-saran yang sangat berharga dalam pelaksanaan penelitian dan penyelesaian tesis ini. 2. Dr. Hj. Melda Deliana, SpA(K) selaku Ketua Program Studi Pendidikan
(7)
SpA(K), sebagai Sekretaris Program Studi yang telah banyak membantu dalam menyelesaikan tesis ini.
3. Prof. dr. H. Munar Lubis, SpA(K), selaku Ketua Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran USU/RSUP H. Adam Malik Medan yang telah memberikan bantuan dalam penyelesaian tesis ini. 4. Prof. Dr. H. Aznan Lelo, Ph.D, SpFK, Prof. dr. Hj. Bidasari Lubis,
SpA(K), dr. Tina L Tobing, SpA (K), yang sudah membimbing saya dalam penyelesaian tesis ini.
5. Seluruh staf pengajar di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan dan RS. dr. Pirngadi Medan yang telah memberikan sumbangan pikiran dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis ini.
6. Kepala Sekolah Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah Pondok Pesantren Al-Kautsar Al-Akbar, kecamatan Medan Timur, kota Medan, Propinsi Sumatera Utara..
7. Teman-teman yang tidak mungkin bisa saya lupakan yang telah membantu saya dalam keseluruhan penelitian maupun penyelesaian tesis ini, Hariadi, Pantas Martin, Bang Saiful, Meiviliani, Bia Safitri, kak Hera, Afnita, Lia, Ridha, kak Ira, Bang Ari, Ririn. Terimakasih untuk kebersamaan kita dalam menjalani pendidikan selama ini.
(8)
8. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan dalam terlaksananya penelitian serta penulisan tesis ini.
Kepada yang sangat saya cintai dan hormati, orangtua saya H.Yoesli dan Hj. Yarni, suami saya Ivan Kahfi, serta anak-anak saya Nadhiva Humaira Kahfi dan Shazya Aisha Kahfi atas pengertian serta dukungan yang sangat besar, terima kasih karena selalu mendo’akan saya dan memberikan bantuan moril dan materil, serta abang dan kakak saya kak Vani, bang Ardian, dan bang Yunan yang selalu mendo’akan dan memberikan dorongan selama mengikuti pendidikan ini. Semoga budi baik yang telah diberikan mendapat imbalan dari Allah SWT.
Akhirnya penulis mengharapkan semoga penelitian dan tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua, Amin.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Medan, 7 Juli 2013
(9)
DAFTAR ISI
Lembaran Persetujuan Pembimbing ii
Halaman Pengesahan Tesis ii
Ucapan Terima Kasih iv
Daftar Isi vii
Daftar Tabel ix
Daftar Gambar x
Daftar Singkatan dan Lambang xi
Abstrak xii
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Rumusan Masalah 2
1.3. Hipotesis 2
1.4. Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum 3
1.4.2. Tujuan Khusus 3
1.5. Manfaat Penelitian 3
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konstipasi 4
2.1.1. Defenisi 4
2.1.2. Epidemiologi 5
2.1.3. Etiologi 5
2.1.4. Patofisiologi 6
2.1.5. Diagnosis 7
2.1.6. Penatalaksanaan 8
2.2. Selenium 11
2.3. Mekanisme Kerja 17
2.3.1. Radikal Bebas 17
2.3.2. Antioksidan 18
2.3.3. Stres Oksidasi 19
2.3.4. Mekanisme antioksidan pada konstipasi 19
2.4. Kerangka Konseptual 22
BAB 3. METODE PENELITIAN
3.1. Desain 23
3.2. Tempat dan Waktu 23
(10)
3.4. Perkiraan Besar Sampel 23 3.5. Kriteria Inklusi dan Eksklusi 24
3.5.1. Kriteria Inklusi 24
3.5.2. Kriteria Eksklusi 25
3.6. Persetujuan / Informed Consent 25
3.7. Etika Penelitian 25
3.8. Cara Kerja 25
3.9. Alur Penelitian 27
3.10. Identifikasi Variabel 27
3.11. Definisi Operasional 28
3.12. Rencana Pengolahan dan Analisis Data 29
BAB 4. HASIL PENELITIAN 30
BAB 5. PEMBAHASAN 41
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN 48
RINGKASAN 49
Daftar Pustaka 53
Lampiran
1. Personil Penelitian 56
2. Jadwal Penelitian 56
3. Biaya Penelitian 56
4. Lembar Penjelasan 57 5. Persetujuan Setelah Penjelasan (PSP) 58
6. Kuisioner 59
7. Pemantauan Konstipasi 61
8. Skala Nyeri 62
9. Pemantauan Konsistensi buang air besar (BAB) 62
10. Persetujuan Komite Etik 63
Biodata Penulis 64
(11)
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Penyebab konstipasi pada anak 6
Tabel 2.2. Frekuensi normal defekasi pada bayi dan anak. 6 Tabel 2.3. Anjuran obat yang diberikan untuk evakuasi tinja
pada bayi dan anak dengan konstipasi fungsional 9 Tabel 2.4. Anjuran obat untuk terapi rumatan pada anak
diatas 1 tahun dengan konstipasi fungsional 10
Tabel 2.5. Fungsi selenoprotein 12
Tabel 2.6. Kecukupan nutrisi harian yang dianjurkan RDA 2000 15 Tabel 4.1. Karakteristik dasar subjek penelitian 32 Tabel 4.2.1. Rerata Frekuensi BAB Sebelum dan Sesudah Terapi
pada Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol
(Plasebo) 33
Tabel 4.2.2. Rerata Frekuensi BAB Sebelum dan Sesudah Terapi
pada Kelompok Selenium 34
Tabel 4.2.3. Rerata Frekuensi BAB Sebelum dan Sesudah Terapi
pada Kelompok Plasebo 35
Tabel 4.3.1. Hubungan Konsistensi Tinja antara kelompok yang
memperoleh selenium dan placebo 36 Tabel 4.3.2. Hubungan Konsistensi Tinja sebelum dan
sesudah memperoleh selenium 37
Tabel 4.3.3. Hubungan Konsistensi Tinja sebelum dan
sesudah memperoleh placebo 37
Tabel 4.4.1 Hubungan Nyeri Perut antara kelompok yang
memperoleh selenium dan placebo 38 Tabel 4.4.2. Hubungan Nyeri Perut sebelum dan
(12)
Tabel 4.4.3. Hubungan Nyeri Perut sebelum dan
sesudah memperoleh placebo 37
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Kerangka konsep penelitian 22
Gambar 3.1 Alur Penelitian 27
Gambar 4.1 Diagram CONSORT 31
(13)
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG
BAB : Buang Air Besar
Se : Selenium
cGPx : celluler Gluthation Peroksidase eGPx : ekstraseluler Gluthation Peroksidase GPx-GI : Gastrointestinal Glutathione Peroksidase PhGPx : Fosfolipid Glutathione Peroksidase
SOD : Sodium
CAT : Catalase
GPX : Gluthation Peroksidase
RDA : Recommended Dietary Allowance ROS : Reactive Oxygen Species
STC : Slow transit constipation RNS : Reactive Nitrogen Species
NANC : Non Adrenergic Non Cholinergic
NO : Nitrit Oksida
zα : Deviat baku normal untuk α DNA : Deoxyribo Nucleic Acid
(14)
zβ : Deviat baku normal untuk β
n : Jumlah subjek / sampel
α : Kesalahan tipe I
β : Kesalahan tipe II
< : Kurang dari
SB : Simpang Baku
P : Besarnya peluang untuk hasil yang diobservasi bila hipotesis nol benar
(15)
Effectiveness Selenium in Children with Functional Constipation
Marlina Tanjung
Department of Child Health, Medical School, University of Sumatera Utara,
, Atan Baas Sinuhaji, Supriatmo, Melda Deliana
Haji Adam Malik General Hospital, Medan, Indonesia
Abstract
Background Constipation is a common problem of children, approximately 90% to 95% is the functional constipation. The oxidative stress is assumed as the causative factor for almost all gastrointestinal disease at which intervened with antioxidants. Selenium is the essential trace element and its has a role as the cofactor of gluthathione peroxidase, which protects membranes from oxidative damage.
Objective To determine the effectivity of selenium in children with functional constipation.
Methods This single blind randomized trials was done November to December 2012, subject were children aged 12 to 17 years with functional constipation. Children were randomly allocated into selenium groups (n=57) and placebo groups (n=57). They were evaluated clinically for the frequency of defecations, stool consistency, severity of pain and side effect which follow up in two weeks treatment. Chi-square and Mann-Whitney were used to analyze the data
Results A total of 114 subjects were eligible. The average of frequency defecations which is observed on day 14th were 1.5 (SD 0.75) days per defecations (P=0.0001). Normal consistency of stool founded in 45 subject (78.9%) after 7th day and 57 subject (100%) in 14th day treatment (P=0.001). Severity of pain after 14th day of treatment is no pain 47 subject (82.5%) and mild pain 10 subject (17.5%) with P value = 0.0001. In our monitoring we did not find any side effect of selenium.
Conclusion Selenium has significant effective to improve clinically functional constipation such as frequency of defecations, stool consistency and severity of pain.
(16)
Keywords: childhood functional constipation, antioxidant, selenium, frequency defecations
Efektivitas Selenium Pada Konstipasi Fungsional Anak
Marlina Tanjung
Departmen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara, Rumah Sakit Haji Adam Malik, Medan, Indonesia
, Supriatmo, Melda Deliana, Atan Baas Sinuhaji
Abstrak
Latar belakangKonstipasi merupakan masalah umum yang dikeluhkan pada anak, sekitar 90% sampai 95% merupakan konstipasi fungsional. Stres oksidasi telah dievaluasi keterlibatannya sebagai faktor penyebab terhadap hampir semua penyakit saluran pencernaan dan diintervensi dengan pemberian antioksidan. Selenium merupakan trace elemen esensial dan berperan sebagai kofaktor dari glutathione peroxidase, yang melindungi membran dari kerusakan oksidatif.
Objektif Menilai efektifitas selenium pada anak dengan konstipasi fungsional.
Metode Uji klinis acak tersamar tunggal dilaksanakan pada November hingga Desember 2012, subjek adalah anak usia 12 hingga 17 tahun dengan konstipasi fungsional. Anak secara acak dibagi kedalam kelompok selenium (n=57) dan kelompok plasebo (n=57). Dilakukan penilaian evaluasi klinis terhadap jumlah defekasi, konsistensi tinja, keparahan nyeri dan efek samping setelah pengobatan.
Hasil Subjek yang memenuhi syarat sebanyak 114 orang. Rerata frekuensi BAB setelah terapi hari ke 14 yaitu 1.5 (SB 0.75) hari perkali defekasi, (p=0.0001). Konsistensi tinja dijumpai normal pada pengamatan hari ke-7 dan ke-14 yaitu 45 orang (78.9%) dan 57 orang (100%) (p<0.05). Nyeri perut setelah pengobatan hari ke 14 dijumpai tidak nyeri 47 orang (82.5%) dan nyeri ringan 10 (17.5%) (p = 0.0001). Kami tidak menemukan adanya efek samping dari selenium.
(17)
KesimpulanSelenium efektif dalam memperbaiki klinis konstipasi fungsional seperti jumlah defekasi, konsistensi tinja dan beratnya nyeri perut.
