Kajian Metode Deteksi Bakteri Patogen Penyebab Penyakit Asal Pangan di Pusat Riset Obat dan Makanan Badan POM RI

(1)

SKRIPSI

KAJIAN METODE DETEKSI

BAKTERI PATOGEN PENYEBAB PENYAKIT ASAL PANGAN DI PUSAT RISET OBAT DAN MAKANAN BADAN POM RI

Oleh:

TRI OCTORA ANGELIA F24051927

2009

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(2)

KAJIAN METODE DETEKSI

BAKTERI PATOGEN PENYEBAB PENYAKIT ASAL PANGAN DI PUSAT RISET OBAT DAN MAKANAN BADAN POM RI

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh:

TRI OCTORA ANGELIA F24051927

2009

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(3)

Tri Octora Angelia. F24051927. Kajian Metode Deteksi Bakteri Patogen Penyebab Penyakit Asal Pangan di Pusat Riset Obat dan Makanan Badan POM RI. Di bawah bimbingan Ratih Dewanti-Hariyadi dan Winiati P. Rahayu.

RINGKASAN

Mikroorganisme sering mencemari pangan dan deteksinya dapat dilakukan dengan metode konvensional dan metode cepat. Metode konvensional memerlukan waktu yang lama karena berbasiskan morfologi dan sifat biokimiawi, dan kadang-kadang memerlukan konfirmasi berdasarkan uji serologi. Metode cepat yang berbasiskan Polymerase Chain Reaction (PCR) dapat mengidentifikasi dengan cara memperbanyak DNA target pada patogen. Perbanyakan DNA tersebut dapat berlangsung dengan adanya fragmen oligonukleotida yang komplementer terhadap DNA target tersebut (primer), enzim DNA polimerase, deoksinukleotida, Mg2+, buffer dan thermal cycler. Deteksi patogen dalam pangan juga dilakukan oleh Pusat Riset Obat dan Makanan, Badan POM RI. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari uji serologi untuk konfirmasi Salmonella spp., metode deteksi berbasiskan DNA terhadap B. cereus dalam pangan, dan menetapkan limit deteksi B. cereus dalam nasi goreng.

Konfirmasi Salmonella spp. dilakukan dengan uji serologi antigen O dengan Slide Agglutination Test (SAT). Reaksi positif SAT adalah terbentuknya aglutinasi karena antigen dan antibodi saling mengkompleks. Deteksi B. cereus dengan amplifikasi gen penyandi enterotoksin T menggunakan real-time PCR. Isolat DNA yang digunakan sebagai DNA target dalam amplifikasi diperoleh dari tiga metode isolasi, yaitu metode pendidihan, metode dengan pelarut fenol:kloroform, dan metode dengan kit komersial. Isolat DNA yang sudah diamplifikasi, kemudian ditetapkan limit deteksinya berdasarkan threshold cycle (Ct) amplikon.

Uji serologi terhadap sepuluh isolat Salmonella spp. menunjukkan bahwa masing-masing isolat memiliki antigen O dan motilitas yang berbeda-beda. Hal ini memungkinkan spesies Salmonella spp. tersebut diklasifikasikan ke dalam subspesies yang lebih spesifik. Isolasi DNA dengan menggunakan metode ekstraksi fenol:kloroform menghasilkan isolat DNA yang lebih murni. Hal tersebut ditunjukkan oleh puncak kurva peleburan produk amplifikasi DNA B. cereus terpusat pada suhu 81.5°C. Limit deteksi B. cereus dalam nasi goreng adalah 1.3 CFU/ml. Optimasi suhu annealing, konsentrasi primer, dan konsentrasi Mg2+ perlu dilakukan untuk memperoleh hasil optimal dalam proses amplifikasi PCR.


(4)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

KAJIAN METODE DETEKSI

BAKTERI PATOGEN PENYEBAB PENYAKIT ASAL PANGAN DI PUSAT RISET OBAT DAN MAKANAN BADAN POM RI

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh:

TRI OCTORA ANGELIA F24051927

Dilahirkan di Medan, 6 Oktober 1987 Tanggal lulus : 28 Agustus 2009

Menyetujui, Bogor, 7 September 2009

Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, MSc Prof. Dr. Winiati P. Rahayu Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II / Lapang

Mengetahui,

Dr. Ir. Nurheni Sri Palupi, Msi

A.n. Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Sekretaris


(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 6 Oktober 1987 di Medan dari pasangan Hisar P. Samosir dan Tiodor Agustina Saragi. Kedua orangtua memberi penulis seorang kakak lelaki, dr. Andre Somba Gugun Samosir dan seorang kakak perempuan Andika Putri Listiawati, STP.

Pendidikan penulis dimulai dari TK Anging Mamiri, dilanjutkan ke SD Negeri Setia Mulya 1, SLTP Negeri 1 Cimahi, dan SMA Negeri 2 Cimahi. Kemudian penulis melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor Fakultas Teknologi Pertanian dengan mayor Ilmu dan Teknologi Pangan dan minor Perkembangan Anak.

Selama menempuh pendidikan di Institut Pertanian Bogor, penulis mengimbangi studi dengan kegiatan ekstrakurikuler, antara lain: menyuluh para pedagang pangan dan warga sekitar kampus IPB mengenai keamanan pangan, mengepalai Departemen Peduli Pangan Indonesia dalam Himpunan Profesi HIMITEPA, mengurus komisariat Himpunan Mahasiswa Peduli Pangan (HMPPI), mengikuti Paduan Suara Fakultas, dan mengambil peran dalam sejumlah kegiatan Persekutuan Mahasiswa Kristen. Kegemaran penulis mempelajari hal-hal yang baru dan menciptakan hubungan sosial dengan orang lain dapat dipenuhi melalui kegiata-kegiatan tersebut. 


(6)

i   

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang Maha Pengasih. Kebaikan-Nya dan kekuasaan-Nya telah memberi penulis kemampuan untuk menyelesaikan skripsi ini.

Penulis juga ingin menyampaikan ungkapan terima kasih yang tulus kepada: 1. Mama dan Papa tersayang, Abang Andre sebagai panutanku, Kakak Andika Putri

sebagai pengaduanku.

2. Ibu Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc sebagai pembimbing yang senantiasa menuntun dan mengarahkan penulis selama studi hingga memperoleh kelulusan ini.

3. Ibu Prof. Dr. Winiati P. Rahayu sebagai pembimbing yang memberi kesempatan magang bagi penulis di Pusat Riset Obat dan Makanan Badan POM RI dan memberi saran-saran untuk penelitian dan penyelesaian skripsi ini.

4. Ibu Siti Nurjanah, STP, M.Si sebagai penguji yang memberi masukan bagi penulis demi kelayakan skripsi ini.

5. Seluruh Dosen dan Staf Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan (ITP) atas bantuan dan bimbingan yang diberikan kepada penulis selama menempuh pendidikan di Departemen ITP.

6. Saudara-saudara yang selalu mendukungku, Uda Ridwan beserta Inanguda, Abang Jon, Eda Ika beserta Nate dan Naomi, Nastry, dan Dian yang terkasih. Terima kasih atas doa kalian.

7. Golden Generation ITP 42 yang telah berjuang bersama-sama dalam menempuh studi di ITP. Yanka, Tiyu, Icha, Fahmi, Kamlit, Hesti, Galih, Dina, Ester, Tere senang dapat memiliki pengalaman dan mempelajari hal-hal baru bersama kalian. 8. Ntet, Nonk, Mpe, Ditol, Dini yang terus bersamaku dari awal berada di asrama

IPB hingga studi kita untuk strata-1 ini berakhir.

9. Ibu Ida, Ibu Suci, Ibu Novi, Ibu Ning, Ibu Khusnul, Ibu Wiwi serta para staf Pusat Riset Obat dan Makanan Badan POM yang menjadi rekan sekaligus pembimbing teknis.


(7)

ii   

10.Mike, Tiwi, Upik, dan Fauzan yang telah bersama-sama dengan penulis melaksanakan magang di Pusat Riset Obat dan Makanan, Badan POM.

11.Seluruh pihak yang telah membantu penulis hingga sampai di titik akhir Strata-1 ini.

Penulis menyadari kekurangan ataupun kesalahan tak lekang dari skripsi ini. Oleh karena itu, penulis sangat menghargai dan mengharapkan kritik dan saran bagi skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi kemajuan pendidikan dan perkembangan ilmu pengetahuan.

Bogor, 7 September 2009


(8)

iii   

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

I. PENDAHULUAN ... 1

A.LATAR BELAKANG ... 1

B.TUJUAN ... 4

C.MANFAAT ... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 5

A.KEADAAN UMUM INSTANSI MAGANG ... 5

1. Sejarah dan Perkembangan Instansi ... 5

2. Lokasi dan Tata Letak Instansi ... 6

3. Visi dan Misi Instansi ... 6

4. Struktur Organisasi Instansi ... 6

B.KERACUNAN PANGAN ... 8

C.Bacillus cereus ... 9

D.Salmonella spp. ... 11

E. METODE DETEKSI KONVENSIONAL ... 14

F. METODE DETEKSI CEPAT (RAPID METHOD) BAKTERI PATOGEN DENGAN PCR ... 17

1. Tahap Pra-Amplifikasi Real-Time PCR ... 19

2. Pembacaan Produk Hasil Real-Time PCR ... 23

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 27

A.TEMPAT DAN WAKTU MAGANG ... 27

B.LINGKUP KEGIATAN PENELITIAN ... 27


(9)

iv   

1. Identifikasi Serovar Salmonella spp. ... 29

2. Metode Deteksi B. cereus Berbasiskan DNA ... 30

D.METODE PENELITIAN ... 31

1. Identifikasi Serovar Salmonella spp. ... 31

2. Metode Deteksi B. cereus Berbasiskan DNA ... 32

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 41

A. Identifikasi Serovar Salmonella spp. ... 41

B. Metode Deteksi B. cereus Berbasiskan DNA ... 45

1. Tahap Persiapan Sampel ... 45

2. Tahap Isolasi DNA ... 48

3. Tahap Amplifikasi ... 57

4. Evaluasi Kinerja Real-Time PCR ... 59

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 69

A.KESIMPULAN ... 69

B.SARAN ... 69

DAFTAR PUSTAKA ... 70


(10)

v   

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Pembagian subgenus Salmonella berdasarkan karakteristik

biokimia ... 12 Tabel 2. Distribusi serovar dalam genus Salmonella pada tahun 2007 ... 13

Tabel 3. Data uji serologi antigen O dan motilitas... 41 Tabel 4 Data kurva standar dari metode isolasi pendidihan, ekstraksi dengan

fenol:kloroform, dan ekstraksi dengan kit komersial DNA ... 61 Tabel 5. Limit deteksi kultur murni B. cereus dan B. cereus dalam


(11)

vi   

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1a. Antisera ... 16

Gambar 1b. Visualisasi aglutinasi ... 16 Gambar 2. Grafik sigmoidal proses amplifikasi dengan real-time PCR

(Edwards et al., 2004). ... 23 Gambar 3. Kurva standar amplifikasi kultur murni dari enam tingkat

pengenceran dengan real-time PCR (Edwards et al., 2004) ... 24 Gambar 4. Melt curve yang memiliki sebuah puncak Tm ... 25 Gambar 5. Tahapan kerja pada identifikasi serovar Salmonella spp. ... 27 Gambar 6. Tahapan kerja pada uji amplifikasi DNA kultur murni

B. cereus ... 28 Gambar 7. Tahapan kerja pada uji amplifikasi DNA B. cereus dalam

nasi goreng ... 29 Gambar 8. Koloni tipikal B. cereus pada MYPA + Polymyxin B ... 46

Gambar 9a. Fase aqueous (atas), Interfase (tengah), dan Fase organik (bawah) dalam isolasi fenol:kloroform yang memiliki lapisan

interfase tebal ... 53 Gambar 9b. Fase aqueous (atas), Interfase (tengah), dan Fase organik

(bawah) dalam isolasi fenol:kloroform yang memiliki lapisan

interfase sangat tipis ... 53 Gambar 10a. Grafik amplifikasi DNA B. cereus hasil isolasi

metode pendidihan ... 60 Gambar 10b. Grafik amplifikasi DNA B. cereus hasil isolasi

metode dengan pelarut fenol:kloroform ... 60 Gambar 10c. Grafik amplifikasi DNA B. cereus hasil isolasi

metode dengan kit komersial ... 60 Gambar 10d. Kurva standar kultur murni B. cereus metode pendidihan ... 60


