31 Analytical Balance
Shimadzu, Autoklaf Hirayama, Automatic Colony Counter
Acolyte, Lampu UV, kamera digital, tabung mikrosentrifus 1.5 ml, tabung konikal 15 ml Iwaki, inkubator,
bunsen, pipet mikro Eppendorf, pipet volumemetrik, bulb, gelas piala, gelas ukur, labu Erlenmeyer, botol semprot, cawan petri, jarum
ose, tabung reaksi, rak tabung reaksi, sudip, magnetic stirrer, gelas pengaduk, Real-time PCR Bio-Rad, micro well, dan adhesive
sealer .
D. METODE PENELITIAN
1. Identifikasi Serovar Salmonella spp. WHO, 2009
Konfirmasi Salmonella spp. dengan uji imunologi dilakukan untuk mendeteksi antigen dengan O Slide Agglutinasion Test SAT dan
motilitas dengan agar semi solid. Mula-mula, sepuluh isolat Salmonella spp. dalam BHIB diinokulasi dan ditumbuhkan pada media NA,
kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 35°C. Uji serologi antigen O dimulai dengan satu tetes antisera O polivalen diteteskan pada gelas
objek, kemudian 1 ose Salmonella spp. diambil dari NA dan dicampur dengan jarum ose selama 1 menit. Gelas objek tersebut digoyang
perlahan selama 1-2 menit. Uji positif ditunjukkan dengan adanya aglutinasi. Uji positif berarti antibodi pada sera spesifik berikatan dengan
antigen yang dimiliki bakteri. Aglutinasi tidak akan terjadi jika bakteri tidak memiliki antigen yang dapat berikatan dengan antibodi.
Uji motilitas dilakukan pada hari yang sama dengan pengujian antigen O. Satu ose Salmonella spp. diambil dari NA, kemudian
diinokulasi satu titik pada bagian tengah agar semi solid dan diinkubasi semalam pada suhu 37°C. Isolat yang menunjukkan pergerakan sekitar
40 mm dari titik inokulasi atau lebih dari 50 jari-jari cawan agar ke tepi agar semi solid dikonfirmasi bersifat motil.
32
2. Metode Deteksi
B. cereus Berbasiskan DNA Alarcon et al., 2006; Fricker et al., 2007
a. Tahap persiapan
1 Persiapan media
Media yang perlu dipersiapkan untuk penyegaran kultur bakteri adalah media Trypticase Soy Broth. Media selektif untuk
isolasi bakteri adalah Mannitol Egg Yolk Polymyxin Agar media selektif B.cereus, Egg Yolk Emulsion serta Polymyxin B
untuk menghambat pertumbuhan bakteri Gram negatif. Media selektif digunakan untuk isolasi dan penghitungan kultur bakteri
patogen, baik kultur murni maupun kultur dari sampel pangan. Prosedur pembuatan media dapat dilihat pada Lampiran 2 dan 3.
2 Persiapan kultur bakteri
Bacillus cereus disegarkan pada media TSB setiap
2 minggu sekali dan diinkubasi pada suhu 37ºC selama 24 jam, lalu disimpan pada suhu 16°C. Untuk pengecekan kemurnian
kultur, kultur B. cereus dalam TSB diinokulasi sebanyak 1 lup ke permukaan agar Mannitol Egg Yolk Polymyxin Agar MYPA
padat dalam cawan petri steril. Koloni tipikal B. cereus pada MYPA dengan suplementasi polymyxin B akan berwarna pink
cerah dan dikelilingi zona presipitasi. Selain bakteri patogen B. cereus, disiapkan juga B. subtilis
yang digunakan untuk menguji spesifisitas primer BceT. Primer BceT
merupakan DNA dari gen penyandi enterotoksin T pada DNA kromosomal B. cereus. Isolat DNA bakteri tersebut
diamplifikasi kemudian melt curve yang terbentuk dianalisis untuk mengetahui apakah primer BceT dapat menempel pada
DNA kromosomal selain DNA gen penyandi enterotoksin B. cereus
yang berarti primer kurang spesifik. Bakteri ini pun disegarkan setiap 2 minggu sekali dalam TSB dan diinkubasi
33 pada suhu 37ºC selama 24 jam, lalu disimpan pada suhu 16°C.
Prosedur persiapan kultur bakteri dapat dilihat pada Lampiran 4. B. cereus
dan B.subtilis disegarkan dan diinkubasi pada suhu 37ºC selama 24 jam sehari sebelum DNA diisolasi. Kultur
murni B. cereus yang hendak diisolasi diencerkan terlebih dahulu 10
-1
-10
-8
, sedangkan kultur murni B. subtilis diambil 1 ml dan langsung diisolasi. Pengenceran serial kultur murni
B. cereus dilakukan untuk diisolasi DNA-nya sebanyak 1 ml
dari masing-masing pengenceran dan untuk ditumbuhkan dalam MYPA sebanyak 0.1 ml. Penumbuhan kultur bakteri dalam
MYPA dilakukan dengan teknik surface plate untuk perhitungan konsentrasi bakteri yang terdapat pada kultur murni CFUml.
