2.1.4. Diagnosis
Selama beberapa dekade, diabetes didiagnosis berdasarkan kriteria glukosa plasma, baik glukosa plasma puasa atau nilai 2-h 75-
g oral glucose tolerance test OGTT. Pada tahun 1997, kriteria diagnostik direvisi oleh Expert Committee on the Diagnosis and
Classification of Diabetes Mellitus dengan mengobservasi hubungan antara kadar glukosa dan munculnya retinophaty. Analisis itu
menghasilkan nilai diagnostik yang baru yaitu ≥126 mgdl 7.0
mmoll untuk glukosa plasma puasa dan ditegaskan dengan nilai glukosa plasma 2 jam setelah puasa
≥200 mgdl 11.1 mmoll.
Dengan semakin terstandarisasinya pemeriksaan HbA1C dan hasilnya yang dapat diterapkan pada seluruh populasi, maka ADA
menyetujui untuk menggunakan HbA1C sebagai tes untuk mendiagnosa DM dengan nilai
≥6.5 tabel 1.
3
Tabel 2.1. Kriteria Diagnosa untuk Diabetes
3
1. A1C
≥6.5. Pemeriksaan harus dilakukan di laboratorium mengunakan metode yang disertifikasi oleh NGSP dan sesuai standar
pemeriksaan DCCT. 2.
Glukosa Plasma Puasa ≥126 mgdl 7.0 mmoll. Puasa didefinisikan
dengan tidak ada intake kalori selama minimal 8 jam.
3. Glukosa Plasma Dua-jam
≥200 mgdl 11.1 mmoll dengan OGTT.
Pemeriksaan harus dilakukan sesuai ketetapan WHO, menggunakan glukosa yang setara dengan 75 g glukosa anhydrous yang dilarutkan
dalam air.
4. Pasien dengan gejala klasik dari hiperglikemia atau krisis hiperglikemik,
glukosa plasma random ≥200 mgdl 11.1 mmoll.
Jika tidak ada hiperglikemi yg tegas, criteria 1-3 harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan ulang.
Universitas Sumatera Utara
2.1.5. Patofisiologi
DM tipe 2 dikarakteristikkan dengan sekresi insulin yang terganggu, resistensi insulin, produksi glukosa hepatik yang
berlebihan, dan metabolisme lemak abnormal.
1,5
Sebagian besar pasien diabetes mellitus tipe 2 memiliki berat badan berlebih.
5,27
Obesitas terjadi karena disposisi genetik, asupan makanan yang terlalu banyak, dan aktifitas fisik yang terlalu sedikit.
4,5,27
Ketidakseimbangan antara suplai dan pengeluaran energi meningkatkan konsentrasi asam lemak di dalam darah, akan
menurunkan penggunaan glukosa di otot dan jaringan lemak.
27
Pada tahap awal, toleransi glukosa akan tetap mendekati-normal,
meskipun resistensi insulin, karena sel beta pancreas mengimbanginya dengan meningkatkan produksi insulin. Seiring
dengan berkembangnya resistensi insulin dan kompensasi hiperinsulinemia, sel-sel beta pancreas pada individu tertentu tidak
dapat mempertahankan kondisi hiperinsulinemia. Impaired Glucose Tolerance IGT, ditandai dengan meningkatnya
glukosa postprandial, akan berkembang. Penurunan sekresi insulin dan
peningkatan produksi glukosa hepatik memicu timbulnya diabetes dengan hiperglikemia puasa. Akhirnya, kegagalan sel beta dapat
terjadi.
5
2.1.5.1. Metabolisme Abnormal
Resistensi insulin, menurunnya kemampuan insulin untuk bekerja pada jaringan target terutama otot, hati dan
lemak, merupakan ciri yang menonjol dari DM tipe 2 dan dihasilkan dari kombinasi disposisi genetic dan obesitas.
Resistensi insulin mengurangi penggunaan glukosa oleh jaringan yang sensitive-insulin dan meningkatkan keluaran
Universitas Sumatera Utara
glukosa hepatic; efek keduanya menimbulkan
hiperglikemia.
1,5
Gambar 2.1. Skema sederhana jalur sintesis hexosamine. Panah hitam menunjukkan bahwa aliran kedalam jalur sintesis dapat ditingkatkan dengan meningkatkan glukosa yang masuk
atau menghambar glikolisis.
6
Mekanisme tepat bagaimana timbulnya resistensi insulin pada DM tipe 2 belum dapat dijelaskan. Beberapa
laboratorium mengusulkan bahwa jalur sintesis hexosamine HSP berperan dalam perkembangan resistensi insulin dan
komplikasi vaskular pada diabetes. Pada sistem ini terjadi modifikasi protein posttranslational, dimana N-
acetylgalactosamine GlcNAc diubah menjadi O-linkage O-GlcNAc, yang bagian modifikasinya O-
GlcNAcylation berdekatan dengan bagian posporilasi, menunjukkan adanya fungsi regulasi. Fungsi signifikan dari
O-GlcNAcylation telah dilaporkan pada beberapa protein, termasuk pada insulin receptor substrates IRS-1 dan 2
juga mungkin pada GLUT4. Modifikasi reversibel inilah yang diusulkan oleh banyak peneliti sebagai mekanisme
yang menyebabkan peningkatan aktifitas HSP dapat menyebabkan insulin resisten dan komplikasi diabetes.
