Salmonella spp. Struktur Organisasi Instansi

11 emetik mempunyai masa inkubasi lebih pendek, sekitar 1-5 jam Supardi dan Sukamto, 1999. Galur B. cereus yang beragam tersebut dapat dibedakan berdasarkan gen spesifik yang dimiliki masing-masing galur. Berdasarkan beberapa penelitian terdapat beberapa gen spesifik yang terdapat pada B. cereus, antara lain: gen penghasil cereulide ces, sejenis toksin emetik Fricker et al., 2007, phosphotidyl inositol PI-1 Myers dan Sakelaris, 2004, gyrase gyrB Myers dan Sakelaris, 2004, enterotoksin non-hemolitik Nhe Hansen dan Hendriksen, 2001, sitotoksin cytK Lund et al., 2000, hemolysin hblA Mantynen dan Lindstrom, 1998, dan enterotoksin T BceT Mantynen dan Lindstrom, 1998. Target gen spesifik akan menentukan primer yang digunakan dalam uji amplifikasi dengan PCR, target gen yang banyak digunakan ialah ces karena toksin ini spesifik dihasilkan B. cereus emetik Fricker et al., 2007. Berbeda dengan sekuens gen 16S rRNA karena identik dengan beberapa bakteri lain, termasuk B. anthracis. Keidentikan tersebut terlihat dari struktur primer 16S rRNA Bacillus anthracis, Bacillus cereus, Bacillus mycoides, dan Bacillus thuringiensis setelah ditetapkan dengan metode sekuensing dideoksi transkripsi terbalik, hasilnya menunjukkan semua galur memiliki sekuens serupa tingkat kemiripannya lebih dari 99 Ash et al., 1991. Penggunaan gen spesifik bersamaan dengan dye fluoresence pada real- time PCR memberikan limit deteksi LOD B.cereus sebesar 10 1 -10 3 cfug sampel pangan tanpa tahap pre-enrinchment. Dengan pengkayaan, limit deteksi dapat mencapai 10 cfug. Apabila metode isolasi DNA dengan pendidihan saja, limit deteksi menjadi kurang sensitif Fricker et al., 2007.

D. Salmonella spp.

Salmonella merupakan bakteri Gram negatif berbentuk batang yang tidak membentuk spora, fakultatif anaerobik, mampu tumbuh pada pH mendekati 4.0-9.0 dengan pH optimum 7.0, dan termasuk dalam famili Enterobacteriaceae . Bakteri ini berukuran 0.7-1.5 x 2-5 µm, motil dengan flagela peritrikus, kecuali Salmonella Pullorum dan Salmonella Gallinarum 12 yang tidak motil karena tidak mempunyai flagela. Bakteri ini tumbuh optimum pada suhu 35-37°C, dapat mengkatabolisme bermacam karbohidrat menjadi asam dan gas, menggunakan sitrat sebagai sumber tunggal karbon, memproduksi H 2 S dan dapat mendekarboksilasi lysine menjadi kadaverin dan ornithin menjadi putrescin. Salmonella dapat tumbuh pada kadar garam maksimal 8 Rusyanto, 2005. Nama Salmonella pertama kali diberikan oleh Lignieres pada tahun 1990 sebagai penghormatan kepada seorang ahli bakteriologi Amerika Serikat D.E. Salmon yang telah berhasil mengkarakterisasikan bakteri Bacillus penyebab kolera pada babi dan memasukkannya dalam famili Enterobacteriaceae . Taksonomi Salmonella pertama kali diperkenalkan oleh White 1929 dan dimodifikasi oleh Kauffman 1934. Tahun 1966, Kauffman mulai mengklasifikasikan 51 grup somatik Salmonella menjadi 4 sub genera dengan menggunakan karakteristik biokimia. Sub genus kelima lalu ditambahkan setelah ditemukannya beberapa karakteristik yang berbeda. Adapun karakteristik biokimia masing masing sub genus dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Pembagian subgenus Salmonella berdasarkan karakteristik biokimia Klasifikasi Karakteristik Subgenus 1 Mampu menggunakan dulcitol, banyak berhubungan atau ditemukan pada manusia atau hewan vertebrata berdarah panas. Isolasi frekuensinya sangat tinggi Subgenus 2 Mampu menggunakan dulcitol dan malonat Subgenus 3 Mampu menggunakan malonat dan O-nitriphenyl-ß-D- galactopyranoside ONPG Subgenus 