6 jaringan nasional dan internasional serta kewenangan penegakan hukum
dan memiliki kredibilitas profesional yang tinggi.
2. Lokasi dan Tata Letak Instansi
Badan POM RI terletak di Jalan Percetakan Negara No. 23, Jakarta Pusat.
3. Visi dan Misi Instansi
Adapun Visi dan Misi dari Badan POM RI adalah : a.
Visi Badan POM RI Obat dan Makanan terjamin aman, bermanfaat dan bermutu.
b. Misi Badan POM RI
Melindungi masyarakat dari Obat dan Makanan yang berisiko terhadap kesehatan.
4. Struktur Organisasi Instansi
Badan POM RI ditetapkan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 166 Tahun 2000 tentang Kedudukan, Tugas, fungsi, Kewenangan,
Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen, sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden
Nomor 173 tahun 2000. Pembentukan Badan POM RI ini ditindaklanjuti dengan Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor
02001SKKBADAN POM RI, tanggal 26 Februari tahun 2001, tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengawas Obat dan Makanan setelah
mendapatkan persetujuan Menteri Negeri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 34M.PAN22001 tanggal 1 Februari 2001. Berikut ini adalah
struktur organisasi Badan POM: a.
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan b.
Sekretariat Utama c.
Inspektorat d.
Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif NAPZA
7 e.
Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen
f. Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
g. Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional
h. Pusat Penyidikan Obat dan Makanan
i. Pusat Riset Obat dan Makanan
j. Pusat Informasi Obat dan Makanan
k. Unit Pelaksana Teknis Badan POM
Struktur organisasi dalam bentuk skema dapat dilihat pada Lampiran 1.
Pusat Riset Obat dan Makanan, bagian dari struktur organisasi Badan POM RI, merupakan tempat magang dipenuhi. Berikut ini adalah
penjelasan lebih lanjut mengenai sub-instansi ini: a.
Kedudukan Pusat Riset Obat dan Makanan PROM adalah unsur pelaksana
tugas Badan POM RI yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Badan POM. Dalam pelaksanaan tugas sehari-hari
secara teknis dibina oleh Deputi dan secara administrasi dibina oleh Sekretariat Utama. Pusat Riset Obat dan Makanan dipimpin oleh
seorang kepala pusat. b.
Tugas dan Fungsi Sesuai dengan SK Kepala Badan POM RI No. 02001KBADAN
POM RI tanggal 26 Februari 2001, Pusat Riset Obat dan Makanan mempunyai tugas melaksanakan kegiatan di bidang riset toksikologi,
keamanan pangan dan produk terapetik. Pusat Riset Obat dan Makanan menyelenggarakan fungsi :
1. Penyusunan rencana dan program riset Obat dan Makanan.
2. Pelaksanaan riset obat dan makanan.
3. Evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan riset Obat dan
Makanan. c.
Susunan Organisasi Secara organisasi, Pusat Riset Obat dan Makanan terdiri dari:
8 1
Bidang Toksikologi 2
Bidang Keamanan Pangan 3
Bidang Produk Terapetik 4
Kelompok Pejabat Fungsional 5
Sub Bagian Tata Usaha d.
Bidang Toksikologi Bidang Toksikologi mempunyai tugas melaksanakan penyusunan
rencana dan program serta evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan riset toksikologi.
e. Bidang Keamanan Pangan
Bidang Keamanan Pangan mempunyai tugas melaksanakan penyusunan rencana dan program serta evaluasi dan penyusunan
laporan pelaksanaan riset keamanan pangan. f.
Bidang Terapetik Bidang Produk terapetik mempunyai tugas melaksanakan
penyusunan rencana dan program serta evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan riset produk terapetik.
g. Sub Bagian Tata Usaha
Sub Bagian Tata Usaha mempunyai tugas memberikan pelayanan teknis dan administrasi di lingkungan Pusat Riset Obat dan Makanan.
B. KERACUNAN PANGAN
Pangan merupakan kebutuhan pokok manusia karena di dalamnya terdapat zat-zat gizi yang penting bagi kehidupan. Zat-zat gizi tersebut
diperlukan untuk memulihkan dan memperbaiki jaringan tubuh yang rusak, mengatur proses di dalam tubuh, perkembangbiakan, dan menghasilkan energi
untuk beraktivitas. Zat gizi yang dimaksud, antara lain: karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan beberapa mineral. Bahan pangan dengan komponen
tersebut juga merupakan medium yang baik untuk pertumbuhan mikroba. Pertumbuhan mikroba dalam bahan pangan dipengaruhi oleh berbagai
faktor, seperti tersedianya nutrien, air, suhu, pH, oksigen, dan adanya zat penghambat. Keberadaan mikroba di dalam pangan tidak selamanya
9 menguntungkan, tetapi juga dapat mendatangkan kerugian. Misalnya jika
kehadiran mikroba tersebut mengubah bau, rasa, dan warna yang tidak dikehendaki; menurunkan berat atau volume; menurunkan nilai gizinutrisi;
mengubah bentuk dan susunan senyawa serta menghasilkan toksin yang membahayakan di dalam pangan Supardi dan Sukamto, 1999.