6
Universitas Sumatera Utara
Obesitas pada DM tipe 2 juga merupakan bagian dari proses patogenik. Meningkatnya massa
adipocyte menyebabkan meningkatnya jumlah asam lemak bebas dan
produk sel lemak lainnya yang bersirkulasi. Selain mengatur berat badan, selera makan, dan pengeluaran
energy, adipokines sitokin jaringan lemak juga mengatur sensitivitas insulin. Peningkatan produksi asam lemak bebas
dan beberapa adipokines dapat menyebabkan resistensi insulin pada otot rangka dan hati. Dengan kata lain, asam
lemak bebas mengurangi penggunaan glukosa di otot rangka, memicu produksi glukosa oleh hati, dan merusak
fungsi sel beta. Sebaliknya, produksi adiponectin peptide peka-insulin oleh adipocyte menurun pada obesitas dan
berkontribusi pada terjadinya resistensi insulin hepatik. Produk-produk adipocyte dan adipokines juga menciptakan
keadaan inflamasi dan dapat menjelaskan kenapa penanda inflamasi seperti IL-6 dan C-reaktive protein sering
meningkat pada DM tipe 2.
1,5
2.1.5.2. Sekresi Insulin Berkurang
Sekresi dan sensitifitas insulin saling berhubungan. Pada DM tipe 2, sekresi insulin awalnya meningkat sebagai
respon terhadap resistensi insulin untuk mempertahankan toleransi glukosa yang normal. Awalnya, defek sekresi
insulin ringan dan hanya melibatkan sekresi insulin yang distimulasi glukosa. Akhirnya, defek sekresi insulin
berlanjut ke tahap dimana sekresi insulin sangat tidak adekuat.
Alasan menurunnya kapasitas sekresi insulin pada DM tipe 2 masih belum jelas. Asumsinya adalah terdapat defek
genetic kedua—bertumpang tindih dengan resistensi
1,5
Universitas Sumatera Utara
insulin—menuju pada kegagalan sel beta. Lingkungan metabolik diabetes juga memiliki pengaruh negatif terhadap
fungsi islet. Contohnya, hiperglikemia kronis akan melemahkan fungsi islet
“glucose toxicity” dan memperburuk hiperglikemia. Perbaikan kontrol glikemik
berhubungan dengan perbaikan fungsi islet. Dan juga, peningkatan jumlah asam lemak bebas “lipotoxicity” dan
lemak makanan dapat juga memperburuk fungsi islet. Massa sel beta menurun pada individu dengan DM tipe 2
yang telah berlangsung lama.
1,5
2.1.5.3. Peningkatan Produksi Glukosa Hepatik dan Lipid
Pada DM tipe 2, resistensi insulin di hati menggambarkan kegagalan hiperinsulinemia untuk
menekan glukoneogenesis. Akibat resistensi insulin di jaringan lemak dan obesitas, aliran asam lemak bebas dari
adipocyte meningkat, menyebabkan meningkatnya sintesa lemak [very low density lipoprotein VLDL dan
trigliserida] di hati.
5,27
Gambar 2.2. Patofisiologi Terjadinya Diabetes Mellitus Tipe 2.
27
Universitas Sumatera Utara
2.1.6. Komplikasi
Kelainan metabolik pada defisiensi insulin yang tidak diterapi secara adekuat akan menyebabkan perubahan yang luas dan
ireversibel di dalam tubuh. Di dalam sel glukosa direduksi menjadi sorbitol dan tidak
dapat melalui membrane sel. Penumpukan sorbitol di dalam sel menyebabkan pembengkakan sel A1, di lensa mata hal ini akan
menimbulkan katarak A2, pada sel Schwann dan neuron akan mengurangi konduksi saraf polineuropati, terutama system saraf
otonom, reflex dan fungsi sensorik A3.
27
Sel yang tidak dapat mengambil cukup glukosa akan menyusut akibat hiperosmolaritas ekstrasel A4, fungsi sel limposit yang
menyusut akan terganggu dan tubuh rentan terhadap infeksi A5.
27
Hiperglikemi meningkatkan pembentukan protein plasma yang mengandung gula, seperti fibrinogen, haptoglobin, macroglobulin-
α
27
2
serta factor pembekuan V-VIII A6, yang meningkatkan viskositas darah sehingga meningkatkan resiko trombosis.
