Analisis Fungsi Diskriminansi Diskriminant Function AnalysisDFA

85 perkembangan Kota Bukittinggi sebagai kota perdagangan. Untuk itu, pengelompokkan wilayah dengan pendekatan yang berbeda ini masih perlu dilanjutkan dengan analisis lanjutan yakni analisis diskriminan sehingga dapat diketahui secara jelas faktor penciri dari masing-masing kelompok. Gambar 14 Peta Kluster Wilayah Kabupaten Agam

c. Analisis Fungsi Diskriminansi Diskriminant Function AnalysisDFA

Analisis faktorial diskriminan dilakukan setelah analisis gerombol kelompok. Analisis ini berfungsi untuk memilih faktor-faktor yang paling mencirikan tipologi wilayah yang didapat dari hasil analisis kelompok, artinya faktor-faktor mana saja yang menjadi penciri atau yang paling berpengaruh terhadap tipologi wilayah masing-masing. Berdasarkan Tabel 21 dan 22 diperoleh gambaran bahwa analisis fungsi diskriminan ini memiliki ketepatan pengelompokan untuk tipologi I sebesar 100 persen dengan jumlah anggota sebanyak 51 nagari 70 persen. Begitupula pada tipologi II dan III masing-masing mempunyai ketepatan pengelompokkan sebesar 100 persen juga dengan jumlah anggota masing-masing 8 nagari 11 persen dan 14 nagari 19 persen. Artinya, hasil analisis diskriminan telah tepat mengelompokkan wilayah nagari berdasarkan variabel penciri yang ada dan sebagian besar wilayah Kabupaten Agam termasuk tipologi I. 86 Tabel 21 Matriks Tipologi Nagari Hasil Analisis Fungsi Diskriminan DFA No. Tipologi Ketepatan Pengelompokkan persen Tipologi I p= 0.69863 Tipologi II p=0.10959 Tipologi III p=0.19178 1 I 100.0000 51 2 II 100.0000 8 3 III 100.0000 14 Total 100.0000 Tabel 22 Hasil Analisis Diskriminan Masing-Masing Nagari No. Nagari Tipologi No. Nagari Tipologi 1 Cingkariang 1 37 Kapau 1 2 Kubang Putih 1 38 Kampung Pinang 1 3 Padang Lua 1 39 Parit Panjang 1 4 Ladang Lawas 1 40 Padang Laweh 1 5 Pakan Sinayan 1 41 Tiku Selatan 1 6 Koto Tinggi 1 42 Tiku Utara 1 7 Tabek Panjang 1 43 Maninjau 1 8 Padang Tarok 1 44 Taluk 1 9 Canduang Koto Laweh 1 45 Simarasok 1 10 Bukit Batabuah 1 46 Lasi 1 11 Balai Gurah 1 47 Balingka 1 12 Batu Taba 1 48 Tigo Koto 1 13 Panampung 1 49 Sungai Batang 1 14 Biaro Gadang 1 50 Tanjung Sani 1 15 Ampang Gadang 1 51 Bayur 1 16 Lambah 1 52 Sipinang 2 17 Sianok 1 53 Pasie Laweh 2 18 Guguk Tabek Sarajo 1 54 Batu Palano 2 19 Sungai Landia 1 55 Tiku V Jorong 2 20 Kamang Hilia 1 56 Koto Tuo 2 21 Kamang Mudiak 1 57 Koto Panjang 2 22 Garagahan 1 58 Koto Gadang 2 23 Matua Hilia 1 59 Selaras Aia 2 24 Tigo Koto Silungkang 1 60 Bungo Koto Tuo 3 25 Sungai Puar 1 61 Pasie 3 26 Ampek Koto Palembayan 1 62 Magek 3 27 Baringin 1 63 Manggopoh 3 28 Koto Rantang 1 64 Lubuk Basung 3 29 Pagadih 1 65 Tiga Balai 3 30 Nan Tujuah 1 66 Lawang 3 31 Batagak 1 67 Panta Pauh 3 32 Sungai Pua 1 68 S ariak 3 33 Duo Koto 1 69 Kampung Tangah 3 34 Koto Kaciak 1 70 Malalak 3 35 Gadut 1 71 Siltalang 3 36 Koto Tangah 1 72 Tigo Koto 3 73 Matua Mudiak 3 Sumber: Data hasil olahan Wilayah yang termasuk tipologi I, II dan III Tabel 23 dan 24 dicirikan dengan nilai rataan masing-masing faktor penciri utama yang dibandingkan dengan nilai jarak eucledian yaitu 0.70 dan -0.70. Tipologi I digambarkan dengan nilai rataan faktor-faktor tersebut dibawah 0.70 dan di atas -0.70 dari nilai jarak eucledian sehingga termasuk kategori sedang. Hal