IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. PENELITIAN PENDAHULUAN
1. Karakteristik Buah Manggis Yang Digunakan
Manggis merupakan salah satu buah tropika yang berkulit tebal yang memiliki banyak manfaat bagi kesehatan. Hal ini didukung adanya
penelitian-penelitian terbaru yang menyebutkan bahwa KBM memiliki kandungan antioksidan yang cukup tinggi. Namun demikian, tidak semua
buah manggis dapat dimanfaatkan untuk diekstrak kandungan antioksidannya. Palapol et al., 2008 menyatakan bahwa semakin tinggi
tingkat kematangan buah manggis maka kandungan antosianin pada manggis juga turut meningkat. Ia membagi tingkat kematangan buah
manggis dalam enam tingkat dimana tingkat kematangan lima dan enam memiliki kandungan antosianin yang paling besar. Tingkat kematangan
buah manggis yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 12.
Gambar 12. Tingkat Kematangan Buah Manggis Yang Digunakan
Dari kiri ke kanan : tigkat kematangan lima dan enam buah manggis
Buah manggis tersebut kemudian diproses menjadi tepung KBM dan diekstrak untuk dianalisis lebih lanjut. Sebelum digunakan, kedua
sampel yaitu KBM segar dan tepung KBM dianalisis secara proksimat untuk mengetahui karakteristiknya. Hasil analisis proksimat yang telah
dilakukan dapat dilihat pada Tabel 1.
5 6
Tabel 1. Hasil Analisis Proksimat KBM Segar dan Tepung KBM
Jenis Analisis Metode
Hasil KBM segar
SD Tepung
KBM SD
Kadar Air Gravimetri
62,05 0,2359
5,87 0,1097
Kadar Abu Gravimetri
1,01 0,0643
2,17 0,0404
Lemak Soxhlet
0,63 0,0551
6,45 0,0451
Protein Kjeldahl
0,71 0,1570
3,02 0,0265
Total Gula Anthrone
1,17 0,0493
2,10 0,1550
Karbohidrat By Different
35,61 -
82,50 -
Hasil uji proksimat yang diperoleh menunjukkan bahwa kadar air KBM segar cukup tinggi yaitu sekitar 62,05 sehingga untuk menjaga
kestabilan sampel perlu dilakukan proses pengeringan KBM segar menjadi tepung KBM. Secara keseluruhan setelah KBM segar ditepungkan terjadi
kenaikan pada komponen-komponen lainnya, namun hal ini bukan berarti telah terjadi kenaikan yang sebenarnya. Kenaikan yang terjadi adalah
akibat proses pengeringan yang mengakibatkan hilangnya air sehingga mempengaruhi perbandingan komposisi antar komponen yang masih
tertinggal. Selain kandungan airnya yang tinggi, kandungan karbohidrat yang
dimiliki oleh KBM segar juga cukup tinggi yaitu sebesar 35,61 , lebih tinggi dari kandungan karbohidrat kulit pisang yang hanya sebesar
18,50 , kulit jeruk sebesar 3,7 Arifin et al., 2006, dan kulit nanas sebesar 17,53 Wijana et al., 1991 dalam berat basah. Secara
morfologi, KBM memiliki kemiripan dengan kulit pisang maupun kulit jeruk. Kulit jenis ini, merupakan jenis kulit buah yang banyak memiliki
kandungan karbohidrat terutama kandungan polisakaridanya. Polisakarida yang terkandung di dalam kulit tersebut sebagian besar merupakan
polisakarida yang larut di dalam air seperti pektin, selulosa, maupun gum. Tingginya kandungan karbohidrat KBM segar yang jauh lebih besar
dibandingkan pada kulit pisang menunjukkan adanya indikasi bahwa
KBM segar juga banyak mengandung polisakarida. Melihat hal ini, maka perlu dilakukan proses penghilangan gum pada proses ekstraksi agar
ekstrak KBM serbuk yang dihasilkan lebih stabil dan tidak bersifat terlalu higroskopis.