Glycoprotein, atau dikenal juga sebagai glikosilasi lanjut produk akhir AGE merupakan komponen normal yang ada di
membrane basalis pembuluh darah kecil dan kapiler. Peningkat konsentrasi glukosa intraseluler yang dihubungkan dengan kadar
gula darah yang tidak terkontrol pada diabetes mendukung pembentukan AGEs.
27
1
Penumpukan AGEs ini menyebabkan gangguan
struktur membrane basalis dengan penurunan permeabilitas dan penyempitan lumen A7.
1,27
Pada retina menyebabkan timbulnya retinopati A8, di ginjal akan terjadi
glomerulosklerosis yang menyebabkan proteinuria, penurunan laju filtrasi glomerulus akibat kehilangan glomerulus, hipertensi dan
gagal ginjal A9.
27
Universitas Sumatera Utara
Bersama dengan peningkatan VLDL, peningkatan viskositas darah, dan hipertensi mendorong terjadinya makroangiopati
A10. Akhirnya, glukosa dapat bereaksi dengan hemoglobin HbA
untuk membentuk HbA1C, yang peningkatan konsentrasinya di dalam darah menunjukkan keadaan hiperglikemia yang telah
berlangsung lama. HbA1C memiliki afinitas yang tinggi terhadap oksigen, sehingga sukar melepas oksigen di perifer A11. Defisiensi
insulin yang menetap selanjutnya menyebabkan penurunan konsentasi 2,3-bifosfogliserat BPG, sehingga memperkuat afinitas
hemoglobin terhadap oksigen.
5,27
27
Gambar 2.3. Komplikasi Diabetes Mellitus Tipe 2.
27
Universitas Sumatera Utara
2.2. TROMBOSIT
2.2.1. Produksi Trombosit
Trombosit, dihasilkan dari megakariosit sumsum tulang, sebuah sel raksasa yang memiliki 8-32 inti hasil dari pembelahan inti
tanpa disertai pembelahan sel,
2
yang memiliki ukuran 1-2µm. Prekursor megakariosit, megakarioblast, muncul melalui
proses diferensiasi dari sel induk hemopoetik. Megakariosit mengalami pematangan dengan replikasi inti endomitotik yang
sinkron, memperbesar volume sitoplasma sejalan dengan penambahan lobus inti menjadi kelipatan duanya. Pada berbagai
stadium dalam perkembangannya paling banyak pada stadium inti delapan, sitoplasma menjadi granular dan trombosit dilepaskan.
Produksi trombosit mengikuti pembentukan mikrovesikel dalam sitoplasma sel yang menyatu membentuk membrane pembatas
trombosit. tiap sel megakariosit menghasilkan 1000-1500 trombosit. Sehingga diperkirakan akan dihasilkan 35.000ul trombosit per hari.
Interval waktu semenjak diferensiasi sel induk sampai produksi trombosit berkisar sekitar 10 hari.
10
Trombopetin adalah pengatur utama produksi trombosit, dihasilkan oleh hati dan ginjal. Trombopetin meningkatkan jumlah
dan kecepatan maturasi megakariosit.
2,28,29
Jumlah trombosit normal adalah sekitar 250 x 10
2,30,31 9
l rentang 150-400 x 10
9
l dan lama hidup trombosit yang normal adalah 7-10 hari. Hingga sepertiga dari trombosit produksi sumsum tulang dapat
terperangkap dalam limpa yang normal, tetapi jumlah ini meningkat menjadi 90 pada kasus splenomegali berat.
2,30,32
2.2.2. Morfologi
Glikoprotein permukaan sangat penting dalam reaksi adhesi dan agregasi trombosit. Adhesi pada kolagen difasilitasi oleh
glikoprotein Ia GP Ia. Glikoprotein Ib dan IIbIIIa penting dalam
Universitas Sumatera Utara
perlekatan trombosit pada von Willebrand factor VWF dan subendotel vascular. Reseptor IIbIIIa juga merupakan reseptor
untuk fibrinogen yang penting dalam agregasi trombosit.
30,31,32
Membran plasma berinvaginasi ke bagian dalam trombosit untuk membentuk suatu sistem membrane kanalikular terbuka yang
menyediakan permukaan reaktif yang luas tempat protein koagulasi plasma diabsorbsi secara selektif. Fosfolipid membran faktor
trombosit 3 sangat penting dalam konversi faktor X menjadi Xa dan protrombin faktor II menjadi thrombin faktor IIa.
Di bagian dalam trombosit terdapat kalsium, nukleotida terutama ADP, ATP dan serotonin yang terkandung dalam granula
padat. Granula alfa mengandung antagonis heparin, faktor pertumbuhan PDGF, β-tromboglobulin, fibrinogen, vWF. Organel
spesifik lain meliputi lisosom yang mengandung enzim hifrolitik, dan peroksisom yang mengandung katalase. Selama reaksi
pelepasan, isi granula dikeluarkan ke dalam sistem kanalikular.
