pelarut dengan tingkat kepolaran yang rendah seperti aseton 90 dan etanol 96 . Dalam penelitian ini dapat dikatakan bahwa seiring dengan
menurunnya tingkat kepolaran suatu pelarut semakin tinggi tingkat kelarutan xanthone dalam proses ekstraksi.
Melihat hasil diatas, jika didasarkan pada hasil analisis kapasitas antioksidan maka pelarut yang digunakan pada tahap penelitian utama
adalah pelarut aseton 72 . Namun, pada penelitian utama selanjutnya pelarut yang digunakan adalah pelarut air. Hal ini dikarenakan hasil
ekstrak komponen antioksidan tepung KBM menggunakan pelarut aseton 72 bersifat non polar sehingga sulit untuk diaplikasikan untuk produk
pangan terutama untuk produk minuman. Sifat pelarut air yang mudah didapat serta ekonomis juga menjadi salah satu alasan dipilihnya pelarut
air pada tahap penelitian utama. Selain itu, kempuan pelarut air yang cukup menjanjikan dalam mengekstrak senyawa antioksidan terbesar
ketiga dan total senyawa fenolik terbesar pertama juga mejadi pertimbangan.
B. PENELITIAN UTAMA
Penelitian utama dilakukan untuk mengetahui pengaruh suhu dan waktu ekstraksi terhadap kapasitas antioksidan, kandungan total senyawa
fenolik, total antosianin, dan total xanthone pada ekstrak tepung KBM menggunakan pelarut terpilih yaitu pelarut air. Interaksi diantara masing-
masing komponen, dengan waktu maupun suhu yang optimum dalam proses ekstraksi masing-masing senyawa akan dibahas lebih lanjut pada bagian ini.
1. Total Padatan Ekstrak
Penentuan total padatan ekstrak penting untuk dilakukan terlebih dahulu. Hasil analisis total padatan ekstrak digunakan untuk menentukan
jumlah kadar air yang terkandung sehingga berat ekstrak dapat dinyatakan dalam bobot kering atau dry basis. Hasil analisis total padatan ekstrak
Tepung KBM pada berbagai perlakuan waktu dan suhu ekstraksi dapat dilihat pada Gambar 18.
Dari grafik yang ada dapat diketahui bahwa tepung KBM yang diekstrak pada suhu 80
o
C selama 6 jam memiliki kandungan total padatan yang paling besar yaitu 90,09 . Pada grafik juga dapat dilihat bahwa
pada setiap perlakuan suhu ekstraksi, total padatan yang didapatkan relatif semakin meningkat seiring dengan bertambahnya lama waktu ekstraksi.
Penambahan jumlah total padatan ini juga terjadi seiring dengan meningkatnya suhu ekstraksi. Sehingga, secara garis besar dapat dikatakan
bahwa total padatan ekstrak akan semakin bertambah seiring dengan menaiknya suhu dan waktu ekstraksi.
Gambar 18. Total Padatan Ekstrak Tepung KBM Pada Berbagai Perlakuan Suhu dan Waktu Ekstraksi Menggunakan Pelarut Air
Huruf yang berbeda a, b, c, d, e, f : menunjukkan perbedaan yang nyata p0,05.
Secara umum, kadar air ekstrak yang didapatkan berkisar antara 17,61 - 9,91 . Hasil ini relatif tidak stabil karena terjadi beberapa
pengecualian pada suhu ekstraksi 60
o
C, dimana jumlah total padatan relatif tetap bahkan cenderung menurun pada setiap perlakuan waktu
ekstraksi. Pengecualian juga terjadi pada lama ekstraksi 4 jam dimana
2 4
6 Ruang
83,34 84,02
86,46 40 oC
84,38 82,39
87,97 60 oC
85,34 85,01
85,28 80 oC
85,32 84,62
90,09 78
80 82
84 86
88 90
92
To tal Pad
atan
Waktu Ekstraksi Jam
abc a
bcd bcd
ab bc
cd cd
de e
cd f
85,32 83,34
84,38 85,34
84,62 84,02
82,39 85,01
90,09 86,46
87,97 85,28
jumlah total padatan pada suhu ekstraksi 40
o
C cenderung mengalami penurunan. Kandungan polisakarida yang tinggi pada KBM dan
karakteristik kelarutan gum KBM pada pelarut air diduga menjadi penyebab terjadinya beberapa pengecualian di atas. Selain itu,
karakteristik ekstrak yang sangat higroskopis juga menunjukkan bahwa kandungan polisakarida pada masing-masing ekstrak masih cukup tinggi.