(12)

vii   

Gambar 10e. Kurva standar kultur murni B. cereus metode dengan pelarut

fenol:kloroform ... 60 Gambar 10f. Kurva standar kultur murni B. cereus metode dengan

kit komersial ... 60 Gambar 11a. Melt curve dari DNA yang diisolasi dengan metode pendidihan 67

Gambar 11b. Melt curve dari DNA yang diisolasi dengan metode ekstraksi

fenol:kloroform ... 66 Gambar 11c. Melt curve dari DNA yang diisolasi dengan metode ekstraksi

dengan kit komersial ... 66 Gambar 12a.Grafik amplifikasi isolat DNA B. subtilis ... 67 Gambar 12a. Melt curve isolat DNA B. subtilis ... 67


(13)

viii   

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Struktur organisasi Badan POM RI... 74

Lampiran 2. Prosedur pembuatan media TSB (Atlas, 2006) ... 75

Lampiran 3. Prosedur pembuatan media MYPA (Atlas, 2006) ... 76

Lampiran 4. Persiapan kultur bakteri (PROM Biotech, 2008) ... 77

Lampiran 5. Data jumlah koloni B. cereus dan konsentrasi kultur murni B. cereus ... 78

Lampiran 6. Isolasi DNA metode pendidihan (Hein et al., 2001 dengan modifikasi) ... 79

Lampiran 7. Isolasi DNA metode ekstraksi dengan fenol:kloroform (Sambrook et al., 1989 dengan modifikasi) ... 80

Lampiran 8. Isolasi DNA sesuai dengan panduan kit komersial ... 81

Lampiran 9. Penetapan Limit of Detection (LOD) Mikroba (PROM Biotech, 2008) ... 82

Lampiran 10. Uji motilitas Salmonella spp. ... 83


(14)

1

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Peristiwa keracunan pangan sering dilaporkan di media massa dan sering pula diasumsikan sebagai penyakit ringan seperti sakit perut, mual, dan muntah. Asumsi ini menyebabkan kajian dan penelusuran terhadap penyakit asal pangan dengan gejala tersebut kurang mendapat perhatian dari masyarakat, pemeriksaan kurang seksama dari pemerintah serta pihak terkait bidang kesehatan. Hal ini terbukti dengan minimnya data dan laporan mengenai Kejadian Luar Biasa (KLB) yang diperantarai pangan, padahal pelaporan sangat penting untuk tindak lanjut investigasi keracunan pangan dan untuk itu diperlukan pendeteksian dan pengidentifikasian penyebab keracunan pangan.

Penanganan produk olahan pangan yang buruk dan konsumsi pangan kurang matang biasanya menjadi penyebab utama keracunan pangan. Salah satu contoh penyakit akibat keracunan pangan ialah Salmonellosis, hal ini sering menjadi masalah kesehatan manusia yang disebabkan oleh bakteri patogen Salmonella (Gast, 2003). Salmonellosis sangat mudah ditularkan dari hewan ke manusia baik secara langsung ataupun melalui perantara seperti produk makanan yang berasal dari hewan, tumbuhan, dan lingkungan.

Salmonellaenterica serovar Enteritidis merupakan salah satu penyebab utama gastroenteritis.

Pangan yang berpeluang tinggi menyebabkan keracunan pangan ialah pangan yang frekuensi konsumsinya tinggi dan dikonsumsi dalam jumlah banyak. Pangan yang banyak dikonsumsi oleh penduduk Indonesia ialah nasi (Deptan, 2009). Nasi selain sebagai sumber karbohidrat bagi manusia, juga menjadi sumber nutrisi bagi mikroorganisme. Produk olahan nasi yang cukup banyak diminati oleh penduduk Indonesia ialah nasi goreng. Selain itu, nasi goreng yang digunakan biasanya berasal dari nasi sisa yang dibiarkan semalam dan baru dimasak keesokan paginya. Hal ini rentan terhadap kontaminasi bakteri patogen karena dibiarkan pada zona berbahaya (suhu 5-60°C). Oleh karena itu, diperlukan pendeteksian yang tepat untuk


(15)

2 menganalisis dan menjamin keamanan pangan nasi goreng dari bahaya mikrobiologi tersebut.

Bakteri patogen yang berkembang dengan baik pada substrat berkarbohidrat tinggi salah satunya ialah Bacillus cereus (Supardi dan Sukamto, 1992). Bakteri ini merupakan jenis bakteri Gram positif yang memiliki peptidoglikan tebal dan mampu menghasilkan spora tahan panas serta toksin ekstraseluler. Hal ini menyebabkan B. cereus masih mungkin

berkembang walaupun makanan telah dimasak. Jumlah B. cereus yang

mencapai 106 koloni per gram pangan telah mampu menyebabkan keracunan pangan (USFDA, 2001).

Pendeteksian bakteri patogen dalam pangan pada umumnya dilakukan dengan metode konvensional yang berbasiskan pada reaksi biokimia. Metode konvensional memerlukan serangkaian uji, yaitu uji morfologi, uji biokimia, dan perlu konfirmasi dengan uji serologi. Penetapan serovar melalui uji serologi merupakan rangkaian pendeteksian Salmonella yang penting sebab bakteri ini sangat beragam serotipenya. Selain itu, penetapan serovar sangat membantu studi epidemiologi dan penelusuran sumber bakteri penyebab penyakit asal pangan. Salah satu metode konvensional untuk menetapkan serovar Salmonella adalah Slide Agglutination Test (SAT). Melalui uji ini data kasus epidemiologi keracunan pangan di seluruh dunia dapat diperbandingkan. Hal ini memakan waktu berhari-hari, padahal konsumsi pangan terus berlangsung dan perlu tindakan cepat untuk mendeteksi bahaya mikrobiologi dalam pangan. Oleh karena itu, dibutuhkan metode deteksi yang mampu menganalisis faktor penyebab keracunan pangan secara cepat, tepat, dan sensitif.

Metode deteksi terus mengalami perkembangan untuk melengkapi ataupun mengatasi keterbatasan metode standar sebelumnya. Metode cepat yang dalam dekade ini berkembang pesat ialah metode deteksi berbasiskan DNA. Metode berbasiskan DNA memiliki spesifisitas terbaik dan sesuai untuk mendeteksi patogen dalam pangan (de Boer dan Beumer, 1999). Prinsip metode ini adalah hibridisasi antara DNA target dan fragmen oligonukleotida yang komplementer terhadap DNA target tersebut. Metode


(16)

3 berbasiskan DNA dibedakan menjadi tiga, yaitu hibridisasi asam nukleat dengan probe, amplifikasi dengan Polymerase Chain Reaction (PCR), dan

subtyping molekuler.

Amplifikasi DNA dengan PCR, dimana DNA spesifik dari bakteri patogen diperbanyak mencapai jutaan kopi DNA sehingga tampak sebagai pita DNA, dilanjutkan dengan deteksi elektroforesis gel agarosa. Namun, proses amplifikasi dan deteksi yang terpisah ini dianggap berisiko terhadap kontaminasi pita DNA dan kurang praktis. Oleh karena itu, dikembangkanlah

real-time PCR yang melangsungkan proses amplifikasi dan deteksi sekaligus dalam sebuah instrumen.

Sensitivitas uji PCR yang tinggi sangat menguntungkan penelusuran patogen penyebab keracunan pangan (misalnya B. cereus). Secara teoritis hanya dengan satu molekul DNA dari bakteri dalam pangan, pendeteksian patogen dapat dilakukan (Naravaneni dan Jamil, 2005). Di samping itu, teknik ini fleksibel sehingga berkembang secara pesat disesuaikan dengan kebutuhan analisis. Fleksibilitasnya memberikan keleluasaan bagi peneliti dalam memodifikasi tahapan persiapan sampel hingga berupa isolat DNA. Persiapan isolat DNA dan amplifikasi seringkali berbeda bagi setiap bakteri. Hal ini dilakukan untuk memperoleh optimasi amplikon sehingga deteksi

B. cereus dalam pangan semakin sensitif, akurat, dan valid.

Preparasi isolat DNA sebelum amplifikasi menjadi tahapan penting agar amplifikasi berjalan lancar. Isolasi DNA menjadi tahapan kritis setiap metode berbasiskan DNA. Untuk memperoleh isolat DNA dengan kuantitas dan kualitas yang baik, beragam metode isolasi DNA telah dikembangkan. Beberapa metode yang digunakan untuk preparasi isolat DNA ialah metode pendidihan, metode pelisisan dengan pelarut alkalin, dan metode ekstraksi dengan fenol:kloroform. Metode isolasi DNA dengan fenol:kloroform paling banyak digunakan untuk mengekstraksi DNA kromosomal dari sel (Sambrook et al., 1989). Kemurnian isolat DNA berpengaruh besar terhadap sensitivitas uji real-time PCR. Sensitivitas yang diperoleh dari real-time PCR lebih tinggi dibandingkan PCR standar, yang ditunjukkan dengan angka limit deteksi yang rendah.


(17)

4 Hal yang menjadi tantangan dalam deteksi cepat ialah persiapan sampel yang belum terstandarisasi. Untuk itu diperlukan pengembangan metode pada tahap persiapan isolat DNA agar metode PCR menjadi metode analisa yang lebih baik, lebih cepat serta lebih sensitif, dan selanjutnya metode tersebut dapat divalidasi.

B. TUJUAN

Secara umum, kegiatan magang ini bertujuan untuk memperluas wawasan, melatih sikap dan kemampuan teknis mahasiswa serta mengaplikasikan ilmu selama magang di bidang keamanan pangan, Pusat Riset Obat dan Makanan Badan POM RI. Tujuan khusus dari kegiatan magang ini, antara lain:

1. Mengidentifikasi serovar Salmonella spp dengan metode deteksi

berbasiskan imunologi.

2. Mempelajari metode deteksi B. cereus berbasiskan DNA dengan real-time PCR, mencakup tahap isolasi DNA dan amplifikasi.

3. Mengevaluasi limit deteksi dan spesifisitas uji B. cereus dari sampel pangan nasi goreng.

C. MANFAAT

Manfaat yang dapat diperoleh dari kegiatan ini adalah:

1. Melengkapi data serovar Salmonella spp. yang tumbuh pada sampel pangan dan data tersebut dapat dipergunakan untuk penelusuran sumber penyebab kasus keracunan pangan yang mungkin disebabkan oleh genus

Salmonella.

2. Memberikan pengetahuan mengenai perkembangan metode deteksi cepat dengan real-time PCR serta metode isolasi DNA yang dapat diterapkan oleh laboratorium-laboratorium uji untuk mendeteksi bakteri patogen dalam sampel pangan.


(18)

5

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. KEADAAN UMUM INSTANSI MAGANG

1. Sejarah dan Perkembangan Instansi

Kemajuan teknologi telah membawa perubahan-perubahan yang cepat dan signifikan pada industri farmasi, obat asli Indonesia, makanan, kosmetika dan alat kesehatan. Dengan menggunakan teknologi modern, industri-industri tersebut kini mampu memproduksi dalam skala yang sangat besar mencakup berbagai produk dengan range yang sangat luas.

Dengan dukungan kemajuan teknologi transportasi dan entry barrier

yang makin tipis dalam perdagangan internasional, maka produk-produk tersebut dalam waktu yang amat singkat dapat menyebar ke berbagai negara dengan jaringan distribusi yang sangat luas dan mampu menjangkau seluruh strata masyarakat.

Konsumsi masyarakat terhadap produk-produk termaksud cenderung terus meningkat, seiring dengan perubahan gaya hidup masyarakat termasuk pola konsumsinya. Sementara itu pengetahuan masyarakat masih belum memadai untuk dapat memilih dan menggunakan produk secara tepat, benar dan aman. Di lain pihak, iklan dan promosi secara gencar mendorong konsumen untuk mengkonsumsi secara berlebihan dan seringkali tidak rasional.

Perubahan teknologi produksi, sistem perdagangan internasional dan gaya hidup konsumen tersebut pada realitasnya meningkatkan risiko dengan implikasi yang luas pada kesehatan dan keselamatan konsumen. Apabila terjadi produk sub standar, rusak atau terkontaminasi oleh bahan berbahaya maka risiko yang terjadi akan berskala besar dan luas serta berlangsung secara amat cepat.