Pangan yang memiliki kandungan mikroba tertentu dapat menimbulkan penyakit bila dikonsumsi. Menurut penyebabnya, penyakit yang ditimbulkan
oleh makanan dapat digolongkan dalam dua kelompok besar, yaitu keracunan dan infeksi mikroba. Keracunan dapat terjadi karena tertelannya suatu racun
baik organik atau anorganik yang mungkin terdapat secara alamiah pada bahan pangan, serta tertelannya toksin yang merupakan hasil metabolisme sel-sel
mikroba tertentu. Gejala keracunan karena toksin tersebut disebut intoksikasi. Sedangkan tertelannya atau masuknya mikroba ke dalam tubuh, kemudian
menembus sistem pertahanan tubuh dan hidup serta berkembang biak di dalam tubuh disebut infeksi Supardi dan Sukamto, 1999.
Menurut Walderhaug 2007, patogen-patogen penyebab keracunan pangan, antara lain: Salmonella spp., Staphylococcus aureus, Clostridium
perfringens, Bacillus cereus, Campylobacter sp., Shigella sp., Clostridium
botulinum, dan Escherichia coli. Salah satu bentuk kasus keracunan pangan
yang disebabkan oleh bakteri patogen ialah keracunan pangan yang menjadi Kejadian Luar Biasa KLB di Amerika, Inggris, Kanada, dan Norwegia.
Bakteri penyebab KLB tersebut adalah Bacillus cereus yang terdapat pada nasi putih dan nasi goreng Supardi dan Sukamto, 1999. Agar KLB tersebut dapat
dicegah di Indonesia, diperlukan metode yang mampu mendeteksi bakteri patogen tersebut pada sampel pangan secara sensitif, spesifik, akurat, dan cepat
untuk menjamin keamanan pangan.
C. Bacillus cereus
Bacillus cereus adalah bakteri pembentuk spora yang tergolong ke dalam
famili Bacillaceae. Spora B. cereus tahan terhadap panas dan radiasi. Bakteri ini bersifat aerobik sampai anaerobik fakultatif, katalase positif, dan
kebanyakan Gram positif serta mempunyai enzim proteolitik Fardiaz, 1992.
10 B. cereus
juga memproduksi enterotoksin dan metabolit-metabolit lainnya. Tidak memproduksi indol, reaksi Voges-Proskauer positif, dapat
menggunakan sitrat sebagai sumber karbon, mereduksi nitrat, tidak memproduksi urease dan penisilinase, dapat tumbuh secara anaerobik di
dalam media cair yang mengandung 1 glukosa, memproduksi asam dari glukosa, sukrosa, maltosa dan gliserol, serta tahan terhadap lisozim Supardi
dan Sukamto, 1999. Jenis pangan yang sering ditumbuhi B. cereus terutama adalah daging,
nasi, sayuran, sosis, makaroni, dan kadang-kadang ikan, susu atau es krim. Pangan penyebab keracunan umumnya mengandung sel B. cereus dalam
jumlah tinggi. Analisis mikrobiologi terhadap B. cereus pada agar darah menunjukkan bahwa dari 17 KLB yang terjadi di Inggris tahun 1971-1976,
kandungan B. cereus pada nasi penyebab keracunan tersebut berkisar antara 3 x 10
5
– 2 x 10
9
CFUg dengan rata-rata 5 x 10
7
CFUg Supardi dan Sukamto, 1999. Konsumsi pangan yang mengandung lebih dari
10
6
B.cereusg USFDA, 2001 sudah dapat menyebabkan keracunan pangan, khususnya pada pangan yang dibiarkan saat preparasi tanpa dimasukkan ke
dalam lemari pendingin sebelum dihidangkan. B. cereus
tumbuh cepat apabila substratnya mengandung karbohidrat. Sedangkan bila substratnya tidak mengandung karbohidrat, pertumbuhannya
akan sangat lambat dan tidak dapat membentuk toksin. B. cereus dapat tumbuh secara baik pada media yang mengandung 0.025 M glukosa dan
mencapai maksimum setelah 4.5 jam Supardi dan Sukamto, 1999. Produksi toksin terjadi selama pertumbuhan logaritmik, dan mencapai maksimum
sampai glukosa di dalam medium habis dipecah oleh bakteri tersebut. Galur B. cereus yang bersifat patogenik digolongkan ke dalam bakteri
penyebab intoksikasi dan dapat dibedakan atas dua grup berdasarkan sifat patogeniknya, yaitu galur penyebab diare dan galur penyebab muntah. Galur
penyebab diare yang memproduksi enterotoksin dapat tumbuh pada berbagai pangan dan mempunyai waktu inkubasi sejak tertelan sampai timbulnya
gejala intoksikasi berkisar antara 8-16 jam. Galur yang memproduksi toksin
11 emetik mempunyai masa inkubasi lebih pendek, sekitar 1-5 jam Supardi dan
Sukamto, 1999. Galur B. cereus yang beragam tersebut dapat dibedakan berdasarkan gen
spesifik yang dimiliki masing-masing galur. Berdasarkan beberapa penelitian terdapat beberapa gen spesifik yang terdapat pada B. cereus, antara lain: gen
penghasil cereulide ces, sejenis toksin emetik Fricker et al., 2007, phosphotidyl inositol PI-1 Myers dan Sakelaris, 2004, gyrase gyrB
Myers dan Sakelaris, 2004, enterotoksin non-hemolitik Nhe Hansen dan Hendriksen, 2001, sitotoksin cytK Lund et al., 2000, hemolysin hblA
Mantynen dan Lindstrom, 1998, dan enterotoksin T BceT Mantynen dan Lindstrom, 1998.