Kata kunci: anak konstipasi fungsional, antioksidan, selenium, frekuensi defekasi
(18)
Effectiveness Selenium in Children with Functional Constipation
Marlina Tanjung
Department of Child Health, Medical School, University of Sumatera Utara,
, Atan Baas Sinuhaji, Supriatmo, Melda Deliana
Haji Adam Malik General Hospital, Medan, Indonesia
Abstract
Background Constipation is a common problem of children, approximately 90% to 95% is the functional constipation. The oxidative stress is assumed as the causative factor for almost all gastrointestinal disease at which intervened with antioxidants. Selenium is the essential trace element and its has a role as the cofactor of gluthathione peroxidase, which protects membranes from oxidative damage.
Objective To determine the effectivity of selenium in children with functional constipation.
Methods This single blind randomized trials was done November to December 2012, subject were children aged 12 to 17 years with functional constipation. Children were randomly allocated into selenium groups (n=57) and placebo groups (n=57). They were evaluated clinically for the frequency of defecations, stool consistency, severity of pain and side effect which follow up in two weeks treatment. Chi-square and Mann-Whitney were used to analyze the data
Results A total of 114 subjects were eligible. The average of frequency defecations which is observed on day 14th were 1.5 (SD 0.75) days per defecations (P=0.0001). Normal consistency of stool founded in 45 subject (78.9%) after 7th day and 57 subject (100%) in 14th day treatment (P=0.001). Severity of pain after 14th day of treatment is no pain 47 subject (82.5%) and mild pain 10 subject (17.5%) with P value = 0.0001. In our monitoring we did not find any side effect of selenium.
Conclusion Selenium has significant effective to improve clinically functional constipation such as frequency of defecations, stool consistency and severity of pain.
(19)
Keywords: childhood functional constipation, antioxidant, selenium, frequency defecations
Efektivitas Selenium Pada Konstipasi Fungsional Anak
Marlina Tanjung
Departmen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara, Rumah Sakit Haji Adam Malik, Medan, Indonesia
, Supriatmo, Melda Deliana, Atan Baas Sinuhaji
Abstrak
Latar belakangKonstipasi merupakan masalah umum yang dikeluhkan pada anak, sekitar 90% sampai 95% merupakan konstipasi fungsional. Stres oksidasi telah dievaluasi keterlibatannya sebagai faktor penyebab terhadap hampir semua penyakit saluran pencernaan dan diintervensi dengan pemberian antioksidan. Selenium merupakan trace elemen esensial dan berperan sebagai kofaktor dari glutathione peroxidase, yang melindungi membran dari kerusakan oksidatif.
Objektif Menilai efektifitas selenium pada anak dengan konstipasi fungsional.
Metode Uji klinis acak tersamar tunggal dilaksanakan pada November hingga Desember 2012, subjek adalah anak usia 12 hingga 17 tahun dengan konstipasi fungsional. Anak secara acak dibagi kedalam kelompok selenium (n=57) dan kelompok plasebo (n=57). Dilakukan penilaian evaluasi klinis terhadap jumlah defekasi, konsistensi tinja, keparahan nyeri dan efek samping setelah pengobatan.
Hasil Subjek yang memenuhi syarat sebanyak 114 orang. Rerata frekuensi BAB setelah terapi hari ke 14 yaitu 1.5 (SB 0.75) hari perkali defekasi, (p=0.0001). Konsistensi tinja dijumpai normal pada pengamatan hari ke-7 dan ke-14 yaitu 45 orang (78.9%) dan 57 orang (100%) (p<0.05). Nyeri perut setelah pengobatan hari ke 14 dijumpai tidak nyeri 47 orang (82.5%) dan nyeri ringan 10 (17.5%) (p = 0.0001). Kami tidak menemukan adanya efek samping dari selenium.
(20)
KesimpulanSelenium efektif dalam memperbaiki klinis konstipasi fungsional seperti jumlah defekasi, konsistensi tinja dan beratnya nyeri perut.
Kata kunci: anak konstipasi fungsional, antioksidan, selenium, frekuensi defekasi
(21)
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam satu setengah abad terakhir, konsep radikal bebas yang berhubungan dengan stres oksidasi, secara ilmiah dipelajari sebagai hal yang berperan dalam patofisiologi penyakit untuk tujuan pengobatan. Hampir semua penyakit saluran pencernaan telah dievaluasi keterlibatan stres oksidasi yang mendasari faktor penyebabnya dan intervensi dengan pemberian antioksidan. Saluran pencernaan dirusak oleh diet yang disertai radikal bebas, prooksidan dan berbagai xenobiotik yang dimetabolisme terutama di hati dan sebagian kecil di tempat lain pada saluran pencernaan.1 Keseimbangan antara prooksidan dan antioksidan merupakan kondisi yang kritis terhadap pertahanan dan manfaat dari organisme aerob. Jika keseimbangan mengarah pada prooksidan maka akan terjadi proses perusakan yang disebut stres oksidasi.
Penelitian di Cina didapatkan hubungan antara konstipasi kronik dengan stres oksidasi pada anak.
2
3,4 Konstipasi merupakan masalah umum yang dikeluhkan, sekitar 3% dari seluruh kunjungan ke dokter anak dan 10% sampai 15% ditangani ahli gastroenterologi anak merupakan kasus konstipasi kronis. Sebagian besar (90% sampai 95%) konstipasi pada
(22)
anak diatas usia 1 tahun merupakan konstipasi fungsional, hanya 5% sampai 10% yang mempunyai penyebab organik atau kelainan patologi.
Sejak pengakuan atas zat gizi dasar selenium (Se) pada hewan tahun 1957 ada perhatian yang semakin meningkat pada trace mineral ini,
5
6 ditunjukkan dengan adanya tanda bahwa selenium mencegah nekrosis hati pada tikus yang diberi diet kekurangan vitamin E.7 Selenium merupakan mikronutrisi esensial yang dibutuhkan oleh sebagian besar sistem organ di tubuh. Fungsi utama selenium adalah sebagai kofaktor dari glutathione peroxidase, yang melindungi membran dari kerusakan oksidatif. Kekurangan selenium memungkinkan terjadinya kerusakan peroksidatif jaringan.8 Suatu studi metaanalisa yang dilakukan di China tahun 2012, menyebutkan bahwa suplementasi dengan selenium organik dapat meningkatkan aktivitas glutathione peroxidase pada dewasa yang sehat.9
1.2 . Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka di rumuskan masalah penelitian sebagai berikut : Apakah selenium dapat mempengaruhi konstipasi fungsional.
1.3.Hipotesis
(23)
1.4.Tujuan Penelitian
1.4.1. Tujuan Umum
Menilai keefektifan selenium pada konstipasi fungsional. 1.4.2. Tujuan Khusus
- Mengetahui prevalensi konstipasi fungsional pada anak.
- Mengetahui peranan selenium pada konstipasi fungsional pada anak.
1.5. Manfaat Penelitian
1.5.1. Di bidang akademik / ilmiah : meningkatkan pengetahuan tentang hubungan selenium terhadap konstipasi pada anak.
1.5.2. Di bidang pelayanan masyarakat : meningkatkan usaha peningkatan kesehatan masyarakat khususnya kesehatan anak penderita.
1.5.3. Di bidang pengembangan penelitian : memberikan masukan terhadap standar pelayanan kesehatan di bidang gastroentero-hepatologi anak.
(24)
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konstipasi 2.1.1 Definisi
Konstipasi adalah ketidakmampuan melakukan evakuasi tinja secara sempurna, yang tercermin dari 3 aspek, yaitu berkurangnya frekuensi berhajat dari biasanya, tinja yang keras dari sebelumnya, dan pada palpasi abdomen teraba masa tinja (skibala) dengan atau tidak disertai enkopresis.5 Konstipasi fungsional yang juga dikenal sebagai konstipasi idiopatik atau tahanan feses.
Petunjuk paktis pada World Gastroenterology Organization (WGO) menjelaskan sebagian besar pasien menyebutkan konstipasi sebagai defekasi keras (52%), tinja seperti pil atau butir obat (44%), ketidakmampuan defekasi saat diinginkan (34%), atau defekasi yang jarang (33%).
10
11 Kriteria ROME III untuk konstipasi fungsional pada anak yaitu jika terdapat 2 atau lebih dari kriteria berikut pada anak minimal umur 4 tahun yang tidak memenuhi kriteria untuk irritable bowel syndrome, dialami minimal 1 kali seminggu selama setidaknya 2 bulan sebelum diagnosis ditegakkan. Kriteria tersebut adalah :12
- Buang air besar (BAB) 2 kali seminggu atau kurang
(25)
- Riwayat retensi feses
- Riwayat nyeri saat buang air besar atau feses yang keras - Terdapatnya massa feses yang besar di rektum
- Riwayat diameter feses yang besar sehingga dapat menyumbat toilet. Konstipasi digolongkan akut bila berlangsung sampai 4 minggu dan kronis bila berlangsung lebih dari 4 minggu.12
2.1.2 Epidemiologi
Konstipasi sering terjadi pada anak, Loening-Baucke pada studi retrospektif tahun 2004 melaporkan prevalensi konstipasi pada anak usia 4 sampai 17 tahun adalah 22.6%,13 dan Lee dkk pada tahun 2007 menunjukkan prevalensi konstipasi untuk usia di bawah 4 tahun sebesar 28,8%.14 Studi longitudinal tahun 2003, Saps dkk melaporkan 18% anak usia 9 sampai 11 tahun menderita konstipasi.15
2.1.3 Etiologi
Penyebab konstipasi pada anak dapat dibagi menjadi organik dan fungsional. Hampir 95% konstipasi pada anak disebabkan kelainan fungsional dan hanya 5% oleh kelainan organik (Tabel 2.1).12 Konstipasi fungsional pada umumnya terkait dengan kurangnya asupan serat, kurangnya minum, kurang aktivitas
(26)
fisik, stress dan perubahan aktivitas rutin, ketersediaan toilet dan masalah psikososial.
Tabel 2.1 Penyebab konstipasi pada anak 5
Penyebab
Idiopatik atau fungsional Sekunder karena lesi anal Neurologis
Endokrin/metabolik
Obat-obatan
95%
Fissura ani, stenosis anal, anus letak anterior Lesi medulla spinalis, palsi serebral, penyakit Hirschsprung
Hipotiroid, asidosis tubulus renal, diabetes insipidus, hiperkalsemia
Antikonvulsan, antipsikotik, mengandung kodein, antidiare, antasida
2.1.4 Patofisiologi
Frekuensi defekasi pada anak-anak bervariasi menurut umur. Bayi yang minum ASI lebih sering berhajat dibandingkan bayi yang minum susu formula. Namun mendekati usia 4 bulan, apapun susu yang diminumnya rerata buang air besar adalah dua kali per hari. Pada umur 2 tahun, frekuensi rerata defekasi menurun menjadi dua kali per hari.5 Frekuensi defekasi normal pada bayi dan anak (Tabel 2.2).5,12
Tabel 2.2 Frekuensi defekasi normal pada bayi dan anak.