Namun demikian, hasil kadar air ekstrak yang didapat masih jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan kadar air ekstrak arbei 39,40 ,
stroberi 38,37 , rosella 26,11 , dan ubi ungu 33,79 yang diproses dengan metode yang serupa Kristie, 2008. Tahap penghilanggan
polisakarida pada proses ekstraksi diduga menjadi penyebab lebih rendahnya kadar air pada ekstrak tepung KBM yang diperoleh.
Berkurangnya kandungan polisakarida menyebabkan berkurangnya sifat higroskopis pada ekstrak tepung KBM yang diperoleh.
2. Kapasitas Antioksidan
Antioksidan merupakan senyawa neutraceuticals yang memiliki banyak manfaat bagi kesehatan manusia. Salah satu metode yang banyak
digunakan untuk menguji adanya aktifitas senyawa tersebut adalah dengan menggunakan metode DPPH. Metode ini menggunakan 1.1-Diphenyl-2-
Picryl-Hydrazyl sebagai radikal stabil yang dapat bereaksi dengan radikal lain membentuk senyawa yang stabil. Pada prinsipnya, atom hidrogen dari
suatu senyawa antioksidan akan membuat larutan DPPH menjadi tidak berwarna yang dapat diukur menggunakan spektofotometer akibat
terbentuknya DPPH tereduksi DPPH-H Sharma dan Bhat, 2009. Hasil analisis kapasitas antioksidan menujukkan seberapa banyak
kandungan senyawa antioksidan yang masih aktif dan memiliki kemampuan untuk mereduksi senyawa-senyawa radikal bebas. Sebagai
pembanding pada umumnya digunakan senyawa antioksidan lainnya, pada kesempatan kali ini digunakan senyawa asam askorbat sebagai
pembanding sehingga hasil pengukuran akan dinyatakan dalam satuan mg asam askorbat ekuivalen AEAC. Kurva standar asam askorbat yang
digunakan beserta persamaan regresi liniernya dapat dilihat pada Gambar 20. Hasil penelitian menunjukkan bahwa seiring dengan meningkatnya
suhu dan waktu ekstraksi maka semakin sedikit senyawa antioksidan yang memiliki kemampuan untuk mereduksi senyawa radikal bebas. Hal ini
ditunjukkan dengan semakin menurunnya kapasitas antioksidan ekstrak
pada Gambar 19 dan Gambar 21.
Gambar 19. Kapasitas Antioksidan Ekstrak Tepung KBM Pada Berbagai Perlakuan Suhu dan Waktu Ekstraksi Menggunakan Pelarut
Air Persen
Huruf yang berbeda a, b, c, d, e, f : menunjukkan perbedaan yang nyata p0,05.
Gambar 20. Kurva Standar Asam Askorbat
2 4
6 Ruang
81,67 76,90
77,14 40 oC
67,98 63,57
50,95 60 oC
47,98 48,33
42,38 80 oC
28,69 27,86
11,67 10
20 30
40 50
60 70
80 90
K ap
asi tas
A n
tiok si
d an
Waktu Ekstraksi Jam
y = -0,001x + 0,8172 R² = 0,9814
0,2 0,4
0,6 0,8
1
200 400
600 800
1000
A b
sor b
an si
Konsentrasi As. Askorbat mgL
f e
d b
f e
d b
f d
c a
11,67 77,14
50,95 42,38
27,86 76,90
63,57 48,33
28,69 81,67
67,98 47,98
Gambar 21. Kapasitas Antioksidan Ekstrak Tepung KBM Pada Berbagai Perlakuan Suhu dan Waktu Ekstraksi Menggunakan Pelarut
Air AEAC
Huruf yang berbeda a, b, c, d, e, f, g: menunjukkan perbedaan yang nyata p0,05.