Untuk itu Indonesia harus memiliki Sistem Pengawasan Obat dan Makanan (SisPOM) yang efektif dan efisien yang mampu mendeteksi, mencegah dan mengawasi produk-produk termaksud untuk melindungi keamanan, keselamatan dan kesehatan konsumennya baik di dalam maupun di luar negeri sehingga dibentuklah Badan POM yang memiliki


(19)

6 jaringan nasional dan internasional serta kewenangan penegakan hukum dan memiliki kredibilitas profesional yang tinggi.

2. Lokasi dan Tata Letak Instansi

Badan POM RI terletak di Jalan Percetakan Negara No. 23, Jakarta Pusat.

3. Visi dan Misi Instansi

Adapun Visi dan Misi dari Badan POM RI adalah :

a. Visi Badan POM RI

Obat dan Makanan terjamin aman, bermanfaat dan bermutu.

b. Misi Badan POM RI

Melindungi masyarakat dari Obat dan Makanan yang berisiko terhadap kesehatan.

4. Struktur Organisasi Instansi

Badan POM RI ditetapkan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 166 Tahun 2000 tentang Kedudukan, Tugas, fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen, sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 173 tahun 2000. Pembentukan Badan POM RI ini ditindaklanjuti dengan Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 02001/SK/KBADAN POM RI, tanggal 26 Februari tahun 2001, tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengawas Obat dan Makanan setelah mendapatkan persetujuan Menteri Negeri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 34/M.PAN/2/2001 tanggal 1 Februari 2001. Berikut ini adalah struktur organisasi Badan POM:

a. Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan

b. Sekretariat Utama c. Inspektorat

d. Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Narkotika,


(20)

7

e. Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk

Komplemen

f. Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya

g. Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional h. Pusat Penyidikan Obat dan Makanan

i. Pusat Riset Obat dan Makanan j. Pusat Informasi Obat dan Makanan

k. Unit Pelaksana Teknis Badan POM

Struktur organisasi dalam bentuk skema dapat dilihat pada Lampiran 1.

Pusat Riset Obat dan Makanan, bagian dari struktur organisasi Badan POM RI, merupakan tempat magang dipenuhi. Berikut ini adalah penjelasan lebih lanjut mengenai sub-instansi ini:

a. Kedudukan

Pusat Riset Obat dan Makanan (PROM) adalah unsur pelaksana tugas Badan POM RI yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Badan POM. Dalam pelaksanaan tugas sehari-hari secara teknis dibina oleh Deputi dan secara administrasi dibina oleh Sekretariat Utama. Pusat Riset Obat dan Makanan dipimpin oleh seorang kepala pusat.

b. Tugas dan Fungsi

Sesuai dengan SK Kepala Badan POM RI No. 02001/KBADAN POM RI tanggal 26 Februari 2001, Pusat Riset Obat dan Makanan mempunyai tugas melaksanakan kegiatan di bidang riset toksikologi, keamanan pangan dan produk terapetik.

Pusat Riset Obat dan Makanan menyelenggarakan fungsi : 1. Penyusunan rencana dan program riset Obat dan Makanan. 2. Pelaksanaan riset obat dan makanan.

3. Evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan riset Obat dan Makanan.

c. Susunan Organisasi


(21)

8 1) Bidang Toksikologi

2) Bidang Keamanan Pangan

3) Bidang Produk Terapetik 4) Kelompok Pejabat Fungsional 5) Sub Bagian Tata Usaha d. Bidang Toksikologi

Bidang Toksikologi mempunyai tugas melaksanakan penyusunan rencana dan program serta evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan riset toksikologi.

e. Bidang Keamanan Pangan

Bidang Keamanan Pangan mempunyai tugas melaksanakan penyusunan rencana dan program serta evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan riset keamanan pangan.

f. Bidang Terapetik

Bidang Produk terapetik mempunyai tugas melaksanakan penyusunan rencana dan program serta evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan riset produk terapetik.

g. Sub Bagian Tata Usaha

Sub Bagian Tata Usaha mempunyai tugas memberikan pelayanan teknis dan administrasi di lingkungan Pusat Riset Obat dan Makanan.

B. KERACUNAN PANGAN

Pangan merupakan kebutuhan pokok manusia karena di dalamnya terdapat zat-zat gizi yang penting bagi kehidupan. Zat-zat gizi tersebut diperlukan untuk memulihkan dan memperbaiki jaringan tubuh yang rusak, mengatur proses di dalam tubuh, perkembangbiakan, dan menghasilkan energi untuk beraktivitas. Zat gizi yang dimaksud, antara lain: karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan beberapa mineral. Bahan pangan dengan komponen tersebut juga merupakan medium yang baik untuk pertumbuhan mikroba.

Pertumbuhan mikroba dalam bahan pangan dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti tersedianya nutrien, air, suhu, pH, oksigen, dan adanya zat penghambat. Keberadaan mikroba di dalam pangan tidak selamanya


(22)

9 menguntungkan, tetapi juga dapat mendatangkan kerugian. Misalnya jika kehadiran mikroba tersebut mengubah bau, rasa, dan warna yang tidak dikehendaki; menurunkan berat atau volume; menurunkan nilai gizi/nutrisi; mengubah bentuk dan susunan senyawa serta menghasilkan toksin yang membahayakan di dalam pangan (Supardi dan Sukamto, 1999).

Pangan yang memiliki kandungan mikroba tertentu dapat menimbulkan penyakit bila dikonsumsi. Menurut penyebabnya, penyakit yang ditimbulkan oleh makanan dapat digolongkan dalam dua kelompok besar, yaitu keracunan dan infeksi mikroba. Keracunan dapat terjadi karena tertelannya suatu racun baik organik atau anorganik yang mungkin terdapat secara alamiah pada bahan pangan, serta tertelannya toksin yang merupakan hasil metabolisme sel-sel mikroba tertentu. Gejala keracunan karena toksin tersebut disebut intoksikasi. Sedangkan tertelannya atau masuknya mikroba ke dalam tubuh, kemudian menembus sistem pertahanan tubuh dan hidup serta berkembang biak di dalam tubuh disebut infeksi (Supardi dan Sukamto, 1999).

Menurut Walderhaug (2007), patogen-patogen penyebab keracunan pangan, antara lain: Salmonella spp., Staphylococcus aureus, Clostridium perfringens, Bacillus cereus, Campylobacter sp., Shigella sp., Clostridium botulinum, dan Escherichia coli. Salah satu bentuk kasus keracunan pangan yang disebabkan oleh bakteri patogen ialah keracunan pangan yang menjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) di Amerika, Inggris, Kanada, dan Norwegia. Bakteri penyebab KLB tersebut adalah Bacillus cereus yang terdapat pada nasi putih dan nasi goreng (Supardi dan Sukamto, 1999). Agar KLB tersebut dapat dicegah di Indonesia, diperlukan metode yang mampu mendeteksi bakteri patogen tersebut pada sampel pangan secara sensitif, spesifik, akurat, dan cepat untuk menjamin keamanan pangan.

C. Bacillus cereus

Bacillus cereus adalah bakteri pembentuk spora yang tergolong ke dalam famili Bacillaceae. Spora B. cereus tahan terhadap panas dan radiasi. Bakteri ini bersifat aerobik sampai anaerobik fakultatif, katalase positif, dan kebanyakan Gram positif serta mempunyai enzim proteolitik (Fardiaz, 1992).


(23)

10

B. cereus juga memproduksi enterotoksin dan metabolit-metabolit lainnya. Tidak memproduksi indol, reaksi Voges-Proskauer positif, dapat menggunakan sitrat sebagai sumber karbon, mereduksi nitrat, tidak memproduksi urease dan penisilinase, dapat tumbuh secara anaerobik di dalam media cair yang mengandung 1% glukosa, memproduksi asam dari glukosa, sukrosa, maltosa dan gliserol, serta tahan terhadap lisozim (Supardi dan Sukamto, 1999).

Jenis pangan yang sering ditumbuhi B. cereus terutama adalah daging, nasi, sayuran, sosis, makaroni, dan kadang-kadang ikan, susu atau es krim.

Pangan penyebab keracunan umumnya mengandung sel B. cereus dalam

jumlah tinggi. Analisis mikrobiologi terhadap B. cereus pada agar darah menunjukkan bahwa dari 17 KLB yang terjadi di Inggris tahun 1971-1976, kandungan B. cereus pada nasi penyebab keracunan tersebut berkisar antara 3 x 105 – 2 x 109 CFU/g dengan rata-rata 5 x 107 CFU/g (Supardi dan

Sukamto, 1999). Konsumsi pangan yang mengandung lebih dari

106B.cereus/g (USFDA, 2001) sudah dapat menyebabkan keracunan pangan,

khususnya pada pangan yang dibiarkan saat preparasi tanpa dimasukkan ke dalam lemari pendingin sebelum dihidangkan.

B. cereus tumbuh cepat apabila substratnya mengandung karbohidrat.

Sedangkan bila substratnya tidak mengandung karbohidrat, pertumbuhannya akan sangat lambat dan tidak dapat membentuk toksin. B. cereus dapat tumbuh secara baik pada media yang mengandung 0.025 M glukosa dan mencapai maksimum setelah 4.5 jam (Supardi dan Sukamto, 1999). Produksi toksin terjadi selama pertumbuhan logaritmik, dan mencapai maksimum sampai glukosa di dalam medium habis dipecah oleh bakteri tersebut.

Galur B. cereus yang bersifat patogenik digolongkan ke dalam bakteri penyebab intoksikasi dan dapat dibedakan atas dua grup berdasarkan sifat patogeniknya, yaitu galur penyebab diare dan galur penyebab muntah. Galur penyebab diare yang memproduksi enterotoksin dapat tumbuh pada berbagai pangan dan mempunyai waktu inkubasi sejak tertelan sampai timbulnya gejala intoksikasi berkisar antara 8-16 jam. Galur yang memproduksi toksin


(24)

11 emetik mempunyai masa inkubasi lebih pendek, sekitar 1-5 jam (Supardi dan Sukamto, 1999).

Galur B. cereus yang beragam tersebut dapat dibedakan berdasarkan gen spesifik yang dimiliki masing-masing galur. Berdasarkan beberapa penelitian terdapat beberapa gen spesifik yang terdapat pada B. cereus, antara lain: gen penghasil cereulide (ces), sejenis toksin emetik (Fricker et al., 2007), phosphotidyl inositol (PI-1) (Myers dan Sakelaris, 2004), gyrase (gyrB) (Myers dan Sakelaris, 2004), enterotoksin non-hemolitik (Nhe) (Hansen dan Hendriksen, 2001), sitotoksin (cytK) (Lund et al., 2000), hemolysin (hblA) (Mantynen dan Lindstrom, 1998), dan enterotoksin T (BceT) (Mantynen dan Lindstrom, 1998).

Target gen spesifik akan menentukan primer yang digunakan dalam uji amplifikasi dengan PCR, target gen yang banyak digunakan ialah ces karena toksin ini spesifik dihasilkan B. cereus emetik (Fricker et al., 2007). Berbeda dengan sekuens gen 16S rRNA karena identik dengan beberapa bakteri lain, termasuk B. anthracis. Keidentikan tersebut terlihat dari struktur primer 16S rRNA Bacillus anthracis, Bacillus cereus, Bacillus mycoides, dan Bacillus

thuringiensis setelah ditetapkan dengan metode sekuensing dideoksi

transkripsi terbalik, hasilnya menunjukkan semua galur memiliki sekuens serupa (tingkat kemiripannya lebih dari 99%) (Ash et al., 1991).

Penggunaan gen spesifik bersamaan dengan dye fluoresence pada real-time PCR memberikan limit deteksi (LOD) B.cereus sebesar 101-103 cfu/g sampel pangan tanpa tahap pre-enrinchment. Dengan pengkayaan, limit deteksi dapat mencapai 100 cfu/g. Apabila metode isolasi DNA dengan pendidihan saja, limit deteksi menjadi kurang sensitif (Fricker et al., 2007).

D. Salmonella spp.

Salmonella merupakan bakteri Gram negatif berbentuk batang yang tidak membentuk spora, fakultatif anaerobik, mampu tumbuh pada pH mendekati 4.0-9.0 dengan pH optimum 7.0, dan termasuk dalam famili

Enterobacteriaceae. Bakteri ini berukuran 0.7-1.5 x 2-5 µm, motil dengan


(25)

12 yang tidak motil karena tidak mempunyai flagela. Bakteri ini tumbuh optimum pada suhu 35-37°C, dapat mengkatabolisme bermacam karbohidrat menjadi asam dan gas, menggunakan sitrat sebagai sumber tunggal karbon, memproduksi H2S dan dapat mendekarboksilasi lysine menjadi kadaverin dan

ornithin menjadi putrescin. Salmonella dapat tumbuh pada kadar garam maksimal 8% (Rusyanto, 2005).

