Tafsir Mufradat Ayat Pendidikan keimanan: kajian tafsir surat al-an’am ayat 74-79

yaqîn . Menurut orang-orang sufi, yaqîn ialah penglihatan mata kepala dengan kekuatan iman, tanpa dalil dan keterangan. 10 ىبر : Rabbî, kata ىبر terbentuk dari dua kata yaitu rabb dan ya’ mutakallim wahdah sehingga kedudukannya menjadi i ḍâfat yaitu terdiri dari mu ḍaf dan muḍaf ilaih. Kata rabb ر yang secara etimologis berati pemelihara, pendidik, pengasuh, pengatur yang menumbuhkan. Kata rabb biasa dipakai sebagai salah satu nama Tuhan karena Tuhanlah yang secara hakiki menjadi pemelihara, pendidik, pengasuh, pengatur dan yang menumbuhkan makhluk-Nya. Oleh sebab itu, kata tersebut biasa diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan kata Tuhan. 11 Al-Maragi mengartikan lafadz Rabbi yaitu Pemilikku dan pengatur usahaku. 12 في ح : h anîf biasa diartikan lurus atau cenderung kepada sesuatu. Kebalikan dari hânif adalah az-Zaig, artinya miring dari hak ke arah kebatilan, dari hidâyah kepada đalâlah. 13 Dalam kitab tafsir jalalain, kata h anîf diartikan condong kepada agama yang lurus. 14 Kata ini pada mulanya digunakan untuk menggambarkan telapak kaki dan kemiringannya kepada telapak pasangannya. Yang kanan condong ke arah kiri, dan kiri condong ke arah kanan. Ini menjadikan manusia dapat berjalan lurus. Kelurusan itu, menjadikan si pejalan tidak mencong ke kiri, tidak pula ke kanan. Ajaran Nabi Ibrâhim as. adalah hanîf, tidak bengkok, tidak memihak kepada pandangan hidup yang hanya memenuhi kebutuhan jasmani, tidak juga semata-mata mengarah kepada kebutuhan ruhani. 15 Kata h anîf itu sendiri berasal dari akar kata h anafa. Kata tersebut apabila didefiasikan dari kata kerjanya yaitu h anafa – yah nifu – h anîfan, artinya condong atau cenderung dan kata bendanya kecenderungan. Maksud kecenderungan disini yaitu kecenderungan kepada yang benar. 10 M. Quraiş Şihab, dkk, Op. Cit., h. 1102 11 Ibid., h. 801 12 Ahmad Mustafa al-Maragi, Terjemah Tafsir al-Maragi Terj. dari Tafsir al-Maragi oleh K. Anshori Umar Sitanggal, dkk, Semarang : PT. Karya Toha Putra, 1992, cet. II, h. 288 13 Ahsin W. al- Hafiż, Op. Cit., h. 95 14 Syaikh Jalâluddin bin Muhammad bin Ahmad al-Mahalli dan Syaikh Abdul ar-Rahman bin Abi Bakr as- Suyuţi, Tafsir Jalâlain, tt.p., Haramain: 2007, Cet. VI, h. 120 15 Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al- Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, 2009, Cet. I, h. 517 M. Dawam Rahardjo mengutip pendapat Hadrat Mirza Nâshir Ahmad yang merujuk kepada beberapa sumber bahwa kata h anîf memiliki beberapa makna: a. Orang yang meninggalkan atau menjauhi kesalahan dan mengarahkan dirinya kepada petunjuk; b. Orang yang secara terus menerus mengikuti kepercayaan yang benar tanpa keinginan untuk berpaling dari padanya; c. Seseorang yang cenderung menata perilakunya secara sempurna menurut Islam dan terus menerus mempertahankannya secara teguh; d. Seseorang yang mengikuti agama Ibrâhim as. ; dan e. Orang yang percaya kepada seluruh nabi-nabi. 16 يكرشم : Musyrikîn, kata musyrikîn merupakan bentuk jamak dari kata musyrik . Dan kata musyrik itu sendiri merupakan bentuk ism al- fâ’il لعافلا ّ ا = kata benda yang menunjukkan pelaku dari kata asyraka – yusyriku – isyrâk – musyrik رشأ ط رشي ط ارشإ ط رشم , dan perbuatannya disebut syirk رش. Secara bahasa, Ibnu Manťûr mengartikan kata syirk sebagai persekutuan dan bagian. Sementara al- Aşfahani mengartikan dengan percampuran dua hal atau lebih, baik secara substansi atau secara makna. Karena musyrik merupakan pelaku syirk maka secara bahasa kata itu berarti orang yang melakukan persekutuanperserikatan atau membagi bagian tertentu. Adapun secara istilah, syirk berarti menjadikan sesuatu bersama Allah sebagai tuhan untuk bisa disembah. Sesuatu yang dimaksud bisa berbentuk benda hidup seperti binatang, pohon, atau benda mati seperti patung. Dengan kata lain, di dalam bentuk materi seperti matahari, bangunan, maupun immateri, yaitu ruh, jin, dan sebagainya. Dengan demikian, orang musyrik pada hakikatnya adalah orang yang mengingkari ke-Esaan Tuhan, apakah dari segala zat, sifat, maupun perbuatan-Nya. Pengingkaran terhadap tiga segi tersebut konsekuensinya membawa kepada pengingkaran terhadap kemahakuasaan Tuhan sebagai pencipta 16 M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al- Qur’an; Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep- Konsep Kunci, Jakarta: Paramadina, 2002, Cet. II, h. 62 dan pengendali alam semesta; namun, orang musyrik itu tidak mengingkari Allah sebagai Tuhan. 