Bila melihat hasil di atas, sebagian besar komponen antioksidan tepung KBM sangat mudah terdegradasi bila terpapar panas sehingga
menjadi rusak. Hal ini sesuai dengan pernyataan para peneliti sebelumnya, senyawa antioksidan merupakan senyawa yang yang mudah teroksidasi.
Adanya panas, cahaya, katalisator logam, maupun enzim-enzim seperti polifenol oksidase dapat mempercepat reaksi oksidasi senyawa tersebut.
Ankrit Patras et al., 2009 juga menegaskan bahwa degradasi dapat terjadi karena reaksi oksidasi, pemutusan ikatan kovalen, maupun peningkatan
laju reaksi oksidasi oleh panas. Senyawa antioksidan yang sudah teroksidasi akan menjadi rusak dan kehilangan kemampuan mendonorkan
elektron unuk menetralkan senyawa-senyawa radikal. Secara keseluruhan, dapat diketahui bahwa tepung KBM yang diekstrak pada suhu Ruang
selama 2 jam memiliki kapasitas antioksidan terbesar yaitu sebesar 81,67 atau setara dengan 767,29 mg as askorbatg ekstrak, sedangkan tepung
2 4
6 Ruang
767,29 713,54
696,01 40 oC
621,75 592,17
434,03 60 oC
418,61 423,95
363,59 80 oc
228,91 222,51
58,11 100
200 300
400 500
600 700
800 900
K ap
asi tas
an tiok
si d
an
m g
as . a
sko rbat
g e
kstr ak
Waktu Ekstraksi Jam
a c
d f
b c
d f
b d
e g
58,11 696,01
434,03 363,59
222,51 713,54
592,17 423,95
228,91 767,29
621,75 418,61
KBM yang diekstrak pada suhu 80
o
C selama 6 jam memiliki kapasitas antioksidan terkecil yaitu sebesar 11,67 atau setara dengan 58,11 mg as.
askorbatg ekstrak. Bila dibandingkan dengan hasil analisis kapasitas antioksidan pada percobaan pendahuluan, kapasitas antioksidan ekstrak
pada percobaan utama mengalami penurunan yang cukup signifikan dari 86,29 menjadi 76,90 pada perlakuan ekstrak suhu ruang selama 4
jam. Penurunan kapasitas antioksidan ini diperkirakan terjadi karena adanya tahapan reduksi tannin saat proses ekstraksi pada penelitan utama.
3. Total Senyawa Fenolik
Manggis merupakan buah yang kaya akan kandungan senyawa fenolik seperti tannin, antosianin, dan xanthone. Namun, manggis juga
memiliki kandungan asam fenolik yang cukup besar seperti tumbuh- tumbuhan pada umumnya. Dalam penelitiannya, Zadernowski et al.,
2009 mengatakan bahwa asam protocathechuic merupakan kandungan asam fenolik yang terbesar pada KBM yaitu sebesar 2.301,3 ± 172
– 3.812 ± 181,8 mgKg KBM dry basis. Total senyawa fenolik merupakan salah
satu analisis yang sering digunakan untuk mengukur jumlah senyawa polifenol atau fenolik yang terdapat pada suatu bahan. Pada penelitian ini
sebagai pembanding digunakan senyawa asam galat sehingga hasil pengukuran total senyawa fenolik akan dinyatakan dalam satuan mg asam
galat ekuivalen GAE. Kurva standar asam galat beserta persamaan liniernya dapat dilihat pada Gambar 22.
Gambar 22. Kurva Standar Asam Galat
y = 0,0053x - 0,0622 R² = 0,9917
0,2 0,4
0,6 0,8
1 1,2
1,4
50 100
150 200
250 300
A b
b sor
b an
si
Konsentrasi As. Galat mgL
Gambar 23. Total Senyawa Fenolik Ekstrak Tepung KBM Pada Berbagai Perlakuan Suhu dan Waktu Ekstraksi Menggunakan Pelarut
Air
Huruf yang berbeda a, b, c, d, e, f, g: menunjukkan perbedaan yang nyata p0,05.
