III METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium South East Asian Food and Agriculture Science dan Technology SEAFAST Center, kampus IPB Darmaga,
Bogor. Penelitian akan dilakukan pada bulan Agustus 2009 - April 2010.
B. Bahan dan Alat
Isolat Lactobacillus asal ASI sebanyak 19 isolat yang berasal dari koleksi SEAFAST Center IPB L. rhamnosus A15, L. fermentum A20, L. acidophilus 1
A22, L. rhamnosus A23, L. rhamnosus A24, Lactobacillus A27, L. rhamnosus A29, L. rhamnosus R12, L. rhamnosus R14, L. rhamnosus R21, L. rhamnosus
R22, L. rhamnosus R23, L. rhamnosus R24, Lactobacillus R25, L. rhamnosus R26, Lactobacillus R27, Lactobacillus R32, L. rhamnosus B10, dan L. rhamnosus
B16, mikroba uji adalah Escherichia coli enteropatogenik EPEC K1.1 dari Dr.dr.Sri Budiarti dari Lab. Bioteknologi Hewan dan Biomedis, Pusat Penelitian
Bioteknologi IPB. Tikus percobaan Sprague-Dawley berasal dari Biofarmaka Bogor. Bahan penyusun ransum terdiri kasein, maizena, minyak jagung, vitamin
mix, mineral mix dan selulosa. Media untuk uji mikrobiologi yaitu medium agar dan medium cair Nutrient Agar dan Nutrient Broth NA dan NB, medium cair
dan medium agar de Mann Rogosa Sharpe MRSB dan MRSA, medium agar EMBA, medium agar Rogosa, asam asetat, NaCl, dan susu skim bubuk.
Alat-alat yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah peralatan gelas laboratorium, kandang tikus percobaan beserta perlengkapan pemeliharaan
lainnya, alat sonde, timbangan, vorteks, refrigerator, deep freezer -80
o
C, sentrifus berpendingin, perangkat alat bedah tikus, inkubator, dan autoklaf.
C. Metode Penelitian
Penelitian aktivitas antidiare isolat Lactobacillus Lab asal ASI ini secara umum dilakukan dalam tiga tahap. Tahap pertama adalah pengujian aktivitas
antibakteri isolat Lactobacillus asal ASI terhadap EPEC dengan metode kontak. Tahap kedua adalah pengujian dosis EPEC yang dapat menimbulkan diare tanpa
menimbulkan kematian yang dilakukan secara in vivo menggunakan tikus percobaan. Selanjutnya dosis yang diperoleh digunakan pada tahap ketiga, yaitu
isolat Lactobacillus terpilih yang dihasilkan dari tahap pertama memiliki penghambatan yang terbaik terhadap EPEC 3 isolat diiuji aktivitasnya sebagai
antidiare dengan menggunakan tikus percobaan. Tahapan studi yang dilakukan dapat dilihat pada Gambar 2.
1. Pemeliharaan Tikus Percobaan
Pengujian secara in vivo dilakukan dengan tikus percobaan jenis Sprague Dawley jantan berumur 28 hari. Sebelum dilakukan pengujian, tikus
diadaptasikan terlebih dahulu selama dua minggu dimana tikus hanya diberikan ransum standar dan Air Minum Dalam Kemasan AMDK. Pemberian ransum
standar sebanyak 20 gramekor dan air minum AMDK diberikan kepada setiap tikus setiap hari secara ad libitum. Ransum standar dibuat berdasarkan
AIN 1976 yang telah dimodifikasi dengan kadar protein menjadi 15 20 untuk standar AIN 1976, dan serat menjadi 1 5 untuk standar AIN 1976.
Modifikasi ini dilakukan karena pada penelitian awal tikus mengalami diare dengan kadar protein dan serat yang terlalu tinggi. Perhitungan dan komposisi
ransum yang digunakan dalam penelitian dapat dilihat pada Tabel 2 dan lebih lanjut dapat dilihat pada Lampiran 1 dan 2.
Berat badan tikus ditimbang setiap 2 hari sekali dan sisa ransum ditimbang setiap hari. Kandang dan perlengkapan tikus dibersihkan setiap hari
dengan cara: 1. Penggantian botol minum dan wadah ransum tikus dengan dicuci dan
dibilas menggunakan air panas mendidih.