30,31,32
30,31,32
2.2.3. Fungsi Trombosit
Fungsi utama trombosit adalah pembentukan sumbat mekanik selama respon hemostasis normal terhadap cedera vascular. Tanpa
Gambar 2.4. Gambaran Skematik Morfologi Trombosit.
12
Universitas Sumatera Utara
trombosit, dapat terjadi kebocoran darah spontan melalui pembuluh darah kecil. Reaksi trombosit berupa adhesi, sekresi, agregasi dan
fusi serta aktivitas prokagulannya sangat penting untuk fungsinya.
32,33,34
2.2.4. Pembentukan Sumbat Trombosit
Agar dapat terjadi hemostasis primer yang normal, dan agar trombosit memenuhi tugasnya membentuk sumbat trombosit inisial,
maka harus terdapat trombosit dalam jumlah memadai di dalam sirkulasi, dan trombosit tesebut harus berfungsi normal. Fungsi
hemostasis normal memerlukan peran serta trombosit yang berlangsung secara teratur, yang penting dalam pembentukan sumbat
hemostatik primer. Hal ini melibatkan, pada awalnya, adhesi trombosit, agregasi trombosit dan akhirnya reaksi pembebasan
trombosit disertai rekrutmen trombosit lain.
32,34-38
Gambar 2.5. Fungsi normal trombosit.
2.2.4.1. Adhesi Trombosit
39
Setelah cedera pembuluh darah, trombosit melekat pada jaringan ikat subendotel yang terbuka. Trombosit menjadi
aktif apabila terpajan ke kolagen subendotel dan bagian jaringan yang cedera. Adhesi trombosit melibatkan suatu
interaksi antara glikoprotein membrane trombosit dan
Universitas Sumatera Utara
jaringan yang terpajan atau cedera. Adhesi trombosit bergantung pada faktor protein plasma yang disebut faktor
von Willebrand, yang memiliki hubungan yang integral dan kompleks dengan faktor koagulasi antihemofilia VIII
plasma dan reseptor trombosit yang disebut glikoprotein Ib membrane trombosit. Adhesi trombosit berhubungan
dengan peningkatan daya lekat trombosit sehingga trombosit berlekatan satu sama lain serta dengan endotel
atau jaringan yang cedera. Dengan demikian, terbentuk sumbat hemostatik primer atau inisial. Pengaktifan
permukaan trombosit dan rekrutmen trombosit lain menghasilkan suatu massa trombosit lengket dan
dipermudah oleh proses agregasi trombosit.
33,34,40,41
2.2.4.2. Aggregasi Trombosit
Agregasi adalah kemampuan trombosit melekat satu sama lain untuk membentuk suatu sumbat. Agregasi awal
terjadi akibat kontak permukaan dan pembebasan ADP dari trombosit lain yang melekat ke permukaan endotel. Hal ini
disebut gelombang agregasi primer. Kemudian, seiring dengan makin banyaknya trombosit yang terlibat, maka
lebih banyak ADP yang dibebaskan sehingga terjadi gelombang agregasi sekunder disertai rekrutmen lebih
banyak trombosit. Agregasi berkaitan dengan perubahan bentuk trombosit dari discoid menjadi bulat. Gelombang
agregasi sekunder merupakan suatu fenomena ireversibel, sedangkan perubahan bentuk awal dan agregasi primer
masih reversible. In vitro, agregasi dapat dipicu dengan reagen ADP,
thrombin, epinefrin, serotonin, kolagen atau antibiotik ristosetin.
33,34,40,41
Universitas Sumatera Utara
Agregasi in vitro juga terjadi dalam dua fase; aggregasi primer atau reversible dan agregasi sekunder atau
ireversibel. Pengikatan ADP yang dibebaskan dari trombosit aktif
ke membrane trombosit akan mengaktifkan enzim fosfolipase, yang menghidrolisis fosfolipid di membrane
trombosit untuk menghasilkan asam arakidonat. Asam arakidonat adalah precursor mediator kimiawi yang sangat
kuat baik pada agregasi maupun inhibisi agregasi yang terlibat dalam jalur prostaglandin. Melalui proses ini, asam
arakidonat diubah di sitoplasma trombosit oleh enzim siklooksigenase menjadi endoperoksida siklik, PGG2 dan
PGH2. Stimulator kuat untuk agregasi trombosit, senyawa tromboksan A2, dihasilkan oleh kerja enzim tromboksan
sintetase pada berbagai endoperoksidase siklik ini. Tromboksan A2 adalah senyawa yang sangat aktif, tetapi
tidak stabil yang mengalami penguraian menjadi tromboksan B2 yang stabil dan inaktif. Tromboksan A2
juga merupakan vasokonstriktor kuat yang akan mencegah pengeluaran darah lebih lanjut dari pembuluh yang
rusak.