Dari Gambar 23 didapatkan bahwa tepung KBM yang diekstrak menggunakan suhu 60
o
C selama 4 jam memiliki kandungan total senyawa fenolik yang paling besar yaitu setara dengan 304,29 mg as. galat g
ekstrak. Sebaliknya, tepung KBM yang diekstrak menggunakan suhu 80
o
C selama 6 jam memiliki kandungan total senyawa fenolik yang paling kecil yaitu setara dengan 268,41 mg as. galat g ekstrak.
Secara umum, suhu 60
o
C merupakan suhu paling optimum proses ekstraksi senyawa fenolik dimana laju ekstraksi senyawa fenolik jauh lebih
tinggi dibandingkan dengan laju degradasi senyawa fenolik. Berdasarkan uji statistik ANOVA, terjadi peningkatan yang nyata p0,05 pada jumlah
total senyawa fenolik dengan menggunakan suhu ekstraksi 60
o
C selama 4 jam. Peningkatan tersebut yaitu sebesar 7,08 mg senyawa fenolik setara
asam galatg ekstrak bila dibandingkan dengan penggunaan suhu ruang selama 2 jam. Penelitian Venditty E. et al., 2009 menunjukkan hal yang
2 4
6 Ruang
297,21 296,22
290,16 40 oC
293,00 293,05
288,79 60 oC
302,97 304,29
298,33 80 oC
288,13 281,30
268,41 250
260 270
280 290
300 310
To tal
S e
n y
awa Fen
o li
k
m g
as . g
alat g
e kstr
ak
Waktu Ekstraksi Jam
c cd
ab d
c cd
a e
d d
bc f
288,13 297,21
293,00 302,97
281,30 296,22
293,05 304,29
268,41 290,16
288,79 298,33
sama dimana ekstrak teh hijau maupun teh hitam yang diekstrak menggunakan suhu 90
o
C memilki kandungan total senyawa fenolik yang lebih tinggi dibandingkan dengan teh yang diekstrak menggunakan air
tanpa pemanasan. Ada beberapa dugaan mengapa kandungan total senyawa fenolik
dapat meningkat pada suhu ekstraksi 60
o
C. Chism dan Haart 1996 mengatakan bahwa beberapa senyawa fenolik terakumulasi pada vakuola
sel tanaman. Randhir R. et al., 2008 dalam penelitiannya menyebutkan bahwa proses pemanasan dapat membebaskan senyawa asam fenolik yang
terdapat di dalam konstituen sel dan yang terlindungi oleh dinding sel tanaman. Ia menduga bahwa disosiasi senyawa fenolik terkonjugasi oleh
proses termal yang diikuti oleh polimerasi atau oksidasi dari konstituens senyawa fenolik menyebakan kenaikan tersebut. Kemungkinan lainnya,
proses termal yang diberikan menyebabkan terbentuknya senyawa fenolik yang lain. Cheng et al., 2006 dalam penelitiannya menyatakan hal serupa
dimana tepung biji gandum yang diberikan proses termal hingga 100
o
C mengalami peningkatan kandungan total senyawa fenolik seperti ferulic,
syringic, vanillic, and p-coumaric acids. Hal tersebut menunjukkan bahwa terjadi degradasi senyawa fenolik terkonjugasi seperti tannin menjadi
senyawa-senyawa fenolik sederhana. Pada suhu di bawah 60
o
C kenaikan suhu ekstraksi dan peningkatan lama waktu ekstraksi menyebabkan rusaknya senyawa
fenolik. Hal ini terjadi karena energi panas atau penetrasi panas yang diberikan belum cukup untuk dapat mendenaturasi dinding sel tanaman
dan membebaskan senyawa fenolik yang terperangkap di dalamnya. Energi panas tersebut akan memepercepat terjadinya reaksi oksidasi
senyawa fenolik yang ada sehingga mengakibatkan rusaknya senyawa fenolik tersebut. Dengan kata lain, energi panas yang diberikan tidak
mampu meningkatkan laju ekstraksi total senyawa fenolik menjadi lebih tinggi dibandingkan laju degradasi total senyawa fenolik.