(27)
Umur Defekasi/minggu Defekasi/hari 0-3bulan : ASI
0-3bulan: Formula 6-12 bulan
1-3 tahun > 3 tahun
5-40 5-28 5-28 4-21 3-14
2.9 2.0 1.8 1.4 1.0
Patofisiologi konstipasi fungsional pada anak berhubungan dengan kebiasaan anak menahan defekasi akibat pengalaman nyeri pada defekasi sebelumnya, biasanya disertai fissura ani. Pengalaman nyeri berhajat ini menimbulkan penahanan tinja ketika ada hasrat untuk defekasi. Kebiasaan menahan tinja yang berulang akan meregangkan rektum dan kemudian kolon sigmoid yang menampung tinja berikutnya. Tinja yang berada di kolon akan terus mengalami reabsorbsi air dan elektrolit dan membentuk skibala. Seluruh proses akan berulang dengan sendirinya, yaitu tinja yang keras dan besar menjadi lebih sulit dikeluarkan melalui kanal anus, menimbulkan rasa sakit dan kemudian retensi tinja selanjutnya.5
2.1.5 Diagnosis
Pada anamnesis ditanyakan riwayat buang air besar meliputi frekuensi, ukuran dan konsistensi feses, kesulitan BAB, BAB berdarah dan nyeri saat
(28)
BAB. Kemudian riwayat makanan, masalah psikologik dan gejala lain seperti nyeri perut, anoreksia dan muntah. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan teraba massa feses pada abdomen. Pada pemeriksaan anorektal ditentukan lokasi anus, adanya prolaps, peradangan perianal, fissure dan tonus dari saluran anus. Pemeriksaan penunjang dilakukan pada kasus-kasus tertentu yang diduga mempunyai penyebab organik.12
2.1.6 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan konstipasi fungsional membutuhkan alur yang belum dipahami antara interaksi fisik dan faktor psikologis.16 Tatalaksana konstipasi fungsional meliputi evakuasi tinja bila terjadi skibala, terapi rumatan berupa pemberian obat, modifikasi perilaku, edukasi pada orang tua, dan konsultasi.5,12,16 Jika edukasi, pola makanan tidak menunjukkan perubahan dalam 2 minggu, pengobatan medis dapat segera diberikan. Tujuan pengobatan ini adalah untuk melunakkan konsistensi feses sehingga memudahkan defekasi. Pengobatan di evaluasi selama 2 minggu, kemudian dilakukan penilaian ulang, jika konstipasi tetap berlangsung pengobatan dilanjutkan selama 2 bulan, pengurangan dosis dilakukan setelah 2 bulan jika frekuensi defekasi dijumpai lebih dari 3x dalam seminggu dan tidak dijumpai gejala konstipasi lainnya.17
(29)
1. Evakuasi tinja
Evakuasi tinja adalah proses yang dilakukan untuk mengeluarkan massa tinja atau skibala yang teraba pada pada palpasi regio abdomen bawah. Evakuasi skibala ini perlu dilakukan sebelum terapi rumatan. Evakuasi tinja dapat dilakukan dengan obat oral atau rektal. Program evakuasi tinja biasanya dilakukan selama 2 sampai 5 hari sampai terjadi evakuasi tinja secara lengkap (Tabel 2.3).5,12,18,19
Tabel 2.3. Anjuran obat yang diberikan untuk evakuasi tinja pada bayi dan anak dengan konstipasi fungsional
Obat-obatan Bayi (< 1 tahun)
- Gliserin supositoria
- Enema: 6 ml/kgBB (maks 135 ml)
Anak – anak (>1 tahun) • Evakuasi tinja secara cepat
- Enema: 6 ml/kg (maks 135 ml) setiap 12- 24 jam --> 1-3 kali - Minyak mineral
- Fosfat
Pengobatan kombinasi: enema,supositoria, dan pencahar - Hari 1: enema setiap 12-24 jam
(30)
- Hari 2: Bisakodil supositoria (10 mg) setiap 12-24 jam - Hari 3: Bisakodil tablet setiap 12-24 jam
Polyethylen Glycol (PEG) secara oral atau nasogastric tube (NGT): 25 ml/kgBB/jam (maks 1000 ml/jam) selama 4 jam perhari
• Evakuasi tinja secara lambat
- Minyak mineral dengan dosis tinggi secara oral: 15-30 ml/tahun usia/hari (maks 240 ml)
untuk 3 atau 4 hari
- Senna oral: 15 ml setiap 12 jam untuk 3 dosis - Magnesium sitrat (maks 300 ml)
2. Terapi rumatan
Segera setelah berhasil melakukan evakuasi tinja, terapi ditujukan untuk mencegah kekambuhan. Terapi rumatan meliputi intervensi diet, modifikasi perilaku, dan pemberian obat- obatan untuk menjamin interval defekasi yang normal dengan evakuasi tinja yang sempurna (Tabel 2.4).5,16,18,19
Tabel 2.4. Anjuran obat untuk terapi rumatan pada anak diatas 1 tahun dengan konstipasi fungsional.
Obat- obatan
Lubrikan
(31)
Laksatif osmotik - Laktulosa
- Mg hidroksida (kons 400 mg/5ml) --> 1-3 ml/kgBB/hari --> dosis terbagi - Mg hidroksida (kons 800 mg/5ml) --> 0,5 ml/kgBB/hari --> dosis terbagi - Polyethylen Glycol / PEG (17 gr/240 ml air) --> 1 gr/kgBB/hari --> dosis terbagi
- Sorbitol: 1-3 ml/kgBB/hari --> dosis terbagi Laksatif stimulan
- Sirup senna
- Bisakodil tablet: 1-3 tab/hari Pemberian melalui rektal - Gliserin supositoria - Bisakodil supositoria
Terapi rumatan mungkin diperlukan selama beberapa bulan. Bila defekasi telah normal, terapi rumatan dapat dikurangi untuk kemudian dihentikan. Pengamatan masih perlu dilakukan karena angka kekambuhan tinggi, dan pada pengamatan jangka panjang banyak anak yang masih memerlukan terapi rumatan sampai dewasa.
2.2 Selenium
(32)
Selenium (Se) merupakan salah satu trace elemen essensial bagi tubuh,6,20,21 tetapi hanya digunakan dalam jumlah yang kecil.22 Selenium merupakan unsur alami yang ditemukan di batu, batu pasir, batu kapur, batu bara, tanah, air permukaan dan tumbuh-tumbuhan.6 Tanaman menyerap selenium anorganik dari tanah dan di metabolisme untuk membentuk asam amino selenomethionine.
Selenium akan memberikan efek biologi setelah berikatan dengan protein membentuk selenoprotein, yang dijumpai lebih dari 30 bentuk selenoprotein pada mammalia dan 25 bentuk selenoprotein pada manusia.
7,20
20,23 Dikenal banyak bentuk selenoprotein diantaranya: enzim
gluthation peroxidase (4 jenis), iodothyronine deiodinase (3 jenis),
thioredoksin reduktase, selenophosfat sintetase, selenoprotein P dan
selenoprotein W. Enzim gluthation peroxidase terdiri dari 4 atom selenium yang terikat sebagai selenocystein. Enzim ini terdiri dari 4 tipe, yaitu seluler gluthation peroksidase (cGPx), ekstraseluler gluthation peroksidase (eGPx), gastrointestinal glutathione peroksidase (GPx-GI) dan fosfolipid glutathione peroksidase (PhGPx).7 Fungsi selenium ini pada tubuh sebagai antioksidan, metabolisme hormon tiroid, reaksi redoks, reproduksi dan fungsi immun.23 Peranan selenoprotein secara rinci dijelaskan pada Tabel 2.5.21
(33)
Selenoprotein Fungsi Glutathione
peroxidases
(GPx1, GPx2, GPx3, GPx4)
Enzim antioksidan: menghilangkan hidrogen peroksida, lipid dan fosfolipid hidroperoksida (sehingga mempertahankan integritas membran, memodulasi sintesis eicosanoid, modifikasi peradangan dan kemungkinan propagasi lebih lanjut dari kerusakan oksidatif biomulekul (seperti lipid, lipoprotein, dan DNA).
(Sperma) mitokondria kapsul selenoprotein
Bentuk glutation peroksidase (GPX4): Mengembangkan sel perisai sperma dari kerusakan oksidatif dan kemudian dipolimerisasi ke protein struktural yang diperlukan untuk stabilitas / motilitas sperma matang.
Iodothyronine
deiodinases (3 isoform)
Produksi dan pengaturan tingkat hormon tiroid yang aktif, T3 dari tiroksin, T4.
Thioredoxin reductases (mungkin tiga isoform)
Pengurangan nukleotida dalam sintesis DNA, regenerasi sistem antioksidan, pemeliharaan redoxstate intraseluler, penting untuk proliferasi sel dan viabilitas; regulasi ekspresi gen oleh kontrol redoks pengikatan faktor transkripsi DNA Selenophosphate
sintetase, SPS2
Diperlukan untuk biosintesis selenophosphate, cikal bakal selenocysteine, dan karena itu untuk sintesis seleoprotein
Selenoprotein P Ditemukan dalam plasma dan terkait dengan sel endotel. Melindungi sel-sel endotel dari kerusakan peroxynitrite
(34)
Epitel prostat
Selenoprotein (15 kDa)
Ditemukan pada sel epitel prostat ventral. Tampaknya Memiliki fungsi redoks (menyerupai GPX4), melindungi perkembangan sel-sel sekretori karsinoma
DNA-terikat
selenoprotein spermatid (34 kDa)
18 kDa selenoprotein
Memiliki aktivitas seperti glutation peroksidase. Ditemukan di perut dan di inti spermatozoa. Melindungi perkembangan sperma. Selenoprotein penting, ditemukan di ginjal dan sejumlah besar jaringan lainnya. Disimpan ketika terjadi kekurangan selenium
Belum ada uji klinis ataupun penelitian pada mamalia yang mengevaluasi pengaruh defisiensi Se secara komprehensif. Penelitian eksperimental oleh Pramita dkk, 2008 dilakukan untuk mengungkapkan pengaruh defesiensi Se terhadap sistem pertahanan antioksidan enzimatik (superoksida dismutase/ SOD, catalase/ CAT dan GPX) dan non-enzimatik (glutathione, TBARS dan tiol) pada jaringan hati dan otot tikus serta mengungkapkan efek defisiensi Se terhadap kadar hormone tiroid plasma (T3, T4, TSH dam rT3 plasma). Pada penelitian ini terjadi penurunan secara bermakna aktivitas glutation peroksidase (GPX) hari sebesar 95% dan plasma sebesar 74% pada kelompok defisiensi Se dibandingkan kontrol. Pada kondisi defisiensi Se, aktivitas GPX akan meningkat dan GPX akan menggunakan glutation, yang berfungsi sebagai donor elektron untuk
(35)
mengurangi proses peroksidasi selular sehingga akan mengkonsumsi GSH-tereduksi.
Selenium terdapat pada makanan dan tubuh dalam dua bentuk, organik (selenocysteine, selenomethionine) dan inorganik (selenite/SeO
24
32-, selenate/SeO42-).20,22 Selenocysteine bebas diproduksi oleh katabolisme selenoprotein selular atau selenoprotein ekstra selular. Selenocysteine bebas tidak dapat terakumulasi karena metabolismenya oleh selenosistein β-lyase. Selenomethionine tidak tampak sebagai bentuk khusus yang diakui sebagai senyawa selenium dan dimetabolisme dalam kelompok metionin. Selenomethionine ini dianggap sebagai selenium jaringan karena kehadirannya dalam protein metionin dalam darah dan jaringan.
Diduga absorbsi selenium dalam lumen usus tidak berperan dalam pengaturan homeostasis selenium. Dalam bentuk selenomethionine, selenium diserap hampir 100% sedangkan dalam bentuk selenocysteine diserap sedikit lebih rendah. Walaupun absorbsi dari selenium anorganik di lumen usus dipengaruhi oleh berbagai faktor, namun absorbsi selenium ini diperkirakan lebih dari 50%.