ini menunjukkan bahwa karakteristik wilayah yang termasuk tipologi ini relatif sedang berkembang. Tipologi II, ada enam penciri kelompok yang paling berpengaruh yakni: kapasitas penunjang pariwisata 2.4819, laju pertumbuhan penduduk 7.1372, 87 tingkat kesejahteraan -3.7168, kapasitas fasilitas keuangan -3.9489, kapasitas fasilitas perdagangan -4.0879, dan kapasitas sarana pertanian -1.4638. Faktor kapasitas penunjang pariwisata dan laju pertumbuhan penduduk adalah positif. Artinya, pembangunan yang telah dilaksanakan selama ini telah meningkatkan kapasitas penunjang pariwisata dan laju pertumbuhan penduduk. Namun demikian belum mampu meningkatkan kesejahteraan, kapasitas fasilitas keuangan, kapasitas fasilitas perdagangan, dan kapasitas sarana pertanian, maka tipologi ini memiliki ciri pembangunan wilayah dengan kapasitas penunjang pariwisata dan laju pertumbuhan yang tinggi, namun masih belum mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat, Dengan demikian, wilayah yang termasuk tipologi II relatif kurang berkembang. Tabel 23 Fungsi KlasifikasiPengelompokkan Analisis Fungsi Diskriminan No Variabel Tipologi I Tipologi II Tipologi III p= .69863 p=.10959 p=.19178 1 Kapasitas penunjang pariwisata -0.302593 2.4819 -0.31591 2 Tingkat kesejahteraan 0.397003 -3.7168 0.67766 3 Derajat kesehatan -0.647557 0.2946 2.19062 4 Laju pertumbuhan penduduk -0.351289 7.1372 -2.79871 5 Kapasitas fasilitas keuangan -0.614025 -3.9489 4.49333 6 Kapasitas fasilitas perdagangan 0.090331 -4.0879 2.00686 7 Kapasitas sarana pertanian -0.249014 -1.4638 1.74358 Constant -0.632611 -14.2244 -6.69354 Sumber: Data hasil olahan Tabel 24 Nilai Rataan Hasil Analisis Diskriminan Variabel Tipologi 1 Tipologi 2 Tipologi 3 1. Kapasitas penunjang pariwisata Sedang Tinggi Sedang 2. Tingkat kesejahteraan Sedang Rendah Sedang 3. Derajat kesehatan Sedang Sedang Tinggi 4. Laju pertumbuhan penduduk Sedang Tinggi Rendah 5. Kapasitas fasilitas keuangan Sedang Rendah Tinggi 6. Kapasitas fasilitas perdagangan Sedang Rendah Tinggi 7. Kapasitas sarana pertanian Sedang Rendah Tinggi Sumber: Data hasil olahan Tipologi III, ada lima penciri kelompok yang paling berpengaruh yakni: derajat kesehatan 2.19062, laju pertumbuhan penduduk -2.79871, kapasitas fasilitas keuangan 4.49333, kapasitas fasilitas perdagangan 2.00686, dan kapasitas sarana pertanian 1.74358. Faktor derajat kesehatan, kapasitas fasilitas keuangan, kapasitas fasilitas perdagangan, dan kapasitas sarana pertanian adalah 88 positif. Artinya, pembangunan yang telah dilaksanakan selama ini telah meningkatkan derajat kesehatan, kapasitas fasilitas keuangan, kapasitas fasilitas perdagangan, dan kapasitas sarana pertanian, dan hanya memperlihatkan laju pertumbuhan penduduk yang rendah maka tipologi ini memiliki ciri pembangunan yang relatif tinggi dibandingkan tipologi lainnya. Gambar 15 Peta Tipologi Wilayah Kabupaten Agam Berdasarkan lokasinya Gambar 15, sebagian besar nagari yang berada di Kabupaten Agam bagian tengah dan timur termasuk tipologi I. Wilayah yang termasuk tipologi II meliputi beberapa nagari di bagian barat dan tengah serta sedikit di timur, sedangkan tipologi III meliputi beberapa nagari di bagian barat, sedikit ditengah dan timur. Dengan demikian, wilayah bagian tengah memiliki tingkat perkembangan