Energi panas yang diberikan tidak boleh terlalu lama dan berlebihan terlalu panas karena apabila dinding sel telah terdenaturasi,
energi panas yang diberikan ikut memepercepat terjadinya oksidasi senyawa fenolik dan ikut merusak senyawa - senyawa tersebut. Hal ini
dapat dilihat pada Gambar 18 yang ditunjukkan dengan terjadinya penurunan kandungan senyawa fenolik pada lama waktu ekstraksi yang
melebihi 4 jam dan suhu ekstraksi di atas 60
o
C suhu 80
o
C. Karakteristik terutama sifat kelarutan senyawa fenolik KBM tannin, antosianin,
xanthone, maupun asam protocathechuic turut berpengaruh terhadap jumlah total senyawa fenolik yang terekstrak.
Terdapat korelasi yang signifikan p0,01 antara hasil uji total senyawa fenolik dengan hasil uji kapasitas antioksidan ekstrak. Dimana
kandungan senyawa fenolik turut berperan sebagai antioksidan pada uji kapasitas antioksidan. Hal ini serupa dengan Paixa
˜o et al., 2007 yang menyatakan bahwa kandungan total senyawa fenolik memiliki korelasi
yang tinggi dengan aktivitas antioksidan. Hasil uji statistik dapat dilihat pada Lampiran 24.
4. Total Antosianin
Antosianin merupakan senyawa polifenol yang banyak terdapat pada KBM. Menurut Palapol et al., 2008 senyawa antosianin yang
banyak terdapat pada KBM adalah cyanidin-3-sophoroside dan cyanidin- 3-glucoside. Terdapat banyak metode analisis pengukuran senyawa
antosianin namun, yang paling sering digunakan adalah metode dengan perbedaan gradien pH. Pada prinsipnya metode ini mengukur selisih nilai
absorbansi antara zat-zat pengotor dengan senyawa antosianin sehingga didapatkan senyawa antosianin yang murni. Hasil pengukuran senyawa
antosianin ekstrak pada berbagai perlakuan ekstraksi dapat dilihat pada Gambar 24.
Senyawa antosianin pada ekstrak tepung KBM berkisar antara 0,96
– 1,43 mg antosianing ekstrak. Kandungan senyawa antosianin tertinggi dimiliki oleh ekstrak tepung KBM dengan perlakuan suhu ruang
selama 2 jam sedangkan, kandungan senyawa antosianin terendah dimiliki oleh ekstrak tepung KBM dengan perlakuan suhu 80
o
C selama 6 jam.
Dapat dikatakan bahwa seiring dengan meningkatnya suhu dan lama waktu ekstraksi maka semakin sedikit jumlah senyawa antosianin yang
terekstrak. Hal ini sesuai dengan Elbe dan Schwartz 1996 yang menyatakan bahwa kestabilan senyawa antosianin dipengaruhi suhu.
Semakin tinggi suhu maka senyawa antosianin semakin tidak stabil sehingga akan mempercepat terjadi degradasi senyawa antosianin dan
mengurangi kandungan senyawa antosianin pada ekstrak.
Gambar 24. Total Antosianin Ekstrak Tepung KBM Pada Berbagai Perlakuan Suhu dan Waktu Ekstraksi Menggunakan
Pelarut Air
Huruf yang berbeda a, b, c, d, e, f, g, h, i, j: menunjukkan perbedaan yang nyata p0,05.
Reaksi degradasi senyawa antosianin karena proses termal hingga saat ini belum dapat dijelaskan secara pasti namun ada beberapa teori yang
diduga dapat menjelaskan proses degradasi senyawa antosianin. Pada teori pertama ion kation flavium berubah menjadi quinodal base kemudian
menjadi beberapa senyawa intermediate dan kemudian menjadi senyawa
2 4
6 Ruang
1,43 1,35
1,10 40 oC
1,14 1,00
1,00 60 oC
1,09 1,19
1,18 80 oC
1,05 1,13
0,96 0,80
0,90 1,00
1,10 1,20
1,30 1,40
1,50
To tal
A n
to si
an in
m g
g e
kstr ak
Waktu Ekstraksi Jam
a de
gh h
b i
c ef
fg i
cd j
1,14 1,05
1,43 1,09
1,13 1,35
1,00 1,19
0,96 1,10
1,00 1,18
derivative coumarin. Pada teori kedua ion kation flavium berubah menjadi carbinol base yang tidak berwarna kemudian menjadi chalcone dan
terakhir terdegradasi menjadi senyawa berwarna kecoklatan. Teori ketiga mirip dengan teori kedua namun setelah perubahan menjadi chalcone
terdapat pemecahan struktur menjadi turunannya kemudian terdegradasi menjadi senyawa berwarna kecoklatan Elbe dan Schwartz, 1996.