33,34,40,41
2.2.4.3. Reaksi Pembebasan
Pemajanan kolagen atau kerja thrombin menyebabkan sekresi isi granul trombosit yang meliputi ADP, serotonin,
fibrinogen, enzim lisosom, β-tromboglobulin dan factor trombosit 4. Kolagen dan thrombin mengaktifkan sintesis
prostaglandin trombosit. Terjadi pelepasan diasilgliserol yang mengaktifkan fosforilasi protein melalui protein
kinase C dan inositol trifosfat menyebabkan pelepasan ion
Universitas Sumatera Utara
kalsium intrasel menyebabkan terbentuknya tromboksan A2.
Agregasi primer melibatkan perubahan bentuk trombosit dan disebabkan oleh kontraksi mikrotubulus.
Gelombang agregasi trombosit sekunder melibatkan terutama pelepasan mediator-mediator kimiawi yang
terdapat di dalam granula padat. Pelepasan ini melengkapi fungsi utama ketiga trombosit, yaitu reaksi pembebasan.
Reaksi pembebasan diperkuat oleh peningkatan kalsium intrasel, yang semakin mengaktifkan dan meningkatkan
pembebasan tromboksan A2. Tromboksan A2 memperkuat agregasi trombosit serta mempunyai aktivitas vasokonstriksi
yang kuat. Reaksi pelepasan dihambat oleh zat-zat yang meningkatkan kadar cAMP trombosit, salah satunya adalah
prostasiklin PGI2 yang disintesis oleh sel endotel vascular. Prostasiklin merupakan inhibitor agregasi
trombosit yang kuat dan mencegah deposisi trombosit pada endotel vascular normal.
33,34,41
33,34,41
2.2.4.4. Aktifitas Prokoagulan Trombosit
Setelah agregasi trombosit dan reaksi pelepasan, fosfolipid membrane yang terpajan factor trombosit 3
tersedia untuk 2 jenis reaksi dalam kaskade koagulasi. Kedua reaksi yang diperantarai fosfolipid ini bergantung
pada ion kalsium. Reaksi pertama tenase melibatkan faktor IXa, VIIIa dan X dalam pembentukan faktor Xa.
Reaksi kedua protrombinase menghasilkan pembentukan thrombin dari interaksi factor Xa, Va dan protrombin.
Permukaan fosfolipid membentuk cetakan yang ideal untuk konsentrasi dan orientasi protein-protein tersebut yang
penting.
34,36,41
Universitas Sumatera Utara
2.2.4.5. Aggregasi Trombosit Ireversibel
Konsentrasi ADP yang tinggi, enzim yang dilepaskan selama reaksi pelepasan dan protein kontraktil trombosit
menyebabkan fusi yang irreversible pada trombosit yang beragregasi [ada lokasi cedera vascular. Trombin juga
mendorong terjadinya fusi trombosit, dan pembentukan fibrin memperkuat stabilitas sumbat trombosit yang
terbentuk.
34,36,41
2.2.5. Trombosit pada Diabetes Mellitus
Gangguan fungsi trombosit pada pasien dengan DM dapat disebabkan oleh beberapa mekanisme, seperti hiperglikemia,
defisiensi insulin, kondisi metabolik yang menyertai, dan abnormalitas seluler lainnya. Hiperglikemia dapat meningkatkan
reaktifitas trombosit melalui glikasi protein permukaan trombosit mengganggu aliran membrane dan oleh karena itu meningkatkan
adhesi trombosit, mengaktifkan protein kinase C mediator aktifasi trombosit, merangsang ekspresi P-selectin protein adhesi
permukaan dan efek osmotiknya. Defisiensi insulin juga memegang peranan penting dalam gangguan fungsi trombosit melalui
mekanisme berbeda, yaitu yang tergantung sindroma resistensi insulin IRS-dependent, seperti meningkatnya konsentrasi kalsium
intraseluler yang mempercepat degranulasi trombosit dan aggregasi trombosit, dan faktor lain yang tidak tergantung IRS, seperti
terganggunya respon terhadap NO dan PGI
2
, yang meningkatkan reaftifitas trombosit. Kondisi metabolic yang sering menyertai DM
juga berperan pada hiperreaktifitas trombosit, termasuk obesitas, dislipidemia, dan meningkatnya inflamasi sistemik. Obesitas, juga
berperan dalam disfungsi trombosit, terutama dalam adhesi dan aktifasi, akibat mekanisme seperti meningkatnya konsentasi kalsium
Universitas Sumatera Utara
sitosolik. Abnormalitas profil lemak, khususnya trigliserida, juga mempengaruhi reaktifitas trombosit melalui mekanisme yang
berbeda, termasuk merangsang terjadinya disfungsi endotel. Disfungsi endotel merupakan karakteristik DM, yang meningkatkan
reaktifitas trombosit dengan menurunkan produksi NO dan PGI
2
dan memicu timbulnya keadaan prothrombotic melalui peningkatan
produksi tissue factor TF. Pasien dengan DM menunjukkan abnormalitas trombosit lainnya yang dapat meningkatkan adhesi dan
aktifasi trombosit, seperti: meningkatnya ekspresi protein permukaan P-selectin dan GP IIbIIIa, bertambahnya konsentrasi kalsium
sitosolik, meningkatnya signalling P2Y
12
, meningkatnya turnover trombosit, dan oxidative stress, yang memicu produksi berlebihan
oksigen dan nitrogen reaktif.