Target gen spesifik akan menentukan primer yang digunakan dalam uji amplifikasi dengan PCR, target gen yang banyak digunakan ialah ces karena
toksin ini spesifik dihasilkan B. cereus emetik Fricker et al., 2007. Berbeda dengan sekuens gen 16S rRNA karena identik dengan beberapa bakteri lain,
termasuk B. anthracis. Keidentikan tersebut terlihat dari struktur primer 16S rRNA Bacillus anthracis, Bacillus cereus, Bacillus mycoides, dan Bacillus
thuringiensis setelah ditetapkan dengan metode sekuensing dideoksi
transkripsi terbalik, hasilnya menunjukkan semua galur memiliki sekuens serupa tingkat kemiripannya lebih dari 99 Ash et al., 1991.
Penggunaan gen spesifik bersamaan dengan dye fluoresence pada real- time PCR
memberikan limit deteksi LOD B.cereus sebesar 10
1
-10
3
cfug sampel pangan tanpa tahap pre-enrinchment. Dengan pengkayaan, limit
deteksi dapat mencapai 10 cfug. Apabila metode isolasi DNA dengan
pendidihan saja, limit deteksi menjadi kurang sensitif Fricker et al., 2007.
D. Salmonella spp.
Salmonella merupakan bakteri Gram negatif berbentuk batang yang tidak
membentuk spora, fakultatif anaerobik, mampu tumbuh pada pH mendekati 4.0-9.0 dengan pH optimum 7.0, dan termasuk dalam famili
Enterobacteriaceae . Bakteri ini berukuran 0.7-1.5 x 2-5 µm, motil dengan
flagela peritrikus, kecuali Salmonella Pullorum dan Salmonella Gallinarum
12 yang tidak motil karena tidak mempunyai flagela. Bakteri ini tumbuh
optimum pada suhu 35-37°C, dapat mengkatabolisme bermacam karbohidrat menjadi asam dan gas, menggunakan sitrat sebagai sumber tunggal karbon,
memproduksi H
2
S dan dapat mendekarboksilasi lysine menjadi kadaverin dan ornithin menjadi putrescin. Salmonella dapat tumbuh pada kadar garam
maksimal 8 Rusyanto, 2005. Nama Salmonella pertama kali diberikan oleh Lignieres pada tahun 1990
sebagai penghormatan kepada seorang ahli bakteriologi Amerika Serikat D.E. Salmon yang telah berhasil mengkarakterisasikan bakteri Bacillus
penyebab kolera pada babi dan memasukkannya dalam famili Enterobacteriaceae
. Taksonomi Salmonella pertama kali diperkenalkan oleh White 1929 dan dimodifikasi oleh Kauffman 1934. Tahun 1966,
Kauffman mulai mengklasifikasikan 51 grup somatik Salmonella menjadi 4 sub genera dengan menggunakan karakteristik biokimia. Sub genus kelima
lalu ditambahkan setelah ditemukannya beberapa karakteristik yang berbeda. Adapun karakteristik biokimia masing masing sub genus dapat dilihat pada
Tabel 1. Tabel 1. Pembagian subgenus Salmonella berdasarkan karakteristik
biokimia
Klasifikasi Karakteristik Subgenus 1
Mampu menggunakan dulcitol, banyak berhubungan atau ditemukan pada manusia atau hewan vertebrata berdarah panas.