2. Pencucian kandang dengan sabun dan air bersih serta dibilas dengan klorin 200 ppm.
3. Penggantian sekam sebagai alas dalam kandang setiap hari, sekam terlebih dahulu disterilkan dalam autoklaf pada 121
o
C selama 15 menit.
Tabel 2 Komposisi ransum yang digunakan dalam penelitian
Komponen Komposisi ransum
Protein 15
Minyak 5
Mineral 3.5
Serat 1
Air 10
Vitamin 1
Pati Ditambahkan sampai dengan 100
Gambar 2 Diagram alir tahapan penelitian antidiare Lactobacillus asal ASI
Tahap 2. Penentuan dosis EPEC
yang dapat menyebabkan tikus diare tanpa menimbulkan
kematian
Tahap 1. Pengujian aktivitas
antibakteri isolat Lactobacillus terhadap EPEC
Tahap 3. Pengujian antidiare
secara preventif mencegah diare dari 3 isolat terpilih dari Tahap 1
secara in vivo dengan menggunakan tikus percobaan
Parameter yang diamati: - konsumsi ransum setiap hari,
- berat badan setiap 2 hari
-
kondisi feses tikus setiap hari, yaitu sehari sebelum diintervensi EPEC dan selama 5 hari setelah perlakuan
.
Analisis jumlah total BAL dengan media MRSA dan total E. coli dengan media EMBA
Parameter yang diamati: - konsumsi ransum setiap hari,
- berat badan setiap 2 hari - konsistensi dan warna feses setiap hari
- jumlah laktobasili dan E. coli feses sebelum perlakuan H0, setelah intervensi Lab
selama 1 hari H1, setelah intervensi Lab selama 3 hari H3, sebelum intervensi EPEC H7, 5 hari berturut-turut setelah intervensi EPEC H8, H9, H10, H11, dan
H12
- jumlah laktobasili dan E. coli pada kolon dan sekum H12 - pengamatan kolon tikus dengan SEM H12
2. Pengujian Aktivitas Antibakteri Lactobacillus terhadap E. coli
Enteropatogenik EPEC modifikasi Parish Davidson 1993
Pengujian aktivitas antibakteri Lactobacillus terhadap EPEC dilakukan dengan metode kontak. Kultur Lactobacillus dan EPEC disegarkan terlebih
dahulu masing-masing dalam medium MRSB dan NB selama 24 jam. Pengujian ini dibagi dalam dua tahap, yaitu pengujian antara 10
6
cfuml isolat Lactobacillus dengan EPEC 10
5
cfuml, dan 10
8
cfuml isolat Lactobacillus dengan dosis EPEC yang sama. Tahap pertama adalah sebanyak 1 ml dari 10
7
cfuml isolat Lactobacillus ditambahkan ke dalam kultur EPEC dalam tabung berisi media susu skim 10, kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu
37
o
C. Selanjutnya dihitung jumlah total BAL dan E. coli dengan metode agar tuang menggunakan medium MRSA dan EMBA sebelum dan sesudah masa
inkubasi. Isolat Lactobacillus yang dapat menghambat pertumbuhan EPEC dan menurunkan pertumbuhaannya sebesar 2 log cfuml diikutsertakan pada uji
tahap kedua. Pada uji tahap kedua, sebanyak 1 ml dari 10
9
cfuml isolat Lactobacillus ditambahkan ke dalam 10
5
cfuml kultur EPEC dalam tabung berisi media susu skim 10, kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu
37
o
C. Selanjutnya dihitung jumlah BAL dan E. coli dengan metode agar tuang menggunakan medium MRSA dan EMBA sebelum dan sesudah masa
inkubasi. Selain itu juga digunakan kontrol EPEC yang ditumbuhkan dalam media susu skim 10 tanpa penambahan isolat Lactobacillus. Tiga isolat
Lactobacillus yang memiliki penghambatan terbesar terhadap EPEC diikutsertakan dalam uji aktivitas antidiare menggunakan tikus percobaan.
3. Penentuan Dosis E. coli Patogenik yang Menyebabkan Tikus Diare Fitrial
2009; Oyetayo 2004
Pada penelitian pendahuluan dilakukan pemberian inokulum EPEC pada beberapa konsentrasi cfuml sehingga tikus menjadi diare ditandai dengan
feses yang cair. Tikus yang diare ditandai dengan feses yang lembek hingga berair, berukuran lebih besar, berwarna lebih pucat, sampai memiliki lapisan
lendir.