Jumlah koloni pada beberapa tingkat pengenceran dan konsentrasi bakteri kultur murni B. cereus dapat dilihat pada
Lampiran 5. Konsentrasi tersebut digunakan sebagai perhitungan log konsentrasi bakteri dalam kurva standar
amplifikasi.
3 Persiapan sampel pangan
Sampel pangan yaitu nasi goreng dibagi menjadi dua, masing-masing sejumlah 25 gram dan salah satunya diinokulasi
B. cereus dengan konsentrasi 8.8 x 10
5
CFUg konsentrasi diperoleh dari perhitungan koloni dalam MYPA. Bagian
sampel pangan yang tidak diinokulasi disebut sampel pangan SP, sedangkan bagian yang diinokulasi secara artifisial dengan
kultur murni B. cereus disebut sampel pangan spike SPS. Baik SP 25 gram maupun SPS 25 gram dimasukkan ke dalam
plastik steril yang masing-masing berisi 225 ml NaCl 0.85 dan dihomogenisasi dengan stomacher 30 detik, 230 rpm, lalu
dituang ke dalam botol sampel. Setelah itu, SP diambil 1 ml dan diisolasi DNA-nya, sedangkan SPS diencerkan hingga tingkat
pengenceran 10
-6
kemudian dari seluruh tingkat pengenceran
34 diambil 1 ml untuk diisolasi DNA-nya dan diambil 0.1 ml untuk
diiinokulasikan pada MYPA dan dihitung koloni B. cereus yang tumbuh. Pengamatan dan penghitungan koloni dilakukan setelah
MYPA diinkubasi 37ºC selama 2 hari. Perhitungan koloni tipikal B. cereus mengikuti hitungan cawan USFDA, 2001.
Koloni tipikal B. cereus pada MYPA adalah koloni pink cerah dan dikelilingi zona presipitasi. Cawan yang digunakan
untuk perhitungan ialah cawan dengan koloni tipikal berkisar antara 15-150 koloni. Perhitungan jumlah koloni per ml
dilakukan dengan Standard Plate Count BAM edisi ke-8 dengan rumus sebagai berikut:
Keterangan: N = jumlah koloni per ml atau per g produk ∑C = jumlah semua koloni yang dihitung
n1 = jumlah cawan pada pengenceran pertama n2 = jumlah cawan pada pengenceran kedua
d = pengenceran pertama yang dihitung
b. Tahap isolasi DNA
Sebanyak 1 ml dari masing-masing pengenceran diisolasi DNA- nya dengan tiga metode, yaitu 1 Metode pendidihan, 2 Metode
ekstraksi dengan fenol:kloroform, dan 3 Metode ekstraksi dengan kit komersial. Metode pendidihan dan metode ekstraksi dengan
fenol:kloroform digunakan untuk perbandingan hasil amplifikasi dengan kit komersial dalam uji sensitivitas dan spesifisitas. Berikut
ini uraian prosedur kerja dalam ketiga metode tersebut.
1 Metode pendidihan Hein et al., 2001 dengan modifikasi
Kultur murni atau sampel pangan yang telah dihomogenisasi dan dilakukan pengenceran 10
-1
-10
-8
diambil masing-masing 1 ml, lalu disentrifus. Supernatan dibuang dan
pelet dicuci dengan 500 µl buffer TE 1X sebanyak dua kali, disentrifus, kemudian pelet disuspensikan dengan buffer TE 1X
35 dan lisozim, diinkubasi pada suhu ruang 25°C selama
15 menit, ditambahkan proteinase K, setelah itu diinkubasi pada suhu 55°C selama 1 jam, kemudian dididihkan selama 15 menit,
didinginkan dalam freezer 4°C selama 30 menit, dan supernatan digunakan sebagai sumber DNA target. Prosedur
kerjanya dapat dilihat pada Lampiran 6. Modifikasi yang dilakukan terhadap metode pendidihan
Hein et al., 2001 adalah waktu sentrifugasi dari 5700 g selama 15 menit menjadi 14000 g selama 10 menit untuk menjamin
seluruh bakteri telah menjadi pelet, kemudian setelah pendidihan 100°C selama 15 menit, suspensi DNA tidak
disentrifus, melainkan segera didinginkan dalam freezer 4°C selama 30 menit untuk merenaturasi DNA yang telah
terdenaturasi saat dididihkan.