Isolasi frekuensinya sangat tinggi Subgenus 2
Mampu menggunakan dulcitol dan malonat Subgenus 3
Mampu menggunakan malonat dan O-nitriphenyl-ß-D- galactopyranoside ONPG
Subgenus 4 Mampu tumbuh dalam KCN
Subgenus 5 Tidak dapat memetabolisme dulcitol, malonat, mampu
mengkatabolisme ONPG dan tumbuh dalam KCN
Sumber: D’Aoust 2000 Genus Salmonella terdiri dari dua spesies, yaitu S. enterica. dan
S. bongori . Spesies S. enterica masih dapat dikelompokkan lagi menjadi
enam subspesies, antara lain: S. enterica subsp. enterica, S. enterica subsp. salamae, S. enterica subsp. arizonae, S. enterica subsp. diarizonae, S. enterica
subsp. houtenae, and S. enterica subsp. indica berdasarkan antigen O somatik dan antigen H flagelar melalui serotyping. Distribusi spesies
beserta jumlah serovar dari masing-masing subspesies disajikan pada Tabel 2.
13 Spesies dan subspesies dibedakan berdasarkan uji biokimia, serologi, dan
genetik Mazumdar, 2008. Tabel 2. Distribusi serovar dalam genus Salmonella pada tahun 2007
Spesies Subspesies Jumlah
serovar Salmonella
enterica Enterica I
1531 Salamae
II 505
Arizonae IIIa
99 Diarizonae
IIIb 336 Houtenae
IV 73
Indica V
13 Salmonella
bongori VI 22
Total 2579
Sumber: World Health Organization WHO, 2009 Spesies terbanyak dari genus Salmonella adalah Salmonella enterica dan
subspesies terbanyak ialah subspesies enterica yang berjumlah 1531 serovar. Angka romawi pada masing-masing subspesies, kecuali angka VI pada
spesies Salmonella bongori, digunakan untuk mempersingkat penamaan serovar.
Pada tingkat genus diferensiasi Salmonella ke dalam spesies didasarkan pada perbedaan reaksi bakteri terhadap antigen. Hingga tahun 2000 lebih dari
2500 serovar Salmonella telah teridentifikasi D’Aoust, 2000. Skema yang disepakati secara internasional untuk menetapkan serovar Salmonella hingga
saat ini ialah skema Kauffmann-White. Seluruh serotipe Salmonella ditetapkan berdasarkan antigennya Mazumdar, 2008.
Antigen O merupakan antigen karbohidrat bagian dari lipopolisakarida. Gram negatif, salah satunya Salmonella, memiliki antigen O yang unik. Dan
antigen H tersusun dari subunit protein, disebut flagelin, yang membentuk karakteristik flagela. Salmonella merupakan bakteri enterik yang unik karena
bakteri ini dapat mengekspresikan dua antigen flagela yang berbeda. Kedua antigen flagela dikenal dengan antigen H fase 1 monofasik dan fase 2
bifasik. Isolat dengan flagela monofasik hanya menunjukkan satu tipe flagelin, sedangkan Salmonella bifasik memiliki fase 1 dan 2 pada antigen H.
Penentuan tipe bifasik dengan cara menginokulasi Salmonella
pada media inversi, yaitu media semi solid yang diberikan antisera positif dari fase 1.
Salmonella bifasik akan tetap menunjukkan pergerakan yang ditandai dengan
14 meluasnya koloni ke tepi agar, sedangkan Salmonella monofasik tidak motil
sebab antibodi yang terdapat pada sera telah berikatan dengan antigen flagela pada bakteri tersebut.
Salmonella merupakan bakteri patogen penyebab Salmonellosis. Gejala
klinis salmonellosis pada manusia terbagi menjadi demam tifoid dan non tifoid. Demam tifoid atau disebut dengan demam enterik disebabkan infeksi
oleh galur tifoid atau paratyphi sehingga disebut salmonellosis tifoid. Demam enterik dapat ditularkan atau disebarkan oleh individu yang terinfeksi serta
makanan atau minuman yang terkontaminasi. Demam non tifoid disebut juga gastroenteritis merupakan infeksi terbatas dan terlokalisasi pada epitel
intestinal. Gejala salmonellosis non tifoid hampir mirip dengan salmonellosis tifoid, yaitu: mual, kram abdominal, diare berair dan mungkin berdarah,
demam dengan durasi kurang dari 48 jam, serta muntah dapat terjadi 8-72 jam setelah terinfeksi.
Center for Disease Control and Prevention CDC, 2008 Amerika
Serikat mengestimasi setiap tahunnya di Amerika Serikat jumlah kasus penyakit Salmonellosis non tifoid dari bahan pangan foodborne disease
mencapai 1.4 juta kasus, 15608 harus dirawat dan 553 meninggal 30.6 dari seluruh kasus kematian yang disebabkan oleh patogen asal pangan.