4 Mampu tumbuh dalam KCN Subgenus 5 Tidak dapat memetabolisme dulcitol, malonat, mampu mengkatabolisme ONPG dan tumbuh dalam KCN Sumber: D’Aoust 2000 Genus Salmonella terdiri dari dua spesies, yaitu S. enterica. dan S. bongori . Spesies S. enterica masih dapat dikelompokkan lagi menjadi enam subspesies, antara lain: S. enterica subsp. enterica, S. enterica subsp. salamae, S. enterica subsp. arizonae, S. enterica subsp. diarizonae, S. enterica subsp. houtenae, and S. enterica subsp. indica berdasarkan antigen O somatik dan antigen H flagelar melalui serotyping. Distribusi spesies beserta jumlah serovar dari masing-masing subspesies disajikan pada Tabel 2. 13 Spesies dan subspesies dibedakan berdasarkan uji biokimia, serologi, dan genetik Mazumdar, 2008. Tabel 2. Distribusi serovar dalam genus Salmonella pada tahun 2007 Spesies Subspesies Jumlah serovar Salmonella enterica Enterica I 1531 Salamae II 505 Arizonae IIIa 99 Diarizonae IIIb 336 Houtenae IV 73 Indica V 13 Salmonella bongori VI 22 Total 2579 Sumber: World Health Organization WHO, 2009 Spesies terbanyak dari genus Salmonella adalah Salmonella enterica dan subspesies terbanyak ialah subspesies enterica yang berjumlah 1531 serovar. Angka romawi pada masing-masing subspesies, kecuali angka VI pada spesies Salmonella bongori, digunakan untuk mempersingkat penamaan serovar. Pada tingkat genus diferensiasi Salmonella ke dalam spesies didasarkan pada perbedaan reaksi bakteri terhadap antigen. Hingga tahun 2000 lebih dari 2500 serovar Salmonella telah teridentifikasi D’Aoust, 2000. Skema yang disepakati secara internasional untuk menetapkan serovar Salmonella hingga saat ini ialah skema Kauffmann-White. Seluruh serotipe Salmonella ditetapkan berdasarkan antigennya Mazumdar, 2008. Antigen O merupakan antigen karbohidrat bagian dari lipopolisakarida. Gram negatif, salah satunya Salmonella, memiliki antigen O yang unik. Dan antigen H tersusun dari subunit protein, disebut flagelin, yang membentuk karakteristik flagela. Salmonella merupakan bakteri enterik yang unik karena bakteri ini dapat mengekspresikan dua antigen flagela yang berbeda. Kedua antigen flagela dikenal dengan antigen H fase 1 monofasik dan fase 2 bifasik. Isolat dengan flagela monofasik hanya menunjukkan satu tipe flagelin, sedangkan Salmonella bifasik memiliki fase 1 dan 2 pada antigen H. Penentuan tipe bifasik dengan cara menginokulasi Salmonella pada media inversi, yaitu media semi solid yang diberikan antisera positif dari fase 1. Salmonella bifasik akan tetap menunjukkan pergerakan yang ditandai dengan 14 meluasnya koloni ke tepi agar, sedangkan Salmonella monofasik tidak motil sebab antibodi yang terdapat pada sera telah berikatan dengan antigen flagela pada bakteri tersebut. Salmonella merupakan bakteri patogen penyebab Salmonellosis. Gejala klinis salmonellosis pada manusia terbagi menjadi demam tifoid dan non tifoid. Demam tifoid atau disebut dengan demam enterik disebabkan infeksi oleh galur tifoid atau paratyphi sehingga disebut salmonellosis tifoid. Demam enterik dapat ditularkan atau disebarkan oleh individu yang terinfeksi serta makanan atau minuman yang terkontaminasi. Demam non tifoid disebut juga gastroenteritis merupakan infeksi terbatas dan terlokalisasi pada epitel intestinal. Gejala salmonellosis non tifoid hampir mirip dengan salmonellosis tifoid, yaitu: mual, kram abdominal, diare berair dan mungkin berdarah, demam dengan durasi kurang dari 48 jam, serta muntah dapat terjadi 8-72 jam setelah terinfeksi. Center for Disease Control and Prevention CDC, 2008 Amerika Serikat mengestimasi