Selain tiga teori diatas terdapat pula teori lain degradasi senyawa antosianin akibat proses termal pada suasana asam yaitu mula-mula
senyawa cyanidin-3-glucoside mengalami proses deglikosilasi menjadi senyawa cyanidin yang kemudian terpecah menjadi senyawa 4-
hydroxybenzoic acid dan phloroglucinaldehyde yang tidak berwarna Sadilova et al., 2007. Walaupun teori yang terakhir ini belum mendapat
pengakuan yang luas namun teori tersebut dirasa tepat untuk menjelaskan proses degradasi senyawa antosianin yang terjadi pada percobaan ini.
Senyawa antosianin dan suasana asam yang sama dengan percobaan yang digunakan turut mendasari alasan dipilihnya jalur tesebut. Jalur degradasi
ini dapat dilihat lebih jelas pada Gambar 25. Namun demikian, terjadi sedikit kenaikan jumlah senyawa
antosianin pada perlakuan ekstraksi suhu 60
o
C walaupun tidak setinggi pada perlakuan ekstraksi suhu ruang selama 2 jam. Titik puncak kenaikan
tersebut terjadi pada titik yang sama dengan titik puncak kenaikan senyawa fenolik yaitu pada perlakuan ekstraksi suhu 60
o
C selama 4 jam. Dari kesamaan tersebut, diduga komponen antosianin turut berperan
menaikkan jumlah komponen polifenol tidak signifikan pada uji total fenol sebelumnya. Hal ini didukung pula oleh adanya korelasi yang
signifikan p0,01 berdasarkan hasil uji statistik. Hasil uji statistik mengenai korelasi dapat dilihat pada Lampiran 24.
Dengan kata lain, energi panas yang diberikan tidak mampu meningkatkan laju ekstraksi senyawa antosianin menjadi lebih tinggi
dibandingkan laju degradasi senyawa antosianin sehingga tidak terjadi kenaikkan senyawa antosianin yang berarti selama proses ekstraksi
berlangsung. Suhu 60
o
C merupakan suhu minimum untuk dapat
mendenaturasi dinding sel KBM kering. Hal ini dapat dilihat dari kecenderungan hasil ekstraksi pada suhu 60
o
C yang cenderung mengalami kenaikan bila dibandingkan dengan ekstraksi pada suhu 40
o
C yang
cenderung mengalami penurunan.
Gambar 25. Jalur Degradasi Senyawa Antosianin Cyanidin-3- Glucoside Akibat Proses Termal Pada Kondisi Asam Sadilova et al.,
2007
5. Total Xanthone
Manggis merupakan sumber xanthone alami yang cukup besar. Senyawa xanthone
yang banyak terdapat pada KBM adalah α mangostin, mangostin, Garcinone D, dan manggostin. Namun demikian, kandungan
α mangostin mencapai lebih dari setengah kandungan xanthone pada KBM
Chaivisuthangkura et al., 2009. Oleh karena itu, analisis total xanthone dilakukan dengan menggunakan pendekatan jumlah senyawa α mangostin
pada ekstrak. Kurva standar α mangostin yang digunakan beserta
persamaan regresi liniernya dapat dilihat pada Gambar 28. Sebelum dilakukan pengukuran, terlebih dahulu dilakukan
scanning panjang gelombang maksimum menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 200 nm hingga 400 nm. Hasil scanning
menunjukkan bahwa gelombang maksimum senyawa α mangostin adalah
243 nm. Hasil scanning dapat dilihat pada Gambar 26.