E. METODE DETEKSI KONVENSIONAL
Analisis pangan terhadap kemungkinan adanya bakteri patogen atau bakteri pembusuk merupakan standar yang diharuskan untuk mengetahui
kualitas pangan dan menjamin keamanan pangan de Boer dan Beumer, 1999. Analisis tersebut biasanya menggunakan metode konvensional yang
telah distandarkan sehingga setiap negara di dunia memiliki standar yang sama dalam menilai kualitas pangan.
Metode deteksi konvensional yang dimaksud ialah metode pengkulturan bakteri pada media spesifik dan menghitung sel bakteri yang hidup dalam
pangan. Prinsipnya ialah mikroorganisme bermultiplikasi pada media pertumbuhan sehingga dapat dideteksi. Metode ini sensitif, dapat memberi
15 hasil uji baik kuantitatif ataupun kualitatif, dan menjadi standar bagi uji
mikrobiologi terhadap produk pangan secara internasional. Metode konvensional meliputi persiapan media kultur pengkayaan,
pengkayaan selektif, dan penumbuhan pada agar selektif, penghitungan koloni, pengkarakterisasian dengan uji biokimia, yang dapat dilanjutkan
dengan penetapan serotipe serovar dengan uji serologi. Uji biokimia saat ini dipermudah dengan adanya API test. Identifikasi
dengan API, menurut USFDA dalam BAM 2007, tidak dapat menggantikan uji serologi. API test hanya untuk mengidentifikasi perkiraan spesies tertentu,
misalnya Salmonella spp. Oleh karena itu, penetapan serovar Salmonella tidak dapat ditentukan dengan uji biokimia API.
Bakteri dari genus yang sama, setelah diuji biokimiawi memiliki sifat biokimia yang sama, tidak menjamin bahwa bakteri-bakteri tersebut berasal
dari serovar yang sama. Bakteri-bakteri tersebut bisa saja berasal dari subspesies yang sama, tetapi serotipenya berbeda. Hal ini disebabkan dinding
sel mikroorganisme mengandung protein dan lipopolisakarida. Setiap bakteri memiliki kemungkinan stuktur molekul protein atau lipopolisakarida yang
berbeda. Antigen merupakan bagian dari struktur tersebut, oleh karena itu antigen setiap bakteri mungkin pula berbeda-beda. Pada genus Salmonella
pembedaan antar subspesies dapat lebih lanjut dilakukan dengan melihat antigen O, antigen Vi, dan antigen H spesies tersebut.
Konfirmasi patogen dengan uji imunologi dapat dilakukan dengan Slide Agglutination Test
SAT yang diterapkan pada uji serologi. Uji serologi serotyping merupakan tahapan dalam metode konvensional untuk
mengkonfirmasi koloni tipikal yang telah diperoleh dari uji morfologi dan uji biokimia. Juga mengidentifikasi organisme pada tingkat subspesies dan
menjadi salah satu alat penting bagi klasifikasi taksonomi serta pengawasan kasus keracunan pangan atau KLB akibat kontaminasi patogen tertentu,
misalnya Salmonella spp. Walaupun uji biokimia juga mengkonfirmasi koloni tipikal, uji tersebut tidak dapat mensubstitusi uji serologi. Sebab kedua
uji mengidentifikasi dua sifat yang berbeda, sifat biokimia dan serotipe.
16 Serotipe galur Salmonella dilakukan dengan mengidentifikasi antigen
permukaan LPS, antigen O terlebih dahulu, kemudian antigen flagela protein, antigen H. Sebagian besar galur Salmonella menunjukkan 2 fase
antigen H. Setelah keseluruhan serotyping dilaksanakan, barulah serotipe dapat ditetapkan berdasarkan skema Kauffmann-White, Popoff dan Le Minor,
WHO, 2009 memanfaatkan kombinasi antigen O dan antigen H spesifik. Prinsip uji ini adalah aglutinasi antigen pada patogen-antibodi dalam
antisera. Aglutinasi yang diharapkan terjadi uji positif pada SAT terbentuk karena antigen dan antisera berikatan. Proses aglutinasi memerlukan proporsi
antisera dan suspensi bakteri yang tepat atau ekuivalen, agar dapat terlihat jelas dengan mata telanjang. Penetesan antisera dikendalikan dengan pipet
tetes lihat tanda panah pada Gambar 1a yang melengkung dan menyempit di bagian ujungnya untuk memperkecil volume antisera yang diteteskan.
a b Gambar 1. a Antisera; b Visualisasi aglutinasi [sebelah kiri pada slide]
Kelebihan atau kekurangan salah satu di antara kedua komponen tersebut tidak akan menghasilkan ikatan yang kompak sehingga aglutinasi tidak
terlihat jelas pada gelas objek. Visualisasi dari aglutinasi ditunjukkan oleh tanda panah pada Gambar 1b.