22
22 Studi nutrisi terbaru menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara selenium dan vitamin E.25 Vitamin C juga dapat berperan sebagai coantioksidan dengan regenerasi α-tocoferol (vitamin E) dari radikal α-tocopheroxyl, yang dihasilkan radikal terlarut lemak.26
(36)
Katabolisme selenomethionine atau selenocysteine akan melepaskan selenium inorganik (sebagai selenide, HSe-) yang dapat bergabung kembali kedalam selenoprotein, atau dapat mengalami methylasi menjadi bentuk ekskresi methyl selenol atau CH3SeH, dimethyl selenide atau (CH3)2Se, trimethyl selenonium ion atau (CH3)3Se+, dan 1β -methyl-seleno-N-acetyl-D-galactosamine (CH3Se-Ga1N).
Homeostasis dari selenium diatur dalam mekanisme ekskresi. Apabila masukan selenium meningkat, dan sebagian besar di absorbsi dalam lumen usus, maka ekskresi selenium lewat urin ditingkatkan sebagai mekanisme utama homeostasis.
7
22 Apabila asupan lebih tinggi lagi, maka ekskresi lewat paru meningkat pula sebagai mekanisme sekunder homeostasis.6,22 Dalam kedua mekanisme ini, ekskresi sebagian besar dalam bentuk methyl selenium.
Kandungan total selenium dalam tubuh, ditetapkan dari pemeriksaan kadaver, berkisar antar 13.0 sampai 20.3 mg. Otot, hati, darah dan ginjal mengandung sekitar 61% dari seluruh total selenium di dalam tubuh manusia, selebihnya dijumpai pada tulang.
22
7 Kriteria utama untuk perkiraan kebutuhan yang direkomendasikan menurut estimated average requirement
(EAR) dan recommended dietary allowance (RDA) di Amerika dan Standing committee on the evaluation of dietary reference intakes, 2000 (DRIs) di
(37)
Kanada dan negara-negara lainnya, ditentukan berdasarkan kadar plasma maksimum gluthatione peroxidase (Tabel 2.6)
Tabel 2.6. Kecukupan nutrisi harian yang dianjurkan RDA 2000 7,23,27
Usia (tahun) Selenium (microgram) Bayi Anak Laki-laki Perempuan Hamil Menyusui 0,0-0,5 0,5-1,0 1-3 4-6 7-10 11-14 15-18 19-24 11-14 15-18 19-24 15 20 20 20 30 40 50 70 45 50 55 65 75
Paparan berlebihan terhadap selenium pada manusia dapat mengakibatkan nausea dan beberapa kasus dengan muntah dan diare. Selenosis akut dan kronik dapat menimbulkan perubahan pada kuku dan rambut, neuropati perifer, mudah lelah dan gelisah. Pernafasan berbau
(38)
bawang juga menunjukkan keracunan selenium.6 Gejala ini akan muncul pada asupan selenium diantara 3200 sampai 6700 mikrogram/hari.7 Paparan pada kulit terhadap selenium dapat mengakibatkan iritasi lokal yang berat, mengakibatkan nyeri terbakar, kemerahan, dan dermatitis alergi.
Defisiensi selenium pada manusia jarang, akan tetapi akibat kadar selenium yang rendah di wilayah Cina, dijumpai dua penyakit endemik yaitu
Keshan disease (kardiomiopati endemik) dan Keshin-Beck disease
(osteoarthritis endemik).
6
23 Berbagai bentuk kurang selenium juga ditemukan dalam kaitannya terhadap Kurang-Energi Protein, Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS), alkoholisme dan short bowel syndrome.
Selenium pertama kali diketahui sebagai elemen toksin, didasarkan pada tingginya kadar pada tanah yang menghasilkan penumpukan selenium pada tanaman, yang kemudian mengakibatkan toksisitas akut dan kronis pada perternakan.
22
7 Konsentrasi selenium pada darah secara umum digunakan untuk pengukuran status dan asupan selenium, tetapi jaringan lainnya seperti rambut dan kuku juga digunakan.6,23 Status selenium jangka pendek ditujukkan oleh plasma atau serum selenium. Kuku jari kaki dan rambut digunakan untuk pengukuran status selenium jangka panjang.7
2.2 Mekanisme Kerja 2.2.1 Radikal bebas
(39)
Radikal bebas didefinisikan sebagai molekul atau fragmen molekuler yang mengandung satu atau lebih elektron tidak berpasangan pada lingkar terluar atom atau orbit molekular dan kemampuan dari keberadaannya yang bebas. Reactive oxygen species (ROS) dan reactive nitrogen species (RNS) menunjukkan radikal bebas dan derivat reakif non radikal lainnya. Reaktifitas radikal bebas secara umum lebih kuat dibandingkan spesies non-radikal.28
ROS dan RNS meliputi radikal seperti superoksida (O2•-), hidroksil (OH•), peroksil (RO2•), hydroperoxyl (HO2•), alkoxyl (RO•), peroksil (ROO •), nitric oxide (NO•), nitrogen dioksida (NO2 •) dan lipid peroksil (Loo •), dan non radikal seperti hidrogen peroksida (H2O2), asam hipoklorit (HOCl), ozon (O3), singlet oxygen (1Δg), peroxynitrate (ONOO-), asam nitrit (HNO2), dinitrogen trioxyide (N2O3), lipid peroxyde (LOOH). Pada konsentrasi tinggi, ROS dapat menjadi mediator penting terhadap kerusakan struktur sel, asam nukleat, lemak dan protein.28 Reactive oksigen nitrogen spesies (RONS) berperan dalam patogenesis dari beberapa penyakit saluran pencernaan, termasuk gastroesophageal reflux disease (GERD), gastritis, dan idiopathic inflammatory bowel disease (IBD).29
2.2.2 Antioksidan
Antioksidan adalah zat apapun yang dapat menunda atau menghambat kerusakan oksidatif pada molekul target. Pada saatnya molekul antioksidan
(40)
dapat bereaksi dengan radikal bebas tunggal dan mampu untuk menetralkan radikal bebas dengan menyumbang satu elektron mereka sendiri, mengakhiri reaksi karbon-mercuri.
Tubuh memiliki pertahanan antioksidan menyeluruh, termasuk antioksidan endogen enzimatik seperti SOD, CAT yaitu glutation peroksidase (GPX) dan antioksidan nonenzimatik seperti glutathione (GSH), asam urat, melatonin, feritin, seruloplasmin serta antioksidan eksogen (yang terutama berasal dari diet termasuk vitamin A, C, E, karotenoid, senyawa fenolik, berbagai pigmen tumbuhan lain dan beberapa ion logam seperti selenium dan seng).
30
1 Zat antioksidan tersebut memainkan peran penting dalam pemulungan anion superoksida radikal (O2), hidroksil radikal (-OH), dan radikal bebas lainnya serta oksigen singlet (1O2), hidrogen peroksida (H2O2), dan reaktif oksigen spesies (ROS), yang dihasilkan berlebihan dalam tubuh manusia. Antioksidan tersebut berperan penting dalam mencegah gangguan fisiologis dan patologis dari serangkaian reaksi rantai radikal bebas yang diinduksi oleh kelebihan O2, sehingga melindungi membran sel terhadap stres oksidasi dan kerusakan oksidasi. Lipoperoksida (LPO) adalah produk dari peroksidasi (autooksidasi) dari lipid yang terpapar oksigen.3
(41)
Stres oksidasi adalah kondisi berbahaya yang terjadi ketika ada kelebihan ROS dan atau penurunan kadar antioksidan, ini mungkin disebabkan oleh kerusakan jaringan fisik, kimia, faktor psikologis yang menyebabkan cedera jaringan dan menimbulkan penyakit yang berbeda-beda.28 Dalam proses penuaan keseimbangan ini mengarah pada stres oksidasi. Karenanya menjaga keseimbangan antara prooksidan dan antioksidan merupakan hal yang sangat penting dalam hal menjaga kesehatan bahkan kalau perlu diberikan sebagai suplemen.2 Adanya revolusi sistem pertahanan makhluk hidup yang sangat rumit dan perlawanan tubuh terhadap radikal bebas yang disebabkan stres oksidasi melibatkan mekanisme pertahanan yang berbeda seperti mekanisme pencegahan, mekanisme perbaikan, pertahanan fisik dan pertahanan antioksidan.28
2.3.4 Mekanisme antioksidan pada konstipasi
Telah diketahui bahwa konstipasi dapat menyebabkan perubahan pada permeabilitas usus. Disamping respon imunitas sistemik, konstipasi mempengaruhi sebahagian besar imunitas lokal pada usus. Hal ini membuktikan bahwa konstipasi kronik dapat menyebabkan stress oksidasi potensial dan kerusakan radikal bebas. Pada stress oksidatif,
antioxidase-superoxide dismutase (SOD) menurun dan produk oksidasi yaitu
(42)
Secara klinis konstipasi dibagi dalam 4 tipe patogenesis yaitu tipe slow transit, tipe outlet obstruction, tipe slow transit dengan outlet obstruction, dan
irritable bowel syndrome.32 Slow transit constipation (STC) ditandai dengan gangguan motilitas total dalam usus besar. Dalam studi histologis, usus besar dengan STC terkait dengan perubahan tidak hanya dalam struktur sistem saraf enterik, seperti adrenergik dan saraf kolinergik, tetapi juga isi dan reseptor neurotransmitter.32,33 Beberapa penulis melaporkan penurunan aktivitas saraf kolinergik dan peningkatan nonadrenergic noncholinergic (NANC) pada aktivitas saraf inhibitor memainkan peran penting dalam dismotilitas yang diamati pada kolon pasien dengan STC.
Selama dekade terakhir, dengan kemajuan dalam farmakologi, elektrofisiologi, dan immunohistokimia, telah menyatakan bahwa sistem saraf NANC, memiliki peran penting dalam pengaturan motilitas usus. Juga diketahui bahwa saraf penghambat NANC bertindak lebih dominan dari saraf perangsang NANC dalam pengaturan saraf enterik pada usus normal. Beberapa laporan bahwa usus dengan STC lebih kuat diinervasi oleh saraf penghambat, kususnya saraf penghambat NANC dibandingkan kolon normal. Baru-baru ini nitrit oksida (NO) telah dilaporkan menjadi neurotransmitter saraf penghambat NANC pada saluran pencernaan manusia.
33
33 Bult dkk, melaporkan bahwa produksi berlebihan NO dapat menyebabkan penghambatan yang menetap motilitas kolon pasien dengan STC.34 Oleh
(43)
karena itu, peningkatan NO mungkin berkaitan dengan gangguan motilitas diamati dalam usus besar STC.33
Mekanisme patofisiologis konstipasi sering melibatkan aktivitas pendorong kolon yang jelek, gangguan kolon, atau gangguan motorik kolon. Oleh karena itu, selain faktor psikologis dan fisiologis, transit kolon teratur dan fungsi anorektal mungkin memainkan peran penting dalam gangguan ini. Kelainan ini secara bertahap akan menyebabkan penyerapan air meningkat dan konsistensi tinja padat. Pada saat yang sama, zat toksik pada tinja seperti amonia, hidrogen sulfida, dan indole, sebagian besar diserap oleh saluran usus pada anak-anak dengan konstipasi kronis, dan masuk ke dalam sirkulasi darah. Selain itu, gangguan ini akan menyebabkan flora usus tidak seimbang, sehingga terjadi pengeringan tinja dan memperberat konstipasi.3
Banyaknya radikal bebas dan reaktif oksigen spesies (ROS) dapat dihasilkan oleh kelebihan amonia dalam saluran usus dan darah, dan ketidakseimbangan flora usus. Kelebihan ini dapat berinteraksi langsung dengan DNA (Deoxyribo Nucleic Acid), sehingga menyebabkan kerusakan DNA, menghambat atau menekan replikasi DNA, dan juga dapat menyerang situs aktif dan kelompok dalam struktur molekul dari vitamin C, vitamin E, SOD, dan CAT. Akibatnya, tingkat vitamin C dan vitamin E maupun aktivitas SOD dan CAT pada pasien konstipasi kronis menurun secara signifikan. Selain itu, radikal bebas dan ROS berlebihan, serta penurunan level plasma
(44)
vitamin E dapat mempercepat reaksi lipoperoxidative, yang ditunjukkan oleh peningkatan lipoperoksida pada anak dengan konstipasi kronis.4
2.4 Kerangka Konseptual
Gambar 2.1 Kerangka Konsep Penelitian
BAB 3
Konstipasi:
1. Frekuensi BAB 2. Nyeri perut 3. Konsistensi tinja
: Hal yang diamati dalam penelitian Selenium
Stres Oksidasi Diet Serat
: Diobati dengan supplementasi
Jumlah Cairan
Aktifitas Anak Obat yang diminum
Konstipasi Fungsional
Gastrointestinal Glutahtione Peroxidase (GPx-GI)
(45)
METODOLOGI
3.1. Desain
Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar tunggal untuk menilai efektivitas selenium dibanding plasebo pada konstipasi fungsional anak.