wilayah yang relatif belum berkembang, bagian barat dan timur relatif cukup berkembang hingga tinggi. Kajian selanjutnya, Nagari Lubuk Basung Kecamatan Lubuk Basung berdasarkan analisis diskriminan ternyata berada di tipologi III paling berkembang, hal ini telah sesuai dengan hasil analisis hirarki wilayah dengan metode skalogram baik berdasarkan jumlah jenis fasilitas, jumlah fasilitas, dan indeks perkembangan nagari IPN termasuk hirarki I pusat aktivitas. Kondisi ini telah sesuai juga dengan konsep wilayah nodal bahwa pusat aktivitas 89 cenderung memiliki tingkat perkembangan wilayah tinggi karena pusat wilayah berfungsi sebagai: 1 tempat terkosentrasinya penduduk permukiman; 2 pasar bagi komoditi-komoditi pertanian maupun industri; 3 pusat pelayanan terhadap daerah hinterland; dan 4 lokasi pemusatan industri manufaktur, yang diartikan sebagai kegiatan mengorganisasikan faktor-faktor produksi untuk menghasilkan output tertentu. Faktanya dilapangan juga menunjukkan bahwa Nagari Lubuk Basung Kecamatan Lubuk Basung saat ini merupakan pusat pemerintahan Kabupaten Agam. Dalam rangka pengembangan wilayah, maka wilayah yang termasuk tipologi I merupakan lokasi investasi yang sangat menarik karena sarana dan prasarana ekonomi yang relatif lengkap, sarana perhubungan yang sudah baik, serta sarana kesehatan yang memadai. Analisis Interaksi Spasial Interaksi spasial adalah istilah umum mengenai pergerakan spasial dan aktifitas-aktifitas manusia, dua prinsip pokok interaksi spasial adalah : 1. Mesin penggerak dari pergerakan dan kekuatan dorongtarik dari supply- demand ; 2. Penghambat pergerakan dan pengaruh friction dan distance. Interaksi spasial antara dua tempat dipengaruhi oleh produksi yang dihasilkan oleh masyarakat di dua tempat tersebut dan besarnya pengaruh jarak antara dua tempat tersebut. Interaksi spasial merupakan suatu mekanisme yang menggambarkan dinamika yang terjadi di suatu wilayah karena adanya intervensi yang dilakukan oleh sumber daya manusia di dalam wilayah tersebut, ini mencakup mobilitas kerja, migrasi, arus informasi, arus komoditas, pemanfaatan fasilitas pribadi dan fasilitas umum. Analisis Interaksi Spasial mempelajari hubungan yang berupa pergerakan komoditi, barang-barang, orang, informasi, dan lainnya antara titik-titik dalam ruang. Analisis ini menekankan pada saling ketergantungan dari tempat dan area. Interaksi spasial semakin menurun karena jarak. Analisis ini digunakan untuk mengetahui tingkat interaksi wilayah dengan menggunaan metode gravitasi model. Variabel-variabel yang dipergunakan adalah pergerakan orang dan barang 90 serta jarak. Variabel dimaksud merupakan data yang berasal dari sektor transportasi. Sektor transportasi dikenal sebagai salah satu mata rantai jaringan distribusi barang dan penumpang telah berkembang sangat dinamis serta berperan di dalam menunjang pembangunan politik, ekonomi, sosial budaya maupun pertahanan keamanan. Pertumbuhan sektor ini akan mencerminkan pertumbuhan ekonomi secara langsung sehingga transportasi mempunyai peranan yang penting dan strategis. Keberhasilan sektor transportasi dapat dilihat dari kemampuannya dalam menunjang serta mendorong peningkatan ekonomi nasional, regional dan lokal, stabilitas politik termasuk mewujudkan nilai-nilai sosial dan budaya yang diindikasikan