Kekurangan dari metode ini ialah memerlukan pengalaman yang baik dari peneliti untuk melihat aglutinasi, menghabiskan antisera cukup banyak,
memerlukan waktu pengujian serologi saja minimal tiga hari. Prosedur yang panjang dan diperlukannya waktu inkubasi di setiap tahapan menyebabkan
waktu deteksi dengan metode konvensional hingga berhari-hari. Kelemahan
17 lain dari metode ini ialah diperlukan banyak alat gelas dan tenaga peneliti
tidak otomatis dengan instrumen. Saat ini telah banyak teknik yang dikembangkan untuk mempermudah
pelaksanaan metode konvensional, misalnya: gravimetric diluter, pulsifier dan stomacher yang mempermudah homogenisasi; spiral plater, dipslide, dan
petrifilm untuk enumerasi dan deteksi; colony counter dan kit uji untuk
konfirmasi atau identifikasi de Boer dan Beumer, 1999. Meskipun demikian waktu pendeteksian tidak berkurang secara signifikan hingga
dikembangkanlah metode deteksi cepat.
F. METODE DETEKSI CEPAT RAPID METHOD BAKTERI
PATOGEN DENGAN PCR
Perkembangan terkini dalam teknologi, secara teori membuat proses deteksi dan identifikasi bakteri patogen lebih cepat, tepat, sensitif, dan
spesifik dibandingkan dengan metode konvensional Anonim, 2001. Metode deteksi dengan teknik molekuler meliputi DNA probes, Polymerase Chain
Reaction PCR, Restriction Enzyme Analysis REA, Random Amplification
of Polymorphic DNA RAPD, Pulsed Field Gel Electrophoresis PFGE,
dan Restriction Fragment Length Polymorphism RFLP Jay, 1996. Metode-metode tersebut sering disebut sebagai metode cepat rapid methods.
Metode deteksi cepat patogen dan kontaminan mikrobiologi lainnya dalam makanan merupakan hal yang sangat penting untuk menjamin
keamanan pangan konsumen. Keuntungan dari metode cepat dibandingkan dengan metode konvensional adalah waktu lebih singkat 4–48 jam, tidak
membutuhkan banyak tenaga, serta lebih sensitif dan akurat Patel dan Williams, 1994; Anonim, 2001. Sedangkan metode konvensional untuk
mendeteksi patogen asal pangan bergantung pada waktu yang dibutuhkan untuk pertumbuhan bakteri dalam media kultur, yang diikuti oleh isolasi,
identifikasi biokimia, dan terkadang harus diikuti dengan uji serologi. Metode uji berbasiskan DNA yang telah dikembangkan secara komersial
untuk mendeteksi patogen asal pangan, antara lain: probes, PCR dan bakteriofage Patel dan Williams, 1994. Metode paling populer adalah
18 amplifikasi DNA dengan Polymerase Chain Reaction PCR de Boer dan
Beumer, 1999. PCR adalah metode in vitro untuk memperbanyak sekuens DNA
tertentu, perbanyakan tersebut seperti halnya replikasi DNA pada sel hidup. Lazimnya metode ini PCR standar memerlukan tahapan isolasi DNA,
amplifikasi sekuens target dengan PCR, pemisahan produk amplifikasi amplikon dengan elektroforesis gel agarosa, dan memperkirakan ukuran
fragmen dengan DNA ladder setelah pewarnaan dengan ethidium bromida. Pada bagian akhir, verifikasi hasil PCR dilakukan dengan pembelahan
spesifik amplikon oleh endonuklease restriksi atau pemindahan amplikon terpisah ke dalam membran kemudian dihibridisasi dengan probe DNA
spesifik. Alternatif verifikasi lain dengan sekuensing langsung menggunakan semi-nested
PCR. Perkembangan PCR lainnya yang lebih nyaman digunakan ialah real-time PCR, di mana amplifikasi PCR dan verifikasi dilakukan sekali
jalan dengan probe khusus oligonukleotida berlabel fluoresen yang spesifik terhadap gen target.
Real-time PCR melakukan amplifikasi dan deteksi dalam satu tahapan
sebab akumulasi produk spesifik dicatat secara kontinyu selama siklus. Hal ini tidak dapat dilakukan pada PCR standar yang masih mengandalkan
elektroforesis gel agarosa untuk mengkuantitasi amplikon. Hasil dari elektroforesis gel agarosa ini memperpanjang waktu deteksi dan kurang tepat
karena pengukurannya berdasarkan ukuran molekul. Padahal molekul yang berbeda mungkin saja memiliki ukuran yang sama atau hampir sama.