3.2. Tempat dan Waktu
Penelitian dilakukan di Pondok Pesantren Al-Kautsar Al-Akbar di kota Medan Propinsi Sumatera Utara selama bulan November 2012 sampai Desember 2012.
3.3. Populasi dan Sampel
Populasi target adalah anak yang menderita konstipasi fungsional. Populasi terjangkau adalah populasi target yang menjalani pendidikan di Pondok Pesantren Al-Kautsar Al-Akbar di kota Medan, Propinsi Sumatera Utara selama bulan November 2012 sampai Desember 2012. Sampel adalah populasi terjangkau yang memenuhi kriteria.
3.4. Perkiraan Besar Sampel
Besar sampel dihitung dengan mempergunakan rumus besar sampel untuk uji hipotesis terhadap 2 proporsi independen, yaitu :35
(46)
n1 = n2 = 2 (Zα+Zβ) S (X
2
1 – X2
n1 = jumlah subyek yang masuk dalam kelompok I )
n2 = jumlah subyek yang masuk dalam kelompok II
α = kesalahan tipe I = 0,05 → Tingkat kepercayaan 95% Zα = nilai baku normal = 1,96
β = kesalahan tipe II = 0,2 → Power (kekuatan penelitian) 80% Zβ = 0,84
X1-X2= perbedaan frekuensi BAB yang diinginkan: 0,6.
S = Simpang baku frekuensi BAB dari kedua kelompok : 1,11 36
Dengan menggunakan rumus di atas didapat jumlah sampel untuk masing-masing kelompok sebanyak 53 orang.
36
3.5. Kriteria Inklusi dan Eksklusi
3.5.1.Kriteria Inklusi
1. Penderita konstipasi fungsional berusia 11-17 tahun
2. Memenuhi diagnosis konstipasi fungsional menurut kriteria ROME III. 3. Tidak mempunyai kelainan organik berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik.
4. Bersedia mentaati prosedur penelitian dan menandatangani informed consent.
(47)
3.5.2. Kriteria Eksklusi
1. Mengunakan obat-obatan yang efek sampingnya menyebabkan konstipasi, seperti antasida, antikolinergik, antikonvulsan, antidepresan, diuretika, preparat besi, relaksan otot, narkotika dan psikotropika, dalam jangka waktu 7 hari terakhir
2. Sedang minum obat pencahar pada 3 hari sebelum penelitian dimulai
3.6. Persetujuan / Informed Consent
Semua subjek penelitian akan diminta persetujuan dari orang tua setelah dilakukan penjelasan terlebih dahulu.
3.7. Etika Penelitian
Penelitian ini disetujui oleh Komite Etik Penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
3.8. Cara Kerja
1. Pasien disurvei dulu dengan kuisioner dan wawancara langsung.
2. Pasien dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pengukuran antropometri meliputi berat badan dan tinggi badan yang dilakukan oleh peneliti. Pengukuran berat badan menggunakan timbangan merk One Med, dengan posisi berdiri dengan pakaian yang tipis dan tanpa
(48)
memakai alas kaki, dilakukan oleh seorang petugas. Pembacaan berat badan dengan tingkat presisi 0.5 kg.
3. Pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan kriteria diagnostik konstipasi fungsional (kriteria ROME III) dimasukkan ke dalam penelitian dan dilakukan pengambilan data awal konstipasi fungsional terhadap frekuensi, konsistensi dan nyeri perut.
4. Sampel dibagi menjadi dua kelompok dengan tabel randomisasi yaitu kelompok (A) yang mendapat tablet selenium dan kelompok (B) yang mendapat plasebo.
5. Masing-masing kelompok dinilai frekuensi BAB, nyeri perut dan konsistensi tinja sebelum pemberian obat.
6. Kelompok (A) mendapat selenium 40 mikrogram perhari untuk usia 11-14 tahun dan 50 mikrogram perhari untuk usia 15-17 tahun, diberikan satu kali sehari setelah sarapan pagi selama dua minggu.
7. Kelompok (B) mendapat plasebo 1 kali 1 kapsul setelah sarapan pagi selama dua minggu.
8. Selenium dan plasebo dalam kapsul dengan warna yang sama. Plasebo berupa kapsul yang berisi maltodextrin. Pasien tidak mengetahui obat yang diberikan.
9. Pemantauan dilakukan pada hari ke-7,14 untuk menilai frekuensi BAB, nyeri perut dan konsistensi tinja.
(49)
10. Evaluasi dilakukan setelah satu minggu (hari ke-21) untuk melihat frekuensi BAB, nyeri perut dan konsistensi.
3.9 . Alur Penelitian
Gambar 3.1 Alur Penelitian
3.10. Identifikasi Variabel
Variabel bebas Skala
Jenis Obat Nominal
Variabel tergantung Skala
Frekuensi Numerik
Nyeri Perut Nominal
Konsistensi Nominal
Selenium 40 µg (usia 11-14 thn) Selenium 50 µg (usia 15-17 thn)
1 x 1 kapsul
Plasebo 1 x 1 kapsul
Keparahan konstipasi fungsional 1. Frekuensi BAB
2. Nyeri Perut 3. Konsistensi tinja
Populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi
Data awal (frekuensi, konsistensi, nyeri perut) Randomisasi sederhana
(50)
3.11. Definisi Operasional
1. Konstipasi adalah kesulitan defekasi dengan tinja keras dan rasa sakit dengan frekuensi defekasi ≤ 2 kali dalam 1 minggu.
2. Konstipasi fungsional adalah konstipasi yang didiagnosis berdasarkan Kriteria ROME III (memenuhi 2 dari kriteria berikut selama 1 bulan) yaitu :
a. Buang air besar 2 kali atau kurang setiap minggu
b. Sekurang-kurangnya 1 kali setiap minggu mengalami inkontinensia
c. RIwayat menahan buang air besar yang berlebihan d. Riwayat nyeri saat buang air besar dan feses yang keras e. Teraba massa feses yang banyak di dalam rectum
f. Riwayat feses dalam diameter yang besar sehingga dapat menyumbat lubang kloset.
3. Kelainan organik yang dimaksud adalah : kelainan sekunder karena lesi anal (fissura ani, stenosis anal, anus letak anterior), kelainan neurologis (lesi medula spinalis, palsi serebral, penyakit Hirschsprung), kelainan endokrin / metabolik (hipotiroid, asidosis tubulus renal, diabetes insipidus, hiperkalsemia)
4. Frekuensi defekasi dicatat sesuai dengan jumlah hari yang dialami setiap setiap kali defekasi (hari/kali).
(51)
5. Nyeri perut adalah sakit perut yang dialami pasien dengan konstipasi dinilai dengan Pain Rating Scale,
6.
yaitu : skala 0 (tidak nyeri), skala 1-2 (nyeri ringan ), skala 3-4 (nyeri mengganggu), skala 5-6 (nyeri sedang)
7. Siswa yang dimaksud pada penelitian ini anak usia adalah 11-17 tahun
Konsistensi tinja dicatat sesuai dengan bentuk tinja yang dialami berdasarkan Bristol Stool Scale yaitu; Keras (tipe 1-2), Normal (tipe 3-6), dan Cair (tipe 7)
8. Selenium yang digunakan adalah dalam bentuk bubuk kering yang berasal dari Gross Nutrition Corporation (GNC), di import oleh : PT. Guna Nutrindo Sehat, Jakarta 10350 dengan nomor POM SI: 014 500 451
9. Plasebo adalah kapsul yang berisi maltodekstrin yaitu sediaan yang dibuat dengan bentuk, yang mirip dengan selenium.
3.12. Rencana Pengolahan dan Analisa Data
Pengolahan data dilakukan dengan perangkat lunak SPSS versi 18.0 dengan tingkat kemaknaan P < 0,05. Untuk menilai perbedaan antara efek pemberian selenium dibandingkan plasebo terhadap frekuensi dilakukan dengan uji Mann whitney, sedangkan konsistensi tinja dan nyeri perut yang berskala nominal digunakan uji Kai-kuadrat.
(52)
BAB 4
HASIL PENELITIAN
4.1 Data Demografik dan Karakteristik Sampel
Penelitian dilaksanakan di Pesantren Al-Kautsar Al-Akbar di Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA), Kelurahan Teladan Timur, Kecamatan Medan Kota, Kotamadya Medan, Sumatera Utara. Sebanyak 530 pelajar diperiksa, dan dijumpai penderita konstipasi fungsional sebesar 124 orang, 4 diantaranya menolak ikut dalam penelitian dan sisanya sebanyak 120 orang diikutkan dalam penelitian. Dilakukan randomisasi sederhana dibagi menjadi dua kelompok yaitu masing-masing terdiri dari 61 orang penderita mendapatkan selenium dan 59 orang mendapatkan placebo. Kemudian selama penelitian sebanyak 6 orang tidak ingin melanjutkan penelitian dikarenakan 4 orang sakit dan 2 orang pulang kerumah orang tuanya, sehingga masing-masing jumlah kelompok menjadi 57 orang mendapat selenium dan 57 orang mendapat placebo. (Gambar 4.1)
(53)
Gambar 4.1 CONSORT Diagram
530 anak
4 orang tidak mendapatkan persetujuan
61 orang mendapatkan Selenium
59 orang mendapatkan Plasebo
124 anak dengan konstipasi fungsional
120 orang ikut dalam penelitian
Frekuensi, konsistensi dan nyeri perut 4 orang mengundurkan diri
- 2 sakit
- 2 orang tidak datang
2 orang mengundurkan diri - Tidak datang
57 orang mendapatkan Selenium
57 orang mendapatkan Plasebo
(54)
Tabel 4.1. Karakteristik dasar subjek penelitian
Karakteristik Responden Selenium
n = 57
Plasebo n = 57
Jenis Kelamin, n (%)
Laki-laki 28 (49.1) 19 (33.3)
Perempuan 29 (50.9) 38 (66.7)
Umur, mean (SD), tahun 13.53 (1.4) 13.56 (1.45) Berat Badan, mean (SD), kg 46.49 (8.15) 44.6 (7.17) Tinggi Badan, mean (SD), cm 153.26 (6.55) 152.33 (6.23) Status Gizi
Kurang Gizi 1 (1.8) 2 (3.3)
Gizi Normal 42 (73.7) 45 (78.9)
Gizi Lebih 10 (17.5) 8 (14)
Obesitas 4 (7) 2 (3.5)
Dari tabel 4.1 didapati siswa yang ikut dalam penelitian ini berjumlah 114 orang dimana rerata usia siswa yang menderita konstipasi fungsional 13,5 tahun pada kedua kelompok. Jumlah laki-lai pada kelompok selenium 28 orang dan pada kelompok plasebo 19 orang, sedangkan jumlah perempuan pada kelompok selenium 29 orang dan placebo 38 orang. Berat badan rata-rata 46,4 kg pada kelompok selenium dan 44,6 kg pada kelompok placebo. Tinggi badan rata-rata 153,2 cm pada kelompok selenium dan 152,3 cm pada kelompok placebo. Status gizi normal berturut-turut dijumpai pada kelompok
(55)
selenium dan placebo sebanyak 42 orang dan 45 orang, gizi lebih 10 orang dan 8 orang, dan obesitas dijumpai 4 orang dan 2 orang.