2 Metode ekstraksi dengan fenol:kloroform Sambrook et al.,
1989 dengan modifikasi
Kultur murni atau sampel pangan yang telah dihomogenisasi dan dilakukan pengenceran 10
-1
-10
-8
diambil masing-masing 1 ml, lalu disentrifus dan pelet diresuspensi
dengan 500 µl buffer TE 1X sebanyak 2 kali. Setelah disentrifus, pelet diresuspensi dengan 500 µl buffer TE 1X dan
100 µl lisozim, diinkubasi pada suhu 4°C selama 5 menit. Kemudian ditambahkan 25 µl SDS 10, 50 µl NaCl 5M, dan
100 µl proteinase K 20 mgml, divortex dan diinkubasi pada suhu 55°C selama 2 jam. Selanjutnya ditambahkan 500 µl
fenol:kloroform 1:1 vv, divortex dan diinkubasi -20°C selama 30 menit, lalu disentrifus pada suhu 4°C, 12000 rpm selama
10 menit. Lapisan air bagian atas diambil dan dipindahkan ke tabung eppendorf baru, ditambahkan 500 µl fenol:kloroform
1:1 vv, divortex dan diinkubasi -20°C selama 30 menit, lalu disentrifus pada suhu 4°C, 12000 rpm selama 10 menit. Lapisan
36 air bagian atas diambil dan dipindahkan ke tabung eppendorf
baru, ditambahkan 500 µl kloroform, disentrifus pada suhu 4°C, 12000 rpm selama 10 menit. Lalu lapisan air bagian atas
dipindahkan ke tabung eppendorf baru, ditambahkan 0.3 kali volume lapisan air ammonium asetat 10M pH 7.4 dan
isopropanol dingin 1 kali volume fase aqueous, diinkubasikan -20°C selama semalam, kemudian disentrifus 14000 rpm selama
30 menit. Selanjutnya pelet ditambah dengan 500 µl etanol 70 dan disentrifus 12000 rpm selama 5 menit. Supernatan dibuang
dan pelet dikeringudarakan, kemudian dilarutkan dalam 50 µl buffer TE 1X. Prosedur kerja metode ekstraksi dengan
fenol:kloroform ini dapat dilihat pada Lampiran 7. Modifikasi yang dilakukan terhadap metode pendidihan
Hein et al., 2001 adalah buffer lisis yang digunakan pada metode Sambrook et al. 1989 pada 1 ml kultur bakteri diganti
dengan buffer TE untuk menjaga tekanan osmosis bakteri, campuran buffer lisis pada Sambrook et al. 1989 yaitu
100 mM NaCl, 500 mM Tris pH 8.0, 10 sodium dodecylsulphate, dan 0.2 mgml proteinase K diganti dengan
campuran buffer yang diberikan bertahap, terdiri atas 500 µl buffer TE 1X dan 100 µl lisozim untuk merusak dinding sel
bakteri, kemudian ke dalam campuran buffer dan kultur bakteri ditambahkan 25 µl SDS 10, 50 µl NaCl 5M, dan 100 µl
proteinase K 20 mgml untuk menhilangkan protein yang dapat mengganggu amplifikasi. Modifikasi juga dilakukan pada
komposisi pelarut fenol:kloroform 1:1 vv sebagai ganti dari pelarut fenol:kloroform:isoamil alkohol 25:24:1 vvv.
Kloroform biasanya ditambahkan dengan isoamil alkohol dengan perbandingan 24:1 untuk mengurangi busa yang
terbentuk ketika ekstraksi. Campuran senyawa ini sering disebut CIAA Chloroform Isoamyl Alcohol. Pelarut ini dimodifikasi
karena keterbatasan pelarut isoamil alkohol. Fase aqueous dari
37 ekstraksi dengan fenol:kloroform pada metode Sambrook et al.
1989 ditambahkan 0.3 M Natrium Asetat pH 4.8, namun pada metode yang dimodifikasi garam yang ditambahkan adalah
10 M Ammonium Asetat pH 7.4 disesuaikan dengan garam yang tersedia. Kedua garam tersebut berfungsi sama dan dapat
saling menggantikan. Selain itu, etanol absolut pada metode Sambrook et al. 1989 diganti dengan isopropanol karena
isopropanol lebih cepat mempresipitasikan DNA, lalu waktu dan kecepatan sentrifus diganti dari 15 menit menjadi 30 menit
untuk memperoleh pelet DNA karena waktu 15 menit tidak cukup untuk mengendapkan DNA di dasar tabung. Pelet yang
dikeringvakumkan diganti dengan cara dikeringudarakan karena keterbatasan instrumen.