setiap tahunnya di Amerika Serikat jumlah kasus penyakit Salmonellosis non tifoid dari bahan pangan foodborne disease mencapai 1.4 juta kasus, 15608 harus dirawat dan 553 meninggal 30.6 dari seluruh kasus kematian yang disebabkan oleh patogen asal pangan. E. METODE DETEKSI KONVENSIONAL Analisis pangan terhadap kemungkinan adanya bakteri patogen atau bakteri pembusuk merupakan standar yang diharuskan untuk mengetahui kualitas pangan dan menjamin keamanan pangan de Boer dan Beumer, 1999. Analisis tersebut biasanya menggunakan metode konvensional yang telah distandarkan sehingga setiap negara di dunia memiliki standar yang sama dalam menilai kualitas pangan. Metode deteksi konvensional yang dimaksud ialah metode pengkulturan bakteri pada media spesifik dan menghitung sel bakteri yang hidup dalam pangan. Prinsipnya ialah mikroorganisme bermultiplikasi pada media pertumbuhan sehingga dapat dideteksi. Metode ini sensitif, dapat memberi 15 hasil uji baik kuantitatif ataupun kualitatif, dan menjadi standar bagi uji mikrobiologi terhadap produk pangan secara internasional. Metode konvensional meliputi persiapan media kultur pengkayaan, pengkayaan selektif, dan penumbuhan pada agar selektif, penghitungan koloni, pengkarakterisasian dengan uji biokimia, yang dapat dilanjutkan dengan penetapan serotipe serovar dengan uji serologi. Uji biokimia saat ini dipermudah dengan adanya API test. Identifikasi dengan API, menurut USFDA dalam BAM 2007, tidak dapat menggantikan uji serologi. API test hanya untuk mengidentifikasi perkiraan spesies tertentu, misalnya Salmonella spp. Oleh karena itu, penetapan serovar Salmonella tidak dapat ditentukan dengan uji biokimia API. Bakteri dari genus yang sama, setelah diuji biokimiawi memiliki sifat biokimia yang sama, tidak menjamin bahwa bakteri-bakteri tersebut berasal dari serovar yang sama. Bakteri-bakteri tersebut bisa saja berasal dari subspesies yang sama, tetapi serotipenya berbeda. Hal ini disebabkan dinding sel mikroorganisme mengandung protein dan lipopolisakarida. Setiap bakteri memiliki kemungkinan stuktur molekul protein atau lipopolisakarida yang berbeda. Antigen merupakan bagian dari struktur tersebut, oleh karena itu antigen setiap bakteri mungkin pula berbeda-beda. Pada genus Salmonella pembedaan antar subspesies dapat lebih lanjut dilakukan dengan melihat antigen O, antigen Vi, dan antigen H spesies tersebut. Konfirmasi patogen dengan uji imunologi dapat dilakukan dengan Slide Agglutination Test SAT yang diterapkan pada uji serologi. Uji serologi serotyping merupakan tahapan dalam metode konvensional untuk mengkonfirmasi koloni tipikal yang telah diperoleh dari uji morfologi dan uji biokimia. Juga mengidentifikasi organisme pada tingkat subspesies dan menjadi salah satu alat penting bagi klasifikasi taksonomi serta pengawasan kasus keracunan pangan atau KLB akibat kontaminasi patogen tertentu, misalnya Salmonella spp. Walaupun uji biokimia juga mengkonfirmasi koloni tipikal, uji tersebut tidak dapat mensubstitusi uji serologi. Sebab kedua uji mengidentifikasi dua sifat yang berbeda, sifat biokimia dan serotipe. 