Nama Salmonella pertama kali diberikan oleh Lignieres pada tahun 1990 sebagai penghormatan kepada seorang ahli bakteriologi Amerika Serikat D.E. Salmon yang telah berhasil mengkarakterisasikan bakteri Bacillus

penyebab kolera pada babi dan memasukkannya dalam famili

Enterobacteriaceae. Taksonomi Salmonella pertama kali diperkenalkan oleh White (1929) dan dimodifikasi oleh Kauffman (1934). Tahun 1966, Kauffman mulai mengklasifikasikan 51 grup somatik Salmonella menjadi 4 sub genera dengan menggunakan karakteristik biokimia. Sub genus kelima lalu ditambahkan setelah ditemukannya beberapa karakteristik yang berbeda. Adapun karakteristik biokimia masing masing sub genus dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Pembagian subgenus Salmonella berdasarkan karakteristik

biokimia*

Klasifikasi Karakteristik Subgenus 1 Mampu menggunakan dulcitol, banyak berhubungan atau

ditemukan pada manusia atau hewan vertebrata berdarah panas. Isolasi frekuensinya sangat tinggi

Subgenus 2 Mampu menggunakan dulcitol dan malonat

Subgenus 3 Mampu menggunakan malonat dan O-nitriphenyl-ß-D-galactopyranoside (ONPG)

Subgenus 4 Mampu tumbuh dalam KCN

Subgenus 5 Tidak dapat memetabolisme dulcitol, malonat, mampu mengkatabolisme ONPG dan tumbuh dalam KCN

*Sumber: D’Aoust (2000)

Genus Salmonella terdiri dari dua spesies, yaitu S. enterica. dan

S. bongori. Spesies S. enterica masih dapat dikelompokkan lagi menjadi

enam subspesies, antara lain: S. enterica subsp. enterica, S. enterica subsp. salamae, S. enterica subsp. arizonae, S. enterica subsp. diarizonae, S. enterica

subsp. houtenae, and S. enterica subsp. indica berdasarkan antigen (O) somatik dan antigen (H) flagelar melalui serotyping. Distribusi spesies beserta jumlah serovar dari masing-masing subspesies disajikan pada Tabel 2.


(26)

13 Spesies dan subspesies dibedakan berdasarkan uji biokimia, serologi, dan genetik (Mazumdar, 2008).

Tabel 2. Distribusi serovar dalam genus Salmonella pada tahun 2007*

Spesies Subspesies Jumlah serovar

Salmonellaenterica Enterica (I) 1531

Salamae (II) 505

Arizonae (IIIa) 99

Diarizonae (IIIb) 336

Houtenae (IV) 73

Indica (V) 13

Salmonellabongori (VI) 22

Total 2579

*Sumber: World Health Organization (WHO), 2009

Spesies terbanyak dari genus Salmonella adalah Salmonella enterica dan subspesies terbanyak ialah subspesies enterica yang berjumlah 1531 serovar. Angka romawi pada masing-masing subspesies, kecuali angka VI pada

spesies Salmonella bongori, digunakan untuk mempersingkat penamaan

serovar.

Pada tingkat genus diferensiasi Salmonella ke dalam spesies didasarkan pada perbedaan reaksi bakteri terhadap antigen. Hingga tahun 2000 lebih dari 2500 serovar Salmonella telah teridentifikasi (D’Aoust, 2000). Skema yang disepakati secara internasional untuk menetapkan serovar Salmonella hingga

saat ini ialah skema Kauffmann-White. Seluruh serotipe Salmonella

ditetapkan berdasarkan antigennya (Mazumdar, 2008).

Antigen O merupakan antigen karbohidrat bagian dari lipopolisakarida. Gram negatif, salah satunya Salmonella, memiliki antigen O yang unik. Dan antigen H tersusun dari subunit protein, disebut flagelin, yang membentuk karakteristik flagela. Salmonella merupakan bakteri enterik yang unik karena bakteri ini dapat mengekspresikan dua antigen flagela yang berbeda. Kedua antigen flagela dikenal dengan antigen H fase 1 (monofasik) dan fase 2 (bifasik). Isolat dengan flagela monofasik hanya menunjukkan satu tipe flagelin, sedangkan Salmonella bifasik memiliki fase 1 dan 2 pada antigen H. Penentuan tipe bifasik dengan cara menginokulasi Salmonella pada media inversi, yaitu media semi solid yang diberikan antisera positif dari fase 1.


(27)

14 meluasnya koloni ke tepi agar, sedangkan Salmonella monofasik tidak motil sebab antibodi yang terdapat pada sera telah berikatan dengan antigen flagela pada bakteri tersebut.

Salmonella merupakan bakteri patogen penyebab Salmonellosis. Gejala

klinis salmonellosis pada manusia terbagi menjadi demam tifoid dan non tifoid. Demam tifoid atau disebut dengan demam enterik disebabkan infeksi oleh galur tifoid atau paratyphi sehingga disebut salmonellosis tifoid. Demam enterik dapat ditularkan atau disebarkan oleh individu yang terinfeksi serta makanan atau minuman yang terkontaminasi. Demam non tifoid disebut juga gastroenteritis merupakan infeksi terbatas dan terlokalisasi pada epitel intestinal. Gejala salmonellosis non tifoid hampir mirip dengan salmonellosis tifoid, yaitu: mual, kram abdominal, diare berair dan mungkin berdarah, demam dengan durasi kurang dari 48 jam, serta muntah dapat terjadi 8-72 jam setelah terinfeksi.

Center for Disease Control and Prevention (CDC, 2008) Amerika

Serikat mengestimasi setiap tahunnya di Amerika Serikat jumlah kasus penyakit Salmonellosis non tifoid dari bahan pangan (foodborne disease) mencapai 1.4 juta kasus, 15608 harus dirawat dan 553 meninggal (30.6% dari seluruh kasus kematian yang disebabkan oleh patogen asal pangan).

E. METODE DETEKSI KONVENSIONAL

Analisis pangan terhadap kemungkinan adanya bakteri patogen atau bakteri pembusuk merupakan standar yang diharuskan untuk mengetahui kualitas pangan dan menjamin keamanan pangan (de Boer dan Beumer, 1999). Analisis tersebut biasanya menggunakan metode konvensional yang telah distandarkan sehingga setiap negara di dunia memiliki standar yang sama dalam menilai kualitas pangan.

Metode deteksi konvensional yang dimaksud ialah metode pengkulturan bakteri pada media spesifik dan menghitung sel bakteri yang hidup dalam pangan. Prinsipnya ialah mikroorganisme bermultiplikasi pada media pertumbuhan sehingga dapat dideteksi. Metode ini sensitif, dapat memberi


(28)

15 hasil uji baik kuantitatif ataupun kualitatif, dan menjadi standar bagi uji mikrobiologi terhadap produk pangan secara internasional.

Metode konvensional meliputi persiapan media kultur (pengkayaan, pengkayaan selektif, dan penumbuhan pada agar selektif), penghitungan koloni, pengkarakterisasian dengan uji biokimia, yang dapat dilanjutkan dengan penetapan serotipe (serovar) dengan uji serologi.

Uji biokimia saat ini dipermudah dengan adanya API test. Identifikasi dengan API, menurut USFDA dalam BAM (2007), tidak dapat menggantikan uji serologi. API test hanya untuk mengidentifikasi perkiraan spesies tertentu, misalnya Salmonella spp. Oleh karena itu, penetapan serovar Salmonella

tidak dapat ditentukan dengan uji biokimia API.

Bakteri dari genus yang sama, setelah diuji biokimiawi memiliki sifat biokimia yang sama, tidak menjamin bahwa bakteri-bakteri tersebut berasal dari serovar yang sama. Bakteri-bakteri tersebut bisa saja berasal dari subspesies yang sama, tetapi serotipenya berbeda. Hal ini disebabkan dinding sel mikroorganisme mengandung protein dan lipopolisakarida. Setiap bakteri memiliki kemungkinan stuktur molekul protein atau lipopolisakarida yang berbeda. Antigen merupakan bagian dari struktur tersebut, oleh karena itu antigen setiap bakteri mungkin pula berbeda-beda. Pada genus Salmonella

pembedaan antar subspesies dapat lebih lanjut dilakukan dengan melihat antigen O, antigen Vi, dan antigen H spesies tersebut.

Konfirmasi patogen dengan uji imunologi dapat dilakukan dengan Slide

Agglutination Test (SAT) yang diterapkan pada uji serologi. Uji serologi

(serotyping) merupakan tahapan dalam metode konvensional untuk

mengkonfirmasi koloni tipikal yang telah diperoleh dari uji morfologi dan uji biokimia. Juga mengidentifikasi organisme pada tingkat subspesies dan menjadi salah satu alat penting bagi klasifikasi taksonomi serta pengawasan kasus keracunan pangan atau KLB akibat kontaminasi patogen tertentu,

misalnya Salmonella spp. Walaupun uji biokimia juga mengkonfirmasi

koloni tipikal, uji tersebut tidak dapat mensubstitusi uji serologi. Sebab kedua uji mengidentifikasi dua sifat yang berbeda, sifat biokimia dan serotipe.


(29)

16 Serotipe galur Salmonella dilakukan dengan mengidentifikasi antigen permukaan (LPS, antigen O) terlebih dahulu, kemudian antigen flagela (protein, antigen H). Sebagian besar galur Salmonella menunjukkan 2 fase antigen H. Setelah keseluruhan serotyping dilaksanakan, barulah serotipe dapat ditetapkan berdasarkan skema Kauffmann-White, Popoff dan Le Minor, (WHO, 2009) memanfaatkan kombinasi antigen O dan antigen H spesifik.

Prinsip uji ini adalah aglutinasi antigen pada patogen-antibodi dalam antisera. Aglutinasi yang diharapkan terjadi (uji positif) pada SAT terbentuk karena antigen dan antisera berikatan. Proses aglutinasi memerlukan proporsi antisera dan suspensi bakteri yang tepat atau ekuivalen, agar dapat terlihat jelas dengan mata telanjang. Penetesan antisera dikendalikan dengan pipet tetes (lihat tanda panah pada Gambar 1a) yang melengkung dan menyempit di bagian ujungnya untuk memperkecil volume antisera yang diteteskan.

(a) (b)

Gambar 1. (a) Antisera; (b) Visualisasi aglutinasi [sebelah kiri pada slide] Kelebihan atau kekurangan salah satu di antara kedua komponen tersebut tidak akan menghasilkan ikatan yang kompak sehingga aglutinasi tidak terlihat jelas pada gelas objek. Visualisasi dari aglutinasi ditunjukkan oleh tanda panah pada Gambar 1b.

Kekurangan dari metode ini ialah memerlukan pengalaman yang baik dari peneliti untuk melihat aglutinasi, menghabiskan antisera cukup banyak, memerlukan waktu pengujian serologi saja minimal tiga hari. Prosedur yang panjang dan diperlukannya waktu inkubasi di setiap tahapan menyebabkan waktu deteksi dengan metode konvensional hingga berhari-hari. Kelemahan


(30)

17 lain dari metode ini ialah diperlukan banyak alat gelas dan tenaga peneliti (tidak otomatis dengan instrumen).

Saat ini telah banyak teknik yang dikembangkan untuk mempermudah pelaksanaan metode konvensional, misalnya: gravimetric diluter, pulsifier

dan stomacher yang mempermudah homogenisasi; spiral plater, dipslide, dan

petrifilm untuk enumerasi dan deteksi; colony counter dan kit uji untuk konfirmasi atau identifikasi (de Boer dan Beumer, 1999). Meskipun demikian waktu pendeteksian tidak berkurang secara signifikan hingga dikembangkanlah metode deteksi cepat.

F. METODE DETEKSI CEPAT (RAPID METHOD) BAKTERI

PATOGEN DENGAN PCR

Perkembangan terkini dalam teknologi, secara teori membuat proses deteksi dan identifikasi bakteri patogen lebih cepat, tepat, sensitif, dan spesifik dibandingkan dengan metode konvensional (Anonim, 2001). Metode deteksi dengan teknik molekuler meliputi DNA probes, Polymerase Chain Reaction (PCR), Restriction Enzyme Analysis (REA), Random Amplification

of Polymorphic DNA (RAPD), Pulsed Field Gel Electrophoresis (PFGE),

dan Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP) (Jay, 1996).