3 Metode ekstraksi sesuai panduan kit komersial
Sebanyak 1 ml kultur murni B. cereus dari delapan tingkat pengenceran masing-masing dimasukkan ke dalam tabung
mikrosentrifus dan disentrifus dengan kecepatan 14000 rpm selama 3 menit. Supernatan yang terdapat dalam tabung dibuang
tanpa merusak pelet, lalu ditambahkan 40 µL buffer lisozim dan segera divorteks selama 10 detik sampai sel bakteri benar-benar
tersuspensi, kemudian suspensi tersebut ditambahkan 20 µL lisozim, divorteks dan diinkubasi selama 5 menit pada suhu
kamar 25ºC, lalu disentrifus 5000 rpm selama 5 detik untuk mengumpulkan sampel di dasar tabung. Inkubasi dilanjutkan
pada suhu kamar 25ºC selama 5 menit. Kemudian 20 µL Proteinase K ditambahkan ke dalam sampel, lalu divorteks.
Setelah itu, ditambahkan 10 µL buffer lisis, divorteks dan disentrifus 5000 rpm selama 5 detik. Suspensi diinkubasi pada
suhu 55
o
C selama 7 menit, divorteks selama 10 detik dan disentrifus 5000 rpm selama 5 detik. Proses inkubasi dilanjutkan
pada suhu 55
o
C selama 8 menit, kemudian disentrifus 5000 rpm
38 selama 5 detik. Lalu ditambahkan 5 µL RNAse-A, divorteks
dan disentrifus 5000 rpm selama 5 detik. Sampel kembali diinkubasi pada suhu kamar 25ºC selama 15 menit. Setelah itu,
ditambahkan 500 µl buffer lisis, divorteks selama 10 detik dan inkubasi pada suhu kamar 25ºC selama 5 menit. Setelah itu,
cairan dipindahkan ke dalam kolom mini yang diletakkan di dalam collection tube dan disentrifus pada 15000 rpm selama
1 menit, lalu cairan pada collection tube dibuang dan kolom diletakkan pada collection tube.
Sebanyak 500 µL buffer lisis ditambahkan ke dalam kolom mini dan disentrifus 15000 rpm selama 1 menit, kemudian
cairan pada collection tube dibuang kembali dan kolom diletakkan kembali ke dalam collection tube. Setelah itu, ke
dalam kolom mini ditambahkan 500 µL wash buffer dan disentrifus dengan kecepatan 14000 rpm selama 3 menit,
kemudian collection tube dan kolom mini dipindahkan ke dalam tabung mikrosentrifus baru. Sebanyak 200 µL buffer elusi
70
o
C ditambahkan ke dalam matriks fiber dalam kolom mini, lalu diinkubasi pada suhu kamar 25ºC selama 1 menit dan
disentrifus pada 14000 rpm selama 1 menit. Cairan pada tabung mikrosentrifus digunakan sebagai isolat DNA. Prosedur kerja
metode isolasi DNA dengan kit komersial dapat dilihat pada Lampiran 8.
c. Tahap amplifikasi Alarcon et al., 2006 dengan modifikasi
Sebanyak 2.0 µl isolat DNA, yang diperoleh dari 8 tingkat pengenceran untuk kultur murni, 1 tingkat pengenceran SP, dan
6 tingkat pengenceran SPS, digunakan sebagai templat untuk amplifikasi PCR. Isolat DNA 2.0 µl dicampur dengan 9.5 µl
RNAse free water, 12.5 µl SYBR Green supermix, 0.5 µl masing- masing forward dan reverse primer BceT. Volume total larutan
adalah 25 µl.
39 Larutan tersebut diamplifikasi dengan kondisi, sebagai berikut:
predenaturasi 95°C selama 10 menit, denaturasi pada suhu 95°C selama 10 detik dan penempelan pada suhu 55°C selama 30 detik
40 siklus dengan thermal cycler iCycler IQ System, dilanjutkan dengan 80 siklus suhu 55°C selama 10 detik untuk menghasilkan
melt curve yang digunakan dalam spesifisitas uji.
Kondisi amplifikasi menurut Alarcon et al. 2006 yaitu denaturasi pada suhu 95°C selama 15 detik dan penempelan pada
suhu 60°C selama 1 menit dengan thermal cycler GeneAmp 5700 Sequence Detection System dimodifikasi menjadi kondisi seperti
yang dijelaskan di atas untuk menyesuaikan dengan jenis primer dan thermal cycler
yang digunakan sehingga amplifikasi dapat berlangsung.
Primer forward dan reverse BceT dianalisis dengan Basic Local Alignment Search Tool
BLAST, NCBI untuk mengetahui spesifitasnya terhadap gen target. Urutan nukleotida sepasang primer
tersebut adalah 5’-GAA TTC CTA AAC TTG CAC CAT CTC G-3’ untuk forward primer yang terletak pada urutan basa nukleotida
2208-2232 pada DNA kromosomal B. cereus dan 5’-CTG CGT AAT CGT GAA TGT AGT CAA T-3’ reverse primer yang terletak
pada urutan basa nukleotida 1587-1611 pada DNA kromosomal B. cereus
. Produk amplifikasi dari sepasang primer ini adalah 646 pasang basa.
d. Evaluasi kinerja
real-time PCR
Amplifikasi real-time PCR dilakukan untuk menetapkan limit deteksi kultur murni B. cereus dan limit deteksi B. cereus pada nasi
goreng. Selain itu, real-time PCR dapat digunakan untuk menghasilkan melt curve. Kurva tersebut dipakai dalam spesifisitas
uji. Kinerja real-time PCR dievaluasi dengan cara menetapkan limit
deteksi, sensitivitas dan spesifisitas uji.