Pada penentuan dosis EPEC K1.1 yang dapat menimbulkan tikus diare tanpa menimbulkan kematian digunakan 20 ekor tikus yang terbagi dalam 4
kelompok, yaitu kelompok kontrol 5 ekor tikus yang hanya diberikan larutan fisiologis, kelompok tikus yang diberi EPEC sebanyak 10
8
cfuml 5 ekor tikus, kelompok tikus yang diberi EPEC sebanyak 10
7
cfuml 5 ekor tikus, dan kelompok tikus yang diberi EPEC sebanyak 10
6
cfuml 5 ekor tikus. Sebelum pemberian EPEC tikus diadaptasikan dahulu selama dua minggu
dengan pemberian ransum standar secara ad libitum dan air minum dalam kemasan AMDK. Pemberian EPEC dilakukan dengan cara disonde. Tikus
kelompok kontrol disonde dengan larutan fisiologis NaCl 0.85 yang digunakan sebagai media pengencer untuk bakteri EPEC. Pengamatan feses
tikus dilakukan sebelum perlakuan H0, sehari setelah perlakuan H1, dua hari setelah perlakuan H2, tiga hari setelah perlakuan H3, empat hari setelah
perlakuan H4, dan lima hari setelah perlakuan H5. Gambar 3 menunjukkan skema perlakuan dan pengamatan yang dilakukan di dalam uji dosis EPEC.
Gambar 3 Skema perlakuan dan pengamatan dalam uji dosis EPEC
Isolat EPEC dipersiapkan dengan menumbuhkannya dalam media Nutrient Broth selama 24 jam pada suhu inkubasi 37
o
C. Selanjutnya media
yang telah ditumbuhi EPEC disentrifugasi menggunakan alat sentrifuse berpendingin pada kecepatan 4000 rpm pada suhu 4
o
C selama 10 menit. Supernatan dipisahkan dan sel bakteri disuspensikan dalam larutan NaCl
0.85 dan diencerkan sampai didapatkan pengenceran yang sesuai dengan dosis menggunakan larutan NaCl 0.85.
4. Pengujian Aktivitas Antidiare Isolat Lactobacillus Asal ASI Oyetayo
2004; Ishida-Fuji et al. 2007
Tikus dibagi menjadi beberapa kelompok yang masing-masing terdiri dari 6 ekor tikus, yaitu kelompok tikus yang tidak diintervensi Lactobacillus
maupun EPEC kontrol negatif, kelompok tikus yang diintervensi EPEC tetapi tidak diintervensi isolat Lactobacillus kontrol EPEC, dan tiga kelompok tikus
yang diintervensi baik oleh EPEC maupun salah satu dari tiga isolat Lactobacillus.
Pemberian ransum standar dan air minum AMDK diberikan setiap hari secara ad libitum. Setelah dua minggu masa adaptasi yaitu hanya mendapat
ransum dan air minum, selanjutnya tikus percobaan kelompok perlakuan isolat Lactobacillus diintervensi dengan isolat Lactobacillus, jumlah isolat
Lactobacillus yang diberikan adalah sebanyak 10
9
CFU per hari, sedangkan kelompok kontrol EPEC dan negatif dicekok dengan larutan fisiologis selama 7
hari. Untuk melihat manfaat pencegahan diare, tikus percobaan kelompok perlakuan isolat Lactobacillus dan kelompok kontrol EPEC diintervensi
dengan EPEC pada H8. Intervensi Lactobacillus dan EPEC dilakukan dengan cara disonde. Tikus kelompok kontrol, yang tidak dicekok EPEC maupun
Lactobacillus kontrol negatif, dicekok dengan larutan fisiologis. Lebih jelasnya perlakuan tikus percobaan selama pengujian dapat dilihat pada Tabel
3. Evaluasi aktivitas antidiare isolat Lactobacillus terhadap tikus percobaan
dilakukan dengan mengamati: berat badan tikus setiap 2 hari
konsumsi ransum setiap hari konsistensi dan warna feses setiap hari
jumlah laktobasili dan E. coli feses sebelum perlakuan H0, setelah intervensi Lab selama 1 hari H1, setelah intervensi Lab selama 3 hari
H3, sebelum intervensi EPEC H7, 5 hari berturut-turut setelah intervensi EPEC H8, H9, H10, H11, dan H12
Jumlah laktobasili dan E. coli pada kolon dan sekum: pengamatan dilakukan 5 hari setelah intervensi EPEC H12. Skema perlakuan dan
pengamatan dalam uji aktivitas antidiare secara preventif dapat dilihat
pada Gambar 4.