melalui berbagai indikator transportasi antara lain: kapasitas, kualitas pelayanan, aksesibilitas keterjangkauan, beban publik dan utilisasi. Model sistem transportasi jalan untuk suatu wilayah studi terdiri dari dua elemen model yakni sistem zona dan sistem jaringan jalan. Sistem zona terdiri dari zona-zona yang membagi daerah studi ke dalam beberapa bagian sebagai tingkat agregrasi terkecil pembangkit dan penarik perjalanan. Umumnya zona dilengkapi dengan pusat zona atau centroid yang diasumsikan sebagai titik awal atau akhir perjalanan. Jaringan jalan terdiri dari ruas jalan atau link yang umumnya diberi atribut panjang, kapasitas, dan kecepatan operasinya. Pertemuan antar ruas jalan disebut dengan simpul atau node yang dapat berupa persimpangan jalan dengan atau tanpa lampu pengatur lalu lintas, sedangkan untuk studi jaringan transportasi regional antar kota simpul dapat berupa kota. Untuk kajian transportasi multi moda simpul dapat berarti juga terminal bus, kereta api, bandar udara, pelabuhan sebagai awal dan akhir perjalanan dengan menggunakan moda angkutan umum atau angkutan yang tidak berbasis operasi di jalan. Dari hasil analisis model interaksi spasial diperoleh hasil seperti pada Tabel 15 dan dapat dijelaskan bahwa secara spasial pola interaksi melalui pergerakan orang dan barang berdasarkan hasil estimasi yang dibangun dari 2 model pada Bab III, menunjukkan signifikansi parameter interaksi spasial pergerakan orangbarang nyata mempengaruhi pola interaksi antar wilayah. Hal ini berarti bahwa untuk pola pergerakan barangorang secara umum memiliki hubungan yang saling memperkuat antar wilayah, bila diamati secara langsung kondisi 91 pergerakan orangbarang di Provinsi Sumatera Barat cenderung menunjukkan hal diatas, dimana Kota Padang sebagai pusat pelayanan tingkat propinsi karena merupakan ibukota Provinsi Sumatera Barat, kemudian menyebar ke beberapa wilayah kabupatenkota lainnya. Dari 2 dua model yang dibangun memperlihatkan bahwa koefisien determinasinya rata-rata 40 – 50 R 2 0.40. R 2 merupakan indeks kemampuan prediksi suatu model atau untuk mengukur kekuatan hubungan antar masing-masing variabel Steve Pierre, 2002. Variabel-variabel dependen yang ditetapkan hanya mampu menerangkan sebagian model yang dibangun dari sistem tersebut yaitu model transportasi trip pergerakan orangbarang dari wilayah asal ke wilayah tujuan T1 ij T2 ij dengan kendala jarak tempuh d1 ij . Tabel 25 Hasil Pendugaan Parameter Interaksi Spasial Pergerakan Orang dan Barang No. Bentuk Model Gravitasi G R 2 Konstanta Gravitasi Elastisitas Variabel Jumlah Peduduk Daerah Asal Elastisitas Variabel Jumlah Penduduk Daerah Tujuan Elastisitas Kendala Spasial Koefisien Determinasi 1 λ β α − = ij j i ij d P P G T 1 . . . 1 1 -3.827 0.6245 0.5202 -0.9268 0.4847 2 λ β α − = ij j i ij d P P G T 2 . . . 2 1 -16.066 1.0210 0.9524 -1.2222 0.3956 Sumber: Data hasil analisis Keterangan: 1. Nyata pada pada 0.05 dan 0.01 2. λ β α − = ij j i ij d P P G T 1 . . . 1 1 = pergerakan orang 3. λ β α − = ij j i ij d P P G T 2 . . . 