40 1
Limit deteksi Isolat DNA kultur murni dengan beberapa tingkat
pengenceran diamplifikasi dan diperoleh nilai Ct dari masing- masing pengenceran serta kurva standar. Pengenceran tertinggi
yang masih dapat teramplifikasi merupakan limit deteksi kultur murni B. cereus dalam penelitian ini. Kurva standar memberikan
persamaan linear yang digunakan untuk mengukur limit deteksi B. cereus
dalam sampel pangan. Persamaan linear kurva standar digunakan untuk menghitung konsentrasi bakteri yang belum
diketahui dalam sampel pangan. Konsentrasi B. cereus pada sampel pangan nasi goreng dapat dihitung dengan memasukkan
nilai Ct hasil amplifikasi sebagai nilai y pada persamaan linear, kemudian nilai yang diperoleh diantilogkan.
Limit deteksi dengan real-time PCR memiliki satuan CFUml atau CFUg. Oleh karena itu, setiap isolasi DNA
dilakukan, pencawanan pada media selektif dari beberapa pengenceran juga dilakukan untuk mengetahui jumlah koloni
pada kultur murni atau pun koloni pada sampel pangan. Prosedur penetapan limit deteksi bakteri patogen dengan PCR
dapat dilihat pada Lampiran 9. 2
Spesifisitas uji Primer
BceT diuji spesifisitasnya dengan cara
membandingkan melting temperature Tm dari puncak melt curve
yang terbentuk antara amplikon yang diperoleh dari isolat DNA B. cereus dan amplikon yang diperoleh dari isolat DNA
B. subtilis . Hasil amplifikasi amplikon yang spesifik
ditunjukkan dengan nilai Tm yang sama pada puncak melt curve
. Tm merupakan suhu peleburan di mana 50 DNA untai ganda telah terdenaturasi menjadi DNA untai tunggal. Secara
teoritis, Tm amplikon dari isolat DNA B. cereus dan B. subtilis berbeda karena DNA target merupakan DNA spesifik dari
B. cereus .
41
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. IDENTIFIKASI SEROVAR Salmonella spp.
Isolat Salmonella yang digunakan telah dikonfirmasi dengan API 20E dan teridentifikasi sepuluh isolat tersebut sebagai Salmonella spp. Melalui uji
serologi Salmonella spp. dapat lebih dispesifikkan menjadi subspesies yang berbeda berdasarkan antigen-antigen yang dimiliki masing-masing isolat.
Pengujian serologi penting karena struktur molekul protein atau polisakarida setiap bakteri berbeda dan juga struktur antigennya. Bagi genus Salmonella,
uji serologi merupakan standar metode deteksi konvensional. Hasil uji serologi terhadap antigen O dan motilitas Salmonella spp. dapat dilihat pada
Tabel 3. Tabel 3. Data uji serologi antigen O dan motilitas
No. Spesimen
Uji Serologi Uji Motilitas
1. Gb OMF
Motil 2.
PB5 O:8 Motil
3. PGB3 O:1,4,12
Motil 4.
PGB5 O:12 Motil
5. PKS1 O:8
Tidak motil
6. PKS2 O:5
Motil 7.
PL2
1
O:5 Tidak
motil 8.
PL2
2
O:6,7,14 Tidak
motil 9.
PM3 O:8 Tidak
motil 10. RGB1
O:1,4,12 Motil
Keterangan: Motil jika koloni yang seragam meluas ke tepi agar semi solid 50 jari-jari cawan
Uji serologi antigen O diikuti dengan uji motilitas karena uji motilitas merupakan bagian dari uji serologi. Uji motilitas harus dilakukan terlebih
dahulu sebelum antigen H flagela diuji untuk memastikan bahwa isolat Salmonella
yang akan diuji antigen H-nya memiliki flagela motil. Uji
42 serologi yang lengkap, seharusnya meliputi uji serologi terhadap antigen O
somatik, antigen Vi, dan antigen H flagelar. Namun, serotyping yang dilaksanakan di Pusat Riset Obat dan Makanan dibatasi pada tahap uji antigen
O, disesuaikan dengan antisera yang tersedia. Uji antigen Vi tidak dilakukan sebab antisera tidak tersedia, sehingga penentuan apakah bakteri tersebut
lebih patogen jika uji positif atau tidak belum dapat terlaksana, sedangkan uji antigen H tidak dilaksanakan karena antisera tidak lengkap. Padahal dalam
pengujian aglutinasi antigen-antisera diperlukan seluruh jenis antisera individual. Kelengkapan tersebut penting karena kerja dilakukan bertahap,
apabila terdapat antigen-antisera yang tidak menunjukkan aglutinasi, kemudian dapat dilanjutkan dengan antisera lainnya hingga diperoleh
aglutinasi. Jika ada tahapan uji yang dilewati maka kespesifikan antigen pada patogen tidak dapat dipastikan.