Pengamatan kolon tikus dengan menggunakan SEM Scanning
Electron Microscope pada H12.
Gambar 4 Skema perlakuan dan pengamatan dalam uji aktivitas antidiare
Tabel 3 Perlakuan tikus percobaan selama pengujian antidiare preventif
Kelompok Perlakuan
Adaptasi H-13
sampai H0 H1 sampai
H7 H8
H9 sampai H12
Kontrol negatif
Hanya diberi
ransum dan air minum
Intervensi diganti
dengan disonde air
steril Intervensi
diganti dengan
disonde air steril
Intervensi diganti
dengan disonde air
steril Kontrol
EPEC Hanya
diberi ransum dan
air minum Intervensi
diganti dengan
disonde air steril
Diintervensi EPEC
Intervensi diganti
dengan disonde air
steril Perlakuan
isolat Lactobacillus
strain 1 Hanya
diberi ransum dan
air minum Diintervensi
Lactobacillus Diintervensi
Lactobacillus dan EPEC
Diintervensi Lactobacillus
Perlakuan isolat
Lactobacillus strain 2
Hanya diberi
ransum dan air minum
Diintervensi Lactobacillus
Diintervensi Lactobacillus
dan EPEC Diintervensi
Lactobacillus Perlakuan
isolat Lactobacillus
strain 3 Hanya
diberi ransum dan
air minum Diintervensi
Lactobacillus Diintervensi
Lactobacillus dan EPEC
Diintervensi Lactobacillus
a. Pengambilan dan Persiapan Sampel Feses Tikus
Feses tikus diambil secara aseptis langsung dari anus tikus dan ditampung dalam plastik steril. Pengambilan feses dilakukan pada
setiap tikus dalam tiap kelompok dan feses disatukan tiap dua ekor tikus untuk feses yang memiliki kriteria yang sama diare atau normal. Feses
kemudian dihomogenasikan dalam larutan garam fisiologis NaCl 0.85 dan diencerkan secara bertingkat.
b. Pengambilan dan Persiapan Sampel Sekum dan Kolon modifikasi
Blay et al. 1999; Krause et al. 1995
Sampel sekum dan kolon dari tikus dalam tiap kelompok diambil secara aseptis pada hari ke-13 saat pengataman H12 dengan cara
membedah tikus. Pengambilan sekum dan kolon dilakukan secara terpisah dan masing-masing diletakkan dalam cawan petri steril.
Selanjutnya isi sekum dan kolon masing-masing dikeluarkan dengan cara merobek sekum maupun kolon menggunakan gunting steril
kemudian mengeluarkan isinya menggunakan sudip steril. Isi sekum dan kolon masing-masing ditimbang. Isi sekum dan kolon tersebut
masing-masing kemudian dihomogenasikan dalam larutan garam fisiologis NaCl 0.85 dan diencerkan secara bertingkat.
c. Penghitungan Jumlah Laktobasili dan E. coli pada Feses, Sekum,
dan Kolon Tikus
Pengenceran yang sesuai pada feses, sekum, dan kolon tikus kemudian dipupukkan pada media Rogosa agar untuk menghitung
jumlah laktobasili Harrigan 1998 dan EMBA untuk menghitung jumlah E. coli Swanson et al. 2002. Untuk dapat membedakan letak
sekum dan kolon pada sistem pencernaan tikus dapat dilihat pada Gambar 5. Jumlah laktobasili dan E. coli pada kolon dan sekum pada
pengamatan H12 yang kemudian dianalisis dengan program SPSS 13.0 dan uji beda lanjut dengan uji Duncan.