Metode-metode tersebut sering disebut sebagai metode cepat (rapid methods). Metode deteksi cepat patogen dan kontaminan mikrobiologi lainnya dalam makanan merupakan hal yang sangat penting untuk menjamin keamanan pangan konsumen. Keuntungan dari metode cepat dibandingkan dengan metode konvensional adalah waktu lebih singkat (4–48 jam), tidak membutuhkan banyak tenaga, serta lebih sensitif dan akurat (Patel dan Williams, 1994; Anonim, 2001). Sedangkan metode konvensional untuk mendeteksi patogen asal pangan bergantung pada waktu yang dibutuhkan untuk pertumbuhan bakteri dalam media kultur, yang diikuti oleh isolasi, identifikasi biokimia, dan terkadang harus diikuti dengan uji serologi.

Metode uji berbasiskan DNA yang telah dikembangkan secara komersial

untuk mendeteksi patogen asal pangan, antara lain: probes, PCR dan


(31)

18 amplifikasi DNA dengan Polymerase Chain Reaction (PCR) (de Boer dan Beumer, 1999).

PCR adalah metode in vitro untuk memperbanyak sekuens DNA

tertentu, perbanyakan tersebut seperti halnya replikasi DNA pada sel hidup. Lazimnya metode ini (PCR standar) memerlukan tahapan isolasi DNA, amplifikasi sekuens target dengan PCR, pemisahan produk amplifikasi (amplikon) dengan elektroforesis gel agarosa, dan memperkirakan ukuran fragmen dengan DNA ladder setelah pewarnaan dengan ethidium bromida. Pada bagian akhir, verifikasi hasil PCR dilakukan dengan pembelahan spesifik amplikon oleh endonuklease restriksi atau pemindahan amplikon

terpisah ke dalam membran kemudian dihibridisasi dengan probe DNA

spesifik. Alternatif verifikasi lain dengan sekuensing langsung menggunakan

semi-nested PCR. Perkembangan PCR lainnya yang lebih nyaman digunakan

ialah real-time PCR, di mana amplifikasi PCR dan verifikasi dilakukan sekali jalan dengan probe khusus (oligonukleotida berlabel fluoresen yang spesifik terhadap gen target).

Real-time PCR melakukan amplifikasi dan deteksi dalam satu tahapan

sebab akumulasi produk spesifik dicatat secara kontinyu selama siklus. Hal ini tidak dapat dilakukan pada PCR standar yang masih mengandalkan elektroforesis gel agarosa untuk mengkuantitasi amplikon. Hasil dari elektroforesis gel agarosa ini memperpanjang waktu deteksi dan kurang tepat karena pengukurannya berdasarkan ukuran molekul. Padahal molekul yang berbeda mungkin saja memiliki ukuran yang sama atau hampir sama. Pendeteksian dengan gel agarosa menganggap molekul yang berbeda tersebut sebagai molekul yang sama (Dharmaraj, 2009).

Pendeteksian produk real-time PCR secara kuantitatif berbeda dengan PCR standar yang mengkuantitasi amplikon berdasarkan panjang basa atau

bobot molekul. Kuantitas produk real-time PCR dihitung berdasarkan

threshold cycle (Ct) yaitu waktu di mana intensitas fluoresen lebih besar daripada fluoresen yang ditimbulkan oleh noise (background fluorescence).

Noise dapat disebabkan oleh penempelan larutan isolat DNA beserta


(32)

19 Format PCR standar yang berdasarkan analisis titik akhir (fase plato) kurang kuantitatif karena hasil akhir produknya tidak didasarkan konsentrasi sekuens target dalam sampel, tetapi berdasarkan pada ukuran molekul hasil amplifikasi (amplikon). Berikut ini beberapa kekurangan deteksi amplikon jika dilakukan pada fase plato dengan elektroforesis gel agarosa: kurang tepat, sensitivitas rendah, tidak otomatis, hanya berdasarkan ukuran molekul, pewarnaan ethidium bromida kurang sensitif, dan memperpanjang waktu deteksi (Dharmaraj, 2009).

Keunggulan real-time PCR adalah pendeteksian diukur tepat pada saat target amplifikasi terdeteksi pertama kali di setiap siklus (fase eksponensial), bukan di fase akhir amplifikasi (fase plato) seperti yang terjadi pada PCR standar. Keunggulan real-time PCR lainnya ialah analisis dapat dilakukan tanpa membuka tabung sehingga mengurangi risiko kontaminasi amplikon PCR atau molekul target lainnya. Menurut Edwards et al. (2004), aplikasi teknologi real-time PCR mengurangi waktu penanganan atau pengujian dan meningkatkan keakuratan kuantifikasi metode PCR. Dengan demikian, penggunaan teknik real-time PCR lebih efisien dan efektif dibandingkan PCR standar (Edwards et al., 2004).

Kuantifikasi real-time PCR dapat dilakukan dengan dua teknik: (1) penggunaan dyefluoresence yang berikatan dengan DNA untai ganda, dan (2) penggunaan probe oligonukleotida DNA modifikasi yang mengeluarkan fluoresen ketika hibridisasi dengan DNA komplementer. Data yang dihasilkan dapat dianalisis dengan perangkat lunak komputer yang terhubung dengan thermal cycler untuk menghitung jumlah kopi DNA atau threshold cycle (Ct) dari patogen dalam sampel pangan tertentu.

Sebelum tahap amplifikasi dengan real-time PCR, diperlukan tahap persiapan, kemudian setelah tahap amplifikasi diperlukan evaluasi produk PCR. Tahap persiapan dan evaluasi tersebut dijelaskan lebih lanjut di bawah ini:

1. Tahap Pra-Amplifikasi Real-Time PCR

Tahap pra-amplifikasi PCR standar dan real-time PCR tidak


(33)

20 isolat DNA sebagai DNA target amplifikasi. Prosedur isolasi DNA merupakan tahapan yang paling banyak dimodifikasi sebelum amplifikasi dengan PCR dimulai. Terdapat enam tahap dalam mengisolasi DNA, yaitu preparasi sampel, pelisisan sel, proteksi dan stabilisasi DNA, pemisahan DNA dari debris sel, presipitasi DNA, dan pemekatan DNA.

Prosedur yang umum digunakan untuk mengisolasi DNA kromosomal sebagai DNA target untuk uji amplifikasi dikembangkan oleh Sambrook et al. (1989). Prosedur isolasi DNA juga dikembangkan oleh Chapaval et al. (2008). Tahapan isolasi DNA prosedur-prosedur tersebut dapat diperbandingkan berdasarkan enam tahap dalam mengisolasi DNA. Enam tahap mengisolasi DNA berdasarkan Sambrook

et al., (1989), sebagai berikut: a. Preparasi sampel

Sampel pangan yang telah diinokulasi secara artifisial dan dihomogenisasi, kemudian diencerkan.

b. Pelisisisan sel

Pelisisan sel dilakukan dengan 10% sodium dodecylsulphate (SDS) dan 0.2 mg/ml proteinase K. Selanjutnya divorteks dan diinkubasi selama 2 jam pada suhu 65°C.

c. Proteksi dan stabilisasi DNA

Suspensi dari tahap persiapan sampel ditambahkan 500 µl buffer (100 mM NaCl, 500 mM Tris (pH 8.0) untuk menjaga kestabilan DNA ketika pelisisan sel.

d. Pemisahan DNA dari debris sel dan protein

DNA dipisahkan melalui ekstraksi dengan larutan fenol:kloroform (1:1 v/v, pH 8.0). Ekstraksi tersebut diulang hingga tiga kali dan setiap kali pengulangan fase aqueous dipindahkan ke tabung bersih.

e. Presipitasi DNA

Fase aqueous ditambah etanol 95% (mengandung 0.3 M sodium asetat) sebanyak 2.5 kali volume fase aqueous, diaduk, kemudian


(34)

21 diinkubasi semalam pada suhu -20°C untuk mengendapkan DNA kromosomal.

f. Pemekatan DNA

DNA di-recovery dengan sentrifugasi dan pelet DNA dicuci dua kali dengan etanol 70%.

Enam tahapan mengisolasi DNA berdasarkan metode yang dikembangkan oleh Chapaval et al. (2008) adalah sebagai berikut:

a. Preparasi sampel

Sebanyak 2.5 ml kultur yang telah diinkubasi semalam dalam

Brain Heart Infusion Broth (BHIB) disentrifus dengan kecepatan

33000 g selama 30 detik, kemudian supernatan dibuang dan pelet diresuspensi.

b. Pelisisisan sel

Pelet diresuspensi dalam 700 µl buffer ekstraksi (1.4 M NaCl; 100 mM Tris-HCl [pH 8.0]; 200 mM EDTA pH 8.0; 40% PVP (polyvinylpyrrolidone); 2% CTAB (cetyltrimethylammonium

bromide), 20 mg/ml Proteinase K; 0.2% β-Mercaptoethanol).

Tabung diinkubasi pada suhu 65°C selama 30 menit dengan pengocokan setiap 10 menit.

c. Proteksi dan stabilisasi DNA

Suspensi dari tahap persiapan sampel diberi buffer 1.4 M NaCl; 100 mM Tris-HCl pH 8.0 untuk menjaga kestabilan DNA ketika pelisisan sel. Buffer tersebut diberikan bersamaan dengan larutan pelisis sel.

d. Pemisahan DNA dari debris sel dan protein

Sebanyak 650µl kloroform:isoamil alkohol (24:1) ditambahkan dan larutan disentrifus pada kecepatan 33000 g selama 7 menit. Fase aqueous di bagian atas dipindahkan ke dalam sebuah tabung 1.5 ml dan 200 µl buffer ekstrasi tanpa proteinase K ditambahkan. Larutan diaduk perlahan dan 650 µl kloroform:isoamil alkohol (24:1) ditambahkan. Tabung kembali disentrifus dan ekstraksi


(35)

22 kloroform:isoamil alkohol (24:1) dilakukan dua kali menggunakan 650 µl kloroform:isoamil alkohol.

e. Presipitasi DNA

DNA dipresipitasi dengan penambahan sejumlah volume yang sama dengan isopropanol pada suhu ruang.

f. Pemekatan DNA

Isopropanol dihilangkan dan pelet dicuci dengan 70 µl etanol 70%. Pelet DNA dikeringudarakan dan diresuspensi dalam 40 µl buffer Tris-EDTA (TE) (10 mM Tris-HCl pH 8.0; 1 mM EDTA pH 8.0 dan 10 µg/ml RNAse).

Prinsip dasar isolasi DNA adalah serangkaian proses untuk memisahkan DNA dari komponen-komponen sel lainnya. Hasil ekstraksi merupakan tahapan penting untuk langkah berikutnya. Oleh sebab itu, tahapan ini harus dilakukan dengan baik dan bebas kontaminasi. Isolasi yang banyak digunakan ialah ekstraksi dengan fenol:kloroform, seperti halnya kedua metode yang telah dijelaskan di atas. Teknik ekstraksi fenol:kloroform menghasilkan kualitas yang lebih baik dibandingkan dengan metode pendidihan (Fricker et al., 2007).

Reagen lain yang penting dalam isolasi DNA ialah Phosphate Buffer Saline (PBS) yang berfungsi melarutkan matriks pangan sehingga berada dalam kondisi fisiologis, sekaligus mengendapkan inhibitor-inhibitor yang tidak diperlukan seperti kalsium. Buffer TE digunakan untuk

menjaga tekanan osmotik dan Cetyltrimethyl Ammonium Bromida

(CTAB), Sodium Dodecyl Sulphate (SDS), Ethylene Diamine Tetraacetic Acid (EDTA) berfungsi untuk melisis matriks pangan dan merusak lipid pada membran sel sehingga DNA lebih mudah diekstraksi (Anonim, 2008). Proteinase K digunakan untuk merusak protein dan enzim RNAse berfungsi untuk menghilangkan RNA sehingga dalam suspensi tertinggal hanya DNA.