Uji antigen O dilakukan pada Salmonella karena bakteri ini termasuk Gram negatif. Bakteri Gram negatif memiliki membran luar yang memiliki
lipopolisakarida, di mana antigen O merupakan bagian dari lipopolisakarida tersebut. Oleh karena itu, antisera mudah bereaksi dengan antigen karena
letaknya di permukaan membran luar sel bakteri. Uji serologi pada spesimen Gb hanya dapat dilakukan sampai pada
antigen O serogrup OMF O Multi-phase F sera, karena antisera O individual bagi grup F tidak tersedia. Antisera individual berarti sera tersebut hanya
mengandung satu faktor tunggal antigen, berbeda dengan antisera polivalen yang memiliki beberapa faktor tunggal antigen. Serogrup F jarang
teridentifikasi sebagai penyebab penyakit pada manusia atau pun sapi. Sedangkan serogrup yang diidentifikasi banyak menyebabkan penyakit pada
anak sapi, susu sapi, dan manusia berasal dari Salmonella serogrup B, C, D, dan E Jayarao dan Henning, 2001. Spesimen PB5, PKS1, dan PM3
teridentifikasi memiliki antigen O:8, spesimen PKS2 dan PL2 memiliki antigen O:5, dan spesimen PGB5 memiliki antigen O:12. Terdapat pula
spesimen yang teridentifikasi memiliki antigen O lebih dari satu faktor tunggal, yaitu spesimen PGB3 dan RGB1 dengan serovar O:1,4,12 dan
spesimen PL2
2
dengan serovar O:6,7,14.
43 Hasil serotyping terhadap kesepuluh isolat menujukkan Salmonella
dengan serovar O:12 paling banyak ditemukan pada isolat Salmonella spp. dalam daging ayam, yakni dari spesimen PGB3, PGB5, dan RGB1. Serovar
O:12 terdapat pada serogrup B, anggota serogrup B yang dilaporkan menjadi sumber penyakit di Indonesia, yaitu Salmonella enterica subspesies enterica
serovar Typhimurium dan S. Paratyphi B. Penamaan S. Typhimurium berdasarkan hasil uji serologi menjadi I 4,5,12:i:1,2, artinya galur
S. Typhimurium merupakan spesies Salmonella enterica subspesies enterica
yang memiliki antigen O:4, O:5, dan O:12, antigen H fase 1 i dan antigen H fase 2 1 dan 2.
Anggota genus Salmonella mempunyai struktur antigen yang tidak stabil dan dapat mengalami perubahan sewaktu-waktu dan bakteri ini pada suatu
saat dapat membentuk variasi secara tiba-tiba Poernomo, 2004. Galur Salmonella
yang awalnya teridentifikasi memiliki antigen O, bisa saja ketika diuji ulang mengalami autoglutinasi rough strain of Salmonella, galur ini
ialah galur yang telah kehilangan sifat antigen O-nya. Oleh karena itu pada setiap awal tahapan uji serologi perlu dilakukan suspensi bakteri dengan NaCl
0.85, jika suspensi menggumpal maka bakteri tersebut telah mengalami autoglutinasi dan perlu disubkulturkan pada Agar darah atau Agar Mueller-
Hinton untuk me-recovery kondisi smooth mengandung struktur antigen O. Seluruh isolat Salmonella spp. saat pengujian autoglutinasi menunjukkan
reaksi negatif, maka uji serologi dilanjutkan dengan menggunakan antisera polivalen O. Jika aglutinasi tidak terjadi dengan antisera Polivalen O berarti
bakteri bukan Salmonella dan serotyping tidak perlu dilakukan. Antibodi pada sera spesifik akan menggumpal dengan bakteri yang memiliki antigen
sesuai CDC, 2009. Setelah uji antigen O dilaksanakan, sepuluh isolat harus ditumbuhkan
dalam medium agar semi solid, Swarm Agar, untuk melihat motilitasnya. Jika Salmonella
motil, berarti bakteri tersebut berflagela dan memiliki antigen H yang harus diuji lebih lanjut. Swarm Agar yang diprasyaratkan oleh WHO-
CDC 2009, tersusun atas TSB, KNO
3
, dan agar. Karena media ini tidak tersedia di laboratorium, dibuatlah media agar semi solid dari Nutrien Agar,
44 Nutrien Broth
, Beef extract, dan KNO
3
untuk uji motilitas. Modifikasi tersebut tetap memberi komposisi yang sama dengan medium uji motilitas
M103, BAM dan motilitas dapat diuji. Perpindahan tipikal dari Salmonella ialah yang menunjukkan pergerakan