2. Jenis Bahan Perendam Pencegah Browning
Salah satu penelitian yang tidak kalah penting adalah perlakuan perendaman KBM segar untuk mencegah proses browning oleh enzim
polifenol oksidase. Menurut Elbe dan Schwartz 1996 secara enzimatis kehadiran enzim polifenol oksidase mempengaruhi kestabilan antosianin
dan dapat merusak antosianin. Hal ini dipertegas oleh Kader et al., 1999 yang menyatakan bahwa dengan kehadiran oksigen, enzim polifenol
oksidase mampu mengkatalisis reaksi oksidasi asam klorogenik menjadi klorogenik quinon. Senyawa kuinon ini menyebabkan senyawa antosianin
terdegradasi menjadi produk yang berwarna kecoklatan. Dengan berubahnya warna, diperkirakan aktivitas antioksidan KBM akan menurun
sehingga pada penelitian akan diambil parameter perubahan warna bukan berdasarkan aktivitas antioksidan.
Melihat hal tersebut, dilakukan proses perendaman menggunakan tiga bahan perendam yang umum digunakan untuk mencegah terjadinya
reaksi browning secara enzimatik yaitu air, metabisulfit 0,3 , dan asam asetat 0,3 . Ketiga bahan perendam tersebut mampu menghambat reaksi
pencoklatan dengan mencegah molekul oksigen bertemu dengan enzim polifenol oksidase untuk membentuk kuinon.
Hasil pengamatan Chromameter terhadap tepung KBM yang dihasilkan menunjukkan bahwa bahan perendam air merupakan bahan
perendam yang terbaik dalam mencegah terjadinya reaksi pencoklatan pada percobaan ini. Hal ini dapat dilihat dari kecilnya nilai hue h
o
tepung KBM yang direndam di dalam air yaitu sebesar 36,1
o
. Nilai hue kemudian diinterpretasikan dalam bola imajiner Munsel sehingga didapatkan bahwa
tepung KBM tersebut berwarna merah. Semakin merah tepung KBM, berarti semakin efektif suatu bahan perendam untuk mencegah terjadinya
reaksi kerusakan antosianin akibat reaksi pencoklatan oleh enzim polifenol oksidase. Hasil pengukuran warna tepung KBM menggunakan
chromameter dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil Chromameter Tepung KBM pada Berbagai Perendam Bahan Perendam
L a
b hue h
o
Warna Air
53,34 19,02
13,87 36,10
o
Merah Metabisulfit 0,3
59,13 16,29
15,39 43,37
o
Kuning – Merah
Asam Asetat 0,3 57,65
14,32 23,64
58,79
o
Kuning – Merah
Dari Tabel 2 dapat diketahui bahwa senyawa metabisulfit dan asam asetat tidak mampu mempertahankan warna merah dari antosinin KBM.
Perubahan warna tepung KBM menjadi kekuningan merupakan indikasi terjadinya reaksi antara metabisulfit dengan senyawa antosianin. Elbe dan
Schwartz 1996 mengatakan bahwa gugus SO
2
dapat berikatan dengan flavilum pada posisi C-4 dan membentuk kompleks senyawa yang tidak
berwarna. Reaksi tersebut bersifat reversibel dan warna pada senyawa antosianin dapat dimunculkan kembali dengan melakukan proses
desulfuring pencucian sebelum dilakukan proses lebih lanjut. Namun, ada kalanya proses ini bersifat irreversibel seperti pada proses pembuatan
maraschino. Diduga pada penelitian kali ini terjadi hal yang sama dimana setelah pencucian tetap terjadi discolorasi warna KBM. Diperkirakan
konsentrasi metabisulfit yang terlalu tinggi menjadi penyebab reaksi tersebut tidak bersifat reversible seperti pada proses pembuatan
maraschino. Metabisulfit yang digunakan dalam percobaan kali ini adalah
sodium metabisulfit yang memiliki ikatan dengan ion Na
+
. Adanya ikatan ini menyebabkan pH larutan menjadi naik atau dengan kata lain
menyebabkan suasana larutan menjadi basa. Elbe dan Schwartz 1996 mengatakan bahwa pada kondisi basa senyawa antosianin berubah bentuk
dari flavilum menjadi carbinol base yang tidak berwarna sehingga mudah
terdegradasi. Hal ini diduga menjadi salah satu penyebab terjadinya penyimpangan seperti yang telah dikemukakan di atas.