17 3. Tafsir Surat al-An’am [6] : 74 - 79                 “Dan ingatlah di waktu Ibrahim berkata kepada bapaknya, Azar, Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan? Sesungguhnya aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata. Menurut Quraish Shihab bahwa Azar adalah ا abbapak Nabi Ibrâhîm as. dengan kata orang tua alasan beliau merujuk kepada Q.S. Yûsuf ayat 4 yang berbunyi : يبأ ف ي لاق إ idz qâla Yûsufu li abîhi. Para ulama berbeda pendapat menyangkut Azar, apakah dia ayah kandung Nabi Ibrahim as. atau pamannya, sebagaimana mereka berbeda pendapat tentang kata itu apakah dia nama atau gelar serta maknanya dan mengapa dia dinamai demikian. 18 Nabi Ibrâhîm as. menasihati bapaknya yang menyembah berhala dan melarangnya berbuat demikian. Namun, sang ayah tidak menggubrisnya. 19 Dalam surat al- An’am ini merupakan ucapan Nabi Ibrâhîm setelah berkali-kali beliau menyampaikan kepada orang tuanya tentang kesesatan mempersekutukan Tuhan. 20 Kesesatan dalam ayat ini yaitu tersesat dan tidak memiliki petunjuk kemana seharusnya mereka berjalan. Bahkan, mereka berada dalam kebingungan dan ketidak tahuan 21 dikarenakan ayah Nabi Ibrâhîm dan kaumnya menyembah berhala. Menurut al-Maraghi maksud berhala-berhala ini adalah patung-patung yang dipahat dari batu, dibuat dari kayu, atau dari logam. Tidak layak bagi orang 17 M. Quraiş Şihab, dkk, Op. Cit., h. 664 18 Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al- Qur’an..., h.506 19 Muhammad Nasib Ar- Rifa’i, Kemudahan dari Allah; Ringkasan tafsir Ibnu Katsir, Terj. dari Taisiru al-Aliyyul Qadir Li Ikhtishari Tafsir Ibnu Katsir oleh Syihabuddin, Jakarta: Gema Insani, 2005, Cet. VIII, h. 235 20 Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al- Qur’an..., h. 508 21 Muhammad Nasib ar- Rifa’i, Op. Cit., h. 235 yang berakal untuk menyembah apa yang sebanding dengannya dalam penciptaan, tidak pula apa yang berada di dalam kekuasaan Al-Khaliq, butuh kepada Allah Yang Maha Kaya lagi Maha Kuasa, tidak kuasa untuk mendatangkan manfaat maupun kemudaratan, tidak pula dapat memberi dan menahan pemberian. 22 Sehingga dalam ayat ini dijelaskan bahwa orang-orang yang menyembah berhala mereka dalam kesesatan yang nyata. Disifatinya kesesatan dengan nyata untuk menjelaskan apa yang telah terjadi pada diri mereka. Dari penjelasan para mufassir di atas akan Q.S. al- An’am ini dapat disimpulkan bahwa Ayat ini menjelaskan tentang kisah Nabi Ibrâhîm as. dalam menghadapi kaumnya yang menjadikan patung-patung sebagai tuhan mereka. Tidak hanya kaumnya saja, namun ayah Nabi Ibrâhîm as. sendiri yaitu yang disebutkan dalam ayat ini bernama azar juga menyembah berhala. Di sini Nabi Ibrâhîm as. tidak mempercayai akan tuhan-tuhan yang mereka sembah. Bahkan Nabi Ibrâhîm as. membantah akan keyakinan mereka itu dengan menjelaskan akan kesesatan dan kemusyrikan mereka.          “Dan Demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan kami yang terdapat di langit dan bumi dan kami memperlihatkannya agar Dia Termasuk orang yang yakin.” Setelah Allah swt. memperlihatkan kebenaran kepada Nabi Ibrâhîm yaitu dengan menjelaskan akan kesesatan ayah dan kaumnya, maka pada ayat ini Allah memperlihatkan kepada Nabi Ibrâhîm akan kerajaan langit dan bumi. Para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan ayat ini, dalam tafsir ath- T abari dijelaskan ada empat perbedaan pendapat para ulama dalam menafsirkan lafaz لم malakût pada ayat ini. Pertama, sebagian ulama berpendapat bahwa maknanya adalah “Kami perlihatkan kepadanya penciptaan langit dan bumi.”Kedua, berpendapat bahwa lafaz al malakût artinya kerajaan. Ketiga, berpendapat bahwa maksudnya adalah ayat-ayat langit dan bumi. Dan keempat, 22 Ahmad Mustafa al-Maragi, Op. Ci., h. 290 berpendapat bahwa maksudnya adalah Allah memperlihatkan bintang, bulan dan matahari. 