sejauh 40 mm dari titiktempat yang telah diinokulasi. Pergerakan bakteri dapat dilihat dari koloni yang menyebar dari inokulasi satu titik di tengah
agar menjadi melebar ke tepi agar. Bakteri yang dianggap layak untuk dilakukan uji serologi antigen H ialah bakteri koloni seragam yang bergerak
ke tepi melebihi setengah dari jari-jari agar semi solid. Jika terdapat pergerakan menuju tepi agar, berarti bakteri tersebut berflagela dan secara
teoritis memiliki antigen H. Apabila tidak terdapat pergerakan, padahal uji morfologi dan biokimia mengidentifikasi secara umum bahwa bakteri uji
ialah Salmonella, inkubasi perlu dilanjutkan selama 24 jam 35°C. Jika tetap tidak ada pergerakan bakteri pada medium semi solid, bakteri dalam medium
tersebut diinkubasi kembali pada suhu 25°C selama 5 hari. Hasil pengamatan terhadap kesepuluh isolat yang diinokulasi pada agar semi solid dan
diinkubasi selama satu hari, isolat yang menunjukkan motilitas tipikal ialah spesimen Spesimen Gb, PB5, PGB5, PKS2, RGB1, dan PGB3. Visualisasi uji
motilitas isolat Salmonella spp. dapat dilihat pada Lampiran 10. Spesimen PKS1, PL21, PL22, dan PM3 walaupun tidak motil, masih
dapat diasumsikan sebagai Salmonella spp. karena tidak semua Salmonella motil. Ada beberapa spesies Salmonella yang tidak mempunyai antigen H
flagela tidak motil, misalnya S. Pullorum dan D. Gallinarum Gast, 2003. Menurut Gast 2003, lebih dari 2400 subspesies S. enterica bersifat motil.
Oleh karena itu, uji serologi tidak cukup hanya pada tahap uji antigen O, tetapi harus dilengkapi dengan uji antigen H fase 1 dan 2 sehingga
identifikasi serovar lengkap. Kelebihan dilakukannya uji serotipe ialah identifikasi Salmonella spp.
lebih lengkap, penulisan serovar yang jelas dan diterima oleh sebagian besar negara di dunia, penyediaan data bagi kasus epidemik Salmonella dan dapat
diperbandingkan dengan subspesies Salmonella yang juga pernah menyebabkan epidemik di negara-negara lain. Keuntungan diketahuinya
45 serovar melalui uji serologi ini ialah kemudahan dalam penelusuran bakteri
Salmonella yang menjadi sumber penyakit asal pangan atau kasus epidemik
di Indonesia dan kemudahan memperbandingkan serovar Salmonella spp. dengan negara lain.
Menurut WHO dalam Global Salmonella Surveillance 2009, serotyping dapat menjadi metode terbaik dalam penetapan fenotip bakteri sebab metode
ini memiliki kemampuan membedakan subspesies secara teliti dan memberikan informasi serotipe yang penting bagi kasus-kasus epidemik.
Kemudahan penerapan dan pelaksanaan metode deteksi ini menjadikan SAT dapat diaplikasikan oleh pihak yang hendak melakukan uji serologi. Kendala
utama bagi terlaksananya uji ini secara luas ialah biaya yang tinggi dalam penyediaan antisera. Metode lain, seperti sistem molekuler yang saat ini
berkembang pesat tidak dapat menggantikan uji serotipe yang bekerja dengan prinsip aglutinasi antisera dan antigen.
B. DETEKSI B. cereus BERBASISKAN DNA
1. Tahap Persiapan Sampel
Tahap pengkulturan sangat penting dilakukan untuk menyediakan kecukupan jumlah bakteri B. cereus awal yang hendak diinokulasi.
Pengkulturan dilakukan dalam medium cair Trypticase Soy Broth TSB, yaitu medium yang berfungsi membiakkan bakteri atau memperkaya
bakteri karena memiliki nutrisi yang menunjang pertumbuhan bakteri. Kultur murni bakteri B. cereus digunakan untuk menentukan limit
deteksi kultur murni dan menghasilkan kurva standar.
Pengkulturan bakteri dilakukan pada medium TSB dan medium BHIB. Setelah dicawankan ternyata pertumbuhan bakteri lebih baik
pada medium BHIB. Oleh karena itu, sebaiknya untuk pengkulturan bakteri atau pun pengkayaan sebelum isolasi DNA menggunakan
medium BHIB. Medium BHIB menyediakan lebih banyak nutrisi yang mendukung pertumbuhan bakteri dibandingkan dengan TSB.