Hal serupa tidak terjadi pada KBM yang direndam dengan air. Perendaman dengan bahan perendam air mampu mencegah terjadinya
reaksi pencoklatan tanpa menimbulkan reaksi dengan komponen antosianin. Kandungan pH air yang netral pH 7 diduga dapat
mempertahankan senyawa antosianin dalam bentuk flavilum yang lebih stabil bila dibandingkan dengan bentuk carbinol basenya. Melihat hal ini,
bahan perendam air akan digunakan kemudian sebagai bahan perendam dalam proses selanjutnya.
3. Pelarut Ekstraksi
Ekstraksi merupakan suatu proses pemisahan campuran beberapa zat menjadi komponen-komponen yang terpisah. Zat-zat yang polar hanya
larut dalam pelarut polar, sedangkan zat-zat yang non-polar hanya larut di dalam pelarut non-polar Winarno et al., 1973. Tingkat kepolaran pelarut
yang digunakan sangat menentukan jumlah zat aktif karena pada proses ekstraksi berlaku prinsip “like dissolve like” dimana zat hanya akan
terlarut dengan baik dan terekstrak apabila pelarut yang digunakan memiliki tingkat kepolaran yang sama. Tingkat kepolaran berbagai jenis
pelarut dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Tingkat Kepolaran Jenis-jenis Pelarut Jenis Pelarut
Indeks Polaritas Etil Asetat
4,4 Methanol
5,1 Aseton
5,1 Etanol
5,2 Air
9,0
Sumber : www.phenomenex.com
Pelarut-pelarut yang digunakan adalah air, etanol 96, etanol 70 , aseton teknis berikutnya akan disebut aseton 90 , dan aseton teknis
yang diencerkan dengan air sebanyak 20 berikutnya disebut aseton 72
. Hasil ekstraksi tepung KBM pada suhu ruang selama 4 jam dengan pelarut-pelarut tersebut kemudian akan dianalisis kimia. Hasil analisis
kapasitas antioksidan, total senyawa fenol, total antosianin, dan total xanthone dapat dilihat pada Gambar 13 sd Gambar 17.
Gambar 13. Kapasitas Antioksidan Ekstrak Tepung KBM Pada Berbagai Pelarut Dengan Metode DPPH
Huruf yang berbeda a, b, c, d : menunjukkan perbedaan yang nyata p0,05.
Gambar 14. Total Senyawa Fenolik Ekstrak Tepung KBM Pada Berbagai Pelarut
Huruf yang berbeda a, b, c, d, e : menunjukkan perbedaan yang nyata p0,05. 81
82 83
84 85
86 87
88 89
90
Air Etanol 70 Etanol 96 Aseton 72
Aseton 90 86,29
86,63 84,60
89,31
84,16
Kap as
ita s
An tio
k sid
an
Jenis Pelarut
20 40
60 80
100 120
140 160
Air Etanol 70 Etanol 96 Aseton 72
Aseton 90 154,57
136,98
50,50 118,93
49,39
To tal
S e
n y
awa Fen
o li
k
m g
k ate
ki n
g Te
p u
n g
KB M
Jenis Pelarut
bc c
ab d
a
e d
b a
c
Gambar 15. Kurva Standar Katekin Pada Analisis Total Senyawa Fenolik
Gambar 16. Total Antosianin Ekstrak Tepung KBM Pada Berbagai Pelarut
Huruf yang berbeda a, b, c, d, e : menunjukkan perbedaan yang nyata p0,05.