(36)

23 2. Pembacaan Produk Hasil Real-Time PCR

Amplifikasi yang dijalankan dalam thermal cycler ditampilkan dalam bentuk grafik pada layar komputer dengan software yang aplikabel terhadap thermal cycler, contohnya adalah software IQ-5 (Bio-Rad). Grafik-grafik yang diperoleh berupa grafik amplifikasi, kurva standar, dan

kurva peleburan (melt curve). Grafik tersebut digunakan untuk

mengevaluasi kinerja amplifikasi real-time PCR. a. Grafik amplifikasi

Grafik amplifikasi terbentuk semenjak proses amplifikasi dimulai. Grafik ini berfungsi untuk menentukan apakah dalam

thermal cycler terjadi amplifikasi atau tidak. Grafik amplifikasi dapat dilihat pada Gambar 2 di bawah ini.

Gambar 2. Grafik sigmoidal proses amplifikasi dengan

real-time PCR (Edwards et al., 2004)

Amplifikasi ditetapkan berdasarkan intensitas fluoresen, semakin banyak produk amplifikasi yang dihasilkan, semakin besar akumulasi fluoresen yang terbaca. Peningkatan fluoresen tersebut ditandai dengan terbentuknya gradik sigmoidal, seperti yang tergambar pada Gambar 2 (garis hijau). Grafik sigmoid akan berpotongan dengan base line threshold yang telah ditentukan secara otomatis oleh program. Titik perpotongan antara grafik sigmoid dan

base line threshold jika direfleksikan terhadap sumbu x (Cycle) adalah threshold cycle (Ct) bagi sampel yang diamplifikasi. Garis

PCR

Base Line Subtrac

ted RFU

Base line threshold DNA tidak teramplifikasi DNA

teramplifikasi

Perpotongan siklus dan Bt

Ct Cycle


(37)

24 biru pada Gambar 2 akan terbentuk jika tidak terjadi amplifikasi pada thermal cycler.

Nilai Ct adalah siklus di atas noise dimana akumulasi produk (senilai 2n, n ialah jumlah pengulangan siklus amplifikasi) terbaca pertama kali pada fase eksponensial. Fase eksponensial berakhir menjadi fase plato saat pereaksi dalam campuran reaksi PCR sudah habis. Nilai Ct digunakan dalam kurva standar sebagai fungsi terhadap log konsentrasi bakteri.

b. Kurva standar

Kultur murni bakteri yang telah diketahui konsentrasinya (CFU/ml) diencerkan hingga diperoleh konsentrasi bakteri terendah (1 CFU/ml). Seluruh tingkat pengenceran yang berturut-turut,

misalnya mengandung 100-106 CFU/ml diisolasi DNAnya dan

diamplifikasi. Amplifikasi beberapa tingkat pengenceran suatu kultur murni secara otomatis oleh software IQ-5 akan digambarkan dalam bentuk kurva standar, selain grafik amplifikasi. Kurva standar amplifikasi disajikan dalam Gambar 3.

Gambar 3. Kurva standar amplifikasi kultur murni dari enam tingkat pengenceran dengan real-time PCR (Edwards

et al., 2004)

Enam titik pada kurva standar menunjukkan terdapat enam tingkat pengenceran yang masing-masing memiliki nilai Ct. Kurva

Log konsentrasi bakteri (CFU/ml)

Thres

hold c

y

cle

(

Ct

)


(38)

25 standar merupakan hubungan antara log konsentrasi bakteri dan

threshold cycle (Ct). Kurva ini digunakan dalam penetapan limit

deteksi konsentrasi bakteri yang belum diketahui pada suatu sampel pangan. Penetapan limit deteksi tersebut memanfaatkan persamaan linear yang dibentuk kurva standar. Nilai Ct yang diketahui setelah isolat DNA diamplifikasi merupakan nilai y dan log konsentrasi merupakan nilai x dalam persamaan linear tersebut sehingga konsentrasi bakteri dalam suatu sampel pangan dapat diketahui.

c. Melt curve

Kurva peleburan atau melt curve merupakan kurva hubungan antara suhu (T) dan turunan dari unit fluoresen (-d(RFU)/dT) digunakan untuk memonitor perubahan dalam suhu peleburan, yaitu suhu di mana 50% amplikon DNA untai ganda terpisah menjadi dua untai tunggal. Melt curve diperoleh berdasarkan siklus yang ditambahkan setelah siklus amplifikasi. Target amplifikasi dalam siklus tersebut adalah produk amplifikasi (amplikon). Melt curve

disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4. Melt curve yang memiliki sebuah puncak Tm Puncak kurva pada melt curve merupakan nilai Tm amplikon, jika nilainya dibaca pada sumbu absis. Amplikon yang berasal dari DNA target yang sama akan memiliki nilai Tm yang sama,

-d(

R

FU

)/d

T


(39)

26 ditunjukkan dengan puncak pada titik suhu yang sama. Melt curve

pada Gambar 4 memiliki nilai Tm yang sama, berarti produk berasal dari DNA yang sama yaitu DNA target dan produknya spesifik. Selain itu melt curve mampu menunjukkan ada atau tidaknya produk non spesifik. Produk non spesifik akan membentuk puncak pada suhu yang berbeda dengan amplikon (produk spesifik) atau melt curve dapat pula memiliki lebih dari satu puncak suhu.


(40)

27 Isolat Salmonella spp.

Pre-enrichment dalam Trypticase Soy Broth (24 jam)

Ditumbuhkan dalam Nutrient Agar

(24 jam)

Uji Serologi (Antigen O) Uji Motilitas dengan agar semi solid

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. TEMPAT DAN WAKTU MAGANG

Kegiatan magang dilakukan di laboratorium Mikrobiologi Pusat Riset Obat dan Makanan, Badan POM RI, Jakarta. Waktu penelitian dilaksanakan dari bulan Februari sampai dengan Juli 2009.

B. LINGKUP KEGIATAN PENELITIAN

Kegiatan yang dilakukan mencakup dua kegiatan, yaitu (1) melakukan

identifikasi serovar Salmonella spp. berbasiskan imunologi dan (2) melakukan deteksi B. cereus dengan metode berbasiskan DNA.

Identifikasi serovar dengan cara uji aglutinasi pada gelas objek dilakukan terhadap sepuluh isolat Salmonella spp. yang merupakan koleksi Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan (IPB) dan telah diuji secara biokimiawi. Sepuluh isolat tersebut diuji serologi untuk mengetahui antigen O yang dimiliki oleh masing-masing isolat sebab antigen O merupakan dasar pengelompokan serogrup Salmonella spp. Selain itu, dilakukan uji motilitas untuk mengetahui masing-masing isolat bersifat motil atau tidak. Antigen O merupakan antigen yang diuji pertama kali pada uji serologi, sedangkan motilitas diuji sebagai prasyarat uji antigen H. Diagram alir kegiatan deteksi Salmonella spp. dapat dilihat pada Gambar 5.


(41)

28 Pengenceran (10-1-10-8)

Kultur murni (KM) B. cereus

Ditumbuhkan dalam MYPA

Amplifikasi Real-time PCR Isolasi DNA

Metode pendidihan

Metode ekstraksi dengan fenol:kloroform Metode ekstraksi dengan kit komersial Kegiatan yang dilakukan untuk mendeteksi DNA B. cereus dengan real-time PCR meliputi isolasi DNA kultur murni bakteri B. cereus dan isolasi DNA dari sampel pangan nasi goreng, amplifikasi dan evaluasi kinerja real-time PCR berupa limit deteksi amplikon. Isolasi DNA dilakukan dengan tiga metode, yaitu metode pendidihan, metode ekstraksi dengan fenol:kloroform, dan metode ekstraksi dengan kit komersial. Isolat DNA B. cereus, dari kultur murni dan nasi goreng, diamplifikasi dengan real-time PCR.

Amplifikasi DNA kultur murni B. cereus digunakan untuk membentuk kurva standar, sedangkan amplifikasi DNA B. cereus dalam sampel pangan untuk menetapkan limit deteksi B. cereus dalam nasi goreng. Tahapan kerja isolasi DNA dari kultur murni B. cereus dan dari sampel pangan disajikan pada Gambar 6 dan 7.


(42)

29 Sampel pangan nasi goreng

Pengenceran (10-1) Sampel pangan tanpa inokulasi

Isolasi DNA Pengenceran (10-1-10-6)

Inokulasi artifisial (KM 10-2)

Metode pendidihan Metode ekstraksi dengan fenol:kloroform

Amplifikasi Real-time PCR

Gambar 7. Tahapan kerja pada uji amplifikasi DNA B. cereus dalam nasi goreng

C. BAHAN DAN ALAT

1. Identifikasi Serovar Salmonella spp.

a. Kultur bakteri

Galur bakteri yang digunakan dalam uji serologi ialah

Salmonella spp. yang diisolasi dari daging ayam yang berasal dari

pasar lokal. Sepuluh isolat yang disimpan dalam Brain Heart

Infusion Broth (BHIB) merupakan koleksi Departemen Ilmu dan

Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor dan telah ditetapkan sebagai Salmonella spp. berdasarkan uji biokimia.

b. Bahan-bahan

Bahan-bahan yang digunakan adalah Nutrien Agar (Merck) dan Antisera O (National Salmonella Centre – Statens Seruminstitut).

c. Alat-alat

Alat-alat yang digunakan adalah gelas objek (slide), cawan petri, pipet mikro, jarum ose, dan Laminar Air Flow (Vision).


(43)

30 2. Metode Deteksi B. cereus Berbasiskan DNA

a. Kultur bakteri

Galur referensi yang digunakan merupakan jenis bakteri Gram positif, Bacillus cereus ATCC 11778 dan Bacillus subtilis ATCC 6633 NCTC 10400. Bakteri-bakteri tersebut ditumbuhkan di

Trypticase Soy Broth (TSB) (Merck) pada suhu 37°C. Sel bakteri

dihitung dengan perhitungan cawan sebar (USFDA, 2001) pada

media agar spesifik Mannitol Yolk Polymixin Agar (MYPA) (Oxoid) dan diinkubasi pada suhu 30°C selama 48-72 jam. Sampel pangan yang dianalisa adalah pangan yang banyak mengandung karbohidrat yaitu nasi goreng. Sampel diambil dari tempat penjualan makanan di sekitar kampus IPB, Bogor.

b. Bahan-bahan

Bahan-bahan yang digunakan adalah Ilustra Bacteria Genomic Prep Mini Spin Kit (GE Healthcare) yang terdiri dari: buffer lisis, buffer elusi, dan buffer pencuci. Selain itu juga digunakan Lisozim (USB), Proteinase K (USB), RNAse A (USB), CTAB (Merck), PBS

(Merck), EDTA (Merck), Tris-HCl solution (USB), Triton-X

solution (USB), SDS solution (USB), Isopropanol (Merck),

Amonium asetat (Merck), Fenol (Merck), Kloroform (Merck), Asam asetat glasial (Merck), NaCl (Merck), Etanol absolut (Merck), MiliQ, RNAse free water (USB), IQ SYBR Green (Bio-Rad), Primer

forward dan reverseBceT (Bio-Rad), isolat DNA yang diekstrak dari kultur murni B. cereus (pengenceran 10-1-10-8), isolat DNA dari sampel pangan yang tidak diinokulasi (pengenceran 10-1), isolat DNA yang telah diinokulasi secara artifisial (pengenceran 10-1-10-6).

c. Alat-alat

Alat-alat yang digunakan adalah Stomacher (Seward),

Refrigerator Microsentrifuge (Hettich), Water Bath, Laminar Air Flow (Vision), Hot Plate (Thermolyne), Touch Mixer (Thermolyne),


(44)

31

Analytical Balance (Shimadzu), Autoklaf (Hirayama), Automatic

Colony Counter (Acolyte), Lampu UV, kamera digital, tabung

mikrosentrifus 1.5 ml, tabung konikal 15 ml (Iwaki), inkubator, bunsen, pipet mikro (Eppendorf), pipet volumemetrik, bulb, gelas piala, gelas ukur, labu Erlenmeyer, botol semprot, cawan petri, jarum ose, tabung reaksi, rak tabung reaksi, sudip, magnetic stirrer, gelas pengaduk, Real-time PCR (Bio-Rad), micro well, dan adhesive sealer.