2 1 = pergerakan barang Namun demikian hasil analisis seperti tercantum pada Tabel 25 diatas, secara nyata interaksi spasial melalui sistem transportasi dalam hal ini transportasi darat sangat ditentukan oleh faktor jarak. Semakin jauh jarak tempuh maka pola interaksi spasial antar zona di Provinsi Sumatera Barat akan semakin menurun. Hal ini terjadi karena meskipun infrastruktur jaringan jalan sudah baik tetapi kondisi fisik wilayah yang bergelombang akan mempengaruhi waktu tempuh sehingga dapat mengurangi interaksi antar wilayah. 92 Tabel 26 Pergerakan Orang dan Barang di Kabupaten Agam dan sekitarnya No Zona Asal Zona Tujuan Pergerakan Orang Pergerakan Barang 1 Agam Agam 27,809 5,778 2 Agam Bukittinggi 1,088 61 3 Bukittinggi Agam 1,778 57 4 Bukittinggi Bukittinggi 41,714 8,667 Berdasarkan Tabel 26, jumlah pergerakan orang baik dalam wilayah Kabupaten Agam, dalam wilayah Kota Bukittinggi, dari Kota Bukittinggi ke Kabupaten Agam dan sebaliknya lebih besar dibanding pergerakan barang. Kondisi ini menunjukkan bahwa penduduk di kedua wilayah tersebut lebih mobile bila dibandingkan dengan produk-produk wilayah. Hal ini sesuai dengan hasil survey Tatrawil 2006 bahwa jumlah pergerakan orang di Sumatera Barat lebih banyak untuk kepentingan keluarga dibandingkan dengan bekerja, belanja, sosial, dan kepentingan lainnya. - 10.000 20.000 30.000 40.000 50.000 60.000 Pa da ng Ka b Pa da ng P ar iam an Ko ta P ar iam an Ka b Ag am B ar at Ka b Ag am T im ur Ka b Pa sa ma n B ara t Ka b Pa sa ma n Ka b 50 K ota Ka b Ta na h D ata r Pa da ng P an jan g Sa wa h l un to Ka b Sw ls jj Ka b So lok Ka b Dh ar ma sra ya Ka b So lok S ela tan Ka b Pe ss el Pr op B en gk ulu Pr op Ja mb i Pr op R iau Pr op S um ut Bangkitan Tarikan Gambar 16 Jumlah Bangkitan dan Tarikan Menggunakan Angkutan Umum Gambar 16 dan 17 dapat dilihat bahwa bangkitan perjalanan baik dengan menggunakan angkutan umum di Agam Barat lebih rendah dibanding tarikan sedangkan di Agam Timur terjadi kebalikannya. Akan tetapi bangkitan perjalanan dengan menggunakan kendaraan pribadi baik di Agam Barat maupun Agam Timur sama-sama lebih tinggi dibandingkan tarikannya. Dengan demikian, Agam Barat Lubuk Basung memiliki daya tarik wilayah yang cukup signifikan dibanding daya dorong wilayah. Hal ini disebabkan adanya pusat pemerintahan dan perekonomian di Lubuk Basung. 93 - 5.000 10.000 15.000 20.000 25.000 30.000 35.000 40.000 45.000 50.000 Pa da ng Ka b Pa da ng P ar iam an Ko ta P ar iam an Ka b Ag am B ar at Ka b Ag am T im ur Ka b Pa sa ma n B ara t Ka b Pa sa ma n Ka b 50 K ota Ka b Ta na h D ata r Pa da ng P an jan g Sa wa h l un to Ka b Sw ls jj Ka b So lok Ka b Dh ar ma sra ya Ka b So lok S ela tan Ka b Pe ss el Pr op B en gk ulu Pr op Ja mb i Pr op R iau Pr op S um ut Bangkitan Tarikan Gambar 17 Jumlah Bangkitan dan Tarikan Perjalanan Menggunakan Kendaraan Pribadi Secara umum Provinsi Sumatera Barat mempunyai prasarana dan sarana perhubungan yang relatif baik, pada tahun 2000 memiliki panjang jalan sekitar 1.961,36 km, yang terdiri dari jalan provinsi 1.089,41 km dan jalan negara sepanjang 871,95 km. Sistem jaringan jalan di bagian tengah diarahkan pada pola jaringan jalan yang memperkuat keterkaitan antara Kota Padang, Pariaman, Bukittinggi, Padang Panjang, Payakumbuh, dan Batusangkar serta provinsi sekitarnya, sehingga akan diperoleh pola melingkar. Sistem ini akan terkait dengan pola “linier” yang dapat menghubungkan Kota Lubuk Sikaping dan Provinsi Sumatera Utara di bagian selatan, Solok, Lubuk Gadang dan Provinsi Jambi bagian