16 Serotipe galur Salmonella dilakukan dengan mengidentifikasi antigen permukaan LPS, antigen O terlebih dahulu, kemudian antigen flagela protein, antigen H. Sebagian besar galur Salmonella menunjukkan 2 fase antigen H. Setelah keseluruhan serotyping dilaksanakan, barulah serotipe dapat ditetapkan berdasarkan skema Kauffmann-White, Popoff dan Le Minor, WHO, 2009 memanfaatkan kombinasi antigen O dan antigen H spesifik. Prinsip uji ini adalah aglutinasi antigen pada patogen-antibodi dalam antisera. Aglutinasi yang diharapkan terjadi uji positif pada SAT terbentuk karena antigen dan antisera berikatan. Proses aglutinasi memerlukan proporsi antisera dan suspensi bakteri yang tepat atau ekuivalen, agar dapat terlihat jelas dengan mata telanjang. Penetesan antisera dikendalikan dengan pipet tetes lihat tanda panah pada Gambar 1a yang melengkung dan menyempit di bagian ujungnya untuk memperkecil volume antisera yang diteteskan. a b Gambar 1. a Antisera; b Visualisasi aglutinasi [sebelah kiri pada slide] Kelebihan atau kekurangan salah satu di antara kedua komponen tersebut tidak akan menghasilkan ikatan yang kompak sehingga aglutinasi tidak terlihat jelas pada gelas objek. Visualisasi dari aglutinasi ditunjukkan oleh tanda panah pada Gambar 1b. Kekurangan dari metode ini ialah memerlukan pengalaman yang baik dari peneliti untuk melihat aglutinasi, menghabiskan antisera cukup banyak, memerlukan waktu pengujian serologi saja minimal tiga hari. Prosedur yang panjang dan diperlukannya waktu inkubasi di setiap tahapan menyebabkan waktu deteksi dengan metode konvensional hingga berhari-hari. Kelemahan 17 lain dari metode ini ialah diperlukan banyak alat gelas dan tenaga peneliti tidak otomatis dengan instrumen. Saat ini telah banyak teknik yang dikembangkan untuk mempermudah pelaksanaan metode konvensional, misalnya: gravimetric diluter, pulsifier dan stomacher yang mempermudah homogenisasi; spiral plater, dipslide, dan petrifilm untuk enumerasi dan deteksi; colony counter dan kit uji untuk konfirmasi atau identifikasi de Boer dan Beumer, 1999. Meskipun demikian waktu pendeteksian tidak berkurang secara signifikan hingga dikembangkanlah metode deteksi cepat. F. METODE DETEKSI CEPAT RAPID METHOD BAKTERI PATOGEN DENGAN PCR Perkembangan terkini dalam teknologi, secara teori membuat proses deteksi dan identifikasi bakteri patogen lebih cepat, tepat, sensitif, dan spesifik dibandingkan dengan metode konvensional Anonim, 2001. Metode deteksi dengan teknik molekuler meliputi DNA probes, Polymerase Chain Reaction PCR, Restriction Enzyme Analysis REA, Random Amplification of Polymorphic DNA RAPD, Pulsed Field Gel Electrophoresis PFGE, dan Restriction Fragment Length Polymorphism RFLP Jay, 1996. Metode-metode tersebut sering disebut sebagai metode cepat rapid methods. Metode deteksi cepat patogen dan kontaminan mikrobiologi lainnya dalam makanan merupakan hal yang sangat penting untuk menjamin keamanan pangan konsumen. Keuntungan dari metode cepat dibandingkan dengan metode konvensional adalah waktu lebih singkat 4–48 jam, tidak membutuhkan banyak tenaga, serta lebih sensitif dan akurat Patel dan Williams, 1994; Anonim, 2001. Sedangkan metode konvensional untuk mendeteksi patogen asal pangan bergantung pada waktu yang dibutuhkan untuk pertumbuhan bakteri dalam media kultur, yang diikuti oleh isolasi, identifikasi biokimia, dan terkadang harus diikuti dengan uji serologi. Metode uji berbasiskan DNA yang telah dikembangkan secara komersial untuk mendeteksi patogen asal pangan, antara lain: probes, PCR dan bakteriofage Patel dan Williams, 1994. Metode paling populer adalah 18 amplifikasi DNA dengan Polymerase Chain Reaction PCR de Boer dan Beumer, 1999. PCR adalah metode in vitro untuk memperbanyak sekuens DNA tertentu, perbanyakan tersebut seperti halnya replikasi DNA pada sel hidup. Lazimnya metode ini PCR standar memerlukan tahapan isolasi DNA, amplifikasi sekuens target dengan PCR, pemisahan produk amplifikasi amplikon dengan elektroforesis gel agarosa, dan memperkirakan ukuran fragmen dengan DNA