Media TSB termasuk media non-selektif sehingga semua bakteri dapat tumbuh. Apabila kerja tidak aseptik, bakteri selain B. cereus
46 dapat tumbuh. Oleh karena itu, untuk menjamin kemurnian biakan
kultur murni B. cereus, uji morfologi untuk melihat keseragaman dan koloni tipikal B. cereus dilakukan dalam MYPA beberapa hari sebelum
isolasi DNA hendak dilaksanakan. Apabila kultur murni yang dicawankan pada MYPA hanya membentuk koloni tipikal pink cerah
dengan zona presipitasi di sekelilingnya, seperti pada Gambar 8, berarti kultur murni masih seragam dan tidak terkontaminasi bakteri lain
sehingga dapat dilakukan isolasi DNA.
Gambar 8. Koloni tipikal B. cereus pada MYPA + Polymyxin B Media MYPA merupakan media selektif B. cereus. MYPA
mengandung manitol yang tidak dapat difermentasi oleh B. cereus, namun oleh beberapa bakteri lain misalnya B.subtilis dan S. aureus
dapat difermentasi. Penambahan kuning telur dapat memperjelas koloni tipikal B. cereus sebab kuning telur memiliki lesitin dan B. cereus
menghasilkan enzim fosfatidilkolin hidrolase, fosfolipase C yang menghidrolisis lesitin. Dengan begitu, koloni tipikal B. cereus akan
mendegradasi lesitin yang terlihat sebagai zona presipitasi di sekeliling koloni Schraft dan Griffiths, 1995. Polymyxin B juga ditambahkan
pada MYPA untuk menghambat pertumbuhan bakteri Gram negatif.
47 Konsentrasi bakteri biakan kultur murni KM, dihitung dari
pencawanan MYPA 8.8 x 10
8
CFUml dan pengenceran KM 10
-2
digunakan 0.1 ml untuk menginokulasi nasi goreng secara artifisial. Dengan asumsi, sampel pangan spike berkonsentrasi kurang lebih
10
6
CFUml pada sampel pangan. Asumsi tersebut diperkuat dengan hasil hitungan cawan yang diperoleh dari beberapa tingkat pengenceran SPS,
yaitu sebesar 4.5 x 10
6
CFUg seperti yang terlampir pada Lampiran 5. Konsentrasi tersebut merupakan konsentrasi patogen B. cereus yang dapat
menyebabkan keracunan pangan. Pada konsentrasi tersebut metode deteksi sudah harus mampu mendeteksi keberadaan patogen tersebut.
Pengenceran serial 1:10 dari kultur murni B. cereus dan sampel nasi goreng yang diinokulasi secara artifisial bertujuan untuk menetapkan limit
deteksi dari B. cereus yang diamplifikasi dengan real-time PCR. Secara teoritis, amplifikasi PCR memungkinkan deteksi hanya dengan 1 CFUml
atau 1 CFUg sampel pangan. Oleh karena itu, SPS diencerkan hingga enam tingkat pengenceran, dengan asumsi pada tingkat pengenceran
keenam diperoleh konsentrasi bakteri 10
1-
10 CFUg.
Tujuan inokulasi ±10
6
B. cereus CFUg secara artifisial pada sampel nasi goreng adalah untuk menjamin spesifisitas amplifikasi, di mana
produk amplifikasi yang diharapkan terbentuk murni dari penempelan primer spesifik dan DNA target yang komplementer. Tujuan inokulasi
tersebut juga dapat menggantikan waktu inkubasi khusus pada persiapan sampel sebab umumnya nasi goreng yang diinokulasi bakteri secara
artifisial diberi tambahan waktu inkubasi untuk memperkaya jumlah sel bakteri patogen sehingga peluang DNA terdeteksi semakin besar. Pada
penelitian PROM terdahulu 2008, sampel pangan diinkubasi pada suhu 30
o
C selama 4 jam untuk memperbanyak jumlah bakteri uji tersebut. Namun, pada penelitian ini nasi goreng tidak diinkubasi terlebih dahulu
sesudah inokulasi kultur murni B. cereus ke dalam nasi goreng. Hal ini dilakukan karena adanya asumsi pemeriksaan risiko kontaminasi bakteri
patogen merupakan tindakan segera sesaat setelah pangan selesai diolah, sehingga waktu deteksi pun lebih cepat. Inokulasi nasi goreng secara
48 artifisial dengan kultur murni yang telah diinkubasi semalam dalam TSB
telah cukup untuk menjamin diperolehnya DNA target bagi proses amplifikasi. Menurut Sambrook et al. 1989, pertumbuhan bakteri
mencapai fase log akhir setelah diinkubasi semalam. Fase log akhir merupakan saat yang optimal untuk memanen bakteri, di mana kuantitas
DNA maksimal.
2. Tahap Isolasi DNA a.