10
Aktifasi dari jalur nuclear transcription factor-
κB NF-κB juga menyebabkan perubahan fungsi endotel kearah prothrombotic, yang bersama dengan
gangguan metabolisme trombosit dan perubahan jalur sinyal intratrombosit, menyebabkan terjadinya komplikasi aterothrombotic
pada DM. Telah diterima secara umum bahwa pada diabetes distribusi
volume trombosit perifer melebar dan bergeser kea rah trombosit yang lebih besar.
42
43
Trombosit yang lebih besar dan lebih muda dianggap lebih reaktif. Distribusi volume trombosit biasa diukur
sebagai mean platelet volume berkorelasi positif dengan jumlah reseptor glikoprotein trombosit GPIb dan GPIIbIIIa pada
membrane trombosit, kapasitas sintesa tromboxan dan kandungan granul trombosit dari berbagai protein spesifik trombosit.
44
Hal ini dianggap mencerminkan sistem megakariosit-trombosit yang aktif
dan meningkatnya turnover. Megakariosit bereaksi terhadap perubahan lingkungan seperti dyslipoproteinemia. Karenanya,
ketidakseimbangan endokrin pada DM sepertinya berperan penting. Insulin mempengaruhi ukuran dan maturasi megakariosit pada
Universitas Sumatera Utara
kultur, yang mengindikasikan kemungkinan pengaruh insulin pada siklus endomitotik megakariosit.
43
Gambar 2.6. Mekanisme Terjadinya Disfungsi Trombosit Pada Diabetes Mellitus.
Penelitian sistem megakariosit-trombosit pada saat diabetes timbul dan pada kondisi penggunaan insulin jangka panjang pada tikus
dewasa, menunjukkan peningkatan rekrutmen sel-sel progenitor bersama dengan konsumsi megakariosit matang dengan ploid yang
lebih tinggi merupakan penjelasan terjadinya peningkatan ukuran dan jumlah, juga ekspresi GPIIbIIIa, pada onset diabetes dan setelah
terapi insulin. Percepatan maturasi megakariosit, bersama dengan dilepasnya sejumlah besar trombosit besar, mencerminkan efek
tambahan insulin yang diperantarai oleh berbagai sitokin.
9
43
Universitas Sumatera Utara
2.3. TES FUNGSI TROMBOSIT
Tes fungsi trombosit dimulai dengan dilakukannya bleeding time in vivo oleh Duke pada tahun 1910,
45
dan masih dianggap sebagai tes penyaring fungsi trombosit yang paling bermanfaat hingga awal tahun 1990-
an.
46-48
Selama 10-15 tahun terakhir ini, penggunaan bleeding time sudah semakin menurun karena telah diketahui keterbatasannya dan
berkembangnya tes penyaring lain yang tidak terlalu invasive. Pada tahun 1960-an ditemukan alat pengukur aggregasi trombosit
light transmission aggregometry [LTA] yang kemudian merubah cara identifikasi dan diagnosis dari kelainan hemostasis primer.
49-50
51,53
LTA masih dianggap sebagai gold standard untuk pemeriksaan fungsi trombosit dan,
dengan menambahkan agonis dalam beberapa konsentrasi berbeda pada trombosit yang diaduk stirred, memungkinkan untuk mendapatkan banyak
informasi dari berbagai aspek yang berbeda pada fungsi dan biokimia trombosit.
15
Walaupun LTA telah menjadi gold standard yang tidak tergantikan untuk mendiagnosis kelainan-kelainan yang berkaitan dengan trombosit,
juga diketahui dengan baik bahwa LTA tidak menggambarkan fungsi trombosit seperti pada kondisi invivo dengan akurat, dan penggunaannya
masih terbatas pada laboratorium-laboratorium umum. Meskipun banyak peneliti yang telah menggunakan flow chambers dan mikroskop untuk
mempelajari perilaku trombosit pada keadaan yang menyerupai kondisi in vivo, tes ini masih terbatas pada laboratorium khusus tertentu saja dan tidak
ideal untuk digunakan sebagai tes rutin. Hal ini, ditambah dengan kekurangan LTA dan bleeding time, membuka jalan untuk berkembangnya
model alat pengukur aggregasi trombosit yang mudah digunakan.