Gambar 5 Skema saluran perncernaan tikus
Bagian kolon yang diambil
Bagian sekum yang diambil
d. Preparasi Spesimen Kolon Untuk Analisis SEM Scanning Electron
Microscope modifikasi Savage Blumershine 1974
Satu ekor tikus tiap kelompok dibedah dan diambil bagian kolonnya. Kolon dibersihkan dari isinya dengan cara diambil
menggunakan sudip steril kemudian kolon dipotong pendek sekitar 0.5 cm. Selanjutnya potongan kolon tersebut direndam dalam larutan 2
glutaraldehyde dalam buffer phosphate pada pH 7.3 dan suhu 4
o
C yang kemudian disimpan selama 2 hari tahap prefiksasi. Tahap ini
bertujuan untuk mematikan sel tanpa mengubah struktur sel yang akan diamati. Pada tahap fiksasi, sampel direndam dalam tannic acid 2
selama 6 jam, selanjutnya dicuci dengan cacodylate buffer selama 15 menit sebanyak 4 kali, kemudian dicuci dengan osmium tetraoksida 1
selama 1-4 jam dan dicuci dengan akuades selama 15 menit sebanyak 1 kali. Tahap ini terutama bertujuan untuk memberikan kontras yang
lebih baik sehingga lebih mudah untuk diamati. Pada tahap dehidrasi, sampel direndam dengan alkohol konsentrasi bertingkat, yaitu 50
selama 5 menit sebanyak 4 kali, 70 selama 20 menit, 85 selama 20 menit, 95 selama 20 menit, dan alkohol absolut selama 10 menit
sebanyak 2 kali. Tahap dehidrasi ini bertujuan untuk menurunkan kadar air dalam sayatan sehingga tidak mengganggu proses pengamatan.
Spesimen kemudian dibekukan dalam freezer sampai beku, selanjutnya dimasukkan freeze dryer sampai kering. Spesimen selanjutnya
direkatkan pada stub menggunakan perekat karbon, disepuh dengan emas metal coating. Pelapisan dengan emas ini bertujuan untuk
mempertinggi kontras terhadap sel. Sampel siap diamati dengan SEM.
e. Pewarnaan Gram Isolat Bakteri Hadioetomo 1993
Sebanyak 1 lup penuh air steril diletakkan pada kaca obyek, kemudian dengan jarum ose steril dipindahkan sedikit isolat ke atasnya,
selanjutnya dicampurkan dan disebarkan hingga rata dan dibiarkan olesan mengering oleh udara. Kaca obyek dilalukan di atas api Bunsen,
di mana kaca obyek harus terasa agak panas bila ditempelkan pada
punggung tangan, atau sekali-kali dikering anginkan di udara hingga terbentuk lapisan kultur yang tipis dan merata.
Pewarnaan Gram dimulai dengan meneteskan pewarna primer kristal violet secara merata di atas kultur pada kaca obyek, dan
dibiarkan selama 1 menit. Kemudian kaca obyek dimiringkan untuk membuang kelebihan kristal violet, lalu dibilas dengan air dari botol
pijit, dan sisa air diserap dengan menggunakan kertas serap. Olesan ditetesi dengan lugol selama 2 menit, kemudian dimiringkan seperti di
atas dan kemudian dibilas dengan air, sisa warna yang masih ada dihilangkan dengan pemucat warna etanol 95, tetes demi tetes selama
10-20 detik sampai zat warna kristal tidak terlihat lagi mengalir dari kaca obyek. Selanjutnya dicuci kembali dengan air dari botol pijit, lalu
ditiriskan dan ditetesi dengan larutan safranin selama 10-20 detik. Kaca obyek kemudian dimiringkan dan kembali dibilas dengan air dari botol
pijit, ditiriskan dan sisa air yang masih ada diserap dengan kertas serap. Preparat siap untuk diperiksa dengan mikroskop.
Pemeriksaan dengan
mikroskop dilakukan
dengan menggunakan lensa obyektif minyak imersi 1000x, dimulai dari
perbesaran yang terendah dan berangsur-angsur diganti dengan yang tinggi. Pengamatan dilakukan terhadap ukuran, bentuk, cara
pengelompokan tunggal, berpasangan, rantai, bergerombol, dan sebagainya. Reaksi Gram positif ditandai dengan warna sel ungu atau
biru dan Gram negatif berwarna merah muda.
IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pengujian Aktivitas Antibakteri Lactobacillus terhadap E. coli
Enteropatogenik EPEC K1.1
Pada pengujian pertama, yaitu kontak antara isolat Lactobacillus 10
6
cfuml dengan EPEC K1.1 10
5
cfuml, dari 19 isolat Lactobacillus yang diujikan hanya terdapat 5 isolat Lactobacillus yang dapat menurunkan jumlah E. coli 2 log
cfuml, yaitu isolat L. rhamnosus B16, L. rhamnosus R14, L. rhamnosus R21, L. rhamnosus R23, dan isolat R25, sedangkan untuk isolat L. rahmnosus R12, L.
rhamnosus R26, dan L. rhamnosus B10 jumlah E. coli meningkat hingga lebih dari 10
5
cfuml yaitu meningkat sekitar 1 log cfuml. Jika dibandingkan dengan kontrol EPEC dimana isolat EPEC K1.1 ditumbuhkan dalam susu skim 10 tanpa
penambahan isolat Lactobacillus, ketiga isolat Lactobacillus tersebut cukup dapat menghambat pertumbuhan E. coli, karena pada kontrol EPEC peningkatan
pertumbuhannya hingga sebesar 3,01 log cfuml. Untuk 11 isolat Lactobacillus lainnya dapat menghambat pertumbuhan EPEC K1.1, tetapi tidak lebih dari 2 log
cfuml. Hasil pengujian pertama aktivitas antibakteri Lactobacillus terhadap EPEC K1.1 dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6 Penurunan jumlah EPEC K1.1 oleh 19 isolat Lactobacillus 10
6
cfuml
Kelima isolat Lactobacillus yang dapat menurunkan jumlah E. coli sebesar 2 log cfuml dengan konsentrasi Lactobacillus sebesar 10
6
cfuml, yaitu L. rhamnosus B16, L. rhamnosus R14, L. rhamnosus R21, L. rhamnosus R23, dan
isolat R25 diujikan kembali dengan EPEC 10
5
cfuml tetapi dengan konsentrasi Lactobacillus sebesar 10
8
cfuml. Hal ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh Lactobacillus dengan konsentrasi 10
8
cfuml terhadap EPEC K1.1. Konsentrasi Lactobacillus yang tinggi ini digunakan dengan pertimbangan bahwa akan terjadi
penurunan sejumlah Lactobacillus di dalam saluran pencernaan karena adanya kondisi keasaman lambung dan garam empedu. Berdasarkan penelitian Nuraida et
al. 2007 menyatakan bahwa 19 isolat Lactobacillus yang digunakan dalam pengujian tersebut seluruhnya mengalami total penurunan oleh asam lambung dan
garam empedu sebesar 3 log cfuml dengan pengujian secara in vitro. Dengan pertimbangan tersebut, diharapkan kelima isolat Lactobacillus L. rhamnosus
B16, L. rhamnosus R14, L. rhamnosus R21, L. rhamnosus R23, dan isolat R25 dengan 10
8
cfuml maka akan masih terdapat sisa Lactobacillus yang bertahan kurang lebih 10
5
-10
6
cfuml yang masih dapat menurunkan EPEC K1.1 sebesar 2 log cfuml. Hasil pengujian tahap kedua antara kelima isolat Lactobacillus
konsentrasi 10
8
cfuml dengan EPEC K1.1 dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7 Penurunan jumlah EPEC K1.1 oleh 5 isolat Lactobacillus 10
8
cfuml
Dari hasil pengujian dengan menggunakan jumlah Lactobacillus kontak yang lebih besar 10
8
cfuml terdapat tiga isolat dengan nilai penghambatan
tertinggi terhadap EPEC K1.1, yaitu isolat L. rhamnosus R14, L. rhamnosus R23, dan L. rhamnosus B16. Ketiga isolat tersebut dapat menghasilkan penghambatan
terhadap EPEC K1.1 sekitar 3 log cfuml. Berdasarkan hasil tersebut diatas maka dipilih 3 isolat Lactobacillus yang akan digunakan dalam pengkajian aktivitas
antidiare secara preventif menggunakan hewan percobaan, yaitu L. rhamnosus R14, L. rhamnosus R23, dan L. rhamnosus B16.