D. METODE PENELITIAN

1. Identifikasi Serovar Salmonella spp. (WHO, 2009)

Konfirmasi Salmonella spp. dengan uji imunologi dilakukan untuk mendeteksi antigen dengan O Slide Agglutinasion Test (SAT) dan motilitas dengan agar semi solid. Mula-mula, sepuluh isolat Salmonella

spp. dalam BHIB diinokulasi dan ditumbuhkan pada media NA, kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 35°C. Uji serologi antigen O dimulai dengan satu tetes antisera O polivalen diteteskan pada gelas objek, kemudian 1 ose Salmonella spp. diambil dari NA dan dicampur dengan jarum ose selama 1 menit. Gelas objek tersebut digoyang perlahan selama 1-2 menit. Uji positif ditunjukkan dengan adanya aglutinasi. Uji positif berarti antibodi pada sera spesifik berikatan dengan antigen yang dimiliki bakteri. Aglutinasi tidak akan terjadi jika bakteri tidak memiliki antigen yang dapat berikatan dengan antibodi.

Uji motilitas dilakukan pada hari yang sama dengan pengujian

antigen O. Satu ose Salmonella spp. diambil dari NA, kemudian

diinokulasi satu titik pada bagian tengah agar semi solid dan diinkubasi semalam pada suhu 37°C. Isolat yang menunjukkan pergerakan (sekitar 40 mm dari titik inokulasi atau lebih dari 50% jari-jari cawan agar) ke tepi agar semi solid dikonfirmasi bersifat motil.


(45)

32 2. Metode Deteksi B. cereus Berbasiskan DNA (Alarcon et al., 2006;

Fricker et al., 2007)

a. Tahap persiapan 1) Persiapan media

Media yang perlu dipersiapkan untuk penyegaran kultur bakteri adalah media Trypticase Soy Broth. Media selektif untuk isolasi bakteri adalah Mannitol Egg Yolk Polymyxin Agar

(media selektif B.cereus), Egg Yolk Emulsion serta Polymyxin B (untuk menghambat pertumbuhan bakteri Gram negatif). Media selektif digunakan untuk isolasi dan penghitungan kultur bakteri patogen, baik kultur murni maupun kultur dari sampel pangan. Prosedur pembuatan media dapat dilihat pada Lampiran 2 dan 3.

2) Persiapan kultur bakteri

Bacillus cereus disegarkan pada media TSB setiap 2 minggu sekali dan diinkubasi pada suhu 37ºC selama 24 jam,

lalu disimpan pada suhu 16°C. Untuk pengecekan kemurnian kultur, kultur B. cereus dalam TSB diinokulasi sebanyak 1 lup ke permukaan agar Mannitol Egg Yolk Polymyxin Agar (MYPA) padat dalam cawan petri steril. Koloni tipikal B. cereus pada MYPA dengan suplementasi polymyxin B akan berwarna pink cerah dan dikelilingi zona presipitasi.

Selain bakteri patogen B. cereus, disiapkan juga B. subtilis

yang digunakan untuk menguji spesifisitas primer BceT. Primer

BceT merupakan DNA dari gen penyandi enterotoksin T pada

DNA kromosomal B. cereus. Isolat DNA bakteri tersebut

diamplifikasi kemudian melt curve yang terbentuk dianalisis untuk mengetahui apakah primer BceT dapat menempel pada DNA kromosomal selain DNA gen penyandi enterotoksin

B. cereus yang berarti primer kurang spesifik. Bakteri ini pun disegarkan setiap 2 minggu sekali dalam TSB dan diinkubasi


(46)

33 pada suhu 37ºC selama 24 jam, lalu disimpan pada suhu 16°C. Prosedur persiapan kultur bakteri dapat dilihat pada Lampiran 4.

B. cereus dan B.subtilis disegarkan dan diinkubasi pada suhu 37ºC selama 24 jam sehari sebelum DNA diisolasi. Kultur murni B. cereus yang hendak diisolasi diencerkan terlebih dahulu (10-1-10-8), sedangkan kultur murni B. subtilis diambil 1 ml dan langsung diisolasi. Pengenceran serial kultur murni

B. cereus dilakukan untuk diisolasi DNA-nya sebanyak 1 ml

dari masing-masing pengenceran dan untuk ditumbuhkan dalam MYPA sebanyak 0.1 ml. Penumbuhan kultur bakteri dalam MYPA dilakukan dengan teknik surface plate untuk perhitungan konsentrasi bakteri yang terdapat pada kultur murni (CFU/ml). Jumlah koloni pada beberapa tingkat pengenceran dan konsentrasi bakteri kultur murni B. cereus dapat dilihat pada Lampiran 5. Konsentrasi tersebut digunakan sebagai perhitungan log konsentrasi bakteri dalam kurva standar amplifikasi.

3) Persiapan sampel pangan

Sampel pangan yaitu nasi goreng dibagi menjadi dua, masing-masing sejumlah 25 gram dan salah satunya diinokulasi

B. cereus dengan konsentrasi 8.8 x 105 CFU/g (konsentrasi

diperoleh dari perhitungan koloni dalam MYPA). Bagian sampel pangan yang tidak diinokulasi disebut sampel pangan (SP), sedangkan bagian yang diinokulasi secara artifisial dengan kultur murni B. cereus disebut sampel pangan spike (SPS). Baik SP (25 gram) maupun SPS (25 gram) dimasukkan ke dalam plastik steril yang masing-masing berisi 225 ml NaCl 0.85% dan dihomogenisasi dengan stomacher (30 detik, 230 rpm), lalu dituang ke dalam botol sampel. Setelah itu, SP diambil 1 ml dan diisolasi DNA-nya, sedangkan SPS diencerkan hingga tingkat pengenceran 10-6 kemudian dari seluruh tingkat pengenceran


(47)

34 diambil 1 ml untuk diisolasi DNA-nya dan diambil 0.1 ml untuk diiinokulasikan pada MYPA dan dihitung koloni B. cereus yang tumbuh. Pengamatan dan penghitungan koloni dilakukan setelah MYPA diinkubasi (37ºC) selama 2 hari. Perhitungan koloni tipikal B. cereus mengikuti hitungan cawan (USFDA, 2001).

Koloni tipikal B. cereus pada MYPA adalah koloni pink cerah dan dikelilingi zona presipitasi. Cawan yang digunakan untuk perhitungan ialah cawan dengan koloni tipikal berkisar antara 15-150 koloni. Perhitungan jumlah koloni per ml

dilakukan dengan Standard Plate Count (BAM edisi ke-8)

dengan rumus sebagai berikut:

Keterangan: N = jumlah koloni per ml atau per g produk ∑C = jumlah semua koloni yang dihitung n1 = jumlah cawan pada pengenceran pertama n2 = jumlah cawan pada pengenceran kedua d = pengenceran pertama yang dihitung

b. Tahap isolasi DNA

Sebanyak 1 ml dari masing-masing pengenceran diisolasi DNA-nya dengan tiga metode, yaitu (1) Metode pendidihan, (2) Metode ekstraksi dengan fenol:kloroform, dan (3) Metode ekstraksi dengan kit komersial. Metode pendidihan dan metode ekstraksi dengan fenol:kloroform digunakan untuk perbandingan hasil amplifikasi dengan kit komersial dalam uji sensitivitas dan spesifisitas. Berikut ini uraian prosedur kerja dalam ketiga metode tersebut.

1) Metode pendidihan (Hein et al., 2001 dengan modifikasi)

Kultur murni atau sampel pangan yang telah dihomogenisasi dan dilakukan pengenceran (10-1-10-8) diambil masing-masing 1 ml, lalu disentrifus. Supernatan dibuang dan pelet dicuci dengan 500 µl buffer TE 1X sebanyak dua kali, disentrifus, kemudian pelet disuspensikan dengan buffer TE 1X


(48)

35 dan lisozim, diinkubasi pada suhu ruang (25°C) selama 15 menit, ditambahkan proteinase K, setelah itu diinkubasi pada suhu 55°C selama 1 jam, kemudian dididihkan selama 15 menit, didinginkan dalam freezer (4°C) selama 30 menit, dan supernatan digunakan sebagai sumber DNA target. Prosedur kerjanya dapat dilihat pada Lampiran 6.

Modifikasi yang dilakukan terhadap metode pendidihan (Hein et al., 2001) adalah waktu sentrifugasi dari 5700 g selama 15 menit menjadi 14000 g selama 10 menit untuk menjamin seluruh bakteri telah menjadi pelet, kemudian setelah pendidihan 100°C selama 15 menit, suspensi DNA tidak disentrifus, melainkan segera didinginkan dalam freezer (4°C) selama 30 menit untuk merenaturasi DNA yang telah terdenaturasi saat dididihkan.

2) Metode ekstraksi dengan fenol:kloroform (Sambrook et al.,

1989 dengan modifikasi)

Kultur murni atau sampel pangan yang telah dihomogenisasi dan dilakukan pengenceran (10-1-10-8) diambil masing-masing 1 ml, lalu disentrifus dan pelet diresuspensi dengan 500 µl buffer TE 1X sebanyak 2 kali. Setelah disentrifus, pelet diresuspensi dengan 500 µl buffer TE 1X dan 100 µl lisozim, diinkubasi pada suhu 4°C selama 5 menit. Kemudian ditambahkan 25 µl SDS 10%, 50 µl NaCl 5M, dan 100 µl proteinase K (20 mg/ml), divortex dan diinkubasi pada suhu 55°C selama 2 jam. Selanjutnya ditambahkan 500 µl fenol:kloroform (1:1 v/v), divortex dan diinkubasi -20°C selama 30 menit, lalu disentrifus pada suhu 4°C, 12000 rpm selama 10 menit. Lapisan air bagian atas diambil dan dipindahkan ke tabung eppendorf baru, ditambahkan 500 µl fenol:kloroform (1:1 v/v), divortex dan diinkubasi -20°C selama 30 menit, lalu disentrifus pada suhu 4°C, 12000 rpm selama 10 menit. Lapisan


(49)

36 air bagian atas diambil dan dipindahkan ke tabung eppendorf baru, ditambahkan 500 µl kloroform, disentrifus pada suhu 4°C, 12000 rpm selama 10 menit. Lalu lapisan air bagian atas dipindahkan ke tabung eppendorf baru, ditambahkan 0.3 kali volume lapisan air ammonium asetat 10M pH 7.4 dan isopropanol dingin 1 kali volume fase aqueous, diinkubasikan -20°C selama semalam, kemudian disentrifus 14000 rpm selama 30 menit. Selanjutnya pelet ditambah dengan 500 µl etanol 70% dan disentrifus 12000 rpm selama 5 menit. Supernatan dibuang dan pelet dikeringudarakan, kemudian dilarutkan dalam 50 µl buffer TE 1X. Prosedur kerja metode ekstraksi dengan fenol:kloroform ini dapat dilihat pada Lampiran 7.

Modifikasi yang dilakukan terhadap metode pendidihan (Hein et al., 2001) adalah buffer lisis yang digunakan pada metode Sambrook et al. (1989) pada 1 ml kultur bakteri diganti dengan buffer TE untuk menjaga tekanan osmosis bakteri, campuran buffer lisis pada Sambrook et al. (1989) yaitu 100 mM NaCl, 500 mM Tris (pH 8.0), 10% sodium dodecylsulphate, dan 0.2 mg/ml proteinase K diganti dengan campuran buffer yang diberikan bertahap, terdiri atas 500 µl buffer TE 1X dan 100 µl lisozim untuk merusak dinding sel bakteri, kemudian ke dalam campuran buffer dan kultur bakteri ditambahkan 25 µl SDS 10%, 50 µl NaCl 5M, dan 100 µl proteinase K (20 mg/ml) untuk menhilangkan protein yang dapat mengganggu amplifikasi. Modifikasi juga dilakukan pada komposisi pelarut fenol:kloroform (1:1 v/v) sebagai ganti dari pelarut fenol:kloroform:isoamil alkohol (25:24:1 v/v/v). Kloroform biasanya ditambahkan dengan isoamil alkohol dengan perbandingan 24:1 untuk mengurangi busa yang terbentuk ketika ekstraksi. Campuran senyawa ini sering disebut CIAA (Chloroform Isoamyl Alcohol). Pelarut ini dimodifikasi karena keterbatasan pelarut isoamil alkohol. Fase aqueous dari


(50)

37 ekstraksi dengan fenol:kloroform pada metode Sambrook et al.

(1989) ditambahkan 0.3 M Natrium Asetat pH 4.8, namun pada metode yang dimodifikasi garam yang ditambahkan adalah 10 M Ammonium Asetat pH 7.4 disesuaikan dengan garam yang tersedia. Kedua garam tersebut berfungsi sama dan dapat saling menggantikan. Selain itu, etanol absolut pada metode Sambrook et al. (1989) diganti dengan isopropanol karena isopropanol lebih cepat mempresipitasikan DNA, lalu waktu dan kecepatan sentrifus diganti dari 15 menit menjadi 30 menit untuk memperoleh pelet DNA karena waktu 15 menit tidak cukup untuk mengendapkan DNA di dasar tabung. Pelet yang dikeringvakumkan diganti dengan cara dikeringudarakan karena keterbatasan instrumen.