4.2. Data Frekuensi BAB
Tabel 4.2.1. Rerata Frekuensi BAB Sebelum dan Sesudah Terapi pada Kelompok Selenium dan Kelompok Plasebo
Selenium n=57
Plasebo n=57
p
Frekuensi BAB sebelum terapi, rerata (SB), hari/kali
4.3 (1.239) 4.05 (1.007) 0.345
Frekuensi BAB setelah terapi hari ke 7, rerata (SB), hari/kali
3 (0.779) 3.11 (0.994) 0.609
Frekuensi BAB setelah terapi hari ke 14, rerata (SB), hari/kali
1.54 (0.758) 2.46 (0.847) 0.0001
Frekuensi BAB setelah terapi hari ke 21, rerata (SB), hari/kali
1.6 (0.593) 2.18 (0.630) 0.0001
Dengan menggunakan uji mann whitney diperoleh bahwa ditemukan perbedaan yang signifikan rerata frekuensi BAB antara kelompok yang memperoleh selenium dengan kelompok yang memperoleh plasebo saat pengamatan hari ke 14 dan ke 21 setelah terapi (p < 0.05, p = 0.0001), namun tidak ditemukan perbedaan rerata frekuensi BAB saat sebelum terapi dan setelah terapi hari ke 7.
(56)
Tabel 4.2.2 Rerata Frekuensi BAB Sebelum dan Sesudah Pengobatan pada Kelompok yang Memperoleh Selenium
Selenium n = 57
p
Frekuensi BAB sebelum terapi, rerata (SB), hari/kali
4.3 (1.239) 0.0001
Frekuensi BAB setelah terapi hari ke 7, rerata (SB), hari/kali
3 (0.779)
Frekuensi BAB setelah terapi hari ke 14, rerata (SB), hari/kali
1.54 (0.758)
Frekuensi BAB setelah terapi hari ke 21, rerata (SB), hari/kali
1.6 (0.593)
Dari tabel 4.2.2 dengan menggunakan uji Kruskal Wallis, diperoleh bahwa ditemukan perbedaan yang signifikan rerata frekuensi BAB sebelum dan sesudah pengobatan menggunakan selenium (p = 0.0001). Rerata frekuensi BAB menunjukkan angka yang menurun, dari 4.3 (1.239) hari per kali defekasi sebelum pemberian selenium hingga menjadi 1.6 (0.593) hari per kali defekasi pada hari ke 21 setelah pengobatan.
(57)
Tabel 4.2.3 Rerata Frekuensi BAB Sebelum dan Sesudah Pengobatan pada Kelompok yang Memperoleh Plasebo
Selenium n = 57
p
Frekuensi BAB sebelum terapi, rerata (SB), hari/kali
4.05 (1.007) 0.002
Frekuensi BAB setelah terapi hari ke 7, rerata (SB), hari/kali
3.11 (0.994)
Frekuensi BAB setelah terapi hari ke 14, rerata (SB), hari/kali
2.46 (0.847)
Frekuensi BAB setelah terapi hari ke 21, rerata (SB), hari/kali
2.18 (0.630)
Dari tabel 4.2.3 dengan menggunakan uji Kruskal Wallis, juga diperoleh bahwa ditemukan perbedaan yang signifikan rerata frekuensi BAB sebelum dan sesudah pemberian plasebo (p = 0.002)
(58)
4.3. Data Konsistensi Tinja
Tabel 4.3.1 Hubungan Konsistensi Tinja antara kelompok yang memperoleh selenium dan plasebo
Konsistensi Tinja Selenium Plasebo p
n (%) n (%)
Sebelum Terapi
Keras 57 (100) 57 (100) -
Setelah Terapi Hari ke 7
Keras 12 (21.1) 30 (52.6) 0.001
Normal 45 (78.9) 27 (47.4)
Setelah Terapi Hari ke 14
Keras 0 19 (33.3) 0.0001
Normal 57 (100) 38 (66.7)
Setelah Terapi Hari ke 21
Keras 5 (8.8) 32 (56.1) 0.0001
Normal 52 (91.2) 25 (43.9)
Dari hasil analisis menggunakan uji chi square yang tertera pada tabel 4.3 diperoleh terdapat perbedaan yang signifikan konsistensi tinja antara kelompok yang mendapat selenium dengan kelompok yang memperoleh plasebo setelah pengamatan hari ke 7 sampai hari ke 21 (p<0.05)
(59)
Tabel 4.3.2. Hubungan Konsistensi Tinja sebelum dan sesudah pemberian selenium
Konsistensi Tinja Keras Normal p
Sebelum Terapi 57 (100) 0 0.0001
Setelah Terapi Hari ke 7 12 (21.1) 45 (78.9) Setelah Terapi Hari ke 14 0 57 (100) Setelah Terapi Hari ke 21 5 (8.8) 52 (91.2)
Tabel 4.3.3. Hubungan Konsistensi Tinja sebelum dan sesudah pemberian plasebo
Konsistensi Tinja Keras Normal p
Sebelum Terapi 57 (100) 0 0.0001
Setelah Terapi Hari ke 7 30 (52.6) 27 (47.4) Setelah Terapi Hari ke 14 19 (33.3) 38 (66.7) Setelah Terapi Hari ke 21 32 (56.1) 25 (43.9)
Dengan menggunakan uji chi square, tabel 4.3.2 dan tabel 4.3.3. menunjukkan perbedaan yang signifikan pada konsistensi tinja baik setelah diberikan pengobatan selenium begitu pula setelah diberikan plasebo (p = 0.0001).
(60)
4.4 Data Nyeri Perut
Tabel 4.4.1. Hubungan Nyeri Perut antara kelompok yang memperoleh selenium dan placebo
Nyeri Perut Selenium Plasebo p
n (%) n (%)
Sebelum Terapi
Skala 0 2 (3.5) 5 (8.8) 0.031
Skala 1-2 10 (17.5) 14 (24.6)
Skala 3-4 25 (43.9) 31 (54.4)
Skala 5-6 20 (35.1) 7 (12.3)
Setelah Terapi Hari ke 7
Skala 0 14 (24.6) 9 (15.8) 0.013
Skala 1-2 33 (57.9) 28 (49.1)
Skala 3-4 7 (12.3) 20 (35.1)
Skala 5-6 3 (5.3) 0
Setelah Terapi Hari ke 14
Skala 0 47 (82.5) 10 (17.5) 0.0001
Skala 1-2 10 (17.5) 33 (57.9)
Skala 3-4 0 13 (22.8)
Skala 5-6 0 1 (1.8)
Setelah Terapi Hari ke 21
Skala 0 44 (77.2) 11 (19.3) 0.0001
Skala 1-2 12 (21.1) 36 (63.2)
Skala 3-4 1 (1.8) 10 (17.5)
Dari hasil analisis menggunakan uji chi square yang tertera pada tabel 4.6. diperoleh terdapat perbedaan yang signifikan nyeri perut antara kelompok
(61)
yang mendapat selenium dengan kelompok yang memperoleh plasebo setelah pengamatan pada hari ke 7 sampai hari ke 21 (p<0.05)
Tabel 4.4.2. Hubungan Nyeri Perut sebelum dan sesudah pemberian selenium
Nyeri Perut Skala 0 Skala
1-2 Skala 3-4 Skala 5-6 p
Sebelum Terapi 2 (3.5) 10 (17.5) 25 (43.9) 20 (35.1) 0.0001 Setelah Terapi Hari ke 7 14
(24.6)
33 (57.9)
7 (12.3) 3 (5.3) Setelah Terapi Hari ke 14 47
(82.5)
10 (17.5)
0 0
Setelah Terapi Hari ke 21 44 (77.2) 12 (21.1) 1 (1.8) 0
Tabel 4.4.3. Hubungan Nyeri Perut sebelum dan sesudah pemberian plasebo
Nyeri Perut Skala 0 Skala
1-2 Skala 3-4 Skala 5-6 p
Sebelum Terapi 5 (8.8) 14 (24.6) 31 (54.4) 7 (12.3) 0.0001 Setelah Terapi Hari ke 7 9 (15.8) 28
(49.1)
20 (35.1)
0 Setelah Terapi Hari ke 14 10
(17.5) 33 (57.9) 13 (22.8) 1 (1.8) Setelah Terapi Hari ke 21 11
(19.3) 36 (63.2) 10 (17.5) 0
Tabel 4.4.2 dan 4.4.3 menampilkan adanya perbedaan yang signifikan nyeri perut baik pada kelompok yang mendapat selenium (p = 0.0001) dan kelompok yang memperoleh plasebo (p = 0.0001) dengan menggunakan uji chi square.
(62)
4.5 Data Efek Samping
Dari 57 orang subjek yang mendapat pengobatan tidak ada siswa yang mengeluh efek samping obat seperti nausea, muntah, diare,mudah lelah dan gelisah,
(63)
BAB 5 PEMBAHASAN
Konstipasi merupakan masalah umum yang dikeluhkan, sekitar 3% dari seluruh kunjungan dokter anak dan sampai 25% ditangani ahli gastroenterologi anak.37 Dalam dua studi berbasis komunitas baru-baru ini, 5 dan 18% dari anak-anak dianggap mengalami konstipasi dengan menggunakan kriteria yang sama.15 Selain itu, sekitar 1/3 dari anak-anak ini terus memiliki konstipasi hingga dewasa meskipun pengobatan dan tindak lanjut.37 Sistematik review dari 19 studi prospektif tahun 2013 terhadap epidemiologi konstipasi fungsional pada anak di seluruh dunia menyatakan bahwa prevalensi berkisar 0.7% sampai 29.6%.
Konstipasi dijumpai sekitar 16% sampai 37% pada anak usia sekolah dan sekitar 4% pada anak usia prasekolah. Sebanyak 90% sampai 95% konstipasi fungsional terjadi pada anak diatas usia 1 tahun, hanya 5% sampai 10% konstipasi disebabkan oleh kelainan organik.
38
5 Loening Baucke pada studi retrospektif tahun 2004 melaporkan prevalensi konstipasi pada anak usia 4 sampai 17 tahun adalah 22.6%,13 dan Lee dkk pada tahun 2007 menunjukkan prevalensi konstipasi untuk usia di bawah 4 tahun sebesar 28.8%.14 Studi longitudinal tahun 2003, Saps dkk melaporkan 18% anak usia 9 sampai 11 tahun menderita konstipasi.15
(64)
Pada penelitian ini kami menjumpai prevalensi konstipasi pada Pondok Pesantren Al-Kautsar Al-Akbar sebanyak 23,3% (124 siswa yang memenuhi kriteria ROME III dari total 530 siswa). Adanya efek negatif dari konstipasi fungsional terhadap fungsi sosial, termasuk kemampuan sekolah, olahraga dan aktifitas lain, sebagai perilaku yang umum yang dapat mempengaruhi kulitas hidup yang lebih rendah.37
Kami mendapatkan rerata usia siswa yang menderita konstipasi fungsional 13.5 tahun pada kedua kelompok. Penelitian ini memasukkan anak usia 11 sampai 17 tahun sebagai subjek penelitian didasarkan pada prevalensi yang cukup tinggi terjadinya konstipasi fungsional pada anak usia sekolah, dan merupakan usia dimana penyebab kelainan organik dan patologis dengan prevalensi yang kecil.