Gambar 26. Scanning Panjang Gelombang Maksimum α mangostin
Gambar 27. Total Xanthone Ekstrak Tepung KBM Pada Berbagai Perlakuan Suhu dan Waktu Ekstraksi Menggunakan
Pelarut Air
Huruf yang berbeda a, b, c, d, e,: menunjukkan perbedaan yang nyata p0,05. 0,0
0,1 0,2
0,3 0,4
0,5 0,6
0,7 0,8
0,9 1,0
200 250
300 350
400 450
A b
sor b
an si
Panjang Gelombang nm
2 4
6 Ruang
29,90 30,08
29,38 40 oC
32,47 31,32
29,39 60 oC
34,00 32,34
33,94 80 oC
32,12 29,55
27,04 25
26 27
28 29
30 31
32 33
34 35
To tal
X an
th o
n e
g α a
go sti
g e
kstr ak
Waktu Ekstraksi Jam
d b
a b
d c
b d
d d
a e
32,12 29,90
32,47 34,00
29,55 30,08
31,32 32,34
27,04 29,38
29,39 33,34
Gambar 28 . Kurva Standar α mangostin
Hasil analisis total xanthone pada Gambar 27 menunjukkan bahwa tepung KBM yang diekstrak pada suhu 60
o
C selama 2 jam memiliki kandungan xanthone terbesar yaitu 34,00
mg α mangosting ekstrak sedangkan, tepung KBM yang diekstrak pada suhu 80
o
C selama 6 jam memiliki kandungan xanthone terkecil yaitu 27,04
mg α mangosting ekstrak. Hasil ini jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan hasil
penelitian Pohtitirat et al., β008 dimana kandungan α mangostin ekstrak
KBM menggunakan pelarut metanol mencapai 35,68 ± 3,79 – 36,92 ± 5,55
ww ekstrak KBM atau setara dengan 356,8 – 369,β mg α mangosting
ekstrak KBM. Perbedaaan ini disebabkan oleh adanya perbedaan pelarut yang digunakan, seperti yang telah dikemukakan oleh Walker 2007. Ia
menyatakan bahwa senyawa xanthone secara alami sukar untuk terlarut di dalam air namun sehingga sulit diekstrak bila menggunakan pelarut air
namun, senyawa xanthone dapat larut di dalam pelarut organik dengan tingkat kepolaran yang berbeda seperti pelarut metanol hingga pelarut
hexan. Secara keseluruhan, terjadi peningkatan yang nyata p0,05 pada
jumlah kandungan xanthone dengan menggunakan suhu ekstraksi 60
o
C selama 2 jam. Peningkatan tersebut yaitu sebesar 4,10
mg α mangosting ekstrak bila dibandingkan dengan penggunaan suhu Ruang selama 2 jam.
Peningkatan suhu ekstraksi mencapai suhu 60
o
C meningkatkan jumlah
y = 0,0781x - 0,0182 R² = 0,9994
0,2 0,4
0,6 0,8
1 1,2
1,4 1,6
1,8
5 10
15 20
25
A b
sor b
an si
Ko se trasi α a gosti gL
xanthone yang terekstrak namun, peningkatan suhu ekstraksi hingga 80
o
C menurunkan jumlah kandungan xanthone pada ekstrak. Dari hal tersebut,
dapat diketahui bahwa suhu 60
o
C merupakan suhu optimum ekstraksi xanthone pada tepung KBM. Pada suhu ekstraksi 60
o
C laju ekstraksi senyawa xanthone jauh lebih tinggi dibandingkan dengan laju degradasi
senyawa xanthone. Secara statistik terdapat korelasi yang signifikan p0,01 antara
hasil uji total senyawa fenolik dengan hasil uji total xanthone. Adanya kemiripan suhu optimum ekstraksi senyawa xanthone dengan suhu
optimum ekstraksi total senyawa fenolik turut menjelaskan hasil uji korelasi tersebut. Dalam hal ini, kenaikan jumlah senyawa xanthone turut
menyumbang kenaikan jumlah total senyawa fenolik pada suhu ekstraksi 60
o
C. Hasil uji statistik mengenai korelasi dapat dilihat pada Lampiran 24.
V. KESIMPULAN DAN SARAN