selatan. Begitu juga di dalam Kota Lubuk Basung akan dibangun jalan lingkar untuk meningkatkan interaksi antar wilayah dalam lingkup Agam Barat, Tengah dan sekitarnya. Dalam pembangunan wilayah ada dua dimensi spasial yang harus diperhatikan, yaitu spatial specifity dan spatial interaction. Spatial specifity menunjukkan bahwa setiap wilayah mempunyai kekhasan. Sementara spatial interaction menunjukkan bahwa karena setiap wilayah mempunyai kekhasan, maka timbul interaksi antar wilayah sebagai upaya memenuhi kebutuhan. Kedua dimensi tersebut, terjadi karena tiga faktor, yaitu: 1 sumber daya disuatu lokasi tidak bisa dipindah-pindahkan, ataupun kalau bisa dipindahkan biayanya akan sangat mahal imperfect factor mobility, 2 keberadaan sumber daya di suatu lokasi terkait dengan sumberdaya lain yang ada di lokasi tersebut 94 sehingga sukar untuk memisahkannya imperfect divisibility, 3 sumber daya di suatu wilayah tidak mudah dipindahkan karena biaya transportasi yang mahal imperfect mobility of goods an services. Berdasarkan dimensi kekhasan wilayah, Kabupaten Agam memiliki potensi pengembangan tanaman perkebunan seperti kelapa sawit, kelapa, tembakau, karet, kayu manis, kopi dan kako. Hal ini mendorong dibangunnya fasilitas pendukung seperti pabrik pengolahan hasil perkebunan. Terdapatnya Danau Maninjau di tengah-tengah wilayah ini juga mendorong didirikannya pembangkit listrik dan fasilitas lainnya seperti hotel dan penginapan. Dengan demikian, potensi wilayah dimaksud memberikan nilai tambah bagi perkembangan perekonomian wilayah apabila dimanfaatkan dengan baik. Adanya kekhasan wilayah di Kabupaten Agam, diharapkan terjadi interaksi spasial dalam bentuk transaksi perdagangan dengan wilayah lain. Produk yang dihasilkan akan dipasarkan di pasar lokal, regional, nasional, maupun internasional guna memenuhi demand yang semakin lama semakin meningkat. Sementara bagi wilayah demand, pasokan suatu komoditas sangat penting untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di wilayah tersebut. Interaksi spasial dalam bentuk transaksi perdagangan ini menjadi penting sebagai informasi dasar untuk melakukan perencanaan pembangunan wilayah yang mampu meningkatkan nilai tambah bagi suatu kawasan. Interaksi yang terjadi di wilayah Kabupaten Agam dapat berorientasi antar nagari yang berada pada hirarki yang sama, maupun dengan nagari lain yang memiliki hirarki yang berbeda. Pada tingkatan yang lebih luas, interaksi dapat terjadi dengan pusat aktivitas yang lebih besar dan global seperti dengan Kota Bukittinggi, Kota Padang, Medan, serta Malaysia, Singapura, Thailand yang merupakan bagian dari segitiga pertumbuhan Indonesia-Malaysia- Thailand Growth Triangle IMT-GT. Analisis Kesenjangan a. Analisis Tingkat Kesenjangan Pembangunan selalu menimbulkan dampak baik positif maupun negatif. Oleh karena itu diperlukan indikator sebagai tolak ukur terjadinya pembangunan. Pembangunan yang dimaksud disini adalah pembangunan wilayah seperti yang didefinisikan oleh Anwar 2005 merupakan prosestahapan kegiatan 95 pembangunan disuatu wilayah tertentu yang dalam perwujudannya melibatkan interaksi antara sumberdaya manusia dengan sumberdaya lain termasuk sumberdaya alam dan lingkungan melalui kegiatan investasi pembangunan. Kesenjangan wilayah adalah suatu proses