Ini merupakah hal yang tidak menguntungkan karena berdampak terhadap prestasi belajar siswa dan terhadap kualitas pelajar yang lebih rendah.
Kebanyakan studi epidemiologi menunjukkan tidak ada perbedaan dalam prevalensi konstipasi antara laki-laki dan perempuan, berbeda dengan studi pada dewasa di mana prevalensi yang lebih tinggi dijumpai pada wanita.39 Sebagian besar studi, melaporkan prevalensi pada perempuan dijumpai lebih tinggi dibandingkan laki-laki.38,40 Richmond menyimpulkan bahwa jenis kelamin merupakan faktor resiko terjadinya konstipasi dimana perempuan memiliki rasio mendapat konstipasi 3 kali lebih besar dari
(65)
laki-laki.41
Hubungan antara berat badan berlebih atau obesitas dan konstipasi telah dilaporkan dalam beberapa studi dan dijumpai kecenderungan peningkatan prevalensi konstipasi pada individu dengan aktivitas fisik yang kurang.
Pada penelitian ini dijumpai perbedaan antara jenis kelamin dengan kejadian konstipasi fungsional dimana jumlah siswa perempuan (67 orang) yang menderita konstipasi fungsional lebih banyak dibandingkan dengan siswa laki-laki (47 orang).
38 Misra pada studi retrospektif menjelaskan bahwa anak-anak konstipasi cenderung mengalami berat badan lebih, namun kelompok anak dengan berat badan lebih dengan konstipasi secara signifikan di dominasi pada laki-laki.
Loening-Baucke pada studi retrospektif melaporkan pada anak-anak konstipasi, dijumpai 22% memiliki status gizi obesitas sedangkan pada kelompok kontrol obesitas hanya 11%.
42
13 Fishman pada studi cross sectional, didapati 23% anak dengan obesitas mengalami konstipasi. Etiologi konstipasi pada anak obesitas masih belum jelas diketahui. Perubahan hormon atau hiperglikemia berperan penting dalam terjadinya konstipasi pada anak obesitas.
Pada penelitian ini dijumpai status gizi normal sebesar 73.7% pada kelompok selenium dan 78.9% pada kelompok plasebo. Dijumpai keadaan gizi lebih pada kelompok selenium dan pada kelompok plasebo berturut-turut
(66)
sebesar 17.5% dan 14% serta obesitas 7% pada kelompok selenium dan 3.5% pada kelompok plasebo. Tidak ada perbedaan bermakna antara kedua kelompok serta tidak dijumpai hubungan yang bermakna antara obesitas dengan kejadian konstipasi fungsional pada penelitian ini.
Tatalaksana konstipasi fungsional meliputi evakuasi tinja bila terjadi skibala, terapi rumatan berupa pemberian obat, modifikasi perilaku, edukasi pada orang tua, dan konsultasi.5,12,16 Jika edukasi, pola makanan tidak menunjukkan perubahan dalam 2 minggu, pengobatan medis dapat segera diberikan. Tujuan pengobatan ini adalah untuk melunakkan konsistensi feses sehingga memudahkan defekasi. Pengobatan di evaluasi selama 2 minggu, kemudian dilakukan penilaian ulang, jika konstipasi tetap berlangsung pengobatan dilanjutkan selama 2 bulan, pengurangan dosis dilakukan setelah 2 bulan jika frekuensi defekasi dijumpai lebih dari 3x dalam seminggu dan tidak dijumpai gejala konstipasi lainnya.
Pada penelitian uji klinis acak di Cina, didapatkan hubungan antara konstipasi kronik dengan stres oksidasi pada anak.
17
3,4 Suatu studi meta-analisa yang dilakukan di China tahun 2012, menyebutkan bahwa suplementasi dengan selenium organik dapat meningkatkan aktivitas glutathione peroxidase pada dewasa yang sehat.9 Penelitian uji klinis acak di Israel, yang menggunakan tanaman Ziziphus jujube yaitu tanaman yang
(67)
sitosterol, stigmasterol, desmasterol, resin, katekol, tanin, penting minyak, 13 jenis asam amino, selenium, kalsium, fosfor, besi, cAMP dan cGMP menunjukkan efektifitas dan keamanan pengobatan pada konstipasi fungsional.
Pada penelitian ini kesembuhan dinilai berdasarkan perbaikan klinis frekuensi defekasi, konsistensi tinja dan nyeri perut yang diobati selama 2 minggu, tidak diikuti pemantauan lanjutan setelah pengobatan. Penelitian ini menunjukkan bahwa terapi selenium efektif dalam meningkatkan perbaikan klnis pada pasien konstipasi fungsional yaitu jumlah defekasi, konsistensi tinja dan keparahan nyeri perut. Pemberian selenium dengan dosis sesuai umur menurut RDA tahun 2000, yaitu 40 mikrogram perhari untuk usia 11-14 tahun dan 50 mikrogram perhari untuk usia 15-17 tahun. Pada 57 siswa didapati perbedaan signifikan frekuensi BAB yaitu kelompok selenium menjadi 1,54 dan kelompok plasebo 2,46 hari per kali defekasi dalam seminggu, dengan nilai P=0.0001. Konsistensi tinja pada penelitian ini didapati normal pada kelompok selenium 57 orang (100%) sedangkan plasebo 38 orang (66,7%), dijumpai perbedaan signifikan dengan nilai P=0.001 dimulai setelah pengobatan hari ke-7.
36
Penilaian skala nyeri Wong-Baker FACES (WBS) umumnya lebih disukai oleh orang tua dan pasien untuk melaporkan persepsi rasa sakit., digunakan pada anak usia 3 hingga 18 tahun. Enam wajah digambar tangan
(68)
mulai dari tersenyum menangis; wajah dikembangkan berdasarkan analisis gambar wajah anak-anak yang mewakili derajat nyeri yang berbeda dan skala ditunjukkan pada angka 0 sampai 5.44 Studi observasional tahun 2013 menunjukkan bahwa WBS menunjukkan korelasi sedang dengan skala nyeri yang lainnya pada pasien usia sekolah dengan nyeri.45
Penelitian eksperimental oleh Pramita dkk, 2008 dilakukan untuk mengungkapkan pengaruh defesiensi Se terhadap sistem pertahanan antioksidan enzimatik (SOD, CAT dan GPX) dan non-enzimatik (GSH, TBARS dan tiol) pada jaringan hati dan otot tikus. Pada penelitian ini terjadi penurunan secara bermakna aktivitas glutation peroksidase (GPX) sebesar 95% dan plasma sebesar 74% pada kelompok defisiensi Se dibandingkan kontrol.
Kami mendapatkan perbedaan signifikan nyeri perut yaitu tidak nyeri pada 47 orang (82,5%) dan nyeri ringan pada 10 orang (17,5%) pada kelompok selenium sedangkan kelompok plasebo dijumpai tidak nyeri sebanyak 10 orang (17,5%), nyeri ringan 33 orang (57,9%), nyeri sedang 13 orang (22.8%) dan nyeri berat 1 orang (1.8%) dengan nilai P=0.0001.
24
Paparan berlebihan terhadap selenium pada manusia dapat mengakibatkan nausea dan beberapa kasus dengan muntah dan diare. Selenosis akut dan kronik dapat menimbulkan perubahan pada kuku dan Namun pada penelitian ini kami tidak melakukan pengukuran dari selenium plasma.
(69)
rambut, neuropati perifer, mudah lelah dan gelisah. Pernafasan berbau bawang juga menunjukkan keracunan selenium.6
Pondok pesantren Al-Kautsar Al-Akbar memiliki program pendidikan yang dimulai pukul 07.00 wib hingga pukul 21.00 wib, aktifias fisik siswa pada penelitian ini berupa kegiatan olahraga dilaksanakan sekali dalam seminggu. Asupan sayuran dan buah-buahan serta minuman untuk semua siswa disediakan oleh pondok pesantren, namun siswa memiliki kebiasan yang berbeda dalam hal mengkonsumsi jumlah serat dan jumlah air yang diminum. Adapun fasilitas kamar mandi yang disediakan oleh pihak sekolah sebanyak 20 kamar mandi untuk seluruh siswa. Kami tidak melakukan penilaian terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi kesembuhan konstipasi fungsional seperti aktifitas fisik, asupan cairan dan serat, serta fasilitas seperti kamar mandi
Dan kami tidak menemukan adanya efek samping setelah pemberian selenium.
Suatu studi uji klinis acak di China tahun 2005 menyebutkan kadar vitamin C dan vitamin E, aktivitas SOD dan CAT pada pasien konstipasi kronis menurun secara signifikan.4 Perlunya studi yang membandingkan efek selenium terhadap antioksidan lain seperti vitamin C dan vitamin E. Masih diperlukannya penelitian lebih lanjut secara menyeluruh untuk menilai efektifitas selenium sebagai terapi awal dan rumatan serta faktor-faktor yang mempengaruhi kesembuhan dan kekambuhan konstipasi.
(70)
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. KESIMPULAN
Selenium yang diberikan selama 2 minggu menunjukkan efektivitas yang tinggi terhadap perbaikan klinis konstipasi fungsional pada anak yaitu dalam hal perbaikan terhadap frekuensi BAB, konsistensi tinja dan nyeri perut dibandingkan placebo.
6.2. SARAN
Dalam hal kepentingan meningkatkan ilmu pengetahuan, masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut tentang efektifitas selenium sebagai terapi awal dan rumatan terhadap konstipasi fungsional pada anak. Diharapkan kepada pengurus Pondok Pesantren Al-Kautsar Al-Akbar di kota Medan, untuk memberikan asupan makanan berupa air minum, makanan serat yang mencukupi, perlu adanya aktifitas fisik setiap minggunya dan fasilitas yang memadai terhadap kamar mandi yang masih kurang dibandingkan dengan jumlah siswa.
(71)
DAFTAR PUSTAKA
1. Bhardwaj P. Oxidative stress and antioxidants in gastrointestinal diseases. Tropical Gastroenterol 2008;29:129-135
2. Hidajat Boerhan. Penggunaan antioksidan pada anak. Disampaikan pada Continuing Education Ilmu Kesehatan XXXV Kapita Slekta Ilmu Kesehatan Anak IV “Hot topic in pediatrics”, JW Marriot, Surabaya, 3-4 September 2005.