Gambar 17. Total Xanthone Ekstrak Tepung KBM Pada Berbagai Pelarut
Huruf yang berbeda a, b, c, d, e : menunjukkan perbedaan yang nyata p0,05. y = 0,0027x - 0,0277
R² = 0,9941 0,1
0,2 0,3
0,4 0,5
0,6 0,7
50 100
150 200
250 300
A b
sor b
ansi
Konsentrasi Katekin mgL
1 2
3 4
5 6
7
Air Etanol 70 Etanol 96 Aseton 72
Aseton 90 6,22
5,70
0,83 5,80
0,13
To tal
A n
to si
an in
m g
g te p
u n
g K
B M
Jenis Pelarut
10 20
30 40
50 60
70 80
Air Etanol 70
Etanol 96 Aseton 72
Aseton 90 0,72
9,05 34,95
25,80 78,52
To tal
X an
th o
n e
g α
a go
sti g
Te pu
g KB M
Jenis Pelarut
e c
b d
a
a b
d c
e
Dari Gambar 13 didapatkan bahwa tepung KBM yang diekstrak menggunakan pelarut aseton 72 memiliki kapasitas antioksidan paling
besar yaitu sebesar 89,1 , disusul pelarut etanol 70 dan pelarut air yang masing-masing memiliki kapasitas antioksidan sebesar 86,63 dan
86,29 . Rata-rata kelima ekstrak dari berbagai pelarut memiliki kapasitas antioksidan yang lebih besar bila dibandingkan dengan asam askorbat 800
ppm yang hanya sebesar 79,26 . Hal ini serupa dengan Weecharangsan et al, 2006 yang menyatakan bahwa KBM yang diekstrak menggunakan
pelarut air dan etanol 50 menunjukkan aktivitas antioksidan yang tinggi dengan nilai IC
50
masing-masing sebesar 34,98 ± 2,24 µgml untuk ekstrak air dan sebesar 30,76 ± 1,66 µgml untuk ekstrak etanol 50 .
Berdasarkan uji ANOVA perbedaan polaritas pelarut dalam hal ini menyebabkan perbedaan yang nyata pada kapasitas antioksidan ekstrak
p0,05. Hasil analisis total senyawa fenolik pada Gambar 14 menunjukkan
kecenderungan yang berbeda dengan analisis kapasitas antioksidan dimana tepung KBM yang diekstrak dengan menggunakan pelarut air memiliki
kandungan total senyawa fenolik paling tinggi, setara dengan 154,57 mg kateking tepung KBM disusul pelarut etanol 70 dan aseton 72 .
Kandungan total senyawa fenolik tersebut jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan kandungan total senyawa fenolik KBM yang
diekstrak menggunakan pelarut methanol 80 yaitu sebesar 218,1 ± 18,0 mg katekin g KBM dry basis Zadernowski et al., 2009.
Perbedaan ini diduga disebabkan oleh perbedaan polaritas pelarut yang digunakan dan adanya proses pengeringan KBM segar menjadi
tepung KBM. Adanya proses pemanasan pada proses pengeringan KBM segar menjadi tepung KBM diduga menjadi penyebab utama
tredegradasinya senyawa fenolik. Berdasarkan uji statistik ANOVA perbedaan polaritas pelarut menyebabkan perbedaan kandungan total
senyawa fenolik yang nyata pada seluruh jenis ekstrak yang diperoleh p0,05.
Senyawa fenolik pada tepung KBM sebagian besar bersifat polar sehingga dapat dengan mudah terekstrak pada pelarut air. Bila hasil ini
dihubungkan dengan hasil analisis kapasitas antioksidan pada Gambar 14, maka terdapat sedikit kejanggalan dimana ekstrak tepung KBM
menggunakan pelarut air yang memiliki kandungan total senyawa fenolik terbesar tidak memiliki kapasitas antioksidan terbesar. Hal ini dapat
disebabkan oleh adanya perbedaan struktur komponen fenolik yang terekstrak.
Diduga komponen fenolik yang terekstrak pada pelarut air memiliki gugus hidroksil -OH yang jauh lebih sedikit dan lebih sulit
untuk mendonorkan atom hidrogen energi aktifasinya lebih tinggi bila dibandingkan komponen fenolik yang terekstrak menggunakan pelarut
aseton 72 . Gugus hidroksil -OH pada komponen antioksidan merupakan gugus yang berperan pada proses transfer elektron untuk
menstabilkan radikal bebas. Semakin banyak gugus hiroksi yang dimiliki oleh komponen antioksidan maka semakin banyak elektron yang dapat
didonorkan untuk menstabilkan radikal bebas. Selain itu, terdapat pula kemungkinan komponen
– komponen lainnya seperti alkaloid dan beberapa vitamin antioksidan yang juga berperan terhadap terjadinya
kejanggalan tersebut. Kecenderungan yang serupa juga terlihat pada hasil analisis total
antosianin Gambar 16 dimana tepung KBM yang diekstrak dengan menggunakan pelarut air memiliki kandungan total antosianin yang paling
tinggi yaitu sebesar 6,22 mgg tepung KBM disusul pelarut aseton 72 dan etanol 70 . Hasil tersebut menunjukkan bahwa senyawa antosianin
KBM lebih mudah larut pada pelarut-pelarut dengan kepolaran yang cukup tinggi. Namun, hasil yang sama sekali berbeda terlihat pada hasil analisis
total xanthone. Hasil analisis total xanthone Gambar 17 menunjukkan bahwa tepung KBM yang diekstrak menggunakan pelarut aseton 90
memiliki kandungan total xanthone pendekatan dengan menggunakan α
manggostin yang paling tinggi yaitu sebesar 78,52 mg α manggostin g
tepung KBM disusul oleh etanol 96 dan aseton 72 .