15
2.3.1. Light Transmission Aggregometer LTA
2.3.1.1. Prinsip Pemeriksaan
Tahun 1962 O`Brien dan Born menemukan instrument untuk mengukur aggregasi trombosit yang memakai dasar
Universitas Sumatera Utara
turbidimetri
45
, dan memanfaatkan prinsip bahwa absorben dari suatu suspensi tergantung pada jumlah partikel bukan
ukuran. Darah sodium sitrat diputar menggunakan centrifuge berkecepatan rendah 850g selama 3 menit atau
100g selama 10 menit untuk mendapatkan platelet-rich plasma PRP yang dianggap sebagai 0 aggregasi. PRP
kemudian dipindahkan ke cuvet dengan stirrer dan diaduk 900-1200 rpm selagi ditambahkan agonis pada suhu 37
C. Saat aggregasi terbentuk, jumlah partikel berkurang dan
transmisi cahaya meningkat. Platelet-poor plasma PPP digunakan sebagai blank untuk aggregometer, dianggap
sebagai 100 aggregasi.
39
Gambar 2.7. Respon trombosit yang diukur dalam cuvette aggregometer
gambar 2.7.
53
Untuk mengukur persentasi aggregasi yang terjadi, jarak antara baseline dan 100 aggregasi B diukur dan
dibandingkan dengan jarak antara baseline dengan amplitudo maksimum yang terbentuk A. Pembagian nilai
A dengan B merupakan persentasi maksimal aggregasi gambar 2.8.
54
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.8. Perhitungan persentasi aggregasi trombosit.
54
Agonis yang berbeda akan menghasilkan pola agregasi yang berbeda. Pola agregasi yang tercatat merupakan kurva
waktu vs optical density OD, yang dapat memperlihatkan lag phase, shape phase, dan gelombang pertama dan kedua
dari proses aggregasi gambar 2.9.
55
Gambar 2.9. Tahapan aggregasi trombosit.
55
Universitas Sumatera Utara
Pola aggregasi trombosit dikenal dengan istilah respon primer trombosit yang timbul akibat penambahan agonis
eksogen seperti ADP, diikuti oleh respon sekunder yang timbul dari pelepasan adenine nukleotida yang terdapat
dalam dense granul trombosit. Respon tersebut dikenal sebagai gelombang pertama dan kedua gambar 2.10.
Respon bifasik ini dapat tidak terlihat pada penambahan agonis konsentrasi tinggi.
54
53
Gambar 2.10. Pola biphasic pada aggregasi trombosit.
54
2.3.1.2. Variabel Pemeriksaan Aggregasi Trombosit
2.3.1.2.1. Venapuncture
Pengambilan sampel darah pada orang dewasa dianjurkan untuk menggunakan jarum dengan
ukuran 18-20G, sedang pada anak-anak menggunakan jarum berukuran 23-25G.
Pengambilan sampel menggunakan syringe lebih dianjurkan dari vacutainer.
54
Peningkatan respon terhadap ADP dosis rendah dijumpai
PRP yang diperoleh dari vacutainer.
53
Universitas Sumatera Utara
2.3.1.2.2. Antikoagulan
Antikoagulan yang sesuai untuk pemeriksaan aggregasi trombosit adalah sodium sitrat 0,102
M, 0,129 M sitrat buffered atau non buffered dengan rasio perbandingan 9 bagian darah
dengan 1 bagian antikoagulan.
53,54
Sodium sitrat 0,1 M buffered lebih dianjurka untuk digunakan
karena dapat membantu mempertahankan pH, terutama jika sampel harus menunggu 1-2 jam
sebelum dikerjakan.
54
2.3.1.2.3. Tabung Kaca vs Tabung Plastik
Pemeriksaan aggregasi trombosit harus menggunakan tabung plastik atau tabung kaca
yang dilapisi silikon. Tabung kaca yang tidak dilapisi akan menyebabkan aktivasi platelet, dan
akhirnya mempengaruhi hasil.
54
2.3.1.2.4. Koreksi Jumlah Trombosit
Ada beberapa pendapat yang berbeda mengenai perlu atau tidaknya menstandarisasi jumlah
trombosit pada PRP yang digunakan untuk pemeriksaan aggregasi trombosit.
53,54,56
Karena telah dilaporkan bahwa variasi respon aggregasi
berhubungan dengan jumlah trombosit, perbandingan respon aggregasi pada pasien
yang berbeda atau pada penelitian multicenter mengharuskan adanya standarisasi jumlah
trombosit.
56
Biasanya pemeriksaan aggregasi trombosit dilakukan pada jumlah trombosit
250.000-300.000mm
3
.
54
Universitas Sumatera Utara
2.3.1.2.5. Kontaminasi Sel Darah Merah, Hemolisis dan
Lipemia
Pemeriksaan aggregasi trombosit dilakukan berdasarkan transmisi optikal, adanya partikel
kontaminan, seperti sel darah merah, atau lemak dapat mempengaruhi kemampuan aggregometer
untuk mengukur aggregasi trombosit dan dapat menyebabkan menurunnya persentasi aggregasi.