Hasil tersebut juga berkorelasi dengan hasil penelitian Nuraida et al. 2007 yang menyatakan bahwa ketiga isolat BAL tersebut memiliki daya penghambatan
yang cukup baik terhadap E. coli dengan menggunakan metode difusi agar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa isolat L. rhamnosus R14 menghasilkan diameter
penghambatan sebesar 2,8 mm, L. rhamnosus R23 menghasilkan diameter penghambatan sebesar 3,6 mm, dan L. rhamnosus B16 menghasilkan diameter
penghambatan sebesar 4,1 mm. Efektifitas penghambatan terhadap mikroba tertentu dapat bersifat
menginaktifkan, merusak, atau menghancurkan sel yang berlanjut ke arah kematian. Menurut Pelczar dan Chan 1986, senyawa antimikroba dapat
digunakan untuk menghambat pertumbuhan mikroba atau membunuh mikroba dengan mekanisme berupa perusakan dinding sel dengan cara menghambat proses
pembentukannya atau menyebabkan lisis pada dinding sel yang sudah terbentuk, dan perubahan permeabilitas membran sitoplasma sehingga terjadi kebocoran
nutrisi dari dalam sel. Dengan rusaknya membran sitoplasma akan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan atau matinya sel.
Ada beberapa senyawa yang dihasilkan oleh bakteri asam laktat yang bersifat antimikroba, diantaranya adalah asam-asam organik, hidrogen peroksida,
dan senyawa protein atau kompleks spesifik yang disebut bakteriosin Ouwehand Vesterland 2004. Dalam penelitian ini tidak diidentifikasi jenis senyawa
antimikroba yang dihasilkan oleh galur-galur Lactobacillus yang digunakan, tetapi beberapa penelitian telah membuktikan bahwa BAL menghasilkan beberapa
senyawa yang menghambat pertumbuhan mikroba. Asam laktat dan asam asetat adalah salah satu senyawa antimikroba yang dihasilkan oleh BAL. Akan tetapi,
BAL yang digunakan dalam penelitian ini seluruhnya merupakan Lactobacillus homofermentatif, dimana BAL homofermentatif ini memecah gula terutama
menjadi asam laktat sehingga dapat diprediksikan bahwa asam yang dihasilkan oleh Lactobacillus homofermentatif dan diduga memiliki kemampuan sebagai
antimikroba adalah asam laktat. Bakteri asam laktat memproduksi asam organik asam laktat, asam format,
dan asam asetat, diasetil, hidrogen peroksida, karbondioksida, dan bakteriosin yang berpotensi untuk menghambat beberapa mikroorganisme lain Davidson
Hoover 1993. Sebagian besar bakteri asam laktat telah dilaporkan dapat menginaktivasi bakteri patogen serta menghambat pertumbuhan kapang dan
beberapa substansi antibakteri telah berhasil diisolasi Gourama Bullerman 1995.
Asam akan menyebabkan penurunan pH di bawah kisaran pH pertumbuhan bakteri, di mana asam-asam ini dalam bentuk tidak terdisosiasi yang dapat
berdifusi secara pesat ke dalam sel mikroba. Menurut Ostling dan Lindgren 1990 asam tidak terdisosiasi akan terurai menjadi anion dan proton, di mana
proton H
+
akan masuk ke dalam sel, akibatnya fungsi metabolisme akan terganggu seperti terjadinya pengasaman sitoplasma, penghambatan transfer
substrat, sintesis makromolekul, yang secara keseluruhan pertumbuhan bakteri akan dihambat.
Salah satu senyawa antimikroba yang dihasilkan BAL adalah bakteriosin yang merupakan senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan pada fase stasioner
yaitu rata-rata setelah 24 jam inkubasi. Bakteriosin berperan lebih baik apabila bakteri asam laktat terus-menerus dikonsumsi sehingga mampu melekat pada sel
epitelial dan mengkoloni di permukaan usus. Perjalanan makanan maupun bakteri hanya membutuhkan waktu kira-kira 12 jam dari mulut ke rektum, sehingga
konsumsi bakteri probiotik harus dilakukan secara rutin setiap hari Surono 2004. Beberapa jenis bakteriosin yang dihasilkan oleh spesies laktobasili, yaitu
L.acidophilus menghasilkan lactatin Barefoot Klaenhammer 1983; Muriana Klaenhammer 1991, L.plantarum menghasilkan plantaricin Franz et al. 1998,
dan L.sake menghasilkan sakacin Schillinger Lucke 1989. Menurut Dover et al. 2007, menyatakan bahwa bakteriosin yang dihasilkan oleh Lactobacillus
rhamnosus adalah lactocin.
B. Penentuan Dosis E. coli Patogenik yang Menyebabkan Tikus Diare