3. Wang JY, Wang YL, Zhou SL, Zhou JF. May chronic childhood constipation cause oxidatve stress and potential free radical damage to children?. Biomed and Environment Sci 2004;17:266-272
4. Zhou JF, Lou JG, Zhou SL, Wang JY. Potential oxidative stress in children with chronic constipation. World J Gastroenterol 2005;11:368-71
5. Firmansyah A. Konstipasi pada anak. Dalam: Jufri M, Soenarto YS, Oswari H, Arief S, Rosalina I, Mulyani SN, penyunting. Gastroenterologi-Hepatologi. Cetakan Pertama. Jakarta. IDAI, 2010. h:201-214
6. Fan AM, Kizer KW. Selenium nutritional, toxicology and clinical aspects. West J Med 1990;153:160-167
7. Sunde RA. Selenium. Dalam: Bowman BA, Russel RM, Eds. Present knowledge in nutrition. Edisi ke-9. Washington DC. ILSI Press, 2006. h.1-14
8. Akcam M. Helicobacter pylori and micronutrients. Indian Pediatr. 2010;47:119-126
9. Jiang X, Dong J, Wang B, Yin X, Qin L. [Effect of organic selenium supplement on gluthathione peroxidase acivities: a meta-analysis of randomized controlled trials]. Wei Sheng Yan Jiu. 2012;41:120-3
10. Wyllie R. Constipation. Dalam : Kliegman RM, Berhman RE, Jenson HB, Stanton BF, peyunting. Nelson Text Book of Pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2007.h:1525-65
11. World Gastroenterology Organization. World Gastroenterology Organization Practice Guidelines: Constipation. World Gastroenterology Organization. 2007:1-10
12. Prasetyo D. Konstipasi pada anak. Disampaikan pada Kongres nasional IV Badan Koordinasi Gastroenterologi Indonesia(BKGAI), Medan, 4-7 Desember 2010
13. Loening-Baucke V. Prevalence rates for constipation and faecal and urinary incontinence. Arch Dis Child. 2007; 92: 486-489
14. Lee WT, Ip Kin S, Chan JS, Lui NW, Youn BW. Increased prevalence of constipation in pre-school children is attributable to under-consumption of plant foods: A community-based study. J Paediatr Child Health. 2008;4:170-175
(72)
15. Saps M, Sztainberg M, Di Lorenzo C. A prospective community-based study of gastroenterological symptoms in school-age children. JPGN. 2006; 43:477-82
16. Clayden G, Keshtgar AS. Management of childhood constipation. Postgrad Med J. 2003;79:616-21
17. Tabbers MM, Boluyt N, Berger MY, Benninga MA. Clinical practice diagnosis and treatment of functional constipation. Eur J Pediatr. 2011; 170: 955-63
18. Biggs WS, Dery WH. Evaluation and treatment of constipation in infants and children. Am Fam Physician. 2006; 73:469-77, 470-80,481-2, 469-77. 19. BakerSS, Liptak GS, Colletti RB, Croffie JM, Di Lorenzo C, Ector W, dkk.
Constipation in infants and children: evaluation and treatment. JPGN.1999;29:612-626
20. Tinggi U. Selenium: it’s role as antioxidant in human health. Environ Health Prev Med. 2008;13:102-108
21. Rayman MP. The importance of selenium to human health. Lancet. 2000;356:233-241
22. Satoto. Selenium dan kurang yodium. Jurnal GAKY Indonesia (Indonesian journal of IDD).2002
23. Thomson CD. Assesment of requirement for selenium and adequacy of selenium status: a review. Eur J of Clin Nutr.2004;58:391-402
24. Dwipoerwantoro PG. Perubahan mekanisme stress oksidatif pada tikus dengan defisiensi selenium dan pengaruh defisiensi selenium pada kadar hormon tiroid plasma. Ringkasan Disertasi. Program Doktor Ilmu Kedokteran. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2009. 25. Nancy F, Michael K. Trace element. Dalam: Duggan C, John B, Allan W,
penyunting. Nutrition in pediatrics. Edisi ke-4. India: BC Decker Inc, 2008. h: 68-80
26. Amani R, Hajiani E, Hejazi E, Vaziri N. Comparison of serum levels of vitamins E and C and dietary antioxidants intakes between patients with inflammatoey bowel disease and healthy subjects. Int J Endocrinol Metab. 2009;3:187-192
27. Litov R, Combs GF. Selenium in pediatric nutrition. Pediatrics. 1991; 87:339-49
28. Sen S, Chakraborty R, Sridhar C, Reddy SR, Biplab De. Free radicals, prospect. Int J of Pharm Sciences Review and Research. 2010;3: 91-100 29. D. Chu FF, Esworthy S, Doroshow JH. Serial review: reactive oxygen
species in immune responses. J Freeradbiomed. 2004;36:1481-95
30. Mayes P. Oksidasi biologi. Dalam: Bani Anna P, Sikumbang Tiara MN, Penyunting. Biokimia Harper. Edisi ke-25. Jakarta. EGC. 2003. h:120-137 31. Li Yanning, Zong Y, Qi Jinsheng, Liu Kun. Prebiotics and oxidative stress
(73)
32. Bassotti G, Villanacci V. Slow transit constipation: a functional disorders becomes an enteric neuropathy. World J Gastroenterol. 2006;12:4609-13 33. Tomita R, Fujisaki S, Ikeda T, Fukuzawa M. Role of nitric oxide in the
patients with slow-transit constipation. Dis Colon Rectum. 2002;45:593-600
34. Bult H, Boeckxstaens GE, Pelkcmans PA. Nitric oxide as an inhibitory non-adrenergic non-cholinergic neurotransmitter.Nature 1990;345:346-7 35. Madiyono B, Moeslichan S, Sastroasmoro S, Budiman I, Purwanto SH.
Perkiraan besar sampel. Dalam: Sastroasmoro S, Ismael S, penyunting. Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. Edisi ke-3. Jakarta : Sagung Seto, 2008. h. 302-30
36. Naftali T, Feingelernt H, Lesin Y, Rauchwarger A. Ziziphus jujube extract for the treatment of chronic idiopathic constipation: a controlled clinical trial. Digestion 2008; 78:224-228
37. A Wald, L Sigurdsson. Quality of life in children and adults with constipation. Best Practice & Research Clinical Gastroenterology 25 (2011) 19–27
38. S.M. Mugie, Marc A. Benninga, Carlo Di Lorenzo. Epidemiology of constipation in children and adults: A systematic review. Best Practice & Research Clinical Gastroenterology 25 (2011) 3–18
39. B. Peeters, M.A. Benninga, R.C. Hennekam. Childhood constipation; an overview of genetic studies and associated syndromes. Best Practice & Research Clinical Gastroenterology 25 (2011) 73–88
40. American Gastroenterology Association. American Gastroenterological Association Technical Review on Constipation. Gastroenterology 2013; 144: 218-238.
41. Richmond JP, Wright ME. Development of a constipation risk assessment scale. Elsevier. 2005; 9: 37-48
42. Misra S, Lee A, Gensel K. Chronic Constipation in Overweight Children. JPEN. 2006; 30: 81-83
43. Fishman L, Lenders C, Fortunato C, Noonan C, Dan Nurko S. Increased Prevalence Of Constipation And Fecal Soiling In A Population Of Obese Children. J Pediatr 2004;145:253-4
44. Chambers CT, Giesbrecht K, Craig KD,Bennett SM, Huntsman E. A comparison of faces scales for the measurement of pediatric pain: children's and parents' ratings. Pain. 1999; 83: 25-35
45. Garra G, Singer AJ, Domingo A, Thode HC. The Wong-Baker Pain FACES Scale Measures Pain, Not Fear. Pediatric Emergency Care. 2013; 29: 17-20
(74)
LAMPIRAN
1. Personil Penelitian 1. Ketua Penelitian
Nama : dr. Marlina Tanjung
Jabatan : Peserta PPDS Ilmu Kesehatan Anak FK USU 2. Anggota Penelitian
1. Prof. dr. Atan Baas Sinuhaji,SpAK 2. dr. Supriatmo, SpAK
3. dr. Melda Deliana, SpAK 4. dr. Pantas Martin R Saing 5. dr. Bia Safitri
2. Jadwal Penelitian
Kegiatan/ Waktu September 2012
November- Desember 2012
Desember 2012
Januari 2013 Persiapan
Pelaksanaan Penyusunan Laporan Pengiriman Laporan
(1)
2. Berapa hari sekali anda buang air besar ?
a. Setiap hari d. 6-7 hari sekali b. 2-3hari sekali e. > 7 hari sekali c. 4-5 hari sekali
3. Apakah setiap kali anda buang air besar sering disertai dengan sakit perut/mulas?
a. Tidak pernah
b. 1 sampai 2 kali dalam sebulan c. Sekali dalam seminggu
d. Beberapa kali dalam seminggu e. Setiap hari
4. Ketika kamu merasa sakit perut/mulas, berapa lama hal itu terjadi? a. Kurang dari 1 jam
b. 1 sampai 2 jam c. 3 sampai 4 jam
d. Hampir sepanjang hari e. Sepanjang hari
5. Berapa lama kamu telah mengalami sakit perut/mulas tersebut? a. 1 bulan atau kurang
b. 2 bulan c. 3 bulan
d. 4 sampai 11 bulan e. 1 tahun atau lebih
6. Perasaan sakit perut/mulas berkurang setelah buang air besar? a. Ya
b. Tidak
7. Bagaimana bentuk tinja saat buang air besar ? c. Cair
d. Keras e. Lembek
(2)
a. Kehitaman
b. Kuning dan kemerahan c. Coklat
9. Pada saat susah buang air besar , apakah anda mengkonsumsi obat pencahar (obat memperlancar buang air besar)?
a. Ya b. Tidak
10. Apakah setiap buang air besar selalu mengkonsumsi obat ? a. Ya b. Tidak
11. Jenis obat apa yang anda minum ? a. Jamu-jamuan
b. Obat medis
c. Tidak minum obat (konsumsi sayur-sayuran dan banyak minum) 12. Apakah anda sering melakukan aktifitas seperti olah raga?
a.Ya b. Tidak
b. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Tampak sehat / sakit Kesadaran :
c. Pemeriksaan abdomen
Palpasi : massa feses di kuadran kiri bawah : ada/tidak
(3)
Tanggal Masuk : ... Tanggal Kunjungan : ...
Tanggal Kunjungan
Frekuensi BAB (x/hari)
Nyeri Perut Konsistensi Efek samping
1. Apa efek samping yang dikeluhkan siswa selama mendapatkan pengobatan selenium?
a. Tidak ada b. Mual c. Muntah d. Diare
e. Mudah Lelah
Skala Nyeri
(4)
Pemantauan konsistensi buang air besar (BAB)
(5)
BIODATA PENULIS UTAMA
Nama Lengkap : dr. Marlina Tanjung
Tempat dan Tanggal Lahir : Medan, 7 Agustus 1982
Alamat : Jln. Hiburan no.4 Teladan Barat
Medan 20127, Indonesia
PENDIDIKAN
Sekolah Dasar : SDN 060905 Medan, tamat tahun 1994
Sekolah Menengah Pertama : SLTP Negeri 3 Medan, tamat tahun 1997
Sekolah Menengah Umum : SMU Negeri 5 Medan, tamat tahun 2000
Dokter Umum : Fakultas Kedokteran UISU Medan,
tamat
tahun 2007
Magister Kedokteran Klinik : Fakultas Kedokteran USU Medan, tamat
tahun 2013
RIWAYAT PEKERJAAN : -
PERTEMUAN ILMIAH / PELATIHAN
1. Pertemuan Ilmiah Tahunan IV Ilmu Kesehatan Anak di Medan, 22-24 Februari 2010.
2. Interpretasi EKG, Suara Jantung dan Foto Thoraks Anak di Medan, 5 November 2011.
3. Tatalaksana awal kegawatan pada bayi dan anak di Medan, 29-30 April 2012.
(6)
4. Update Tatalaksana Kejang dan Perdarahan pada Bayi dan Anak di Medan, 2-3 Februari 2013.
5. Pelatihan Manajemen Nyeri di RSUP H. Adam Malik Medan, 30 April 2013. 6. Pelatihan Vaksinologi Dasar untuk Dokter Spesialis Anak di Medan, 29-30
Juni 2013.
PENELITIAN
1. Efektivitas selenium pada konstipasi anak
ORGANISASI