Sel darah merah yang lisis akan melepaskan ADP, yang dapat menyebabkan trombosit
refrakter pada penambahan ADP eksogem
53,54
2.3.1.2.6. Fibrinogen
Aggregasi trombosit membutuhkan fibrinogen untuk dapat terjadi. Kadar fibrinogen yang
terlalu rendah atau fibrinogen dengan struktur yang abnormal dapat menghambat aggregasi
trombosit.
54
2.3.1.2.7. pH
Pemeriksaan aggregasi trombosit sebaiknya dilakukan pada pH 7,2-7,4. Bila pH plasma
turun hingga 6,4 maka tidak akan terjadi aggregasi, demikian juga bila ph meningkat
hingga diatas 8,0 maka akan terjadi aggregasi spontan. Disarankan untuk menyimpan plasma
trombosit pada tabung yang bertutup.
53,54
2.3.1.2.8. Suhu
Pemeriksaan aggregasi trombosit dilakukan pada suhu 37
⁰ C agar menyerupai susana in
Universitas Sumatera Utara
vivo, sedangakan untuk penyimpanannya sebelum dilakukan pemeriksaan dianjurkan
pada suhu ruangan.
53,54
2.3.1.2.9. Kecepatan Putaran Aggregasi
Agar aggregasi terjadi, trombosit harus kontak satu sama lain. Jika agonis ditambahkan pada
trombosit yang tidak diputar, maka trombosit hanya akan teraktifasi namun tidak
beraggregasi. Kecepatan putaran yang optimal pada setiap alat diperhitungkan berdasarkan
tinggi kolom PRP, diameter kuvet, dan ukuran batangan pemutar yang digunakan.
53,54
2.3.1.2.10. Batasan Waktu Pada Aggregasi Trombosit
Trombosit membutuhkan waktu satu jam ”istirahat” setelah persiapan PRP untuk
mendapatkan respon stabil pada ketiga konsentrasi 2, 5, 10 µM dari agonis ADP yang
digunakan pada pemeriksaan aggregasi. Kestabilan respon trombosit ini akan bertahan
selama 3 jam, kemudian akan mulai menghilang dimulai dari konsentrasi ADP yang paling
rendah. Karena itu direkomendasikan untuk menyelesaikan pemeriksaan aggregasi dalam
waktu kurang dari 3 jam setelah persiapan PRP dilakukan.
53
2.3.1.3. Agonis
Penambahan agonis trombosit pada PRP menyebabkan terjadinya aktifasi, perubahan bentuk trombosit dari discoid
Universitas Sumatera Utara
ke spiny sphere yang berkaitan dengan peningkatan sementara dari optical density. Pengecualian terjadi pada
epinephrine dimana tidak dijumpai adanya perubahan bentuk dan ristocetin yang menyebabkan agglutinasi
trombosit bukannya aggregasi. Terdapat dua tipe agonis: agonis kuat kolagen,
trombin, TxA2 yang langsung menyebabkan terjadi-nya aggregasi, sintesa TxA2 dan sekresi granul trom-bosit, dan
agonis lemah ADP epinephrine yang menyebabkan terjadinya aggregasi tanpa sekresi.
56
Agonis yang sering digunakan antara lain:
56
1. ADP
Konsentrasi ADP 1-10 µM sering digunakan pada pemeriksaan aggregasi trombosit. Konsentrasi rendah
ADP dapat menghasilkan kurva tunggal monophasic ataupun biphasic. Pada konsentrasi rendah ikatan
fibrinogen bersifat reversibel dan trombosit akan disaggregasi. Konsentrasi ADP yang lebih tinggi 10-
20 µM dapat menutupi respon biphasic yang ditimbulkan oleh pelepasan ADP endogen. Aspirin
akan menghambat respon aggregasi ADP yang terlihat pada konsentrasi rendah, akibat dihambatnya jalur
siklooksigenase dan pelepasan isi granul.
53,54,56
2. Epinephrine
Pada pemeriksaan aggregasi trombosit konsen-trasi epinephrine yang paling sering dipakai adalah 5-10
µM. Biasanya, respon pertama yang muncul berupa gelombang kecil, terkadang diikuti oleh gelombang
kedua yang lebih besar. Gelombang kedua ini dihambat
Universitas Sumatera Utara
oleh aspirin, NSAIDs, antihistamin, dan beberapa antibiotik.
53,54,56
Epinephrin merupakan agonis yang paling tidak konsisten dari keseluruhan agonis yang
sering digunakan.
53,54
Apabila abnor-malitas hanya terlihat pada agonis epinephrine, maka akan meragukan
untuk menegakkan diagnosis kelainan berdasarkan hasil tersebut.
54
3. Kolagen