ladder setelah pewarnaan dengan ethidium bromida. Pada bagian akhir, verifikasi hasil PCR dilakukan dengan pembelahan spesifik amplikon oleh endonuklease restriksi atau pemindahan amplikon terpisah ke dalam membran kemudian dihibridisasi dengan probe DNA spesifik. Alternatif verifikasi lain dengan sekuensing langsung menggunakan semi-nested PCR. Perkembangan PCR lainnya yang lebih nyaman digunakan ialah real-time PCR, di mana amplifikasi PCR dan verifikasi dilakukan sekali jalan dengan probe khusus oligonukleotida berlabel fluoresen yang spesifik terhadap gen target. Real-time PCR melakukan amplifikasi dan deteksi dalam satu tahapan sebab akumulasi produk spesifik dicatat secara kontinyu selama siklus. Hal ini tidak dapat dilakukan pada PCR standar yang masih mengandalkan elektroforesis gel agarosa untuk mengkuantitasi amplikon. Hasil dari elektroforesis gel agarosa ini memperpanjang waktu deteksi dan kurang tepat karena pengukurannya berdasarkan ukuran molekul. Padahal molekul yang berbeda mungkin saja memiliki ukuran yang sama atau hampir sama. Pendeteksian dengan gel agarosa menganggap molekul yang berbeda tersebut sebagai molekul yang sama Dharmaraj, 2009. Pendeteksian produk real-time PCR secara kuantitatif berbeda dengan PCR standar yang mengkuantitasi amplikon berdasarkan panjang basa atau bobot molekul. Kuantitas produk real-time PCR dihitung berdasarkan threshold cycle Ct yaitu waktu di mana intensitas fluoresen lebih besar daripada fluoresen yang ditimbulkan oleh noise background fluorescence. Noise dapat disebabkan oleh penempelan larutan isolat DNA beserta pereaksi-pereaksi PCR pada dinding tabung microwell. 19 Format PCR standar yang berdasarkan analisis titik akhir fase plato kurang kuantitatif karena hasil akhir produknya tidak didasarkan konsentrasi sekuens target dalam sampel, tetapi berdasarkan pada ukuran molekul hasil amplifikasi amplikon. Berikut ini beberapa kekurangan deteksi amplikon jika dilakukan pada fase plato dengan elektroforesis gel agarosa: kurang tepat, sensitivitas rendah, tidak otomatis, hanya berdasarkan ukuran molekul, pewarnaan ethidium bromida kurang sensitif, dan memperpanjang waktu deteksi Dharmaraj, 2009. Keunggulan real-time PCR adalah pendeteksian diukur tepat pada saat target amplifikasi terdeteksi pertama kali di setiap siklus fase eksponensial, bukan di fase akhir amplifikasi fase plato seperti yang terjadi pada PCR standar. Keunggulan real-time PCR lainnya ialah analisis dapat dilakukan tanpa membuka tabung sehingga mengurangi risiko kontaminasi amplikon PCR atau molekul target lainnya. Menurut Edwards et al. 2004, aplikasi teknologi real-time PCR mengurangi waktu penanganan atau pengujian dan meningkatkan keakuratan kuantifikasi metode PCR. Dengan demikian, penggunaan teknik real-time PCR lebih efisien dan efektif dibandingkan PCR standar Edwards et al., 2004. Kuantifikasi real-time PCR dapat dilakukan dengan dua teknik: 1 penggunaan dye fluoresence yang berikatan dengan DNA untai ganda, dan 2 penggunaan probe oligonukleotida DNA modifikasi yang mengeluarkan fluoresen ketika hibridisasi dengan DNA komplementer. Data yang dihasilkan dapat dianalisis dengan perangkat lunak komputer yang terhubung dengan thermal cycler untuk menghitung jumlah kopi DNA atau threshold cycle Ct dari patogen dalam sampel pangan tertentu. Sebelum tahap amplifikasi dengan real-time PCR, diperlukan tahap persiapan, kemudian setelah tahap amplifikasi diperlukan evaluasi produk PCR. Tahap persiapan dan evaluasi tersebut dijelaskan lebih lanjut di bawah ini:

1. Tahap Pra-Amplifikasi Real-Time PCR