23 Lafadz ضراا ا سلا لم diartikan pula oleh Quraish Shihab sebagai Kepemilikan Allah terhadap langit dan bumi, yakni seluruh alam raya, mengandung juga makna kekuasaan dan wewenang penuh dalam mengaturnya serta tidak dapat dialihkan atau dicabut oleh pihak lain sebagaimana kepemilikan makhluk. 24 Selanjutnya al-Maraghi menjelaskan bahwa ضراا ا سلا لم kerajaan langit dan bumi; Yakni diciptakan keduanya dengan segala isinya, berupa aturan-aturan yang indah dan buatan yang mengagumkan. Kemudian Allah perlihatkan padanya bintang-bintang yang beredar pada orbitnya di atas jalur yang tetap. Dan diperlihatkan pula padanya bumi dan yang ada di dalam berbagai lapisannya, berupa barang-barang tambang yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Selain itu, Allah tampakan padanya perkara bumi itu, baik yang bersifat batin maupun lahir. 25 Adapun tujuan Allah swt. diperlihatkannya kerajaan langit dan bumi yaitu agar dia mengetahui sunnah Kami terhadap makhluk, kebijaksanaan Allah di dalam mengatur kerajaan, dan ayat-ayat yang menunjukkan Rubûbiyyah-Nya. Supaya dengan itu, dia dapat menegakkan hujjah terhadap orang-orang musyrik yang sesat, dan supaya dia sendiri termasuk orang-orang yang benar-benar yakin sampai ke tingkat ‘ainul- yaqin. 26 Selain itu, untuk menetapkan tauhid kepada Allah swt., agar ia mengetahui hakikat hidayah yang diberikan kepadanya, dan mengetahui kesesatan kaumnya yang menyembah berhala. 27 Allah swt. menjadikan Nabi Ibrâhîm as. masuk dalam kelompok al- Mûqinîn , yakni orang-orang yang telah teguh keyakinannya. Salah satu ciri anggota kelompok ini adalah terbukanya bagi mereka sebagian tabir metafisika 23 Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, Terj. dari Jami’ Al Bayan an Ta’wil Ayi Al Qur’an oleh Akhmad Affandi, dkk, Jakarta: Pustaka Azzam, 2008, Cet. I, h. 154 24 Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al- Qur’an..., h. 510 25 Ahmad Mustafa al-Maragi, Op. Cit., h. 291 26 Ibid., h. 291 27 Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Op. Cit., h. 163 sesuai dengan kehendak Ilahi. 28 Hamka menjelaskan dalam tafsirnya bahwa Nabi Ibrâhîm as. memperoleh ilmu Ladunni. 29 Kemudian Allah memperinci akan kerajaan langit dan bumi yang sebagaimana dalam ayat selanjutnya:                  “Ketika malam telah gelap, Dia melihat sebuah bintang lalu Dia berkata: Inilah Tuhanku, tetapi tatkala bintang itu tenggelam Dia berkata: Saya ti dak suka kepada yang tenggelam.” Proses pemikiran atau cara membungkam para penyembah benda-benda langit itu bermula atau dimulai Ketika malam telah menutupinya menjadi sangat gelap sehingga meliputi seluruh totalitasnya bahkan sekelilingnya. Tenggelamnya bintang adalah salah satu bukti ketidakwajarannya untuk dipertuhankan. 30 Ketika Allah Ta’ala mulai memperlihatkan kerajaan langit dan bumi kepadanya, dilihatnya sebuah bintang besar yang menonjol dari bintang Jupiter yang merupakan tuhan terbesar bagi sebagian penyembah bintang dari bangsa Yunani dan Romawi Kuno. 31 Ketika melihat itu, Ibrâhîm as. berkata: بر ا لاق ي “Inilah Tuhanku”. Perkataan ini dikemukakannya di dalam forum perdebatan dan adu argumentasi dengan kaumnya, sebagai permulaan pengingkarannya terhadap mereka. Pertama-tama, dia mengemukakan perkataan mereka sendiri guna menarik perhatian mereka supaya mau mendengarkan hujjah atas kebatilan sembahan terhadap bintang itu. Pertama-tama dia mengaburkan pandangan mereka, sehingga mereka menduga bahwa dia menyetujui pandangan 28 Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al- Qur’an..., h. 511 29 Abdul Malik Karim Amrullah, Tafsir al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1983, h. 252 30 Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al- Qur’an..., h. 512 31 Ahmad Mustafa al-Maragi, Op. Cit., h. 291