3) Metode ekstraksi sesuai panduan kit komersial

Sebanyak 1 ml kultur murni B. cereus dari delapan tingkat pengenceran masing-masing dimasukkan ke dalam tabung mikrosentrifus dan disentrifus dengan kecepatan 14000 rpm selama 3 menit. Supernatan yang terdapat dalam tabung dibuang tanpa merusak pelet, lalu ditambahkan 40 µL buffer lisozim dan segera divorteks selama 10 detik sampai sel bakteri benar-benar tersuspensi, kemudian suspensi tersebut ditambahkan 20 µL lisozim, divorteks dan diinkubasi selama 5 menit pada suhu kamar 25ºC, lalu disentrifus 5000 rpm selama 5 detik untuk mengumpulkan sampel di dasar tabung. Inkubasi dilanjutkan pada suhu kamar (25ºC) selama 5 menit. Kemudian 20 µL Proteinase K ditambahkan ke dalam sampel, lalu divorteks. Setelah itu, ditambahkan 10 µL buffer lisis, divorteks dan disentrifus 5000 rpm selama 5 detik. Suspensi diinkubasi pada suhu 55oC selama 7 menit, divorteks selama 10 detik dan disentrifus 5000 rpm selama 5 detik. Proses inkubasi dilanjutkan pada suhu 55oC selama 8 menit, kemudian disentrifus 5000 rpm


(51)

38 selama 5 detik. Lalu ditambahkan 5 µL RNAse-A, divorteks dan disentrifus 5000 rpm selama 5 detik. Sampel kembali diinkubasi pada suhu kamar (25ºC) selama 15 menit. Setelah itu, ditambahkan 500 µl buffer lisis, divorteks selama 10 detik dan inkubasi pada suhu kamar (25ºC) selama 5 menit. Setelah itu, cairan dipindahkan ke dalam kolom mini yang diletakkan di dalam collection tube dan disentrifus pada 15000 rpm selama 1 menit, lalu cairan pada collection tube dibuang dan kolom diletakkan pada collection tube.

Sebanyak 500 µL buffer lisis ditambahkan ke dalam kolom mini dan disentrifus 15000 rpm selama 1 menit, kemudian

cairan pada collection tube dibuang kembali dan kolom

diletakkan kembali ke dalam collection tube. Setelah itu, ke dalam kolom mini ditambahkan 500 µL wash buffer dan disentrifus dengan kecepatan 14000 rpm selama 3 menit, kemudian collection tube dan kolom mini dipindahkan ke dalam tabung mikrosentrifus baru. Sebanyak 200 µL buffer elusi (70oC) ditambahkan ke dalam matriks fiber dalam kolom mini, lalu diinkubasi pada suhu kamar (25ºC) selama 1 menit dan disentrifus pada 14000 rpm selama 1 menit. Cairan pada tabung mikrosentrifus digunakan sebagai isolat DNA. Prosedur kerja metode isolasi DNA dengan kit komersial dapat dilihat pada Lampiran 8.

c. Tahap amplifikasi (Alarcon et al., 2006 dengan modifikasi)

Sebanyak 2.0 µl isolat DNA, yang diperoleh dari 8 tingkat pengenceran untuk kultur murni, 1 tingkat pengenceran SP, dan 6 tingkat pengenceran SPS, digunakan sebagai templat untuk amplifikasi PCR. Isolat DNA (2.0 µl) dicampur dengan 9.5 µl RNAse free water, 12.5 µl SYBR Green supermix, 0.5 µl masing-masing forward dan reverse primer BceT. Volume total larutan adalah 25 µl.


(52)

39 Larutan tersebut diamplifikasi dengan kondisi, sebagai berikut: predenaturasi 95°C selama 10 menit, denaturasi pada suhu 95°C selama 10 detik dan penempelan pada suhu 55°C selama 30 detik (40 siklus) dengan thermal cycler iCycler IQ System, dilanjutkan dengan 80 siklus (suhu 55°C selama 10 detik) untuk menghasilkan

melt curve yang digunakan dalam spesifisitas uji.

Kondisi amplifikasi menurut Alarcon et al. (2006) yaitu denaturasi pada suhu 95°C selama 15 detik dan penempelan pada suhu 60°C selama 1 menit dengan thermal cycler GeneAmp 5700 Sequence Detection System dimodifikasi menjadi kondisi seperti yang dijelaskan di atas untuk menyesuaikan dengan jenis primer dan

thermal cycler yang digunakan sehingga amplifikasi dapat

berlangsung.

Primer (forward dan reverse) BceT dianalisis dengan Basic

Local Alignment Search Tool (BLAST, NCBI) untuk mengetahui

spesifitasnya terhadap gen target. Urutan nukleotida sepasang primer tersebut adalah 5’-GAA TTC CTA AAC TTG CAC CAT CTC G-3’ untuk forward primer yang terletak pada urutan basa nukleotida

2208-2232 pada DNA kromosomal B. cereus dan 5’-CTG CGT

AAT CGT GAA TGT AGT CAA T-3’ reverse primer yang terletak

pada urutan basa nukleotida 1587-1611 pada DNA kromosomal

B. cereus. Produk amplifikasi dari sepasang primer ini adalah 646 pasang basa.

d. Evaluasi kinerja real-time PCR

Amplifikasi real-time PCR dilakukan untuk menetapkan limit deteksi kultur murni B. cereus dan limit deteksi B. cereus pada nasi

goreng. Selain itu, real-time PCR dapat digunakan untuk

menghasilkan melt curve. Kurva tersebut dipakai dalam spesifisitas uji. Kinerja real-time PCR dievaluasi dengan cara menetapkan limit deteksi, sensitivitas dan spesifisitas uji.


(1)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 6 Oktober 1987 di Medan dari pasangan Hisar P. Samosir dan Tiodor Agustina Saragi. Kedua orangtua memberi penulis seorang kakak lelaki, dr. Andre Somba Gugun Samosir dan seorang kakak perempuan Andika Putri Listiawati, STP.

Pendidikan penulis dimulai dari TK Anging Mamiri, dilanjutkan ke SD Negeri Setia Mulya 1, SLTP Negeri 1 Cimahi, dan SMA Negeri 2 Cimahi. Kemudian penulis melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor Fakultas Teknologi Pertanian dengan mayor Ilmu dan Teknologi Pangan dan minor Perkembangan Anak.

Selama menempuh pendidikan di Institut Pertanian Bogor, penulis mengimbangi studi dengan kegiatan ekstrakurikuler, antara lain: menyuluh para pedagang pangan dan warga sekitar kampus IPB mengenai keamanan pangan, mengepalai Departemen Peduli Pangan Indonesia dalam Himpunan Profesi HIMITEPA, mengurus komisariat Himpunan Mahasiswa Peduli Pangan (HMPPI), mengikuti Paduan Suara Fakultas, dan mengambil peran dalam sejumlah kegiatan Persekutuan Mahasiswa Kristen. Kegemaran penulis mempelajari hal-hal yang baru dan menciptakan hubungan sosial dengan orang lain dapat dipenuhi melalui kegiata-kegiatan tersebut. 


(2)

i   

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang Maha Pengasih. Kebaikan-Nya dan kekuasaan-Nya telah memberi penulis kemampuan untuk menyelesaikan skripsi ini.

Penulis juga ingin menyampaikan ungkapan terima kasih yang tulus kepada: 1. Mama dan Papa tersayang, Abang Andre sebagai panutanku, Kakak Andika Putri

sebagai pengaduanku.

2. Ibu Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc sebagai pembimbing yang senantiasa menuntun dan mengarahkan penulis selama studi hingga memperoleh kelulusan ini.

3. Ibu Prof. Dr. Winiati P. Rahayu sebagai pembimbing yang memberi kesempatan magang bagi penulis di Pusat Riset Obat dan Makanan Badan POM RI dan memberi saran-saran untuk penelitian dan penyelesaian skripsi ini.

4. Ibu Siti Nurjanah, STP, M.Si sebagai penguji yang memberi masukan bagi penulis demi kelayakan skripsi ini.

5. Seluruh Dosen dan Staf Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan (ITP) atas bantuan dan bimbingan yang diberikan kepada penulis selama menempuh pendidikan di Departemen ITP.

6. Saudara-saudara yang selalu mendukungku, Uda Ridwan beserta Inanguda, Abang Jon, Eda Ika beserta Nate dan Naomi, Nastry, dan Dian yang terkasih. Terima kasih atas doa kalian.

7. Golden Generation ITP 42 yang telah berjuang bersama-sama dalam menempuh

studi di ITP. Yanka, Tiyu, Icha, Fahmi, Kamlit, Hesti, Galih, Dina, Ester, Tere senang dapat memiliki pengalaman dan mempelajari hal-hal baru bersama kalian. 8. Ntet, Nonk, Mpe, Ditol, Dini yang terus bersamaku dari awal berada di asrama

IPB hingga studi kita untuk strata-1 ini berakhir.

9. Ibu Ida, Ibu Suci, Ibu Novi, Ibu Ning, Ibu Khusnul, Ibu Wiwi serta para staf Pusat Riset Obat dan Makanan Badan POM yang menjadi rekan sekaligus pembimbing teknis.


(3)

10.Mike, Tiwi, Upik, dan Fauzan yang telah bersama-sama dengan penulis melaksanakan magang di Pusat Riset Obat dan Makanan, Badan POM.

11.Seluruh pihak yang telah membantu penulis hingga sampai di titik akhir Strata-1 ini.

Penulis menyadari kekurangan ataupun kesalahan tak lekang dari skripsi ini. Oleh karena itu, penulis sangat menghargai dan mengharapkan kritik dan saran bagi skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi kemajuan pendidikan dan perkembangan ilmu pengetahuan.

Bogor, 7 September 2009


(4)

iii   

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

I. PENDAHULUAN ... 1

A.LATAR BELAKANG ... 1

B.TUJUAN ... 4

C.MANFAAT ... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 5

A.KEADAAN UMUM INSTANSI MAGANG ... 5

1. Sejarah dan Perkembangan Instansi ... 5

2. Lokasi dan Tata Letak Instansi ... 6

3. Visi dan Misi Instansi ... 6

4. Struktur Organisasi Instansi ... 6

B.KERACUNAN PANGAN ... 8

C.Bacillus cereus ... 9

D.Salmonella spp. ... 11

E. METODE DETEKSI KONVENSIONAL ... 14

F. METODE DETEKSI CEPAT (RAPID METHOD) BAKTERI PATOGEN DENGAN PCR ... 17

1. Tahap Pra-Amplifikasi Real-Time PCR ... 19

2. Pembacaan Produk Hasil Real-Time PCR ... 23

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 27

A.TEMPAT DAN WAKTU MAGANG ... 27

B.LINGKUP KEGIATAN PENELITIAN ... 27


(5)

1. Identifikasi Serovar Salmonella spp. ... 29

2. Metode Deteksi B. cereus Berbasiskan DNA ... 30

D.METODE PENELITIAN ... 31

1. Identifikasi Serovar Salmonella spp. ... 31

2. Metode Deteksi B. cereus Berbasiskan DNA ... 32

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 41

A. Identifikasi Serovar Salmonella spp. ... 41

B. Metode Deteksi B. cereus Berbasiskan DNA ... 45

1. Tahap Persiapan Sampel ... 45

2. Tahap Isolasi DNA ... 48

3. Tahap Amplifikasi ... 57

4. Evaluasi Kinerja Real-Time PCR ... 59

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 69

A.KESIMPULAN ... 69

B.SARAN ... 69

DAFTAR PUSTAKA ... 70


(6)

v   

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Pembagian subgenus Salmonella berdasarkan karakteristik

biokimia ... 12 Tabel 2. Distribusi serovar dalam genus Salmonella pada tahun 2007 ... 13

Tabel 3. Data uji serologi antigen O dan motilitas... 41 Tabel 4 Data kurva standar dari metode isolasi pendidihan, ekstraksi dengan

fenol:kloroform, dan ekstraksi dengan kit komersial DNA ... 61 Tabel 5. Limit deteksi kultur murni B. cereus dan B. cereus dalam