Hasil analisis total xanthone ini sesuai dengan pernyataan Walker 2007 bahwa senyawa xanthone secara alami sukar untuk terlarut di
dalam air sehingga sulit diekstrak bila menggunakan pelarut air namun demikian, senyawa xanthone dapat larut di dalam pelarut organik dengan
tingkat kepolaran yang berbeda seperti pelarut metanol hingga pelarut hexan.
H
asil analisis total xanthone yang didapat jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan hasil penelitian Chaivisuthangkura et al., 2009
yang menyatakan bahwa kandun gan α manggostin KBM yang diekstrak
menggunakan etil asetat berkisar antara 47,04 – 50,55 mgg tepung KBM.
Perbedaan ini diduga disebabkan oleh perbedaan pelarut yang digunakan dan bahan baku KBM yang digunakan. Tidak dilakukannya proses
pemurnian xanthone α manggostin juga diduga mengakibatkan
terjadinya penumpukkan absorbansi pada panjang gelombang yang berbeda antar komponen yang ada kesalahan postif. Berdasarkan uji
ANOVA perbedaan polaritas pelarut menyebabkan perbedaan yang nyata pada hasil analisis total antosianin maupun total xanthone p0,05.
Hasil keempat uji di atas menunjukkan bahwa kapasitas antioksidan lebih dipengaruhi oleh senyawa xanthone dibandingkan
dengan senyawa antosianin dan senyawa fenolik lainnya. Hal ini terbukti dengan tingginya kapasitas antioksidan ekstrak tepung KBM yang
menggunakan pelarut aseton 72 dibandingkan dengan ektrak tepung KBM yang menggunakan pelarut air. Diketahui bahwa kandungan
senyawa antosianin diantara keduanya tidak berbeda jauh yaitu 6,22 mg antosianing tepung KBM untuk pelarut air dan 5,80 mg antosianing
tepung KBM untuk pelarut aseton 72 . Sedangkan, perbedaan kandungan xanthone diantara keduanya sangat jauh yaitu 0,72 mg
α manggosting tepung KBM untuk pelarut air dan 25,81 mg
α manggosting tepung KBM.
Senyawa antioksidan, senyawa fenolik, dan senyawa antosianin lebih mudah larut dan terekstrak pada pelarut dengan tingkat kepolaran
yang cukup tinggi seperti air, etanol 70 , maupun aseton 72 . Sebaliknya, senyawa xanthone lebih mudah larut dan terekstrak pada
pelarut dengan tingkat kepolaran yang rendah seperti aseton 90 dan etanol 96 . Dalam penelitian ini dapat dikatakan bahwa seiring dengan
menurunnya tingkat kepolaran suatu pelarut semakin tinggi tingkat kelarutan xanthone dalam proses ekstraksi.
Melihat hasil diatas, jika didasarkan pada hasil analisis kapasitas antioksidan maka pelarut yang digunakan pada tahap penelitian utama
adalah pelarut aseton 72 . Namun, pada penelitian utama selanjutnya pelarut yang digunakan adalah pelarut air. Hal ini dikarenakan hasil
ekstrak komponen antioksidan tepung KBM menggunakan pelarut aseton 72 bersifat non polar sehingga sulit untuk diaplikasikan untuk produk
pangan terutama untuk produk minuman. Sifat pelarut air yang mudah didapat serta ekonomis juga menjadi salah satu alasan dipilihnya pelarut
air pada tahap penelitian utama. Selain itu, kempuan pelarut air yang cukup menjanjikan dalam mengekstrak senyawa antioksidan terbesar
ketiga dan total senyawa fenolik terbesar pertama juga mejadi pertimbangan.
B. PENELITIAN UTAMA