yang akan terjadi dan tidak dapat dihindari seiring dengan kemajuan dalam pembangunan sosial ekonomi negara, sampai kemudian menurun kembali dengan sendirinya setelah mencapai titik balik polarization reversal . Hubungan antara kesenjangan wilayah dengan pendapatan per kapita pada suatu negara misalnya, sering dilukiskan sebagai kurva genta bell curve. Khusus bagi negara-negara berkembang, kesenjangan pembangunan wilayah tidak jelas kapan akan terjadinya titik balik tersebut, karena paradigma ”kurva genta” adalah cermin sejarah negara- negara yang telah berkembang pada abad ke sembilan belas sampai dengan pertengahan abad ini. Analisis tingkat kesenjangan digunakan untuk melihat tingkat kesenjangan antar wilayah sebagai dampak pelaksanaan pembangunan. Untuk kasus yang sedang diteliti, variabel yang digunakan untuk menganalisis tingkat kesenjangan ini menggunakan variabel pendapatan asli daerah PAD perkapita. Variabel ini dianalisis menggunakan rumus Indeks Williamson. Sekaitan dengan hasil analisis kesenjangan seperti tercantum dalam Tabel 27, dimana unit analisisnya adalah kawasan maka baik kawasan barat, tengah dan timur memiliki tingkat kesenjangan rendah. Hal ini karena Kabupaten Agam meskipun memiliki karakteristik wilayah yang sangat beragam namun sektor utamanya masih pertanian. Tabel 27 Nilai Indeks Kesenjangan Williamson dan Tingkatannya Berdasarkan Wilayah Kawasan No. Kawasan Indeks Williamson V w Tingkat Kesenjangan 1 Barat 0,17 rendah 2 Tengah 0,19 rendah 3 Timur 0,23 rendah Sumber: Data hasil olahan Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Evi et al, 2005 tentang kesenjangan di Sumatera Barat bahwa Kabupaten Agam merupakan daerah dengan klasifikasi I yaitu daerah yang memiliki potensi pembangunan yang sangat besar yang 96 dicirikan dengan pertumbuhan PDRB rata-rata dan pendapatan per kapita lebih tinggi dari daerah tingkat II di Sumatera Barat dan sektor perkonomian dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat. Disamping itu berdasarkan indeks Williamson di Propinsi Sumatera Barat dari tahun 1985-2003, bahwa pembangunan ekonomi di Sumatera Barat terdistribusi ke seluruh kabupaten dengan merata begitu juga di Kabupaten Agam. Menurut Rustiadi et al. 2006, tingkat kesenjangan berdasarkan Indeks Williamson di Sumatera Barat pada tahun 2000 baik menggunakan indikator Migas dan non migas cenderung rendah yakni 0.44 dan 0.44. Provinsi Sumatera Barat umumnya dan Kabupaten Agam khususnya sebagian besar wilayahnya berada di Pantai Barat Sumatera. Sejak Pantai Barat Sumatera mendapatkan pesaing berat, yakni pantai timur Sumatera dan ada kaitannya dengan kedatangan Inggris, terjadinya revolusi industri, dan dibukanya Terusan Suez maka para saudagar yang bertindak selaku investor juga mulai beralih ke Pantai Timur. Klimaksnya terjadi migrasi besar-besaran penduduk pantai barat Sumatera ke Semenanjung Malaysia, termasuk dua suku bangsa besar, Batak dan Minangkabau. Dengan demikian, aktivitas ekonomi di pantai barat Sumatera menurun tajam. Hal inilah yang merupakan salah satu faktor penyebab wilayah ini perkembangannya cenderung lambat dibandingkan dengan wilayah yang berada dekat pantai Timur. Hal ini pulalah yang menyebabkan wilayah ini sangat berhati-hati dalam melaksanakan pembangunan Anonimous. 