Pendeteksian dengan gel agarosa menganggap molekul yang berbeda tersebut sebagai molekul yang sama Dharmaraj, 2009.
Pendeteksian produk real-time PCR secara kuantitatif berbeda dengan PCR standar yang mengkuantitasi amplikon berdasarkan panjang basa atau
bobot molekul. Kuantitas produk real-time PCR dihitung berdasarkan threshold cycle
Ct yaitu waktu di mana intensitas fluoresen lebih besar daripada fluoresen yang ditimbulkan oleh noise background fluorescence.
Noise dapat disebabkan oleh penempelan larutan isolat DNA beserta
pereaksi-pereaksi PCR pada dinding tabung microwell.
19 Format PCR standar yang berdasarkan analisis titik akhir fase plato
kurang kuantitatif karena hasil akhir produknya tidak didasarkan konsentrasi sekuens target dalam sampel, tetapi berdasarkan pada ukuran molekul hasil
amplifikasi amplikon. Berikut ini beberapa kekurangan deteksi amplikon jika dilakukan pada fase plato dengan elektroforesis gel agarosa: kurang tepat,
sensitivitas rendah, tidak otomatis, hanya berdasarkan ukuran molekul, pewarnaan ethidium bromida kurang sensitif, dan memperpanjang waktu
deteksi Dharmaraj, 2009. Keunggulan real-time PCR adalah pendeteksian diukur tepat pada saat
target amplifikasi terdeteksi pertama kali di setiap siklus fase eksponensial, bukan di fase akhir amplifikasi fase plato seperti yang terjadi pada PCR
standar. Keunggulan real-time PCR lainnya ialah analisis dapat dilakukan tanpa membuka tabung sehingga mengurangi risiko kontaminasi amplikon
PCR atau molekul target lainnya. Menurut Edwards et al. 2004, aplikasi teknologi real-time PCR mengurangi waktu penanganan atau pengujian dan
meningkatkan keakuratan kuantifikasi metode PCR. Dengan demikian, penggunaan teknik real-time PCR lebih efisien dan efektif dibandingkan PCR
standar Edwards et al., 2004. Kuantifikasi real-time PCR dapat dilakukan dengan dua teknik:
1 penggunaan dye fluoresence yang berikatan dengan DNA untai ganda, dan 2 penggunaan probe oligonukleotida DNA modifikasi yang mengeluarkan
fluoresen ketika hibridisasi dengan DNA komplementer. Data yang dihasilkan dapat dianalisis dengan perangkat lunak komputer yang terhubung
dengan thermal cycler untuk menghitung jumlah kopi DNA atau threshold cycle
Ct dari patogen dalam sampel pangan tertentu. Sebelum tahap amplifikasi dengan real-time PCR, diperlukan tahap
persiapan, kemudian setelah tahap amplifikasi diperlukan evaluasi produk PCR. Tahap persiapan dan evaluasi tersebut dijelaskan lebih lanjut di bawah
ini:
1. Tahap Pra-Amplifikasi Real-Time PCR
Tahap pra-amplifikasi PCR standar dan real-time PCR tidak berbeda, meliputi persiapan sampel dan isolasi DNA untuk memperoleh
20 isolat DNA sebagai DNA target amplifikasi. Prosedur isolasi DNA
merupakan tahapan yang paling banyak dimodifikasi sebelum amplifikasi dengan PCR dimulai. Terdapat enam tahap dalam mengisolasi DNA,
yaitu preparasi sampel, pelisisan sel, proteksi dan stabilisasi DNA, pemisahan DNA dari debris sel, presipitasi DNA, dan pemekatan DNA.
Prosedur yang umum digunakan untuk mengisolasi DNA kromosomal sebagai DNA target untuk uji amplifikasi dikembangkan
oleh Sambrook et al. 1989. Prosedur isolasi DNA juga dikembangkan oleh Chapaval et al. 2008. Tahapan isolasi DNA prosedur-prosedur
tersebut dapat diperbandingkan berdasarkan enam tahap dalam mengisolasi DNA. Enam tahap mengisolasi DNA berdasarkan Sambrook
et al ., 1989, sebagai berikut:
a. Preparasi sampel
Sampel pangan yang telah diinokulasi secara artifisial dan dihomogenisasi, kemudian diencerkan.
b. Pelisisisan sel
Pelisisan sel dilakukan dengan 10 sodium dodecylsulphate SDS dan 0.2 mgml proteinase K. Selanjutnya divorteks dan
diinkubasi selama 2 jam pada suhu 65°C. c.
