9 menguntungkan, tetapi juga dapat mendatangkan kerugian. Misalnya jika
kehadiran mikroba tersebut mengubah bau, rasa, dan warna yang tidak dikehendaki; menurunkan berat atau volume; menurunkan nilai gizinutrisi;
mengubah bentuk dan susunan senyawa serta menghasilkan toksin yang membahayakan di dalam pangan Supardi dan Sukamto, 1999.
Pangan yang memiliki kandungan mikroba tertentu dapat menimbulkan penyakit bila dikonsumsi. Menurut penyebabnya, penyakit yang ditimbulkan
oleh makanan dapat digolongkan dalam dua kelompok besar, yaitu keracunan dan infeksi mikroba. Keracunan dapat terjadi karena tertelannya suatu racun
baik organik atau anorganik yang mungkin terdapat secara alamiah pada bahan pangan, serta tertelannya toksin yang merupakan hasil metabolisme sel-sel
mikroba tertentu. Gejala keracunan karena toksin tersebut disebut intoksikasi. Sedangkan tertelannya atau masuknya mikroba ke dalam tubuh, kemudian
menembus sistem pertahanan tubuh dan hidup serta berkembang biak di dalam tubuh disebut infeksi Supardi dan Sukamto, 1999.
Menurut Walderhaug 2007, patogen-patogen penyebab keracunan pangan, antara lain: Salmonella spp., Staphylococcus aureus, Clostridium
perfringens, Bacillus cereus, Campylobacter sp., Shigella sp., Clostridium
botulinum, dan Escherichia coli. Salah satu bentuk kasus keracunan pangan
yang disebabkan oleh bakteri patogen ialah keracunan pangan yang menjadi Kejadian Luar Biasa KLB di Amerika, Inggris, Kanada, dan Norwegia.
Bakteri penyebab KLB tersebut adalah Bacillus cereus yang terdapat pada nasi putih dan nasi goreng Supardi dan Sukamto, 1999. Agar KLB tersebut dapat
dicegah di Indonesia, diperlukan metode yang mampu mendeteksi bakteri patogen tersebut pada sampel pangan secara sensitif, spesifik, akurat, dan cepat
untuk menjamin keamanan pangan.
C. Bacillus cereus
Bacillus cereus adalah bakteri pembentuk spora yang tergolong ke dalam
famili Bacillaceae. Spora B. cereus tahan terhadap panas dan radiasi. Bakteri ini bersifat aerobik sampai anaerobik fakultatif, katalase positif, dan
kebanyakan Gram positif serta mempunyai enzim proteolitik Fardiaz, 1992.
10 B. cereus
juga memproduksi enterotoksin dan metabolit-metabolit lainnya. Tidak memproduksi indol, reaksi Voges-Proskauer positif, dapat
menggunakan sitrat sebagai sumber karbon, mereduksi nitrat, tidak memproduksi urease dan penisilinase, dapat tumbuh secara anaerobik di
dalam media cair yang mengandung 1 glukosa, memproduksi asam dari glukosa, sukrosa, maltosa dan gliserol, serta tahan terhadap lisozim Supardi
dan Sukamto, 1999. Jenis pangan yang sering ditumbuhi B. cereus terutama adalah daging,
nasi, sayuran, sosis, makaroni, dan kadang-kadang ikan, susu atau es krim. Pangan penyebab keracunan umumnya mengandung sel B. cereus dalam
jumlah tinggi. Analisis mikrobiologi terhadap B. cereus pada agar darah menunjukkan bahwa dari 17 KLB yang terjadi di Inggris tahun 1971-1976,
kandungan B. cereus pada nasi penyebab keracunan tersebut berkisar antara 3 x 10
5
– 2 x 10
9
CFUg dengan rata-rata 5 x 10
7
CFUg Supardi dan Sukamto, 1999. Konsumsi pangan yang mengandung lebih dari
10
6
B.cereusg USFDA, 2001 sudah dapat menyebabkan keracunan pangan, khususnya pada pangan yang dibiarkan saat preparasi tanpa dimasukkan ke
dalam lemari pendingin sebelum dihidangkan. B. cereus
tumbuh cepat apabila substratnya mengandung karbohidrat. Sedangkan bila substratnya tidak mengandung karbohidrat, pertumbuhannya
akan sangat lambat dan tidak dapat membentuk toksin. B. cereus dapat tumbuh secara baik pada media yang mengandung 0.025 M glukosa dan
mencapai maksimum setelah 4.5 jam Supardi dan Sukamto, 1999. Produksi toksin terjadi selama pertumbuhan logaritmik, dan mencapai maksimum
sampai glukosa di dalam medium habis dipecah oleh bakteri tersebut. Galur B. cereus yang bersifat patogenik digolongkan ke dalam bakteri
penyebab intoksikasi dan dapat dibedakan atas dua grup berdasarkan sifat patogeniknya, yaitu galur penyebab diare dan galur penyebab muntah. Galur
penyebab diare yang memproduksi enterotoksin dapat tumbuh pada berbagai pangan dan mempunyai waktu inkubasi sejak tertelan sampai timbulnya
gejala intoksikasi berkisar antara 8-16 jam. Galur yang memproduksi toksin
11 emetik mempunyai masa inkubasi lebih pendek, sekitar 1-5 jam Supardi dan
Sukamto, 1999. Galur B. cereus yang beragam tersebut dapat dibedakan berdasarkan gen
spesifik yang dimiliki masing-masing galur. Berdasarkan beberapa penelitian terdapat beberapa gen spesifik yang terdapat pada B. cereus, antara lain: gen
penghasil cereulide ces, sejenis toksin emetik Fricker et al., 2007, phosphotidyl inositol PI-1 Myers dan Sakelaris, 2004, gyrase gyrB
Myers dan Sakelaris, 2004, enterotoksin non-hemolitik Nhe Hansen dan Hendriksen, 2001, sitotoksin cytK Lund et al., 2000, hemolysin hblA
Mantynen dan Lindstrom, 1998, dan enterotoksin T BceT Mantynen dan Lindstrom, 1998.
Target gen spesifik akan menentukan primer yang digunakan dalam uji amplifikasi dengan PCR, target gen yang banyak digunakan ialah ces karena
toksin ini spesifik dihasilkan B. cereus emetik Fricker et al., 2007. Berbeda dengan sekuens gen 16S rRNA karena identik dengan beberapa bakteri lain,
termasuk B. anthracis. Keidentikan tersebut terlihat dari struktur primer 16S rRNA Bacillus anthracis, Bacillus cereus, Bacillus mycoides, dan Bacillus
thuringiensis setelah ditetapkan dengan metode sekuensing dideoksi
transkripsi terbalik, hasilnya menunjukkan semua galur memiliki sekuens serupa tingkat kemiripannya lebih dari 99 Ash et al., 1991.
Penggunaan gen spesifik bersamaan dengan dye fluoresence pada real- time PCR
memberikan limit deteksi LOD B.cereus sebesar 10
1
-10
3
cfug sampel pangan tanpa tahap pre-enrinchment. Dengan pengkayaan, limit
deteksi dapat mencapai 10 cfug. Apabila metode isolasi DNA dengan
pendidihan saja, limit deteksi menjadi kurang sensitif Fricker et al., 2007.
D. Salmonella spp.