2007. Berdasarkan unit analisis wilayah administrasi kecamatan seperti tercantum pada Tabel 28 dapat dijelaskan bahwa terdapat 1 kecamatan yang berada pada tingkat kesenjangan tinggi yaitu Kecamatan Lubuk Basung. Kecamatan yang berada pada tingkat kesenjangan sedang ada 9 kecamatan yaitu Kecamatan Banuhampu, Baso, Candung, Empat Angkat Candung, IV Koto, Matur, Palembayan, Tanjung Raya, dan Tilatang Kamang. Sedangkan yang termasuk wilayah kecamatan yang beraada pada tingkat kesenjangan rendah ada 5 kecamatan yaitu: Kecamatan Ampek Nagari, Kamang Magek, Palupuh, Sungai Pua dan Tanjung Mutiara. 97 Tabel 28 Nilai Indeks Kesenjangan Williamson dan Tingkatannya Berdasarkan Wilayah Administrasi Kecamatan No. Nama Kecamatan Indeks Kesenjangan Vw Tingkat Kesenjangan 1 Banuhampu 0,55 sedang 2 Baso 0,54 sedang 3 Candung 0,46 sedang 4 Empat Angkat Candung 0,56 sedang 5 IV Koto 0,56 sedang 6 IV Nagari 0,48 rendah 7 Kamang Magek 0,43 rendah 8 Lubuk Basung 0,74 tinggi 9 Matur 0,41 sedang 10 Palembayan 0,60 sedang 11 Palupuh 0,36 rendah 12 Sungai Pua 0,46 rendah 13 Tanjung Mutiara 0,49 rendah 14 Tanjung Raya 0,52 sedang 15 Tilatang Kamang 0,55 sedang Sumber: Data hasil olahan Tingkat kesenjangan yang tinggi di Kecamatan Lubuk Basung disebabkan nagari-nagari di kecamatan ini memiliki fasilitas pelayanan yang belum merata dan memiliki tingkat perkembangan wilayah yang berbeda. Hal ini ditunjukkan dengan hasil analisis hirarki wilayah, hanya satu nagari yaitu Nagari Lubuk Basung yang merupakan hirarki I sedangkan yang lainnya termasuk hiraki III, IV, dan V. Tingkat perkembangan wilayah di Kecamatan Lubuk Basung berdasarkan analisis gerombol, Nagari Lubuk Basung termasuk kluster I sedang berkembang, sedangkan nagari-nagari lainnya memiliki tingkat perkembangan rendah kluster II. Begitu juga dengan hasil analisis diskrimanan, Nagari Lubuk Basung memiliki tingkat perkembangan lebih tinggi dibandingkan dengan nagari-nagari lainnya. Terkait perbedaan tersebut, maka kecamatan yang memiliki nagari dengan fasilitas pelayanan dan tingkat perkembangan yang berbeda memacu terjadinya kesenjangan wilayah. Wilayah yang belum berkembang dengan ciri utama, kondisi masyarakat yang tertinggal, standar hidup rendah, efisiensi rendah, konsumsi rendah, tabungan rendah, investasi rendah, dan pengangguran meningkat. Sebaliknya di wilayah yang maju, masyarakat maju, standar hidup tinggi, pendapatan semakin tinggi, tabungan semakin banyak yang pada akhirnya masyarakat semakin maju; 98 Kedua kondisi yang berbeda tersebut menyebabkan kesenjangan yang tidak rendah Murty, 2000. Tingkat kesenjangan yang rendah di Kecamatan Palupuh, Sungai Pua, dan Tanjung Mutiara disebabkan nagari-nagari di Kecamatan ini memiliki fasilitas pelayanan yang lebih merata dan tingkat perkembanganya relatif sama. Hal ini ditunjukkan dengan hasil analisis hirarki wilayah bahwa nagari-nagari yang berada di Kecamatan Tanjung Mutiara termasuk hirarki V berdasarkan jumlah fasilitas dan sebagian besar termasuk kluster II kurang berkembang dan tipologi II kurang berkembang berdasarkan analisis gerombol dan diskriminan. Terkait hal tersebut, wilayah yang memiliki kesenjangan rendah relatif memiliki fasilitas pelayanan yang merata dan tingkat perkembangannya relatif kurang berkembang.

b. Analisis Faktor-Faktor Penyebab Kesenjangan