Proteksi dan stabilisasi DNA Suspensi dari tahap persiapan sampel ditambahkan 500 µl buffer
100 mM NaCl, 500 mM Tris pH 8.0 untuk menjaga kestabilan DNA ketika pelisisan sel.
d. Pemisahan DNA dari debris sel dan protein
DNA dipisahkan melalui ekstraksi dengan larutan fenol:kloroform 1:1 vv, pH 8.0. Ekstraksi tersebut diulang hingga
tiga kali dan setiap kali pengulangan fase aqueous dipindahkan ke tabung bersih.
e. Presipitasi DNA
Fase aqueous ditambah etanol 95 mengandung 0.3 M sodium asetat sebanyak 2.5 kali volume fase aqueous, diaduk, kemudian
21 diinkubasi semalam pada suhu -20°C untuk mengendapkan DNA
kromosomal. f.
Pemekatan DNA DNA di-recovery dengan sentrifugasi dan pelet DNA dicuci dua
kali dengan etanol 70.
Enam tahapan mengisolasi DNA berdasarkan metode yang dikembangkan oleh Chapaval et al. 2008 adalah sebagai berikut:
a. Preparasi sampel
Sebanyak 2.5 ml kultur yang telah diinkubasi semalam dalam Brain Heart Infusion Broth
BHIB disentrifus dengan kecepatan 33000 g selama 30 detik, kemudian supernatan dibuang dan pelet
diresuspensi. b.
Pelisisisan sel Pelet diresuspensi dalam 700 µl buffer ekstraksi 1.4 M NaCl;
100 mM Tris-HCl [pH 8.0]; 200 mM EDTA pH 8.0; 40 PVP polyvinylpyrrolidone; 2 CTAB cetyltrimethylammonium
bromide, 20 mgml Proteinase K; 0.2 β-Mercaptoethanol.
Tabung diinkubasi pada suhu 65°C selama 30 menit dengan pengocokan setiap 10 menit.
c. Proteksi dan stabilisasi DNA
Suspensi dari tahap persiapan sampel diberi buffer 1.4 M NaCl; 100 mM Tris-HCl pH 8.0 untuk menjaga kestabilan DNA ketika
pelisisan sel. Buffer tersebut diberikan bersamaan dengan larutan pelisis sel.
d. Pemisahan DNA dari debris sel dan protein
Sebanyak 650µl kloroform:isoamil alkohol 24:1 ditambahkan dan larutan disentrifus pada kecepatan 33000 g selama 7 menit. Fase
aqueous di bagian atas dipindahkan ke dalam sebuah tabung 1.5 ml dan 200 µl buffer ekstrasi tanpa proteinase K ditambahkan. Larutan
diaduk perlahan dan 650 µl kloroform:isoamil alkohol 24:1 ditambahkan. Tabung kembali disentrifus dan ekstraksi
22 kloroform:isoamil alkohol 24:1 dilakukan dua kali menggunakan
650 µl kloroform:isoamil alkohol. e.
Presipitasi DNA DNA dipresipitasi dengan penambahan sejumlah volume yang
sama dengan isopropanol pada suhu ruang. f.
Pemekatan DNA Isopropanol dihilangkan dan pelet dicuci dengan 70 µl etanol
70. Pelet DNA dikeringudarakan dan diresuspensi dalam 40 µl buffer Tris-EDTA TE 10 mM Tris-HCl pH 8.0; 1 mM EDTA pH
8.0 dan 10 µgml RNAse.
Prinsip dasar isolasi DNA adalah serangkaian proses untuk memisahkan DNA dari komponen-komponen sel lainnya. Hasil ekstraksi
merupakan tahapan penting untuk langkah berikutnya. Oleh sebab itu, tahapan ini harus dilakukan dengan baik dan bebas kontaminasi. Isolasi
yang banyak digunakan ialah ekstraksi dengan fenol:kloroform, seperti halnya kedua metode yang telah dijelaskan di atas. Teknik ekstraksi
fenol:kloroform menghasilkan kualitas yang lebih baik dibandingkan dengan metode pendidihan Fricker et al., 2007.
Reagen lain yang penting dalam isolasi DNA ialah Phosphate Buffer Saline
PBS yang berfungsi melarutkan matriks pangan sehingga berada dalam kondisi fisiologis, sekaligus mengendapkan inhibitor-inhibitor
yang tidak diperlukan seperti kalsium. Buffer TE digunakan untuk menjaga tekanan osmotik dan Cetyltrimethyl Ammonium Bromida
CTAB, Sodium Dodecyl Sulphate SDS, Ethylene Diamine Tetraacetic Acid
EDTA berfungsi untuk melisis matriks pangan dan merusak lipid pada membran sel sehingga DNA lebih mudah diekstraksi Anonim,
2008. Proteinase K digunakan untuk merusak protein dan enzim RNAse berfungsi untuk menghilangkan RNA sehingga dalam suspensi tertinggal
hanya DNA.
23
2. Pembacaan Produk Hasil Real-Time PCR